2 IP K
KEHUTANAN
Penerbit:
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI
Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270
Telp. (021) 5734333; Fax. (021) 5720189
Penyunting:
Sub Bagian Data dan Informasi
Bagian Evaluasi, Diseminasi dan Perpustakaan
Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Desain Grafis dan Tata Letak:
Dyah Puspasari, S.Hut, M.Si
Budi Hidayat, S.Kom
20 Seri 1 IPTEK Kehutanan
Cetakan ke-1, Tahun 2011
KATA PENGANTAR
Sebagai salah satu upaya mewujudkan komitmen untuk meningkatkan kemanfaatan dan penerapan hasil litbang, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan secara berkala telah melakukan diseminasi hasil-hasil IPTEK kehutanan kepada para pengguna di
berbagai tingkatan.
Target diseminasi hasil litbang tersebut adalah tercapainya 60% paket IPTEK kehutanan diadopsi atau dimanfaatkan pengguna,
yaitu minimal 60% dari IPTEK dasar dan terapan yang dihasilkan dapat dimanfaatkan atau diadopsi oleh pengguna, baik pembuat
kebijakan di lingkup Kementerian Kehutanan (opsi kebijakan), dunia usaha/industri dan masyarakat (paket teknologi dan produk),
komunitas ilmiah (publikasi dalam jurnal ilmiah) serta pihak lain yang memanfaatkan hasil litbang.
Dalam rangka mewujudkan hal di atas, dukungan semua pihak untuk menyebarluaskan hasil litbang kepada masyarakat menjadi
hal strategis yang harus terus dilakukan. Untuk mendukung proses tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
menerbitkan Seri IPTEK Kehutanan secara berkala.
Seri 2 IPTEK Kehutanan ini memuat 20 hasil litbang kehutanan yang informatif dan aplikatif untuk disebarluaskan kepada
pengguna. Seri IPTEK ini menyajikan informasi awal yang nantinya akan dituangkan dalam petunjuk teknis atau format lain yang
lebih detil dan lebih komprehensif.
Semoga seri IPTEK ini menjadi jembatan untuk mentransformasi hasil litbang menjadi pengetahuan dan keterampilan yang
bermanfaat bagi pengguna sehingga dapat berkontribusi positip dalam pembangunan kehutanan.
Desember 2011
Kepala Badan
DAFTAR ISI
Penanganan Benih
Teknik Penanganan Benih Ortodok 25
Teknik Penanganan Benih Rekalsitran 27
IPTEK Inovatif
Sidik Cepat Pemilihan Jenis Pohon Hutan Rakyat 29
Sistem Paku Berpori (SIMPORI) untuk Inokulasi Gaharu 31
Hibrid BS-08 dan BS-09 Bibit Ulat Sutera Berkualitas 33
Para Inovator
Ir. Paimin, M.Sc.
M. Bismark
bismark_forda@yahoo.com
paimin_das@yahoo.com
Rina Kurniaty
Naning Yuniarti
bpt.pth@forda-mof.org
naningbtp@yahoo.co.id
25
25 27
Dida Syamsuwida
dida_syam@yahoo.co.id
lelana_n@yahoo.com
25 27
15 19 21
25
Dony Rachmanadi
Asmaliyah
donyrachmanadi@foreibajarbaru.or.id
asmaliyah_bp2ht@yahoo.com
23
13
Ragil Irianto
ragilirianto@yahoo.com
17
47
Illa Anggraeni
illa_anggraeni@yahoo.co.id
15 19 21
Sentot Adisasmuko
Ari Wibowo
sentotadisasmuko@ymail.com
ariwibowo61@gmail.com
31
11
Lincah Andadari
Mien Kaomini
a.lincah@yahoo.co.id
mkaomini@yahoo.com
33
33
Sri Ruliaty
Peneliti
BPTPTH Bogor
sriroels@yahoo.com
41
Kade Sidiyasa
29
35
jasni_m@yahoo.com
37
43
Budiman Achmad
bpt.pth@forda-mof.org
Jasni
bpt.ksda@forda-mof.org
budah59@yahoo.com
Peneliti
Pustekolah
&
Puskonser
39
48
1
2
3
4
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, Po. Box. 182, Bogor 16610, Telp. 0251 - 8633378 Fax.0251 - 8633413
www.pustekolah.org, pustekolah@forda-mof.org, info@pustekolah.org
49
Jalan Kol. H. Burlian Km. 6,5 Kotak Pos 179, Punti Kayu, Palembang, Telp. 0711 - 414864, Fax. 0711 - 414864
www.bpk-palembang.org, bpk.palembang@forda-mof.org, tembesu@bpk-palembang.org
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15 Jalan Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70721, Telp. 0511 - 4707872, Fax. 0511 - 4707872
www.foreibanjarbaru.or.id, bpk.banjarbaru@forda-mof.org
16
17
18
19 Jalan Inamberi, Pasir Putih, Manokwari, Papua Barat 98131, Telp. 0986 - 213437, 213440, Fax. 0986 - 213441, 213447
www.balithutmanokwari.com, bpk.manokwari@forda-mof.org, infobpkm@balithutmanokwari.com
50
Si
Degradasi S
pat
ub
e
C
DA
k
di
Kon
se
Teknik Mitig
as
i
utan
or
an Tanah Lo
d
r
i
ng
nj
s
a
B
H
an
an Perlindun
d
i
s
g
a
v
kan Monye
tB
ela
a
nd
at
lam
e
y
en
ut
am b
Jelutun
gR
G
wa
aw
Ra
Rehabilitasi Hu
k
tan
ntu
u
a
ri Ka
da
limantan
1
Sidik Cepat Degradasi Sub DAS
Deskri psi
Sidik cepat degradasi sub DAS digunakan untuk memperoleh gambaran spesifik
sub DAS yang dicirikan oleh parameter keadaan morfometri, topografi, tanah,
geologi, vegetasi penggunaan lahan, hidrologi dan manusia. Parameter-parameter
tersebut disusun dalam formula karakteristik yang memberikan informasi kinerja
sub DAS berupa tingkat kerentanan/ permasalahan dan potensinya.
Sistem karakterisasi sub DAS dapat digunakan sebagai alat penyidikan secara
cepat terhadap degradasi sub DAS, baik letak/tempat, penyebab, ataupun tingkat
degradasinya.
Si
Degradasi S
pat
ub
e
C
DA
k
di
Kon
se
Teknik Mitig
as
i
utan
or
an Tanah Lo
d
r
i
ng
nj
s
a
B
H
an
an Perlindun
d
i
s
g
a
v
kan Monye
tB
ela
a
nd
at
lam
e
y
en
ut
am b
Jelutun
gR
G
wa
aw
Ra
Rehabilitasi Hu
k
tan
ntu
u
a
ri Ka
da
limantan
Aplikasi
Sistem karakterisasi
Karakteristik sub DAS disusun berdasarkan faktor alami (statis) dan
faktor manajemen DAS (dinamis). Faktor alami seperti iklim, morfometri,
geologi, tanah dll membentuk karakteristik dasar DAS. Faktor
manajemen yaitu intervensi manusia berupa pengelolaan sumberdaya
alam dalam DAS, terutama masukan teknologi akan membentuk
karakteristik aktual DAS (Gambar 1 dan 3).
Potensi dan degradasi Sub DAS, diukur dari aspek/komponen: (1) banjir
dan daerah rawan banjir, (2) kekeringan, (3) kekritisan lahan, (4) tanah
longsor, dan (5) sosial ekonomi. Setiap parameter dalam
komponen/aspek diberi bobot berdasarkan pertimbangan besarnya
peran dalam aspek tersebut. Penghitungan nilai setiap aspek/komponen
karakteristik Sub DAS dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh
hasil kali dari skor dan bobot pada setiap parameter dibagi 100.
Penilaian degradasi
Masing-masing parameter penyusun setiap aspek/komponen tersebut
selanjutnya diklasifikasi dalam 5 (lima) besaran yang dinyatakan dalam
ketegori tinggi, agak tinggi, sedang, agak rendah, dan rendah terhadap
komponen yang dilihat. Nilai kategori tinggi menunjukkan kondisi Sub
DAS rentan terhadap degradasi, sedangkan nilai kategori rendah
menunjukkan potensi (Tabel 1). Untuk mengetahui sumber penyebab
degradasi pada setiap aspek/komponen karakteristik Sub DAS dilakukan
dengan menelusuri parameter yang memiliki nilai/skor tinggi, sehingga
rekomendasi penanganannya akan disesuaikan dengan tingkat masalah
yang dihadapi.
Nilai
>4,3
3,5 4,2
2,6 3,4
1,7 2,5
< 1,7
Tingkat Kerentanan/Degradasi
Sangat rentan/terdegradasi
Rentan/terdegradasi
Agak rentan/terdegradasi
Sedikit rentan/terdegradasi
Tidak rentan/terdegradasi
Aplikasi (lanjutan)
Teknik penyidikan
Penyidikan degradasi sub DAS dimulai dengan menganalisis
paramater kondisi luaran (output) sistem pengelolaan sub DAS
yakni hidrologi dan produksi, karena merupakan indikasi awal
kesehatan/degradasi suatu sub DAS. Analisis selanjutnya
dilakukan terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, teknologi
dan kelembagaan, untuk mengetahui (1) jenis
penyakit/degradasi, (2) faktor penyebab degradasi, dan (3)
tempat (sumber) terjadinya degradasi (Gambar 2).
Data dan informasi parameter penyusun karakteristik sub DAS
dapat diperoleh dari data dan peta yang tersedia serta survei
lapangan. Perangkat sistem informasi geografis (Geographic
Information Systems/GIS) bisa digunakan untuk memudahkan
pekerjaan penyusunan satuan peta (lahan). Parameter dalam
satuan peta ini dikoreksi pada kegiatan survei lapang.
Informasi detil terdapat dalam buku Sidik Cepat Degradasi Sub
DAS (2010) yang diterbitkan oleh BPTKPDAS Solo.
Tantangan
Bagaimana mengembangkan metode tersebut menjadi dasar dalam menyusun sistem
perencanaan dan monev pengelolaan DAS yang selaras dengan sistem perencanaan
pembangunan daerah maupun skala operasional. Formulasi karakterisasi DAS yang
dibangun akan berbeda untuk setiap tingkatan hirarki pengelolaan DAS sesuai dengan
strukturnya yakni tingkat nasional, DAS, dan sub DAS.
Keterangan
Inovator : Paimin, Sukresno (alm.) dan Purwanto
Unit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(BPTKPDAS) Solo
E-mail : paimin_das@yahoo.com, purwanto_fris@yahoo.com
Gambar : Koleksi Paimin
Info detil : www.forda-mof.org/publikasi
HUJAN
(Masukan)
MORFO
METRI
TANAH
GEO
LOGI
RELIEF
MAKRO
DAS = PROSESOR
MANUSIA
VEGE KESUBURAN RELIEF
TASI
TANAH
MIKRO
PENGGUNAAN
LAHAN
- HUTAN
- NON HUTAN
Sosial
Ekonomi
IPTEK
Kelembagaan
(Masukan)
2
Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor
Deskri psi
Aplikasi
Tindakan yang perlu dilakukan untuk mitigasi banjir dan tanah longsor mencakup
identifikasi daerah rawan bencana, teknik pengendalian dan teknik peringatan
dini. Semua tindakan tidak mungkin dilakukan sepihak dari atas (top down)
ataupun dari bawah (bottom up) tetapi merupakan tindakan terpadu dari atas dan
dari bawah. Kewaspadaan masyarakat penghuni wilayah rawan bencana sangat
diperlukan, dan pengembangan keberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana
alam harus selalu dilakukan secara nyata setiap saat.
Identifikasi daerah rawan bencana
Identifikasi tingkat kerawanan banjir dipilah antara identifikasi daerah rawan
terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok/potensi air banjir (Gambar 1). Hal
ini penting untuk memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara
sistematis sehingga diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien.
Melalui identifikasi di atas, dapat dianalisis hubungan sebab-akibat kejadian
banjir di wilayah tersebut.
Identifikasi daerah yang rentan tanah longsor dilakukan secara skematis seperti
Gambar 2. Berdasar hasil identifikasi diperoleh sintesis sebagai berikut:
a. Tingkat kerentanan/kerawanan lahan terhadap longsor
b. Tingkat ancaman tanah longsor terhadap penduduk/pemukiman dan
penyumbatan palung sungai
c. Penggunaan lahan di daerah rawan bencana tanah longsor berkaitan
dengan tanggung jawab pemangkunya
d. Usulan kegiatan pengendalian tanah longsor yang sesuai
Aplikasi (lanjutan)
Identifikasi daerah yang kemungkinan terjadi multi-proses tanah longsor dan banjir adalah sama seperti mengidentifikasi kerawanan
bencana sebelumnya, hanya kedua identifikasi tersebut disatukan pada satuan sistem sungai dalam DTA.
Teknik pengendalian banjir
Teknik pengendalian banjir harus dilakukan secara komprehensip pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir.
Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air
yang lewat tidak melimpah keluar dari palung sungai.
Sedangkan teknik pengendalian banjir di DTA bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan (C) melalui teknik konservasi tanah
dan air (KTA). Teknik KTA yang digunakan yakni: (1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah, (2) dan
mengendalikan limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Bentuk teknik yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil, vegetatif,
kimiawi, maupun kombinasi dari ketiganya, sesuai dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site) setempat.
Semua upaya tersebut sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam mengendalikan air hujan untuk bisa masuk ke dalam bumi,
termasuk vegetasi/hutan yang ada di atasnya. Jenis tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas lapisan tanah tebal dan
satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak yang berbeda dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir.
Teknik pengendalian tanah longsor
Teknik pengendalian tanah longsor terdiri atas
metode vegetatif dan teknik sipil. Arahan teknik
pengendalian tanah longsor akan berbeda-beda
untuk berbagai tingkatan kelongsoran dan
penggunaan lahan (Tabel 1.).
Tabel 1. Arahan teknik penanggulangan bencana tanah longsor pada berbagai penggunaan lahan dan
tingkatan proses longsor
Tingkat Longsor
Belum longsor
Retakan/rekahan
Longsor
Hutan
Penggunaan Lahan
Tegal
Sawah
Vegetatif
Vegetatif
Tek.Sipil &
Vegetatif
Tek.Sipil &
Vegetatif
Tek.Sipil &
Vegetatif
Tek.Sipil &
Vegetatif
Teknik Sipil
Teknik Sipil
Tek.Sipil &
Vegetatif
Pemukiman
Tek.Sipil &
Vegetatif
Tek.Sipil &
Vegetatif
Tek.Sipil &
Vegetatif
Aplikasi (lanjutan)
Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan
bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk
ke dalam tanah yang bisa memenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah. Pada
pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin
sehingga energi pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat
diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada
tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion).
Tantangan
Bagaimana agar masyarakat dan para pihak secara dini dapat melakukan identifikasi
wilayah rawan bancana banjir dan tanah longsor, tindakan preventif (pencegahan),
pengurangan kemungkinan kerugian akibat bencana, dan persiapan dalam melakukan
respon darurat, sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.
Perlu disadari bahwa teknik mitigasi banjir dan tanah longsor tidak paralel, bahkan
bisa bertentangan, sehingga dalam pemilihan jenis teknik pengendalian harus dengan
pertimbangan seksama. Teknik pengendaliannya akan lebih rumit apabila lahan yang
mengalami degradasi oleh erosi (pendorong banjir) berada bersama dalam satuan
lahan dengan lahan yang rawan terjadi longsor.
3
Menyelamatkan Monyet Belanda dari Kalimantan
Biologi Konservasi Bekantan
Deskri psi
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) atau yang sering
juga disebut sebagai Monyet Belanda adalah satwa
endemik Kalimantan. Bekantan adalah jenis satwa
dengan klasifikasi, ordo Primata, famili Cercophitecidae,
dan sub-famili Colobinae. Bekantan hidup dalam habitat
terbatas pada hutan bakau, hutan di sekitar sungai dan
habitat rawa gambut yang sebagian telah terdegradasi
oleh berbagai aktivitas manusia.
Untuk mengatasi permasalah habitat dan penurunan
populasi bekantan, program-program konservasi yang
harus dilakukan adalah:
1. Inventarisasi sebaran, habitat, dan populasi bekantan
2. Rehabilitasi dan restorasi habitat yang potensial
bagi pengembangan populasi bekantan
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) 3. Pengembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam
Foto: Tri Atmoko
melakukan konservasi sempadan sungai dan satwa
4. Pengaturan penggunaan sungai sebagai alat transportasi, pencegahan masuknya
limbah ke sungai, dan restorasi hutan sempadan sungai habitat bekantan
5. Pengembangan konservasi eksitu
6. Pengembangan wisata alam dengan objek bekantan sebagai upaya peningkatan nilai
ekonomi bagi masyarakat lokal serta konservasi sungai dan
7. Peningkatan peran kelembagaan pengelolaan kawasan hutan yang terkait dengan
pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan
Aplikasi
Data sebaran populasi sangat diperlukan untuk menentukan status konservasi dan program
prioritas penyelamatannya. Inventarisasi sebaran populasi juga terkait dengan program
rehabilitasi, restorasi dan pemanfaatan kawasan sebagai objek wisata alam.
Program rehabilitasi atau restorasi diarahkan pada pengayaan jenis jenis tumbuhan pakan
yang mengandung mineral dan protein tinggi. Pembinaan habitat ini diarahkan agar sub
populasi yang berkelompok dalam kawasan tersebut dapat mencapai angka populasi minimum
(250 individu). Program ini dapat dikombinasikan dengan pengembangan agrowisata, terutama
jika rehabilitasi sempadan sungai dikombinasikan dengan tanaman buah-buahan.
Upaya konservasi eksitu dengan penangkaran telah dilakukan oleh kebun binatang dan Taman
Safari Indonesia (TSI). Indikasi keberhasilan sudah ditunjukkan dengan lahirnya anak bekantan
di penangkaran tersebut.
Pemanfaatan kawasan hutan tepi sungai harus diatur di areal minimal selebar 500 m dari tepi
sungai agar tidak menggangu habitat bekantan. Selain itu, lalu lintas transportasi di sungai
tersebut juga harus diatur agar tidak terjadi kebisingan tinggi yang dapat menimbulkan stress
pada bekantan, terutama di sungai kecil.
Informasi detil terdapat pada buku Biologi Konservasi Bekantan (2009) yang diterbitkan oleh
Puskonser.
Tantangan
Menyelamatkan bekantan sangat tergantung pada kondisi habitat yang merupakan
sumber pakannya. Mengingat bahwa pakan bekantan banyak tersimpan di hutan bakau,
maka penyelematan bakau akan sekaligus dapat menyelamatkan bekantan. Dalam
program pelestarian bekantan, diperlukan informasi perilaku dan faktor lingkungan habitat
yang mendukung terhadap kebutuhan pakan dan keamanan dari perburuan.
Keterangan
Penulis
Unit Kerja
E-mail
Gambar
Info detil
: M. Bismark
: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)
: admin@p3kr.com, bismark_forda@yahoo.com, endros7@yahoo.co.id
: Tri Atmoko dan Bina Swasta Sitepu
: www.forda-mof.org/publikasi
10
4
Penyiapan Lahan Tanpa Bakar
11
Foto: Sentot
Deskri psi
Penyiapan lahan untuk penanaman pada dasarnya adalah kegiatan pembersihan
lapangan dan pengendalian kesuburan tanah agar tercipta kondisi lahan yang
optimal untuk keperluan penanaman. Cara penyiapan lahan untuk hutan tanaman
ditentukan terutama oleh jenis vegetasi awal dan persyaratan tumbuh jenis yang
akan ditanam.
Eboni (Diospyros celebica Bakh.)
Aplikasi
Penyiapan lahan
Untuk skala perusahaan dengan luas ribuan hektar, penyiapan lahan dilakukan
secara mekanis (Gambar 1). Sedangkan untuk perladangan masyarakat
dilakukan secara manual, karena lahan yang diolah biasanya tidak luas
(kurang dari 5 hektar).
Penyiapan lahan untuk perladangan dimulai dengan pembuatan batas ladang
yang dilanjutkan dengan penebasan, penebangan dan pembersihan lahan.
Pemanfaatan limbah
Limbah hasil penyiapan lahan tanpa bakar mempunyai berbagai potensi untuk
dimanfaatkan. Limbah kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku kayu
gergajian, kayu lapis , kayu pulp dan anggelan. Tunggak dan akar kayu dapat
dimanfaatkan untuk meubel atau bahan dekorasi. Limbah hutan lainnya yang
ditinggal di lapangan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan arang, kompos,
arang-kompos, dan mulsa sebagai pupuk organik tanaman.
Persiapan
Penebasan &
penebangan
Pembersihan lahan
Pengolahan lahan
Konservasi lahan
dan pencegahan
kebakaran
Informasi detil terdapat dalam buku saku Penyiapan Lahan Tanpa Bakar yang
diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2007).
Tantangan
Keterangan
Penyusun : Hendromono (alm), Ari Wibowo, D. Martono, Erdy Santoso, Djarwanto, Hendro
Prahasto, M. Kudeng Sallata, Rufiie, Suharyanto, Sulistyo A. Siran, Ika Heriansyah
Unit Kerja : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
E-mail
: pusprohut@gmail.com, ariwibowo61@gmail.com
Gambar : Koleksi Hendromono (alm)
12
5
Jelutung Rawa untuk Rehabilitasi
Hutan Rawa Gambut
ahan basah
khususnya lahan
gambut
merupakan sumberdaya
yang harus dikelola
dengan bijaksana
karena potensinya yang
luas. Oleh karena itu,
upaya mempertahankan
ekosistem gambut yang
masih tersisa dan
memperbaiki ekosistem
yang rusak harus
dilakukan secara terus
menerus. Salah
satunya melalui
rehabilitasi hutan dan
lahan gambut melalui
kegiatan revegetasi
menggunakan jenis
jelutung rawa (Dyera
polyphylla (Miq.) v.
Steenis).
13
Deskri psi
Jelutung rawa (Dyera polyphylla
(Miq.) v. Steenis) merupakan jenis
pohon endemik. Di dunia hanya
terdapat di dua negara, yakni
Indonesia dan Malaysia. Jenis
pohon ini di Indonesia hanya
terdapat di Pulau Sumatera dan
Pulau Kalimantan.
Aplikasi
14
S
da
nd
ali
en
Peng dalian
utan
ru
n Hama pa
da
alia
d
n
T
ge
nH
ma
na
on
Peng
e
eng
n Penghasil G
a
ah
am
a
n
a
an Penyakit
d
a
Ta
m
a
Pe
n
inu
n
Pen
ge
aP
Ku
Hama tu Lilin
n
pa
lia
d
da
ma
Ha
Pe
sti
si
an
ti untuk Penge
a
b
nd
Na
al
a
i
d
6
Pengendalian Penyakit Karat Tumor
pada Sengon
15
Deskri psi
Hampir seluruh areal tanaman sengon
terutama di Pulau Jawa terserang penyakit
karat tumor dan menimbulkan kerugian yang
cukup besar. Serangan penyakit ini telah
mencapai tingkat epidemik dan belum dapat
teratasi. Kondisi ini, akan berdampak pada
ketersediaan dan kesinambungan bahan
baku untuk industri kayu berbasis sengon.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan
dengan teknik berbasis ekologi. Teknik ini
dilakukan melalui penggunaan varietas yang resisten atau toleran terhadap
patogen dan tindakan silvikultur yang tepat. Tindakan silvikultur meliputi
penerapan persemaian yang sehat, pola tanaman multikultur dan
pemeliharaan tanaman (pemupukan dan penjarangan).
Gall pucuk
Foto: Illa Anggraeni
Aplikasi
Gall
Galltua
tuapada
padabatang
batangpohon
pohon
Foto:
Illa
Anggraeni
Foto: Illa Anggraeni
Tantangan
Sengon merupakan tanaman yang masih menjadi primadona bagi petani hutan rakyat,
yang didukung oleh semakin banyaknya industri pengolahan kayu sengon. Hal ini
membutuhkan dukungan IPTEK untuk mendukung keberhasilan budidaya dan
menghasilkan kayu berkualitas, diantaranya pencegahan dan pengendalian serangan
penyakit.
Keterangan
Inovator
Unit Kerja
E-mail
Gambar
Info detil
16
7
Pengendalian Hama pada
Tanaman Penghasil Gaharu
Deskri psi
Hama daun yang
menyerang pohon
penghasil gaharu
adalah ulat daun
jenis Heortia
vitessoides Moore.
Ulat tersebut
berwarna hijau
Ulat daun Heortia vitessoides Moore
sedikit kekuningFoto: Koleksi Puskonser
kuningan di bagian
kepala dan ekor. Warna hitam yang membentuk garis terlihat
terbentang dari ujung kepala sampai ekor.
Akibat serangan ini, daun pohon penghasil gaharu menjadi
rusak, pohon menjadi meranggas, bahkan mati. Dari hasil
pengamatan di lapangan, tingkat serangan hama ulat daun di
Hutan Penelitian Carita pada 2008 mencapai 100% dengan
intensitas serangan daun bervariasi dari 20-100%.
Intensitas serangan Heortia vitessoides Moore di KHDTK Carita (Banten) pada Oktober 2008
Foto: Koleksi Puskonser
17
Aplikasi
Keterangan
Inovator : Kelompok Peneliti Mikrobiologi
Unit Kerja: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)
E-mail : ragilirianto@yahoo.com, turjaman@gmail.comFoto: Titi Kalima dan Jasni
Gambar : Koleksi Puskonser
Keterangan
Info detil
: www.forda-mof.org/publikasi
18
8
Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan
19
Foto: Sentot
Gejala penyakit embun tepung pada daun akasia
Foto: Illa Anggraeni
Deskri psi
Diagnosis penyakit tanaman adalah proses mengidentifikasi suatu penyakit
tanaman melalui gejala atau tanda yang khas, termasuk faktor lain yang
berhubungan dengan proses penyakit tersebut.
Penyakit hutan adalah adanya kerusakan proses fisiologi yang disebabkan oleh
tekanan/gangguan yang terus menerus dari penyebab utama (biotis/abiotis).
Gangguan ini mengakibatkan aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang
diekspresikan dalam bentuk patologi yang khas disebut gejala.
Gejala tersebut memberikan petunjuk apakah tanaman sehat atau sakit. Gejala
penyakit tanaman dibagi atas tiga tipe utama, yakni gejala nekrotik, hipoplastik dan
hiperplastik.
Bercak, layu, gosong, mati pucuk, dan rebah semai adalah beberapa ciri gejala nekrotik, yang terjadi akibat
kerusakan atau kematian pada sel tanaman.
Gejala hipoplastik ditunjukkan dengan ciri tanaman kerdil, terhambatnya pertumbuhan pada bagian tertentu,
menguning, pertumbuhan yang cepat karena kekurangan cahaya, dan daun tampak terpusar membentuk
satu karangan. Gejala ini disebabkan oleh terhambat/terhentinya pertumbuhan sel.
Sedangkan ciri mengkriting, gall/tumor, kudis dan perubahan warna (selain menguning) adalah gejala
hiperplastik, yang disebabkan oleh pertumbuhan sel yang lebih dari biasanya.
Aplikasi
Agar diagnosis akurat diperlukan pembuktian dengan menggunakan metode Postulat Koch sebagai berikut:
1.Patogen yang diduga harus selalu berasosiasi pada tanaman sakit
2.Patogen harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai biakan murni
3.Biakan murni tersebut jika diinokulasikan ke tanaman sehat, harus menghasilkan gejala dan tanda
penyakit yang sama
4.Bila penyebab penyakit direisolasi dari tanaman yang diinokulasi tersebut, akan dihasilkan biakan murni
yang sama dengan penyebab yang diisolasi dari tanaman sakit yang didiagnosa.
Informasi detil terdapat dalam buku Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan (2011) yang diterbitkan Pusprohut.
Tantangan
Dari hasil diagnosis, dapat dikembangkan metode pengendalian penyakit yang efektif.
Metode yang dikembangkan harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan
makhluk hidup lainnya.
Keterangan
Penyusun
Unit Kerja
E-mail
Gambar
Info detil
20
9
Pengendalian Hama Kutu Lilin pada Pinus
21
Deskri psi
Pineus boerneri adalah jenis serangga
dari famili Adelgidae dan ordo
Hemiptera yang dikenal dengan
nama kutu lilin. Serangga ini hidup
di daerah tropis dan subtropis.
Pada umumnya kutu lilin tubuhnya
lunak, berukuran kecil (1 mm),
hidup dan bereproduksi di pangkal
Pinus yang terserang Pineus boerneri
Foto: S.E. Intari dan Illa Anggraeni
pucuk bagian luar pohon. Kutu ini
mengeluarkan lilin putih dari lubang
yang terdapat di bagian dorsal (belakang). Kutu lilin dapat memproduksi telur
secara parthenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan), sehingga populasi
kutu ini cepat sekali berlipat ganda.
Tanda-tanda adanya serangan kutu lilin dapat dilihat berupa adanya bintik-bintik
putih atau lapisan putih menempel pada ketiak daun di pucuk-pucuk ranting
pinus. Lapisan putih ini merupakan benang-benang lilin yang dikeluarkan kutu,
dan merupakan tempat berlindung kutu. Pucuk yang terserang daunnya
menguning, kemudian daun dan pucuk menjadi rontok dan kering. Pada tegakan
(pohon besar), indikasi serangan dapat diamati secara okuler dengan perubahan
warna dan kelebatan tajuk pohon.
Tajuk pohon yang sehat berwarna hijau dan segar, sedangkan tajuk pohon pinus
yang sakit (terserang) berwarna hijau kusam, kekuningan. Tajuk pohon yang
terserang juga berubah menjadi tipis akibat daun-daun yang rontok.
Populasi serangga meningkat pada musim kemarau terutama jika kelembaban pada
siang hari dibawah 75% dan berlangsung terus selama 3 4 bulan dengan curah
hujan kurang dari 10 hari/bulan.
Aplikasi
Pada tanaman pinus muda, pengendalian hama kutu lilin sebaiknya dilakukan pada
waktu serangan hama masih ringan agar tanaman dapat dipulihkan dengan cepat.
Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida hayati berbahan
aktif Bacillus thuringiensis (4 gram/liter air) yang dicampur dengan cuka kayu (40
cc/liter air). Perbandingan pestisida hayati B. thuringiensis : cuka kayu bila
dicampur dengan air 10 liter adalah 20% : 80% atau 8 gram B. thuringiensis + 320
cc cuka kayu. Perlakuan diulang setiap 1-2 bulan sekali dengan cara semprot.
Upaya lain yang dapat diterapkan antara lain:
1. Melakukan survei dan monitoring untuk mengetahui penyebaran dan dampak
serangan hama kutu lilin dari waktu ke waktu secara detil, sehingga langkah
pengendalian dapat diambil secara tepat.
2. Menerapkan teknik silvikultur dengan menggunakan jenis-jenis spesies
alternatif, pemilihan tapak yang tidak cocok bagi hama kutu lilin, penjarangan
tegakan yang terserang untuk meningkatkan kesehatan (vigoritas) pohon,
penanaman lebih dari satu jenis spesies pada suatu lokasi pertanaman
(tanaman campuran).
3. Pengendalian secara biologi, dilakukan dengan cara mengintroduksi musuh
alami hama kutu lilin.
Informasi detil mengenai hama-hama tanaman kehutanan lainnya terdapat dalam
buku Sintesa Hasil Penelitian Hama, Penyakit dan Gulma Hutan Tanaman (2010)
yang diterbitkan oleh Pusprohut.
Tantangan
Pinus adalah salah satu jenis pohon hutan penghasil kayu dan
getah andalan yang potensial terutama di Jawa dan Sumatera.
Hal ini membutuhkan dukungan IPTEK untuk mendukung
keberhasilan budidaya dan menghasilkan produk berkualitas,
diantaranya pencegahan dan pengendalian serangan hama.
Keterangan
Penyusun : Illa Anggraeni, Neo Endra Lelana dan Wida Darwiati
Unit Kerja : Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan (Pusprohut)
E-mail : illa_anggraeni@yahoo.co.id, lelana_n@yahoo.com dan
wdarwiati@yahoo.com
Gambar : Koleksi Illa Anggraeni dan S.E. Intari
Info detil : www.forda-mof.org/publikasi
22
10
Pestisida Nabati untuk Pengendalian Hama
dan Penyakit
23
Akar tuba
Foto: Asmaliyah
Sitawar
Foto: Asmaliyah
Sicerek
Foto: Asmaliyah
Deskri psi
Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal
dari tumbuhan. Menurut FAO (1988) dan US EPA (2002), pestisida nabati
dimasukkan dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin.
Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan
hama dengan mekanisme non toksik.
Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk dalam
235 famili yang berpotensi sebagai penghasil pestisida nabati. Namun sampai
saat ini pemanfaatannya sebagai pestisida nabati belum dilakukan secara
maksimal.
Beberapa famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial
insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae,
Rutaceae dan Zingiberaceae. Namun tidak tertutup kemungkinan untuk
ditemukannya famili tumbuhan yang baru atau jenis tumbuhan baru yang
termasuk dalam famili tersebut.
24
ng
Pen
a
an
Be
an
nih
Te
k
a
n
tra
l si
ni
nganan Benih
a
n
e
Re
k
kP
11
Teknik Penanganan Benih Ortodok
25
Foto: Sentot
Benih Eucalyptus pellita
Foto: Koleksi BPTPTH Bogor
Deskri psi
Benih ortodok adalah benih yang dapat dikeringkan sampai kadar air rendah (2,5%)
dan disimpan pada suhu dan kelembaban penyimpanan yang rendah tanpa
menurunkan viabilitas (kemampuan berkecambah) benih secara nyata.
Secara umum benih ortodok memiliki ciri kulit biji keras, ukuran biji biasanya kecil
hingga sedang, kadar air biji segar sebelum masak fisiologis 15-30%, kadar air saat
masak fisiologis menurun hingga 6-10%. Benih jenis ini banyak ditemukan di
daerah arid dan semi arid, serta merupakan jenis pioner di daerah iklim tropik basah
dan sedang.
Benih ortodok biasanya memiliki sifat dormansi, yakni keadaan dimana benih tidak
dapat berkecambah walau sudah berada dalam kondisi lingkungan (kelembaban,
suhu dan cahaya) yang optimal. Kondisi ini memungkinkan benih dapat disimpan
beberapa tahun.
Jenis pohon yang benihnya termasuk benih ortodok antara lain merbau (Intsia bijuga), kayu kuku
(Pericopsis mooniana), tisuk (Hibiscus macrophyllus), pelita (Eucalyptus pellita), krasikarpa (Acacia
crassicarpa), ampupu (Eucalyptus urophylla S.T.Blake), asam jawa (Tamarindus indica L.), bungur
(Langersstroemia speciosa (l.) Pers.), dan masih banyak lagi.
Aplikasi
Penanganan benih ortodok mencakup 3 aspek, yaitu 1) aspek produksi: tegakan benih, musim
buah, potensi produksi benih, pengumpulan, ekstraksi dan sortasi; 2) aspek pengujian: kemurnian,
kadar air, perlakuan pendahuluan, uji fisiologis dan biokimia, penyakit benih dan berat 1000 butir
benih; 3) aspek penyimpanan: kadar air kritis, kondisi ruang simpan dan periode simpan.
Pembiakan vegetatif dan pembibitan juga merupakan bagian dari penanganan benih.
Benih Tisuk
Foto: Koleksi BPTPTH Bogor
Untuk tujuan penyimpanan jangka menengah dan panjang, kadar air benih yang disarankan
adalah 4-8%. Secara alami penurunan kadar air dapat dilakukan dengan cara menempatkan
benih pada ruang terbuka yang memiliki kelembaban udara sekitar 15-20% dalam waktu yang
lama, sehingga tercapai keseimbangan antara kadar air benih dengan kelembaban udara. Namun,
pengeringan di udara terbuka sangat tergantung pada kondisi iklim setempat.
Informasi detil terdapat pada buku Teknik Penanganan Benih Ortodok (2003) yang diterbitkan
oleh Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, yang memuat teknik penanganan
benih 5 jenis pohon yakni merbau, kayu kuku, tisuk, pelita dan krasikarpa.
Tantangan
Penelitian mengenai penanganan benih ortodok sudah banyak dilakukan, namun
belum seluruh informasi disajikan secara komprehensif. Oleh karena itu perlu
segera diterbitkan pedoman penanganan benih ortodok yang memuat lebih banyak
jenis benih.
Keterangan
Penyusun
Unit Kerja
E-mail
Gambar
Info detil
: Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Naning Yuniarti, Zaenal Abidin, Hasan Royani
: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor
: dida_syam@yahoo.co.id dan bpt.pth@forda-mof.org
: Koleksi BPTPTH Bogor
: www.forda-mof.org/publikasi
26
12
Teknik Penanganan Benih Rekalsitran
27
Deskri psi
Benih rekalsitran adalah benih yang cepat rusak (viabilitas menurun) apabila diturunkan
kadar airnya, dan tidak tahan disimpan pada suhu dan kelembaban rendah. Penurunan
kadar air pada biji tipe ini akan berakibat penurunan viabilitas biji hingga kematian.
Beberapa jenis pohon yang memiliki sifat benih rekalsitran, diantaranya adalah meranti
(Shorea selanica), gaharu (Aquilaria malaccensis), damar (Agathis sp.), Kemenyan (Styrax
benzoin), Mimba (Azadirachta indica), Bakau (Rhizophora apiculata), dan Nyamplung
(Calophyllum inophyllum).
Aplikasi
Penyimpanan benih
Benih rekalsitran dapat disimpan dalam bentuk semai. Benih segar yang dikumpulkan, segera disemaikan dalam polybag, kemudian
dibiarkan tumbuh sehingga mencapai tinggi tertentu dan disimpan dengan memberi bahan pengatur pertumbuhan atau memanipulasi
kondisi ruang simpan untuk menghambat pertumbuhan selama penyimpanan. Setelah penyimpanan, dilakukan pengujian di lapangan
terhadap kualitas semai yang meliputi daya tumbuh dan daya hidupnya.
Manipulasi faktor lingkungan dengan mengurangi intensitas cahaya (650 lux) dan suhu (25 C) terhadap kondisi tempat simpan
dikombinasikan dengan pemberian paklobutrazol 250 ppm dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan semai damar hingga 29% selama
penyimpanan 6 bulan dengan persentase tumbuh 97 - 99%.
Transportasi benih
Benih rekalsitran sebaiknya dikemas dalam wadah yang terbuat dari bahan kedap air namun tidak kedap udara. Pengemasan harus mampu
melindungi benih dari kerusakan baik faktor mekanis maupun lingkungan. Faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu kemasan selama
pengiriman perlu diatur sesuai kebutuhan benih rekalsitran. Kelembaban dan suhu yang tidak terlalu tinggi baik untuk benih rekalsitran.
Penambahan media yang lembab seperti serbuk sabut kelapa atau serbuk gergaji olahan dapat membantu menjaga kelembaban dan
melindungi benih dari benturan selama pengiriman.
Teknik pengemasan benih rekalsitran jenis damar yang terbaik dengan memasukkan benih ke dalam besek dengan media serbuk sabut
kelapa yang dimasukkan ke dalam kantong kain blacu. Sedangkan alat transportasi yang terbaik untuk transportasi benih damar adalah
mobil bak terbuka. Dengan perlakuan perlakuan ini dapat menghasilkan nilai daya berkecambah sebesar 77,67%, kecepatan berkecambah
7,8%/hari, dan kadar air benih 43,40%.
Tantangan
Penelitian mengenai penanganan benih rekalsitran sudah banyak dilakukan,
namun belum seluruh informasi disajikan secara komprehensif. Oleh karena
itu perlu segera diterbitkan pedoman penanganan benih rekalsitran.
Keterangan
Penyusun : Naning Yuniarti, Dida Syamsuwida, Aam Aminah, Evayusvita Rustam, Ateng R. Hidayat
Unit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor
E-mail : naningbtp@yahoo.co.id dan bpt.pth@forda-mof.org
Gambar : Koleksi BPTPTH Bogor
Info detil : www.forda-mof.org/publikasi
28
kyat
IPT
Ce
pa
Hu
Ra
S id i k
n Jenis Poho
liha
n
n
ta
mi
e
tP
tif
a
v
Ino
s
lita
ua
Hir
id
tuk Inokula
s
i
) un
Ga
RI
ha
ru
Si s
te
e
ut
rp
ku Be ori (SIM
a
P
P
S
S-09 Bibit U
lat
an B
d
08
S-
13
Sidik Cepat Pemilihan Jenis Pohon Hutan Rakyat
29
Deskri psi
Sidik Cepat Pemilihan
Jenis Pohon Hutan
Rakyat merupakan
alat bantu bagi petani
hutan untuk memilih
jenis pohon yang
sesuai dengan kondisi
tempat tumbuh.
Alat ini menyajikan
sederhana dan
umum dijumpai. Alat
ini juga disertai
petunjuk operasional sehingga petani dapat menggunakannya dengan
mudah. Pemilihan jenis pohon dilakukan berdasarkan variabel:
1. Daur yang diinginkan (daur pendek/10 tahun atau daur panjang/lebih
dari 10 tahun)
2. Jenis hasil hutan yang diharapkan (kayu atau non-kayu)
3. Kondisi tanah (berlempung, berpasir, berkapur)
4.Altitude/ketinggian dari muka laut (dataran rendah/dibawah 500 m
dpl, dataran tinggi/diatas 500 m dpl)
Sidik cepat
Foto: Budiman
Aplikasi
Gambar 1. Pemasangan lapisan depan dan
bersifat bisa diputar
Sidik cepat ini terdiri dari dua lapis bidang datar berbentuk lingkaran.
Lapisan dasar berbahan frontlite bersifat statis memuat informasi jenis
pohon berdasarkan variable daur, jenis hasil hutan, kondisi tanah, dan
altitude
Lapisan depan berbahan acrylic bersifat bisa diputar pada porosnya
dilengkapi bidang irisan (jendela baca) untuk membaca variabel dan jenis
pohon terpilih (Gambar 1).
Foto: Budiman
Setelah petani mengetahui kondisi tanah dan ketinggian dari laut, serta
telah menentukan hasil yang ingin diperoleh dan daur yang ingin
diterapkan, maka dengan memutar lapisan depan dan menempatkan
jendela baca pada variable yang sesuai, diperoleh informasi pilihan jenis
pohon (Gambar 2).
Foto: Budiman
Alat ini juga telah dibuat prototipenya untuk dibagikan ke petani (Gambar
3). Pada tahun 2010 saat gelar Teknologi Tepat Guna XI di Yogyakarta,
sebanyak 100 (seratus) sidik cepat ini telah dibagikan ke 20 (dua puluh)
unit pilot Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (Posyantek) yang ada di 8
(delapan) provinsi di Indonesia.
Tantangan
Hutan rakyat saat ini terus berkembang dan menjadi salah satu sumber ekonomi
penduduk yang tinggal di Pulau Jawa. Pemilihan jenis yang tepat menjadi salah satu
unsur penting untuk mendukung keberhasilan hutan rakyat. Aspek teknis, sosial dan
ekonomis harus diperhitungkan dengan baik agar dapat meminimalkan resiko.
Foto: Budiman
Keterangan
Inovator
Unit Kerja
E-mail
Gambar
Info detil
: Budiman Achmad
: Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPTA) Ciamis
: budah59@yahoo.com
: Koleksi Budiman
: www.forda-mof.org/publikasi
30
14
Sistem Paku Berpori (SIMPORI) untuk
Inokulasi Gaharu
Deskri psi
Teknologi Sistem Paku Berpori
(Simpori) ini merupakan salah
satu inovasi terbaik tahun 2011
yang masuk dalam buku 103
Inovasi Indonesia Kementerian
Riset dan Teknologi Indonesia.
Alat ini selain mudah digunakan, juga lebih praktis dan murah
karena tidak memerlukan listrik. Alat ini juga dilengkapi dengan
alat pencabut paku sehingga paku tersebut dapat dipakai
berulang-ulang. Alat pencabut paku ini dibuat dari bahan anti
karat, dengan panjang 30 mm, berat 1 kg dan diameter sebesar
15 cm. Alat ini digerakkan secara manual dengan sistem ulir dan
mampu mencabut paku tanpa tanpa merusak paku dan batang
pohonnya.
31
10 cm
Aplikasi
40
cm
Teknik ini dapat digunakan dengan mudah oleh petani gaharu dan
masyarakat umum lainnya. Pohon yang dapat diinokulasi adalah
pohon sehat berdiameter 15 cm dengan pola melingkar (Gambar 2).
Paku berpori ditancapkan ke batang pohon gaharu menggunakan
palu sedalam sepertiga diameter batang dengan sudut 10-15.
Setelah menancap sempurna, inokulan gaharu dimasukkan melalui
lubang tengah paku menggunakan pipet sesuai dosis yang diinginkan
yakni 1 cc, 3 cc atau 5 cc (Gambar 3). Inokulan yang digunakan
adalah inokulan produksi Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
(Puskonser).
Paku dapat dicabut setelah proses inokulasi dianggap telah bekerja
dengan baik. Paku yang telah dicabut dapat digunakan kembali pada
pohon lainnya secara berulang-ulang.
Hasil penelitian menunjukkan indikasi pembentukan gubal gaharu
relatif cepat dengan Simpori. Dalam kurun waktu 5 bulan setelah
inokulasi dilakukan, diperoleh gubal gaharu dengan panjang rata-rata
sebesar 11,57 cm dan lebar rata-rata sebesar 4,69 cm dari tiga lokasi
penelitian. (Gambar 4 dan 5).
Tantangan
Inovasi teknologi inokulasi dengan Simpori sampai saat ini masih terus dikembangkan
dalam rangka penyempurnaan alat serta hasil pembentukan gubal gaharu yang lebih
optimal baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Teknologi inokulasi Simpori juga mempunyai potensi komersialisasi yang cukup besar,
yaitu produksi Simpori dalam skala besar (pabrik). Hasilnya dipasarkan untuk memenuhi
permintaan pembudidaya pohon gaharu baik di dalam negeri maupun luar negeri.
10
cm
Permukaan tanah
Foto: Sentot
Gambar 1.
Foto: Sentot
Gambar 3.
Gambar 2.
Foto: Sentot
Gambar 4.
Foto: Sentot
Gambar 5.
Keterangan Gambar:
Gambar 1. Alat pencabut paku berpori
Gambar 2. Pola inokulasi sistem ring
Gambar 3. Pemasukan inokulan melalui paku berpori
Gambar 4. Pembentukan gubal gaharu hasil Simpori dosis 3 cc pada 5 bulan setelah
inokulasi di Lombok Timur
Gambar 5. Pembentukan gubal gaharu hasil Simpori dosis 5 cc
pada 5 bulan setelah inokulasi di Lombok Timur
Keterangan
Inovator
Unit Kerja
E-mail
Gambar
Status IPTEK
: Sentot Adisasmuko
: Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) Mataram
: sentotadisasmuko@ymail.com
: Koleksi Sentot
: Masuk dalam Buku 103 Inovasi Indonesia dari Business Inovation
Center (BIC), dan sedang proses pengajuan Paten.
32
15
Hibrid BS-08 dan BS-09
Bibit Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Berkualitas
eberhasilan usaha
pemeliharaan ulat sutera
tergantung kepada beberapa
faktor yaitu pakan, bibit ulat,
kondisi tempat pemeliharaan dan
sistem pemeliharaan.
Kualitas bibit merupakan aspek
penting dalam industri persuteraan
alam, mengingat kegagalan
produksi banyak disebabkan oleh
rendahnya kualitas bibit.
Selain bibit, aspek yang tak kalah
pentingnya adalah kokon.
Penentuan harga kokon
didasarkan kepada kualitas yang
meliputi bobot, rasio kulit dan rasio
kokon cacat. Bobot kokon dan
rasio kokon cacat dipengaruhi oleh
cara pemeliharaan ulat, sementara
rasio kulit kokon dipengaruhi oleh
jenis bibit ulat.
33
Deskri psi
Rasio kulit kokon merupakan faktor yang penting karena berhubungan erat dengan hasil
benang sutera. Varietas ulat yang baik mempunyai rasio kulit kokon 22-25%.
Rasio kulit kokon dari ulat sutera hibrid BS-08 dan BS-09 hasil penelitian Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) lebih baik dari bibit niagawi C-301 yang beredar di
Indonesia. Hal ini berdampak langsung pada panjang serat dan persentase serat yang
dihasilkan.
BS-08 dan BS-09 telah dilepas oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 8 Oktober 2004
dengan surat keputusan Nomor: SK.369/Menhut-VIII/2004. Sebagai tindaklanjutnya,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan akan melakukan bimbingan, pemantauan
dan penilaian dalam pengembangan bibit ulat sutera hibrid BS-08 dan BS-09.
Tantangan
Bibit ulat sutera hibrid BS-08 dan BS-09 cenderung rentan terhadap penyakit,
sehingga memerlukan pemeliharaan yang intensif. Untuk mengatasi masalah
itu, sedang dilakukan penelitian untuk mendapatkan hibrid yang ulatnya lebih
kuat sehingga dapat dipelihara pada kondisi yang kurang optimum.
Keterangan
Inovator
Unit Kerja
E-mail
Gambar
34
as Benih Tanam
At l
a
donesia
Kayu, Je
nis
an Rotan
on d
In
tan
u
H
nih,
e
iB
h
Po
ber Infor
ma
Sum
s
tan Indon
s Ro
esi
a
l
a
At
He
rb
ogoriense
um B
19
i
r
15
la
y
X
anariset
W
ium
ar
16
Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia
35
Deskri psi
Badan Litbang Kehutanan telah menerbitkan risalah benih 139 jenis tanaman hutan yang
dimuat dalam 6 jilid buku Atlas Benih. Jenis yang disajikan adalah berbagai jenis tanaman
hutan yang berpotensi dan menjanjikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Risalah benih ini menyajikan informasi sebaran tumbuh; musim buah; pengumpulan,
ekstraksi, penyimpanan dan perkecambahan benih; pencegahan hama dan penyakit;
serta persemaian. Atlas benih ini dapat memandu masyarakat, khususnya pengguna
benih dalam menangani benih sampai ke persemaian serta memilih jenis tanaman yang
sesuai dengan kondisi lahan yang ada.
Penyusunan atlas ini berdasarkan data hasil penelitian, baik yang dilaksanakan Badan Litbang Kehutanan maupun hasil penelitian pihak
terkait yang kemudian dilakukan pengkajian secara komprehensif.
Jilid I menyajikan risalah 23 jenis tanaman hutan cepat tumbuh dan lambat tumbuh yang populer dalam pengembangan hutan tanaman,
namun memiliki potensi kegunaan kayu yang besar dan menjanjikan bagi kesejahteraan masyarakat. Jilid II terdiri dari 26 jenis tanaman
hutan yang merupakan kelanjutan dari jilid I.
Jenis andalan setempat/yang unggul, jenis serba guna dan jenis pohon
kehidupan yang terkait erat dengan program hutan rakyat, disajikan dalam
atlas jilid III. Khusus jenis andalan setempat/yang unggul di Jawa Barat,
disajikan dalam atlas jilid V. Sedangkan atlas jilid IV merupakan edisi khusus
yang memuat risalah benih 25 jenis tanaman hutan rakyat.
Pada atlas jilid VI, disajkan informasi mengenai teknik pembiakan vegetatif
dari 15 jenis pohon hutan, yang meliputi stek, cangkok, okulasi dan kultur
jaringan yang telah diteliti dan dipraktekkan dilapangan.
Gambar 1. Habitat pohon nyamplung
Informasi detil terdapat dalam buku Atlas Benih Jilid I s/d VI yang diterbitkan
oleh Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor
Tantangan
Gerakan menanam 1 milyar pohon yang dicanangkan Kementerian Kehutanan perlu
dukungan benih berkualitas. Salah satu dukungan IPTEK yang harus diberikan adalah
penyediaan informasi tentang benih tanaman hutan, baik informasi sumber benih,
kualitas dan teknologi perbenihannya.
Keterangan
Penyusun: Peneliti BPTPTH Bogor
Unit Kerja: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor
E-mail : bptpbogor@dephut.go.id dan bpt.pth@forda-mof.org
Gambar : Koleksi Rina Kurniaty
Info detil : www.forda-mof.org/publikasi
36
17
Deskri psi
37
Badan Litbang
Kehutanan telah
menerbitkan risalah 21
jenis rotan dalam 2 jilid
buku Atlas Rotan
Indonesia. Risalah yang
disajikan mencakup
Foto: Sentot
nama jenis, daerah
persebaran, habitus,
struktur anatomi,
komponen kimia, sifat
fisis-mekanis,
pelengkungan,
ketahanan terhadap
bubuk, pemanfaatan
dan silvikultur.
Setiap istilah teknis dalam atlas ini dijelaskan dalam daftar singkatan yang terdapat pada
bagian akhir buku. Untuk lebih memahami jenis-jenis rotan dalam buku ini, setiap jenis rotan
dilengkapi dengan foto batang dan foto anatomi batang, serta gambar bagian dari tumbuhan
terkait.
Jilid I menyajikan risalah 10 jenis rotan yaitu: 1. Calamus manan Miq. (Rotan Manau); 2.
Calamus inops Becc. (Rotan Tohiti); 3. Calamus zollingeri Becc. (Rotan Batang); 4. Calamus
scipionum Loureiro. ( Rotan Semambu); 5. Calamus ornatus BL. (Rotan Seuti); 6. Calamus
burckianus Becc. (Howe Balubuk); 7. Korthalsia jughunii Bl. (Howe Sampang); 8. Plectocomia
elongata Bl. (Bubuai); 9. Calamus tumidus Furtado. (Rotan Manau Tikus); dan 10.
Daemonorop robusta Warb. (Rotan Susu).
Jilid II menyajikan risalah 11 jenis rotan yaitu: 1. Korthalsia laciniosa Griffith ex Martius (Rotan
Cabang); 2. Calamus heteroideus Blume (Rotan Cacing); 3. Demonorops draco (Wildenow)
Blume (Rotan Jernang); 4. Daemonorops crinita Blume ( Rotan Lacak); 5. Calamus ornatus
var. celebicus Beccari (Rotan Lambang); 6. Daemonorops hystrix (Griffith) Martius (Rotan
Marucam); 7. Daemonorops sabut Beccari (Howe Sampang); 8. Daemonorops sabut Beccari
(Rotan Sabut); 9. Daemonorops melanochaetes Blume (Rotan Seel); dan 10. Calamus
caesius Blume (Rotan Sega). 11. Daemonorops oblonga Blume (Rotan Teretes)
Foto:Foto:
JasniJasni
dan Johanis
dan Johanis
P. Mogea
P. Mogea
C
Foto: Johanis P. Mogea
Informasi detil terdapat dalam buku Atlas Rotan Indonesia Jilid I dan II yang diterbitkan oleh
Pustekolah. Pada 2012 akan diterbitkan Atlas Rotan Indonesia Jilid III.
Tantangan
Sebagai salah satu negara penghasil rotan terbesar di dunia, masih banyak kekayaan jenis
rotan Indonesia yang belum digali dan didokumentasikan informasinya. Dari sekitar 312 jenis
rotan yang tumbuh di Indonesia, baru 21 jenis yang disusun risalahnya, 51 jenis yang telah
dimanfaatkan dan hanya 5 jenis yang secara elit diperdagangkan, yaitu manau, batang, sega,
tohiti dan irit. Untuk memenuhi kebutuhan rotan yang semakin menipis, jenis-jenis lainnya
perlu dipelajari dan disusun risalahnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan praktis.
Keterangan
Penyusun: Jasni, Ratih Damayanti, Titi Kalima
Unit Kerja: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(Pustekolah) dan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)
E-mail : jasni_m@yahoo.com, ratih_turmuzi@yahoo.com, titi_kalima@yahoo.co.id
Gambar : Titi Kalima, Jasni, Johanis
Info detil : www.pustekolah.org/publikasi
38
18
Deskri psi
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan telah menerbitkan risalah 92
kelompok jenis kayu dalam 3 jilid buku
Atlas Kayu Indonesia.
39
Atlas ini dilengkapi dengan halaman index, daftar singkatan dan daftar satuan ukuran
yang digunakan, sehingga memudahkan pengguna. Atlas ini juga dilengkapi dengan foto
daun, kayu lapis, kulit batang dan penampang batang, untuk memudahkan pengguna
mempelajari jenis-jenis kayu tersebut.
Atlas jilid I menyajikan risalah 30 kelompok jenis kayu perdagangan yang meliputi 134
jenis botanis. Jilid II menyajikan risalah 32 kelompok jenis kayu yang mencakup 45 jenis
botanis, sedangkan jilid III menampilkan risalah 30 jenis kayu.
Informasi detil terdapat dalam buku Atlas Kayu Indonesia Jilid I s/d III yang diterbitkan
oleh Pustekolah. Pada 2012 akan diterbitkan Atlas Kayu Indonesia Jilid IV yang akan
menyajikan jenis kayu perdagangan lainnya.
Tantangan
Sebagai negara ketiga pemilik hutan tropis terluas di dunia, masih banyak kekayaan jenis kayu Indonesia yang
belum digali dan didokumentasikan informasinya. Dari sekitar 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia, baru 92
kelompok jenis (179 jenis botanis) yang disusun risalahnya. Dalam rangka mendukung pengelolaan hutan lestari,
jenis kayu lainnya harus dipelajari dan disusun risalahnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan praktis. Untuk
itu dalam pengusahaannya diperlukan dukungan inovasi ilmu dan teknologi secara terus menerus.
Keterangan
Penyusun : Peneliti Pustekolah dan Puskonser
Unit Kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) dan
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)
E-mail
: info@pustekolah.org dan admin@p3kr.com
Gambar : Koleksi Pustekolah dan Puskonser
Info detil : www.pustekolah.org/publikasi
40
19
Deskri psi
Xylarium adalah satuan kerja yang bertugas mengumpulkan dan menyimpan contoh
kayu dari berbagai jenis pohon. Koleksi contoh kayu yang dimiliki dikumpulkan dari
hutan di seluruh Indonesia.
Xylarium berfungsi sebagai:
1. Sarana penunjang penelitian ciri anatomi dan taksonomi tumbuhan berkayu;
2. Bahan rujukan identifikasi contoh kayu tidak dikenal;
3. Sumber informasi nama setempat dan nama ilmiah kayu;
4. Sumber informasi keanekaragaman jenis kayu di suatu wilayah
5. Sumber informasi wilayah persebaran jenis-jenis kayu tertentu.
Xylarium juga berfungsi menunjang bidang forensik dengan meneliti dan
mengidentifikasi jenis fosil kayu. Hal ini sangat menunjang penanganan perkara
dimana kayu sebagai barang bukti, serta menunjang penelitian arkeologi dan
paleobotani.
41
Saat ini, Xylarium Bogoriense 1915, berada di peringkat ke-3 dunia dengan jumlah
koleksi 34.301 sampel kayu yang tergabung dalam 110 suku, 675 marga dan 3667
spesies. Xylarium terlengkap dunia dimiliki oleh Forest Product Laboratory, USDA,USA
dengan koleksinya mencapai 100.000 sampel. Peringkat ke- 2, ditempati the Royal
Museum of Central Africa di Tervuren, Belgia, koleksinya mencapai 57.165 sampel.
Xylarium Bogoriense 1915 Pustekolah Bogor juga telah terdaftar pada Index Xylariorum,
Institutional Wood Collections of the World pada Tahun 1988, dengan kode alamat
BZFw, dan telah terdaftar pula di Index Herbariorum Indonesianum pada Tahun 2006.
Aplikasi
Identifikasi kayu dilakukan dengan membandingkan ciri-ciri kayu yang belum diketahui jenisnya dengan kayu yang telah diketahui jenis dan
nama botanisnya. Proses identifikasi di Pustekolah telah dibantu dengan menggunakan komputer yang memungkinkan sistem identifikasi
kayu dapat dilakukan secara lebih cepat dan akurat. Dengan tetap melakukan prosedur-prosedur standar seperti pembuatan dan
pengamatan preparat sayat kayu menggunakan mikroskop.
Setelah itu, hasil yang diperoleh diverifikasi dengan:
1. Membandingkan contoh yang sedang diidentifikasi dengan contoh kayu otentik yang ada di dalam koleksi; dan
2. Membandingkan hasil yang diperoleh dengan deskripsi jenis yang bersangkutan dalam literatur hasil penelitian anatomi kayu.
Tantangan
Menambah jumlah koleksi dan meningkatkan kualitas
ketepatan dan kecepatan identifikasi jenis adalah upaya yang
terus diupayakan untuk meningkatkan layanan pada
pengguna.
Keterangan
Penanggung Jawab : Sri Ruliaty Sutardi
Penyusun
: Kelompok Biologi dan Pengawetan Hasil Hutan
Unit Kerja
: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah)
E-mail
: info@pustekolah.org, sriroels@yahoo.com
Gambar
: Koleksi Sekretariat Badan Litbang Kehutanan dan Tutiana
Info detil
: http://www.pustekolah.org/index.php/page/27/apa-itu-xylarium
42
20
Herbarium Wanariset
Deskri psi
Herbarium Wanariset dibangun pada tahun 1989 atas prakarsa
dan dukungan dana dari Rijksherbarium Leiden (sekarang National
Herbarium Nederland), melalui proyek kerjasama antara
Departemen Kehutanan RI dengan Tropenbos Foundation,
Belanda.
Herbarium adalah koleksi referensi suatu jenis tumbuhan yang
dapat merepresentasikan yang meliputi, daun, bunga, dan buah,
juga dilengkapi data pelengkap utama meliputi karakter
tumbuhan, sebaran, habitat, ekologi, lokasi, ketinggian tempat dan
titik koordinat, serta kegunaannya.
Herbarium Wanariset
Foto: Koleksi BPTKSDA
43
Rak koleksi
Foto: Deny Adiputra
Aplikasi
Keterangan
Penanggung Jawab : Kade Sidiyasa
Unit Kerja
: Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTKSDA) di Samboja
E-mail
: bpt.ksda@forda-mof.org
Gambar
: Koleksi BPTKSDA
Info detil
: http://www.balitek-ksda.or.id/
44
Eksplorasi
Eplorasi yaitu kegiatan menjelajahi areal hutan untuk mengumpulkan
spesimen tumbuhan dalam bentuk herbarium lengkap
Foto: K. Sidiyasa
Penyimpanan Herbarium
Penanganan Spesimen
Pengeringan spesimen herbarium dan data basing
Pengeringan
Spesimen
Pemeliharaan 6
Herbarium
Pengelolaan
Database
Pengeringan
Spesimen
Mounting/
Pengeplakan
Pengambaran
Spesimen
nny
: De
Foto
45
Pelayanan Publik
n Memberikan pelayanan identifikasi tumbuhan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
n Menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati flora Indonesia terutama wilayah
Kalimantan.
n Melakukan pendampingan kegiatan penelitian kepada mahasiswa baik dari dalam maupun luar negeri.
n Menyimpan spesimen tumbuhan dari obyek penelitian yang dilakukan pihak lain.
n Menyiapkan tenaga pengenalan pohon dan taksonomi tumbuhan.
n Memberikan bimbingan dan penjelasan tentang herbarium kepada berbagai instansi dan perguruan tinggi.
n Sarana praktek, pelatihan dan pendidikan bagi siswa dan mahasiswa.
Eksplorasi
1a
1b
Pengeringan
2a
BRAHMS
2b
Sortasi
4
Mounting
Penyimpanan
Keterangan:
1a, 2a, 3, 6 =
1b =
2b =
4 =
5 =
7 =
=
Deep Freezer
46