Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Fisiologi Selaput Otak

Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi


struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
1. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah.
Durameter terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang
tengkorak (periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi
permukaan tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum
dan diafragma sella.
2. Lapisan Tengah (Araknoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara

durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan
jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah
arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta
dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini
melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan
diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang
ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak
ke sumsum tulang belakang.
2.2 Definisi

Meningitis merupakan peradangan pada bagian araknoid dan piameter


(leptomeningens) selaput otak dan medula spinalis. Peradangan pada bagian
durameter disebut pakimeningen. Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
jamur atau karena toksin. ( Tarwoto dkk, 2007)
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter
(lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih

ringanmengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. ( Wahyu


Widagyo, dkk 2008)
Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meningen otak dan medula
spinal. Gangguan ini biasanya merupakan komplikasi bakteri (infeksi sekunder)
seperti sinusitis, otitis media, pnemonia, endokarditis, atau osteomielitis. ( Fransisca
B. Batticaca, 2008)
Meningitis adalah penyakit serius yang paling umum pada saraf pusat,
biasanya disebakan oleh bakteri atau virus walaupun jamur, protozoa, dan toksin
merupakan penyebabnya.menigitis sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari
tempat lain di tubuh misalnya sinus, telinga, atau bagian napas atas. ( Elizabeth
J.corwin, 2009)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa meningitis adalah
suatu peradangan sistem saraf pusat (SSP) yang mengenai lapisan dalam selaput otak
( piameter dan araknoid ) sebabkan oleh bakteri, virus, jamur, protozoa dan toksin.
2.3 Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme seperti:

Haemophilus influenza.
Neisseria meningitis (meningococus)
Diplococus pneumonia
Steptocucus group A
Psedomonas
Staphylococus aureus
Escherichia coli

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya meningitis dapat digolongkan menjadi meningitis
bakterial, meningitis tuberkulosa, meningitis virus dan meningitis jamur.

Meningitis bakterial
Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang
susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan kematian, dan
kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan
meningitis bakteri. Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta. Pada umumnya
meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis
meningokokus, prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan
multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi
komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut. Etiologi dari
meningitis bakterial antara lain: S. Pneumonie, N. Meningitis, Group B Streptococcus
atau S. Agalactiae, L. Monocytogenes, H. Influenza, Staphylococcus aureus.
Meningitis tuberkulosa
Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia
karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai
akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di paru. Terjadinya
meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh
penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel
pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah
kedalam rongga arakhnoid. Pada

pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa

ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada


dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat
yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis.
Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium tuberculosis.

Meningitis viral

Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel
dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps, herpes
simpleks, dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan
pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak ditemukan adanya organisme.
Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya
kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simpleks,
virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa
menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan
berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis. Etiologi
dari meningitis viral antara lain :
Meningitis jamur
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang
ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas, angka
kejadian meningitis jamur semakin meningkat. Problem yang dihadapi oleh para
klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh, jamur tidak
langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit / infeksi dan jamur tidak sering
ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh karena jamur
hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu pertumbuhannya. Etilogi
dari meningitis jamur antara lain: Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitris.
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klins yang klasik meliputi sakit kepala yang disebabkan oleh
iritasi durameter, kaku kuduk, dan tanda Kernig serta Brudzinski positif sebagai
akibat dari iritasi meningen. Gejala fotopobia dan demam juga muncul, khususnya
pada meningitis bakterial. Perubahan kesadaran yang meliputi latargi, iritabilitas,
kebingungan, dan penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi secara cepat dengan
disertai kejang. Pada bayi, manifestasi klinis mungkin kurang spesifikdan keadaan ini
mempersulit penegakan diagnosis.

Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan
oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti
oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada
meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,
muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam
makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas.
Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada
palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit
kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan
dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan
gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan
berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang
mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab
Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh
Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa
biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga
bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan
nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa
apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.

Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 3 minggu dengan


gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan
kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda
peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III
atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai
koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu
bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya. ( Arif Mansjoer, 2000)
2.6 Patofisiologi
Ada jalur utama dimana agent infeksi (bakteri, virus, fungi, parasit) dapat
mencapai system saraf pusat (CNS) dan menyebabkan penyakit meningeal. Awalnya,
agent infeksi berkolonisasi atau membentuk suatu fokal infeksi pada host. Kolonisasi
ini bisa berbentuk infeksi pada kulit, nasopharynx, traktus respiratorius, traktus
gastrointestinal

atau

traktus

urinarius.

Kebanyakan

pathogen

meningeal

ditransmisikan melewati rute respiratorik, Dari area kolonisasi ini, organisme


menembus submucosa melawan pertahanan host (misalnya, barier fisik, imunitas
local, fagosit/makrofag) dan mencapai akses ke system saraf pusat melalui:
1. Hematogen yaitu dengan cara kolonisasi mukosa pada nasofaring atau
infeksi pada paru dan kulit yang mengakibatkan pembenihan dalam darah
dan transfor ke meninges
2. Contingous yaitu penyebaran langsung ke meninges dari otitis media atau
sinusitis
3. Pintu langsung melalui trauma , punksi lumbal , atau pembedahan dapat
mengakibatkan inokulasi langsung pada CSS ( Brashers , Valentina L .
2008 )

Virus-virus respirasi tertentu diperkirakan meningkatkan masuknya agent


bacterial kedalam kompartement intravaskuler, mungkin melalui kerusakan
pertahanan mukosa. Di dalam sirkulasi darah, agent-agent infeksi harus melepaskan
diri dari pengawasan imun (misalnya, antibodi, complement-mediated bacterial
killing, neutrophil phagocytosis). Akibatnya, penyebaran hematogenous jauh dapat
terjadi, termasuk system saraf pusat. Mekanisme patofisiologi spesifik terjadi melalui
invasi agent kedalam ruang subaracnoid masih belum jelas.
Sekali berada di dalam system saraf pusat, agent-agent infeksi ini akan dapat
bertahan hidup oleh karena pertahanan host (misalnya, immunoglobulin, neutrophil,
komponen komplement) terbatas dalam kompartemen tubuh ini. Adanya agent dan
replikasi yang dilakukan tidak terkontrol dan mendorong terjadinya suatu cascade
inflamasi meningeal.
Kunci patofisiologi dari meningitis termasuk peran penting dari cytokines
(mis, tumor necrosis factor-alpha [TNF-alpha], interleukin [IL]1), chemokines (IL8), dan molekul proinflamasi lain dalam pathogenesis pleocytosis dan kerus akan
neuronal selama bacterial meningitis. Peningkatan konsentrasi TNF-alpha, IL-1, IL-6,
dan IL-8 dalam cairan serebrospinal adalah temuan khas pasien meningitis bacterial.

Meningitis Bakterial
Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai
tahap-tahap sebagai berikut :
1

Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi).

Bakteri menembus rintangan mukosa.

Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit
dan aktivitas bakteri olitik) dan menimbulkan bakteriemia.

Bakteri masuk kedalam cairan serebrospinal.

Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal.

Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.


Akhir akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis

bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen komponen bakteri dan
mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak
(meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan
tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan
tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia atau embolus septik,
yang diikuti dengan masuknya bakteri kedalam susunan saraf pusat dengan jalan
menembus rintangan darah otak melalui tempat tempat yang lemah, yaitu di
mikrovaskular otak atau pleksuskoroid yang merupakan media pertumbuhan yang
baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah
bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri
dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas
fagositosis dalam cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel keseluruh ruang
subaraknoid.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau padawaktu mati (lisis) akan
melepaskan dinding sel atau komponen komponen membransel (endotoksin,
teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan
peradangan di selaputotak (meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam

skema tersebut di bawah, sehingga timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada
waktu disisakan melepaskan lipopolisakarida / endotoksin, dan kuman Gram positif
akan melepaskan teichoic acid (asam teikoat).
Produk produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (selastrositdan microglia) memproduksi mediator
inflamasi seperti Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator
inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial, yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran
darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga terjadi syndrome inappropriate
antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena proses peradangan
akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin endogen
sistem supra optiko hipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini
menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun
osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu
mengantuk, iritabel dan kejang.

Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis
primer, dengan focus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru,
namun Blockloch menemukan 22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1%
di kelenjar limfe leher dan 1,2% tidak ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari
focus infeksi primer, basil masuk kesirkulasi darah melalui duktustorasikus dan
kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberculosis
milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastase yang biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich padatahun
1951, yakni bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk

tuberkel di otak, selaup totak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer atau selama perjalanan tuberculosis kronik
(walaupunjarang). Kemudian timbul meningitis akibat terlepasnya basil dan
antigennya dari tuberkel yang pecah karena rangsangan mungkin berupa trauma atau
factor imunologis. Basil kemudian langsung masuk keruang subarachnoid atau
ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya lesi atau setelah periode
laten beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada pasien yang sudah
tersensitisasi, maka masuknya basil keruang subarachnoid menimbulkan reaksi
peradangan yang menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal. Reaksi
peradangan ini mula-mula timbul di sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian
tampak jelas di selaput otak pada dasar otak dan ependim. Meningitis basalis yang
terjadi akan menimbulkan komplikasi neurologis, berupa paralisis saraf kranialis,
infark karena penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus karena tersumbatnya
alirancairan cerebrospinal. Perlengketan yang sama dalam kanalis sentralis medula
spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.
Meningitis Virus
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan.
Setelah masuk kedalam tubuh virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan
beberapa cara:

Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau


organ tertentu.

Penyebaran hematogen primer : virus masuk kedalam darah kemudian


menyebar ke organ dan berkembangbiak di organ-organ tersebut.

Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembangbiak di daerah pertama


kali masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.

Penyebaran melalui saraf : virus berkembangbiak dipermukaan selaput lender


dan menyebar melalui system saraf.

Berikut contoh cara transmisi virus :

Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui rute
saluran respirasi.

Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk.

Virus limfosit ikkorio meningitis : melalui kontak dengan tikus dan sejenisnya
ataupun bahan eksresinya.
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen

atau neural. Hematogen merupakan jalur tersering dari patogen viral yang diketahui.
Penetrasi neural menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas
pada virus Herpes (HSV-1, HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus),
dan kemungkinan beberapa enterovirus.

Pertahanan tubuh mencegah inokulum

virus dari penyebab infeksi yang signifikan secara klinis. Hal ini termasuk respon
imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan blood-brain barrier (BBB).
Virus bereplikasi pada sistem organ awal ( seperti mukosa sistem respiratorius atau
gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer
memperkenalkan virus ke organ retikulo endotelial (hati, spleen dan kelenjar limfe /
limfonodus) jika replikasinya timbul di samping pertahanan imunologis, viremia
sekunder dapat timbul, dimana dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam SSP.
Replikasi viral cepat tampaknya memainkan peranan dalam melawan pertahanan
host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam SSP tidak sepenuhnya
dimengerti. Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler
atau melalui defek natural (area post trauma dan tempat lain yang kurang BBB).
Respon inflamasi terlihat dalam bentuk pleositosis; leukosit polimorfonuklear (PMN)
menyebabkan perbedaan jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti kemudian
dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit CSS telah dikenali
sebagai sel T, meskipun imunitassel B juga merupakan pertahanan dalam melawan
beberapa virus.

Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP


dengan transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis
HSV-1 adalah melalui akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh
serat olfaktorike basal frontal dan lobus temporal anterior.
Meningitis Jamur
Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari lingkungan sekitar.
Pada saat dalam tubuh host Cryptococcus membentuk kapsul polisakarida yang besar
yang resisten terhadap fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh konsentrasi
fisiologis karbondioksida dalam paru. Keadaan ini meyebabkan jamur ini beradaptasi
sangat baik dalam host mamalia. Reaksi inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks
primer paru kelenjar limfe (primary lung lymp node complex) yang biasanya
membatasi penyebaran organisme.
Kebanyakan infeksi paru ini tanpa gejala, tetapi secara klinis dapat terjadi
seperti gejala pneumonia pada infeksi pertama dengan gejala yang bervariasi
beratnya. Keadaan ini biasanya membaik perlahan dalam beberapa minggu atau bulan
dengan atau tanpa pengobatan. Pada pasien lainnya dapat terbentuk lesi pulmonar
fokal atau nodular. Cryptococcus dapat dorman dalam paru atau limfenodus sampai
pertahanan host melemah. Cryptococcus neofarmans dapat menyebar dari paru dan
limfenodus torakal ke aliran darah terutama pada host yang sistem kekebalannya
terganggu. Keadaan ini dapat terjadi selama infeksi primer atau selama masa
reaktivasi bertahun-tahun kemudian. Jika terjadi infeksi jauh, maka tempat yang
paling sering terkena adalah susunan saraf pusat. Keadaan dimana predileksi infeksi
ini terutama pada ruang subarakhnoid, belum dapat diterangkan.
Ada beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis infeksi Cryptococcus
neofarmans pada susunan saraf pusat. Jamur ini mempunyai beberapa fenotif
karakteristik yang diaktakan berhubungan dengan invasi pada susunan saraf pusat
seperti, produksi phenoloxidase, adanya kapsul polisakarida, dan kemampuan untuk
berkembang dengan cepat pada suhu tubuh host. Informasi terakhir mengatakan
bahwa melanin bertindak sebagai antioksi dan yang melindungi organisme ini dari

mekanisme pertahanan tubuh host. Faktor karakteristik lainnya yaitu kemampuan


kapsul untuk melindungi jamur dari pertahanan tubuh terutama fagositosis dan
kemampuan jamur untuk hidup dan berkembang pada suhu tubuh manusia.
2.7 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien meningitis adalah.
(Arif Muttaqin, 2011).
1. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan dan
edema pada otak dan selaput otak.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan perubahan
tingkat kesadaran, depresi pusat napas di otak.
3. Gangguan perfusi jaringan yang berhubungan dengan infeksi meningekokus.
4. Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.
5. Hipertermia yang berhubungan dengan inflamasi pada meningen dan
peningkatan metabolisme umum.
6. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan adanya kejang berulang,
fiksasi kurang optimal.

Anda mungkin juga menyukai