Sinematografi Dua
Sinematografi Dua
Arti Cinematography
Cinematography terdiri dari dua suku kata Cinema dan graphy yang berasal dari bahasa
Yunani: Kinema, yang berarti gerakan dan graphoo yang berarti menulis. Jadi Cinematography
bisa diartikan menulis dengan gambar yang bergerak.
Di dalam kamus istilah TELETALK yang disusun oleh Peter Jarvis terbitan BBC Television
Training, Cinematography diartikan sebagai The craft of making picture (pengrajin gambar).
Sebagai pemahaman cinematography bisa diartikan kegiatan menulis yang menggunakan gambar
bergerak sebagai bahannya. Artinya dalam cinematography kita mempelajari bagaimana
membuat gambar bergerak, seperti apakah gambar-2 itu, bagaimana merangkai potongan2
gambar yang bergerak menjadi rangkaiaan gambar yang mampu menyampaikan maksud tertentu
atau menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan suatu ide tertentu.
1. Komunikasi
Dalam sinematografi, unsur visual merupakan alat utama dalam berkomunikasi. Maka
secara konkrit bahasa yang digunakan dalam cinematografi adalah suatu rangkaian beruntun dari
gambar bergerak yang dalam pembuatannya memperhatikan ketajaman gambar, corak
penggambarannya, memperhatikan seberapa lama gambar itu ditampilkan, iramanya dan
sebagainya yang kesemuanya merupakan alat komunikasi non verbal. Biarpun unsur-unsur yang
lain seperti, kwalitas cerita, editing, illustrasi musik, efek suara, dialog dan
permainannya prima sehingga dapat memperkuat nilai sebuah tayangan, tapi unsur penting yaitu
visualnya sangat buruk tentu akan mempengaruhi nilai keseluruhan.
Sebagaimana disampaikan di depan, sinematografi berarti menulis dengan gambar
bergerak. Setiap pembuatan program dengan menggunakan kinema/gambar yang bergerak, pada
hakekatnya adalah ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain/pemirsa; itu berarti pembuat
program ingin berkomunikasi dengan menggunakan audio visual kepada orang lain. Sesuatu
yang ingin dikomunikasikan itu bisa berupa ide atau perasaan yang erat hubungannya dengan
visi dan misi dari seorang pembuat program yang sudah dipelajari sebelumnya atau dapat pula
berupa sikap atau keberpihakan dari pembuat program terhadap suatu masalah, misalnya masalah
gender, kekerasan terhadap anak, perempuan dan perdamaian dsb. Dalam penyampaian ide atau
gagasan tersebut seorang pembuat program berharap kepada penonton atau audiens mendapatkan
pemahaman sama denga dirinya. Apabila hal tersebut terwujud maka terjadilah suatu proses
komunikasi yang baik. Dalam buku teori-teori komunikasi yang ditulis oleh B Aubrey Fisher,
dikutip definisi komunikasi yang baik dari Fotheringham bahwa komunikasi dapat dipandang
baik atau efektif apabila ide, tema, informasi dsb yang disampaikan dapat dipandang sama atau
mempunyai kesamaan bagi orang-orang yang terlibat dalam perilaku komunikasi. Berkaitan
dengan sinematografi, hal seperti yang disampaikan diatas perlu diperhatikan karena
menyampaikan sesuatu, ide, gagasan, informasi, tema dengan menggunakan gambar tentu
tidaklah semudah penyampaian dengan menggunakan tulisan. Sebagai contoh; seorang sutradara
ingin menampilkan suasana fajar di mana matahari belum muncul dan sinarnya masih tampak
redup. Untuk mengungkapkan suasana seperti itu dengan kata-kata barangkali tidaklah begitu
sulit, misalnya bisa ditulis; Suatu pagi kala matahari masih bermalas-malasan bangkit dari
peraduannya, Banu yang sedang tidur dengan lelap tiba-tiba terbangun dari tidurnya dikejutkan
oleh sauara yang keras yeng terdengar dari ruang disamping kamarnya.
Kiranya ungkapan seperti itu tidaklah terlalu mudah dilukiskan dengan audio visual.Seorang
sutradara audio visual tentu akan bertanya;
- Bagaimanakah memvisualisaikan suasana fajar pada tayangan audio visual?
- Berapa gambarkah yang dibutuhkan untuk melukiskannya?
- Dimanakah tempat yang bisa dipakai sebagai lokasi shooting?
- Siapakah yang akan menjadi pemerannya? Dsb.
- Persiapan teknik apa saja yang dibutuhkan.
2. Bahasa Audio Visual
Gambar adalah medium komunikasi non verbal. Dengan sebuah kamera, baik kamera
yang memakai film ataupun digital, baik yang diam (still photo) maupun yang bergerak (seluloid
atau video), bisa mengabadikan apa saja yang bisa kita lihat dalam kenyataan hidup sehari-hari
untuk dipindahkan menjadi gambar. Dengan demikian gambar yang kita rekam tersebut adalah
representasi dari sebuah realitas, namun bukan realitas itu sendiri karena realitas yang ada di
dalam gambar hasil rekaman itu hanyalah sebagian saja dari realitas yang lebih besar atau
realitasyang jauh lebih kaya dari pada realitas yang ada di dalam gambar. Selain itu realitas di
dalam gambar hanyalah realitas yang dua dimensi, sementara realitas yang sebenarnya adalah
tiga (3) dimensi.
Dengan peralatan rekaman baik kamera photo maupun kamera video, siapapun dia telah
melakukan pembatasan gerak dinamis dari realita dunia. Sementara itu, dunia selalu bergerak
dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari dan seterusnya. Dunia
yang sebenarnya tidak pernah sama. Oleh karena itu apa yang dilakukan dengan alat rekam
sebenarnya adalah perbuatan menghentikan gerak atau dinamika dunia.
Maka hasil rekaman itu, pada masa berikutnya sudah menjadi dokumen tentang masa lalu.
Misalnya; kita bisa menyaksikan suasana yogya pada tahun 1920, dengan melihat foto atau
rekaman gambar bergerak pada film yang di buat pada tahun itu.
Photo ataupun film (saat ini lebih banyak memakai video) adalah sebuah bentuk
komunikasi non verbal. Sebagai alat komunikasi tentu saja selalu ada pesan yang ingin
diekspresikan oleh seorang fotografer atau seorang sinematografer. Itu berarti hasil karya foto
ataupun karya sinematografi sangat ditentukan oleh pembuatnya. Apa yang masuk dan apa yang
tidak masuk di dalam bingkai atau frame ditentukan oleh kameramennya.
Seorang kameramen, sebagaimana manusia pada umumnya melihat kehidupan nyata ini
secara selektif. Apa yang dilihatnya adalah yang memang diinginkan untuk dilihat. Secara
subyektif ia memilih apa yang ingin dilihat. Kamera tidak dapat demikian. Kamera akan melihat
semua yang terdapat di depannya.
Kamera adalah perpanjangan mata seorang kameramen. Subyektifitas seorang
kameramen dalam melihat realitas sebuah realitas diekspresikan melaluai kamera. Dengan
berbagai teknik, seorang kameramen mengontrol subyek atau obyek agar menimbulkan tertentu
supaya apa yang dimaksudkannya bisa ditangkap dan dipahami oleh orang yang melihat hasil
rekaman itu.
Untuk memahami makna yang terkandung di dalam gambar hasil rekaman (baik foto
maupun video) tidaklah mudah. Kendatipun seseorang merasa mengerti tentang sesuatu yang
terdapat di dalam gambar, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dipahami. Karena itu, sebuah
gambar menjadi sangat tergantung kepada siapa yang menginterpretasikan. Penonton yang
melihat gambar tertentu akan menginterpretasikan gambar tersebut menurut pikirannya yang
didasari oleh pengalaman hidupnya atau pola pikirnya hingga mempunyai kesan tertentu..
Dengan demikian penonton juga subyektif.
Untuk mengarahkan penonton memahami suatu maksud, seorang kameramen perlu
mengontrol subyek yang ada dengan memanfaatkan semua elemen-elemen fotografis seperti
garis, bentuk-bentuk, bayangan, kontras, warna, angle, gerakan, komposisi., simbol-simbol
visual lain , untuk memunculkan suatu kesan tertentu. Kameramen menangkap sebuah realitas
menurut sudut pandangnya dan kemudian memperlihathannya kepada penonton. Kemudian
penonton mencoba mengerti atau memahami berdasarkan pengalamannya.
Sebagai contoh; di suatu tempat terjadi bentrokkan fisik antara sekelompok mahasiswa
yang sedang berdemonstrasi dengan sekelompok polisi. Andaikan saja kita ingin menyajikan
peristiwa tersebut kepada penonton televisi dengan merekamnya dalam format MSL (medium
long shot) yang memperlihatkan hampir seluruh kejadian tersebut selama 2 menit. Dari rekaman
tersebut meskipun banyak orang mengerti apa isinya, namun masih banyak juga informasi yang
tidak bisa diketahui. Barangkali muncul pertanyaan-pertanyaan apa penyebabnya? Siapa yang
memulai?, Berapa korbanya? dan sebagainya. Kemudian berdasarkan pengalaman hidup masingmasing, penpnton akan mencoba memahami rekaman tersebut dengan pikirannya. Bagi mereka
yang mempunyai pengalaman buruk terhadap mahasiswa akan mengatakan bahwa mahasiswa
anarkis. Sedangkan yang mempunyai pengalaman buruk terhadap polisi akan mengatakan polisi
represif dan kejam. Atau barangkali juga akan ada yang mengatakan kedua-duanya brutal.
Berdasarkan realitas di atas, seorang kameramen bisa menyampaikan pesan berdasarkan
sudut pandangnya. Jika ia ingin menyampaikan pesan bahwa polisi itu memang kejam. Maka
dengan teknik fotografi seperti angle, framing, komposisi dan sebagainya ia akan lebih banyak
memunculkan bagian-bagian peristiwa yang menunjukkan kekejaman polisi dan tidak
mengambil sudut pandang yang bisa menampakkan di bagian lain di mana mahasiswa sedang
melempar bom molotov dan mengenai polisi hingga terbakar. Maka penonton yang menyaksikan
rekaman tersebut pasti akan membangkitkan kebencian mereka terhadap polisi. Demikian juga
sebaliknya kalau kamera lebih banyak diarahkan pada aksi mahasiswa yang anarkis kesan
penonton tentu saja berbeda.
Belajar membaca (menganalisa) gambar untuk belajar menulis dengan gambar.
Kamera foto maupun video adalah media rekam. Untuk menyampaikan pesan, pikiran,
maksud, informasi dan sebagainya, seorang kameramen harus mampu menuliskan apa yang
ingin disampaikan ke dalam gambar dengan menggunakan elemen-elemen visual agar penonton
bisa membaca dan kemudian mengerti maksudnya. Agar bisa menulis dengan baik
seyogyanya mengerti lebih dahulu bagaimana membaca gambar. Untuk mempertajam kejelian
dan membiasakan diri berfikir secara visual baik kiranya berlatih menganalisis berbagai gambar
karya orang lain terutama gambar-gambar karya kameramen ternama. Salah satu cara
menganalisis gambar adalah dengan melalkukan 3 langkah yaitu; Inventarisasi, diskripsi dan
verbalisasi.
1. INVENTARISASI
Apabila melihat gambar, semua orang tentu mengerti tentang yang dilihatnya.
Kemudian lakukanlah pengamatan secara seksama seluruh elemen-elemen yang ada
di dalam gambar. Di dalam gambar barangkali terdapat orang, bunga, pohon, gunung,
langit, mobil, rumah dan sebagainya bahkan mungkin pula terkandung unsur-unsur
garis, bentuk, kegelapan, terang, watrna dan sebagainya. Coba rasakan beberapa
elemen sering menyiratkan sesuatu. Misalnya bunga alang-alang bisa jadi
menyiratkan keliaran atau kebebasan. Warna biru memberi kesan dingin dan warna
merah memberi kesan panas. Garis diagonal untuk jalan memberikesan dinamis dan
masih banyak lagi elemen-elemen gambar yang mempunyai makna dan arti sendirisendiri.
2. DISKRIPSI.
Pada tahap ini pembaca hendaknya mengamati relasi dari semua elemen-elemen
yang ada. Apakah hubungan antar elemen-elemen memberi kesan tertentu? Apakah
yang dominan? Apakah yng kurang dominan? Apakah terdapat kontras? Manakah
figur utama? Manakah ground? Dan sebagainya. Di dalam langkah ini barangkali
mendapatkan mood atau atmosfir dari keseluruhan gambar.
3. VERBALISASI.
Dari data-data yang didapatkan pada langkah 1 dan 2, kemudian dicari apa yang ingin
dikatakan dari gambar tersebut.
Dengan selalu membuat semacam evaluasi dan menganalisis setiap melihat gambar,
kepekaan terhadap gambar akan semakin terlatih. Dengan demikian pada saatnya
menjadi mudah apabila ingin mengkomunikasikan secara visual ide-ide dengan
menggunakan gambar dan gambar yang diciptakan menjadi komunikatif.
Untuk melakukan rekaman gambar, sebelum memutuskan untuk menekan tombol record,
sebaiknya kameramen melakukan analisis terlebih dahulu apa yang terlihat melalui view finder,
dengan mengingat langkah-langkah analisis gambar secara terbalik, yaitu; Verbalisasi, Diskripsi
dan Inventarisasi. Kameramen hendaknya mempertimbangkan dahulu apa yang ingin
disampaikan (Verbalisasi). Kemudian untuk menuliskan ide, apakah ada bagian dari elemenelemen gambar yang perlu ditonjolkan?, Apakah yang akan menjadi Ground dan Apakah yang
akan menjadi Figur? (Diskripsi) Dan selanjutnya, melalui View Finder analisislah apa saja
elemen-elemen gambar yang bisa memperkuat kesan (Inventarisasi). Dan setelah itu
ditentukanlah bagaimana Anglenya, Bagaimana pembingkaiannya? (Framing), Bagaimana Close
Upnya, komposisinya dsb.
Bahasa Tulis
1. Berupa alphabeth ( symbol)
2. Berkenaan dengan mata
3. Merangsang otak kiri, fungsi kognitif, data,
logika dsb
4. Menciptakan individualisme dan lapisan kelas
seperti kelompok elit dsb
5. Menciptakan delatail detail yang bersifat
inofatif
Bahasa adalah alat ekspresi, representasi dan komunikasi. Melalui bahasa kita bisa
mengungkapkan gagasan dan isi hati kita, kita bisa menyampaikan data dan fakta, bisa
menciptakan komunikasi dengan orang lain. Bahasa verbal terdiri dari bunyi dan kata kata
yang ditangkap dengan telinga ( auditif ), sedangkan bahasa televisi/film yang berupa
gambar gambar ditangkap dengan mata ( visual). Untuk menguasai bahasa televisi/film
kita harus mempelajari kata katanya, susunan kalimatnya, idiom idiomnya dan tata
bahasanya. Hal tersebut meliputi makna masing masing gambar ( frame ), hubungan frame
yang satu dengan frame yang lain ( shot ), shot yang satu dengan shot yang lain ( scene ) dan
scene yang satu dengan scene yang lain ( sequence ). Frame adalah satuan gambar
televisi/film. Gambar televisi tidak diambil secara serampangan. Gambar bukanlah sekedar
sajian obyek obyek yang berhasil terekam, tetapi benda atau obyek itu sudah mempunyai
kesan atau berkata sesuatu. Apabila direkam tentu akan menghasilkan gambar yang
memberi kesan dan berkata sesuatu pula. Gambar seorang anak kecil yang tertawa akan
memberi kesan gembira kepada kita. Sebaliknya gambar luka yang dikerumuni lalat akan
membuat kita merasa ngeri.
shot diatur menurut aturan tertentu itu, penonton yang melihatnya akan bisa mengartikannya.
Penonton akan mampu membaca dan menafsirkan apa yang mau diungkapkan oleh kalimat
tertentu itu.
SCENE (ADEGAN) ALINEA DALAM BAHASA TELEVISI
Untuk menjadi sebuah alinea, kalimat-kalimat harus disusun menurut aturan logis tertentu yang
akan menghasilkan pula suatu gaya tersendiri: gaya cerita, renungan, memikir atau sekedar
asosiasi belaka. Gaya ceritera dipakai bila orang mau menyampaikan fakta atau data menurut apa
adanya. Gaya renungan dipakai bila mau melihat suatu fakta atau data secara lebih mendalam.
Gaya memikir bila orang mau mencari sebab akibat dari satu peristiwa, untuk akhirnya bisa
menarik suatu kesimpulan. Gaya asosiasi bila beberapa fakta atau data sekedar disampaikan saja,
terserah kepada orang yang menonton untuk menghubung-hubungkannya. Dalam film ceritera,
kita bisa memakai semua gaya itu secara lebih efektif. Gaya asosiasi misalnya dipakai dalam
ceritera, hasilnya lebih meyakinkan daripada novel. Adegan dalam sebuah lamunan atau impian
dipertunjukkan dengan gaya asosiasi, dimana shot yang satu dihubungkan begitu saja dengan
shot yang lain, akan lekas ditangkap oleh penonton. Seperti orang melamun atau mimpi tidak
selalu mengikuti garis ceritera yang lurus, lamunan atau impian bisa dilukiskan dengan shot-shot
yang tidak teratur.
Untuk membuat suatu scene, shot-shot dihubungkan satu dengan yang lain. Sebuah scene yang
klasik disusun mulai dengan sebuah long shot, dilanjutkan dengan sebuah close up dan diakhiri
dengan sebuah long shot lagi atau cut away. Tetapi kebiasaan ini sekarang sudah tidak lagi ditaati
secara ketat. Yang tetap dipertahankan orang dalam membuat scene, bukan lagi shot-shotnya,
tetapi arti scene itu sendiri. Ada yang perlu dalam sebuah scene adalah sebuah adegan atau action
yang dipandang dari beberapa sudut kamera. Misalnya sebuah scene mengenai perkelahian,
maka kita akan melihat perkelahian itu dari sudut kiri dan sudut kanan, dari lawan yang satu ke
lawan yang lain.
Ada bermacam transisi untuk menyusun shot-shot menjadi scene: cut, dissolve, fade in, fade out,
wipe. Transisi-transisi ini bisa dipakai untuk menunjukkan hubungan peristiwa, pergantian waktu
atau tempat.
CUT
: Cut adalah perpindahan atau pergantian langsung dari satu shot yang satu ke
shot yang lain.
Cut mempunyai fungsi untuk:
* kesinambungan action, apabila dalam pengambilan gambar kamera tidak
mampu lagi mengikuti suatu action karena terhalang obyek lain misalnya,
gambar di cut kemudian disambung ke shot lain dengan camera angle yang
berbeda yang menyajikan kesinambungan dari shot sebelumnya.
* Detail obyek, misalnya dengan long shot kita sajikan seseorang yang sedang
membaca koran. Untuk membantu penonton melihat berita apa yang sedang
dibaca, gambar terdahulu bisa di cut kemudian disambung shot berikutnya
berupa Closed Up dari judul berita yang dibacanya.
* Perubahan tempat dan waktu, misalnya cut dari interior ke exterior. Atau Cut
dari adegan yang sedang terjadi ke Flash back (kejadian yang sudah berlalu).
* Menciptakan irama kejadian, misalnya dengan Fast Cutting yaitu cut to cut
secara cepat yang menciptakan kesan tegang. Dengan Slow cutting, memberi
kesan lamban dan tenang.
DISSOLVE : Dissolved adalah perpindahan gambar secara tumpang tindih dari akhir
suatu shot dengan awal dari shot berikutnya.
Pada umumnya dissolved digunakan untuk jembatan penghubung atau transisi
antara dua shot yang berbeda waktu, tempat, kejadian, action dan sebagainya.
FADE
: Fading adalah efek optik yang digunakan untuk keperluan transisi, di mana
Gambar berubah secara berangsur-angsur menjadi gelap (fade out) atau dari gelap
perlahan-lahan m,enjadi nampak gambarnya.
WIPE
: Wipe adalah efek optik yang berfungsi sebagai transisi dari adegan ke adegan
Pada layar tampak semacam garis menghapus gambar yabg terdahulu, sementara
gambar adegan berikutnya mulai muncul mengikuti garis tersebut.
SEQUENCE (BABAK) BAB DALAM BAHASA TELEVISI
Kalau scene-scene itu disusun menjadi satu kesatuan, kita akan mendapatkan sebuah sequence.
Dalam suatu sequence kita memperoleh mood atau suatu kejadian utuh. Misalnya sebuah
sequence tentang pengejaran seorang penjahat. Kita lihat dalam sequence itu, seorang penjahat
yang lari melalui jalan raya, terminal bis, jembatan, sungai, hutan dan di belakangnya ada banyak
polisi yang mengejarnya beserta anjing-anjing pelacak sampai pengejaran itu berakhir entah
penjahat itu tertangkap entah tidak. Bila penjahat itu tertangkap, sequence berikutnya mungkin
sequence di pengadilan: kalau tidak tertangkap, sequence berikutnya penjahat itu bertemu
dengan teman-temannya.
Sebuah sequence biasanya terdiri dari scene-scene pendahuluan, tengah dan akhir yang
kemudian disambung oleh sequence lain dengan struktur yang sama. Berdasarkan kepandaian
mempergunakan jenis-jenis hubungan (transisi) shot-shot menjadi scene, dari scene-scene
menjadi sequence itu, suatu ceritera film akan menunjukkan gaya tersendiri. Dengan gaya yang
khusus itu kita mengenal film-film romantis, dramatis, komedis atau tragis.
Untuk bisa menangkap arti dan maksud gambar-gambar televisi yang dipertunjukkan, kita harus
mengerti dan menguasai cara-cara televisi mengungkapkan maksud dan artinya. Kita harus bisa
membaca bahasa televisi dan segala idiom-idiomnya. Untuk ini perlu latihan. Mempelajari
bahasa televisi kiranya lebih mudah daripada bahasa asing, sebab bahasa televisi jauh lebih jelas
dan lebih konkrit. Cara-cara pengambilan gambar-gambar, penyusunan gambar-gambar (shotshot) menjadi scene, penyusunan scene-scene menjadi
sequence, penyusunan sequencesequence menjadi satu cerita yang utuh, kebanyakan telah menjadi aturan yang baku dan
merupakan konvensi. Hal ini kiranya tak mungkin dihindari. Bagaimanapun juga setiap orang
yang ingin berkomunikasi menggunakan audio visual, akan terikat oleh alat-alat atau saranasarana produksi yang ada dan akan terbatasi oleh kemampuan kamera, sound, lighting, setting,
dan sebagainya yang meskipun mempunyai banyak variasi serta kemungkinan eksplorasi, namun
tetap terbatas.
Berikut ini akan diuraikan 5 prinsip yang perlu diperhatikan agar pengambilan gambar yang akan
dilakukan mempunyai nuansa sinematik yang oleh Joseph V. Mascelli A.S.C sebagai prinsip 5 C,
yaitu;
1. Camera Angle
peristiwa. Ada tiga faktor yang menentukan angle kamera, yaitu ukuran subyek, angle dari
subyek, dan tinggi kamera. Sudut pandang (angle) kamera adalah sudut pandang penonton. Mata
kamera adalah mata penonton. Sudut pandang kamera mewakili mata penonton. Penempatan
kamera menentukan sudut pandang penonton dan wilayah yang diliput pada suatu shot.
Untuk menetapkan posisi kamera, ada dua pertanyaan yang harus dijawab: Yang pertama sudut
pandang terbaik untuk pengambilan suatu adegan dan yang kedua seberapa luas/banyak wilayah
yang harus diambil.
Pemilihan sudut pandang kamera dengan tepat akan mempertinggi visualisasi dramatik dari
suatu cerita. Sebaliknya jika pengambilan sudut padang kamera dilakukan dengan serabutan bisa
merusak dan membingungkan penonton, karena makna bisa jadi tidak tertangkap dan sulit
dipahami. Oleh karena itu penentuan sudut pandang kamera menjadi faktor yang sangat penting
dalam membangun cerita yang berkesinambungan.
Dalam skenario sering kali tidak ada tuntunan sudut pandang kamera yang harus diambil. Di
sinilah peran Sutradara dan penata kamera untuk menentukan sudut pandang kamera. Penata
kamera (Director of Photography) menjadi penentu/kata putus tentang sudut padang kamera atas
dasar kemauan sutradara.
Ada sutradara yang menyerahkan begitu saja keputusannya pada Penata Kamera.
Ada juga sutradara yang bekerja dengan erat dan selalu berdiskusi dengan Penata Kamera
tentang pengambilan sudut pandang kamera.
Untuk sebuah film non cerita (dokumenter), dimana juru kamera bekerja sendiri, maka kata
putus pengambilan sudut pandang kamera menjadi tanggung jawab yang sangat besar bagi
juru kamera. Dalam konteks ini pengalaman, pengetahuan akan suatu permasalahan dan
imajinasi visual dari Juru Kamera akan sangat mempengaruhi pengambilan sudut padang
kamera.
Penentuan sudut pandang kamera juga bisa dilakukan oleh Production Designer dengan
membuat Story Board yang mengindikasikan sudut pandang kamera yang akan diambil.
Film merupakan rangkaian cerita dari berbagai titik pandang. Penonton bisa ditempatkan dimana
saja, melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, misalnya:
Penonton bisa melihat lebih dekat bagian yang penting dalam suatu adegan dengan Close Up
Besar (CU).
Bisa lebih jauh untuk melihat pemandangan yang lebih luas dan menarik (LS).
Lebih tinggi untuk melihat ke bawah pada proyek bangunan yang luas (HA).
Lebih rendah untuk melihat wajah hakim di meja sidang (LA).
Memindahkan dari sudut pandang satu pemain ke pemain lain ketika ada perubahan dalam
tekanan dramatik.
Berjalan di sisi penunggang kuda yang sedang kencang berlari (Camera Track).
Bergerak ke dalam adegan dramatik (Zoom in).
Bergerak menjauh meninggalkan tata tempat yang menggambarkan kematian dan kerusakan
(Zoom out)
Melihat dunia yang kecil-kecil tidak nampak (ELS).
Meninjau bumi dari satelit di orbitnya ( Camera Track).
Angle kamera obyektif: kamera dari sudut pandang penonton outsider, tidak dari sudut
pandang pemain tertentu. Angle kamera obyektif tidak mewakili siapapun. Penonton tidak
dilibatkan, dan pemain tidak merasa ada kamera, tidak merasa ada yang melihat.
Angle kamera subyektif: Kamera dari sudut pandang penonton yang dilibatkan, misalnya
melihat ke penonton. Atau dari sudut pandang pemain lain, misalnya film horor. Angle
kamera subyektif dilakukan dengan beberapa cara:
1. Kamera berlaku sebagai mata penonton untuk menempatkan mereka dalam adegan,
misalnya: kamera di jet coaster, di kendaraan kecepatan tinggi, di pesawat, di arus jeram,
atau jatuh dr ketinggian tertentu. Penonton diajak terlibat mengalami kejadian itu sendiri.
Efek dramatik bisa dirasakan penonton.
2. Kamera berganti-ganti tempat dengan seseorang yang berada dalam gambar. Penonton
bisa menyaksikan suatu hal atau kejadian melalui mata pemain tertentu. Penonton akan
mengalami sensasi yang sama dengan pemain tertentu. Jika sebuah kejadian disambung
dengan close up seseorang yang memandang ke luar layar, akan memberi kesan penonton
sedang menyaksikan apa yang disaksikan oleh pemain yang memandang ke luar layar
tersebut.
3. Kamera bertindak sebagai mata dari penonton yang tidak kelihatan. Seperti presenter
yang menyapa pemirsa dengan memandang langsung ke kamera. Relasi pribadi dengan
penonton bisa dibangun dengan cara seperti ini.
Angle kamera point of view: gabungan antara obyektif dan subyektif. Angle kamera p.o.v
diambil sedekat shot obyektif dalam kemampuan meng-approach sebuah shot subyektif, dan
tetap obyektif. Kamera ditempatkan pada sisi pemain subyektif, sehingga memberi kesan
penonton beradu pipi dengan pemain yang di luar layar. Contoh paling jelas adalah
mengambil close up pemain yang menghadap ke pemain di luar layar dan sebelumnya
didahului dengan Over Shoulder Shot.
Ukuran Subyek
Seorang juru kamera bisa bermain dengan jarak antara subyek dan kamera, bisa dengan panjang
focal kamera, bisa juga dengan panning atau gerak kamera, yang kesemuanya mempengaruhi
ukuran subyek.
Extreme Long Shot (ELS):
Sebuah Extreme Long Shot menggambarkan wilayah luas dari jarak yang sangat jauh.
Biasa digunakan untuk menggambarkan pemandangan yang sangat hebat dan luas dan
memberi kesan kuat pada penontonnya terhadap pemandangan tersebut.
Bisa diambil secara static untuk menggambarkan peta dari suatu lokasi.
Bisa diambil dengan panning untuk meningkatkan keingintahuan, atau menampilkan lebih
banyak hal dari setting atau suatu kejadian.
Pembuatan ELS yang terbaik biasanya dari tempat yang tinggi.
Bisa juga untuk menggambarkan massa yang cukup banyak sedang bergerak, misalnya demo
mahasiswa yang cukup banyak dan panjang di sebuah area yang sangat luas.
Bagus sebagai pembuka sebuah film atau scene untuk membangun mood penonton
sebelum berkenalan dengan tokoh dan detail kejadian dan ceritanya. Shot ini juga sering
digunakan untuk menangkap perhatian penonton sejak awal.
Close up penuh diambil dari bawah bibir sampai sedikit di atas mata. Ada juga yang
menyebut Extrim Close Up (ECU), sering hanya satu bagian saja dan sangat dekat.
Insert
Sering disebut shot sisipan.
Sering diambil setelah shooting dari filmnya sendiri telah selesai.
Jika terkait dengan kejadian harus diingat posisi obyek yang diinsert dan hal-hal lain yang
kelihatan, supaya tidak terjadi suatu jumping atau loncatan yang bisa mengganggu
penonton.
Shot-shot Deskriptif
Pan Shot: Sebuah shot bergerak dimana kamera berputar di atas poros vertikalnya mengikuti
action. Berputar di atas poros, bergerak ke kanan atau ke kiri, disebut pan kanan atau pan
kiri. Bergerak di atas poros ke atas atau ke bawah, disebut Tilt up atau Tilt Down.
Track shot: Sebuah shot bergerak dimana kamera ikut bergerak. Bergerak maju disebut Track
in. Bergerak mundur disebut Track out. Bisa dibuat dengan dolly untuk bergerak datar.
Bisa juga dengan crane untuk bergerak naik atau turun, kiri atau kanan, mendekat atau
menjauh.
Follow Shot: Kamera merekam sambil bergerak mengikuti para pemain.
Low Shot: Kamera ditata dengan angle menengadah ke arah subyek.
High Shot: Kamera ditata dengan angle memandang ke bawah.
Cut in Shot: Shot yang langsung cut ke bagian dari adegan sebelum ini.
Cut away Shot: Shot yang langsung cut ke beberapa hal yang ada di sekitar kejadian.
Reaction Shot: Shot dari reaksi seorang pemain terhadap pemain lainnya.
Two Shot, Three Shot, Group Shot: Shot yang dibuat menurut jumlah subyek.
Angle Subyek
Tiap subyek pada intinya adalah tiga dimensi yang memiliki panjang, lebar, dan tinggi, atau luas,
tinggi, dan dalam. Gambar yang baik harus menunjukkan sifat tiga dimensi ini. Gambar menjadi
tidak terlalu menarik jika hanya tampak datar saja, atau sering disebut flat atau profile,
karena kedalaman subyek menjadi tidak tampak (kecuali itu menjadi tuntutan cerita). Ada
beberapa tips yang bisa dipakai:
Tampilkan jangan hanya satu sisi permukaan, tetapi dua sisi permukaan atau lebih, dengan
demikian kedalaman subyek akan tampak.
Posisi kamera 45 derajat terhadap subyek. Angle ini juga sering disebut sebagai angle tiga
per empat
Komposisi diagonal mungkin akan memberi kesan lebih dinamis.
Tentu saja kedalaman subyek juga dibangun dengan penataan cahaya yang baik, gerakan kamera atau gerakan
pemain, tumpang tindih materi subyek, perspektif garis dan ruang, dan juga tentu pemanfaatan lensa kamera
dengan focal lenghtnya.
Tinggi Kamera
Merekam gambar dari level mata subyek. Eye level akan merekam sebuah setting dimana
garis-garis vertikal akan lurus dan tidak akan saling bertemu.
Eye level akan merekam gambar yang memberi kesan biasa, apa adanya, umum, tidak terlalu
dramatik seperti high angle atau low angle
Untuk kamera obyektif, dalam membuat close up seseorang (dimana tidak ada tuntutan cerita
yang dramatik) sebaiknya menggunakan eye level sehingga penonton melihat orang tersebut
atas dasar mata dengan mata. Dari sini kedekatan dengan penonton ingin dibangun.
Keyakinan orang juga sering tampak pada matanya.
Orang berdiri atau duduk, kamera harus menyesuaikan dengan level mata subyek.
Juru kamera harus mengambil level mata si subyek, bukan dirinya sendiri.
Close up point of view harus diambil dari level lawan mainnya, jika tinggi pemain berbeda,
misalnya seorang dewasa sedang berbicara dengan seorang anak yang pendek, atau seorang
yang berdiri berbicara dengan seorang yang duduk.
Kamera untuk presenter harus level mata dengan mata, jika tidak subyek terpaksa harus
menengadah atau tunduk dan terjadi hubungan yang ganjil dengan penonton.
Meskipun demikian tetap bisa membuat koreksi-koreksi tertentu yang membuat seseorang
lebih menarik. Jika ada seseorang yang hidungnya agak menengadah, kamera bisa diambil
sedikit lebih tinggi.
High Angle
Shot yang diambil dengan kamera diarahkan ke bawah untuk menangkap subyek.
High Angle bisa dipakai dengan alasan estetika, teknis, atau psikologis.
Bisa digunakan untuk menangkap action secara menyeluruh dengan kedalamannya dan tetap
terjaga ketajamannya. Kamera High Angle ini akan menarik untuk mengikuti sebuah
rombongan besar yang berjalan ke suatu arah. Kamera bisa mengikuti dari satu ujung ke
ujung yang lainnya dengan ketajaman yang sama.
Menarik untuk melihat pemandangan yang luas dari atas, seperti melihat sebuah peta.
Bisa untuk memberi kesan tinggi dengan kamera subyektif atau point of view. Bisa juga
untuk mengecilkan subyek lain.
Memberi kesan lamban untuk sebuah obyek yang mendekat atau menjauh dari kamera
dibandingkan dengan kesan shot eye level yang melintas di depan layar.
Bagus digunakan untuk pengenalan cerita, mensuplay keindahan gambar, dan pengaruh
reaksi penonton.
Low Angle
Shot yang diambil dengan kamera diarahkan ke atas (menengadah) untuk menangkap
subyek.
Untuk merangsang rasa kagum atau kegairahan. Misalnya untuk simbol-simbol keagamaan,
tokoh-tokoh penting dan berkuasa, karena menempatkan penonton pada posisi kerendahan.
Meningkatkan ketinggian atau kecepatan subyek. Penting untuk pemain yang memandang ke
atas pada lawan mainnya (shot point of view). Ada ikatan emosional antara penonton dan
pemain yang dalam posisi rendah. Bisa juga untuk pemain utama berdiri lebih ke depan
dibanding yang lain, dengan low angle kesan akan lebih kuat.
Mengurangi foreground yang tidak disukai.
Menurunkan cakrawala dan menyusutkan latar belakang.
Mendistorsikan garis-garis komposisi dan menciptakan perspektif yang lebih kuat. Ini juga
dimaksudkan dengan menambah ketinggian yang lebih kuat, misalnya kamera merekam
gedung-gedung yang tinggi dengan low angle, kesan ketinggian akan semakin kuat.
Menempatkan pemain atau obyek dengan latar belakang langit. Latar belakang langit atau
hilangnya garis cakrawala atau sesuatu yang tidak terlalu dikenal akan memudahkan untuk
membuat cut away. Background langit akan aman, kamera bisa membuat cut away apa
saja.
Mengintesifkan dampak dramatik.
Angle-Plus-Angle
Angle ganda dimana kamera tidak hanya mengambil angle normal atau high angle atau low
angle saja, tetapi memperhitungkan kekayaan dimensi sebuah obyek. Misalnya sebuah
gedung bertingkat direkam dari posisi kamera tiga perempat dan high angle. Kekayaan
dimensinya menjadi lebih kuat.
Hindari kesan datar atau flat. Posisi-posisi tiga per empat atau diagonal akan memberi kesan
lebih menarik.
Misalnya ada back ground dan pemain. Back ground harus diambil dari posisi yang
menampilkan perspektifnya, sementara kamera dengan posisi rendah akan membuat pemain
bergerak tampak lebih besar.
Angle kamera miring dimana poros vertikal dari kamera membentuk sudut terhadap poros
vertikal dari subyek. Angle ini akan menghasilkan gambar miring pada layar. Secara
sederhana kamera dimiringkan.
Digunakan untuk adegan-adegan yang membutuhkan efek kengerian, kekerasan, tidak stabil,
impresionistik. Orang yang sedang dalam kondisi tidak stabil dan emosional bisa
menggunakan shot-shot semacam ini.
Suasana kacau, panik, juga bisa menggunakan angle-angle semacam ini.
Juga bisa untuk memberi tekanan pada perjalanan waktu dengan shot kilat jam dinding,
penanggalan, kaki berjalan, roda berputar, dll.
Kamera miring jangan hanya bergeser sedikit saja dari level, karena akan dikira kesalahan
yang tidak disengaja. Kesengajaan atau alasan pemakaian harus jelas.
Sudut kemiringan sangatlah penting. Miring ke kanan memberi kesan aktif, kuat, sementara
miring ke kiri memberi kesan statis, lemah. Jika kamera dimiringkan bawah kiri menuju
kanan atas memberi kesan pendakian. Sebaliknya jika kamera dimiringkan atas kiri menuju
bawah kanan akan memberi kesan penurunan.
Area yang direkam menentukan ukuran gambar, misalnya Long shot tentu lebih luas areanya dari
pada Close up.
Shot-shot progresif atau regresif, secara berurutan memunculkan Long Shot, Medium Shot,
Close up. Atau sebaliknya pada shot-shot regresif.
Shot-shot contras menggunakan dua ukuran gambar yang berbeda, misalnya Long shot
dengan Close Up.
Shot-shot repetisi menggunakan serangkaian gambar yang berukuran sama
Titik Pandang
Angle Progresif atau regresif, dari high angle, eye level, dan low angle. Dan juga sebaliknya.
Angle contrast, jika shot high angle disambung dengan shot low angle, atau dari angle dari
sisi bahu disambung dengan shot dari depan.
Angle repetisi, berulang-ulang menggunakan angle yang sama untuk obyek yang sama atau
obyek yang berlainan.
Pada intinya perubahan harus jelas, jangan samar-samar, harus memang sesuai yang
dimaksudkan.
Untuk angle progresif atau regresif, jika terjadi perubahan angle sedikit saja akan terasa
seperti bergeser. Atau ukuran shot berubah tetapi hanya sedikit, akan tampak subyek seperti
membesar atau mengecil.
Untuk kontras pun juga harus jelas betul
Untuk pengulangan ukuran shot diusahakan sama, meskipun dari angle yang berbeda-beda.
Menggambarkan Action
Pemilihan anggle kamera untuk tiap shot adalah ditentukan oleh bagaimana pemain atau
action harus digambarkan pada waktu tertentu. Maka keseluruhan action harus dipilah-pilah
terlebih dahulu untuk menentukan macam shot yang dibutuhkan.
Mengubah angle kamera atau lensa atau keduanya sebaiknya pada saat kamera berhenti
merekam rangkaian shot yang berkesinambungan.
Menggunakan angle kamera dan lensa yang sama pada shot-shot yang berurutan akan
menghasilkan jump cut yang semrawut.
Perubahan ukuran gambar dan sudut pandang harus jelas.
Menggerakkan kamera dengan lensa yang sama akan lebih baik daripada mengganti lensa
dari posisi kamera yang sama.
Persyaratan Scene:
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk membangun scene yang baik:
Faktor Estetika:
Perlu memperhatikan aspek komposisi dari pemain, properti, setting, dll. Perlu disesuaikan
dengan gerakan para pemain atau action yang akan terjadi.
Perlu mempertimbangkan background-foreground. Angle-plus-angle sebaiknya dipakai untuk
selalu menampakkan unsur tiga dimensi
Background perlu dipertimbangkan dengan action yang menjadi latar depan.
Faktor-Faktor Teknis:
Kesulitan teknis terkait dengan peralatan terutama untuk film-film non cerita harus
diperhitungkan. Di tempat-tempat yang sulit untuk mendapatkan semua peralatan itu,
bagaimana juru kamera bisa berkompromi dengan peralatan dan kondisi yang tersedia.
Faktor-Faktor Psikologis:
Penempatan kamera bisa mempengaruhi penonton secara emosional. Penonton bisa
dijauhkan ataupun didekatkan pada kejadian atau tokoh. Shot-shot dekat bisa lebih
melibatkan penonton pada action. Shot-shot subyektif melukiskan adegan sebagaimana
pemain melihatnya.
Penggunaan film secara psikologis adalah mempengaruhi penonton agar beraksi menurut
suasana hati yang diinginkan. Inilah fungsi menjual, mendidik, menghibur, dll. Penempatan
kamera disesuaikan dengan pengaruh yang diinginkan terhadap penonton.
Faktor-Faktor Dramatik:
Cerita yang dramatik atau adegan yang sudah dramatik sering kali justru tidak perlu dengan
angle-angle kamera yang bermacam-macam, karena kekuatan dramatiknya sudah ada dalam
cerita atau adegan itu sendiri. Jangan sampai justru penonton menjadi terganggu karena sadar
akan adanya kamera.
Faktor-Faktor Editorial:
Shot-shot kamera harus dipikirkan dalam konsep editingnya, apalagi jika dalam skenario
tidak ada tuntunan shot-shot secara detail. Seorang juru kamera harus menterjemahkan shotshot tunggal dalam konsep editing.
Faktor-Faktor Alami:
Shooting outdoor perlu mempertimbangkan arah matahari untuk medapatkan warna terbaik.
Perhatikan juga soal back light, kecuali jika menjadi tuntutan cerita. Background juga perlu
menjadi pertimbangan untuk mengambil yang terbaik, karena kita tidak bisa mengatur alam.
Sejauh mana kompromi-kompromi bisa dilakukan?
Faktor-Faktor Fisik:
Seperti faktor alam, faktor fisik juga perlu diperhatikan. Dalam film dokumenter juru kamera
harus mengambil apa adanya seperti misalnya ruangan yang sempit, warna yang apa adanya,
tidak mungkin dirubah, atau sebuah alat yang tidak boleh dirusak hanya untuk keperluan
pembuatan film. Bagaimanakah keterbatasan-keterbatasan ini harus dikompromikan?
2. Continuity
Pada intinya Film adalah sebuah continuity. Sebuah film harus menampilkan urutan gambar yang
berkesinambungan, lancar, mengalir secara logis. Inilah aspek continuity sebuah film. Sebuah
film, baik sebuah rekaman kenyataan atau sebuah fiksi, harus memberikan kepada penontonnya
sebuah realitas kehidupan yang nyata. Sekalipun sebuah film yang sangat fiksi harus mampu
ditampilkan seolah-olah suatu dunia yang nyata, sebuah reproduksi kehidupan yang
sesungguhnya. Bisa dikatakan film sebagai suatu dunia pura-pura yang meyakinkan. Ini semua
bisa terjadi jika ada kesinambungan, ada logika yang bisa diterima oleh penonton, dengan kata
lain continuity (selanjutnya ditulis dalam bahasa Indonesia kontiniti) terjaga dengan baik.
Membuat film harus direncanakan dengan baik dan detail, karena disinilah kontiniti bisa terjaga
dengan baik. Dalam perencanaan baik itu berupa catatan-catatan ide, coret-coret outline, design
story board, atau shooting script, harus memasukkan pertimbangan kontiniti ini. Seorang
pembuat film harus berpikir dalam sequence-scene-shot untuk menjaga suatu kontiniti, jika tidak
film hanya akan merupakan sebuah kumpulan snap shot yang tidak jelas. Kontiniti adalah logika
sebuah film yang akan membuat film realistis dan meyakinkan dan membuat penonton bertahan
dan hanyut dalam story telling sebuah film sampai akhir.
Waktu Dan Ruang Sinematik
Film bisa memiliki waktu dan ruang sendiri. Waktu bisa dipercepat atau diperlambat atau
dibiarkan berhenti selama diinginkan. Film bisa diceritakan seperti terjadi saat sekarang tetapi
bisa juga dilempar ke masa lalu atau melesat ke masa yang akan datang. Demikian juga soal
ruang. Ruang bisa dipersempit atau dikembangkan. Bisa dibuat dengan perspektif yang
sesungguhnya, bisa dengan perspektif palsu. Ini semua dibuat untuk membantu penonton
memahami cerita dalam film.
Kontiniti Waktu
Waktu yang sesungguhnya selalu bergerak ke depan, namun dalam film waktu bisa dimainkan.
Ada empat katagori waktu dalam film, yaitu masa sekarang, masa lampau, masa yang akan
datang, dan waktu menurut kondisi.
Masa Sekarang
Film menggunakan kontiniti masa sekarang berarti membuat keseluruhan film itu seperti
terjadi saat ini.
Kontiniti masa sekarang menjadi cara yang mudah dan umum digunakan dalam banyak film.
Kejadian masa lampau bisa juga diceritakan seperti terjadi masa kini. Kesan dramatis akan
lebih kuat karena penonton diajak terlibat seperti mejadi saksi peristiwa tersebut. Penonton
seperti ada dalam peristiwa itu.
Masa Lampau
Seperti point sebelum ini, cerita sejarah bisa ditampilkan seolah-olah terjadi masa kini di
depan mata penonton.
Masa lampau bisa juga diceritakan dengan Flash back:
Untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi sebelum cerita dimulai.
Waktu seperti bergerak mundur untuk menceritakan peristiwa yang sebelumnya tidak
diperlihatkan.
Untuk mengulang peristiwa yang sudah disajikan terdahulu.
Untuk menjernihkan titik plot cerita dengan menceritakan kejadian masa lalu yang
berdampak masa kini.
Bisa ditampilkan dengan kilatan-kilatan peristiwa masa lalu sebagai efek bawah sadar
atau ingatan masa lalu.
Hati-hati dengan flash back, jangan sampai penonton justru tersesat dalam alur cerita
yang tidak kontinyu.
Masa Depan
Sebuah kilasan maju dari masa sekarang ke masa depan.
Bisa berupa sebuah dugaan atau khayalan-ilmiah (science-fiction).
Bisa ditampilkan juga dengan flashforward, dengan untung ruginya seperti dalam flashback.
Menurut Kondisi (Kontiniti conditional time)
Tidak terkait dengan waktu yang sesungguhnya. Waktu yang terkait dengan elemen-elemen
lain seperti misalnya kondisi mental pemain tertentu.
Biasanya dipakai untuk menggambarkan mimpi buruk, atau fantasi karena kondisi mabuk,
atau kerusakan mental yang lain, misalnya pengalaman Dj vu.
Kontiniti Ruang
Penonton perlu dibuat selalu menyadari lokasi dari action dan arah dari gerakan, sehingga
penonton selalu sadar dari mana pemain datang dan kemana pemain pergi.
Ruang bisa dipersingkat dan juga bisa diperpanjang. Untuk menggambarkan sebuah
perjalanan yang panjang, tidak perlu semua ditunjukkan. Cukup mengambil bagian-bagian
yang bagus misalnya dengan background yang bagus dan menunjukkan suatu progresi ke
tujuan.
Memfilmkan Action
Jenis Action
Action Terkontrol: Sebuah action yang bisa dikontrol atau diarahkan oleh sutradara atau juru
kamera, misalnya film-film cerita dimana adegan bisa dilatih, kamera dan setting bisa
diatur,dll.
Action Tidak Terkontrol: Sebuah kejadian yang tidak bisa diatur pengadeganannya, misalnya
peristiwa-peristiwa live dimana kontrol sering kali tidak dipegang oleh sutradara tetapi oleh
penyelenggara sebuah acara, misalnya sebuah upacara tertentu, atau peresmian sesuatu hal,
dimana kamera lebih harus menyesuaikan diri. Peristiwa-peristiwa semacam ini tidak bisa
diulangi dua kali.
Tehnik Pemfilman
Tehnik Master Scene
Suatu Master Scene adalah satu take yang berkesinambungan atas seluruh kejadian yang
berlangsung pada suatu setting tunggal. Jika difilmkan dengan kamera tunggal (single
camera) bagian-bagian action akan diulang dalam jarak dekat untuk intercut. Jika dengan
banyak kamera (Multi Camera), pengambilan shot-shot jarak dekat untuk intercut akan
dilakukan secara bersama-sama.
Manfaat pemakaian Master Scene:
Menguntungkan bagi editor karena ada banyak pilihan gambar dan cukup leluasa untuk
memilih gambar yang akan dipakai, misalnya akan memberi close up dekat atau kembali
ke Long Shot atau juga memberi reaction shot.
Lebih menjamin dalam melakukan perekaman secara lengkap. Juga shot-shot dekat bisa
dibuat lebih teliti misalnya pengaturan cahaya secara lebih baik daripada saat long shot.
Lebih disukai pemain karena saat pengambilan long shot mereka bisa lebih total
berekspresi dari pada sepotong-sepotong, meskipun tetap mereka harus mengulang pada
shot-shot dekat.
Kerugian pemakaian Master Scene:
Para pemain harus menghafalkan seluruh Scene dengan seksama dan teliti, tidak hanya
dialognya saja tetapi juga gerakannya. Ini hanya bisa dilakukan oleh para pemain
profesional. Shot-shot dekat harus dibuat sedekat mungkin dengan master scenenya,
termasuk propertinya, supaya tidak memberi kesan jumping.
Perlu bahan baku film yang lebih banyak. Bisa dihemat dengan perencanaan yang
matang, sehingga tidak perlu seluruh sequence dibuat master scenenya. Yang sudah pasti
bisa langsung membuat shot-shot jarak dekatnya.
Dengan multi camera, harus banyak melakukan latihan karena dialog, gerak pemain,
pengambilan gambar harus dilakukan dalam one run. Sebaiknya dengan high key yang
tidak terlalu banyak pengaturan cahaya yang berubah-ubah. Maka lebih cocok untuk
acara komedi, kuis, atau diskusi.
Hal ini berlaku untuk dua shot berurutan, satu seri shot, atau satu shot tunggal yang diberi
insert-insert.
Pengontrasan
Untuk menggambarkan arah pergi dan kembali.
Dua subyek bergerak ke arah saling berhadapan, akan saling betemu. Bisa untuk memberi
orientasi pada penonton akan ada pertikaian.
Netral
Subyek bergerak mendatangi atau menjauhi kamera.
Shot-shot netral ini bisa menjadi sisipan untuk suatu scene yang bergerak ke arah mana saja.
Bisa menjadi sisipan untuk menukar screen direction.
Shot-shot mendatang dengan menutup kamera bisa dilakukan untuk adegan kejar-kejaran
atau juga memberi kesan fade out.
Shot-shot netral juga bisa dilakukan dengan high angle sehingga subyek datang atau keluar
dari atas atau bawah layar.
Shot-shot netral juga bisa dilakukan dengan serombongan orang yang mendatangi kamera
dan berpencar di sisi kanan dan kiri kamera atau juga sebaliknya datang dari sisi kanan dan
kiri kamera dan menjauhi kamera.
Shot-shot netral bisa untuk pengadaan keanekaragaman visual. Shot-shot netral bisa lebih
dramatis daripada shot-shot yang sekedar melintasi layar, misalnya untuk membuka sekuen
dengan mendatangi kamera atau menjauh dari kamera untuk pergi.
Untuk mempertinggi keterlibatan penonton, misalnya kuda yang melompati kamera akan
memberi kesan penonton ikut dilompati kuda.
Untuk menetralkan terlebih dahulu arah pandang penonton jika ada arah yang berlawanan
dengan menyisipkan shot netral ini.
Poros Action
Poros Action adalah garis axis atau garis khayali/imajiner yang melintas di depan kamera
dan tidak boleh diseberangi oleh kamera untuk mempertahankan screen direction. Jika garis
ini dilompati akan terjadi apa yang disebut dengan crossing the line.
Jika set up kamera mengikuti garis ini, screen direction akan aman terjaga. Hubungan
antara kamera dan pergerakan subyek akan tetap terjaga asal saja kamera tidak pernah
menyeberangi poros action.
Perlu ketilitian untuk poros action yang berkelok, di tikungan, atau lewat pintu.
Mencuri Poros Action
Mencuri poros action bisa dilakukan asal gerakan subyek juga dirubah. Hal ini akan
mempertahankan screen direction pada layar.
Jika dilakukan perekaman outdoor dengan bantuan sinar matahari sebaiknya dilakukan
pada tengah hari supaya tidak menimbulkan bayangan yang berlawanan dan akan
memperlihatkan pencurian poros action ini.
In frame adalah gerakan subyek masuk ke dalam frame/layar, sedangkang out frame
gerakan subyek keluar frame/layar.
Sebaiknya dilakukan benar-benar dari tidak kelihatan lalu masuk ke dalam frame dan
keluar lagi sampai benar-benar tidak kelihatan. Tidak bisa subyek bergerak sampai ditengah
dan langsung melompat ke gambar lain. (Akan terkesan hilang sendiri).
In frame-out frame dengan background yang berbeda, sebaiknya ukuran subyek juga
berbeda. Jika ukuran subyek sama saja, akan terkesan seperti jump cut dan hanya berubah
back groundnya saja.
Close Up reaksi untuk mengubah Screen Direction
Jika ada gerakan subyek dalam layar penonton bereaksi seolah seperti berada di dekat
kamera. Pemain kadang juga bereaksi dengan arah yang sama seperti penonton tetapi harus
direkam kebalikannya, supaya mendapatkan arah yang sama.
Reaction shot close up juga bisa digunakan untuk mengubah screen direction. Bisa juga
dengan menampilkan reaksi yang beralawanan arah untuk menunjukkan perubahan arah
tersebut.
Pembalikan Screen Direction
Screen Direction begitu diperkenalkan harus dipertahankan. Jika akan diubah harus
diterangkan, dengan cara:
Menunjukkan saat perubahan itu dilakukan, bisa disambung dengan penyeberangan poros
action sehingga gambar menjadi sah berubah arah.
Menyisipkan reaction shot seseorang yang menyaksikan gerakan tersebut dengan arah
baru.
Membuat shot netral namun arah keluar bingkai dibuat salah, sehingga bisa disambung
dengan shot yang menunjukkan arah yang baru.
Bisa diberi insert interior sebuah kendaraan kemudian disambung dengan shot exterior
dengan arah baru yang berlawanan.
Arah Peta
Penetapan screen direction sebaiknya disesuaikan dengan sesuatu yang sudah umum di
masyarakat. Arah peta bisa menjadi patokan yang umum. Utara selatan dengan gambar atas
bawah, sedangkan Timur selalu di sebelah Kanan layar dan Barat di sebelah kiri layar. Hal
yang lazim bagi kebanyakan orang akan lebih mudah diterima juga oleh penonton.
Screen Direction Statis
Peraturan yang sama tentang poros action berlaku juga untuk subyek yang statis.
Poros aksi dibuat dengan membuat garis imajiner 180 derajat dan kamera tidak boleh
menyeberang garis imajiner ini, karena akan memberi kesan tiba-tiba terjadi pemindahan
letak pemain.
Arah Pandangan
Arah pandang pemain juga perlu mendapat perhatian khusus, karena arah pandang juga
bisa keliru.
Mata pemain yang menentukan arah pandang. Kamera bisa berada tepat di depan pemain,
tetapi mata bisa memandang ke mana saja. Maka arah pandang perlu diperhatikan dengan
cermat.
Membuat close up dengan point of view jangan sampai menyeberangi poros action
karena arah pandang pemain bisa keliru.
Level kamera juga perlu mendapat perhatian jika membuat shot point of view antara dua
orang yang sedang bercakap-cakap, yang satu tinggi yang satu pendek, atau yang satu berdiri
dan satunya lagi duduk.
Jika ditengah scene pemain bergerak, perpindahan poros bisa terjadi asalkan
diperlihatkan selama perekaman. Tetapi jika tidak perlu membuat poros baru lagi pada akhir
shot, sehingga screen direction bisa aman.
Arah Pandang Pada Shot-Shot Cut in ke Master Scene
Harus hati-hati dalam membuat shot-shot cut in sebagai insert dari shot Master Scene, lebihlebih jika banyak gerakan dan perubahan poros action. Pada beberapa tempat perlu diberi
tanda, agar memudahkan saat pengambilan jarak dekatnya.
Arah pandang juga penting diperhatikan saat pengambilan close-upnya supaya sama cengan
arah pandang saat pengambilan master scenenya. Bisa juga digunakan foto still.
Untuk dua pemain yang saling berhadapan, kamera diambil dari salah satu sisi poros action.
Demikian juga dengan pengambilan gambar cut away dimana salah satu pemain berada di
luar layar. Harus ditarik satu garis poros action, dan penataan kamera dari salah satu sisinya
agar di layar kedua pandangan itu bisa saling bertemu.
Arah Pandang dengan Pemain Tunggal
Arah pandang juga harus konsisten dalam rangkaian shot, sekalipun pemain hanya seorang
diri.
Seorang yang sedang bekerja seorang diri apakah sedang bekerja dengan mesin atau menulis,
jika direkam dari depan atau bekakang harus dari salah satu sisi poros sehingga arah pandang
pada layar akan tetap sama.
Arah Pandang Pembicara dan Penonton
Pada intinya seorang pembicara berhadapan dengan banyak penonton atau pendengar. Dan
dalam proses editing harus memberi kesan mereka saling berhadapan. Masalahnya seorang
pembicara harus berhadapan dengan banyak orang dalam deretan dimana seorang pembicara
bisa melihat ke kanan atau ke kiri.
Poros action bisa dibuat dengan membuat garis tengah persis di hadapan pembicara jika ia
berdiri persis di tengah, dan kamera berada di salah satu sisi garis poros tersebut.
Bisa juga dengan membuat garis sejajar dengan baris kursi dan kamera merekam kedua sisi
penonton. Saat proses editing bisa disesuaikan arah pembicara dengan intercut penonton
sehingga bisa saling berhadapan.
Transisi Suara
Dilakukan dengan narasi.
Juga bisa dengan monolog atau dialog, yang disambung dengan action yang didialogkan.
Lagu juga bisa menggambarkan suatu daerah tertentu.
3. Close Up
Close up adalah sarana yang sangat unik dari film/video. Close up pada film/video
memberikan kemungkinan suatu penyajian yang rinci dan detail dari suatu kejadian.
Sebagaimana kita ketahui, pertunjukan drama, musik ataupun tarian diatas panggung, penonton
harus menyaksikannya dari jarak tertentu dan tetap/tidak bisa berubah-ubah. Namun dengan
menggunakan close up Film/video dapat menyajikan bagian kecil dari suatu kejadian dari
adegan dalam Film/video kepada penonton. Penonton dalam sesaat dapat melihat secara detail
bagian yang sangat kecil it. Misalnya adegan seorang dokter sedang menancapkan jarum
suntiknya pada lengan pasien. Dalam drama panggung penonton tidak akan dapat menyaksikan
dengan jelas bagaimana jarum suntik tsb. Masuk secara perlahan-lahan kedalam daging lengan
pasien, sebaliknya dengan pengambilan gambar secara Close up pada kejadian tsb. Akan terlihat
dengan jelas oleh penonton . Close up yang dipilih secara seksama, direkam secara sempurna,
dan disunting secara tepat akan menciptakan dampak dramatik pada suatu kejadian.
Close up adalah salah satu sarana penuturan cerita yang sangat kuat bagi pembuat film/video.
Sutradara film cerita biasanya sangat berkepentingan dengan aspek2 visual dan close up. Oleh
karena itu close up harus dipertimbangkan, baik dari sudut visual maupun penyuntingannya.
Pada umumnya pemilihan close up untuk film.video cerita ditentukan oleh penulisskenario atau
sutradara berdasarkan alasan tertenti yang spesifik. Sedangkan close up dalam pembuatan
film/video non cerita yang tanpa menggunakan skenario biasanya dilatar belakangi oleh
kepentingan penyuntingan atau editing. Berkaitan dengan pembuatan karya audio visual untuk
televisi perlu diketahui bahwa layar televisi lebih kecil dibandingkan dengan layar bioskop. Oleh
karena itu pengambilan gambar close up untuk televisi menjadi sangat penting karena kamera
bisa menyajikan suatu action/adegan yang berukuran kecil dalam skala besar.
Berikut ini disampaikan berbagai ukuran2 close up untuk orang yang sering terdapat dalam
film/video :
- Medium close up (MCU)
- Close up (CU)
- Close up
- Big close up
Untuk benda2 biasanya ECU digunakan untuk memperlihatkan bagian kecil dari
suatu benda; misalnya jarum jam tangan, binatang kecil2, spidometer pada sepeda
motor dsb.
Pengambilan gambar dengan ECU menimbulkan kesan semakin dramatik.
Close up lewat buku (Over-the-shoulder Shot=OSS), adalah shot yang sangat typical dalam
pembuatan film/video. Close up lewat bahu biasanya dibuaaatt dalam pasangan yang saling
berlawanan arah. Kedua close up harus nampak seragam/ sama baik ukuran maupun anglenya
bagi penonton. Membuat gambar sungguh2 sama tentu tidak mudah terutama antara wanita dan
pria. Pria dan wanita mempunyai postur yang tidak sama. Tata rambut wanita yang diatur tinggi
tentu akan mempengaruhi pembingkaian dalam pengambilan gambar.
Cara pengambilan gambar untuk OSS; Pemain dekat kamera ata pemain yang membelakangi
kamera diambil sedemikian rupa sehingga yang nampak pada wajah hanyalah garis pipnya dan
tidak diperbolehkan ada ada bagian hidungyang nampak melampaui garis pipi. Kalau wajah
pemain yang dekat dengan kamera kelihatan hidungnya atau bahkan kelihatan matanya, maka
pengambilan gambar itu adalah pengambilan gambar two shot bukan pengambilan gambar
over shoulder shot. Didalam shooting script film/video cerita pengambilan gambar OSS ini
dituliskan.
Jenis2 close up:
1. Close up cut in
2. Close up cut away
3. Close up Close up cut in.
1. Close up cut in:
Close up cut in in adalah suatu pengambilan gambar close up (lebih dekat) dari
pengambilan gambar sebelumnya yang lebih lebar.
Biasanya merupakan bagian dari adegan utama. Close up cut in dibuat untuk
menciptakan kesinambungan dari adegan utama (sebelumnya) yang dilanjutkan dengan
shot yang lebih dekat (close up) daris seorang pemain, obyek tertentu atau action tertentu
yang biasanya mempunyai kesan yang lebih dalam.
Close up cut in bisa dapat dibuat dari 4 angle kamera:
a. Close up cut in secara obyektif:
Kamera membuat close up di titik pandang pengamat yang tidak nampak (hidden
camera); bukan dari titik pandang dari salah satu pemeran yang terlibat dalam
adegan / peristiwa dalam Film/video. Dengan pengambilan gambar close up cut in
secara obyektif ini penonton dibawa ke suasana lebih dekat dengan pemain; atau
dengan obyek atau dengan suatu peristiwa tsb.
b. Close up cut in secara subyektif:
Pengambilan gambar CU cut in secara subyektif ini jarang dipakai dalam film cerita
dimana pemain/pemeran melihat kearah lensa kamera. Pengambilan seperti itu lebih
sering dijumpai di televisi pada siaran berita, iklan dan
instruksional dimana
pembicara muncul di depan kamera menerangkan sesuatu kepada penonton.
c. Close up cut in lewat bahu:
Kamera membuat close up lewat bahu (over the shoulder shot) dari pemain yang
saling berhadapan (sudah diterangkan di depan).
d. Close up-close up point of view (POV):
Kamera ditempatkan sedekat mungkin dengan garis imaginair (diletakkan) dekat
dengan pipi pemain yang berlawanan dalam dialog) ...lihat penjelasan terdahulu, pada
kamera angle!
Catatan penting; Apabila dalam sebuah cerita ingin menggunakan close up OSS dan close up
point of view, seyogynya perlu diperkenalkan dahulu two shot nya agar penonton mempunyai
gambaran dimana posisi ke dua orang yang sedang berdialog itu.
Bagaimana menggunakan close up cut in.
Close up cut in digunakan untuk mengembangkan penuturan seperti misalnya dialog
penting, aksi penting dalam suatu adegan atau sebagai reaction shot (Shot reaksi dari lawan
bicara dalam dialog; sedang mengangguk-angguk, terperanjat, tersenyum dsb.) Dengan close up
cut in tekanan dramatik atau minat perhatian penonton bisa ditingkatkan. Close up cut in bisa
mendekatkan semuanya itu kepada penonton karena ukuran gambarnya besar.
Close up cut in bisa dipakai sebagai time lapse. Close up cut in bisa digunakan untuk
memperpendek jangka waktu dalam mengerjakan sesuatu . Misalnya pekerjaan menjahit, pada
realitanya butuh waktu yang cukup lama. Kalau proses tsb. Ditampilkan apa adanya sesuai
dengan waktu pengerjaan tentu akan membosankan. Sebuah cut in reaksi pada wajah orang yang
sedang menjahit ketika baru saja memulai pekerjaannya disambung dengan cut in pada jarum
mesin jahit yang sedang bergerak, kemudian disambung CU cut in tertariknya benang di atas
mesin jahit dan diakhiri dengan adegan menjahit sudah selesai dengan medium shot. Dengan
demikian penonton akan mempunyai kesan bahwa ia telah menyaksikan seluruh adegan tsb.
termasuk hal2 yang sangat detil.
Close up cut ini juga bisa untuk menghilangkan /menutup loncatan gambar yang tidak
bisa disambung antara long shot dengan medium shot. Dengan disisipi close up cut in loncatan
tsb. tidaklagi terasa.
Catatan penting menggunakan close up untuk cut in
Pada dasarnya sebuah close up cut in merupakan bagian dari shot prograsif; yaitu
suatu usaha dari seorang sutradara atau kamerawan untuk mendekatkan penonton dengan tokoh ,
peristiwa, benda dalam sebuah adegan . Maka sebuah close up cut in harus didahului oleh
sebuah establishing shot (biasanya long shot) sehingga penonton memahami lokasi/tempat
peristiwa dalam hubungannya dengan keseluruhan scenee/adegan. Penonton harus diberi
orientasi yang baik tentang tempat dari kejadian utama sebelum kamera digerakkan ke close up
dan diorientasikan ulang dengan re-establishing shot apabila banyak shot2 dekat dalam
mengikuti gerakan pemain.
Apabila cerita memerlukan terjadinya ketegangan, atau agar supaya penonton bertanyatanya maka establishing shot sebelum close up tidak perlu ditampilkan namun setelah sekian
lama tetaplah baik apabila pada suatu waktu establishing shot ditampilkan kemudian.
2. Close up cut away
Close up cut away adalah suatu pengambilan gambar close up yang menyajikan action
kedua yang sedang berlangsung secara bersamaan di suatu tempat yang mempunyai kaitan
secara penuturan.
Ada 3 macam angel kamera untuk close up cut away:
a. Secara Obyektif:
Penonton menyaksikan close up dari pandangan kamera yang tersembunyi. Penonton
hanya dibawa lebih dekat pada subyek tanpa dilibatkan pada peristiwa dalam film.
b. Secara Subyektif:
Close up cut away secara subyektif hampir tidak pernah digunakan dalam film.video
cerita. Close up cut away lebih banyak digunakan dalam film berita, instruksional atau
dikumenter. Dalam hal ini penonton dilibatkan dan merasakan bahwa ia diberi penjelasan
secara pribadi oleh pemeran yang ada di dalam film.video.
c. Close up cut away point of view:
Kamera ditempatkan dekat dengan seorang pemain lain dalam adegan., atau sebuah jam
dinding, atau sebuah gerakan kecil seperti memasukkan obat ke dalam jarum suntik yang
membuat penonton merasa dilibatkan dalam adegan.
Close up- close up cut away bisa digunakan dalam berbagai macam cara:
Untuk memperlihatkan reaksi2 para pemain yang berada di luar layar. Pemain
yang berada di luar layar akan memperkuat adegan kalau ditampilkan untuk
memberi sisipan pada suatu dialog (Reaction shot)
Membantu penonton untuk memahami suasana cerita. Sebuah cut away seorang
pemain pembantu yang sedang menangis, ketakutan, kasihan atau kesakitan, akan
mempengaruhi perasaan penonton.
Memberi komentas pada peristiwa utama dengan memperlihatkan suatu kejadian
yang berhubungan untuk mengembangkan peristiwa utama. Misalnya adegaan
romantis sepasang kekasih yang sedang bermesraan, disisipi cut away simbolik
dari 2 burung yang sedang saling mematk, bercanda.
Memotivasi sebuah adegan.
KESIMPULAN
Close up-close up yang direncanakan dengan seksama, diambil gambarnya
dengan motivasi yang jelas, dan disambung dengan gambar lain melalui
4. Composition (komposisi)
Seorang pembuat Film akan selalu dihadapkan pada salah satu hal yang penting untuk
dipikirkan dalam proses pembuatan film yaitu bagaimana membuat suatu komposisi yang baik
disetiap adegan dalam filmnya.Tujuan utama membuat gambar dengan pertimbangan komposisi
adalah menampilkan gambar yang menarik bagi penonton agar penonton tidak mau melepaskan
dalam sekejap matapun terhadap gambar yang kita tampilkan. Mata penonton tidak akan pernah
berkeliaran ke lain perhatian atau tergoda untuk menengok ke lain tempat.
Komposisi dalam pengertian yang sederhana merupakan pengaturan (aransemen) dari
unsur-unsur yang terdapat di dalam gambar untuk membentuk suatu kesatuan yang serasi
(harmonis) di dalam sebuah bingkai. Seorang kameramen harus menentukan apa yang masuk
dan apa yang tidak masuk kedalam bingkai (frame) tersebut.Saat menentukan apa yang masuk
dan apa yang tidak masuk dalam gambar yang dibatasi oleh bingkai di dalam VIEWFINDER
KAMERA itu dinamakan FRAMING.
Setiap kali seorang juru kamera akam membuat gambar tentang seseorang ataupun benda, ia
sedang membuat komposisi. Juru kamera tentu akan bertanya; seseorang atau benda yang
diharapkan akan menjadi pusat perhatian penonton itu akan ditempatkan di mana di dalam
bingkai (frame).
Sebenarnya membuat komposisi sudah bukan sesuatu yang asing bagi kebanyakan
orang bahkan ibu-ibu rumah tanggapun hampir tiap hari melakukannya.
Sebagai contoh seorang ibu yang akan meletakan sebuah vas bunga di atas meja. Ketika ia
berfikir dimana ia akan meletakan vas bunga tsb ia sudah berfikir tentang komposisi. Kemudian
ia meletakkan vas tsb di pinggir meja dan diamati. Rupanya ia merasa bahwa vas diletakkan di
pinggir meja dirasa tidak enak karena corak taplak meja yang ada sangat semitris. Ia kemudian
memindahkannya ketengah meja.
Dalam hal ini bisa diandaikan bahwa meja ibaratnya FRAME atau BINGKAI dan vas adalah
sesuatu yang ingin ditampilkan dalam gambar.
Alat kamera secara mekanis akan merekam semua yang akan ditangkap oleh kamera.
Meskipun demikian juru kamera mempunyai keleluasaan dalam menentukan pembingkaiannya
dengan cara bergeser kekiri atau ke kanan, maju atau mundur. Misalnya dihadapan seorang juru
kamera ada seorang nenek tua duduk diatas tikar sedang menganyam caping di depan halaman
rumah bambu yang harus diambil gambarnya. Seorang juru kamera bisa mendekat kearah nenek
tsb dan mengisi seluruh BINGKAI ATAU FRAME dari VIEWFINDER kamera dengan
wajahnya, Atau ia mundur sehingga dari VIEWFINDER kamera dapat terlihat keadaan
disekitarnya termasuk latar belakang yaitu rumah yang terbuat dari bambu. Atau lebih mundur
lagi sehingga subyek si nenek tua menjadi kecil dan pohon-pohon di sekitarnya bahkan rumahrumah tetangga tampak semua.
Dari ketiga kemungkinan tersebut mana yang dipilih, tergantung dari maksud juru
kamera. Kalau juru kamera memutuskan untuk memasukkan seluruh wajah nenek tua itu berarti
juru kamera tersebut lebih menitik beratkan pada pribadi si nenek termasuk garis-garis
ketuaannya. Subyek yang semacam itu biasanya menimbulkan kesan yang kuat. Namun apabila
juru kamera memutuskan mundur menjauhi subyek, berarti juru kamera ingin menunjukkan
subyek wanita tua hubungannya dengan latar belakang sehingga penonton mendapat
pengetahuan tentang keadaan lingkungan si nenek tua dan tempat tinggalnya.
Seorang juru kamera yang berbakat seni (mempunyai selera yang bagus; memiliki rasa
atau feeling yang baik terhadap keseimbangan bentuk, irama, ruang, garis-garis dan mempunyai
kepekaan terhadap nilai-nilai warna dan rasa dramatik) bisa menciptakan komposisi-komposisio
yang bagus secara intuitif. Membuat komposisi dalam adegan adalah tugas juru kamera. Ia harus
menata berbagai macam unsur yang ada di dalam gambar menjadi enak ditonton dan
mengarahkan penonton pada pusat perhatian tertentu. Biasanya seorang juru kamera sebelum
melakukan pengambilan gambar akan bertanya pada dirinya sendiri; Apa yang bisa saya
lakukan terhadap subyek/obyek yang ada agar dapat menunjang penuturan cerita? Kemudian
langkah berikutnya yang tidak boleh ditinggalkan adalah menganalisis keinginan SKENARIO.
Apakah SKENARIO menginginkan agar penonton dibuat tertawa, menangis ataukah merasa
pilu? Apakah SKENARIO menginginkan agar penonton dibuat merasa kagum oleh keindahan?
Ataukah menonjolkan keagungan dari tokoh? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
oleh juru kamera yang harus diwujudkan dalam bentuk komposisi untuk memperoleh gambar
yang mempunyai kesan dan respons sebagaimana diinginkan oleh skenario. Kemampuan seorang
juru kamera untuk berpikir secara visual dan pemahaman terhadap efek psykologi dari visual
yang dibuatnya akan memberikan mood (suasana jiwa) yang dibutuhkan oleh cerita.
Aturan Pengkomposisian
Karena komposisi berhubungan dengan selera artistik, kesadaran emosional, pengalaman
dan latar belakang pribadi juru kamera, maka seyogyanya komposisi jangan digariskan dengan
aturan yang ketat. Penataan komposisi bukanlah suatu proses mekanik. Perhitungan matematika
dan geometrika memang bisa menunjang keberhasilan. Namun kesulitan yang mendasar alam
membuat komposisi untuk audio visual, seorang juru kamera tidak saja berurusan dengan bentuk
dari orang-orang dan obyek-obyek tetapi juga dengan bentuk dari gerakan-gerakan. Oleh karena
itu pengetahuan komposisi fotografi (statis) kalau mau dipakai sebagai pertimbangan dalam
membuat komposisi film/video yang bergerak, seorang juru kamera perlu memperhatikan
kesinambungannya. Oleh karena itu seorang juru kamera harus membuat setiap frame (bingkai)
dalam sebuah shot berdasarkan prinsip-prinsip sinematik yaitu keindahan komposisi dari
gambar-gambar bergerak. Maka setisp shot harus dirancang berdasar tujuan sinematik yaitu;
1. Mengarahkan perhatian penonton pada obyek/subyek yang terpenting.
2. Selalu berusaha agar gambar dalam keadaan bergerak
Penggunaan PAN kamera biasanya dipakai untuk mengikuti gerakan subyek secara
lateral. Contoh; Dalam adegan perkelahian satu lawan satu di suatu desa kecil nampak
penonton menyaksikan dengan tegang. Untuk menunjukan wajah-wajah tegang dari
penduduk yang menyaksikan perkelahian itu kamera bisa melakukan pan dari kirike
kanan atau sebaliknya. Pengambilan gambar yang demikian bisa menambah ketegangan
adegan.
Gerakan TILT menyerupai gerak kepala yang melihat dari atas ke bawah atau sebaliknya.
Berikut ini sebuah contoh TILT UP yang barangkali bisa dibayangkan suasana
dramatiknya. Kamera dipasang di ujung landasan pesawat terbang dan merekam saat
pesawat akan lepas landas. Pada saat pesawat semakin mendekat kamera terus mengikuti
sampai pada saat lepas landas kamera mengikuti arah terbangnya pesawat ke atas kepala
dengan gerakan tilt up dan kamera berhenti tepat dalam posisi menengafdah ke atas dan
biarkan pesawat out frame.
c. Gerak lensa Zoom.
Lensa zoom adalah lensa yang mempunyai kesanganggupan mendekatkan atau
menjauhkan subyek/obyek secara optik tanpa harus mendekatkan atau menjauhkan
kamera. Menggunakan gerakan lensa zoom suatu adegan bisa semakin terasa dramatis.
Contoh; Dalam adegan dua orang yang saling berhadapan, seorang yang nampak
membawa belati berdiri dekat kamera. Shot diambil melalui bahu tokoh yang dekat
kamera dan sedang melemparkan belati kearah lawannya yang berdiri agak jauh dari
kamera. Belati melayang ke arah lawan yang jauh dari kamera. Ia menghindar dan belati
menancap pada pohon di dekatnya. Tepat saat itu kamera zoom in dengan cepat kearah
belati yang menancap di pohon dan masih nampak getaran tangkai belati yang menancap.
d. Gerak kamera mobil.
Jika kamera bisa bergerak mobil maka kemungkinan pengkayaan gerak akan semakin
bertambah. Dengan membebaskan kamera pada posisi statisnya, seorang sutradara/ juru
kamera dapat menciptakan sudut pandang kamera yang terus-menerus berubah sehingga
penonton memperoleh sajian gambar bergerak. Misalnya dengan memasang kamera di
atas derek atau crane atau stady cam, juru kamera dapat menggerakkan kamera dengan
mulus kemana saja. Dengan efek dramatisnya semakin meningkat.
3. Menciptakan Ilusi Kedalaman
Komposisi sinematik juga harus memberikan perhatian pada usaha untuk menciptakan ilusi
kedalaman atau suatu kesan tiga dimensi pada layar yang pada dasarnya layar tersebut bersifat
dua dimensi. Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang juru kamera/sutradara dapat
mempergunakan beberapa macam teknik.
a. Gerak Subyek.
Untuk menciptakan kesan kedalaman, seorang juru kamera atau
sutradara bisa mengatur subyek melakukan gerakan diagonal atau
mengatur penempatan kamera pada posisi tertentu sehingga hasil dari
pengambilan gambar nantinya bisa mendapatkan gerakan diagonal..
Contoh; Mengabil gambar pesawat terbang yang akan lepas landas, juru
kamera menempatkan kameranya diujung sebelah kiri landasan. Ketika
pesawat yang kita maksudkan lepas landas, juru kamera akan memperoleh
rekaman yang menghasilkan gerakan diagonal dari sisi kiri bawah frame
dan pesawat bergerak secara diagonal kearah - kurang lebih kanan atas
frame. Gerakan semacam itu akan terasa lebih dinamis dibandingkan
dengan pengambilan gambar dari satu sisi landasan dan kita mendapatkan
gambar secara horisontal dari kiri naik kearah kanan.
b. Seleksi Fokus.
Dengan membuat subyek tertentu lebih fokus (tajam) dibandingkan
subyek yang lain, akan tercipta suatu dimensi atau kedalam pada gambar
yang kita rekam.
Contoh; Tiga orang subyek berdiri berjajar secara diagonal dengan sudut
pengambilan gambar . Garis diagonal itu sendiri sebenarnya sudah bisa
membangun kesan kedalaman. Namun dengan cara membuat tajam
subyek yang paling akir sementara dua subyek yang lainnya kabur,
gambar yang semacam itu bisa semakin mengesankan tiga dimensi.
c. Pembingkaian latar depan.
Subyek utama diberi bingkai oleh subyek atau obyek di latar depan.
Contoh; Seorang tukang ban mobil sedang asyik dengan pekerjaanya
membongkar ban yang bocor. Seorang juru kamera atau sutradara
mengambil sebuah ban luar yang ukurannya besar kemudian diletakkan
berdiri. Selanjutnya kemera diletakkan setinggi ban tersebut dan
mengambil gambar tukang tambal ban yang sedang asyik mengerjakan
pekerjaannya dari celah ban yang posisinya berdiri itu. Pengambilan
gambar yang demikian juga dapat menciptakan kesan tiga dimensi.
d. Efek dengan penyinaran Cahaya.
Dengan memberi cahaya yang berbeda intensitasnya pada satu subyek
diantara subyek-subyek lain yang tidak mendapatkan cahaya dengan
intensitas yang sama, juga dapat menciptakan kesan kedalaman. Contoh;
Sebuah adegan three shot dengan komposisi dua subyek berdiri di kiri dan
kanan sedangkan seorang subyek yang lain sedang duduk dikursi yang
rendah. Kemudian sebuah sorotan cahaya lunak diterpakan kewajah orang
yang duduk ditengah itu. Keadaan yang demikian juga dapat menciptakan
kesan gambar yang mempunyai kedalaman.
Kesimpulan.
Perlu diingat bahwa komposisi adalah sebuah pengaturan yang harmonis dan sedap
dipandang mata dari para pemain, setting-setting, dan benda-benda lain sebagai kesatuan di
dalam ruang yang semuanya itu dimaksudkan untuk mendapatkan respons dari penonton.
Penonton harus dipengaruhi baik secara gambar maupun secara psykologis untuk menyampaikan
isi skenario dan membangkitkan emosi penonton. Usahakan jangan terlalu banyak menampilkan
beberapa pusat perhatian. Satu pusat perhatian di dalam satu shot sudahlah cukup. Buatlah
pembingkaian yang m,engesankan dinamis dan menampilkan kesan kedalaman. Gunakan
bingkai bingkai latar depan untuk mendukung komposisi, dan penggunaannya tepat sehingga
tidak mengganggu subyek utamanya. Gunakan latar belakang dengan sangat teliti sehingga
dapat membantu subyek utama semakin menmjadi pusat perhatian. Sebagai patokan inghatlah
kata-kata ini: BUATLAH SUATU KOMPOSISI SESEDERHANA MUNGKIN. ITU LEBIH
MENARIK.
5. Cutting (editing)
Editing adalah jiwa dari sebuah film/video. Kiranya ungkapan itu tidaklah berlebihan sebab
terjadinya sebuah karya film/video tentu melalui proses editing. Editing adalah suatu proses
MEMILIH, MENGATUR dan MENYUSUN SHOT-SHOT menjadi SATU SCENE, menyusun
dan mengatur SCENE-SCENE menjadi satu SEQUENCE yang akhirnya merupakan rangkaian
SHOT-SHOT yang bertutur tentang suatu cerita yang utuh. Dengan kata lain pekerjaan editing
adalah menyingkirkan semua yang berlebihan, yang tidak diperlukan dari pengambilan gambar
(shooting) sebelumnya termasuk pengambilan gambar yang salah. Jadi seorang editor
pekerjaanya adalah menciptakan kembali dari gambar-gambar yang sudah ada bukan membuat
lagi. Begitu pentingnya proses editing, peranan seorang editor hampir dapat di samakan dengan
peranan seorang sutradara. Oleh karena itu seorang editor sering juga disebut SECONDDIRECTOR. Editor sebagai seorang yang mempunyai peran membantu atau bekerja sama
dengan Sutradara, mempunyai kuwajiban merangkai gambar dengan baik dan teliti sehingga
dapat bercerita kepada penonton. Seorang editor biasanya mempunyai script dan catatan dari
sutradara sebagai pedoman tentang cerita yang dikehendakinya. Pekerjaan menyambung yang
dilakukannya harus dikerjakan dengan kepekaan artistik, persepsi artistik dan pertimbangan
estetik, dengan menyertakan keterlibatan batinnya menjadi bagian dari film/video yang mau
dibuat yang dikehendaki oleh sutradara. Maka dalam penyusunan sebuah film, sutradara harus
mendudukkan diri sebagai partner kerja dengan editor. Dan jangan mendudukkan diri sebagai
atasan. Karena bisa terjadi film secara tak terduga bisa diselesaikan oleh seorang editor jauh dari
yang dibayangkan seorang sutradara. Sutradara bisa terkejut karena film yang disutradarainya
setelah di edit oleh seorang editor jauh lebih bagus dari pada yang diduga .
Hal semacam itu bisa terjadi karena pengalaman editor dalam hal menilai, memilih dan
merangkaikan gambar jauh lebih banyak dibandingkan si sutradara.
Berikut ini diuraikan beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang editor ketika melakukan
tugas editing:
1. Memilih shot.
Didalam editing hal yang paling mendasar harus dilakukan oleh seorang editor adalah
memilih shot yang terbaik diantara shot-2 yang ada dari beberapa pengambilan gambar (take)
yang dilakukan oleh sutradara.
Ia harus memilih gambar dengan teliti berdasarkan pertimbangkan efek visualnya, kretifitas
suaranya, kualitas penyiarannya, kualitas permainan dan dramatiknya.
2. Mempertimbangkan Keterpaduan (coherence) dan kesinambungan (continuity)
Editor mempunyai tanggungjawab untuk menyambung gambar2 dengan menentukan titik
pemotongannya sehingga menjadi sambungan gambar yang padu. Ia harus berimajinasi supaya
penonton terbantu memahami hubungan gambar yang satu dengan gambar yang lainnya, dari
suara satu ke suara berikutnya agar menjadi jelas bagi penonton dan lancar penuturannya pada
setiap scene ataupun sequence. Untuk mencapainya seorang editor harus memperhatikan dengan
teliti efek estetik, dramatik, dan psikologi dari penyambungan gambar dengan
mempertimbangkan keterpaduannya dan kesinambungannya supaya runtut dan tidak terjadi
loncatan-loncatan sambungan yang dapat mengganggu penonton.
3. Memilih jenis transisi yang dipakai:
a. Transisi wipe
Pergantian gambar dari gambar terdahulu ke gambar sesudahnya
dengang cara
menempatkan semacam garis vertikal, horizontal atau diagonal yang
bergerak dari ujung frame yang satu ke ujung frame yang lain.
b. Flip-frame.
Seluruh bingkai gambar yang terdahulu seakan-akan terbalik dan kemudian muncul
gambar dari adegan baru; sehingga penonton memperoleh kesan mirip dengan orang
membalik buku.
c. Dissolve:
Pergantian berangsur-angsur dari gambar terdahulu ke gambar yang berikutnya.
Pergantian yang semacam ini terasa lebih halus dan enak ditonton. Tentu saja dengan
maksud tertentu.
d. Fade in dan Fade out.
Pergantian gambar dengan cara gambar yang terdahulu berangsur-angsur hilang
tinggal warna gelap dalam sesaat, kemudian gambar berikutnya berangsur-angsur
nampak hingga hingga terpampang jelas.
Masing-masing transisi tersebut memberi efek tersendiri terhadap tempo film. Secara
umum dissolve adalah transisi yang temponya dianggap lambat dan biasanya
dipergunakan untuk peralihan waktu. Flip-frame dan wipe dianggap mempunyai
tempo yang lebih cepat. Namun editor-2 pada masa sekarang ini lebih banyak
menggunakan cut to cut dibandingkan dengan transisi yang lain apabila tidak
mempunyai alasan yang cukup jelas bagi kepentingan penuturan.
4. Membentuk Irama/tempo
Dalam sebuah film, irama adalah suatu hasil dari berbagai faktor seperti gerak kamera,
irama musik, irama dialog didalam adegan, kecepatan plot, irama dramatik yang kesemuanya
secara bersama-sama menciptakan irama film secara utuh. Namun dari semuanya itu di dalam
film terdapat suatu tempo/irama yang dominan yang ditentukan oleh sambungan atau berapa
lama shot-shot ditampilkan pada setiap sambungannya.
Sambungan lamban (slow cutting) memberikan kesan lamban dan tenang. Sambungan cepat
(quick cutting) menciptakan kesan cepat atau gelisah atau khawatir. Kendatipun seorang editor
bebas menentukan sendiri cuttingnya., kecepatan sambungan setiap adegan harus ditentukan
berdasarkan isi adegan, sehingga iramanya serasi dengan hal-hal lain seperti kecepatan gerakan
atau tindakan pemeran dalam film, kecepatan dialog dan tempo emosinya secara umum.
yang semakin lama gerak majunya semakin cepat, dan ditampilkan dengan irama editing
semakin cepat sampai akhirnya bertempur bisa menimbulkan klimax yang baik.
c. Meningkatkan ketegangan
Dua orang yang sedang berkampanye di dua tempat yang ide politiknya berbeda bila
ditampilkan secara bergantian bisa menimbulkan ketegangan.
d. Mempertinggi suspense
Penonton yang sudah cemas oleh ketegangan yang dilukiskan dalam suatu adegan bisa
dipertinggi ketegangannya dengan di Cross-Cutting bergantian.
Contoh: Adegan beberapa polisi yang sedang mencari dengan sangat hati-hati tempat
bom waktu dipasang oleh seorang teroris, di Cross Cutting dengan timer bom yang
bergerak dengan cepat mendekati angka nol sebagai saat bom meledak bisa mempertinggi
suspense.
e. Membuat perbandingan antara orang2 yang berbeda obyek atau kejadiannya.
Contoh: Dua perguruan silat, yang satu melatih murid2nya dengan kejam, sedangkan
yang satu melatihnya secara bersungguh-sungguh namun penuh kesabaran, bisa
ditampilkan dengan cross cutting sehingga nampak perbedaan antara kedua pelatih
tersebut.
Kesimpulan:
Film/Video diambil gambarnya oleh kamera tunggal dan kemudian disambung
sambung sedemikian rupa sehingga menjadi suatu penuturan yang baik. Semakin baik
dipersiapkan, biasanya semakin baik pula hasilnya
Film cerita yang di skenariokan dengan baik, terencana detik per detik, menit per menit
dipilah pilah dengan seksama, kemudian dirangkai dengan sangat teliti akan
menghasilkan Film yang baik.
Editor Film tidak bisa merubah yang sudah terjadi dari hasil shooting.
Editor tidak bisa merubah lighting, setting, menyediakan cut away dsb.
Editor hanya bisa melakukan penyambungan dari gambar2 yang telah di shooting atau
telah diambil gambarnya saja.
DAFTAR PUSTAKA.
1. Bobker, Lee R. 1973. Making movies: From Script to Screen. Harcourt, Brace:
Javanovitch.
2. Budiyanto, 2006. Hand Out Bahasa Visual, SAV Puskat, Yogyakarta.
3. Darman, 1998. Hand Out, Operasionalisasi Kamera, SAV Puskat, Yogyakarta
4. Harmon, Renee. 1993. The beginning: Filmmakers Guide to Directing. USA,
Walker Publishing Company, Inc.
5. Katz, Steven d. 1991. Shot by Shot, film directing, Braum-Braumfield, Ann Arbor,
Michigan, USA
6. Mascelli, Joseph V. 1986, Terjemahan HMY Biran, The Five Cs Of Cinematography
Cine/Grafic Publications, Hollywood, California.
7. Subroto, Darwanto Sastro. 1992. Produksi Acara Televisi. Duta Wacana University
Press.