Anda di halaman 1dari 5

Benarkah Manusia Adalah Makhluk Yang

Paling Mulia (Mengenal Diri, Mengenal


Allah dan Ruh Al-Quds).
July 5, 2007 Herry Mardian
[TANYA] Mengapa dahulu, pada saat penciptaan manusia, malaikat yang terbuat dari cahaya,
bersujud pada Adam yang hanya terbuat dari tanah? Bukankah cahaya lebih mulia dari tanah?
[JAWAB] Dalam diri manusia yang telah disempurnakan Allah sebagai manusia sejati (insan
kamil) terdapat secuil unsur yang sangat mulia, yaitu yang dibahasakan dalam Al Quran
sebagai Ruhul Quds. Ruhul Quds bukanlah malaikat Jibril a.s., Jibril disebut sebagai Ruhul
Amin, bukan Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds juga dikenal dengan sebutan Ruh min Amr, atau Ruh
dari Amr Allah (Amr = urusan, tanggung jawab). Dalam agama saudara-saudara dari nasrani,
disebut Roh Kudus.
Ruh-Nya atau Ruhul Quds ini bukan dalam pengertian bahwa Allah memiliki ruh yang
menghidupkan-Nya seperti kita. Ruh ini merupakan ruh ciptaan-Nya, sebagaimana ruh yang
menjadikan diri kita hidup sekarang, namun dalam martabat tertingginya, dalam tingkatannya
yang paling agung dan paling dekat kepada Allah.
Setiap ciptaan memiliki ruh. Manusia (ruh insani), tanaman (ruh nabati), hewan (ruh hewani),
bahkan benda mati pun memilikinya. Atom-atom dalam benda mati sebenarnya hidup dan terus
berputar, dan ruh bendawi inilah yang menjadikannya hidup. Karena itu pula, benda,
tumbuhan, hewan, bahkan anggota tubuh kita kelak akan bersaksi mengenai perbuatan kita di
dunia ini. Namun demikian, ruh-ruh ini bukanlah ruh dalam martabat tertingginya seperti Ruh
Al-Quds.

Ketika Allah berkehendak untuk memperlengkapi diri seorang manusia dengan Ruh Al-Quds,
maka inilah yang menyebabkan manusia dikatakan lebih mulia dari makhluk manapun juga.
Perhatikan juga kata Ruh-Ku dalam ayat 38:72, yang ditiupkan pada diri Adam saat
penciptaannya:
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya.. (Q.S. 38:72)
Secuil ruh-Nya itu hanya diturunkan Allah pada manusia yang telah disempurnakan-Nya,
yang diizinkan-Nya untuk mencapai derajat manusia yang sempurna (insan kamil) saja dan tidak
pada semua manusia.

Pada Adam as dan Isa as, dua manusia yang diciptakan-Nya langsung dengan tangan-Nya tanpa
melalui proses pembuahan, Ruh ilahiyah penyempurna ini langsung tertularkan ketika mereka
diciptakan. Karena itulah, dalam proses penciptaan Adam as, setelah ditiupkannya Ruh-Nya,
para malaikat pun sujud kepada Beliau. Sedang pada kita manusia biasa yang tercipta melalui
proses alamiah atas kehendak-Nya, juga diberikan perangkat untuk memperolehnya (tepatnya
perangkat untuk membuat Allah berkenan dan percaya untuk menurunkannya pada kita), yaitu
qalb, syariat lahir, dan syariat batin.
Dengan demikian, bagi manusia yang belum memiliki unsur ini dalam dirinya, sangat wajar
jika malaikat tidak akan tunduk padanya, dan dia memang belum layak untuk disujudi. Contoh
saja, jika kita sekarang memerintahkan pada malaikat di samping kita untuk menampakkan
dirinya, apakah mereka akan tunduk pada perintah kita itu?
Mengapa para malaikat tunduk pada para Nabi dan orang-orang suci? Karena lewat proses
perjuangan penyucian qalb dan diri mereka masing-masing, Allah berkenan menganugerahkan
Ruh-Nya tadi kepada orang-orang itu. Bedanya dengan Adam a.s dan Isa a.s, mereka tertular
Ruh-Nya sejak lahir, karena diciptakan langsung dengan tangan Allah (dalam tanda kutip);
sedangkan manusia selain mereka, untuk dapat dianugerahi Ruh Al-Quds, harus melewati
perjuangan diri. Mereka harus membuktikan pada Allah bahwa mereka layak untuk dianugerahi
unsur yang paling agung yang bisa didapatkan oleh makhluk ke dalam jiwanya.
Di sisi lain, ada beberapa malaikat yang tidak tunduk kepada mereka yang memiliki Ruh AlQuds, namun memposisikan dirinya sejajar dengan para Insan Kamil. Mengapa? Karena
beberapa malaikat ini juga dianugerahi Ruh Al-Quds oleh Allah. Sebagaimana manusia, tidak
semua malaikat memiliki Ruh Al-Quds. Dari para malaikat yang memilikinya, diantaranya
adalah para malaikat utama (Archangels): Jibril a.s. (Arch. Gabriel), Mikail a.s. (Arch. Michael),
Izrail a.s. (Arch. Uriel), dan Israfil a.s. (Arch. Raphael). Kedudukan mereka diantara para
malaikat kurang lebih sama seperti kedudukan para Nabi diantara manusia.
Dalam [2] : 253,
Rasul-rasul (rasul: pembawa risalahpen.) itu Kami lebihkan sebagian mereka di atas sebagian
yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya
Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa
mujizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Quds. (Q. S. [2] : 253)
Jadi kurang tepat jika kita mengatakan dengan terlalu mudah bahwa manusia, atau kita, adalah
makhluk yang paling mulia di alam semesta. Manusia baru menjadi makhluk yang paling mulia
jika telah diperangkati Allah dengan unsur ini. Jika belum diperangkati dengan unsur ini,
bahkan kedudukan manusia bisa lebih rendah dari hewan ternak (lihat Q.S. 25:44).
Penganugerahan Ruh-Nya pada seorang manusia inilah yang secara awam dikatakan sebagai
manunggaling kawulo gusti, atau penyatuan hamba dan Tuhannya yang sering dilabelkan
pada kaum sufi di seluruh dunia. Padahal yang terjadi sebenarnya, adalah penganugerahan RuhNya atau Ruh Al-Quds kepada diri seseorang. Sebagai zat, Allah dan makhluk mustahil
menyatu.

Ruh Al-Quds inilah yang membawa penjelasan kemisian seseorang, untuk apa seseorang
diciptakan Allah, secara spesifik orang-per-orang. Dengan kehadiran Ruh Al-Quds, seseorang
menjadi mengerti misi hidupnya sendiri. Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds
inilah yang disebut sebagai marifat, dan telah mengenal diri sepenuhnya.
Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu, kata Rasulullah. Barangsiapa yang mengenal
dirinya, maka ia mengenal Rabb-nya. Dengan kehadiran Ruh Al-Quds ke dalam jiwanya,
seseorang menjadi mengenal dirinya, mengerti kemisian dirinya, dan mengenal Rabb-nya
melalui kehadiran Ruh-Nya itu.
Dengan mengenal dirinya secara sejati, maka mulailah seseorang ber-agama secara sejati pula.
Awaluddiina marifatullah, kata Ali bin Abi Thalib kwh. Awalnya ad-diin (agama) adalah
marifatullah (mengenal Alah). Jadi berbeda dengan pengertian awam bahwa mencapai makrifat
adalah tujuan beragama, justru sebaliknya: marifat adalah awalnya beragama, ber-diin dengan
sejati.
Saya pribadi percaya bahwa inilah trinitas yang dikembalikan oleh Quran kepada hakikatnya
semula: Allah, Ruh Al-Quds, dan jasad sang Insan Kamil. Pengertian trinitas ini, seiring dengan
berjalannya waktu dan jauhnya aliran doktrin dari mata-airnya, perlahan berubah menjadi
sesuatu yang abstrak: tiga tetapi satu dan satu tetapi tiga. Namun Rasulullah melaui Quran,
secara halus mengembalikan khazanah tritunggal ini kepada esensinya: bukan zatnya yang satu
sekaligus tiga, tetapi sebenarnya yang terjadi adalah Allah dan Insan Kamil, melalui kehadiran
Ruh Al-Quds, telah sepenuhnya selaras dan menjadi satu kehendak. Apapun perbuatan, perilaku
dan kehendak seorang Insan Kamil akan sepenuhnya sesuai dengan kehendak Allah. Sedangkan
Allah-nya sendiri, sebagai zat, tetap hanya satu. Inilah yang dikembalikan: Allah itu satu, tidak
memiliki anak, dan anggota sistem ke-tiga-an itu terpisah, baik secara hakikat maupun zat.
Wujudnya satu, bukan tiga.
Siapa saja Insan Kamil itu? Mereka adalah semua orang yang telah dianugerahi Allah Ruh AlQuds ke dalam jiwanya. Semua Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Isa as, dan para orang suci yang
ber-maqam rahmaniyah dan rabbaniyah, adalah Insan Kamil.
Ada sebuah hadits dari Rasulullah, ketika Umar melihat dajjal dan bermaksud membunuhnya,
Rasulullah mencegah beliau. Rasulullah mengatakan, Umar tidak akan mampu membunuhnya.
Yang akan menghadapi dajjal kelak adalah Nabi Isa as di akhir zaman. Kenapa Nabi Isa as,
bukan Umar atau bahkan bukan Rasulullah? Karena, walaupun semua orang yang telah
dianugerahi Ruh Al-Quds tidak bisa lagi disentuh iblis, hanya Nabi Isa-lah satu-satunya orang
yang oleh Allah diberi kehormatan sebagai manusia yang memiliki Ruh Al-Quds sejak hari
kelahirannya, bahkan sejak dalam kandungan. Kenapa bukan Adam a.s.? Karena Adam as tidak
pernah dilahirkan. Beliau diciptakan, dijadikan. Menghadapi dajjal adalah hak Nabi Isa a.s.
Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu ketika Aku
menguatkan kamu dengan Ruhul Quds, kamu dapat berbicara dengan manusia ketika masih
dalam buaian dan ketika dewasa(Q. S. [5] : 110)
Kembali ke persoalan sebelumnya,

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam,
maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
mereka yang kafir. (QS. 2:34)
Sujudnya Malaikat kepada Adam, karena dalam diri manusia yang telah disempurnakan-Nya
(Insan Kamil) ada yang disebut Ruh-Ku dalam ayat 38:72 tadi. Malaikat bukan sujud
kepada sifat jasadiyahnya Adam. Malaikat akan sujud kepada siapapun yang dalam dirinya ada
pantulan citra Allah (yang jelas, fokus, dan tidak blur), yaitu dengan kehadiran Ruh-Nya (Ruh
Al-Quds) dalam jiwa seseorang. Iblis tidak mampu melihat ke dalam inti jiwa manusia tempat
Ruh Al-Quds disematkan Allah, maka ia melihat Adam tidak lebih dalam dari sekedar tanah yang
digunakan sebagai bahan jasadnya, sehingga ia enggan bersujud (perhatikan kata yang dipakai
dalam ayat tersebut: kafir: tertutup, tidak mampu melihat kebenaran).
Kembali pada ayat:
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya.. (Q.S. 38:72)
Jangan sujud kepada siapapun yang belum dianugerahi Allah Ruh-Nya ke dalam dirinya.
Allah hanya memerintahkan sujud kepada mereka yang telah disempurnakan-Nya, dan telah
dianugerahi Ruh Al-Quds kepada dirinya.
[]
P.S. :
(1) Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh Al-Quds mempunyai kemewahan yang tiada tara:
bisa berdialog (bukan monolog maupun meminta secara sepihak saja) dengan Allah langsung
tanpa melalui birokrasi malaikati apapun (jelas, karena kedudukannya jadi lebih tinggi dari
malaikat). Allah akan berkenan menjawabnya langsung (lihat [2] : 253 di atas). Ia menjadi
sahabat-Nya, Kalimullah (orang yang diajak berbicara dengan Allah). Ia menjadi keluarga-Nya
(Ahlullah). Demikian pula, karena mustahil ketika seseorang mengenal Allah tidak takjub
kepada-Nya, maka Allah-pun akan menjadi sosok yang paling dicintai orang tersebut.
(2) Tahu asal kata Hadits Qudsi? Kenapa ada perkataan Allah yang bisa disampaikan Nabi, tapi
tidak ada dalam Quran? Disebut Hadits Qudsi karena ucapan-ucapan-Nya itu disampaikan
Allah lewat Ruh Al-Quds yang telah dianugerahkan Allah taala kepada orang tersebut.
Oh ya, tentang Hadits Qudsi, baca juga tulisan ini.
(3) Plural dari Ruh adalah Arwah. Karena semua Ruh langsung berasal dari Allah dan
langsung pula kembali kepada-Nya, maka TIDAK ADA yang namanya arwah
gentayangan. Tidak ada roh yang gentayangan, apalagi penasaran. Yang gentayangan itu jin,
atau bisa juga iblis, mungkin.

_______
Catatan: Tulisan ini bukan karya saya sepenuhnya. Lebih tepat jika dikatakan bahwa saya hanya
menuliskan kembali secara ringkas apa-apa yang saya pahami, sebagaimana telah diajarkan oleh
guru-guru saya. Semoga Allah menambah hikmah dan menganugerahkan rahmat-Nya pada
mereka semua.

Anda mungkin juga menyukai