Anda di halaman 1dari 14

anestesi

STASE ANESTESI
Berikut akan dibahas mengenai hubungan anestesi dengan hipertensi, asma, diabetes mellitus,
Hubungan anestesi dengan hipertensi
Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark
miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi
aorta. Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin mempunyai potensi
terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Tingginya angka
penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini
menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode
perioperatif.
Batas atas tekanan darah normal yang di ijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu
pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD.
Patogenesis hipertensi
Secara umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan
aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan baseline dari curah jantung (CO), seperti pada
keadaan febris, hipertiroidisme atau terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR)
atau kedua-duanya. Peningkatan SVR merupakan penyebab hipertensi pada mayoritas penderita
hipertensi. Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat, tetapi SVR dalam
batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR
meningkat menjadi tidak normal. Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan
LVH (left ventricle hypertrophy) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga merubah
autoregulasi serebral sehingga cerebral blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi
dipertahankan pada tekanan yang tinggi. Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung
dan SVR
Secara anatomik ada 3 tempat yang mempengaruhi TD ini, yaitu arterial, vena-vena
post kapiler (venous capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat
lewat pengaturan volume cairan intravaskuler. Hal lain yang ikut berpengaruh
adalah baroreseptor sebagai pengatur aktivitas saraf otonom, yang bersama dengan mekanisme
humoral, termasuk sistem rennin-angiotensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari
keempat tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon lokal yang berasal dari
endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR. Sebagai contoh, nitrogen oksida
(NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1 berefek vasokonstriksi.

1. Penilaian
Preoperatif
dan
Persiapan
Preoperatif
Penderita
Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani
prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:

Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi.

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk


prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan
penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian
status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan
yang sebenarnya ataukah suatu relatif hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan
vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia
dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia.Untuk
evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat
menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya
diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan
ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu
diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya
retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah
komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke,
CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakologis akan
menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke
sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronariasebesar 16%.
2. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling
tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.
Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk
mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa
TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan
meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan
hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang
dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada

populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita
hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 2025% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya
untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus
hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk
menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping
yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu
sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target
organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart
Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa
TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan
operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD
dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat
antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung
mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi
pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah
hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien
hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.
4. Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi
yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan
benzodiazepin atau midazolam. Obatantihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari
pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
5. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada
pasien hipertensi.Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk
tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat
depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang
dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi
yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea
yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian
hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan
bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi

hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopiintubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.3,10
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit.
Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil
0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg,
atau labetatol 5-20 mg).
Menggunakan anestesia topikal pada airway..
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi.
Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk
induksi pada penderita hipertensi.3 Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cisatrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran
bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.
6. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah
meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu lebar. Mempertahankan
kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan
pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan
pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan
darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan
menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa
mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan,
yaitu:8
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi
pada serebral.
7. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia
maupunsaat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya
anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat
reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea
harus disingkirkan terlebih dahulu.

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi
baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga
tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat
tersebut.
8. Krisis Hipertensi
Dikatakan krisis hipertensi jika tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan
dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi, berdasarkan ada
tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan target organ yang progresif. Pasien
dengan hipertensi sistemik kronis dapat mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan
individu yang sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang sifatnya
urgensi dibandingkan emergensi. Hal-hal yang paling sering menimbulkan krisis hipertensi
adalah antara lain karena penggunaan obat antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas
autonom, obat-obat penyakit kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia
seperti pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang timbul adalah
sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini. Krisis hipertensi terbagi atas
hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti
adanya kerusakan target organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra
serebral, kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi aneurisme
aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau insufisiensi renal) yang
memerlukan intervensi farmakologi yang tepat untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati
jarang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan
pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-tanda ensefalopati pada
TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada gejala, wanita hamil dengan TDD > 109
mmHg dianggap sebagai hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD
diturunkan secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan sekitar
20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan sampai160/110 selama 2-6 jam.
Tanda-tanda penurunan tekanan darah ditoleransi dengan baik adalah selama fase ini tidak ada
tanda-tanda hipoperfusi target organ.8,10,20 Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD
meningkat tinggi secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala yang
timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan TD yang segera tidak
merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral
bertahap dalam beberapa hari.10,20
9. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang
menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard
sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu
bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi

vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga
menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada
banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan
baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi
dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi,
penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.Nyeri merupakan salah satu faktor
yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien
yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara
infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi
secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD
kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya
obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi
dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama
digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena
overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan
heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif
secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara
intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside.
Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral
segera dimulai.

Hubungan Anestesi dengan Diabetes


Kriteria Diagnosis Diabetes
glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap
saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak
ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir,
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral >= 200 mg/dl.
Efek Pembiusan dan Pembedahan pada Metabolisme
Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi
peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi
insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah,
peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh
nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth
hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi.Analgesia
epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara
blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian
dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang
lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

Faktor Resiko Untuk Pasien Diabetes


Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan
mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:
Sepsis
Neuropati autonomik
Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)
Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar
Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon
denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 dan="" darah="" hipotensi="" mnt=""
ortostatik="" penurunan="" tekanan="" x=""> 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian
obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan
retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati

autonomik. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal.
Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit. Ada
hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula
darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak.
Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau
aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti.
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan
adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin
adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia
dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati
diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan
morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi
leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula
dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.
Pengaruh Obat Anestesi Pada Penderita DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka
pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status
diabetesnya. Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di
dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat
induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Benzodiazepin akan menurunkan
sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama
pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang
sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan.
Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika
obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk transport
glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas
simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan
pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin.
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Meskipun hal W tidak relevan
selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat
induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi
jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang
tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan
kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.

Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid
tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang
menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita,
teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan
kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan
tindakan operasi.
Teknik Anestesi Pada Penderita DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan
blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin
residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang
dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum
dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif
reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan
menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum
memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal
mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar
pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan
akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan
retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan
teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal
dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat
dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan
epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau
edema pada penderita diabetes mellitus.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya
membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah terapi insulin perlu
diberikan pada perioperatif? Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes
oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk
bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan
glikosuria.
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi
seperti di bawah :
Gula darah puasa > 180 mg/dl
Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
Lama pembedahan lebih 2 jam

Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2
sampai 3 hari sebelum pembedahan.

ASMA
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren, episodik dan reversible.
Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau agak normal). Diketahui pencetus
dari reaksi saluran nafas pada pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala
pada pasien sangat bervariasi tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing, nafas yang pendek dan
exercional dyspnea.
Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma.
Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk
mencapai hasil ini. Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa
pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya
emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat
dilakukan jika tersedia.
Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada dalam keadaan
dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar, putuskan apakah keadaannya baik
atau dapat berubah dengan farmakoterapi yang agresif.
Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda dan dilakukan
evaluasi serta terapi.
Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika pasien tidak dapat
menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis
berangsur-angsur dikurangi. Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi
digunakan untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan kedua yang
kadang-kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol. Reseptor antagonis leukotrien
(misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang digunakan untuk terapi preventif pada penanganan
asma. Jika terdapat infeksi paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.
Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau tanpa ipratropium
merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme pernapasan dan pertukaran udara.
Pengobatan dimulai dengan penggunaan steroid intra vena sedini mungkin.
Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol, ketamin
intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang
menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih
aman. Bahan anestetik volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama
untuk maintenance pada anestesi umum serta pengobatan bronkospasme intraoperatif. Nitrogen
oksida dihindari pemakaiannya (atau digunakan dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika
diperkirakan terdapat obstruksi di daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot,

pertimbangkan penggunaan anticholinesterase.. Obat antagonis muskarinik dapat menyebabkan


bronkospasme.
Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat
dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau
bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh
lidokain IV (1,5 mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain
spray topikal sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok nervus vagus. Jangan
lakukan hiperventilasi pada pasien; hal tersebut tidak diperlukan karena dapat menyebabkan
barotrauma. Hipokarbia dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan
tetapi hal ini biasanya tidak dibutuhkan.
Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum dengan mask
atau dengan laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan anesetsi regional perlu
dipertimbangkan. Pemberian sedativ aman pada pasien asma, cocok digunakan secara IV dan
neuraxial narcotik untuk mengobati nyeri.

DIFFICULT AIRWAY
Difficult airway / Kesulitan Jalan Napas: Menurut The American Society of
Anesthesiology adalah adanya faktor-faktor klinis yang menyulitkan baik ventilasi dengan
masker atau intubasi dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dan terampil.
DIFFICULT VENTILATION
Difficult Ventilation / Kesulitan Ventilasi: Menurut The American Society of
Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang berpengalaman untuk menjaga
SO2 > 90 % saat ventilasi dengan menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan
ketentuan bahwa tingkat saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas normal.

Peniliaiaan Kesulitan Ventilasi Ingat : (OBESE)


Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
Beard
Elderly (> 55 tahun)
Snoring
Edentulous
Dua factors positif (+) Kemungkinan tinggi difficult mask ventilation (DMV) (sensitivity, 0.72;
specificity, 0.73)
Prediksi Score = Mendekati positf 5 (+5) maka kemungkinan adanya Difficult Mask Ventilation
(DMV)
DIFFICULT INTUBATION
Difficult intubation / Kesulitan Intubasi: Menurut The American Society of
Anesthesiology adalah dibutukkannya > 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir >
10 menit.
Penilaian Kesulitan Intubasi
Ingat: MAGBOUL 4 (M & Ms) score dengan tanda (STOP)
Mallampati
Measurement 3-3-2-1 OR 1-2-3-3 Fingers
Movement of the neck
Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology (P)& STOP

M = Mallampati
Class I = Visualisasi soft palate, fauces, uvula, pilar anterior dan posterior.
Class II = Visualisasi soft palate, fauces and uvula
Class III = Visualisasi soft palate dan base of the uvula
Class IV = Semua soft palate tidak terlihat

M = Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers


3 - Fingers Mouth Opening
3 - Fingers Hypomental Distance. 3 Fingers between the tip of the jaw and the
beginning of the neck (under the chin)
2 - Fingers between the thyroid notch and the floor of the mandible (top of the neck)
1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation
M = Movement of the Neck
Sudut diatara tegak dan memanjang pada ektensi leher "normal" adalah 35 o (The atlantooksipital/ A-O joint). Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis,
halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi
servikal.
Ms =Malformation of the skull, teeth, obstruction, pathology (STOP)
S = Skull (Hydro and Mikrocephalus)
T = Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro mandibula)
O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala and leher)
P = Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins, Goldenhars,
Pierre Robin, Waardenburg syndromes)
Jika skore pasien 8 atau lebih, maka kemungkinan ada kesulitan intubasi

1.
2.
3.

4.
5.

Persiapkan pada kesulitan Manajemen Airway :


Laryngoscope bilah kaku dengan beberapa alternatif desain dan ukuran dari yang biasa dipakai
orang-orang secara rutin.
Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa lubang tengah untuk
jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian
distal endotrakeal tube.
Peralatan Intubasi fiberoptik.
Peralatan Intubasi retrograd.

6.

Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet transtracheal
ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan combitube.
7. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya, cricothyrotomy).
Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).

Anda mungkin juga menyukai