Chapter IIe
Chapter IIe
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi cedera otak adalah proses patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat
degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar yang
menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif dan psikososial yang sifatnya menetap atau
sementara dan disertai dengan hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Narayan et
al, 1996)
dan
dan
Parapenumbra area. Pada epicenter terputusnya pembuluh darah terjadi segera. Pada
penumbra dan parapenumbra area pukulan energi tidak merobek jaringan, tetapi
mengawali peristiwa molekuler sensitif-mekanik yang mengiduksi overexpresi dari Sur1. Sur-1 adalah regulator subunit dari non-selektif kation channel (NCCa-ATP) yang
ditemukan oleh Simard group dan berimplikasi pada patophisiologi edema serebri dan
bertransformasi dari kontusio menjadi hemoragic. Induksi overekspresi Sur-1
meningkatkan pembengkakan sel dan kematian onkotik sel astrocyte, neuron, dan sel
endothelial. Pecahnya endotelial sel mengakibatkan microhemoragic yang berakibat
terbentuknya perdarahan baru dan konsekuensi perdarahan menjadi progresif pada
traumatik kontusio serebri ( Kurland.D., 2012).
Gambaran CT scan pada kontusio serebri lokasi biasanya tanpak pada permukaan
korteks dan terlibat gray matter, pada sentral area terlihat hiperdense dan bercampur
dengan area hipodense yang merupakan bagian dari hemoragic necrosis atau bagian
jaringan otak yang rusak dan bagian otak yang edema (pericontusional edema) (
Selladurai.B., 2007).
Tidak ada aliran darah pada area sentral kontusio serebri dan pengurangan aliran darah
pada daerah perikontusional edema, dimana autoregulasi terganggu (vasoparalysis). Oleh
karena itu pada daerah perilesional ada kerusakan parsial sel yang rentan terhadap setiap
pengurangan perfusi oleh pengurangan MAP (mean arterial pressure), peningkatan
tekanan intrakranial atau vasokonstriksi setelah hipocapnia akibat dari hiperventilasi (
Selladurai.B., 2007).
Perkembangan dari lesi kontusio serebri adalah (1) Komponen perdarahan
berkembang; penyatuan fokus fokus perdarahan kecil dapat terjadi; komponen
perdarahan dari kontusio serebri dapat mencapai maximal dalam waktu 12 jam
pascatrauma pada 84% pasien; koangolopati dan alkoholik dapat memperbesar risiko
bertambahnya komponen perdarahan pada kontusio serebri, (2) Meningkatnya
pembengkakan zona sentral kontusio dan zona perikontusional; kerusakan parsial sel
parenkim pada sentral kontusio juga pada zona perikontusional bisa menyebabkan
bengkak (cytotoxic edema). Pada area nekrotik dari kontusio makromolekuler yang
didegradasi menjadi molekul yang lebih kecil dapat meningkatkan osmolaritas jaringan
dan bisa menyebabkan perpindahan cairan dari intravasculer ke area necrosis kontusio
(osmolar edema). Pembengkakan area sentral kontusio menyebabkan penekanan zona
perikontusional dan menyebabkan iskhemik lebih lanjut dan edema. Perikontusional
edema dapat mencapai maximal 48-72 jam setelah cedera ( Selladurai.B., 2007).
2.3.2 Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder merujuk kepada efek setelah peristiwa cedera primer,
secara klinis efek diaplikasikan setelah postraumatik hematom intrakranial, edema otak
dan peningkatan tekanan intrakranial dan pada fase lebih lambat hidrocephalus dan
infeki. Cedera otak sekunder adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah trauma yang
potensial cedera ini dapat menambah kerusakan neuron, axon, dan pembuluh darah otak.
Cedera otak sekunder yang terpenting adalah hipoxia ,hipotensi, hipercarbia, hiperexia,
dan gangguan elektrolit (Selladurai et al, 2007).
Nilai
Spontan
Rangsangan nyeri
Tidak ada
1
Nilai
b. Respon Motorik
Menurut perintah
Melokalisir nyeri
1
Nilai
c. Respon bicara
Berorientasi baik
Tidak ada
Tabel.1. Diambil dari: American College of Surgeons 1997, Advance Trauma Life
Support Program
Skala lain yang bisa dipakai untuk mengukur keparahan cedera kepala adalah
Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring system, Head Injury Watch
Sheet, Maryland Coma Scale, Leeds Coma Scale dan Glasgow Coma Scale. Kelebihan
GCS adalah cukup konsisten dan objektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda,
sederhana dan berguna sebagai pedoman terapi dan memberi informasi tentang prognosis
(Stein, 1996). Kendala GCS antara lain adalah jika penderita mengalami edema palpebra
atau terintubasi, ada variabel yang tidak bisa dinilai (Feldman, 1996).
pasien yang membaik secara signifikan dan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera
otak (Narayan et al, 1995).
Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond pada
tahun 1975. Prognosis pascacedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien
pascacedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis.
Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu
menilai prognosis pascakoma traumatik ataupun nontraumatik (Bullock, 2004; Narayan,
Michel,2002; Jennet, 2005).
Telaah pada penderita adalah sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah
cedera otak di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf . Keduanya memutuskan
bahwa penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan pascatrauma (Jennet,
2005).
Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori (Jennet ,2005)
(1) Pemulihan baik (good recovery= GR) diberi nilai 5.Pasien dapat berpartisipasi
pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaa ini dapat disertai
komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan kelemahan
ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan personal.
(2) Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but disabled)
diberi nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu
menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien
defisit memori/perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi paska
traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada
orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan
personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi
tidak dapat dilakukan tanpa asisten.
(3) Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent) diberi
nilai 3. Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai baju,
makan, dll), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental yang
mutlak memerlukan supervisi perawat/keluarga.
(4) Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu menuruti perintah
ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering ditemukan grasping reflek,
GOS asli
Nilai
GOS E
Nilai
Meninggal dunia
Meninggal dunia
Status vegetative
Status vegetative
Ketidakmampuan Berat
Ketidakmampuan berat
Ketidakmampuan Sedang
Pemulihan Baik
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Ketidakmampuan sedang
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Pemulihan baik
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Barthel dengan manampilkan rentang penilaian dari 0-20. Meskipun versi aslinya telah
dipergunakan secara luas, skala ini telah mengalami modifikasi oleh Granger dkk pada
tahun 1979 menjadi 0-10 point untuk tiap variabelnya dan perbaikan selanjutnya
diperkenalkan pada tahun 1989. Skala ini dikenal cukup reliable (Mahoney, Barthel
,1965). Barthel index diukur pada saat awal terapi dan secara berkala selama terapi
sampai diperoleh keuntungan yang maksimum (Mahoney and Barthel, 1965).
yang
berkaitan dengan lisis nuclear kromatin. Ketika kelompok-kelompok sel terlibat secara
simultan, isi sel yang banyak tumpah dalam jaringan yang cedera dapat membangkitkan
respon inflamasi dalam area lokal. Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram yang
terjadi dengan respon terhadap aktifasi dari sinyal sel dan juga terlihat memberi
konstribusi terhadap kematian sel SSP setelah cedera otak. Kematian dengan mekanisme
apoptosis secara normal digunakan dalam perkembangan dan mempertahankan populasi
sel. Berbeda dengan kematian karena nekrosis sel membengkak dan pecah. Ketika sel
mengalami apoptosis, sel menjadi menciut dan integritas membran dipertahankan sampai
akhir setelah kematian sel. Bangkai sel
apoptosis
organella, dan nucleus cromatin dihilangkan dan difagosit. Kematian sel dengan proses
apoptosis yang memerlukan energi, sedangkan kematian sel karena nekrosis karena tidak
adekuatnya persediaan energi (Hatton J, 2001).
Kebutuhan energi yang sangat banyak meningkat cepat setelah cedera otak dan
protokol resusitasi setelah cedera otak meningkatkan kemungkinan bahwa terdapat lebih
dari satu mekanisme kematian sel. Sel dapat merespon bermacam-macam ransangan
stres dan kekacauan metabolisme yang dapat memicu program apoptosis. Zat yang
merusak DNA dan zat kimia tertentu yang
Gambar. 2. Beberapa Gambaran Cedera Apoptosis pada Neuron (Alzheimer, 2002: 23)
kerusakan sawar darah otak adalah salah satu yang bisa memberi konstribusi edema
paskacedera otak. Perubahan sinyal untuk repair, regenerasi dan proteksi telah dilaporkan
dengan reperfusi yang berkaitan dengan respon inflamsi. Proinflamasi cytokine bisa
memperberat iskemik pada cedera CNS melalui efek lansung pada neuron, astrosit dan
sel mikroglial, atau melalui induksi molekul proinflamsi lain seperti TNF dan
interleukin-1. Mereka terlihat langsung memodulasi apoptosis sel CNS, dan
differensiasi dan, proliferasi dan memengaruhi infiltrasi leukosit. Cytokine juga terlibat
dalam produksi protein untuk apoptosis. Aktivasi NFB menyebabkan up-regulasi cyclooxygenase-2(COX-2), intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1)dan, IL-1 , IL-6, dan
juga dapat menginduksi sintesa Nitric Oxide (NOS), TNF dan Fas Ligand (Hatton.J.,
2001).
Interaksi di antara mediator-mediator ini menyebabkan siklus terus berlansung
cedera sekunder, necrosis , dan apoptosis. Infiltrasi sel mononuclear dapat dijumpai
dalam 6-12 jam pascaiskemik fokal SSP. Cytokines produksi terjadi 12 jam sekunder
terhadap infiltrasi monosite. TNF mRNA dihasilkan dalam 1 jam iskemik dan mencapai
puncak dalam 6-12 jam pascaiskemik dan menurun kembali dalam 1-2 hari. Bukti yang
dihasilkan sejauh ini mengesankan bahwa obat yang menekan produksi TNF akan
mengurangi infiltrasi leukosit dalam area iskemik otak dan mengurangi kehilangan
jaringan. Pada hewan percobaan cedera otak tertutup, inhibisi TNF memberikan suatu
neuroproteksi. Pentoxifilline telah digunakan untuk mengurangi produksi TNF dan
berhasil menurunkan TNF otak 80%. Setelah iskemik CNS peningkatan produksi IL-6
terlihat menonjol pada daerah yang kehilangan sel-sel neuron (Hatton J, 2001).
Kerja IL-6 telah dilaporkan sebagai neuroprotektif dan juga sebagai neurotoxic.
IL-6 mempromosikan ketahan hidup sel neuron dan menghambat NMDA yang terinduksi
toxin in vitro. Konsentrasi yang tinggi dari IL-6 bisa berperan sebagai prediktor
pemulihan fungsional pasien dan berkorelasi dengan ukuran infark. Pada reperfusi IL-6
memberi konstribusi terhadap produksi ICAM-1. IL-1 , IL-6, dan TNF
dapat
meningkatkan ekspresi ICAM-1 pada sel endotelial dan astrocyte, memfasilitasi infiltrasi
leukosit, dan meningkatkan aktivasi leukosit. Eselectine dan ICAM-1 ter up-regulasi pada
endotelial cerebrovascular pasca kontusio fokal otak pada tikus. ICAM-1 antagonis telah
memberi keuntungan melawan apoptosis neuron
J,2001).
2.8.3 Excitotoxicity/Glutamate
Walaupun excitotoxic neurotrasmitter yang lain ada, glutamate adalah penyebab
paling dasar terhadap profile toxicity yang berkaitan dengan cedera otak. Ketika kultur
sel neuron dipapar sementara dengan glutamte, aktifasi NFB terjadi dan ekspresi gen
proapoptosis yang ter-upregulasi menyebakan kematian sel. Glutamat yang berlebihan
dengan cepat merusak neuron postsynaptik karena influx kalsium berlebihan. Glutamat
dapat
mengaktifkan
NMDA
,-
amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionate
(AMPA), dan reseptor kainate. Pada aktivasi AMPA atau reseptor kainate, ion channels
terbuka dan memungkinkan
dengan cepat dapat mendepolarisasi membran sel. Blok pada tipe reseptor AMPA dan
kainate telah memperlihatkan keuntungan pada iskemik fokal dan global hewan
percobaan. Aktivasi glutamat pada NMDA reseptor yang membuka kunci ion channel
dapat menyebabkan peningkatan kalsium dan sodium (Hatton J, 2001).
Dalam keadaan normal, aktivasi reseptor NMDA kompleks yang melibatkan
ikatan glutamat dan glysin diperlukan depolarisasi sel yang cukup untuk melawan
penghambatan dari magnesium. Ketika teraktivasi oleh glutamat, magnesium bergeser
dari channel dan memungkinkan secara elektris diisi ion kalsium. Masuknya ion kalsium
yang banyak mengubah aktivitas elektris neuron
pada
toleransi yang baik dibandingakan dengan glutamat antagonis. Glutamat terus menerus
menjadi target strategi terapi yang diteliti dan sering digunakan sebagai marker rujukan
respon obat (Hatton.J., 2001).
2.8.4 Kalsium
Setiap terjadi iskemik otak, N-type voltage-sensitif calsium channel terbuka. Hal
ini memungkinkan kalsium dan sodium masuk ke dalam terminal neuron yang cedera.
Peningkatan kalsium intraseluler memberi konstribusi terhadap depolarisasi membran
dan kerusakan saraf terminal. Dalam kondisi normal, kalsium di dalam sitosol sel
ditranspor keluar sel dengan
anorganik, dan asam amino merupakan petanda sudah terjadi pelepasan. Hal ini
kemudian memicu mekanisme internal selular untuk siklus kematian sel (Hatton.J.,
2001).
Sinyal dari kerusakan axon secara lambat dapat terlihat dalam 2-3 jam setelah
cedera otak dan menetap selama 24 jam atau lebih. Peningkatan kalsium intraseluler dan
bisa mengaktifkan protease netral spesifik kalsium. Kerja protease dapat menyebabkan
peningkatan jangka lama pada
products, kerusakan sel dan perubahan tingkah laku. Degradasi yang termediasi kalsium
dari cytoskleton dianggap menjadi penting pada cedera axonal secara lambat yang mana
kerusakan menjadi lebih buruk pada 24 jam pertama pascacedera otak. Actine adalah
suatu protein struktur besar polymerase dari bentuk microfilamen yang dapat membatasi
masuknya kalsium dari voltage-gated channel atau NMDA. Gelsoline suatu enzyme
intraseluler yang
memotong microfilamen dan menggangu fungsi sel normal. Gelsoline juga bisa menjadi
mediator apoptosis karena dia secara spesifik diaktifkan oleh caspase-3 sebagai enzyme
kunci pada cascade apoptosis (Hatton.J., 2001).
produksi thromboxan A2, Prostaglandin, dan leukotrine. Hal ini tidak begitu jelas apakah
peristiwa ini menyebabkan kerusakan yang sama pada pembuluh darah dan neuron. Nitic
oxide dihasilkan in vivo pada sel endotelial, astroglia dan sedikit pada neuron dengan
tiga bentuk berbeda dari NOS. Nitric oxide bisa berkerja melalui second messengers,
contohnya, cyclic guadinosine monophosphate (GMP), yang menyebabkan sinyal
neurogenik vasodilatasi. NFB dan IL-1 dapat mengiduksi sinyal NOS (iNOS) dapat
menghasilkan Nitric Oxide. Ada bukti menunjukkan bahwa aktivasi reseptor NMDA bisa
meransang pembentukan Nitric Oxide. Nitric oxide telah berakibat pada pelepasan ikatan
phosphorilasi oxidatif pada mitokhondria, memicu apoptosis, dan pengurangan produksi
energi melalui aktivasi polyadenosin diphosphate (ADP)-ribose sintetase (PARS). Kadar
nitrit dan nitrat (produk stabil nitric oxide) dalam CSF meningkat antara 30 dan 42 jam
setelah cedera otak manusia. Lubeluzol, yaitu suatu obat yang diteliti dapat menghambat
induksi glutamat pada cedera otak dan diusulkan sebagai mekanisme yang terlibat dalam
patway nitric oxide intraseluler. Nitric oxide adalah sumber untuk produksi radikal bebas
dan NO. Radikal ini dihasilkan selama iskemik dan secara umum telah dikenal sebagai
neurotoxic (Chieueh.C., 1999).
meningkatkan
kalsium intraseluler atau degradasi membran lemak yang memicu up-regulasi kelompok
stres protein dan yang melewati area cedera akut. Stress protein (heat-shock protein )
berkerja memobilisasi pertahanan sel dan stabilisasi cytoskleton. Gen tertentu dianggap
terlibat dalam dalam respon yang lebih lambat terhadap cedera otak dan efek nya
meliputi proteksi dan pencegahan apoptosis. Gen growth factor sudah ada dalam
beberapa jam cedera kepala, tetapi produksi protein memerlukan waktu beberapa hari.
Banyak neurotrophic growth factor telah diidentifikasi. Selain itu, dikenal dengan baik
nerve growth factor(NGF). Yang lainnya termasuk Brain- Derivate
Neurotrophic
modulasi NAIP expresi dapat mencegah kematian sel saraf (Hatton.J., 2001).
.
2.9.2 Agonis -Adrenoceptor
Agonis 2-Adrenoceptor menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah otak dan
mengurangi ICP pada cedera kepala hewan percobaan. Dexmedotomidine pada tikus
percobaan menurunkan volume iskemik 40% walaupun hipotensi dan hiperglikemia
telah diobservasi pada beberapa hewan percobaan. Arginin juga telah diberikan pada
hewan percobaan ini dan efektivitasnya mengurangi volume kontusio tanpa mengubah
ICP. Penelitian ini mengesankan
mengurangi
tanpa
aliran
darah
otak
memengaruhi
hipotensi
sistemik
untuk
menggunakan BIBN 99 dalam 24 jam cedera otak dan diteruskan selama 11-15 hari
untuk mengurangi defisit kognitif dari pada yang dijumpai pada kontrol. Obsevasi ini
menunjukkan pengurangan
sequele
2.9.8 Antagonis
Receptor
-Amino-3-Hydroxy-5-Methyl-4- Isoxazolepropionate
(AMPA)
Perkembangan dari antagonis reseptor AMPA baru dimulai. Talampenel (LY
300164) adalah antagonis selektif nonkompetitif reseptor AMPA dengan spektrum luas
dan beraktifitas sebagai antikejang. Obat ini memperlihatkan efek anti kejang yang
sangat baik pada hewan percobaan dan berpotensial sebagi neuroprotektif setelah cedera
otak. Obat ini diabsorbsi dengan pemberian oral dan berinteraksi dengan beberapa obat
lain yang dimetabolisme oleh Cytocrome P450 (CYP) 3 A isoenzyme. Percobaan klinis
obat ini pada cedera otak belum dimulai (Hatton.J., 2001).
mmol/L dan telah memperlihatkan efek neuroprotektif pada penelitian preklinis. Skema
dosis pemberian magnesium chlorida 0,5 mmol/kg intravena sebagai loading dose diikuti
dengan 0,12 mmol/kg/jam untuk mempertahankan konsentrasi magnesium serum 2
mmol/l (Hatton.J., 2001).
2.9.10 Dexanabinol
Dexanabinol (HU 211) adalah nonpsychotropic sintetis cannabinol dengan sifat
farmakologi yang sama dengan non kompetitif antagonis reseptor NMDA; walaupun ia
stereoselective inhibisi reseptor. Mekanisme lain dari neuroprotektif telah ditemukan
dengan obat ini yang meliputi scavenging dari peroxide, hydroxi radikal dan dapat
menghambat produksi TNF pada tikus cedera otak tertutup. Injeksi tunggal yang
diberikan pascacedera otak menghasilkan perbaikan fungsional jangka panjang
dan
meningkatkan ketahanan hidup neuronal pada hewan percobaan dengan kerusakan otak
karena iskemik. Pada tahun 2000, 101 pasien penelitian fase II telah sempurna.
2.9.11 Stratrienes
Estradiol secara lokal dibentuk di jaringan saraf dan ekspresi dipengaruhi dalam
astrocyte setelah cedera otak. Estrogen telah dilaporkan memberikan beberapa tingkat
neuroprotektif melawan induksi toxisitas glutamat
akibat induksi amyloid peptida. Walaupun mekanisme pasti tidak diketahui, downnregulasi pembentukan jaringan gliosis telah diobservasi. Efek ini menyebabkan
akumulasi astrocyte pada daerah cedera otak lebih rendah. Estratrienes adalah salah satu
kelas baru neurosteroid yang telah dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai
neuroprotektif potensial (Hatton J, 2001).
2.9.12.Antagonis Kalsium
Peran terpadu kalsium dalam memicu
utama terhadap cedera otak sekunder secara alamiah menyebabkan penelitian berbagai
target terapi mediator ini. Penelitain awal diperiksa antagonis spesifik channel-kalsium,
yaitu Nimodipine suatu antagonis kalsium channel type-L. Obat ini dijumpai lebih
berproteksi pada pasien dengan perdarahan subarachnoid berkaitan dengan cedera otak,
walaupun hasilnya masih diperdebatkan. Fase I penelitain aman telah lengkap dengan DP
b 99, prodrug kalsium chelator BEPTA. Ziconotide (SNX 111/CI 1009) bekerja pada
presinaptik kalsium channel type N untuk menghambat ransangan pelepasan
neurotransmitter pasca cederaotak, pada tikus percobaan obat ini efektif menurunkan
akumulasi kalsium (Hatton.J., 2001).
2.9.14 MS 153
MS 153 yaitu suatu obat yang diteliti baru-baru ini dijelaskan memungkinkan
target pada sodium voltage-gated atau channel kalsium teraktifasi setelah iskemik otak.
Mekanisme kerjanya kurang dapat dipahami, mekanisme kerja obat ini juga menurunkan
kadar glutamate ekstraseluler. Kerjanya pada protein kinase-C menunjukkan sebagai hal
yang memberikan kontribusi pada kerja dari MS 153 (Hatton.J., 2001).
2.9.15 Cyclosporine
Cyclosporin dapat mencegah kematian sekunder sel saraf dengan menghambat
pembukaan pori dan pencegahan keluarnya kalsium. Cyclosporin secara luas digunakan
sebagai obat immunosupressi yang menghambat aktivasi lymphosit-T dan memunyai
peran multiple penting dalam regulasi sel saraf. Bukti penelitian pada hewan percobaan
menunjukkan efek protektif pada cedera saraf. Cyclosporin diberikan pada kelinci dan
tikus setelah kontussio kortek berat, yaitu penurunan cedera saraf sampai 50%. Sifat
psychochemical
psychological normal. Meskipun demikian, sawar darah otak terganggu setelah cedera
otak. Hasil dari penelitian telah terindikasi bahwa rentang waktu intervensi terapi adalah
paling cepat
2.9.16 Antioxidants
Antusiasme proteksi antioksidan pascacedera kepala menurun secara signifikan
setelah ada hasil penelitian klinis
fase
demikian beberapa strategi baru untuk scavenging radikal bebas pascacedera otak
ditemukan dalam penelitian. OPC 14117 adalah scavenger yang telah dievaluasi pada
kontusio kortex serebri binatang percobaan. Pada kondisi ini terapi pasca cedera
mengurangi progresifitas edema, ukuran kontusio, dan perluasan necrosis dan juga
membatasi defisit perilaku. Paling sedikit satu antioxidan baru termasuk edaravone (MC
186) yang telah dimulai fase I penelitian. Penelitian perkembangan dari peroxynitrite
scavengers sedang dilakukan. Radikal bebas ini dapat mengoxidatif lemak, protein dan
asam nukleat sel yang cedera. Obat yang melindungi mikrovaskuler bentuk ini dari
spesies oksigen reaktif pasca cederaotak dapat memberikan keuntungan ( Chieueh.C.,
1999).
GDNF. Mengirimkan konsentrasi adekuat ke CNS telah menjadikan tabir dari obat ini
untuk dibuat penelitain yang lebih besar. Keterbatasan yang lain adalah kurangnya
dokumentasi yang spesifik dari defisiensi growth factor pasca cederaotak dan juga
apakah suplemen eksogen growth factor akan memberikan keuntungan. Dosis, waktu
pemberian awal,
percobaan untuk berbagai endogen dihasilkan growth factor. Basic fibroblast growth
factor (BFGF) diberikan setelah fluid percussion injury pada tikus, secara signifikan
mengurangi jumlah kerusakan neuron kortikal dan ukuran kontusio dengan hanya diinfus
3 jam. IGF-1 diberikan dalam 2 minggu dengan menggunakan pompa subcutan untuk
memperbaiki fungsi motorik, kemampuan belajar dan retensi memori pada tikus dengan
cedera otak. Penelitian yang terakhir menunjukkan pengobatan jangka panjang setelah
cedera otak mungkin manjur. Manusia dengan cedera otak secara signifikan menurunkan
IGF-1 serum (Hatton et al, 2001). Penelitian randomise terhadap 33 pasien dengan
cederera otak sedang sampai berat (GCS 4-10) tidak diterapi dengan kortikosteroid
terhadap dukungan nutrisi saja atau kombinasi dengan kontinyu infus IGF-1(0,01
mg/kg/jam). Terapi dimulai 72 jam pasca cedera otak dan terus sampai 14 hari. Obat
yang diberikan mendapat toleransi baik pada semua pasien dan perbaikan metabolik
dilaporkan dalam 3 hari cedera otak pada pasien yang menerima obat ini. Ini laporan
pertama dari efektifitas anabolik dengan dukungan nutrisi pada populasi ini (Alzheimer,
2002).
Bagan. 3. Ringkasan Jalur Sinyal Neuroprotektif yang Dipengaruhi oleh Fibrine Growth
Factor(FGF) (Alzheimer, 2002).
Kombinasi IGF-1 dan growth hormon cepat mencapai serum farmakologis dan
parameter metabolik yang secara signifikan lebih baik pada kelompok terapi. Sistemik
IGF-1 /growth hormon terapi terlihat dapat meningkatkan konsentrasi IGF-1 dalam
CNS. Hasil akhir klinis neurologis, tidak ada perbedaan signifikan dari yang dicapai
dengan dukungan nutrisi saja. Penambahan growth hormon pada regimen dalam usaha
mengoptimalkan konsentrasi sistemik telah dapat memengaruhi hasil akhir. Penelitian
telah ditempatkan pada penanganan klinis karena laporan growth hormon dapat
meningkatkan kematian pasien pada penyakit kritis. Potensial penuh dari terapi IGF-1
dalam hal neuroprotektif masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Hatton.J., 2001).
3-hydroxy-3-methylglutaryl co-enzyme A
statin memunyai mekanisme kerja lain yang mungkin melalui jalur produksi mevalonat
yang berperan dalam pemberi isyarat seluler (cellular signalling). Selama beberapa
dekade yang lalu memunyai bukti yang jelas bahwa statin juga memunyai efek
neuroprotektif. Telah dilaporkan bahwa pemberian statin berhubungan dengan insiden
penyakit Alzaimer. Hal ini tidak dipersoalkan lagi, tetapi beberapa penelitian
memperlihatkan bukti bahwa statin mengurangi produksi Amyloid- peptida in vitro.
Penelitian terbaru juga memunyai harapan efek statin pada penyakit parkinson. Lebih
lanjut pada hewan percobaan tampak bahwa statin mungkin menguntungkan pada terapi
multiple sclerosis dan stroke akut. Statin dikenal efektif dan mempunyai sedikit efek
samping. Efek samping adalah yang paling sering adalah gejala gatrointestinal dan
merasa mules, Hepatotoxic bisa ditandai dengan peningkatan serum SGOT, terjadi kurang
1% pasien dengan pemberian dosis tinggi (Most et al, 2009).
Jenis-jenis statin adalah lovastatin, pravastatin dan simvastatin yang berasal dari
jamur; atorvastatin, rosuvastatin, fluvastatin, pravastatin adalah sintetis (Schachter,
2005). Atorvastatin dan simvastatin meskipun farmakokinetiknya berbeda, tidak banyak
menunjukkan perbedaan dalam penanganan cedera otak. Simvastatin yang diberikan
secara oral akan diserap oleh usus antara 30% hingga 85%. Simvastatin diserap dalam
bentuk laktone inaktif sehingga perlu ditransformasi di hati menjadi bentuk aktif, yaitu hydroxy acid dan asam simvastatin. Hampir seluruh Simvastatin yang diserap akan
mengalami first pass metabolism di hati. Mekanisme simvastatin masuk ke dalam hati
melalui difusi sederhana karena sifat simvastatin yang lipofilik, Akibat first pass
metabolism, bioavabilitas sistemik simvastatin dan metabolitnya bervariasi antara 5%
hingga 30% dari dosis yang diberikan. Farmakokinetik statin di dalam plasma, lebih dari
95% simvastatin dan metabolitnya akan berikatan dengan protein. Setelah pemberian
oral, konsentrasi simvastatin dalam plasma akan mencapai puncak dalam waktu 1 hingga
4 jam. Begitu juga dengan waktu paruh dari simvastatin, yaitu 1 hingga 4 jam.
Simvastatin dan metabolitnya diekskresikan melalui feses sebanyak 70% dan sisanya
melaui urin (Suzy. Rr, 2012; Brunton, 2006).
Simvastatin dan atorvastatin memiliki sifat relative lipohilic yang setara sehingga
memiliki daya penetrasi yang baik ke sawar darah otak (bood brain barrier) , sementara
rosuvastatin dan pravastatin memiliki sifat hydrophilic sehingga minimal penetrasi ke
sawar darah otak (bood brain barrier). (Suzy. Rr, 2012; Wible.E.F., et al, 2010).
Walaupun simvastatin dan atorvastatin memiliki keunggulan yang sama sebagai
neuroprotektor, pada penelitian ini digunakan simvastatin karena harga murah dan sudah
tersedia dalam bentuk generik di indonesia.
Bagan 5. Mekanisme Statin pada Metabolisme Lemak dan Selular Signalling Neuroprotektif
(Most et al, 2009).
percobaan juga pada percobaan kinis. Pada neuron statin dilaporkan mengurangi
peroksidasi lemak setelah kehilagan oksigen, gula, dan reperfusi. Statin dapat
mengurangi produksi species oksigen reaktif dengan menghambat pembentukan dan
aktivasi NADPH commplex. Selain itu statin dapat mengurangi kerusakan akibat oksidasi
dengan mengontrol produksi nitric oxide dan memungkinkan pengurangan respon
inflamasi (Most et al, 2009).
Oksigen radikal nitric oxide (NO) berfungsi sebagai molekul pemberi sinyal pada
sistem vaskuler. NO secara lokal memperbaiki aliran darah dengan mengiduksi respon
vasodilator poten. Karena gambaran hipoperfusi pada penyakit Alzaimer dan dikaitkan
dengan penurunan fungsi kognitif, hal ini menunjukkan vasodilatasi dapat mengurangi
kematian sel. NO diproduksi oleh tiga enzyme : Endotelial Nitric Oxide synthase(eNOS),
Neuronal Nitric Oxide Synthase(nNOS) dan Inducible/Inflammatory Nitric Oxide
Synthase(iNOS) yang membentuk ekspresi makrophag. Segera setelah cedera iskemik
eNOS diaktifkan dan usaha keras untuk efek melindungi sangat berkurang karena efek
vasodilatasinya. Meskipun demikian, cedera iskemik mengaktifkan ekspresi nNOS,
induksi, ekspresi
Bagan 5a. Respon neuroinflamsi pada kontusio serebri (Oliver. I, et al, 2004).
Bagan-6; Efek statin pada cedera otak (Wible et al, 2010; Indharty.S, 2012 ), Bax/Bcl-2= Bcl-2
associated X protein; BBB= blood brain barrier; BDNF= brain-derived neurotrophic factor;
eNOS= endothelial isoform of nitric oxide synthase; PKB=
2.11 Interleukin
Interleukin adalah suatu kelompok cytokine yang pertama sekali diekspresikan
oleh leukosit, istilah interleukin berasal dari inter- yang artinya komunikasi dan leukin
yang artinya turunan protein yang dihasilkan oleh leukosit. Fungsi sistem imun sebagian
tergantung
limphosit juga oleh monosit, makrophag, dan sel endotelial. Interleukin reseptor pada
astrosit dihipocampus juga diketahui terlibat dalam perkembangan memori pengenalan
ruang / lingkungan pada tikus (Wikipedia, 2013).
Banyak interleukin yang sudah ditemukan pada manusia; interleukin-1 dihasilkan
oleh makrphage, B sel, monosit dan dendritic sel. Interleukin-2 dihasilkan oleh sel Thelper (th-1). Interleukin-3 dihasilkan oleh T-sel helper yang teraktivasi, sel mast, sel
NK, sel endotelium dan sel eosinophil. Interleukin-4 dihasilkan oleh sel th-2, sel CD4+,
sel mast dan makrophag. Interleukin-5 dihasilkan oleh sel th-2, sel mast dan eosinophil.
Interleukin-7 dihasilkan dari stromal sel sumsum tulang dan sel thymus. Interleukin-8
dihasilkan oleh makrophag, limphosit, sel epitelial CXCL8 dan sel endotelial. Inteleukin9 dihasilkan oleh sel th-2 dan th-2 CD4+. Interleukin-10 dihasilkan oleh monosit, th-2, T
sel CD8+, sel mast, makrophag dan sel B. Interleukin -11 dihasilkan oleh sel stroma
sumsum tulang, Interleukin-12 dihasilkan oleh dentritik sel, B sel, T sel dan makrophag.
Interleukin-13 diahasilkan oleh T helper sel aktif dan NK sel. Interleukin-14 dihasilkan
oleh T sel dan B sel malignan tertentu, Interleukin-15 dihasilkan oleh mononuklear
phagosit. Interleukin-16 dihasilkan oleh limphosit, sel epitel, eosinoiphil dan T sel CD8+.
Interleukin-18 dihasilkan oleh makrophag. Interlaukin-20 dihasilkan oleh keratinosit dan
monosit teraktifasi. Interleukin-21 dihasilkan oleh sel T helper teraktifasi dan sel NK.
Interleukin-36 dihasilkan oleh T sel. Sejumlah interleukin belum diketahui sel yang
memproduksi seperti interleukin-19 (IL-19), IL-22, IL-22, IL-23, IL-24, IL-25, IL-26, IL27, IL-28, IL-29, IL-30, IL-32, IL-33 dan IL-36 (Wikipedia, 2013).
Sitokin dihasilkan juga oleh susunan saraf pusat (SSP) dan terlibat dalam
patogenesis banyak penyakit SSP, seperti peradangan, autoimun dan penyakit
degeneratif, infeksi, neoplasma, dan stroke. Pada hewan percobaan dijumpai peningkatan
akibat iskemik stroke. Walaupun Suzuki dkk; menjumpai peningkatan tidak hanya oleh
inflamasi tetapi juga efek neutrophil pada iskemik otak, peran sebenarnya dari
Interleukin-6 (IL-6) pada patofisiologi iskemik otak belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Dengan kata lain apakah Interleukin-6 (IL-6) berkerja sebagai mediator peradangan
cedera atau zat neuroprotektif pada iskemik otak belum dapat ditentukan. Interleukin-6
(IL-6) adalah satu dari cytokine inflamsi SSP dan telah berakibat pada respon seluler.
Sitokin ini atau chestrate adalah suatu respon inflamsi antara sel darah, endotelium
vaskuler, dan sel penghuni parenkhim otak dan dapat menginduksi beberapa chemokine
dan sel adhesion molekul, bersama dengan kebocoran sawar darah otak dapat
menyebabkan infiltrasi leukosit (Suzuki, 2009).
porsi yang lebih besar. Selanjutnya, selama fase subakut Interleukin-6 (IL-6) bekerja
sebagai mediator neuroprotektif bersama dengan leukemia inhibitory factor (LIF) dan
ciliaryneurotrophic factor (CNTF) (Suzuki, 2009).
dan
dihasilkan
pada
trauma
otak
akut
oleh
astrocyte,
sel
makrofage/mikroglia, neuron dan endotelium SSP. Puncak peningkatan Interleukin-6 (IL6) mRNA dan protein telah dijumpai pada 6-8 jam pasca cedera kepala tertutup, akhirnya
penelitian
telah
mendokumentasikan
peningkatan
Interleukin-6
(IL-6)
,soluble
Interleukin-6 (IL-6) reseptor dan TNF- dalam CSF, plasma atau parenkhim dari pasien
cedera kepala sampai 7 hari setelah trauma. Ekspresi kronis berlebihan dari TNF- dan
IL-6 menyebabkan neurodegeneratif inflamasi encephalopathy dan IL-6 sendiri
mempromosikan demyelinasi, trombosis, infiltrasi leukosit , rusaknya sawar darah otak
dan mengganggu neurogenesis pada dewasa (Marklunda, 2005).
Inhibitor HMG CoA reduktase dapat menurunkan expresi IL-6, IL-8 dan
monocyte
chemoattractant
protein-1(MCP-1)
mRNA
dalam
darah
perifer
sel
mononuclear. IL-6 adalah pleotropic cytokine dan mediator sentral dari respon fase akut,
dengan rentang yang luas dari diversi sel imun simvastatin, atrovastatin, atau cerivastatin
dalam 12-24 jam signifikan yang menurunkan ekspresi dan sekresi IL-6, IL-8 dan (MCP1)mRNA. Kenyataanya semua statin yang diberikan mengurangi kadar IL-6, IL-8 dan
(MCP-1)mRNA dan tidak ada perbedaan signifikan pemberian dosis 20mg atau 40 mg
dalam hal produksi cytokine (Majd, 2002).