Anda di halaman 1dari 6

ANAE DG ASMA

2. Premedikasi7
1. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma
berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien
dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
2. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih yang tidak
mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14
3. Anticholinergik pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan
ketamin sebagai agen induksi Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek
bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.2
4. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori dapat
mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 sera normal akan menyebabkan bronkodilatasi
dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blokade H2
dapat menimbulkan bronkokonstriksi.2
5. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau kortikosteroid
inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan pemberian
kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg) 1-2 jam sebelum induksi
anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien yang
mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk
mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan 100mg/8
jam selama 1-3 hari post operasi.2,9
6. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau Fentanyl 1-2
mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT. Pemberian anestesi
inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium dalam dapat mengatasi spasme
bronkial berat yang refrakter.9,10

2.6.

PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF

Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah pathofisiologi yang
mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa
regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri,
dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena
pertimbangan atau untuk mengendalian nyeri postoperatif.

A. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah. Pada pasien asma
pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot
perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik
menurunkan FRC, mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu
gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat
memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah(T1T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan
anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah
hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan
dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan
regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam waktu lama,
batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.

B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama instrumentasi jalan napas.
Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi dangkal dapat menimbulkan
bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare,
atracurium, mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat
jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi
disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi
yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi dan dapat digunakan
untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan berpengaruh pada diameter airway dengan
cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati
dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan
efek aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat
yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas.
Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya
tidak iritasi di jalan napas.

2. Obat-Obat Induksi Intravena


Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset kerja yang cepat.
Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton, propofol, dan ketamin. Tiopenton
paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan
bronkospasme karena adanya pelepasan histamin, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa
thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui reseptor 2, menimbulkan kontraksi
dan mengaktifkan mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih
lanjut akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat
menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya
karena iritan)14propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif. Ketamin dan propofol dapat
digunakan untuk mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama
penekanan neural dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu
penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi, ketamin
dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat
menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan penggunaan metohexital
dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan benzodiazepin, propofol lebih
menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek
bronkodilatasi selain efek analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan
dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva dan
tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue seperti atropin
ataupun gycopyrrolate.17 Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian
tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil selama 5
menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2 mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat
lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga
dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.

3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan adalah perlu tidaknya
mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen, inhibitor cholinesterase
seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan
bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1
mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain
dapat digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan
pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien
asma.

1. C.
Terapi Bronkospasme Intraoperatif
Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya penurunan volume
tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang dicapnograf, hal ini dapat
diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti
sumbatan tube endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial,
tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat
menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergik
agonist baik secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa
yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan pembacaan massa
spectrometer).2Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat
tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan
aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima
aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20
menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat
sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level
normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu
ekshalasi yang panjang.9
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat mempengaruhi
distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada beberapa unit paru-paru
dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial.
Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio
ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi,
yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat
terjadi bronbkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga
meyakinkan tekanan partial oksigen dalam alveoli.14
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas otot
nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu terjadinya
bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam
perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas normal untuk mencegah
brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan
intravena atau dengan kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.2

2.7.
PENANGANAN POST OPERATIF
Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera
mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup
muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara
benar.3,13
1. Buka penutup dan pegang inheler tegak
2. Kocok inhaler
3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc
4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut
5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam 3-5 detik
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai paru-paru
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator bisa
membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu untuk
memberikan dosis yang benar
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria
sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan naps selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok neuromuskular
nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan brokospasme jika diberikan dosis
antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit
monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri
post operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut yang terjadi
pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal

tersebut oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual
Capacity). Penurunan VA diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh
peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,
narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia gravis, Guillain
Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus phrenicus. Peningkatan VD
terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya
disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena
ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot,
efusi pleura, cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang
merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka
kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan cara yang
sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous
positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan
napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan
mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support


FEV atau PEV < 50%
PCO2 > 50 mmHg
PO2 < 50 mmHg
Pasien nampak bingung dan lemah
Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis
Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi disertai
instabilitas hemodinamika
8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery
9. Pasien yang menjalani major surgery

Anda mungkin juga menyukai