ULETIN TANAMAN TEMBAKAU, SERAT & MINYAK INDUSTRI merupakan jurnal ilmiah nasio-
nal yang dikelola oleh Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan untuk menerbitkan hasil penelitian dan pengembangan, serta
tinjauan (review) tanaman pemanis, serat buah, serat batang/daun, tembakau, dan minyak industri,
dengan bidang ilmu pemuliaan tanaman, plasma nutfah, perbenihan, ekofisiologi tanaman,
entomologi, fitopatologi, teknologi pengolahan hasil, mekanisasi, dan sosial ekonomi. Buletin ini
membuka kesempatan kepada para peneliti, pengajar perguruan tinggi, dan praktisi untuk
mempublikasikan hasil penelitian dan reviewnya. Makalah harus dipersiapkan dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan penulisan yang disajikan pada setiap nomor penerbitan atau dapat
diunduh di http://balittas.litbang.pertanian.go.id. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak
Industri diterbitkan dua kali dalam setahun pada bulan April dan Oktober, satu volume terdiri atas
2 nomor.
Dewan Penyunting
Ketua
Prof. Ir. Nurindah, Ph.D. (Entomologi)
Anggota
Ir. Bambang Heliyanto, M.Sc., Ph.D. (Pemuliaan)
Ir. Titiek Yulianti, M.Ag.Sc., Ph.D. (Fitopatologi)
Ir. Emy Sulistyowati, M.Ag., Ph.D. (Mikro Biologi Tanaman)
Dr. Ir. Budi Hariyono, MP. (Agronomi)
Dr. Ir. Herman Subagio, MS (Sosial Ekonomi)
Penyunting Pelaksana
Dra. Esti Sunaryuni; Kristiana Sri Wijayanti, SP.MP;
Suminar Diyah Nugraheni, STP; Sadta Yoga, SE.
Grafis
Syaiful Bahri
Sekretariat
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat
Jln. Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 199, Malang 65152
Telepon: 0341-491447; Fax. 0341-485121
E-mail: buletintas@gmail.com
Website: www.balittas.litbang.pertanian.go.id
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas
Buletin
TANAMAN TEMBAKAU,
SERAT & MINYAK INDUSTRI
Sebagai mitra bestari yang telah menelaah naskah-naskah yang dimuat di Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri Volume 10, Nomor 1, April 2018
ISSN: 2085-6717
e-ISSN: 2406-8853
DAFTAR ISI
ABSTRAK
Pengembangan tebu saat ini terdorong ke lahan-lahan marjinal, salah satunya lahan dengan cekaman
salinitas. Penanaman tebu pada lahan salinitas dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan
kehilangan hasil sampai 37%. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan skrining klon-klonklon tebu
rendemen tinggi terhadap cekaman garam (salinitas). Penelitian menguji 58 klon tebu rendemen tinggi hasil
seleksi dari persilangan seri D tahun 2004-2006 beserta empat varietas pembanding terhadap perlakuan
cekaman salinitas dengan 3 konsentrasi NaCl, 1) kontrol/ EC ± 0,1 dS/m), 2) EC ± 2 dS/m dan 3) EC > 4
dS/m). Penelitian disusun dalam rancangan kelompok lengkap faktorial dengan faktor pertama klon tebudan
faktor kedua perlakuan NaCl dengan 3 taraf konsentrasi. Hasil analisis varian menunjukkan adanya
perbedaan respon klon tebu pada semua parameter pertumbuhan yang diamati terhadap salinitas pada
cekaman dengan nilai EC diatas 4 dS/m). Dibandingkan kontrol, rata-rata panjang akar dari semua klon
mengalami penurunan sebesar 3,41 %, rata-rata berat kering akar menurun sebesar 8,05 % dan tajuk
mengalami penurunan sebesar 9,46%. Sedangkan pertumbuhan diameter batang serta berat kering tajuk
tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berdasarkan kajian indeks toleransi akar dan tajuk terhadap
salinitas secara bersama-sama, terdapat delapan klon yang tergolong toleran, yaitu PS.06.195, PS.04.259,
PS.05.311, PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455, PS.06.334, dan PS.04.162. Klon-klon ini dapat diuji
lebih lanjut untuk dapat diusulkan sebagai klon toleran salinitas atau sebagai sumber introgresi gen toleran
salinitas untuk varietas varietas unggul yang berproduksi dan rendemen tinggi.
ABSTRACT
Sugarcane development is currently being pushed to marginal areas, one of it is soil with salinity stress.
Salinity stress could limit sugarcane growth and cause yield loss until 37 %. This study aimed to screen
sugarcane clone clones subjected to salinity stress. The research evaluated fiftyeight sugarcane clones with
high yield, derived from series D hybridization, along with four control varieties to salinity stress with 3 NaCl
concentrations: 1) control / EC ± 0,1 dS/m, 2) EC ± 2 dS/m and 3) EC > 4 dS/m. The research was
arranged ion Factorial Completely Randomize Design with Two factors. The first factor were sugarcane
clones and the second factor were NaCl concentrations. Analysis of variance resulted in difference responses
of sugarcane clones on all growth parameters observed in EC > 4 dS/m. Comparison As compared to with
control/EC ± 0,1 dS/m, average of root length average derived from all tested clones significantly decreased
by 3,4 %, root dry weight decreased by 8,05 %, and shoot length decreased by 9,46 %. Whereas stem
diameter and shoot dry weight did not has show significant changes. Based on tolerance index of root and
shoot parameters, eight clones had been determined as salinity tolerance to salinity, i.e. PS.06.195,
PS.04.259, PS.05.311, PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455, PS.06.334 and PS.04.162. These clones
1
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
could be tested, and then proposed as sugarcane clones that tolerant to salinity or become genetic
resources for introgression salinity tolerance genes to high yielding variety.
T
ebu merupakan salah satu komoditas an tanaman melalui dua cara, yaitu 1) dengan
strategis nasional karena menjadi meningkatkan tekanan osmosis dari air tanah,
bahan baku industri gula. Kebutuhan sehingga membatasi pengambilan air oleh
gula dalam negeri diperkirakan akan semakin tanaman, dan 2) meningkatkan kandungan
meningkat sejalan dengan bertambahnya ion toksik dari air tanah yang dapat meracuni
penduduk. Produksi tebu pada tahun 2015 tanaman (Sheldon et al., 2004; Shrivastava &
mencapai 2,53 juta ton, mengalami Kumar, 2015). Tanaman tebu digolongkan
penurunan 1,57% dari tahun sebelumnya. sebagai tanaman glikofit, karena menunju-
Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan kkan gejala keracunan akibat cekaman salini-
gula dalam negeri, oleh karena itu pemerintah tas, diantaranya terhambatnya perkecam-
mengimpor gula dari berbagai Negara (Badan bahan bibit, ketidakseimbangan nutrisi dalam
Pusat Statistik, 2015). Dalam usaha sel tanaman dan penurunan pertumbuhan
memenuhi pasokan gula dalam negeri, antara 15-86 % pada cekaman NaCL 200 mM
pemerintah telah mencanangkan prog-ram (Cha-um et al., 2012), yang akhirnya dapat
swasembada gula melalui upaya on-farm, menurunkan produktivitas tanaman hingga
yaitu peningkatan produktivitas gula dan 37% pada populasi jumlah batang terpanen
perluasan areal penanaman tebu (Mastur et sebesar 37% (Tiku et al., 2014). Tanaman
al., 2015). Perluasan areal tebu terkendala tebu menunjukkan sensitivitas yang tinggi
persaingan dalam penggunaan lahan dengan terhadap cekaman salinitas pada berbagai
tanaman pangan, seperti padi, jagung dan tahap pertumbuhan. Simoes et al. (2016)
kedelai, sehingga pengembangan tebu melaporkan peningkatan nilai EC tanah
terdorong ke lahan-lahan marjinal. Lahan sebesar 4–8 dS/m telah menurunkan tinggi
marginal didefinisikan sebagai lahan yang tanaman dan jumlah batang tebu hingga lebih
mempunyai potensi rendah sampai sangat dari 30%. Beberapa penelitian lain juga
rendah untuk dimanfaatkan sebagai lahan melaporkan penurunan komponen pertum-
pertanian, karena adanya cekaman ling- buhan dan proses fisiologis (laju fotosintesis,
kungan yang berdampak pada penurunan konduktansi stomata dan sintesis klorofil)
produktivitas tanaman tebu (Harsanti et al., tanaman tebu akibat peningkatan nilai EC
2015; Santoso et al., 2015). Salah satu lahan tanah (Wahid, 2004; Patade et al., 2011).
marjinal potensial adalah lahan dengan Cara paling efisien mengatasi perma-
cekaman salinitas. salahan salinitas adalah dengan menanam
Tanah dengan cekaman salinitas dide- varietas toleran (Oyiga et al., 2016).
finisikan sebagai tanah dengan nilai konduk- Tanaman memiliki mekanisme tertentu dalam
tivitas elektrik (EC = Electrical Conductivity mengatasi cekaman salinitas, yaitu melalui: 1)
/DHL = Daya Hantar Listrik) mencapai 4 toleransi pada tekanan osmosis, 2) ekslusi ion,
desiSiemens/m (dS/m) pada suhu 25ºC dan 3) toleransi dari jaringan tanaman (Roy et
(Shrivastava & Kumar, 2015). Nilai EC yang al., 2014). Penggunaan varietas toleran dapat
tinggi tersebut disebabkan oleh kandungan
mengurangi penurunan pertumbuhan dan
garam-garam terlarut terutama NaCl yang
kehilangan hasil tanaman padi yang tercekam
merupakan unsur salinitas yang mendominasi
salinitas (Ferreira et al., 2015; Hariadi et al.,
2
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
2015). Oleh karena itu penggunaan varietas nyak 8 g/polibag dan disiram air. Perlakuan
tebu yang toleran terhadap salinitas juga disusun dalam rancangan kelompok lengkap
diharapkan mampu mengatasi masalah faktorial dengan faktor pertama klon tebu,
cekaman salinitas pada pertanaman tebu. sebanyak 62 klon (Tabel 1) dan faktor kedua
Pengujian cekaman salinitas pada perlakuan NaCl dengan 3 taraf konsentrasi
tanaman dapat dilakukan dengan meng- yaitu: 1) 0 g/5 kg tanah (kontrol); 2) 7,69 g/5
gunakan larutan NaCl atau Na2SO4 dengan kg tanah, dan 3) 17,95 g/5 kg tanah
berbagai cara pemberian perlakuan, salah (Tanimoto & Nickell, 1965; Putri et al., 2012),
satunya adalah memberikan penyiraman sehingg terdapat 186 set perlakuan yang
larutan NaCl pada konsentrasi yang meng- diulang 2 kali. Tiap set perlakuan terdiri dari
akibatkan cekaman salinitas sebesar 2–4 dS/m dua polybag tanaman.
pada periode tertentu (Tanimoto & Nickell,
Tabel 1. Klon-klon potensial tebu rendemen tinggi
1965; Putri et al., 2012; Dachlan et al., 2013).
dan varietas pembandingnya
Karakter biomasa pertumbuhan dan fisiologis
No Klon No Klon No Klon
digunakan sebagai kriteria untuk meng- 1 PS.04.401 22 PS.05.251 43 PS.04.162
identifikasi klon-klon yang toleran salinitas 2 PS.06.195 23 PS.04.194 44 PS.06.305
3 PS.04.120 24 PS.05.258 45 PS.06.199
(Wahid et al., 1997; Cha-um et al., 2012; 4 PS.04.129 25 PS.04.237 46 PS.06.281
Oyiga et al., 2016). Program persilangan 5 PS.04.259 26 PS.06.400 47 PS.06.290
6 PS.04.257 27 PS.04.380 48 PS.06.222
untuk merakit varietas tebu unggul rendemen 7 PS.05.390 28 PS.05.333 49 PS.06.391
tinggi dan sesuai untuk lahan marjinal sedang 8 PS.06.356 29 PS.05.124 50 PS.06.365
9 PS.04.125 30 PS.04.253 51 PS.04.158
dilakukan di Balittas dan saat ini telah 10 PS.05.311 31 PS.05.246 52 PS.06.370
diperoleh 58 klon potensial rendemen tinggi 11 PS.06.188 32 PS.05.455 53 PS.05.166
namun belum diketahui tingkat toleransinya 12 PS.04.117 33 PS.05.327 54 PS.04.244
13 PS.05.526 34 PS.05.393 55 PS.06.103
terhadap cekaman salinitas (Heliyanto et al., 14 PS.06.395 35 PS.05.193 56 PS.04.303
2014). Penelitian ini bertujuan untuk menguji 15 PS.06.401 36 PS.04.392 57 PS.05.130
16 PS.05.123 37 PS.05.465 58 PS.05.551
respon klon klon-klon terpilih tebu rendemen 17 PS.06.324 38 PS.06.204 59 PSJT 941 (K/AT)
tinggi terhadap cekaman salinitas sehingga 18 PS.05.165 39 PS.06.181 60 PS 862 (K/AT)
19 PS.04.165 40 PS.06.334 61 BL (K/L)
dapat diketahui tingkat toleransi klon tebu 20 PS.06.121 41 PS.05.428 62 Kentung (K/AT)
tersebut. 21 PS.06.369 42 PS.04.430
Keterangan: no. 1–58 adalah klon tebu rendemen tinggi yang
diuji, no. 59–62 adalah varietas pembanding. AT:
Kategori masak awal tengah, L: Kategori masak
BAHAN DAN METODE lambat
3
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
penetapan kadar air tanah kapasitas lapang Tabel 2. Perhitungan kapasitas lapang
menurut Hakim et al. (1984). Pasir Berat awal Berat akhir
Kapasitas
kapasitas la-
Ulang- (w) (x) pang untuk
dimasukkan kedalam gelas piala hingga an (dalam (dalam
lapang (a)
tanah 5 kg
(dalam %)
tingginya kira-kira 1/4 bagian dari dasar gelas, gram) gram) (dalam liter)
1 82,8062 65,4677 26,48 1,324
selanjutnya pipa kaca diletakkan di tengah- 2 87,8940 70,7931 24,15 1,207
tengahnya, kemudian dituangkan kembali 3 91,8500 74,8667 22,68 1,134
4 93,8194 75,3771 24,26 1,223
sejumlah tanah contoh kering udara dengan 5 93,7628 76,9496 21,84 1,092
tinggi ¾ dari dasar gelas. Pipa kaca berfungsi 6 89,0755 71,3853 12,39 1,239
untuk mengalirkan udara. Selanjutnya air Rata-rata 1,25 liter
4
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
5
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
sebesar 3,41%, rata-rata berat kering akar Klon-klon yang diuji dikelompokkan
menurun sebesar 8,05% dan tajuk mengalami menjadi peka dan tahan terhadap salinitas,
penurunan panjang sebesar 9,46%. yaitu dua puluh tujuh klon termasuk kelompok
Sedangkan diameter dan berat kering tajuk tahan dan 35 klon termasuk kelompok peka.
mengalami perubahan yang tidak signifikan. Pada parameter ini, tidak ada klon yang
Berdasar hasil analisis varian, parameter termasuk kelompok moderat. Klon-klon
panjang akar, berat kering akar dan panjang PS.04.162, PS.04.380, PS.06.222, dan
tajuk mengalami perubahan signifikan akibat PS.05.193 pada kelompok termasuk klon yang
salinitas. Oleh karena itu ketiga parameter paling tahan dengan indeks toleransi yang
tersebut menentukan toleransi 58 klon tebu paling besar. Sedangkan varietas komersial
terhadap cekaman salinitas. Sedangkan PSJT 941 dan Kentung masuk ke dalam
parameter diameter batang dan berat kering kategori peka dan PS 862 dan BL masuk
tajuk tidak dapat digunakan sebagai indikator dalam kategori tahan.
toleransi klon–klon tebu terhadap cekaman Toleransi klon-klon tebu terhadap
salinitas yang diuji. Pada penelitian ini salinitas berdasarkan berat kering akar
perlakuan salin salinitas diberikan pada stadia ditunjukkan pada gambar Gambar 3. Terdapat
bibit tanaman tebu yang berumur 3,5 bulan 26 klon dengan kategori tahan, 3 klon dengan
(stadia bibit). Pada stadia tersebut tanaman kategori moderat dan 33 klon termasuk dalam
tebu memasuki masa awal pertumbuhan golongan peka terhadap cekaman salinitas.
cepat (Khuluq & Hamida, 2014), sehingga Keempat klon komersial yang digunakan
cekaman yang diberikan belum terlalu sebagai pembanding termasuk dalam kategori
menghambat perbesaran pertumbuhan peka. Berdasar parameter panjang dan berat
diameter tebu. Begitu pula dengan parameter kering akar secara bersama-sama, terdapat
berat kering tajuk yang merupakan gabungan 14 klon yang termasuk kategori tahan
dari berat batang dan daun tebu. berdasar panjang dan berat kering akar, yaitu
klon PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,
Pengaruh cekaman salinitas terhadap PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.124,
parameter pertumbuhan akar PS.05.455, PS.06.204, PS.06.334, PS.04.430,
Hasil perhitungan indeks toleransi PS.04.162, PS.06.305, dan PS.06.281.
terhadap salinitas pada panjang akar
ditunjukkan pada gambar 2.
6
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
pertama kali terkena dampak cekaman. Murad yang peka. Jika didasarkan pada kajian
et al. (2014) melaporkan penurunan berat parameter akar dan tajuk secara bersama-
akar tanaman tebu, baik pada varietas yang sama, ada delapan klon yang tergolong tahan,
toleran maupun yang peka, namun terdapat yaitu PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,
per-bedaan penurunan antara kedua tipe PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455,
varietas tersebut. Varietas toleran memiliki PS.06.334, dan PS.04.162 (Tabel 4).
massa yang lebih tinggi karena memiliki
sistem perakaran yang lebih dalam sehingga
dapat mengambil air dari lapisan tanah yang
lebih dalam. Dalam penelitian ini klon-klon
toleran mengalami peningkatan berat akar
pada kondisi tercekam dibanding tanpa
cekaman. Peningkatan berat ini diduga
merupakan mekanisme adaptasi akar
terhadap kondisi tercekam, yaitu melalui
penebalan epidermis, peningkatan jumlah
akar, maupun pembesaran vakuola sebagai Gambar 4. Toleransi klon tebu terhadap salinitas
berdasarkan panjang tajuk.
kompartemensi ion toksik. Hasil yang berbeda
dilaporkan oleh Karjunita (2016) yang
Mendatar adalah nomor klon tebu yang
menyatakan bahwa genotipe tanaman
diuji. Garis merah (1,1) adalah batas kategori
hotong/ foxtail millet (Setaria italica L. Beauv.)
peka dan garis hitam (0,95) batas kategori
yang peka menunjukkan penebalan epidermis
toleran.
dan jumlah akar yang lebih banyak daripada
Selain akar bagian atas dari tanaman
genotipe toleran akibat cekaman salinitas.
tebu juga dilaporkan menunjukkan respon
Hal ini disebabkan genotipe toleran
terhadap cekaman salinitas. (Gomathi &
beradaptasi terhadap salinitas melalui
Thandapani (2014) melaporkan penurunan
mekanisme peng-hindaran penyerapan Na+
panjang tajuk (42,37%), diameter batang
yang berlebihan dengan membatasi
(38,88%), jumlah ruas (26,66%) dan berat
pertumbuhan dan perkem-bangan rambut
batang (44,30%) dari tanaman tebu yang
akar. Hal ini menjadi indikasi bahwa masing-
tercekam salinitas. Berat kering tajuk dari
masing jenis tanaman memiliki mekanisme
tanaman tebu yang tercekam salinitas dengan
adapatasi cekaman yang berbeda.
EC 8 dS/m juga dilaporkan mengalami
penurunan sebesar 77% (Simoes et al., 2016).
Pengaruh cekaman salinitas terhadap
parameter pertumbuhan tajuk Akumulasi garam pada tajuk menyebabkan
penutupan stomata daun dan penghambatan
Nilai indeks toleransi klon tebu terhadap
pemanjangan tajuk, yang akan berakibat pada
salinitas pada parameter panjang tajuk,
penurunan produksi daun baru dan
diameter batang dan berat kering tajuk
pertumbuhan tajuk (Roy et al., 2014).
ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5. Pada
Tanaman yang toleran mampu menurunkan
Gambar 4 (panjang tajuk) terdapat 32 klon
efek keracunan dengan cara mengurangi
tebu yang termasuk kategori tahan, 5 klon
akumulasi ion toksisk, yaitu ion Na dan Cl
tebu moderat dan 26 klon peka. Klon-klon
yang berlebihan pada helaian daun dengan
komersial yang digunakan sebagai
cara eklusi ion–ion tersebut atau dengan
pembanding menun-jukkan respon yang
mening-katkan kemampuannya untuk
beragam. PSJT 941 termasuk ke dalam
mentoleransi kandungan garam dengan
golongan moderat sedangkan Varietas PS 862,
kompartementasi pada vakuola.
BL dan Kentung digolongkan menjadi klon
7
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
8
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
Tabel 5. Nilai rasio panjang akar–tajuk pada kondisi Salah satu indikasi dari cekaman
tanpa cekaman dan dengan cekaman salinitas salinitas adalah menurunnya pertumbuhan
Rasio panjang akar-tajuk
No Klon Tanpa Cekaman tajuk, yang pada akhirnya mengubah alokasi
cekaman EC> 4 dS/m biomassa antara akar dan tajuk. Pertumbuhan
1 PS.04.401 1,32 1,67
2 PS.06.195 1,17 1,43
tajuk terganggu, namun pertumbuhan akar
3 PS.04.120 1,10 0,88 tetap berjalan sehingga meningkatkan
4 PS.04.129 1,34 1,07 biomassa akar (Negrao et al., 2017). Klon
5 PS.04.259 1,13 1,09
6 PS.04.257 1,13 1,13 tahan PS.06.195 (Tabel 4) menunjukkan
7 PS.05.390 1,79 1,65 kenaikan rasio panjang akar -tajuk pada
8 PS.06.356 1,24 1,59
9 PS.04.125 0,87 1,01 kondisi tercekam, mengindikasikan klon
10 PS.05.311 1,15 1,30 tersebut tetap dapat mempertahankan
11 PS.06.188 1,06 1,22
12 PS.04.117 1,65 1,46 pertumbuhan akar sebagai mekanisme dari
13 PS.05.526 1,28 1,28 adaptasi terhadap cekaman salinitas.
14 PS.06.395 0,75 0,89
15 PS.06.401 0,93 1,11 Sulistyowati et al. (2010) melaporkan
16 PS.05.123 1,67 1,27 genotipe kapas yang tahan terhadap salinitas
17 PS.06.324 0,79 0,95
18 PS.05.165 0,86 1,04 me-nunjukkan nilai rasio akar–tunas yang
19 PS.04.165 2,08 1,62 lebih besar dibandingkan genotipe yang peka,
20 PS.06.121 0,70 0,96
21 PS.06.369 0,81 0,92
karena genotipe tahan memiliki perakaran
22 PS.05.251 1,41 1,67 yang lebih dalam dan panjang sehingga
23 PS.04.194 0,98 1,18
24 PS.05.258 1,20 1,45
mampu menyerap air dan mendukung
25 PS.04.237 1,08 1,28 pertumbuhan tunas kapas.
26 PS.06.400 1,70 2,18
27 PS.04.380 1,23 2,13
28 PS.05.333 1,31 1,63
29 PS.05.124 1,12 1,42 Korelasi antara Parameter Pertumbuhan
30 PS.04.253 1,36 1,33 Tebu dengan Toleransi Salinitas
31 PS.05.246 0,92 1,01
32 PS.05.455 1,19 1,21 Analisa korelasi antara parameter
33 PS.05.327 1,18 1,08 pertumbuhan genotipa klon-klon tebu yang
34 PS.05.393 1,42 1,05
35 PS.05.193 0,91 1,24 diuji dengan kategori salinitas dilakukan untuk
36 PS.04.392 1,05 0,90 mengetahui parameter yang berkaitan erat
37 PS.05.465 1,51 0,87
38 PS.06.204 0,92 1,04 dengan sifat toleran salinitas. Toleransi
39 PS.06.181 0,94 0,76 dikuantitatifkan dengan skor 1 untuk sifat
40 PS.06.334 1,44 1,21
41 PS.05.428 1,69 1,64
peka, 2 untuk sifat moderat dan 3 untuk
42 PS.04.430 0,63 0,95 toleran (lihat metodologi). Hasil analisa
43 PS.04.162 0,99 1,35 ditunjukkan pada Tabel 6. Parameter panjang
44 PS.06.305 1,18 1,22
45 PS.06.199 1,04 1,18 dan berat kering akar memiliki korelasi positif
46 PS.06.281 0,95 1,24 dengan sifat toleransi. Semakin besar nilai
47 PS.06.290 1,76 1,21
48 PS.06.222 1,22 1,69 panjang dan berat kering akar, maka klon
49 PS.06.391 1,34 1,52 tergolong toleran. Sedangkan parameter
50 PS.06.365 1,00 0,98
51 PS.04.158 1,15 1,04 berat kering tajuk memiliki korelasi negatif
52 PS.06.370 0,91 1,03 dengan kriteria toleransi.
53 PS.05.166 1,28 1,20
54 PS.04.244 0,76 0,74
Korelasi antara parameter pertumbuhan
55 PS.06.103 0,66 0,59 dengan sifat toleransi dapat menjadi indikator
56 PS.04.303 1,02 1,26
57 PS.05.130 0,88 0,76
penting bagi seleksi kriteria ketahanan
58 PS.05.551 1,58 1,26 terhadap kondisi cekaman abiotik sehingga
59 PSJT 941 1,03 1,10 memudahkan proses seleksi pada kegiatan
60 PS 862 0,83 1,29
61 BL 0,82 1,19 pemuliaan tanaman (Cha-um et al., 2012).
62 Kentung 1,18 1,17 Dengan hasil penelitian ini, pemilihan klon –
Rata-rata 1,15 1,22
klon toleran terhadap salinitas pada 58 klon
9
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
tebu yang diuji dapat dilakukan dengan Pada penelitian ini, stadia bibit terbukti
memilih klon–klon yang memiliki panjang dan kurang dapat memberikan respon salinitas
berat kering akar yang lebih besar daripada yang stabil pada parameter berat kering tajuk,
klon lainnnya. Parameter berat kering tajuk sehingga perlu adanya penelitian lanjutan
kurang tepat untuk digunakan sebagai para- yang dilakukan pada stadia pertumbuhan tebu
meter seleksi salinitas pada penelitian ini. berikutnya.
Analisa varian (Tabel 3.) menunjukkan ceka-
man salinitas tidak berpengaruh secara KESIMPULAN
signifikan pada parameter berat kering tajuk.
Hasil korelasi juga menunjukkan korelasi Dari hasil penelitian ini klon-klon tebu
negatif, yang berarti bahwa semakin berat yang diuji memiliki perbedaan respon akibat
tajuk maka klon semakin peka. Hasil pene- cekaman salinitas pada semua parameter
litian ini bertolak belakang dengan beberapa tajuk dan akar. Jika dibandingkan dengan
hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa perlakuan kontrol/EC ± 0,1 dS/m, cekaman
klon dengan toleransi yang tinggi terhadap salinitas sebesar EC > 4 dS/m menyebabkan
cekaman kekeringan tetap dapat memper- penurunan pada parameter panjang akar
tahankan biomassa tanaman (Widyasari et al., sebesar 3,41%, berat kering akar 8,05% dan
2009; Gomathi & Thandapani, 2014). Pada menurunkan panjang tajuk sebesar 9,46%.
kedua penelitian tersebut, umur tanaman tebu Sedangkan parameter diameter batang dan
yang digunakan lebih tua (5–6 bulan), berat kering tajuk menunjukkan perubahan
sedangkan pada peneli tian ini tanaman tebu yang tidak signifikan. Berdasarkan hasil
masih berumur 3,5 bulan, dan pengamatan perhitungan indeks toleransi klon-klon tebu
pertumbuhan akibat cekaman salinitas dilaku- digolongkan menjadi kategori toleran,
kan pada saat tanaman berumur 4,5 bulan. moderat dan peka terhadap salinitas. Klon-
Pada tanaman tebu, biomassa tanaman klon PS.06.195, PS.04.259, PS.05.311,
merupakan komponen hasil, sehingga tana- PS.06.188, PS.04.165, PS.05.258, PS.05.455,
man dengan biomassa yang tinggi merupakan PS.06.334 dan PS.04.162 memiliki kriteria
indi-kasi produksi yang tinggi pula. Oleh toleran untuk semua parameter yang diamati,
karena itu diperlukan penentuan stadia sehingga kedua klon tersebut dapat
pertumbuhan yang tepat dalam pengukuran digolongkan menjadi klon-klon toleran
toleransi salinitas. Toleransi salinitas meru- salinitas. Klon-klon ini dapat diuji lebih lanjut
pakan mekanisme biologi kompleks yang untuk dapat diusulkan sebagai klon toleran
didorong oleh beberapa faktor fisiologis dan salinitas atau sebagai sumber introgresi gen
genetik dan spesifik pada stadia pertumbuhan toleran salinitas untuk varietas rendemen
tertentu (Haq et al., 2010; Oyiga et al., 2016). tinggi. Parameter berat kering tajuk kurang
dapat menggam-barkan respon salinitas jika
Tabel 6. Korelasi antara parameter pertumbuhan diamati pada stadia bibit, sehingga perlu
genotipa tebu dengan toleransi salinitas dilakukan penelitian pada stadia pertumbuhan
Parameter pertumbuhan Toleransi salinitas
yang lebih lanjut mengingat parameter berat
Panjang akar 0,409**
kering tajuk merupakan parameter yang
Berat kering akar 0,261*
berhubungan dengan komponen hasil
Panjang tajuk -0,013 ns
tanaman tebu.
Diameter batang -0,184 ns
Berat kering tajuk -0,359**
10
TDA Anggraeni et al.: Skrining klon-klon tebu potensial rendemen tinggi terhadap salinitas
11
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:1−12
Crop Sci. 202, 472–485. Simoes, W.L., Calgaro, M., Coelho, D.S., dos
https://doi.org/10.1111/jac.12178 Santos, D.B., de Souza, M.A., 2016. Growth
Patade, V.Y., Bhargava, S., Suprasanna, P., 2011. of sugar cane varieties under salinity. Rev.
Salt and drought tolerance of sugarcane Ceres 63, 265–271.
under iso-osmotic salt and water stress: https://doi.org/10.1590/0034-
Growth, osmolytes accumulation, and 737X201663020019
antioxidant defense. J. Plant Interact. 6, 275– Sulistyowati, E., Sumartini, S., Abdurrakhman,
282. 2010. Toleransi 60 aksesi kapas terhadap
https://doi.org/10.1080/17429145.2011.5575 cekaman salinitas pada fase vegetatif. Jur 16,
13 20–26.
Patel, P., Kajal, S., Patel, V., 2010. Impact of saline Tanimoto, T., Nickell, L., 1965. Estimation of
water stress on nutrient uptake and growth drought resistence of sugarcane varieties, in:
of cowpea. Brazilian J. 22, 43–48. Proceedings of the Twelfth Congress of The
https://doi.org/00.0000/S00000-000-0000-0 International Society of Sugarcane
Putri, R.S.J., Nurhidayati, T., W, W.B., 2012. Uji Technologist. Puerto Rico, pp. 893–897.
ketahanan tanaman tebu hasil persilangan Tiku, M.F., Mohammed, H., Gebrekidan, H., 2014.
(Sacharaum spp. Hybrid) pada kondisi Screening of introduced sugarcane genotypes
lingkungan cekaman garam (NaCl). Institut for their salinity tolerance based on yield
Teknologi Sepuluh Nopember. components at Metahara sugar estate,
R Core Team (R Foundation for Statistical, 2017. Ethiopia. Time Journals Agric. Vet. Sci. 2,
No Title. 107–113.
Roy, S.J., Negrão, S., Tester, M., 2014. Salt Wahid, A., Rao, A.U.R., Rasul, E., 1997.
resistant crop plants. Curr. Opin. Biotechnol. Identification of salt tolerance traits in
26, 115–124. sugarcane lines. F. Crop. Res. 54, 9–17.
https://doi.org/10.1016/j.copbio.2013.12.004 https://doi.org/10.1016/S0378-
Santoso, B., Mastur, Djumali, Nugraheni, S.D., 4290(97)00038-5
2015. Tebu lahan kering Budi Santoso.pdf. J. Wahid, a, 2004. Analysis of toxic and osmotic
Littri 21, 109–116. effects of sodium chloride on leaf growth and
Sheldon, A., Menzies, N.W., So, H.B., Dalal, R., economic yield of sugarcane. Bot. Bull. Acad.
2004. The effect of salinity on plant available Sin. 45, 133–141.
water, in: SuperSoil 2004: 3rd Australian New Widyasari, W., Damanhuri, Sugiyarta, E., 2009.
Zealand Soils Conference, 5 – 9 December Pengujian 20 klon koleksi tebu hibrida
2004, University of Sydney, Australia. pp. 1– terhadap kondisi kekurangan air. Maj. Penelit.
5. Gula 45, 1–18.
Shrivastava, P., Kumar, R., 2015. Soil salinity: A
serious environmental issue and plant growth
promoting bacteria as one of the tools for its
alleviation. Saudi J. Biol. Sci. 22, 123–131.
https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2014.12.001
12
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri
D Yunitasarie-ISSN:
ISSN: 2085-6717, et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian SwasembadaVol.
2406-8853 Gula10(1),
di Kabupaten Bondowoso
April 2018:13−20
Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.%p
ABSTRAK
Impor gula mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Walaupun penelitian yang mendukung pencapaian
swasembada gula telah banyak dilakukan, namun penelitian terkait analisis potensi suatu wilayah untuk
pengembangan komoditas tebu belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
potensi tebu dalam mendukung pencapaian swasembada gula di Kabupaten Bondowoso. Metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan pendekatan sistem
dinamik untuk menghitung share tebu terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan analisis Shift
Share Esteban Marquillas untuk menghitung potensi/spesialisasi komoditas tebu di Kabupaten Bondowoso.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Kabupaten Bondowoso selama kurun waktu 2010–2015 mempunyai
keunggulan kompetitif dan spesialisasi pada komoditas tebu, sehingga Kabupaten Bondowoso mempunyai
peluang untuk keberlanjutan komoditas tebu ke depan. Strategi yang dapat dilakukan adalah membuka
lahan-lahan perkebunan tebu baru di wilayah lain yang belum terdapat komoditas tebu seperti Kecamatan
Binakal, Sempol, dan Pakem.
Kata kunci: Tebu, Kabupaten Bondowoso, Sistem Dinamik, Shift Share, Produk Domestik Regional Bruto
ABSTRACT
Sugar importation increases in the last decade. Several studies have been conducted to achieve self-
sufficiency in sugar, but few studies have looked at whether a region/area has an excellence potenty for
further sugarcane development. This study aims to analyze the sugarcane potency in supporting
achievement of sugar self-sufficiency in Bondowoso District. The analysis method used in this research is
quantitative analysis using dynamic system approach to calculate sugarcane share to Gross Regional
Domestic Product, and Shift Share Esteban Marquillas analysis to calculate potency/specialty of sugar cane
commodity in Bondowoso regency. The analysis showed that Bondowoso district during 2010-2015 has
competitive advantage and specialization in sugarcane, so that Bondowoso district has an opportunity for
sustainable sugarcane development in the future. Strategies that can be done is to open new sugarcane
plantations fields in other regions that have no sugarcane plantation such as in Binakal, Sempol, and Pakem
sub-district.
Keywords: Sugar cane, Bondowoso district, Dynamic System, Shift share, Gross Regional Domestic Product
13
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
PENDAHULUAN
Luas Lahan
G
Rendemen
al., 2015). Data menunjukkan bahwa Harga Gula Harga Tetes Penerimaan Tetes PBB
14
D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
menyumbang sebesar 21,98%, dan tanaman nasional. Unsur homothetic employment (E′ij)
perkebunan menyumbang sebesar 21,43%. dapat dirumus-kan sebagai berikut:
Potensi ini perlu dipetakan agar dapat
ditemukan kebijakan-kebijakan untuk me- E′ij = Eij (Ein/En)
nunjang pencapaian swasembada gula nasi- dimana:
onal. Nevez et al. (2009)menyatakan bahwa
E′ij: homothetic employment
gula mempunyai dampak energi, sosial serta
Eij: PDRB sektor i di kabupaten Bondowoso
finansial, pekerjaan dan Gross Domestic
Product (GDP). Ein: PDRB sektor i di Provinsi Jawa Timur
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk En: PDRB total Provinsi Jawa Timur
menganalisa peran komoditas tebu di Kabu-
paten Bondowoso dalam rangka mendukung Analisis Shift Share Esteban Marquillas
swasembada gula nasional. Alat Analisis Shift Share digunakan
untuk mengetahui kinerja perekonomian wila-
yah yang direfleksikan dalam bentuk partum-
BAHAN DAN METODE buhan wilayah, kecepatan pertumbuhan relatif
sektor-sektor wilayah, dan daya saing sektor-
Penelitian ini menggunakan metode sektor wilayah (Harun & Canon 2006).
deskriptif kuantitatif, yaitu merupakan metode Analisis Shift Share digunakan untuk
penelitian yang dapat menggambarkan atau mengetahui kinerja atau produktivitas kerja
mendeskripsikan fenomena-fenomena ber- perekonomian daerah (Khusaini, 2015), diban-
dasarkan angka-angka (kuantitatif) (Hamdi dingkan dengan produktivitas kerja perekono-
2014). mian nasional yang digambarkan dari kinerja
Jenis data yang digunakan adalah data sektor perekonomian suatu wilayah yang
kuantitatif. Sedangkan sumber data yang dapat dilihat dari pergeseran differensial, yaitu
digunakan adalah data primer, sekunder dan sebuah nilai untuk mengetahui seberapa
studi literatur, yang diperoleh dari wawancara komparatif sektor tertentu suatu daerah di-
dengan petani tebu, Badan Pusat Statistik bandingkan dengan nasional. Jika bernilai
(BPS) Provinsi Jawa Timur, BPS Kabupaten positif, berarti sektor i mempunyai kecepatan
Bondowoso, dan Kementerian Pertanian. untuk tumbuh dibandingkan dengan sektor i
di tingkat nasional. Jika bernilai negatif,
Perhitungan Output sektor perkebunan berarti sektor i cenderung menghambat
tanaman tebu pertumbuhan dibandingkan tingkat nasional.
Perhitungan output tanaman tebu dide- Berikut merupakan rumus perhitungan Shift
kati dengan menghitung produksi dari tanam- Share:
an tebu dan biaya-biaya yang dikeluarkan Dij = Nij + Mij + Cij + Aij
selama proses produksi hingga menjadi gula.
dimana:
Perhitungan tersebut dilakukan menggunakan
Dij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten
metode sistem dinamik, baik pada komoditas
Bondowoso
tanaman tebu di Kabupaten Bondowoso dan
Nij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten
komoditas tanaman tebu di Jawa Timur. Bondowoso yang disebabkan oleh
Dalam rumus Shift Share Esteban pengaruh pertumbuhan ekonomi di
Marquillas, terdapat unsur baru, yaitu Provinsi Jawa Timur
homothetic employment (E′ij) sebagai nilai Mij: Perubahan PDRB sektor i di Kabupaten
tambah yang dicapai sektor i di suatu wilayah Bondowoso yang disebabkan oleh
jika struktur kesempatan kerja di wilayah pengaruh pertumbuhan sektor i di
tersebut sama dengan struktur di tingkat Provinsi Jawa Timur
15
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
Cij: Perubahan PDRB sektor i di Provinsi Jawa produksi masing-masing sebesar 87,602 ton
Timur yang disebabkan oleh dan 48,549 ton. Selain terdapat penghasil
keunggulan kompetitif sektor/subsektor tebu terbesar, terdapat tiga kecamatan yaitu
i di Kabupaten Bondowoso Binakal, Sempol, dan Pakem, yang belum
Aij: Bagian dari pengaruh keunggulan terdapat tanaman tebu. Kecamatan Jambe-
kompetitif yang menunjukkan adanya sari dan Curahdami memproduksi tebu mulai
tingkat spesialisasi di sektor i di tahun 2011. Kecamatan Sumber Wringin
kabupaten Bondowoso mulai tahun 2011 mengembangkan tebu dan
menunjukkan kecenderungan produksi yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
meningkat.
Total produksi tebu tertinggi dicapai
Keragaan Produksi Tebu
pada tahun 2014, yaitu sebesar 38.518 ton,
Dari 23 kecamatan yang ada di
sedangkan produksi terendah pada tahun
Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Tapen
2010 dengan jumlah produksi tebu sebesar
merupakan penghasil tebu terbesar di
22.453 ton (Gambar 3). Walaupun per-
Kabupaten Bondowoso dalam rentang waktu
tumbuhan produksi tebu berfluktuasi, rata-
tahun 2009–2015 (Gambar 2). Total produksi
rata pertumbuhan produksi tebu di Bondowo-
Tebu yang dihasilkan (tahun 2009–2015) di
so menunjukkan pertumbuhan sebesar 4,86%
Kecamatan Tapen sebesar 174.130 ton.
per tahun.
Setelah Kecamatan Tapen, berturut turut
adalah Kecamatan Tamanan dan Sukosari
sebagai penghasil tebu terbesar dengan nilai
14000
12000
10000
Produksi (Ton)
8000
6000
4000
2000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Lokasi (Kecamatan)
Gambar 2. Data produksi tebu per kecamatan di Kabupaten Bondowoso tahun 2009–2015 (ton/ha).
Kecamatan: 1. Maesan; 2. Grujugan; 3. Taman; 4. Jambersari; 5. Pujer; 6. Tlogosari; 7.
Sukosari; 8. Sumber Wringin; 9. Tapen;10. Kecamatan Wonosari; 11. Tenggarang; 12.
Bondowoso; 13. Curahdami; 14. Binakal; 15 . Pakem; 16. Wringin; 17. Tegalampel; 18. Taman
Krocok; 19. Klabang; 20. Botolinggo; 21. Sempol; 22. Prajekan; 23. Cerme
Sumber: BPS Kabupaten Bondowoso 2017.
16
D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
17
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
dan keunggulan kompetitif pada gula, se- masyarakat pada masing-masing komunitas
hingga sebagai salah satu kabupaten atau wilayah.
penghasil tebu, maka tidak berlebihan jika Selain potensi lokal, penting untuk
peningkatan produksi tebu dapat lebih di- mengetahui metode pertanian dan iklim yang
maksimalkan. Strategi yang dapat diterapkan mempengaruhi produktivitas tebu. Hassan
yakni membuka lahan-lahan tebu baru di (2008) menyatakan pengembangan tebu sa-
wilayah yang telah terdapat maupun yang ngat tergantung pada curah hujan/iklim dan
belum terdapat tanaman tebu serta me- sistem irigasi. Mengingat curah hujan di
ningkatkan produktivitas pada lahan yang Indonesia juga tidak bisa diprediksi pada
telah ada. bulan-bulan tertentu. Penelitian Solomon & Li
Untuk mendukung pembangunan eko- (2016) menyatakan Indonesia menduduki
nomi Kabupaten Bondowoso, pemerintah peringkat ketiga terbesar di dunia dalam
kabupaten sebaiknya memperhatikan potensi mengimpor dan mengkonsumsi gula.
daerah. Kebijakan yang diambil harus sesuai Peningkatan produksi gula dan perdagangan
dengan sektor pendukung perekonomian yang sangat diperlukan. Sejalan dengan penelitian
ada di daerah tersebut (Tarigan, 2004). Li et al. (2006), menjelaskan bahwa industri
Menurut Hidayah (2010) komoditas gula di Cina berkembang dengan pesat karena
unggulan adalah komoditas yang layak di- didukung oleh kebijakan pemerintah, kreati-
usahakan karena memberikan keuntungan vitas manajemen, dan inovasi teknologi. Hal
kepada petani baik secara biofisik, sosial dan ini didukung oleh Kementerian Perindustrian
ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak yang menyatakan bahwa menciptakan daya
secara biofisik jika komoditas tersebut di- saing daerah tidaklah mudah karena
usahakan sesuai dengan zona agroekologi, menghadapi banyak hambatan, yaitu: 1)
layak secara sosial jika komoditas tersebut kelembagaan, 2) keamanan, politik, sosial,
memberi peluang berusaha, menyerap tenaga dan budaya, 3) wilayah ekonomi, 4) tenaga
kerja, dan menguntungkan. kerja, dan 5) infrastruktur.
Implementasi pengembangan ekonomi Mengingat Kabupaten Bondowoso mem-
lokal akan meningkatkan jumlah lapangan pe- punyai keunggulan kompetitif, dan spesialisasi
kerjaan dan kesempatan, serta memunculkan dibidang gula, maka sangat penting dalam
strategi untuk menjaga agar sebagian besar rangka mendukung swasembada gula dan
kesempatan memperoleh pendapatan berta- proses pembangunan dengan memperhatikan
han di daerah yang bersangkutan. Daerah potensi wilayah. Pengembangan perkebunan
akan menerima manfaat berupa peningkatan tebu juga didukung keberadaan Pabrik Gula
kegiatan ekonomi sebagai akibat dari pening- (PG) Pradjekan di Kabupaten Bondowoso dan
katan pendapatan rumah tangga, di samping PG-PG di sekitar Kabupaten Bondowoso,
memperoleh pendapatan langsung (Boulle, seperti PG Semboro di Kabupaten Jember dan
2002). Menurut Blakely & Bradshaw (2002) PG Pandji, Olean dan Asembagus, di Kabu-
konsep pembangunan ekonomi tersebut paten Situbondo. Sehingga produksi tebu
mengabaikan konteks kewilayahan dan par- yang dihasilkan, tidak perlu takut tidak akan
tisipasi masyarakat lokal. Pembangunan eko- tergiling, karena PG tersebut bisa menampung
nomi dan penciptaan lapangan kerja akan tebu yang dihasilkan oleh petani. Kedepan,
lebih berhasil dan efektif jika disesuaikan diharapkan dapat dibuka daerah-daerah keca-
dengan kondisi dan potensi masing-masing matan penghasil tebu baru untuk mendukung
wilayah atau komunitas. Solusi-solusi yang swasembada gula nasional. Berdasarkan data
bersifat umum dan global terhadap semua penyumbang tebu per Kecamatan, maka
komunitas tidak akan berhasil karena meng- Kecamatan Binakal, Sempol, dan Pakem
abaikan konteks kewilayahan dan partisipasi
18
D Yunitasari et al.: Analisis Potensi Tebu dalam Mendukung Pencapaian Swasembada Gula di Kabupaten Bondowoso
memiliki peluang yang besar sebagai lokal, perlu juga dukungan pemerintah dalam
penyumbang tebu di Kabupaten Bondowoso. peningkatan infrastruktur dan penyediaan
Berdasarkan penelitian Khusaini (2015), sarana produksi yang terjangkau.
meningkatkan daya saing wilayah merupakan
hal yang tidak mudah dan tidak bisa dilakukan
dalam jangka pendek. Selain dukungan UCAPAN TERIMAKASIH
potensi wilayah yang ada, perlu juga
dukungan pemerintah dengan peningkatan Penulis mengucapkan terima kasih
infrastruktur yang lebih baik pada lahan-lahan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan
penghasil tebu, sehingga pada saat panen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang
kegiatan muat-angkut tebu bisa lebih mudah telah memberikan dana hibah DRPM tahun
dan meminimalisir berkurangnya rendemen anggaran 2017 untuk penelitian ini.
karena proses yang terlalu lama di lahan.
Dukungan pemerintah pada sarana produksi
juga diperlukan, mengingat tebu merupakan DAFTAR PUSTAKA
bahan makanan yang sangat penting dan
tanaman yang sangat komersial (Tarimo & Ali, S., Badar, N., Fatima, H., 2015. Forecasting
Takamura, 1998). Tebu juga memberikan production and yield of sugar cane and
kontribusi signifikan dalam ekonomi pertanian cotton crops of Pakistan for 2013-2030.
(Ali et al., 2015). Pentingnya ketersediaan Sarhad J. Agric. 31, 1–9.
Blakely, Bradshaw, 2002. Planning local economic
gula dalam pencapaian swasembada dapat development: Theory and Practice, 3rd Ed,
dilakukan melalui peningkatan jumlah pasokan SAGE Publication, California-USA.
gula dan rasionalisasi pada konsumsi. Ke- Boulle, J., 2002. 13 Langkah KPEL untuk
naikan pasokan gula ditingkatkan melalui pengembangan ekonomi lokal, Badan
produksi pada sumber dasarnya yaitu, dengan Perencanaan Pembangunan Nasional–United
mempertahankan lahan tebu dan meningkat- Nations Development Programme–United
Nations Human Settlements Programme
kan luas lahan, serta produktivitasnya (El-
Jakarta.
Sharif et al., 2015; Yunitasari et al., 2015). BPS Provinsi Jawa Timur, 2015. Produk Domestik
Sedangkan untuk mendukung pencapaian Regional Bruto Kabupaten/ Kota Menurut
swasembada gula diperlukan luas lahan, letak, Lapangan Usaha 2010–2014,.
dan daya dukung lahan sehingga akan Coyle, R., 1996. System Dynamics Modelling:
tercapai peningkatan kesejahteraan dan Practical Approach, Chapman & Hall, London
9.
kelangsungan hidup manusia di masa men-
El-Sharif, L., Khairy, H., El-Eshmawiy, K., Awad,
datang (Lahamendu, 2015; Idjudin, 2013). A., Rania, M., 2015. Economic Potentialities
Achieve Self-Sufficiency from Egyptian Sugar
under the International Variables, American-
KESIMPULAN Eurasian Journal of Agriculture and Environ-
mental Sciences 5, 566–663.
Hamdi, A., 2014. Metode Penelitian Aplikasi
Dalam kurun waktu 2010–2015, Kabu-
dalam Pendidikan, Yogyakarta: Deepublish.
paten Bondowoso mempunyai potensi dan 13.
keunggulan kompetitif dalam komoditas tebu Harun, U., Canon, S., 2006. Analisis, LQ shift
untuk mendukung program peningkatan share untuk Mengukur Dampak Perluasan
produksi tebu untuk pencapaian swasembada Kota terhadap Kinerja Ekonomi Regional,. J.
gula nasional. Kecamatan Binakal, Sempol, Perenc. Wil. dan Kota 17, 21–40.
dan Pakem memiliki peluang yang besar Hassan, S., 2008. Development of sugar industry
in Africa, Sugar Tech Journal 10, 197–203.
sebagai penyumbang tebu di Kabupaten
Bondowoso. Selain pengembangan potensi
19
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:13−20
Hidayah, I., 2010. Analisis Prioritas Komoditas Sos. Ekon. dan manajemen, Jakarta UMJ
Unggulan Perkebunan Daerah Kabupaten Press.
Buru. J. Agrika 4, 1–8. Nazara, S., 1994. Pertumbuhan Ekonomi Regional
Idjudin, A., 2013. Peranan Konservasi Lahan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
dalam Pengelolaan Perkebunan. J. Sum- Nevez, M., Vinicius, G., Consoli, M., 2009. The
berdaya Lahan 5, 103–116. sugar energy map of Brazil 18.
Khusaini, M., 2015. A Shift Share Analysis on P3GI, 2017. Data Kapasitas Giling Pabrik Gula di
Regional Competitiveness–A Case of Jawa Timur, Excel Worksheet. Pasuruan.
Banyuwangi District, East Java, Indonesia,. Pertanian, K., 2016. Outlook Tebu 2016, Pusat
Procedia Soc. Behav. Sci. 211 738–744. Data dan Sistem Informasi Pertanian
Koo, W., Taylor, R., 2011. Outlook of the US and Sekretariat Jenderal-Kementerian Pertanian
world sugar markets, 2010–2020. US 17.
Agricultural Economics Report No. 444, July Solomon, S., Li, R., 2016. Editorial-The Sugar
2000, North Dakota State University. Industry of Asian Region. Sugar Tech 18,
Lahamendu, V., 2015. Analisis Kesesuaian 557–558.
Pemanfaatan Lahan yang Berkelanjutan di Tarigan, R., 2004. Teori basis ekonomi, Bina
Pulau Bunaken Manado, Jurnal Sabua. 7, Grafika. Jakarta.
383–388. Tarimo, A., Takamura, Y., 1998. Sugarcane
Li, Rui, Y., Wei, An, Y., 2006. Sugar Industry in Production, Processing and Marketing in
China : R & D and Policy Initiatives to Meet Tanzania. Afr. Study Monogr.
Sugar and Biofuel Demand of Future, Sugar Yunitasari, D., Hakim, D., Juanda, B., Nurmalina,
Tech 4, 203–216. R., 2015. Menuju Swasembada Gula
Morecrofta, J., Wolstenholme, E., n.d. System Nasional: Model Kebijakan untuk
dynamics in the U.K.: A Journey from meningkatkan Produksi Gula dan
Stirling to Oxford and Beyond, Syst. Dyn. Pendapatan Petani Tebu di Jawa Timur. J.
Rev. 2007 23, 205–214. Ekon. dan Kebijak. Publik 1–15.
Muhammadi, Aminullah, E., Soesilo, B., 2001.
Analisis sistem dinamis: Lingkung. hidup
20
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri
ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:21−31
Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018.21–31
ABSTRAK
Program pengembangan tebu saat ini diarahkan ke lahan kering yang memiliki ketersediaan air dan
kesuburan tanah yang terbatas, sehingga menjadi pembatas produktvitas tebu. Penambahan biomassa ke
lahan dapat meningkatkan kesuburan dan populasi arthropoda tanah/detrivora. Penelitian penambahan
biomassa Crotalaria juncea pada lahan tebu dilaksanakan di Kebun Percobaan Asembagus, Situbondo mulai
bulan Januari - Juli 2015. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisa pengaruh penambahan biomassa
terhadap diversitas arthropoda tanah dan pengaruhnya terhadap produksi tebu. Perlakuan terdiri atas lahan
dengan penambahan biomassa (serasah tebu dan pupuk hijau C. juncea) dan lahan yang tanpa
penambahan biomassa. Pengamatan kelimpahan arthropoda tanah dan tingkat diversitas dilakukan dengan
pemasangan pitfall traps dan yellow pan traps, Hasil penelitian menunjukkan bahwa Collembola dan
Hymenoptera merupakan arthropoda tanah yang dominan. Indeks diversitas arhropoda tanah pada lahan
dengan penambahan biomassa lebih tinggi (0,82–0,84) dibandingkan pada lahan tanpa penambahan
biomassa (0,75–0,79). Untuk memperbaiki kondisi ekosistem diperlukan penambahan biomassa secara terus
menerus. Penambahan biomassa pada tahun pertama berhasil meningkatkan kandungan C Organik tanah
dari 0,76 menjadi 1,06, dan meningkatkan kandungan N dari 0,03 menjadi 0,11, serta meningkatkan
produksi tebu dari 70,4 ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.
Kata kunci: Biomassa Clotalaria juncea, lahan kering, diversitas arthropoda tanah.
ABSTRACT
The current sugarcane development program is directed to dry lands that have limited water availability and
soil fertility, thereby limiting the productivity of sugarcane. In order to restore soil fertility and reduce the
evaporation of groundwater, the addition of biomass in the form of trash (dried leaves) of sugarcane as well
as the addition of green manure (Clotalaria juncea). Biomass addition to the land could increase soil fertility
and the population of soil arthropods/detrivores. The experiment was conducted at Asembagus
Experimental Station, Situbondo from January 2015–July 2015. The purpose of this research was to analyze
the effect of biomass addition to the diversity of soil arthropods and sugarcane productivity. Treatments
consisted of land with the addition of biomass (sugarcane/sugarcane and green manure C. juncea) and
control. Observation of the abundance of soil arthropods and diversity level was done by setting pitfall traps
and yellow pan traps, observation was done monthly. The results showed that the order of Collembola and
Hymenoptera were dominant arthropods. The diversity index of ground arhropods on the land with biomass
increments was higher (0.82–0.84) than that in the land without biomass addition (0.75–0.79). In order to
improve the ecosystems condition, it is required the addition of biomass continuously. The addition of
21
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
biomass in the first year succeeded in increasing the organic C content of soil from 0.62 to 1.06 and
increasing the production of sugar cane from 70.4 tons/ha to 101.4 tons/ha.
22
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
dilakukan oleh mikroarthropoda tanah Sistem tanam juring ganda 170–50 cm.
(Peoletti et al., 1991). Peran kedua Tanaman yang digunakan adalah tanaman
mikroarthropoda tanah berperan dalam alih tebu kepras pertama varietas Bululawang.
energi dan pengaliran mineral (Seasteadt, Penyulaman dilakukan pada tanaman 1 bulan
1984). setelah kepras. Dosis pupuk yang digunakan
Penelitian diversitas arthropoda tanah 400 kg pupuk majemuk NPK + 600 kg pupuk
pada tanaman tebu di Indonesia dengan tunggal N yang mengandung Sulfur.
berbagai jenis ekosistem sangat terbatas. Pemupukan pertama diberikan satu bulan
Oleh karena itu penelitian penambahan bio- setelah kepras, yaitu seluruh pupuk majemuk
massa dan pengaruhnya terhadap diversitas dan 1/3 dosis pupuk tunggal N yang
arthropoda tanah pada pertanaman tebu di mengandung Sulfur dan pemupukan kedua
lahan kering tanah berpasir serta pengaruh- diberikan 3 bulan setelah kepras yaitu 2/3
nya terhadap produksi tebu akan memberikan pupuk tunggal N yang mengandung Sulfur.
informasi yang berguna dalam pengelolaan Pengambilan sampel/koleksi arthropoda
habitat, termasuk pengelolaan hama dan tanah dilakukan setiap bulan mulai Januari–
tanah. Hasil penelitian ini dapat digunakan April dengan sistem koleksi masal dengan
untuk menilai kestabilan suatu ekosistem. menggunakan pitfall traps dengan ukuran
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa diameter 7 cm dan tinggi 10 cm serta yellow
pengaruh penambahan biomassa C. juncea pan traps dengan ukuran diameter 15 cm dan
dan serasah tebu dilahan kering terhadap tinggi 6 cm. Pitfall traps digunakan untuk
diversitas arthropoda tanah pada tebu ratoon. menangkap microarthropoda tanah, sedang-
kan yellow pan traps digunakan untuk
menangkap arthropoda permukaan tanah.
BAHAN DAN METODE Pada masing-masing perlakuan dipasang 16
pitfall traps (4 titik x 4 ulangan) dan 16 yellow
Penelitian dilaksanakan di Kebun Perco- pan traps (4 titik x 4 ulangan) dipasang
baan Asembagus, Situbondo mulai bulan secara diagonal memotong tengah kebun
Januari 2015 sampai dengan Juli 2015. Lahan dengan jarak 10 meter. Pitfall traps
di KP Asembagus berjenis tanah pasir dengan dibenamkan ke dalam tanah dengan per-
kandungan pasir >90%, tergolong lahan mukaan rata dengan tanah. Yellow pan traps
kering beriklim kering (jumlah curah hujan diletakkaan di dekat titik perangkap pitfall
652,7 mm dan jumlah hari hujan dalam traps dengan jarak 1 m. Yellow pan traps
setahun 56 hari). Lahan tebu seluas 0,6 ha diletakkan di atas tanah yang di sekitarnya
dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu (1) lahan terbuka, setiap perangkap diisi air dicampur
dengan penambahan biomassa serasah (12,5 deterjen agar arthropoda yang terperangkap
ton/ha) dan pupuk hijau (15 ton/ha) dan (2) mati, pengisian air dicampur deterjen seper-
lahan tanpa penambahan biomassa dan tidak tiga tinggi gelas dan diatasnya diberi peneduh
ditanami C. juncea. Serasah diperoleh dari plastik untuk menghindarkan masuknya air
daun dan pucuk tebu dari tebu tanam hujan. Perangkap dipasang mulai bulan Ja-
pertama (PC). Serasah diberikan setelah nuari sampai dengan April. Arthropoda yang
panen kemudian dikepras. Pupuk hijau teperangkap pada masing-masing perangkap
diperoleh dari tanaman C. juncea yang di- diambil setelah 24 jam lalu dimasukkan dalam
tanam setelah kepras dan dipanen pada umur kantong plastik secara terpisah kemudian
50 hari. Selanjutnya biomassa C. juncea dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
ditaruh dekat barisan tebu dan dibumbun
dengan tanah.
23
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
24
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
bitat yang lebih sesuai untuk kehidupan an biomassa juga dapat mempertahankan
arthropoda tanah (Boror et al., 1996). Pada kelembapan tanah, karena penambahan bio-
lahan penelitian yang ditambahkan biomassa massa merupakan salah satu usaha
rata-rata suhu tanah 26oC, sedangkan pada menambah bahan organik pada tanah
lahan tanpa penambahan biomassa suhu sehingga absorbsi air meningkat, selain itu
tanah 29oC. Hal yang sama terjadi pada juga memperbesar kapasitas menahan air dan
penambahan mulsa jerami padi di lahan memperkecil terjadinya kehilangan air serta
perkebunan kapas. Menurut (Subiyakto et mengendalikan gulma (Sutedjo & Mulyadi,
al., 2005); 2016) penambahan biomassa 1996; Suripin, 2002; Basuki, 2014).
jerami padi pada lahan perkebunan kapas Berdasarkan Tabel 1. Metode pitfall
dapat meningkatkan kelembaban, menurun- traps lebih banyak menangkap ordo Hyme-
kan suhu permukaan tanah, meningkatkan noptera, Ordo Hymenoptera yang dominan
ketersediaan dan kualitas pakan serta suhu adalah jenis semut (Formicidae) baik semut
yang optimum untuk perkembangan arthro- hitam (Myrmica sp.) maupun semut merah,
poda tanah. populasi semut yang paling melimpah ter-
dapat pada perlakuan lahan dengan penam-
Tabel 1. Kelimpahan arthropoda tanah hasil
penangkapan dengan pitfall traps dan bahan biomassa dibanding lahan tanpa
yellow pan traps pada lahan tebu penambahan biomassa dengan perbandingan
dengan penambahan biomassa dan C. 693 dan 302 ekor. Semut adalah kelompok
juncea (BC) dan tanpa penambahan organisme teristrial karena memiliki kera-
biomassa (TB) gaman yang tinggi dan mendominasi di
Pitfall traps Yellow pan traps
No Ordo
BC TB BC TB banyak ekosistem (Permana et al., 2012).
1 Collembola 635 a 544 a 947 a 733 a Neves et al (2010) melaporkan bahwa semut
2 Hymenoptera 693 a 302 a 92 a 76 a
3 Diptera 0a 0a 0a 2a
menempati berbagai tingkat trofik dan ber-
4 Coleoptera 7a 16 a 36 a 26 a kontribusi sangat besar dalam berbagai proses
5 Araneae 27 a 35 a 25 a 28 a yang terjadi dalam ekosistem. Semut juga
6 Hemiptera 12 a 8a 48 a 28 a
Jumlah 1.374 905 1.148 893 berperan sebagai perombak biomassa/ bahan
organik (detrivora), sehingga dapat me-
Lahan yang kaya bahan organik populasi ningkatkan kondisi untuk pertumbuhan ta-
arthropoda tanah relatif tinggi dibanding lahan naman dengan mengembalikan hara dan
yang miskin bahan organik (Settle & Whitten, nutrisi tanah, serta sebagai predator serangga
2000). Atekan (2016) melaporkan bahwa hama (Lange et al., 2008; Purwanti, 2017).
bahan organik selain dapat memperbaiki sifat Metode yellow pan traps lebih banyak
fisik dan kimia tanah juga merupakan sumber menangkap ordo Collembola dan populasi
energi bagi aktivitas mikroba tanah. Erwinda Colembolla lebih banyak ditemukan pada
et al. (2017) dan Warino et al. (2017) perlakuan lahan dengan penambahan bio-
menyebutkan bahwa populasi Colembolla massa dibanding lahan tanpa penambahan
tertinggi ditemukan pada daerah pangkal biomassa dengan perbandingan 947 dan 733
pohon sawit dan daerah gawangan kompos, ekor. Colembola merupakan organisme yang
dimana kedua tempat tersebut banyak hidup didalam tanah dan dikelompokkan
mengandung bahan organik. sebagai mesofauna karena ukurannya yang
Zulfika (1990) melaporkan bahwa pem- kecil. Colembolla sangat berperan dalam
berian penutup tanah berupa jerami dapat ekosistem tanah karena jumlahnya yang sa-
meningkatkan kadar air 17,17%–27,02%. ngat besar. Colembola berperan secara tidak
Penambahan biomassa pada lahan berpasir langsung sebagai perombak biomassa/bahan
dapat memperkecil terjadinya evaporasi dan organik tanah dan sebagai indicator pe-
meningkatkan absorbsi air tanah. Penambah- rubahan keadaan tanah (Suhardjono et al.,
25
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
(0,84) dibandingkan pada lahan tanpa penam- Gambar 2. Indeks jumlah/jenis Artropoda pada
bahan biomassa hanya 0,79 dan 0,75 lahan tebu dengan penambahan bio-
massa (BC) dan tanpa penambahan
(Gambar 1). Walaupun indeks diversitas pada
biomassa (TB)
lahan dengan penambahan biomassa secara
kuan-titatif lebih tinggi, namun pada dua
lahan nilai indeks diversitasnya masing-masing Indeks kemerataan
masih berada di bawah 1 (H’< 1,0). Nilai H’ < Indeks kemerataan (E) adalah total
1,0 berarti lahan yang digunakan untuk individu yang didapatkan tersebar dalam
penelitian memiliki kategori diversitas rendah, setiap spesiesnya. Indeks kemerataan di-
mengindi-kasikan di lahan tersebut jumlah gunakan untuk mengukur tingkat kemerataan
jenis dan individu kurang beragam dan atau kelimpahan jenis yang terdistribusi di
ekosistemnya tidak stabil. antara jenis dalam suatu komunitas (Ludwig,
26
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
2.22
1998). Krebs (1972) melaporkan bahwa 2.16
2.09
semakin kecil indeks kemerataan maka
semakin kecil pula kemerataan populasi, yang
1.88
berarti penyebaran jumlah individu jenis tidak
sama dan ada kecenderungan satu spesies
mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin
besar indeks kemerataan maka semakin besar BC TB
penyebaran jumlah individu setiap jenis sama Pitfall traps Yellow pan traps
dan tidak ada kecenderungan dominasi salah
Gambar 4. Indeks kekayaan artropoda pada lahan
satu.
tebu dengan penambahan biomassa
Indeks kemerataan (E) pada lahan (BC) dan tanpa biomassa (TB)
dengan penambahan biomassa dan lahan
tanpa penambahan biomassa dengan peng-
amatan pitfall traps dan yellow pan traps Indeks dominansi
nilainya sangat rendah berkisar 0,25–0,29 Indeks dominansi (λ) menunjukkan
Gambar 3). Nilai indeks kemerataan yang besarnya peranan suatu spesies organisme
rendah mengindikasikan terjadi dominasi pada dalam hubungannya dalam komunitas secara
jenis tertentu, dalam hal ini Collembola dan keseluruhan. Nilai indeks dominansi berkisar
Hymenoptera. Ordo Hymenoptera didominasi antara 0–1, semakin kecil nilai indeks
oleh jenis semut. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi maka semakin kecil pula dominansi
distribusi arthropoda tanah tidak merata baik populasi yang berarti penyebaran jumlah
pada lahan dengan penambahan biomassa individu setiap jenis sama dan tidak ada
maupun lahan tanpa penambahan biomassa. kecenderungan dominasi dari satu jenis.
Begitu pula sebaliknya semakin besar nilai
0.29 indeks dominansi, maka ada kecenderungan
0.28 dominansi dari salah satu jenis (Krebs, 1972).
0.27
0.25
0.57
0.55
0.54
BC TB
0.53
Pitfall traps Yellow pan traps
Kekayaan Jenis
Gambar 5. Indeks dominasi artropoda pada lahan
Kekayaan jenis (R) pada lahan dengan tebu dengan penambahan biomassa
penambahan biomassa lebih tinggi 2,20 di- (BC) dan tanpa penambahan biomassa
banding lahan tanpa penambahan biomassa (TB)
yaitu 2,00 (Gambar 4). Tingginya nilai (R)
pada lahan dengan penambahan biomassa Dominansi jenis arthropoda (λ) pada
disebabkan karena secara kumulatif jenis lahan dengan penambahan biomassa dan
seluruh arthropoda (S) pada lahan dengan lahan tanpa penambahan biomassa berkisar
penambahan biomassa lebih tinggi dari pada 0,53–0,57 (Gambar 5). Indeks dominansi
lahan tanpa penambahan biomassa. (λ)>0,5 menunjukkan bahwa ada kecende-
rungan jenis arthropoda yang mendominansi
27
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
dari kedua lahan, dengan demikian di Tabel 2. Hasil analisa tanah lahan dengan
dapatkan populasi yang tinggi pada penambahan biomassa dan C. juncea
(BC) dan tanpa penambahan biomassa
arthropoda tertentu. Rata-rata dominansi
(TB) dan produktivitas tebu.
arthropoda pada lahan tanpa penambahan Perla- Kadar C-Organik N Produktivitas
biomassa lebih tinggi dari pada lahan dengan kuan air (%) (%) (%) tebu (on/ha)
BC 1,39 1,06 0,11 101,4
penambahan biomassa hal ini karena pada
TB 1,38 0,76 0,03 76,4
lahan tanpa penambahan biomassa diversitas
dan kemerataan jenis lebih kecil dari pada
Penambahan biomassa dan C. juncea
lahan dengan penambahan biomassa.
telah meningkatkan C Organik tanah dari 0,76
Subiyakto et al. (2005) melaporkan bahwa
menjadi 1,06 dan meningkatkan N dari 0,03
lahan yang diberi mulsa jerami padi menye-
menjadi 0,11 serta meningkatkan produksi
babkan mikroarthropoda tanah (Collembola
tebu dari 76,4 ton/ha menjadi 101,4 ton/ha.
dan Akarina) lebih melimpah dibanding
Keragaman fauna pada lahan dengan penam-
dengan lahan tanpa diberi mulsa jerami padi.
bahan biomassa meningkat sehingga akan
Dilihat dari aspek pengendalian hama
me-ningkatkan karbon-nitrogen dan dekom-
penambahan biomassa pada lahan kering dan
posisi berbagai senyawa menjadi hara
tanah berpasir pada tahun yang sama dapat
(Kennedy & Islam, 2001). Dengan demikian
meningkatkan diversitas (H’), meningkatkan
terjadi perbaikan senyawa kimia tanah (Tabel
indek kemerataan (E) dan menurunkan indeks
2). Hal ini menunjukkan bahwa ada siklus
dominansi (λ) arthropoda tanah walaupun
hara yang juga tersedia sebagai salah satu
belum maksimal. Penambahan bahan organik
layanan ekologi dalam agro-ekosistem.
ke lahan yang terus menerus diharapkan
Basuki et al. (2014) melaporkan bahwa
dapat meningkatkan kualitas tanah, me-
pengembalian serasah dan C. juncea dapat
ningkatkan Collembola dan meningkatkan
meningkatkan produksi tebu dibanding
indeks diversitas arthropoda tanah.
perlakuan pemberian brangkasan kacang
Arthropoda tanah seperti Colembolla
tanah, pupuk kandang dan kontrol. Pemberian
merupakan mangsa alternatif bagi predator
mulsa sisa tanaman dapat menekan laju
sebelum inang utama datang. Penambahan
penguapan dan menjaga agre-gasi tanah dan
biomassa ke lahan tebu selain menjadikan
porositas tanah. Suhu yang optimal untuk
permukaan tanah menjadi lembab juga me-
arthropoda tanah akibat penambahan bio-
nyediakan pakan yang cukup untuk arthro-
massa sangat menguntungkan bagi Colem-
podda tanah. Arthropoda tanah memakan
bolla sebagai decomposer sebab tingginya
bahan organik seperti serasah tebu (Buckman
populasi Colembolla akan mempercepat pe-
& Brady, 1982; Adianto, 1993). Moore (1988)
mecahan bahan organic menjadi senyawa
melaporkan bahwa mulsa jerami/serasah
nutrisi yang tersedia bagi tanaman (Purwanti,
merupakan basis makanan mikroarthropoda
2017). Pemberian mulsa sisa tanaman ka-
tanah, sedang mikroarthropoda tanah adalah
cang tanah dan C. juncea di Bobonaro Timor
mangsa alternatif arthropoda predator.
Timur dengan kondisi lingkungan yang kering
Dengan tersedianya mangsa yang cukup
dapat meningkatkan hasil kacang hijau 233%
maka arthropoda predator akan melimpah,
(Indrawati, 1998). Demikian juga dengan
populasi serangga hama akan turun.
pemberian mulsa 12 ton/ha dapat me-
Keragaman hayati yang tinggi dapat
ningkatkan jumlah polong kacang tanah
digunakan sebagai indikator stabilnya suatu
pertanaman 96%, berat kacang tanah 117%,
ekosistem (Inayat & Rana 2010).
28
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
29
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:21−31
Ludwig, J., Reynolds, J., 1998. Stastitical Ecology, Seasteadt, T.R., 1984. The Role of
A Primer o. ed. Jonh Wiley & Sons, New York. Microarthropods in Decomposition and
Mineralization Processes, 29th ed. Rev.
Migliorini, M., Pigino, G., Caruso, T., Fanciulli, P., Entomol, Annu.
Leonzio, C., Bernini, F., 2005. Soil
Communities (Acari Oribatida; Hexapoda Settle, W.H., Whitten, M.J., 2000. The Rule of
Collembola) in a Clay pigeon Shooting range. Small Scale Farmers in Stengthening
Pedobiologis 49, 1–13. Linkages Between Biodiversity and
Sustainable Agriculture. XXI Intenational
Moore, J., Walter, D., Hunt, H., 1988. Arthropods Congres of Entomology, Brazil, pp. 20–26.
regulation of micro and mesobiota in below-
ground detrital food webs 33, 419–435. Soebandrijo, S. Hadiyani, S.A. Wahyuni, dan M.S.,
2001. Peranan Seresah dan Gulma dalam
Mudjiono, G., 1993. Pengendalian Hama Terpadu. Meningkatkan diversitas Hayati dan
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Pengendalian Serangga Hama Kapas di
Malang. Indonesia. Prosiding Simposiun
Keanekaragan Hayati pada system Pertaian,
Neves, F., Rodrigo, F., Mario, M., Jacques, H., Bogor.
Fernandes, G., Azofeifa, G., 2010. Diversity of
Arboreal Ants in a Brazilian Tropical Dry Southwood, T.R.W., 1978. Ecological Methods,
Forest: Effects of Seasonelity and Succesional Second Edi. ed. Champman and Hall.
Stage. Sociobiology 56, 1–18.
30
Sujak et al.: Pengaruh penambahan biomassa di lahan kering terhadap diversitas arthropoda tanah dan produktivitas tebu
Subiyakto, 2016. Pengendalian hama dan penyakit Suma, R., Savitha, C., 2015. Integrated Sugarcane
penting pada tanaman tebu. Bogor. Trash Management: A Novel Technology for
Sustaining Soil Health and Sugarcane Yield.
Subiyakto, Chailani, S.R., Mujiono, G., Syekhfani, Adv Crop Sci Tech 3.
S., 2005. “Pengaruh Bobot Mulsa Jerami Padi
Terhadap Kelimpahan Mikroarthropoda Tanah Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan
Pada Tumpangsari Kapas Dan Kedelai., in: Air. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Prossiding Seminar Nasional Dan Kongres
Biologi XIII,. CV. Prima Garafika., Sutedjo dan M. Mulyadi, 1996. Makro Biologi
Yogyakarta, p. 314–323. Tanah. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Suhardjono, Y., Deharveng, L., Bedos, A., 2012. Warino, J., Rahayu Widyastuti, Yayuk R
Biologi Ekologi Klasifikasi Collembola (ekor Suhardjono, B.N., 2017. Keanekaragaman
pegas). Vegamedia., Bogor. dan kelimpahan Colembolla pada perkebunan
kelapa sawit di Kecamatan Bajubang. Jurnal
Sulistyaningsih, Y.C., Dorly, Hilda, A., 1994. Studi Entomologi Indonesia 14, 51–57.
Anatomi Daun Saccharum spp. sebagai Induk
dalam Pemuliaan Tebu. Hayati 1, 32–36. Zulfika, F., 1990. Pengaruh Penutup Tanah
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai.
Universitas Sriwijaya.
31
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri
ISSN: 2085-6717, e-ISSN: 2406-8853 Vol. 10(1), April 2018:32–38
Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v10n1.2018. 32–38
ABSTRAK
Pengembangan tebu di Indonesia saat ini sebagian besar terdapat di lahan kering, oleh karena itu perakitan
varietas toleran kekeringan merupakan suatu langkah yang bijaksana, karena merupakan pendekatan yang
paling mudah aplikasinya dan ekonomis. Saat ini telah diperoleh beberapa genotipe harapan tebu untuk lahan
kering. Penelitian ini bertujuan unuk mengkaji daya hasil genotipe tebu hasil persilangan untuk pengembangan
di lahan kering. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Ngemplak, Pati dari bulan Januari sampai dengan
November 2017, menggunakan 8 genotipe tebu yang berpotensi toleran kering dibandingkan dengan 2
varietas PS 864 dan Kenthung) sebagai pembanding. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok
yang diulang tiga kali. Petak yang digunakan berukuran 5 m x 10 m, serta jarak pusat ke pusat (PKP) 1 m,
atau 10 juring dengan panjang masing-masing 5 m. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, diameter
batang, jumlah batang per meter juring, jumlah ruas, panjang batang, bobot batang, nilai brix nira batang
bagian atas, tengah dan bawah, rendemen serta hasil hablur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe
berpengaruh terhadap keragaan hasil tebu dan komponen hasilnya. Genotipe MLG 1308 mempunyai produksi
hablur tertinggi diantara genotipe lain, 21% lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding PS 864 dan 156%
dibandingkan dengan Kenthung. Dengan demikian genotipe MLG 1308 adalah genotipe harapan untuk
pengembangan tebu di lahan kering.
Kata kunci: Saccharum officinarum, uji daya hasil, lahan kering, genotipe unggul
ABSTRACT
Sugarcane cultivation in Indonesia have been mostly done in dry lands, therefore consructing tolerant varieties
to dry-agro-ecological condition is a wise decision as it is easily applicable and economically feasible. Currently,
some genotypes tolerant to dry condition have been identified. This research was aimed to test the yield
performance of potentially drought tolerant genotypes. The reserch was done in Research Station Ngemplak,
Pati on January to December 2018, used 8 genotypes and two varieties (PS 864 and Kenthung) as comparision
varieties. The research used randomized block design with 3 replicates. Plot size was 5 m x 10 m and the
distance from center to center was 1 m, 10 rows with length 5 m per row. The parameters observed were
plant height, stem diameter, number of stalk per m row, number of internode per stalk, length and weight of
stalk, upper stem brix, mid and lower, sugar content/sucrose content and sugar yield per ha. Data were
analyzed using analysis of variance (ANOVA) followed by Duncan Multiple Range Test at 5% level. Results
showed that genotypes affected the performances of yield and its component characters. MLG 1308 showed
32
Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering
the highest sugar yield per ha among the other genotypes, 21 % and 156 % higher than that of variety PS
864 and Kenthung varieties, respectively. Therefore, genotype MLG 1308 is considered as a promising
genotype to support the development of sugarcane in dry areas.
33
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38
BAHAN DAN METODE pada tiga karakter utama yaitu produksi hablur,
produktivitas dan rendemen.
Penelitian ini dilaksanakan pada akhir
Januari sampai November 2017 di Kebun HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan (KP) Ngemplak Muktiharjo, Pati,
Jawa Tengah. Lokasi penelitian memiliki Keragaan parameter pertumbuhan dan
ketinggian 5 m dpl, dengan tipe iklim D hasil tebu serta komponen produksinya dari 10
menurut klasifikasi Oldeman (1975) dengan genotipe tebu pada kondisi agroekologi kering
bulan basah berturut-turut 4-5 bulan, bulan disajikan pada Tabel 1-3. Pertumbuh-an dan
kering kurang dari 8 bulan, curah hujan rata- hasil tebu beragam antar genotipe. Hal ini
rata 1.500 mm/tahun dan jenis tanah Alfisol. menunjukkan bahwa respon tanaman tebu
Bahan tanam yang digunakan terdiri dari sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, dalam
delapan genotipe tebu toleran kering, hasil hal ini genotipe yang digunakan. Hasil yang
hibridisasi dan evaluasi serta korespon-densi sama dilaporkan oleh (Gomathi, et al., 2013)
plasma nutfah beserta 2 varietas pembanding, dan Smiullah et al. (2013) untuk karakter tinggi
yakni PS 864 dan Kenthung. Pupuk yang tanaman, Santoso et al. (2015), Gomathi et al.
diberikan sebanyak 180 kg N + 60 kg P2O5 + (2013) dan Ahmed et al. (2014) pada karakter
60 kg K2O per ha setara dengan 600 kg ZA + diameter batang Ahmed et al. (2014) pada
400 kg NPK (15:15:15) per ha. karakter jumlah dan panjang ruas serta Khan
Kegiatan dilaksanakan menggunakan et al. (2012) dan Tolera et al. (2014) pada
rancangan acak kelompok dengan tiga ula- karakter bobot batang.
ngan. Ukuran petak yang digunakan adalah 5 Tabel 1 menunjukkan bahwa diantara
x 10 m2 dengan panjang juring (sistem tanam genotipe yang diuji, pertumbuhan keatas
tebu dalam baris) 5 m, jarak pusat ke pusat tertinggi, baik pada 8 BST maupun 10 BST,
(PKP) 1 m, sehingga terdapat 10 juring dalam dihasilkan oleh MLG 10189 disusul oleh MLG
1 petak. Pengambilan sampel dilakukan de- 1308, HCW 90 dan NXI-1T. Rata-rata
ngan terlebih dahulu menentukan titik sampel, pertumbuhan ke lima genotipe tersebut tidak
yaitu 1 m dalam juring yang telah ditentukan berbeda dengan dua varietas pembanding (PS
sebelumnya. Tanaman yang diamati adalah 2 864 dan Kenthung) pada 8 BST dan pada 10
tanaman yang berada dalam 1 m titik sampel. BST (Tabel 1). Untuk pertumbuhan diameter
Pengamatan dilakukan setiap bulan dengan batang umur 8 BST dan 10 BST, genotipe MLG
parameter yang diamati meliputi tinggi ta- 10189 secara konsisten menunjukkan ukuran
naman, diameter batang, jumlah batang per terbesar dan berbeda dengan kedua varietas
meter juring, jumlah ruas, panjang batang, pembanding, sedangkan untuk karakter jumlah
bobot batang, persen brix nira batang bagian ruas umur 8 BST dan 10 BST, genotipe NXI-1T
atas, tengah dan bawah, produktivitas, mempunyai jumlah ruas terbanyak dibanding-
rendemen serta hasil hablur. Data yang di- kan yang lain dan varietas pembanding.
peroleh dianalisis dengan Analysis of Variance Angka brix menunjukkan persen jumlah
(ANOVA) pada tingkat keperca-yaan 95%. zat padat terlarut yang terkandung dalam
Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan batang tebu. Menurut Panwar, et al. (2014)
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf angka brix berperan penting dalam menen-
5%. Pemilihan genotipe harapan didasarkan tukan kadar sukrosa tebu. Tabel 2 menunjuk-
pada pemban-dingan dengan varietas kontrol kan bahwa pada 8 genotipe yang diuji.
34
Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering
Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah ruas pada sepuluh genotipe
tebu di lahan kering
Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Jumlah Ruas
Genotipe
8 BST 10 BST 8 BST 10 BST 8 BST 10 BST
HCW 438 122,67 bc 163,00 c 2,81 bc 2,81 b 11,53 d 15,67 b-e
HCW 90 168,40 a 209,33 ab 3,11 ab 3,14 a 12,33 b-d 16,07 bc
HCW 440 97,00 c 117,33 d 3,24 a 3,24 a 11,67 cd 14,40 de
N XI- 1T 165,13 a 199,00 a-c 2,84 b-c 2,84 b 14,20 a 18,13 a
GMP 4 140,00 ab 179,00 bc 2,30 d 2,31 d 12,87 bc 14,20 e
MLG 10189 176,00 a 215,67 ab 3,27 a 3,27 a 14,20 a 16,33 b
MLG 10198 166,67 a 204,00 ab 2,59 cd 2,59 cd 12,53 b-d 15,93 b-d
MLG 1308 174,67 a 204,00 ab 2,47 d 2,51 cd 13,13 ab 16,00 bc
PS 864 (Kontrol) 172,00 a 221,00 a 2,85 bc 2,85 b 12,80 b-d 15,67 b-e
Kentung (Kontrol) 149,00 ab 179,33 bc 2,90 bc 2,90 bc 12,13 b-d 14,53 c-e
KK/CV (%) 14,18 10,90 6,24 4,47 5,53 5,61
Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.
Tabel 2. Keragaan brix atas, brix tengah dan brix bawah sepuluh genotipe tebu di lahan kering
Brix atas Brix tengah Brix bawah
Genotipe
8 BST 10 BST 8 BST 10 BST 8 BST 10 BST
HCW 438 21,10 ab 21,17 bc 22,07 a-c 23,90 a 22,57 bc 23,90 a
HCW 90 18,17 d-f 18,67 de 19,50 de 20,17 c 20,57 de 20,23 d
HCW 440 17,17 ef 18,83 de 20,90 cd 20,83 c 22,47 bc 21,17 cd
N XI- 1T 20,37 a-c 22,67 ab 23,40 ab 23,67 a 24,00 ab 24,07 a
GMP 4 17,83 e-f 22,17 ab 20,67 cd 23,87 a 21,33 c-e 24,53 a
MLG 10189 19,83 b-d 23,70 a 21,63 bc 23,83 a 22,10 cd 24,00 a
MLG 10198 18,70 c-e 21,03 bc 21,23 cd 21,50 bc 21,60 c-e 22,47 a-c
MLG 1308 20,07 b-d 21,27 bc 21,30 cd 22,67 ab 21,83 c-e 23,10 ab
PS 864 (Kontrol) 16,33 f 20,43 cd 18,73 e 21,07 bc 20,13 e 21,70 bc
Kentung (Kontrol) 18,23 d-f 20,20 cd 21,60 bc 20,57 c 20,83 de 21,97 bc
KK (%) 8,673 15,07 22,74 4,29 4,64 19,76
Keterangan : angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.
Angka brix terbesar pada umumnya pada Produktivitas tertinggi dihasilkan oleh
batang bagian bawah kemudian disusul tengah genotipe MLG 1308 (85,96 ton/ha) disusul oleh
dan atas. Hal ini disebabkan karena selama MLG 10198 (71,56 ton/ha) (Tabel 3). Produkti-
proses pemasakan, tebu menyimpan sukrosa vitas kedua genotipe ini lebih tinggi dibanding-
mulai dari batang bawah menuju ke atas kan varietas Kenthung, namun tidak berbeda
sampai ke pucuk tanaman. Dengan demikian bila dibandingkan dengan PS 864 (74,70
semakin ke atas kandungan sukrosanya ton/ha). Rata-rata produkivitas nasio-nal tebu
semakin kecil. Hasil ini sejalan dengan Toppa, dibawah 70 ton/ha (Ditjenbun, 2017),
et al. (2010) yang melaporkan bahwa tiga ruas sedangkan Santoso, et al. (2015) menyatakan
dari batang bawah mengandung sukrosa lebih bahwa produktivitas tebu diatas 70 ton/ha di
tinggi dibanding-kan dengan ruas di atasnya, lahan kering sudah tergolong tinggi.
begitu pula seterusnya. Angka brix terbesar, Rendemen tebu merupakan komponen
baik pada umur 8 maupun 10 BST dan hampir utama kedua dalam budidaya tebu. Dalam
pada semua bagian batang (bawah, tengah, penelitian ini, rendemen dipengaruhi oleh
dan atas) dimiliki oleh genotipe MLG 10189 genotipe yang digunakan (Tabel 3). Hasil yang
disusul oleh NXI-1T, HCW 438 dan MLG 1308; sama dilaporkan oleh Santoso, et al. (2015)
angka brix yang dihasilkan oleh 5 genotipe ini dan Heliyanto, et al. (2015). Tabel 3
lebih besar dibandingkan kedua varietas pem- menunjukkan bahwa rendemen genotipe yang
banding.
35
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38
Tabel 3. Keragaan panjang batang, jumlah batang, bobot batang, produktivitas, brix , rendemen dan
hablur umur 10 bulan pada sepuluh genotipe tebu di lahan kering
Panjang Jumlah Bobot Produktivitas Brix Rendemen Hablur
Genotipe Batang batang/m Batang (ton/ha) Rata2 (%) (ton/ha)
(Cm) (kg)
HCW 438 132,33 d 5,67 de 1,031 cd 49,04 de 22,99 ab 10,89 ab 5,35 d
HCW 90 175,33 a 4,60 e 1,700 a 65,88 bc 19,69 e 9,32 e 6,16 b-d
HCW 440 93,33 e 6,53 cd 0,961 cd 55,15 cd 20,28 de 9,60 de 5,22 d
N XI-IT 165,00 a-c 5,53 de 1,245 bc 55,21 cd 23,47 a 11,11 a 6,10 cd
GMP 4 145,00 cd 8,00 bc 0,762 d 51,03 cd 23,54 a 9,44 de 5,06 d
MLG 10189 181,67 a 5,60 de 1,381 b 63,13 b-d 23,84 a 11,29 a 7,13 bc
MLG 10/198 170,00 ab 8,27 b 1,032 cd 71,56 ab 21,67 b-d 10,26 b-d 7,16 bc
MLG 1308 170,00 ab 10,13 a 1,049 cd 85,96 a 22,34 a-c 10,58 a-c 9,04 a
PS 864 (Kontrol) 187,00 a 6,40 d 1,432 b 74,70 ab 21,07 c-e 9,97 c-e 7,43 b
Kentung (Kontrol) 147,00 b-d 4,20 e 1,031 cd 35,70 e 20,53 de 9,72 de 3,53 e
KK/CV (%) 8,6 19,76 15,07 22,74 4,29 4,64 19,76
Keterangan: angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada level 5%. BST = bulan setelah tanam.
diuji bervariasi dari 9,32 sampai 11,29. lokasi. Dalam penelitian ini, secara kompre-
Rendemen tertinggi dihasilkan oleh genotipe hensif, genotipe MLG 1308 terpilih sebagai
MLG 10189 (11,29%) disusul oleh GMP4 genotipe harapan untuk pengembangan tebu
(11,11%), HCW 438 (10,89%), dan MLG1308 di lahan dengan agroekologi kering. Genotipe
(10,58). Rendemen ketiga genotipe tersebut MLG 1308 merupakan hasil persilangan
berbeda nyata dengan varietas pembanding biparental antara tebu (S. officinarum) dengan
PS864 (9,97%) dan Kenthung (9,72%). gelagah (S. spontaneum). Menurut Pandey et
Genotipe tebu yang ditanam di lahan kering al. (2010), S. officinarum merupakan jenis tebu
dengan rendemen diatas 10% merupakan dengan kandungan sukrosa tinggi dan batang
genotipe yang berpotensi tinggi untuk pe- besar namun memiliki kandungan serat yang
ngembangan tebu di lahan kering. rendah, sedangkan S. spontaneum adalah jenis
Hasil hablur dipengaruhi oleh genotipe tebu liar yang mempunyai sifat ketahanan
tebu yang digunakan (Tabel 3). Genotipe MLG terhadap hama/penyakit serta biomasa tinggi
1308 menghasilkan hablur tertinggi (9,04 (dicirikan dengan jumlah anakan banyak).
ton/ha) dan berbeda dengan varietas pem- Dengan demikian, diduga sifat unggul genotipe
banding PS 864 (7,43 ton/ha) dan Kenthung MLG 1308 berasal dari kedua tetuanya.
(3,53 ton/ha), sedangkan 3 genotipe lainnya Menarik untuk dicatat bahwa produksi
(MLG 10198, MLG 10189 dan HCW 90) memiliki hablur genotipe MLG 1308 melampaui genotipe
hasil hablur yang tidak berbeda dengan PS 864, NXI-1T, yang merupakan produk rekayasa
masing-masing sebesar 7,16 ton/ha, 7,13 genetik (PRG) (Nurmalasari & Murdiyatmo,
ton/ha, dan 6,16 ton/ha. 2012) (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa
Uji Daya Hasil adalah tahap akhir dalam keragaan PRG tidak selalu memberikan hasil
upaya perakitan varietas tanaman (Kuswanto, yang superior dibandingan dengan keragaan
et al., 2009). Genotipe terpilih akan dievaluasi genotipe hasil persilangan konvensional. Kom-
lebih lanjut daya adaptasinya di beberapa pleksitas dan besarnya pengaruh lingkungan di
lokasi sebelum dilepas sebagai varietas unggul lapang seringkali menghambat kemampuan
baru. Genotipe dengan stabilitas luas akan meng-ekspresikan gen kekeringan yang telah
dilepas sebagai varietas unggul nasional, ditransfer ke genotipe NX1-1T, sehingga hasil
sedangkan genotipe unggul dengan adaptasi akhir berupa produktivitas tinggi yang diharap-
sempit akan dilepas sebagai varietas spesifik kan pada tanaman trasngenik tidak tercapai.
36
Abdurrakhman et al.: Daya hasil genotipe harapan tebu di lahan kering
Fenomena yang sama dijumpai pada budidaya in a southern guinea savannah of Nigeria. The
kapas transgenik tahan hama Bt Bollgard (Nu Journal of Animal &. Plant Sciences 24, 329–
335.
Cotton) di Sulawesi Selatan pada MT 2001 dan
2002. Gen Bt (gen penyandi ketahanan ter- Anonim, 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu.
hadap penggerek buah dan pucuk) yang Pusat Penelitian dan Pengembangan
ditransfer ke genom tanaman kapas ternyata Perkebunan 35 p.
tidak mampu memberikan hasil dan Direktorat Jenderal Perkebunan, 2017. Statistik
keuntungan yang berbeda dengan kapas lokal Perkebunan Indonesia. In: Tebu 2015-2017.
hasil persilangan konvensional. Lebih lanjut p. 40 pp.
dilaporkan oleh (Hasnam & Sulistyowati, 2007) Gomathi, R., Rao, P.N.G., Rakhiyappan, P.,
bahwa serangan hama non target yaitu Sundara, B.P., Shiyamala, S., 2013.
Amrasca biguttula (wereng kapas) yang cukup Physiological studies on ratoonability of
parah (akibat pekanya varietas transgenik Nu sugarcane varieties under tropical Indian
Cotton) dan mahalnya harga benih kapas condition. American Journal of Plant Sciences
4, 274–281.
transgenik adalah dua faktor yang menyebab-
kan gagalnya pengembangan kapas transge- Hasnam, M., Sulistyowati, E., 2007. Kemajuan
nik di Propinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena Genetik Varietas Unggul Kapas Indonesia
itu perakitan varietas menggunakan metode Yang Dilepas Tahun 1990-2003. Perspektif. 6,
19–28.
konvensional melalui persilangan masih dapat
diandalkan untuk memperoleh varietas unggul. Heliyanto, B., Djumali, Abdurakhman, Basuki, S.,
2015. Perakitan varietas tebu dengan
KESIMPULAN produktivitas dan rendemen tinggi untuk
pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis
Pertumbuhan dan hasil tebu di lahan dan Serat 45 p.
dengan agroekologi kering beragam antar
genotipe. MLG 1308 adalah genotipe harapan Heliyanto, B., Djumali, Abdurakhman, Basuki, S.,
2016. Perakitan varietas tebu dengan
untuk mendukung pengembangan tebu di
produktivitas dan rendemen tinggi untuk
lahan kering. Oleh karena itu, genotipe ini pengembangan di lahan kering. Laporan Hasil
perlu diuji multilokasikan agar dapat dilepas Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis
sebagai varietas unggul baru (VUB) untuk dan Serat 51.
pengembangan tebu di lahan kering.
Heliyanto, B., Marjani, Anggraini, T.A., Sumartini,
S., Sulistyowati, E., 2013. Perakitan varietas
unggul tebu tahan lingkungan sub optimal
UCAPAN TERIMAKASIH secara konvensional dan transgenik untuk
mendukung swa sembada gula. Laporan Hasil
Penulis mengucapkan terima kasih Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pemanis
dan Serat 55 p.
kepada para penelaah naskah ini yang telah
memberikan masukan yang sangat Heliyanto, H., Sumartini, S., Basuki, S., 2014.
bermanfaat. Penelitian ini biayai oleh DIPA Perakitan varietas tebu dengan produktivitas
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat dan rendemen tinggi untuk pengembangan di
lahan kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai
(Balittas) tahun anggaran 2017. Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat 52 p.
37
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:32–38
Kuswanto, Waluyo, B., Sutopo, L., Affandi, A., 2009. Rasyid, A., Mulyadi, M., Sofiah, S., 2006. Kebun
Uji Daya Hasil Galur-Galur Harapan Kacang peragaan dan kesesuian varietas tebu unggul
Panjang Toleran Hama Aphid dan Berdaya terhadap fisik lingkungan. Agritek. 15, 1–
Hasil Tinggi. Agrivita 31, 31–40. 11.Santoso, B., Mastur, Djumali, Nugraheni,
S.D., 2015. Uji adaptasi varietas unggul tebu
Mardianto, S., Simatupang, P., Hadi, P.U., Malian, pada kondisi agroekologi kering. Jurnal Littri
H., Susmiadi, A., 2005. Peta jalan (Road map) 21, 109–116.
dan kebijakan pengembangan industri gula
nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23, Sinaga, B.M., Susila W R, 2005. Pengembangan
19–37. industri gula Indonesia yang kompetitif pada
situasi persaingan yang adil. Jurnal Litbang
Nurmalasari, M., Murdiyatmo, U., 2012. Keragaan Pertanian, 24, 1–9.
tebu produk rekayasa genetika (PRG) toleran
kekeringan pada berbagai tipe lahan dan iklim. Smiullah, F.A., Khan, U., Ijaz, L., Abdullah, M.,
Makalah Seminar Kongress IKAGI di Surabaya, 2013. Genetic variability of different
8-9 Februari 2012. morphological and yield contributing traits in
different accession of Saccharum ojficinarum
Oldeman, L.R., 1975. An Agroclimatic Map of Java. L. Universal Journal of Plant Science. 1(2): 43-
Central Research Institut for Agricultur., 4, 43–48.
Bogor.
Tolera, B., Diro, M., Belew, D., 2014. Effects of 6-
Pandey, D.K., Kumar, S., Singh, P.K., Singh, J., benzyl aminopurine and kinetin on in vitro
Swapna, M., Singh, R.K., 2010. Biodiversity of shoot multiplication of sugarcane (Saccharum
Sugarcane (Saccharum Species) for officinarum L.) varieties. Advances in Crop
Development and Poverty Alleviation. Sciences and Technology. 2, 1–5.
National. Conference on Biodiversity,
Development and Poverty Alleviation 22nd Toppa, E.V.B., Jadoski, C.J., Julianetti, A., Hulshof,
May 2010. IISR, Lucknow. 57–60. T., Ono, E.O., Rodrigues, J.D., 2010. Toppa,
E.V.B., C.J. Jadoski, Physiology Aspects of
Panwar, R.N., Keerio, H.K., Keerio, A.R., 2014. Sugarcane Production.
Evaluation of sugarcane genotypes for yield http://revistas.unicentro.br/index.php/repaa/
contributing traits under thatta conditions. article/viewFile/ 1065/1257. [Diunduh Tgl. 19
Pakistan J. Agric. Res. 18, 34–36. Juni 2013].
38
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri
ISSN: 2085-6717, e-ISSN: Buletin
2406-8853
Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April Vol. 10(1), April 2018:39−53
2018:39-53
Versi on-line: http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultas DOI: 10.21082/btsm.v9n1.2018.39−54
ABSTRAK
Fenomena perubahan iklim terjadi karena aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan, diantaranya
adalah deforestasi, emisi gas dari kegiatan industri, dan pembakaran biomassa. Komponen iklim yang
berubah, yaitu peningkatan suhu udara, konsentrasi CO 2 dalam atmosfer, dan hujan berpengaruh terhadap
tanaman tebu, serangga serta mikro organisme yang berasosiasi dengan tanaman tebu. Perubahan iklim
lebih banyak menyebabkan pengaruh negatif terhadap tanaman tebu dan interaksi trofik antara tanaman
tebu, serangga herbivora dan mikro organisme penyebab penyakit tanaman dan musuh alami herbivora
maupun antagonis mikro organisme. Peningkatan suhu udara menyebabkan perubahan fisiologis pada
tanaman tebu yang berakibat meningkatnya infestasi serangga herbivora dan infeksi patogen penyebab
penyakit tanaman. Peningkatan komposisi CO 2 dalam atmosfer menurunkan sistem ketahanan tanaman
terhadap herbivora, sehingga dapat memicu terjadinya out break; dan berpengaruh positif, negatif, maupun
tidak berpengaruh terhadap perkembangan penyakit tanaman. Perubahan iklim mengharuskan sistem
pengelolaan serangga hama dan penyakit tanaman tebu untuk menerapkan aksi mitigasi maupun adaptasi
perubahan iklim untuk memperoleh produksi tebu yang optimal dan sistem budidaya tebu yang
berkelanjutan. Dalam tinjauan ini dibahas pengaruh perubahan iklim terhadap perkembangan serangga
hama dan patogen penyebab penyakit pada tanaman tebu, serta strategi pengelolaannya.
ABSTRACT
Climate change phenomenon occurs due to human activities in managing the environment, such as
deforestation, gas emissions from industrial activities, and biomass burning. The changing of climate
components, ie, rising air temperatures, CO2 concentration in atmosphere, and precipitation have an effect
on sugarcane, as well as on insects and micro-organisms associated with sugarcane. Climate change causes
negative effects on sugar cane and trophic interactions between sugarcane crops, herbivorous insects and
plant-causing micro-organisms and natural enemies of herbivores as well as micro-organism antagonists.
Increased temperatures lead to physiological changes in sugarcane resulting in increased insect infestation
of herbivores and pathogenic infections o the plant. Increased CO2 composition in atmosphere decreases the
plant resistance system to herbivores, thus triggering an outbreak; and may have a positive, negative, or no
effect on the development of the diseases. Climate change requires pest and sugarcane pest control systems
to implement climate change mitigation and adaptation actions to obtain optimal cane production and
sustainable sugarcane cultivation systems. In this review, we discussed the effects of climate change on the
development of insect pests and pathogen causes of disease in sugarcane crops, and the strategy to
manage them.
39
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
I
klim dalam suatu wilayah didefinisikan ekstrim, misalnya fenomena El-Nino dan La-
sebagai suatu kondisi atau keadaan rata- Nina, serta naiknya permukaan air laut akibat
rata cuaca pada suatu daerah yang luas, pencairan gunung es di kutub utara (Las et
ditentukan berdasarkan perhitungan waktu al., 2011). Perubahan unsur iklim tersebut
yang lama (11 hingga 30 tahun) dan berdampak pada pergeseran musim, yaitu
dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi semakin singkatnya musim hujan namun
wilayah tersebut. Aktivitas di bidang dengan curah hujan yang lebih besar yang
pertanian yang berhubungan dengan akhirnya menyebabkan kerusakan pada
kebutuhan tanaman atas komponen iklim, budidaya tanaman. Pada umunya dampak dari
misalnya ketersediaan air dari curah hujan, perubahan faktor abiotik tersebut menyebab-
suhu, kelembapan udara, dan intensitas kan terjadinya penurunan hasil pertanian
penyinaran matahari, ditentukan berdasarkan karena adanya perubahan dalam keragaman
pola iklim yang ada, sehingga waktu tanam tanaman yang dibudayakan dan meningkat-
maupun tindakan antisipasi proteksi tanaman nya kejadian infestasi serangga hama dan
dari cekaman biotik maupun abiotik dapat infeksi oleh patogen penyebab penyakit
direncanakan. Pada saat sekarang, telah tanaman. Pergeseran musim hujan dan
banyak bukti bahwa telah terjadi perubahan perubahan suhu akan berakibat terhadap
iklim dimana perubahan ini disebabkan karena periode ketersediaan air sehingga terjadi
aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan perubahan musim tanam dan panen tebu.
hidupnya. Deforestasi, emisi pabrik hasil Perubahan iklim ini juga akan mempengaruhi
kegiatan industri, pembakaran biomassa ketersediaan lahan, transpirasi, fotosintesis,
karena alih fungsi lahan maupun dalam dan produksi biomasa.
rangka manajemen lahan, secara nyata telah Perubahan iklim yang terjadi di India
menyebabkan perubahan komposisi gas menyebabkan kerusakan oleh serangga pada
dalam atmosfer serta meningkatkan emisi tanaman yang dibudidayakan sangat beragam
gas-gas radioakif, yang dikenal sebagai pada zona agroklimat yang berbeda, karena
greenhouse gases, seperti gas CO2, methane, adanya perbedaan pengaruh dari beberapa
dan oksidasi N. Akibat lanjut dari terjadinya faktor abiotik, seperti suhu, kelembapan dan
perubahan komposisi gas dalam atmosfer curah hujan (Sharma, 2016). Di Indonesia,
tersebut antara lain adalah perubahan pola pada kondisi El Nino, kedelai, padi sawah, dan
hujan, waktu siklus kering dan banjir yang jagung mengalami penurunan produksi
memendek, meningkanya inensitas dan masing-masing sebesar 10,7%, 2,9%, dan
frekuensi gelombang panas dan dingin. Rata- 7,4%, sebaliknya pada kondisi La-Nina padi
rata kenaikan suhu pada permukaan bumi dan jagung mengalami peningkatan produksi
adalah 0.74±0.18°C pada abad lalu, dan akan masing-masing sebesar 2,4% dan 3,9%
terjadi kenaikan 1.1°C-6.0°C pada awal (Santoso, 2016).
hingga akhir abad ini (Stefan Rahmstorf et al., Menurut Srivastava (2012), pertumbuh-
2007). Perubahan iklim berdampak luas an tanaman tebu sangat tergantung jumlah
terhadap sistem pertanian yang meliputi dan lama presipitasi, sinar matahari, curah
sumber daya, infrastruktur pertanian, dan hujan, kelembapan, serta suhu dan kadar air
sistem produksi, hingga ketahanan pangan, tanah. Sebagai contoh, Fageria et al. (2010)
kesejahteraan petani dan masyarakat pada menyatakan bahwa suhu optimum untuk tebu
umumnya (Hannah et al ., 2005). adalah 32-38oC. Suhu di atas 38oC akan
Di Indonesia, salah satu dampak dari meningkatkan respirasi tetapi mengurangi
perubahan iklim dikenal sebagai anomali iklim, kecepatan fotosintesis. Bahkan suhu di atas
40
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
35oC sudah membahayakan tunas dan daun sebagai akibat perubahan iklim (Tay et al.,
muda. Sementara itu, Gouvêa et al. (2009) 2013; War et al. 2016), sementara kutu putih
memprediksi bahwa potensi produksi tanaman Ceratovacuna lanigera Zehntner menjadi
tebu akan meningkat dengan meningkatnya hama utama tebu di Maharastra, India (Bade
suhu udara karena suhu udara kenaikan suhu & Ghorpade, 2009).
meningkatkan efisiensi fotosintesis tanaman Komponen iklim yang berpengaruh
C4. Curah hujan 600-3000 mm dibutuhkan terhadap perkembangan, penyebaran, dan
tebu untuk pertumbuhan vegetatifnya, baik daya hidup patogen penyebab penyakit
pemanjangan ruas, maupun pembentukan tanaman adalah suhu, hujan, kelembapan,
buku, namun saat pembentukan gula embun, radiasi, dan kecepatan angin
dibutuhkan curah hujan yang lebih rendah. (Linnenluecke et al., 2018). Peningkatan
Dengan demikian, fenomena perubahan iklim suhu, kelembapan udara, dan curah hujan
global, maupun perubahan kondisi cuaca lokal berakibat pada percepatan penyakit tanaman,
akan sangat berpengaruh terhadap karena kondisi vegetasi yang basah
pertumbuhan dan produksi tebu. memberikan lingkungan yang optimal bagi
Komponen iklim, seperti suhu, perkecambahan spora dan perkembangbiakan
kelembapan udara, konsentrasi CO2 pada bakteri dan jamur, serta berpengaruh
atmosfer, tidak hanya berpengaruh negatif terhadap siklus hidup nematoda tanah dan
terhadap pertumbuhan tanaman tebu, tetapi organisme lainnya.
juga berpengaruh negatif terhadap mikroorga- Tindakan pencegahan terhadap
nisme yang secara langsung maupun tidak perubahan iklim agar tidak berpengaruh
langsung terlibat dalam pertumbuhan maupun negatif terhadap sistem produksi pertanian
produksi tebu. (Park et al., 2008) melaporkan tidak mungkin dilakukan, tetapi upaya untuk
bahwa perubahan suhu dapat berakibat mengurangi dampak negatif (mitigasi)
terjadinya infestasi serangga hama spesies perubahan iklim masih mungkin dilakukan.
baru dan infeksi patogen penyebab penyakit Selain mitigasi yang merupakan strategi
jenis baru di areal pertanaman tebu. mengatasi dampak dalam jangka pendek,
Fenomena perubahan iklim berpenga- strategi adaptasi terhadap perubahan iklim
ruh terhadap agroekosistem dan secara merupakan tindakan yang harus dilakukan
langsung maupun tidak langsung, yaitu untuk mengatasi pengaruh negatifnya terha-
adanya perubahan penyebaran geografis dap sistem budidaya tebu yang berkelanjutan
serangga hama dan musuh alaminya, dan untuk jangka panjang. Terjadinya
perubahan ketersediaan sumber pakan yang perubahan iklim dan perubahan teknik
selanjutnya berpengaruh terhadap perubahan budidaya tanaman menyebabkan perlunya
jenis hama. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan penyusunan strategi untuk mitigasi
memungkinkan berkurangnya spesies hama dan adapasi terhadap perubahan iklim
dan berpotensi munculnya hama sekunder tersebut, diantaranya adalah strategi dalam
dengan penyebaran yang lebih luas (Tripathi pengelolaan hama dan penyakit tanaman,
et al. 2016; War et al., 2016; Sharma, 2014). sehingga penurunan hasil yang disebabkan
Peningkatan suhu dan kelembapan udara oleh hama dan penyakit dapat ditekan. Untuk
akibat perubahan iklim sangat berpengaruh pengembangan tindakan adaptasi terhadap
terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan daya perubahan iklim dalam sistem pengelolaan
hidup serangga (Sharma, 2014). Perubahan serangga hama dan penyakit tanaman tebu
iklim menyebabkan Helicoverpa armigera memerlukan pemahaman tentang pengaruh
(Hubner) yang sebelumnya hanya dilaporkan langsung perubahan komponen iklim terhadap
ditemukan di Asia, telah dilaporkan sebagai serangga hama dan patogen penyebab
hama baru di Brazil dan Amerika Utara penyakit, serta interaksi yang ada antara
41
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
tanaman dan serangga maupun mikro 2011), sehingga berakibat pada penurunan
organisme yang berasosiasi dengan tanaman populasi tanaman. Selain itu, kondisi suhu
tebu. Tinjauan ini membahas dampak udara di atas 32°C menyebabkan ruas
perubahan iklim terhadap serangga dan mikro memendek, jumlah ruas bertambah banyak,
organisme yang berasosiasi dengan tanaman kandungan serat dalam batang tebu
tebu, termasuk dinamika infestasi hama dan meningkat, dan kandungan sukrosa menurun
infeksi patogen penyebab penyakit pada tebu, (Bonnett, 2014).
serta penyusunan strategi pengelolaannya Perubahan fenologi dan fisiologi
tanaman sebagai akibat dari perubahan iklim,
sebagai aksi mitigasi dan adaptasi terhadap
berpengaruh terhadap perkembangan
perubahan iklim tersebut
herbivora, ketersediaan inang dan mangsa
bagi musuh alami serangga herbivora (Boullis
et al., 2015; Walther et al., 2002).
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM Perubahan iklim menyebabkan tanaman
TERHADAP SERANGGA YANG seringkali mengalami cekaman kekeringan,
BERASOSIASI DENGAN TANAMAN hal ini akan menurunkan sistem pertahanan
TEBU tanaman (Dhaliwal et al., 2010). Perubahan
komponen iklim sebagai akibat dari fenomena
Perubahan iklim yang merupakan perubahan iklim, seperti peningkaan suhu,
kondisi adanya perubahan komponen iklim, CO2, kelembapan udara, dan pola hujan, akan
diantaranya adalah peningkatan suhu udara, mengubah sistem dalam tanaman maupun
peningkatan konsentrasi CO2 dalam atmosfer, herbivora. Pengaruh perubahan iklim ini
dan kelembapan udara, atau biasanya disebut terhadap interaksi antara tanaman dan
faktor abiotik, mempunyai pengaruh langsung herbivora di daerah tropis sangat nyata
maupun tidak langsung terhadap serangga- (Zvereva & Kozlov, 2006; Niziolek et al.,
serangga, baik herbivora (pemakan tumbuh- 2012).
an) maupun karnivora (pemakan serangga Perubahan pada tanaman, yang
lain atau musuh alami serangga) yang merupakan inang bagi herbivora, menyebab-
berasosiasi dengan tanaman tebu. Pengaruh kan perubahan juga terhadap penyebaran
langsung perubahan faktor abiotik tersebut dan dinamika populasi serangga hama,
terhadap serangga meliputi pengaruh interaksi antara serangga dan tanaman
terhadap perubahan fisiologi, perilaku, dan inangnya, aktivitas dan kelimpahan populasi
penyebaran populasi (Lastvka, 2009). musuh alami, serta efektivitas teknik pengen-
Pengaruh tidak langsung perubahan faktor dalian hama. Seringkali dengan menurunnya
abiotik berhubungan dengan perubahan yang sistem pertahanan tanaman akibat fenomena
terjadi pada tanaman tebu sebagai sumber perubahan iklim menyebabkan terjadinya
pakan serangga herbivora yang juga peningkatan populasi serangga hama yang
berpengaruh terhadap perilaku, kebugaran, drastis (pest outbreak). Selama tahun 2002
dan penyebaran populasi. hingga 2003, di India terjadi kehilangan hasil
Kenaikan suhu udara akibat dari tebu hingga 30% yang disebabkan karena
perubahan iklim diproyeksikan berpengaruh adanya infestasi aphis Ceratovacuna lanigera
terhadap fisiologis tanaman tebu yang yang menyerang daun, sehingga menurunkan
berakibat pada peningkatan pertumbuhan daya pemulihan tanaman (Joshi &
pada waktu musim dingin dan meningkatkan Viraktamath, 2003; Srikanth et al. 2009).
efisiensi panen di Zimbabwe, akan tetapi Pengelolaan hama pada tanaman tebu
berpengaruh terhadap peningkatan populasi di Indonesia pada umumnya menerapkan
serangga hama dan luas infeksi penyakit sistem pengendalian secara hayati, yaitu
(Chandiposha, 2013). Kenaikan suhu udara memanfaatkan musuh alami dalam sistem
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan pengendalian hama. Oleh karena itu perlu
kecambah benih tebu (Rizwan Rasheed et al., pemahaman yang menyeluruh tentang
42
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
43
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
Hasil interaksi trofik dapat diamati ini memicu terjadinya cuaca ekstrim
sebagai suatu kondisi dalam satu ekosistem, (kekeringan atau curah hujan yang berlebih-
misalnya tingkat kerusakan tanaman oleh an). Kenaikan suhu dan perubahan iklim
serangga herbivora, tingkat parasitisasi secara global adalah akibat naiknya
serangga herbivora oleh parasitoidnya atau konsentrasi CO2, dan gas-gas ‘green house’
tingkat pemangasaan oleh predatornya, lainnya dalam atmosfer. Menurut Canadell et
dipengaruhi oleh komponen iklim. Cekaman al. (2007), sejak tahun 2000, laju peningkatan
akan keterbatasan air (water stress) juga konsentrasi CO2 di udara sangat cepat
berpengaruh terhadap pelepasan senyawa
dibanding beberapa dasa warsa sebelumnya.
volatil oleh tanaman (Takabayashi et al.,
Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap
1994), sehingga berpengaruh juga terhadap
pertumbuhan tanaman tebu maupun patogen
host location herbivora terhadap tanaman
inangnya. (Pare & Tumlinson, 1999) penyebab penyakit. Bahkan Srivastava & Rai,
melaporkan bahwa tanaman yang mengalami (2012) menyebutkan bahwa perubahan iklim
cekaman kekeringan lebih mudah ditemukan juga berpengaruh terhadap semua
oleh herbivora dibandingkan dengan tanaman mikroorganisme yang berperan secara
yang tidak mengalami cekaman kekeringan. langsung maupun tidak langsung dalam
Adanya perubahan interaksi multitrofik ini pertumbuhan maupun produksi gula.
berakibat pada berubahnya dinamika populasi Perubahan cuaca baik musim dan curah hujan
serangga hama (Stavrinides et al., 2010), serta suhu akan berpengaruh terhadap masa
sehingga srategi pengelolaan hama juga tanam tebu dan kesesuaian lahan, dan ini
harus berubah untuk meningkatkan akan berkaitan erat dengan dinamika populasi
efektivitas teknik pengendalian dan menekan dan sebaran patogen. Pergeseran serta
kehilangan hasil. introduksi tanaman tebu ke area baru untuk
menyesuaikan perubahan iklim ini juga
berpotensi menyebarkan patogen ke daerah
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM baru atau menginfeksi tanaman inang lain
TERHADAP PATOGEN PENYEBAB yang baru. Kondisi tersebut akan
PENYAKIT TEBU mempengaruhi dinamika populasi patogen
dan juga epidemiologi suatu penyakit. Genus-
Penyakit juga merupakan faktor yang genus seperti Rhizoctonia, Sclerotinia
berpengaruh terhadap penurunan produksi Sclerotium dan jamur nekrotrofik lainnya bisa
tebu di Indonesia. Diperkirakan kerugian membentuk strain baru yang lebih agresif
akibat penyakit ini mencapai 0,6-1,2 trilyun dengan inang yang lebih luas, dan migrasi
rupiah setiap tahunnya. Ada tiga faktor dari agroekosistem ke ekosistem alam.
utama yang saling berinteraksi sehingga Bahkan patogen-patogen penghuni ekosistem
menyebabkan munculnya suatu penyakit alam yang tadinya kurang agresif akan
(Francl, 2001), inang yang rentan, kebera- migrasi ke agroekosistem yang monokultur di
daan patogen yang virulen, dan lingkungan dekatnya dan menimbulkan kerusakan
yang optimum bagi pertumbuhan suatu (Chakrabortya et al., 2000) Hal ini terjadi
patogen penyebab penyakit termasuk karena jamur mampu beradaptasi dengan
manusia dan serangga vektor (Rott et al., cepat dalam lingkungan yang baru
2013). Jika ketiga faktor tersebut tidak (Chakraborty & Datta, 2003)
selaras, maka tidak akan terjadi suatu Peningkatan konsentrasi CO2 dan suhu
penyakit. di udara dapat berpengaruh positif, negatif,
Hansen et al. (2006) menyatakan bahwa atau tidak terlalu berpengaruh terhadap
dalam tiga dasa warsa terakhir, suhu udara kehidupan patogen penyebab penyakit.
telah meningkat sekitar 0.6 oC sehinga Banyak pakar memprediksi bahwa peningkat-
menyebabkan perubahan siklus air. Kondisi
44
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
an kadar CO2 akan meningkatkan umol/mol) dan suhu 5oC di atas normal (Vu et
pertumbuhan daun, batang, dan akar, bahkan al., 2002). Suhu optimum untuk fostosintesis
juga jumlah anakan dan biomasa tanaman bagi tanaman tebu (C4) lebih tinggi
serta kualitas nutrisi yang otomatis akan dibandingkan tanaman kelompok C3,
menaikkan produksi. Meningkatnya pertum- kapasitas fotosintesis tanaman C4 juga lebih
buhan tanaman akan meningkatkan tinggi pada suhu yang lebih tinggi
konsentrasi karbohidrat yang dihasilkan oleh dibandingkan tanaman C3 (Matsuoka et al.,
tanaman, akibatnya patogen-patogen yang 2001). Sementara itu, Vara Prasad et al.
sangat tergantung dengan karbohidrat akan (2009) menambahkan bahwa pertumbuhan
semakin tinggi populasinya. Kerapatan kanopi vegetatif lebih besar pada suhu 36/26 °C
dan tanaman yang lebih subur akan dibanding pada suhu 30/20°C. Meningkatnya
meningkatkan kelembapan sehingga sporulasi biomasa tanaman serta pengembalian residu
dan penyebaran jamur-jamur tersebut juga tanaman tebu ke lahan berpotensi meningkat-
meningkat (Ghini et al., 2008) sehingga kan sumber inokulum patogen-patogen yang
kejadian penyakit-penyakit daun lebih mampu hidup sebagai saprofit. Sementara
meningkat akibat naiknya kelembapan mikro itu, meningkatnya CO2 di dalam tanah akan
dan luas area daun (Burdon, 1987). memperlambat proses dekomposisi (Ball,
Akibatnya, penggunaan pestisida diprediksi 1997) sehingga penumpukan sisa-sisa
naik 15-20 kali (Chakraborty & Newton, tanaman yang digunakan sebagai mulsa atau
2011). Peningkatan CO2 juga meningkatkan sumber nutrisi bagi tanaman tebu menjadi
persaingan tanaman dengan gulma yang juga tempat yang paling sesuai untuk bertahan
mengalami peningkatan pertumbuhan. Hal ini hidup bagi jamur-jamur patogen tular tanah
juga berarti terjadi peningkatan kesempatan seperti Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani,
patogen untuk tumbuh di dalam inang lain. Tanatheporus cucumeris, Xylaria warbugii
Itulah sebabnya, Torriani et al., (2007) dan Fusarium moniliforme. Hal ini didukung
menyatakan bahwa di negara-negara tropis, oleh hasil penelitian Melloy et al. (2010) yang
perubahan iklim global secara tidak langsung melaporkan bahwa kemampuan Fusarium
menyebabkan produksi beberapa komoditas graminearum penyebab penyakit busuk pada
pertanian menurun meskipun secara teori gandum bertahan hidup sebagai saprofitik
seharusnya meningkat. Biaya produksipun tidak berubah pada kondisi di mana
diperkirakan meningkat. konsentrasi CO2 dalam tanah meningkat,
sementara biomasa gandum pun meningkat,
Kejadian Penyakit pada Tanaman Tebu sehingga inokulum patogen yang bertahan
Meningkat akibat Perubahan Iklim pada sisa sisa tanaman maupun tunggul
Global gandum semakin tinggi. Peningkatan CO2
Keparahan beberapa penyakit tanaman juga menyebabkan peningkatan kejadian
meningkat disertai kisaran yang lebih luas penyakit rebah kecambah oleh Rhizoctonia
akibat perubahan iklim global (Evans et al., solani pada tanaman kapas (Runion et al.
2008). Dalam kondisi cukup air, meningkatnya 1994). Garrett et al. (2006) menyatakan
kadar CO2 meningkatkan perumbuhan dan bahwa kenaikan suhu akibat pemanasan
produksi biomasa kering tanaman C4 rumput- global meningkatkan kemampuan jamur-
rumputan dari famili Poaceae (Wand et al. jamur patogen tular tanah bertahan hidup dan
1999; Ziska et al. 1999). Pada tanaman tebu kisaran inangnya menjadi lebih banyak.
luas area daun naik 56%, berat kering naik Dengan demikian, kenaikan suhu juga akan
74% dan volume nira naik 164% ketika meningkatkan kemampuan jamur-jamur yang
ditumbuhkan dalam ruang yang mengandung menginfeksi akar sehingga kejadian penyakit
konsentrasi CO2 dua kali normal (700 diprediksi akan meningkat di musim berikut-
45
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
nya, meskipun keparahnnya tergantung bahwa penanaman satu jenis varietas tebu
kepada kelembapan tanah (Sukumar & selama kurun waktu yang lama akan
Chakraborty, 2008). Pengendalian yang menimbulkan masalah penyakit baru
paling efektif untuk kasus ini adalah dengan (Magarey et al., 2011). Varietas BL
menambahkan mikroba antagonis yang merupakan varietas yang paling disukai petani
sekaligus memiliki kemampuan dekomposisi dan ditanam secara luas sejak tahun 2003.
baik ke dalam serasah tebu atau di dalam Tampaknya selain sistem ketahanan
tanah yang ditutup mulsa/residu daun tebu. berdasarkan interaksi gen to gen (Rott et al.,
Trichoderma spp. merupakan jamur antagonis 2013), perubahan iklim juga ikut berpengaruh
yang sangat populer sekaligus mampu terhadap ledakan penyakit ini.
sebagai dekomposer (Sharma et al., 2012). Cuaca ekstrim seperti hujan di musim
Penambahan vermicompost atau introduksi kemarau akan memicu terjadinya ledakan
cacing ke dalam tanah juga akan penyakit noda kuning yang disebabkan oleh
meningkatkan ketahanan tanaman karena jamur Mycovellosiella koepkei. Jamur ini akan
meningkatkan aktivitas dan keragaman berkembang pesat pada suhu antara 28oC
mikroorganisme-mikroorganisme yang mampu (optimum) dan 34°C (maksimum) dan
berfungsi sebagai antagonis, penghasil kelembapan udara di atas 80% disertai
hormon & enzim perangsang pertumbuhan frekuensi mendung yang lebih sering dan
(Pathma & Sakthivel, 2012). periode hujan yang lama (Ricaud & Autrey,
Meskipun peningkatan CO2 mampu 1989). Koike & Gillaspie (1989) juga
meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun menyatakan bahwa kondisi tersebut di atas
peningkatan suhu udara akan meningkatkan juga akan meningkatkan kejadian penyakit
evapotranspirasi sehingga tanaman akan mosaik. Selain itu, meningkatnya populasi
kehilangan air lebih banyak, dan menga- serangga vektor akibat meningkatnya suhu
kibatkan tanaman mengalami stres air udara juga akan meningkatkan kejadian
(Coakley et al., 1999). Tanaman yang stress penyakit mosaik, terutama saat tanaman tebu
cenderung rentan terhadap serangan masih muda dan rentan.
patogen. Kondisi panas namun sedikit lembab
di malam hari merupakan kondisi yang cocok Kejadian Penyakit pada Tanaman Tebu
bagi jamur luka api (Sporisorium Menurun akibat Perubahan Iklim Global
scitamineum). Suhu optimum bagi jamur ini Perubahan iklim diperkirakan akan
adalah 30-31oC. Penyakit luka api merupakan memberikan perubahan terhadap morfologi,
penyakit yang paling banyak ditemui di fisiologi, nutrisi, dan keseimbangan air yang
hampir seluruh perkebunan tebu di Indonesia, berakibat kepada perubahan ketahanan
terutama di Jawa. Kerugian yang diakibatkan tanaman. Perilaku, stadia maupun perkem-
oleh penyakit ini semakin tinggi akibat kepras bangan dan siklus hidup patogen juga
yang lebih dari tiga kali. Pada tahun 2016 berubah sehingga perubahan iklim ini secara
terjadi ledakan penyakit luka api di beberapa tidak langsung akan berpengaruh terhadap
sentra perkebunan tebu di Jawa dan Sulawesi. interaksi antara tanaman dan patogen
Bahkan varietas BL yang dulu merupakan (Chakraborty & Datta, 2003). Spora
varietas yang toleran-tahan, hampir 80% Colletotrichum gloeosporides terhambat
terserang (Eka Sugiharta, komunikasi pribadi). perkecambahannya dalam ruangan yang
Menurut (Rott et al. 2013) ketahanan tebu mengandung CO2 400-700 ppm (Hibberd et
terhadap S. scitamineum hampir konsisten al., 1996). Sementara itu, jumlah stomata
sampai beberapa dekade, meskipun ada 2-3 tanaman yang menutup kerapatan stomata
ras yang berbeda di Hawai, Pakistan, Filipina, mengalami penurunan pada kondisi CO2 tinggi
dan Taiwan. Namun sejarah membuktikan sehingga kesempatan jamur (terutama yang
46
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
masuk melalui stomata) penetrasi ke dalam beririgasi merupakan aksi adaptasi yang
tanaman makin berkurang, semakin untuk efektif untuk mengurangi dampak negatif
meskipun produksi spora meningkat. Jadi, perubahan iklim terhadap pertanaman tebu.
dalam kasus ini perkembangan penyakit Perubahan kelimpahan dan keragaman
menjadi terhambat. Penyakit nanas yang spesies karena adanya fenomena perubahan
disebabkan oleh Ceratocystis paradoxa juga iklim berpengaruh terhadap efektivitas
akan menurun dengan meningkatnya suhu pengelolaan hama, oleh karena itu perlu
udara karena penyakit ini lebih sesuai jika penajaman sistem monitoring untuk
suhu tanah rendah (Wismer & Bailey, 1989). menditeksi potensi perubahan disribusi,
penghitungan kerusakan, dan kehilangan hasil
Kejadian Penyakit Tidak Terpengaruh (Dhaliwal et al., 2010). Pengembangan
oleh Perubahan Iklim Global varietas tahan hama dan penyakit tanaman,
Untuk patogen-patogen yang bersifat pemanfaatan musuh alami, dan praktek-
sistemik seperti Clavibacter xyli subsp. xyli, praktek agronomi yang mendukung
penyebab penyakit kerdil pada tanaman konservasi musuh alami merupakan tidakan
keprasan (Gillaspie and Teakle, 1989) dan pengelolaan hama dan penyakit yang efektif.
Xanthomonas albilineans penyebab penyakit Akan tetapi, tindakan pengelolaan hama dan
blendok tidak begitu terpengaruh oleh penyakit tanaman akan berubah dengan
perubahan iklim ini karena hampir seluruh adanya fenomena pemanasan global akibat
siklus hidupnya ada di dalam tanaman inang. perubahan iklim. Keberhasilan pengendalian
Mereka lebih tergantung kepada kondisi hayati yang dipertimbangkan sebagai satu
inang. Jika ketersediaan bahan makanan komponen pengelelolaan hama terpadu (PHT)
dalam inang melimpah, sementara kondisi yang efektif sangat dipengaruhi oleh
tanaman lemah, maka penyakit-penyakit perubahan iklim, karena interaksi tritrofik
sistemik akan berkembang cepat. yang menghasilkan pengendalian populasi
hama juga mengalami perubahan.
STRATEGI PENGENDALIAN SERANGGA Serangga hama tebu yang sampai saat
HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TEBU ini dipertimbangkan sebagai hama utama
tanaman tebu adalah kompleh penggerek
Tanaman tebu sangat peka terhadap
batang dan penggerek pucuk. Pengendalian
suhu, curah hujan, intensitas cahaya, dan
hayati dengan menggunakan parasitoid
komponen-komponen iklim lainnya. Oleh
merupakan tindakan pengendalian yang telah
karena itu, perubahan iklim sangat
lama dilakukan untuk mengatasi masalah
berpengaruh terhadap perubahan produktivi-
infestasi kompleks penggerek tebu tersebut.
tasnya. Pengembangan varietas tebu yang
Pelepasan parasitoid Trichogramma
cepat beradaptasi terhadap perubahan iklim,
japonicum telah dilakukan untuk pengendalian
persiapan lahan yang sesuai dengan waktu
kompleks penggerek pucuk ebu sejak tahun
dan pola tanam, pengelolaan hama dan
1970an. Hasil evluasi (Nurindah et al., 2016)
penyakit yang optimal,dan pengelolaan air
tentang efektivitas pelepasan parasitoid telur
yang tepat merupakan tindakan mitigasi dan
dengan menggunakan spesies T. japonicum
adaptasi yang perlu dilakukan dalam
menunjukkan bahwa pelepasan parasitiod
menghadapi perubahan iklim, sehingga
tersebut tidak efektif dalam menyebabkan
diperoleh produktivitas tebu dan gula yang
kejadian parasitisasi pada telur penggerek
optimal. Perakitan varietas tebu yang
pucuk maupun penggerek batang tebu.
mempunyai karakter toleran terhadap panas
Secara alami, telur penggerek pucuk banyak
lebih bermanfaat daripada perakitan varietas
diparasit oleh Telenomus spp, dan telur
yang tahan kekeringan. Selain itu,
penggerek batang oleh T. chilonis dan
pengembangan tebu pada areal yang
47
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
Telenomus spp. Hasil eavluasi ini break hama dapat diantisipasi dan kehilangan
merekomendasikan untuk mempertimbangkan hasil dan kerugian ekonomi karena hama
kembali pelepasan massal parasitoid telur T. dapat dicegah.
japonicum, sehingga juga mengubah sistem
Pengendalian Penyakit Tanaman Tebu
produksi massal dan aplikasi spesies
dalam Menghadapi Perubahan Iklim
parasitoid tersebut.
Global
Dalam sistem pengelolaan hama tebu
Penyakit Luka Api merupakan salah
berbasis pemanfaatan musuh alami,
satu penyakit yang terdampak oleh perubahan
peningkatan atau konservasi populasi musuh
iklim global. Untuk mengantisipasi agar
alami (parasitoid dan predator) pada
kejadian penyakit ini tidak meluas maka
pertanaman tebu perlu dilakukan. Konservasi
diperlukan penggantian varietas baru yang
musuh alami dapat dilakukan dengan
lebih tahan terhadap penyakit ini dan lebih
memberikan lingkungan yang optimal bagi
mampu beradaptasi terhadap suhu tinggi dan
musuh alami untuk berperan sebagai faktor
kekeringan. Adanya variasi genetik patogen
mortalitas biotik yang efektif, sedangkan
menyebabkan mereka mampu beradaptasi
peningkatan populasi musuh alami dapat
dengan cepat terhadap varietas yang tahan
dilakukan dengan menyediakan lingkungan
(Strange & Scott, 2005). Penggantian
yang dapat mendukung perkembangan
varietas secara berkala atau peningkatan
populasi musuh alami melalui penyediaan
keragaman varietas akan memperkecil
pakan yang sesuai. Kedua pendekatan ini
kemungkinan jamur bermutasi atau
dapat dilakukan dengan pengembangan
beradaptasi dengan varietas yang baru.
varietas yang menghasilkan volatil yang dapat
Karena menurut (McDonald & Linde, 2002),
diterima oleh parasitoid dan predator untuk
patogen mampu berubah dengan cepat
menemukan inang atau mangsanya.
menjadi tahan terhadap pestisida maupun
Penambahan keragaman vegetasi pada
dalam beradaptasi/mengatasi ketahanan
pertanaman tebu melalui penanaman
suatu varietas yang baru atau terhadap
tanaman-tanaman berbunga yang menyedia-
perubahan lingkungan. Penyakit luka api
kan nektar bagi parasitoid dan predator juga
merupakan penyakit yang terbawa angin dan
dapat meningkatkan populasi musuh alami
bahan tanaman yang terinfeksi jamur secara
pada agroekosistem tersebut. Selain iu,
sistemik. Monitoring secara berkala diikuti
penambahan tanaman yang berfungsi sebagai
sanitasi dan eradikasi ‘cambuk’ akan
tanaman perangkap dapat dilakukan untuk
membantu mengurangi penyebaran penyakit;
mengurangi infestasi hama pada pertanaman
Sanitasi kebun dengan membersihkan gulma
tebu. Spesies tebu liar Erianthus
atau tumbuhan inang alternatif yang tumbuh
arundinaceus dilaporkan oleh Nibouche et al.
di sekitar pertanaman tebu; Penggunaan
(2012) disukai oleh imago C. sacchariphagus
bahan tanaman bebas patogen merupakan
(penggerek batang tebu bergaris) sebagai
alternatif pengendalian yang sangat
tempat peletakan telur, tetapi daya ketahanan
bermanfaat untuk mencegah terjadinya
hidup larva penggerek tebu tersebut sangat
ledakan penyakit luka api di daerah baru.
rendah pada E. arundinaceus. Oleh karena
Perawatan bahan tanaman dengan air panas
itu, E. arundinaceus dapat digunakan sebagai
(PAP) suhu 52 oC selama 30-45 menit atau
tanaman perangkap.
perendaman bahan tanaman dengan fungisida
Sistem pemantauan hama dan
yang mengandung bahan aktif cyproconazole,
penyakit tanaman tebu berdasarkan kondisi
propiconazole, triadimefon atau azoxystrobin.
cuaca perlu dikembangkan untuk mendukung
Penggunaan fungisida tersebut pada benih
analisis risiko terjadinya out break hama pada
sebelum tanam mampu mengendalikan luka
kondisi iklim yang berbeda, sehingga out
api sampai 6−9 bulan (Bhuiyan et al., 2012).
48
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
Penyakit lain yang perlu diwaspadai dalam atmosfer, dan curah hujan. Fenomena
adalah penyakit mosaik bergaris. Penyakit ini perubahan iklim mengharuskan dilakukan aksi
baru ditemukan pertengahan 2000, di Jawa mitigasi dan adaptasi sehingga sistem
Timur, namun saat ini sudah menyebar di 59 pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan.
perkebunan tebu di Jawa dengan tingkat Oleh karena itu, pengelolaan hama dan
keparahan penyakit 1−62% (Damayanti & penyakit tanaman tebu memerlukan
Putra, 2011). Perkembangannya yang cukup penyusunan strategi pengelolaan dengan
pesat akibat penanaman varietas yang rentan mempertimbangkan pengaruh abiotik,
dan penyebaran bahan tanaman yang terutama suhu, kandungan CO2 dalam
terinfeksi ke luar Pulau Jawa. Hasil survei atmosfer, dan curah hujan, terhadap
ACIAR (belum dipublikasi) menunjukkan perkembangan serangga dan patogen
bahwa penyebaran penyakit ini sudah terlihat tanaman serta interaksi multitrofik pada
di beberapa perkebunan tebu di Sumatera ekosistem pertanaman tebu.
Utara dan Selatan serta Sulawesi Selatan.
Kenaikan suhu yang terjadi akhir-akhir ini
mempercepat perkembangan penyakit ini. UCAPAN TERIMAKASIH
Penggunaan varietas yang tahan dan bahan
bebas penyakit, terutama di daerah baru Penulis mengucapkan terima kasih
merupakan pencegahan tersebarnya mosaik kepada para mitra bestari yang telah
bergaris. PAP dengan suhu 53oC selama 10 memberikan saran dan masukan yang baik,
menit pada bagal sebelum ditanam sehingga tulisan review ini menjadi lebih baik.
mengurangi keparahan penyakit mosaik
bergaris meskipun virus mosaik bergaris tidak
tereliminasi 100% (Damayanti et al., 2010). DAFTAR PUSTAKA
Untuk mengeliminasi virus, PAP dengan suhu
55oC selama 30 menit atau 60oC selama 10 Bade, B., Ghorpade, S., 2009. Life fecundity tables
menit, namun viabilitas benih menurun of sugarcane woolly aphid, Ceratovacuna
(Damayanti et al., 2010). Salaudeen et al. lanigera Zehntner. J. Insect Sci. 22, 402–405.
(2016) menyarankan untuk menggunakan Bale, J.S., Masters, G.J., Hodkinson, I.D., Awmack,
pengendalian biologis terhadap vektor dan C., Bezemer, T.M., Brown, V.K., Butterfield,
rekayasa genetika untuk meningkatkan J., Buse, A., Coulson, J.C., Farrar, J., Good,
ketahanan tanaman terhadap virus J.E.G., Harrington, R., Hartley, S., Jones,
T.H., Lindroth, R.L., Press, M.C.,
Untuk mencegah serasah digunakan sebagai Symrnioudis, I., Watt, A.D., Whittaker, J.B.,
sumber makanan dan tempat bertahan hidup 2002. Herbivory in global climate change
research: direct effects of rising temperature
patogen-patogen tular tanah, maka klenthek
on insect herbivores. Glob. Chang. Biol. 8, 1–
dan sanitasi seludang secara berkala dan 16. https://doi.org/doi.org/10.1046/j.1365-
pemberian antagonis pada serasah daun. 2486.2002.00451.x
Ball, A., 1997. Microbial decomposition at elevated
CO2 levels: effect of litter quality. Glob.
KESIMPULAN Chang. Biol. 3, 379–386.
https://doi.org/.1046/j.1365-2486.1997.t01-
1-00089.x
Perubahan iklim berpengaruh terhadap
tanaman tebu, perkembangan serangga dan Belskaya, E.A., Vorobeichik, E.L., 2013. Responses
patogen tanaman serta interaksi multitrofik of leaf-eating insects feeding on aspen to
emissions from the Middle Ural copper
yang ada. Komponen iklim yang sangat smelter. Russ. J. Ecol. 44, 108–117.
berpengaruh adalah suhu, kandungan CO2 https://doi.org/10.1134/S1067413613020045
49
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
Bhuiyan, S.A., Croft, B.J., James, R.S., Cox, M.C., Climate Change and Plant Disease
2012. Laboratory and field evaluation of Management. Annu. Rev. Phytopathol. 37,
fungicides for the management of sugarcane 399–426.
smut caused by Sporisorium scitamineum in
seedcane. Australas. Plant Pathol. 41, 591– Damayanti, T.A., Putra, L.K., 2011. First
599. occurrence of sugarcane streak mosaic virus
infecting sugarcane in Indonesia. J. Gen.
Bonnett, G.D., 2014. Developmental Stages Plant Pathol. 77, 72–74.
(Phenology), in: Moor, P.H., Botha, F.C. https://doi.org/httphttps://doi.org/10.1007/s
(Eds.), Sugarcane Physiology, Biochemistry & 10327-010-0285-7
Functional Biology. John Wiley & Sons, Inc.,
Iowa, USA. Boonpradub, pp. 35–53. Damayanti, T.A., Putra, L.K., Giyanto, 2010. Hot
Water Treatment of Cutting-Cane Infected
Boullis, A., Francis, F., Verheggen, F., 2015. With Sugarcane Streak Mosaic Virus ( Scsmv
Climate Change and Tritrophic Interactions: ). J. Int. Soc. Southeast Asian Agric. Sci. 16,
Will Modifications to Greenhouse Gas 17–25.
Emissions Increase the Vulnerability of
Herbivorous Insects to Natural Enemies? Dhaliwal, G., Jindal, V., Dhawan, A., 2010. Insect
Environ. Entomol. 44, 277–286. pest problems and crop losses: Changing
https://doi.org/10.1093/ee/nvu019 trends. Indian J. Ecol. 37, 1–7.
Burdon, J., 1987. Diseases and Population Biology, Dhillon, M., Sharma, H., 2009. Temperature
1st ed. Cambridge Univ. Press, New York. influences the performance and effectiveness
of field and laboratory strains of the
Canadell, J.G., Le Quéré, C., Raupach, M.R., Field, ichneumonid parasitoid, Campoletis
C.B., Buitenhuis, E.T., Ciais, P., Conway, T.J., chlorideae. Biocontrol 54, 743–750.
Gillett, N.P., Houghton, R.A., Marland, G.,
2007. Contributions to accelerating Evans, N., Baierl, A., Semenov, M.A., Gladders, P.,
atmospheric CO2 growth from economic Fitt, B.D.., 2008. Range and severity of a
activity, carbon intensity, and efficiency of plant disease increased by global warming. J.
natural sinks. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. R. Soc. Interface 5, 525–531.
104, 18866–70. https://doi.org/10.1098/rsif.2007.1136
https://doi.org/10.1073/pnas.0702737104 Fageria, N.K., Baligar, V.C., Jones, C.A., 2010.
Chakraborty, S., Datta, S., 2003. How will plant Growth and Mineral Nutrition of Field Crops,
pathogens adapt to host plant resistance at 3rd ed. CRC Press.
elevated CO2 under a changing climate? New Francl, L.J., 2001. The Disease Triangle: A plant
Phytol. 159, doi:10.1046/j.1469- pathological paradigm revisited. Plant Heal.
8137.2003.00842.x. Instr. https://doi.org/10.1094/PHI-T-2001-
Chakraborty, S., Newton, A.C., 2011. Climate 0517-01
change, plant diseases and food security: an Garrett, K.A., Dendy, S.P., Frank, E.E., Rouse,
overview. Plant Pathol. 60, 2–14. M.N., Travers, S.E., 2006. Climate Change
https://doi.org/doi:10.1111/j.1365- Effects on Plant Disease: Genomes to
3059.2010.02411.x Ecosystems. Annu. Rev. Phytopathol. 44,
Chakrabortya, S.., Tiedemann, V., Teng, S., 2000. 489–509.
Environmental Pollution Keynote review Ghini, R., Hamada, E., Bettiol, W., 2008. Climate
Climate change: potential impact on plant change and plant diseases. Sci. Agric. 65,
diseases. Environ. Pollut. 108, 317–326. 98–107. https://doi.org/10.1590/S0103-
Chandiposha, M., 2013. Potential impact of climate 90162008000700015
change in sugarcane and mitigation Gillaspie, A., Teakle, D., 1989. Ratoon stunting
strategies in Zimbabwe. African J. Agric. Res. disease, in: Ricaud, C., Egan, B.. T., Gillaspie,
8, 2814–2818. A.G., Hughes, C.. G. (Eds.), Diseases of
https://doi.org/10.5897/AJAR2013.7083 Sugarcane Major Diseases. Elsevier,
Coakley, S.M., Scherm, H., Chakraborty, S., 1999. Amsterdam, pp. 59–80.
50
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
Gouvêa, J., Sentelhas, P., Gazzola, S., Santos, M., Mengamankan Produksi Beras Nasional.
2009. Climate changes and technological Pengemb. Inov. Pertan. 4, 76–86.
advances: impacts on sugarcane productivity
in tropical southern Brazil. Sci. Agric. 66, Linnenluecke, M.K., Nucifora, N., Thompson, N.,
593–605. 2018. Implications of climate change for the
sugarcane industry. Wiley Interdiscip. Rev.
Hannah, L., Lovejoy, T.E., Schneider, S.H., 2005. Clim. Chang. 9, 1–34.
Biodiversity and climate change in context, https://doi.org/10.1002/wcc.498
in: Lovejoy, T.E., Hannah, L. (Eds.), Climate
Change and Biodiversity. New Haven, Yale, Magarey, R., Royal, A., Williams, D., Bull, J., 2011.
pp. 3–14. A brief history of disease epidemics in
Queensland and of some economic outcomes
Helmig, D., Ortega, J., Duhl, T., Tanner, D., [WWW Document].
Guenther, A., Harley, P., Wiedinmyer, C.,
Milford, J., Sakulyanontvittaya, T., 2007. Matsuoka, M., Furbank, R.T., Fukayama, H.,
Sesquiterpene Emissions from Pine Trees − Miyao, M., 2001. Molecular Engineering Of C4
Identifications, Emission Rates and Flux Photosynthesis. Annu. Rev. Plant Physiol.
Estimates for the Contiguous United States. Plant Mol. Biol. 52, 297–314.
Enviromental Sci. Technol. 41, 1545–1553. McDonald, B.A., Linde, C., 2002. Pathogen
https://doi.org/10.1021/es0618907 Population Genetics, Evolutionary Potential,
Hibberd, J.M., Whitbread, R., Farrar, J.F., 1996. And Durable Resistance. Annu. Rev.
Effect of elevated concentrations of CO2 on Phytopathol. 40, 349–379.
infection of barley by Erysiphe graminis. Melloy, P., Hollaway, G., Luck, J., Norton, R.,
Physiol. Mol. Plant Pathol. 48, 37–53. Aittken, E., Chakraborty, S., 2010. Production
https://doi.org/10.1006/pmpp.1996.0004 and fitness of Fusarium pseudograminearum
Huang, F., Leonard, R., Moore, S., Yue, B., Parker, inoculum at elevated carbon dioxide in FACE.
R., Reagan, T., Stout, M., Cook, D., Akbar, Glob. Chang. Biol. 16, 3363–3373.
W., Chilcutt, C., White, W., Lee, D., Biles, S., https://doi.org/10.1111/j.1365-
2008. Geographical susceptibility of Louisiana 2486.2010.02178.x
and Texas populations of the sugarcane Nibouche, S., Tibère, R., Costet, L., 2012. The use
borer , Diatraea saccharalis ( F .) ( of Erianthus arundinaceus as a trap crop for
Lepidoptera : Crambidae ) to Bacillus the stem borer Chilo sacchariphagus reduces
thuringiensis Cry1Ab protein. Crop Prot. 27, yield losses in sugarcane : Preliminary results.
799–806. Crop Prot. 42, 10–15.
https://doi.org/10.1016/j.cropro.2007.11.007 https://doi.org/10.1016/j.cropro.2012.06.003
IPCC, 2014. Climate change 2014: synthesis Niziolek, O., Berenbaum, M., DeLucia, E., 2012.
report. Contribution of Working Groups I, II Impact of elevated CO2 and temperature on
and III to the Fifth Assessment Report of the Japanese beetle herbivory. Insect Sci. 20,
Intergovernmental Panel on Climate Change. 513–23.
Pachauri RK., Meyer LA (Eds). Geneva,
Switzerland. Nurindah, N., Sunarto, D.A., Sujak, S., 2016.
Evaluasi pelepasan Trichogramma spp. untuk
Joshi, S., Viraktamath, C.A., 2003. The sugarcane pengendalian penggerek pucuk dan batang
woolly aphid, Ceratovacuna lalligera Zehntner tebu. J. Entomol. Indones. 13, 107–116.
(Hemiptera: Aphididae): its biology, pest https://doi.org/10.5994/jei.13.2.107
status and control. Curr. Sci. 87, 307–316.
Pare, P.W., Tumlinson, J.H., 1999. Update on
Koike, H., Gillaspie, A.G.J., 1989. Mosaic, in: plant-insect interactions plant volatiles as a
Ricaud, C., Egan, B.T., Gillaspie, J.A.G., defense against insect herbivores. Plant
Hughes, C.. (Eds.), Diseases of Sugarcane: Physiol. 121, 325–331. https://doi.org/10.
Major Diseases. Elsevier Science, Amsterdam, 1104/pp.121.2.325
pp. 301–322.
Park, S., Creighton, C., Howden, M., Matthieson,
Las, I., Pramudia, A., Runtunuwu, E., Setyanto, P., L., 2008. Climate change and the Australian
2011. Antisipasi Perubahan Iklim Dalam Sugarcane Industry : Impacts, adaptation and
51
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 10(1), April 2018:39-53
52
Nurindah dan Titiek Yulianti: Strategi pengelolaan serangga hama dan penyakit tebu dalam menghadapi perubahan iklim
Control 52, 296–306. Wand, S.J., Midgley, G.F., Jones, M.H., Curtis, P.S.,
https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2009.01. 1999. Responses of wild C4 and C3 grass
022 (Poaceae) species to elevated atmospheric
CO2 concentration: a meta‐analytic test of
Torriani, D., Calanca, P., Lips, M., Ammann, H.B., current theories and perceptions. Glob.
Jürg, M., 2007. Regional assessment of Chang. Biol. 5, 723–741.
climate change impacts on maize productivity https://doi.org/10.1046/j.1365-
and associated production risk in Switzerland. 2486.1999.00265.x
Reg. Environ. Chang. 7, 209–221.
War, A.R., Taggar, G.K., War, M.Y., Hussain, B.,
Tripathi, A., Tripathi, D.K., Chauhan, D.K., Kumar, 2016. Impact of climate change on insect
N., Singh, G.S., 2016. Paradigms of climate pests, plant chemical ecology, tritrophic
change impacts on some major food sources interactions and food production. Int. J. Clin.
of the world: A review on current knowledge Biol. Sci. 1, 16–29.
and future prospects. Agric. Ecosyst. Environ.
216, 356–373. Wismer, C., Bailey, R., 1989. Pineapple disease, in:
https://doi.org/10.1016/j.agee.2015.09.034 Ricaud, C., Egan, B.T., Gillaspie, A.G.,
Hughes, C.G. (Eds.), Diseases of Sugarcane -
Vara Prasad, P. V., Vu, J.C. V., Boote, K.J.., Allen, Major Diseases. Elsevier, Amsterdam, p. 145–
L.H.J., 2009. Enhancement in leaf 1 56.
photosynthesis and upregulation of Rubisco
in the C4 sorghum plant at elevated growth Yuan, J.S., Himanen, S.J., Holopainen, J.K., Chen,
carbon dioxide and temperature occur at F., Stewart, C.N., 2009. Smelling global
early stages of leaf ontogeny. Funct. Plant climate change: mitigation of function for
Biol. 36, 761–769. plant volatile organic compounds. Trends
https://doi.org/https://doi.org/10.1071/FP09 Ecol. Evol. 24, 323–331.
043 https://doi.org/10.1016/j.tree.2009.01.012
Veromann, E., Toome, M., Kännaste, A., Kaasik, Ziska, L.H., Sicher, R.C., Bunce, J.A., 1999. The
R., Copolovici, L., Flink, J., Kovács, G., Narits, impact of elevated carbon dioxide on the
L., Luik, A., Niinemets, Ü., 2013. Effects of growth and gas exchange of three C4 species
nitrogen fertilization on insect pests, their differing in CO2 leak rates. Physiol. Plant.
parasitoids, plant diseases and volatile 105, 74–80. https://doi.org/10.1034/j.1399-
organic compounds in Brassica napus. Crop 3054.1999.105112.x
Prot. 43, 79–88.
https://doi.org/10.1016/j.cropro.2012.09.001 Zvereva, E., Kozlov, M., 2006. Consequences of
simultaneous elevation of carbon dioxide and
Vu, J., Allen, L.J., Gallo-Meagher, M., 2002. Crop temperature for plant-herbivore interactions:
plant responses to rising CO2 and climate a metaanalysis. Glob. Chang. Biol. 12, 27–41.
change, in: Pessarakli, M. (Ed.), ‘Handbook of
Plant and Crop Physiology. Marcel Dekker,
New York, pp. 35–55.
53