rahim
.
Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri :
Umur yang terlalu muda / tua
Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara
Partus lama dan partus terlantar
Uterus terlalu regang dan besar misal pada gemelli, hidromnion / janin besar
Kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus couveloair pada solusio
plasenta
Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi
2. Laserasi Jalan lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan
postpartum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan
postpartum dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh
robelan servik atau vagina.
- Robekan Serviks
Persalinan Selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga servik
seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam.
Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun
plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik,
perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.
- Robekan Vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak
sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering
terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus
diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada
pemeriksaan speculum.
- Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi
digaris tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat,
sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia
suboksipito bregmatika.
Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan
yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat.
3. Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus genitalia,
dan tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina atau perineum yang ekimotik.
Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgesic dan pemantauan yang terus
menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali secara alami. Hematoma
yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada
daerah jahitan perineum.
4. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam
setelah bayi lahir. Penyebab retensio plasenta :
A. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
2
LAIN
Atonia uteri
darah
pada
atau
posis
serviks
terlentang
akan
Darah
segar
yang Pucat
Menggigil
kontraksi
dan
keras
Plasenta lengkap
Plasenta
belum
setelah 30 menit
traksi berlebihan
Inversio
uteri
akibat
Perdarahan lanjutan
atau
selaput
(mengandung tinggi
pembuluh
darah)
fundus
tidak berkurang
lengkap
Perdarahan segera (P3)
Uterus tidak teraba
Neurogenik syok
Inversio uteri
Anemia
fragmen
plasenta
Perdarahan
Late
hemorrhage
berbau
Perdarahan postpartum
postpartum
sekunder
1. Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung
pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain (Allo anamnese). 80%
untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis.
Tujuan anamnesis yaitu untuk mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya
mengenai kondisi pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara. Ada beberapa kondisi
yang sudah dapat ditegaskan dengan anamnesis saja, membantu menentukan penatalaksanaan
selanjutnya.
5
Anamnesis yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis dimulai dengan
mencari keterangan mengenai nama, alamat, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya.
Keterangan yang didapat ini kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada kita.
Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai
hal-hal berikut:
1) Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien
(kemungkinan diagnosis)
2) Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien (diagnosis banding)
3) Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor
predisposisi dan faktor risiko)
4) Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5) Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor
prognostik, termasuk upaya pengobatan)
6) Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya
Riwayat obstetric:
A. Riwayat menstruasi meliputi: menarche, lamanya siklus, banyaknya, baunya, keluhan
waktu haid, HPHT.
B. Riwayat perkawinan meliputi: usia kawin, kawin yang keberapa, usia mulai hamil.
C. Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu.
1. Riwayat hamil meliputi: waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus, retensi
plasenta.
2. Riwayat persalinan meliputi: tua kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat bersalin,
apakah ada kesulitan dalam persalinan anak lahir atau mati, berat badan anak waktu lahir,
panjang waktu lahir.
3. Riwayat nifas meliputi: keadaan luka, apakah ada pendarahan, ASI cukup atau tidak dan
kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi.
4. Riwayat kehamilan sekarang.
i.
Hamil muda, keluhan selama hamil muda.
ii. Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan, suhu,
nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual, keluhan lain.
Riwayat antenatal care meliputi: dimana tempat pelayanan, beberapa kali, perawatan serta
pengobatannya yang didapat.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda-tanda vital:
1. Suhu badan. Suhu biasanya meningkat sampai 380 C dianggap normal. Setelah satu hari
suhu akan kembali normal (360 C 370 C), terjadi penurunan akibat hipovolemia.
2. Denyut nadi. Nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi hipovolemia yang
semakin berat.
3. Tekanan darah. Tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia.
4. Pernafasan. Bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan juga menjadi tidak normal.
Pemeriksaan Khusus:
Observasi setiap 8 jam untuk mendeteksi adanya tanda-tanda komplikasi dengan
mengevaluasi sistem dalam tubuh. Pengkajian ini meliputi:
1. Nyeri/ketidaknyamanan: nyeri tekan uterus (fragmen-fragmen plasenta tertahan),
ketidaknyamanan vagina/pelvis, sakit punggung (hematoma).
6
2. Sistem vaskuler:
a. Perdarahan di observasi tiap 2 jam selama 8 jam 1, kemudian tiap 8 jam berikutnya.
b. Tensi diawasi tiap 8 jam.
c. Apakah ada tanda-tanda trombosis, kaki sakit, bengkak dan merah.
d. Haemorroid diobservasi tiap 8 jam terhadap besar dan kekenyalan.
e. Riwayat anemia kronis, konjungtiva anemis/sub anemis, defek koagulasi kongenital,
idiopatik trombositopeni purpura.
3. Sistem Reproduksi
a. Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari post partum, kemudian tiap 8 jam
selama 3 hari meliputi tinggi fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya.
b. Lochea diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap warna, banyak dan bau.
c. Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda-tanda infeksi, luka jahitan dan
apakah ada jahitannya yang lepas.
d. Vulva dilihat apakah ada edema atau tidak.
e. Payudara dilihat kondisi areola, konsistensi dan kolostrum.
f. Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran dan fungsi sebelum
kehamilan (sub involusi).
4. Traktus urinarius.Diobservasi tiap 2 jam selama 2 hari pertama. Meliputi miksi lancar
atau tidak, spontan dan lain-lain.
5. Traktur gastro intestinal.Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi.
6. Integritas Ego: mungkin cemas, ketakutan dan khawatir.
3. Pemeriksaan penunjang
1. Golongan darah: menentukan Rh, ABO, dan percocokan silang.
2. Jumlah darah lengkap: menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel darah
putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil: 12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak
hamil: 37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3.
saat hamil 5.000-15.000).
3. Kultur uterus dan vagina: mengesampingkan infeksi pasca partum.
4. Urinalisis: memastikan kerusakan kandung kemih.
5. Profil koagulasi: peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin
(FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen: masa tromboplastin partial diaktivasi, masa
tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID Sonografi:
menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.
1.6. Penatalaksanaan
Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun
rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica.
o Ligasi arteri
11
12
Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan
bila memungkinkan sediakan donor darah dandititipkan di bank darah. Pemasangan cateter
intravena dengan lobangyang besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk
pasiendengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi.Sangat dianjurkan pada
pasien dengan resiko perdarahan postpartumuntuk menabung darahnya sendiri dan digunakan
saat persalinan.
Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circularatau maju mundur
sampai uterus menjadi keras dan berkontraksidengan baik. Massae yang berlebihan atau
terlalu keras terhadaputerus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta
bisamengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan mempercepatkontraksi akan
menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan danmemicu terjadinya perdarahan
postpartum.
1. Syok hemorragic
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran
akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke
seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani
dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan
selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini
terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan
2. Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan perubahan
hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut menjadi
masalah apabila tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak
juga pada asupan ASI bayi.
3. Sindrom Sheehan
Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan postpartum sampai syok.
Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar
hipofisis. Nekrosis kelenjar hipofisis dapat mempengaruhi sistem endokrin.
1.9. Prognosis
Angka kematian ibu mencapai 7,9 % (Mochtar R.) dan menurut Wygniosastro angka
kematian ibu mencapai 1,8-4,5% dari kasus yang ada.
2. HIPOTERMIA PADA BAYI
2.1. Definisi
Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh di bawah 36 C. Suhu normal bayi, baru
lahir berkisar 36,5 C 37,5 C (suhu ketiak). Gejala awal hipotermia apabila suhu < 36 C
atau kedua kaki, dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi
sudah mengalami hipotermi sedang (Suhu 32 C 36 C). Disebut hipotermia berat bila suhu
tubuh < 32 C. Hipotermia menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya metoblis anerobik, meningkatkan kebutuhan oksigen,
mengakibatkan hipoksemia dan berlanjut dengan kematian. (Saifudin, 2002)
BBL dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme :
a. Penurunan produksi panas
Karena kegagalan sistem endokrin dan terjadi penurunan metabolisme tubuh.
b. Peningkatan panas yang hilang
Karena panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan
panas.
Mekanisme kehilangan panas dapat terjadi secara :
Konduksi
Perpindahan panas akibat perbedaan suhu antara objek. Kehilangan panas
terjadi saat kontak lagsung antara kulit BBL dengan permukaan yang lebih
dingin. Contoh : penimbangan BBL pada permukaan / alas yang dingin.
Konveksi
Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaan
kulit dan aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Contoh : BBL
Pada inkubator yang jendelanya terbuka dan pada saat transportasi BBL ke
14
RS.
Radiasi
Perpindahan suhu dari objek panas ke objek yang dingin. Contoh : BBL
dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin.
Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin atau
suhu inkubator yang dingin.
Evaporasi
Panas terbuang akibat penguapan melalui permukaan kulit dan traktur
respiratorius. Contoh : BBL yang basah setelah lahiratau pada waktu
dimandikan.
c. Kegagalan termerogulasi
Disebabkan kegagalan hipotalamus dalam menjalankan fungsinya karena
berbagai penyebab. Contoh : keadaan hipoksia intrauterin / saat persalinan
atau
postpartum, defek neurologik dan paparan obat parenteral dapat menekan
respon
neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi yang sepsis
juga
dapat mengalami masalah dalam pengaturan suhu tubuhnya sehingga
menjadi
hipotermi / hipertermi.
15
penurunan suhu tubuh1-2c sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali
setelah bayi berumur 4-8 jam, bila suhu ruang di atur sebaik-baiknya. Hipotermi sepintas
ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi lama, ruangan tempat bersalin
yang dingin, bila bayi segera di bungkus setelah lahir terlalucepat di mandikan(kurang
dari 4 -6 jam sesudah lahir).
2. Hipotermi akut
terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6-12 jam, terdapat pada bayi
dengan BBLR, diruang tempat bersalin yang dingin, incubator yang cukup panas.
Terapinya adalah: segeralah masukan bayi segera kedalam inkubataor yang suhunya
sudah menurut kebutuhan bayi dan dalam kaadaan telanjang supaya dapat di awasi secara
teliti. Gejala bayi lemah,gelisah, pernafasan dan bunyi jantung lambat serta kedu kaki
dingin.
3. Hipotermi sekunder
Penurunan suhu tubuh yang tidak di sebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi
oleh sebab lain seperti sepsis, syndrome gangguan nafas, penyakit jantung bawaan yang
berat,hipoksia dan hipoglikemi, BBLR. Pengobatan dengan mengobati penyebab.
Misalnya: pemberian antibiotika,larutan glukosa, oksigen dan sebagainya.
4. Cold injuri
hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruang dingin (lebih dari 12 jam). Gejala:
lemah, tidak mau minum, badan dingin, oligouria , suhu berkisar sekitar 29,5c-35c,
tidak banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan, kaki dan muka, seolah-olah
dalam keadaan sehat, pengerasan jaringan sub kutis. Pengobatan : memanaskan secara
perlahan-lahan, antibiotika, pemberian larutan glukosa10% dan kortikostiroid.
2.4. Manifestasi Klinis
Gejala hipotermia bayi baru lahir :
a. Bayi tidak mau minum / menyusui
b. Bayi tampak lesu atau mengantuk
c. Tubuh bayi teraba dingin
d. Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi, menurun dan kulit tubuh bayi mengeras
(sklerema).
Tanda tanda hipotermia sedang :
a. Aktifitas berkurang, letargis
b. Tangisan lemah
c. Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata)
d. Kemampuan menghisap lemah
e. Kaki teraba dingin
f. Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin
Tanda tanda hipotermia berat :
a. Aktifitas berkurang, letargis
b. Bibir dan kuku kebiruan
c. Pernafasan lambat
d. Pernafasan tidak teratur
e. Bunyi jantung lambat
f. Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis metabolik
16
17
3) Ulangi sampai panas tubuh ibu mendingin, segera ganti dengan selimut / kain
yang hangat.
Mencegah bayi kehilangan panas dengan cara :
a) Memberi tutup kepala / topi bayi
b) Mengganti kain / popok bayi yang basah dengan yang kering dan hangat
b. Hipotermi Berat
1) Keringkan tubuh bayi dengan handuk yang kering, bersih, dan hangat
2) Segera hangatkan tubuh bayi dengan metode kanguru, bila perlu ibu dan bayi
berada dalam satu selimut atau kain hangat
3) Bila selimut atau kain mulai mendingin. Segera ganti dengan selimut atau
lainnya hangat ulangi sampai panas tubuh ibu menghangatkan tubuh bayi
4) Mencegah bayi kehilangan panas dengan cara :
a) Memberi tutup kepala / topi kepala
b) Mengganti kain / pakaian / popok yang basah dengan yang kering
atau hangat
5) Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia. Karena itu ASI sedini
mungkin dapat lebih sering selama bayi menginginkan. Bila terlalu lemah
hingga tidak dapat atau tidak kuat menghisap ASI. Beri ASI dengan
menggunakan NGT. Bila tidak tersedia alat NGT. Beri infus dextrose 10%
sebanyak 60 80 ml/kg/liter
6) Segera rujuk di RS terdekat
Metode Kangguru
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Kesiapan dan keikut sertaan orang tua, sangat mendukung dalam keberhasilan.
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin serum total yang
lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera
dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan
kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak. (Ni Luh Gede, 1995).
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan
>10 mg/dL.
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
Terdapat faktor risiko.
3.2. Etiologi
Penyebab ikterus pada neonatus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
o Produksi bilirubin berlebihan dapat terjadi karena kelainan struktur dan enzim sel darah
merah, keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikosteroid, klorampinekol),
chepalhematoma.
o Gangguan dalam proses ambilan dan konjugasi hepar: obstruksi empedu, infeksi,
masalah metabolik, Joundice ASI, hypohyroidisme.
o Gangguan transportasi dalam metabolisme bilirubin.
o Gangguan dalam ekskresi bilirubin.
20
Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
21
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan
12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik
Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5
mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
22
a. Anamnesis : riwayat ikterus pada anak sebelumnya, riwayat keluarga anemi dan
pembesaran hati dan limpa, riwayat penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat
infeksi maternal, riwayat trauma persalinan, asfiksia.
b. Pemeriksaan fisik :
Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)
Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan
dilakukan pada pencahayaan yang memadai.
Perkiraan
bilirubin
5,0 mg%
II
9,0 mg%
III
IV
12,4 mg/dl
16,0 mg/dl
kadar
23
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
3. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 2)
b) Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari
cahaya (dengan aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total >
20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
c) Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm.
Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang
diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength
spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan
dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk
mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan
pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris,
melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini
hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l).
Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB)
memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi
cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun
disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu
tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum
bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk.
(2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin
sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam
mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
24
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar
bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
3.6. Penatalaksanaan
Penanganan medis
Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti,
infuse albumin dan therapi obat.
a. Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti
untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang
tinggi ( a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the bluelight spectrum) akan
menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara
memfasilitasi ekskresi bilirubin ta k terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang
diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut
fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme
difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum
untuk di buang bersa ma feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi
terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indire k 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan
25
Tabel 4 : Tatalaksana hiperbilirubinemia pada neonatus cukup bulan yang sehat (American
Academy of Pediatrics)
* = Neonatus cukup bulan dengan ikterus pada umur < 24 jam, bukan neonatus sehat dan
perlu evaluasi ketat
Tabel 5 : Tatalaksana hiperbilirubinemia pada bayi berat lahir rendah
Berat badan Konsentrasi bilirubin indirek (mg/dL)
(gram)
5-7
7-9
10-12 12-15 15-20
> 20
< 1000
1000 - 1500
1500 - 2000
2000 - 2500
FT
Obs. Ulang Bil. FT
Obs. Ulang Bil.
Obs.
Obs.
Ulang
Bil.
> 2500
Obs. Bil.
>25
TT
TT
FT
FT
TT
TT
FT
TT
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk
beberapa hari pertama
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin
Bila memungkinkan, skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum lahir.
Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga periksa G6PD
Pencegahan infeksi
3.8. Komplikasi
Ensefalopati hiperbilirubinemia (bisa terjadi kejang, malas minum, letargi dan dapat
berakibat pada gangguan pendengaran, palsi serebralis).
3.9. Prognosis
Baik, bila ditangani dengan tepat. Buruk bila timbul kern ikterus. Kern ikterus adalah
sindrom neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin indirek dalam sel otak.
28
Kehilangan darah
Dapat akibat eksternal seperti melalui luka terbuka
Perdarahan internal dapat menyebabkan syok hipovolemik jika perdarahan ini
diodalam thoraks, abdomen, retroperitoneal atau tungkai atas
Kehilangan Plasma merupakan akibat yang umum dari luka bakar, cidera berat atau
inflamsi peritoneal
Kehilangan cairan dapat disebabkan oleh hilangnya cairan secara berlebihan melalui
jalur gastrointestinal, urinarius, atau kehilangan lainnya tanpa adanya penggantian
yang adekuat.
Status mental
Perubahan dalam sensorium merupakan tanda khas dari stadium syok. Ansietas, tidak
tenang, takut, apatis, stupor, atau koma dapat ditemukan. Kelainan-kelainan ini
menunjukkan adanya perfusi cerebal yang menurun.
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah
Perubahan awal dari tekanan darah akibat Hipovolemia adalah adanya
pengurangan selisih antara tekanan siastolik dan sistolik. Ini merupakan akibat
29
Kulit
Kulit dapat terasa dingin, pucat, dan berbintik-bintik. Secara keseluruhan mudah
berubah menjadi pucat.
Vena-vena ekstremitas menunjukkan tekanan yang rendah ini yang dinamakan
vena perifer yang kolaps. Tidak ditemukan adanya distensi vena jugularis.
Gejala Lain
Pasien mengeluh mual, lemah atau lelah. Sering ditemukan rasa haus yang sangat.
Pemantauan
Parameter dibawah ini harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan : denyut
jantung, Frekuensi pernafasan, tekanan darah, tekanan vena sentral (CVP) dan
pengeluaran urin. Pengeluaran urin yang kurang dari 30ml/jam (atau 0,5 ml/kg/jam)
menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat
Penatalaksanaan pernafasan
Pasien harus diberikan aliran oksigen yang tinggi melalui masker atau Kanula. Jalan
napas yang bersih harus dipertahankan dengan posisi kepala dan mandubula yang
tepat dan aliran pengisapan darah dan sekret yang sempurna. Penentuan gas darah
arterial harus dilakukan untuk mengamati ventilasi dan oksigenasi. Jika ditemukan
kelainan secara klinis atau laboratorium analisis gas darah, pasien harus diintubisi dan
30
diventilasi dengan ventilator yang volumenya terukur. Volume tidal harus diatur
sebesar 12 sampai 15 ml/kg, frekuensi pernapasan sebesar 12-16 permenit. Oksigen
harus diberikan untuk mempertahankan PO2 sekitar 100mmHg. Jika pasien
melawan terhadap ventilator, maka obat sedatif atatu pelumpuh otot harus
diberikan. Jika cara pemberian ini gagal untuk menghasilkan oksigenase yang
adekuat, atau jika fungsi paru-paru menurun harus menambahkan 3-10 cm tekanan
ekspirasi akhir positif
Pemberian cairan
Penggantian cairan harus dimulai dengan memasukkan larutan ringer laktat atau
larutan garam fisiologis secara cepat. Umumnya paling sidikt 1-2 liter larutan RL
harus diberikan dalam 45-60 menit pertama atau bisa lebih cepat lagio bila
dibutuhkan. Jika hipotensi dapat diperbaiki dan tekanan darah tetap stabil, ini
merupakan indikasi bahwa kehilangan darah sudah minimal. Jika hipotensi tetap
berlangsung harus dilakukan tranfusi darah pada pasien ini secepat miungkin dan
kecepatan serta jumlah yang diberikan disesuaikan dari respon yang dipantau.
Vasopresor
Pemakain vasopresor pada penangan syok hipovolemik akhir-akhir ini kurang disukai
alasannya adalah bahwa ha ini akan lebih megurangi perfusi jaringan. Vasopresor
dapat diberikan sebagai tindakana sementara untuk meningkatkan tekanan darah
sampai mendapatkan cairan pengganti yang adekuat. Hal ini terutama bermanfaat bagi
pasien yang lebih tua dengan penyakit koroner atau penyakit pembuluh darah otak
yang berat, hal yang digunakan adalah Norepineorin 4-8 Mg yang dilarutkan dalam
500 ml 5% dekstrosa dalam air ( D5W, atau metaraminor, 5-10 ml yang dilarutkan
dalam 500ml D5W yang bersifat pasokonstriktor predominan dengan efek yang
minimal pada jantung.
Dosis harus disesuaikan dengan tekanan darah.
4.5. Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab dari syok, kesehatan keseluruhan pasien, dan kecepatan
perawatan dan kesembuhan. Umumnya, syok hipovolemik dan syok anafilaktik merespon
baik pada perawatan medis jika dimulai dengan awal.
31
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.Rustam Mochtar, MPH.2002.Sinopsis Obstretis, edisi 2 jilid 1, Editor Dr.
Delfi Lutan, SpOG
Depkes RI .1994. Pedoman Penanganan Kegawatdaruratan Obstektrik dan Neonatal, Jakarta
: Departemen Kesehatan RI,
Depkes RI .Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
Saifuddin, Abdul Bari, 2002, Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta :
INPKKR-POGI & YBS SP,
Wiknjosastro Gulardi H., dkk.2007.Asuhan Persalinan Normal.Jakarta: JNPK-KR
Handoko, I.S.2003. Hiperbilirubinemia. Jakarta: Klinikku.
Kosim,M,sholeh.2009.Buku Ajar Neonatalogi, Jakarta : IDAI
Saifuddin, Abdul bari , dkk.2006. Buku Panduan Praktis Maternal dan Neonatal. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Usman Ali, dkk. 2002. Diktat Kuliah Perinatologi. Bandung : FKUP RSHS Bandung
Editor Prof.dr. Hanifa Wiknjosastro, SpOg.1999.Ilmu Kebidanan edisi Ketiga cetakan
Kelima. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
F.Gary Cunningham (Editor), Norman F.GrantMD,Kenneth J,.,Md Leveno, Larry C.,Iii,Md
Gilstrap,John C.,Md Hauth,Katherine D.,Clark,Katherine D.Wenstrom.2001.Williams
Obstretics 21 st Ed: by McGraw-Hill Profesional
Gabbe.2002.Obstretics Normal and Problem Pregnancies,4th ed.,Copyright .Churchil
Livingstone, Inc.
Editor Arif Mansjoer ,Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri , Wahyu Ika Wardani , Wiwiek
Setiowulan.2000.Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke tiga Jilid Pertama.Jakarta:Media
Aesculapius
Sudoyo, Aru W,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III.Jakarta:Interna
Publishing
32