PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cedera kepala adalah salah satu masalah neurologi yang tampaknya kian
meningkat seiring dengan perkembangan kota-kota yang semakin banyak dan
semakin sibuk. Perkembangan kendaraan dan keberadaan jalan tidak seimbang,
banyaknya dibangun gedung-gedung dengan tingkat yang tinggi juga memberikan
kontribusi yang cukup terhadap perkembangan kasus ini. Akibat perubahan pola
kesibukan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan
dampak yang besar pula (Soebroto, 2009).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan
pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera dilakukan secara serentak agar
dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Cedera kepala
adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Safrizal, 2013).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala
ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kepala
2.1.1 Kulit Kepala (SCALP)
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika : jaringan ikat berhubungan
kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari
mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.
2.1.3 Meningen
6
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk
2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus.
Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3
posterior berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan
tekanan intracranial.
Arteri2 meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.
2. Arachnoid
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus /
fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul
trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang
laba laba.
Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale,
yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah
sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah
sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.
Dari aracnoidea juga muncul jonjot jonjot yang mengadakan invaginasi ke
duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis
yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan bahan dari
LCS ke sinus venosus.
3. Piameter
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro
spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang
subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra
cranial..
2.1.4 Otak
8
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu
lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer
kiri terdapat pusat bicara.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa
posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua
hemisfer serebri.
3. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang
sampai medulla spinalis.
2.1.5 Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau
sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh pleksus koroideus yang
terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis
dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan
serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah
diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian
melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke
9
dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka
di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam
ruangan subaraknoid, melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater
kemudian masuk ke aliran vena
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal
melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan
serebrospinal yang berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan
tekanan dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah
transventricular absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan
unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal
dan temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari
corpus callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari
cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary
(menyebabkan pituitary disfunction)
2.1.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1.
2.
Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
10
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis
dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam
sinus venosus cranialis
2.1.8 Fisiologi
ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses patologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang
selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang
mengganggu fungsi otak., Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya (American college of surgeon,1997).
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu
4 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia.Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.3 Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti
gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal.
Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK
secara cepat akan meningkat.
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar
dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama
dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V
br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
Doktrin Monro-Kellie
11
nilai ai
4
3
2
1
5
4
3
2
1
Morfologi cedera
13
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,
lebih banyak fraktur ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
banyak mempunyai cedera berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan
pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2.
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien
pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
(Bernath, 2009)
14
a.
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau
menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena
pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau
9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis
dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan
gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya
lucid interval yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tibatiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak
mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf (Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna
dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas
dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat
diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,
2007).
15
b. Hematom Subdural
Hematoma
subdural
(SDH)
lebih
sering
terjadi
akibat
robeknya
vena
16
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut biasanya sangat lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%,
namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan
medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat
tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial
hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan
tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola
tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens,
berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya,
gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini
semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens
(Ghazali, 2007)
c.
selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum
dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak
jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara
lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan
(Hafidh, 2007).
17
d.
Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad
(American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal
sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu
lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam
dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti
hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus
dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan
tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997). Dalam beberapa
18
referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala. Karenanya
akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian
namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
19
h. keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun
berwarna kemerahan)s
i. sakit kepala (hebat)
j. hipotensi (tekanan darah rendah)
k. tampak sangat mengantuk.
l. Rewel
m. perubahan perilaku/kepribadian
n. gelisah
o. bicara ngawur
p. kaku kuduk
q. pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
r. penglihatan kabur
s. luka pada kulit kepala
t. perubahan pupil (bagian hitam mata).
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada
anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada
pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary
survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ.1 Penilaian GCS awal saat
penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan
cedera kepala.4 Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan
lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi
motorik, fungsi sensorik, dan refleksrefleks.8
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. 8
Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai
adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala
hebat.3 Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :8
1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang
dan berat.
2. Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
5. Sakit kepala yang hebat
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
21
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi
yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah
TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada
cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus
cedera kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian
kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena
otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri
dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan
koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti
NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh
karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan
tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan
volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui
pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan
eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik,
diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam
keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas
darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada
demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral
melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering
timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom
atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
o Kejang pertama
: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi
: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <4 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat
larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling
cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
24
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti
pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang
h. Komplikasi sistematik
1. Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada
fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
2. Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah
kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan
suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan
suhu dengan kompres
3. Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat dicegah
dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
4. Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi
trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut ada yang bersifat sementara perlu cepat
ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan
saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat
tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium,
antagonis glutama dan sitikolin
Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah
sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan wait and see pada
pasien ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting.
Jangan menunda CT scan.
A. Primary Survey dan Resusitasi
Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien
dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat
dua kali lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia
ditambah hipotensi berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai 75%.
Maka dari itu, stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah
prioritas dan dan harus segera tercapai.
Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder.
Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen
100% sampai didapat gas darah, lalu penyesuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri
adalah pembantu yang berguna
Hiperventilasi harus digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara hatihati dandipakai hanya saat terjadi penurunan tingkat neurologic.
25
Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium
terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak
menyebabkan syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien
hipotensi.
Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas.
Penyebab yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau
tamponade dan tension pneumothorax.
B. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang
cepat dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada
pasien koma, respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau
dengan nail-bed pressure.
C. Secondary Survey
Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk
mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin.
D. Prosedur Diagnostik
CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik
stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara
rutin 12-24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT
scan awal.
26
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
th
Schwartzs PRINCIPLES OF SURGERY. 8 edition. McGraw-Hill. New York.
Page 1496-1498.
4.
Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease
In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
5.
Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netters Atlas
of Humans Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
6.
Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of
27
th
edition.
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hirschsprungs_ez/dikunjungi
pada
tanggal 27 Januari 2013
www.ptolemy.ca/members/archives/2005/Neonatal/60.pdf dikunjungi
pada tanggl 27 Januari 2013
http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/pedsdigest/images/ei0064.gif
dikunjungi pada tanggal 27 Januari 2013.
Irawan, Budi. Pengamatan fungsi anorectal pada penderita penyakit hischprung
pasca operasi full-through. Bagian ilmu bedah FK USU : 1-31
Wahab , Samik. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. EGC : 2000
28