Anda di halaman 1dari 12

KEHANDALAN SARINGAN PASIR LAMBAT

DALAM PENGOLAHAN AIR


RELIABILITY OF SLOW SAND FILTER
FOR WATER TREATMENT
Safira Astari1 dan Rofiq Iqbal2
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung
Jl Ganesha 10 Bandung 40132
1
safira_astari@yahoo.com, 2rofiq.iqbal@gmail.com
Abstrak : Saringan pasir lambat merupakan salah satu metode pengolahan air yang sudah digunakan ratusan
tahun. Keefektifan pengolahan air dengan metode ini didukung oleh adanya proses biologi akibat adanya
populasi bakteri di dalam saringan pasir ini. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat kehandalan saringan pasir
lambat dalam pengolahan air dan mencari faktor faktor pembatas dalam pengolahan air menggunakan
saringan pasir lambat. Penelitian ini dilakukan pada 4 sampel instalasi saringan pasir lambat, dua instalasi
terdapat pada Rumah Sakit Bina Sehat, instalasi milik pribadi di perumahan Margahayu, dan instalasi Sabuga.
Pertama pertama dilakukan pengamatan mengenai kondisi eksisting instalasi ini yang mencakup pengolahan
pendahuluan apa saja yang digunakan, kapasitas instalasi, kecepatan filtrasi, pengoperasian dan upaya
pemeliharaan yang dilakukan. Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan kualitas air untuk melihat seberapa
besar efisiensi penyisihan beberapa parameter yaitu kekeruhan, besi, mangan, nitrit, nitrat, zat organik,
kesadahan, dan total solid terlarut.. Berdasarkan hasil pengukuran di laboratorium diketahui bahwa efisiensi
removal untuk kekeruhan,besi, mangan, nitrit, nitrat, zat organik, kesadahan,total dan total solid terlarut masing
- masing 92.6%, 91,5%, 93%, 80%, 70%, 23.5%, 4.7%, dan 7.7%. Selain itu dari pengamatan di lapangan
diketahui juga bahwa metode ini merupakan metode yang mudah, dan murah dalam pengoperasian dan
perawatan. Namun untuk tercapainya keefektifan pengolahan harus dilakukan perawatan dengan metode
scrapping.
Kata kunci : saringan pasir lambat, kekeruhan, besi, mangan, nitrit, nitrat, zat organik, kesadahan, total solid
terlarut, operasi, pemeliharaan.
Abstract : Slow sand filter is a water treatment unit that has been used for hundred years. Effectiveness of water
treatment with this method is supported by the biological process due to the bacterial population in the sand
filter. The objectives of this research were to see the slow sand filter reliabilities for water treatment and
explore the factors restraint of using slow sand filter in water treatment. Research was conducted on 4 samples
slow sand filter installation, the two installations were in the Bina Sehat Hospital, the private installation in
Margahayu, and the installation in Sabuga. First, observations made about the condition of existing installation
that includes pre-treatments are used, the installation capacity, rate of filtration, operation and maintenance
efforts are undertaken. Research continued with the examination of water quality to see the efficiency removal
some parameters, turbidity, iron, manganese, nitrite, nitrate, organic matter, total hardness, and total dissolved
solid. Based on the results of laboratory analysis, known that the removal efficiency for turbidity, iron,
manganese, nitrite, nitrate, organic matter,total hardness, dissolved solid were 92.6%, 91,5%, 93%, 80%, 70%,
23.5%, 4.7%, and 7.7%.. In addition, from observation in the field also note that this method is a technology
that is easy and low cost in operation and maintanence. But for the achievement of effectiveness of treatment
should maintain by method of scrapping
Key words : slow sand filter, turbidity, iron, manganese,nitrite, nitrate, organic matter, total hardness, total
dissolved solid, operation, and maintenance.

PENDAHULUAN
Saringan pasir lambat adalah saringan yang menggunakan pasir sebagai media filter
dengan ukuran butiran sangat kecil, namun mempunyai kandungan kuarsa yang tinggi. Unit
ini sudah menjadi teknologi pengolahan air yang efektif lebih dari 150 tahun. Saringan pasir
W5-1

lambat ini dikenal di Inggris sebelum tahun 1830, dan pertama kalinya menjadi instalasi yang
sukses dalam pengolahan untuk air minum (Taweel dan Ali, 1999).
Saringan pasir lambat awalnya didesain dengan tebal media sebesar 1 m dan
kedalaman dari air supernatant sebesar 1 m. Effective size (ES) dari media pasir berkisar
antara 0,15 mm 0.35 mm, dan uniformity coefficient (UC) yang direkomendaikan adalah
kurang dari 5, namun sebaiknya kurang dari 3. Kecepatan filtrasi dari saringan pasir lambat
biasanya berkisar antara 0,1 0,3 m/jam (Longsdon et al., 2002). Sedangkan menurut SNI
2008, kecepatan filtrasi harus berada pada rentang 0,1 0,4 m/jam
Proses filtrasi yang terjadi pada saringan pasir lambat, terjadi dengan memisahkan air
dari kandungan kontaminan berupa partikel tersuspensi dan koloid, serta bakteri, dengan cara
melewatkan air pada suatu media berpori. Pada prinsipnya material ini dapat berupa material
apa saja, seperti lapisan granular pasir, batu yang dihancurkan, antrachite, kaca, sisa arang,
dll. Pada prakteknya di lapangan, media berpori yang paling sering digunakan adalah pasir,
karena pasir mudah ditemui dalam jumlah banyak, biaya yang murah, dan hasil pengolahan
yang diberikan juga sangat memuaskan (Longsdon et al., 2002). Secara keseluruhan
penyisihan kontaminan dengan proses filtrasi merupakan kombinasi dari beberapa proses
yang berbeda beda, dan yang terpenting adalah mechanical straining, sedimentasi, dan
adsorpsi, dan aktivitas biologi (Huisman, 1974).
Besi dan mangan dapat dihilangkan sampai 97% karena adanya biomassa bakteri
yang terdistribusi berdasarkan kedalaman media. Bakteri bakteri ini terdapat pada air baku,
dan dapat berkembang biak pada media pasir di bawah kondisi yang mendukung, bakteri
bakteri ini akan mngoksidasi ion bervalensi dua Fe(II) dan Mn(II) dan mempresipitasi ion
ion tersebut ke dalam bentuk ion teroksidasi yaitu Fe(III) dan Mn (IV) (Pacini et al, 2005).
Bakteri bakteri yang terdapat pada schumutzdecke yang berada pada permukaan atas
saringan, ataupun pada media pasir juga sangat potensial dalam mendukung pengurangan
konsentrasi zat organik melalui mekanisme bioadsorpsi, dan saringan pasir lambat tradisional
dapat mengurangi kandungan zat organic 15 19% (Eighmy et al, 1992).
Pengolahan dengan saringan pasir lambat pada umumnya tidak menggunakan bahan
kimai sebagai pengolahan pendahuluan, sehingga air baku yang digunakan haruslah dalam
kondisi yang sudah baik. Di bawah ini merupakan beberapa rekomendasi untuk air baku yang
akan diolah dengan saringan pasir lambat tanpa menggunakan pengolahan pendahuluan
berupa saringan pasir cepat :
Kekeruhan rendah, kurang dari 5 NTU
Tidak mengandung alga, dan konsentrasi klorofil maksimum 0,05 g/L.
Konsentrasi maksimum besi 0,3 mg/L, dan konsentrasi maksimum mangan 0,05 mg/L.
Hindari air baku yang mengandung logam berat.
Hindari air baku dengan kandungan pestisida dan herbisida kecuali digunakan karbon
aktif.
Hindari air baku dengan warna tinggi kecuali apabila digunakan pengolahan pendahuluan
ozone).
Tidak ada residu oksidan , misalnya chlorine yang digunakan sebelum saringan pasir
lambat. (Longsdon et al., 2002)
Karena terbatasnya kualitas air baku yang dapat diolah dengan menggunakan saringan
pasir lambat maka sampai saat ini telah banyak dilakukan beberapa studi dalam memodifikasi
proses dan pengolahan pendahuluan yang dapat digunakan, agar kualitas air yang dapat
dioalah dengan saringan pasir lambat menjadi lebih beragam. Namun yang terpenting dalam
menentukan modifikasi proses dan pengolahan pendahuluan yang akan digunakan adalah
tingkat kemudahannya. Jika tidak salah satu keuntungan slow sand filter karena kemudahan
dalam pengoperasiannya akan hilang (Longsdon et al., 2002 ).
W5-2

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat kehandalan unit saringan pasir lambat dalam
pengolahan air, baik dari segi tingkat keefektifan pengolahannya maupun kemudahan untuk
pengoperasian dan perawatan unit ini. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk melihat
faktor faktor pembatas dalam pengolahan dengan unit saringan pasir lambat, dan apa saja
yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan kelebihan dari unit ini.

METODOLOGI
Lokasi sampling
Sampling dilakukan pada empat buah instalasi saringan pasir lambat di Kota Bandung
dan Kabupaten Bandung, sebagai berikut :
Instalasi milik pribadi, Perumahan Margahayu
Instalasi ini sudah beroperasi sejak 8 tahun yang lalu, dan menggunakan air tanah sebagai
air bakunya. Instalasi ini digunakan untuk melayani kebutuhan rutin 10 orang, dengan
kebutuhan air sebesar 120 L/orang/hari. Unit saringan pasir ini memiliki diameter total
sebesar 115 cm, namun yang digunakan hanya 1/3 bagian dari dimensi total, dan memiliki
ketebalan pasir 50 cm, dengan ketinggian air di atas media pasir 50 cm. Berdasarkan hasil
pengukuran di lapangan maka diketahui debit air yang masuk ke dalam unit saringan pasir
lambat sebesar 0,045 m / jam. Untuk membantu pengolahan dengan saringan pasir lambat,
instalasi ini menggunakan pengolahan pendahuluan berupa aerator dan saringan pasir
cepat. Pengoperasian saringan pasir lambat ini dilakukan secara kontinu selama 24 jam,
dengan debit yang relatif konstan. Perawatan saringan pasir lambat ini dilakukan dengan
mengupas bagian atas media pasir 1 2 cm, secara rutin 2 3 bulan sekali.
Instalasi I Rumah Sakit Bina Sehat (RSBS I)
Instalasi yang berada di rumah sakit ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional
rumah sakit dengan total produksi 1000 L/hari. Instalasi ini sudah beroperasi sejak tahun
2004, dan menggunakan air tanah sebagai air baku. Pengolahan pendahuluan yang
digunakan adalah aerator dan saringan pasir cepat. Unit saringan pasir lambat di instalasi
ini memiliki diameter sebesar 95 cm, dengan ketebalan pasir 57 cm, dan ketinggian air di
atas media pasir sebesar 38 cm. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan maka diketahui
debit air yang masuk ke dalam unit saringan pasir lambat sebesar 0,48 m/jam. Sama
seperti halnya pada instalasi Margahayu, instalasi ini beroperasi secara kontinu selama 24
jam, namun ada perbedaan dalam segi perawatan, pada instalasi ini perawatan dilakukan
dengan menguras pasir dengan menggunakan air baku dan air setelah pengolahan
pendahuluan, dan tidak pernah dilakukan pengupasan pada media pasir.
Instalasi II Rumah Sakit Bina Sehat (RSBS II)
Sama seperti halnya dengan instalasi I RSBS, instalasi ini sudah beroperasi sejak 2004
dengan total produksi 3000 L/hari. Pengolahan pendahuluan, pengoperasian, dan
perawatan yang diterapkan juga sama halnya dengan instalasi I RSBS. Yang berbeda
adalah pada instalasi ini terdapat 2 unit saringan pasir lambat dengan diameter 60 cm,
dengan ketebalan pasir 40 cm, dan ketinggian air di atas media pasir sebesar 52 cm, selain
itu unit ini juga memiliki konstruksi yang paten dan konstruksi yang tidak memudahkan
untuk perawatan. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan maka diketahui debit air yang
masuk ke dalam unit saringan pasir lambat sebesar 0,085 m/jam
Instalasi Sabuga
Instalasi ini baru beroperasi kembali sejak 3 bulan yang lalu. Pengolahan pendahuluan
yang digunakan pada instalasi ini adalah tanki aliran rata rata (TAR), dan bak
pengendap. Unit saringan pasir pada instalasi ini memiliki dimensi sebesar 29 cm, dengan
ketebalan pasir sebesar 60 cm. Debit air yang masuk ke dalam unit saringan pasir lambat
sebesar 1 L / menit. Instalasi ini dioperasikan selama 12 jam dalam satu hari.
W5-3

Kondisi eksisting keempat instalasi di atas dapat terlihat pada Gambar 1 dengan titik
titik sampling terlihat pada Gambar 2.
2

(a)

(
(b)

(c)

(d)

Gambar 1.. Instalasi saringan pasir lambat pada (a) Margahayu (b) RSBS I (c) RSBS
II (d) Margahayu
3
1
Influent
(air baku)

Aerator

Saringan
Pasir
Cepat

Saringan
Pasir Lambat

Effluent
(air bersih)

(a)

Influent
(air baku)

TAR dan
Bak
Pengendap

1
Saringan
Pasir Lambat

Effluent
(air bersih)

(b)
Gambar 2. Titik titik sampling pada (a) Instalasi Margahayu, RSBS I, RSBS II (b) Instalasi
Sabuga.
Waktu Sampling
Sampling dimulai pada tanggal 27 April 2009 hingga 5 Agustus 2009. Pemilihan hari
dan jam sampling dilakukan secara random, dengan jarak
jarak waktu sampling minimal 2 hari.
Analisis Laboratorium
Seluruh analisis
nalisis laboratorium berdasarkan atas Standard Methods for the Examination
of Water and Waste Water 20th edition (SMEWW) dan SNI. Pemeriksaan laboratorium
mencakup pemeriksaan parameter berikut
be
ini :
Kekeruhan
Tingkat kekeruhan akan diperiksa dengan menggunakan turbidimeter (SMEWW
SMEWW-2130-B)
Besi
Total dan ion ferro Fe(II) akan diperiksa dengan menggunakan metode phenantroline
phenantrolinespectrofotometer (SMEWW-3500
3500-Fe-B). dan ferrover
Mangan
Total dan mangan terlarut akan diperiksa dengan menggunakan metode metode persulfatespectrofotometer (SMEWW3500
3500MnB) dan PAN.
W5-4

Nitrit
Senyawa nitrit akan diperiksa dengan menggunakan metode reaksi diazotasi (SMEWW4500-NO2_B).
Nitrat
Senyawa nitrat akan diperiksa dengan menggunakan metode brucin spectrofotometri
(SNI 06-2480 1991).
Kesadahan
Kesadahan total akan diperiksa dengan menggunakan metode titrasi kompleksometri
EDTA (SMEWW-2340-C).
Zat organik
Zat organik akan diperiksa dengan menggunakan metode titrasi permanganometri (SNI
06-2506 1991).
Total solid terlarut
Total solid terlarut akan diperiksa dengan menggunakan metode gravimetric (SMEWW2540-C).
Untuk menjaga agar kondisi sampel tetap tidak berubah selama perjalanan maka
sampel dimasukakn ke dalam cooler box, dan pengawetan yang digunakan adalah
penyimpanan sampel pada suhu 4C. Pemeriksaan parameter yang kondisinya cepat berubah
walaupun sudah disimpan pada suhu 4C akan didahulukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Beberapa hal yang sering dibahas dalam membahas kelebihan serta kehandalan
pengolahan dengan saringan pasir lambat diantaranya adalah berkaitan dengan sejauh mana
kehandalan saringan pasir lambat dalam pengolahan air bersih baik dari segi keefektifan
pengolahan maupun dari segi operasi dan pemeliharaan yang dilakukan. Hal ini sangat sesuai
dengan hasil pemeriksaan di laboratorium dan pengamatan di lapangan. Berdasarkan hasil
pemeriksaan di laboratorium diketahui bahwa saringan pasir lambat dapat mengurangi
konsentrasi partikel penyebab kekeruhan, besi, mangan, nitrit, nitrat, zat organik, kesadahan
total dan total padatan terlarut.
Kekeruhan
Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium diketahui bahwa saringan pasir lambat
dapat menghilangkan partikel partikel penyebab kekeruhan hingga mencapai efisiensi 84%
pada instalasi Margahayu, 92,7% pada Instalasi I RSBS, 92,5% pada instalasi II RSBS dan
67,8% pada instalasi sabuga. Kekeruhan disebabkan oleh adanya partikel tersuspensi dan
koloid seperti lumpur, senyawa organik dan anorganik dengan ukuran sangat halus, plankton,
dan mikroorganisme mikroskopik (SMEWW 20th edition, 1998). Oleh karena itu maka dapat
dikatakan bahwa saringan pasir lambat dapat mengurangi kandungan partikel tersuspensi dan
koloid pada air. Pada instalasi Margahayu, RSBS I, RSBS II, diketahui bahwa penyisihan
kekeruhan terjadi paling tinggi setelah pengolahan pendahuluan dengan aerator dan saringan
pasir cepat, sehingga air yang akan diolah dengan saringan pasir lambat sudah memiliki
kekeruhan yang cukup rendah (< 3NTU), oleh karena itu efisiensi penyisihan kekeruhan
dengan saringan pasir lambat pada ketiga instalasi ini sangat tinggi dan dihasilkan effluent
yang memiliki tingkat kekeruhan yang telah memenuhi baku mutu air minum KEPMENKES
RI No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002, seperti yang terlihat pada Gambar 3. Hal ini sudah
sesuai dengan rekomendasi dari Gary (2002), yang menyatakan bahwa air yang akan diolah
dengan saringan pasir lambat sebaiknya memiliki kekeruhan di bawah 3 NTU. Pada instalasi
Sabuga, air yang akan diolah dengan saringan pasir lambat belum memiliki kekeruhan < 3

W5-5

NTU, sehingga efisiensi penyisihan kekeruhan pada instalasi ini tidak sebesar ketiga instalasi
lainnya.
60
kekeruhan (NTU)

50
Instalasi Margahayu

40

Instalasi RSBS I
30

Instalasi RSBS II

20

Instalasi Sabuga

10

Baku mutu air bersih

Baku mutu air minum

-10

Air baku

Pengolahan pendahuluan

Effluent

Gambar 3. Penyisihan kekeruhan


Besi dan Mangan
Pada Instalasi Margahayu, Instalasi RSBS I, Instalasi RSBS II menggunakan air tanah
sebagai air baku, sedangkan pada instalasi Sabuga menggunakan air sungai ( air permukaan)
sebagai air baku. Menurut Vidyaningtyas (2007), pada air permukaan jarang ditemui kadar Fe
melebihi 1 mg/L dan memungkinkan terjadinya aerasi, sehingga Fe (II) teroksidasi menjadi
Fe(III) yang dapat membentuk senyawa Fe(OH)3 pada air yang merupakan zat padat dan
mudah mengendap, sedangkan pada air tanah kadar Fe dapat jauh lebih tinggi, oleh karena itu
air baku pada instalasi Margahayu, RSBS I, dan RSBS II memiliki kandungan besi yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan air baku pada instalasi Sabuga. Berdasarkan hasil
pengukuran di laboratorium, diketahui bahwa saringan pasir lambat dapat mengurangi
kandungan besi pada air baku dengan efisensi 91,5% pada Instalasi Margahayu, 76,7% pada
instalasi I RSBS, 71,8% pada instalasi II RSBS dan 64,8% pada instalasi Sabuga. Walaupun
konsentrasi besi pada air baku instalasiMargahayu sangat tinggi yaitu berkisar 6,5 mg/L,
namun tetap akan dihasilkan effluent yang memenuhi baku mutu untuk air minum
KEPMENKES RI No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002. Dengan demikian efisiensi
penyisihan besi tertinggi terjadi pada instalasi Margahayu, dengan efisiensi penyisihan dapat
mencapai 91,5%, dan penyisihan ini terjadi akibat adanya proses oksidasi Fe(II) menjadi
Fe(III) oleh kandungan bakteri pada media maupun oksigen terlarut pada air.
Kondisi yang hampir sama terjadi pada penyisihan mangan. Saringan pasir lambat
dapat menyisihkan kandungan mangan dengan efisiensi 92% pada Instalasi Margahayu,
51,5% pada Instalasi I RSBS, 43,6% pada Instalasi II RSBS, dan 90,6% pada Instalasi
Sabuga. Instalasi margahayu memiliki efisiensi penyisihan tertinggi sehingga akan dihasilkan
effluent yang memenuhi baku mutu air minum KEPMENKES RI No. 907 / MENKES / SK /
VII / 2002. Tidak adanya kandungan mangan pada air bersih hasil olahan instalasi margahayu
ini juga ditunjukkan oleh tidak ditemuinya noda kehitaman pada peralatan mencuci, mandi
dan peralatan memasak, karena menurut SMEWW 20th edition, 1998, air yang mengandung
mangan akan meninggalkan noda kehitaman pada pipa, tempat pencucian, dan peralatan
memasak. Penyisihan mangan ini juga terjadi akibat adanya proses oksidasi Mn(II) menjadi
Mn(IV) oleh bakteri maupun kandungan oksigen terlarut pada air.
Pada instalasi RSBS I dan RSBS II, tidak dapat dihasilkan effluent dengan kandungan
mangan yang memenuhi baku mutu air minum, namun sudah memenuhi baku mutu air bersih
KEPMENKES RI No.416/MENKES/Per/IX/1990, sedangkan pada instalasi Sabuga air yang
akan diolah dengan saringan pasir lambat memang sudah memiliki kandungan mangan yang
sudah memenuhi baku mutu air minum KEPMENKES RI No. 907 / MENKES / SK / VII /
2002. Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan proses penyisihan besi dan mangan pada
keempat instalasi.

W5-6

Besi (mg/L)

7
6

Instalasi Margahayu

Instalasi I RSBS

Instalasi II RSBS

Instalasi Sabuga
Baku mutu air minum

2
baku mutu air bersih
1
0
Air baku

Pengolahan
pendahuluan

Effluent

Mangan (mg/L)

Gambar 4. Penyisihan besi


5

Instalasi Margahayu

Instalasi RSBS I

Instalasi RSBS II

Instalasi Sabuga

Baku mutu air bersih

Baku mutu air minum


Air baku

Pengolahan
pendahuluan

Effluent

Gambar 5. Penyisihan mangan


Proses penyisihan besi dan mangan pada instalasi Margahayu, RSBS I, dan RSBS II
sangat dibantu oleh adanya pengolahan pendahuluan berupa aerator dan saringan pasir cepat.
Menurut Pacini 2005, penggunaan kedua pengolahan pendahuluan ini akan membantu proses
penyisihan besi dan mangan pada saringan pasir lambat. Proses aerasi akan membantu
terjadinya oksidasi Fe(II) dan Mn(II), sedangkan saringan pasir cepat berfungsi untuk
menyisihkan Fe(III) dan Mn(IV) yang memiliki sifat tidak larut dalam air.
Nitrit dan Nitrat
Dalam proses penyisihan nitrit terlihat adanya kecenderungan terjadi kenaikan setelah
pengolahan pendahuluan berupa aerator dan saringan pasir cepat, seperti yang terlihat pada
Gambar 6. Hal ini dikarenakan adanya oksidasi yang mengakibatkan terjadinya proses
nitrifikasi. Menurut Aslan (2008), saringan pasir lambat dapat mengurangi nitrat pada air
baku, walaupun akan terjadi kenaikan kandungan nitrit pada effluent. Proses penyisihan
nitrat ini dilakukan oleh mikroorganisme dengan mereduksi nitrat(NO3) menjadi nitrit(NO2),
dan membentuk nitric oxide (NO) kemudian nitrous oxide (N2O), dan gas nitrogen (N2).
Berdasarkan pemeriksaan di laboratorium, maka diketahui bahwa pada dasarnya saringan
pasir lambat dapat menyisihkan kandungan nitrat dan nitrit dalam air baku,dengan efisiensi
penyisihan nitrit pada instalasi Margahayu 44%, instlasi I RSBS 12%, instalasi II RSBS 80%,
dan instalasi sabuga 77%, namun untuk penyisihan nitrat hanya Instalasi I RSBS saja yang
menunjukkan penyisihan nitrat sebesar 69,3%, seperti yang terlihat pada Gambar 7. Proses
penyisihan ini juga sangat dipengaruhi oleh biomassa bakteri yang ada pada media, kondisi
ini bisa disebabkan oleh adanya bakteri nitrifikasi pada media pasir. Beberapa dari hasil
pemeriksaan sampel menunjukkan bahwa adakalanya terjadi peningkatan konsentrasi nitrit

W5-7

Nitrit (mg/L)

dan nitrat pada effluent yang telah diolah dengan saringan pasir lambat, namun effluent pada
keempat instalasi memiliki kandungan nitrat dan nitrit jauh dibawah standar baku mutu untuk
air minum KEPMENKES RI No. 907 / MENKES / SK / VII/ 2002, dan baku mutu untuk air
bersih KEPMENKES RI No.416/MENKES/Per/IX/1990. Didapatkannya hasil yang tidak
stabil dapat disebakan oleh konsentrasi nitrit dan nitrat yang sangat kecil sehingga
kemungkinan terjadinya kesalahan pada percobaan di laboratorium dalam penentuan
konsentrasi nitrit dan nitrat sangat besar.
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0

Instalasi Margahayu
Instalasi RSBS I
Instalasi II RSBS
Instalasi sabuga
Air baku

Pengolahan
pendahuluan

Effluent

Gambar 6. Penyisihan nitrit

Nitrat (mg/L)

0.8
0.6

Instalasi Margahayu

0.4
Instalasi RSBS I

0.2
0

Instalasi RSBS II
Air baku

Pengolahan
pendahuluan

Effluent

Gambar 7. Penyisihan nitrat


Zat Organik
Kandungan zat organik pada air baku dapat disisihkan dengan saringan pasir lambat,
walaupun dengan efisiensi yang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan hasil pemeriksaan di
laboatorium diketahui bahwa efisiensi penyisihan untuk zat organik dapat terjadi pada
instalasi Margahayu dan Sabuga, dan efisiensi tertinggi terjadi pada instalasi Margahayu
sebesar 23,5%, dan 23,10% pada instalasi Sabuga. Pada instalasi RSBS I dan RSBS II
terdapat kenaikan kandungan zat organik pada air effluentnya. Proses penyisihan zat organik
yang terjadi pada keempat instalasi dapat dilihat pada Gambar 8. Kenaikan zat organik pada
instalasi RSBS I dan RSBS II, terjadi karena unit saringan pasir lambat pada instalasi ini
tidak dilakukan perawatan secara rutin, dan mengakibatkan media sudah berada dalam
keadaan yang kotor dan jenuh akan kandungan zat organik. Seluruh air baku yang digunakan
pada keempat instalasi ini menunjukkan bahwa air baku yang digunakan memiliki kandungan
zat organik yang konsentrasinya jauh di bawah baku mutu untuk air minum KEPMENKES
RI No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002, dan baku mutu untuk air bersih KEPMENKES RI
No.416/MENKES/Per/IX/1990.

W5-8

Zat organik (mg/l)

6
5.5
Instlasi Margahayu

Instalasi RSBS I

4.5

Instalasi II RSBS

Instalasi Sabuga

3.5
3
Air baku

Pengolahan
pendahuluan

Effluent

Gambar 8. Penyisihan zat organik


Kesadahan Total
Kesadahan dalam air terutama disebebkan oleh ion ion Ca2+, dan Mg2+, juga oleh
Mn2+, Fe2+ dan semua kation yang bermuatan dua (Vidyaningyas, 2007). Berdasarkan hasil
pemeriksaan di laboratorium kesadahan dalam air baku dapat dikurangi dengan saringan pasir
lambat dengan efisiensi tertinggi terjadi pada instalasi Margahayu dengan efisiensi 4,75%,
2,52% pada Instalasi I RSBS, 3,35% pada instalasi II RSBS. Pengukuran kesadahan total ini
akan mengukur kandungan kesadahan total yang diakibatkan oleh ion Ca2+ dan Mg2+. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa saringan pasir lambat dapat mengurangi kandungan Ca2+
dan Mg2+ pada air baku. Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium diketahui bahwa
saringan pasir lambat yang ada pada ketiga instalasi yaitu instalasi Margahayu memiliki air
baku yang mengandung kesadahan total di atas 500 mg/L CaCO3, dan berada di atas baku
mutu air minum KEPMENKES RI No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002, dan baku mutu
untuk air bersih KEPMENKES RI No.416/MENKES/Per/IX/1990. Kondisi ini merupakan
indikasi bahwa tanah pada daereah margahayu ini memiliki kandungan kapur yang tinggi.
Walaupun penyisihan kesadahan dalam instalasi ini memiliki efisiensi tertinggi dibandingkan
kedua instalasi lainnya, tetap tidak dapat dihasilkan effluent yang mengandung kesadahan
total di bawah 500 mg/L CaCO3, dengan demikian tetap belum memenuhi baku mutu air
minum KEPMENKES RI No. 907 / MENKES / SK / VII / 2002, dan baku mutu untuk air
bersih KEPMENKES RI No.416/MENKES/Per/IX/1990. Proses penyisihan kesadahan total
pada ketiga instalasi ditunjukkan pada gambar 9.
Kesadahan Total
(mg/L)

700
650
600
550
500
450
400

Instalasi Margahayu
Instalasi RSBS I
Instalasi RSBS II
Baku mutu air bersih
Air baku

Pengolahan
pendahuluan

Effluent

Gambar 9. Penyisihan kesadahan total


Total dissolved solid
Berdasarkan hasil pemeriksaan konsentrasi total solid terlarut pada laboratorium
diketahui bahwa saringan pasir lambat dapat mengurangi kandungan total solid terlarut,
walaupun dengan efisiensi yang tidak terlalu tinggi. Penyisihan konsentrasi total solid
tersuspensi pada keempat instalasi saringan pasir lambat dapat dilihat pada Gambar 10. Unit
saringan pasir lambat yang dapat mengurangi kandungan total solid terlarut yang ada pada air
baku dengan efisiensi tertinggi mencapai 7.7% dan terjadi pada instalasi RSBS II, efisiensi

W5-9

Total solid terlarut


(mg/L)

pada Instalasi Margahayu adalah 5%, dan 2,8% pada Instalasi I RSBS. Hal ini bisa
disebabkan oleh kondisi air baku yang memang hanya memiliki kandungan total solid terlarut
kurang dari 1000 mg/L dan sudah
memenuhi baku mutu air bersih No.
416/MENKES/Per/IX/1990.
550
500
450
400
350
300

Instalasi Margahayu
Instalasi RSBS I
Instalasi II RSBS
Air baku

Pengolahan
pendahuluan

Effluent

Gambar 10. Penyisihan total solid terlarut


Operasi dan Pemeliharaan
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium untuk beberapa parameter diketahui
bahwa dalam mengaplikasikan unit saringan pasir lambat juga dibutuhkan pengolahan
pendahuluan, dan kelebihan dari pengolahan dengan unit ini adalah tidak sama sekali
digunakan pengolahan kimia sebagai pengolahan pendahuluan, sehingga dapat megurangi
biaya pengoperasian, dan hal inilah yang memang menjadi salah satu kelebihan dari instalasi
ini. Pengolahan pendahuluan yang digunakan, sangat ditentukan oleh keadaan dari air baku
yang digunakan, misalnya untuk instalasi yang menggunakan air baku dengan kandungan
besi dan mangan yang tinggi dibutuhkan upaya pengolahan pendahuluan berupa aerator dan
saringan pasir cepat. Kombinasi kedua pengolahan pendahuluan ini dapat menghilangkan
besi hingga mencapai 95% dan mangan sebesar 88% (Pacini et al.,2005). Pengolahan
pendahuluan dengan unit aerator dan mangan ini sudah diterapkan pada ketiga instalasi yaitu
Instalasi Margahayu, Instalasi I RSBS, dan Instalai II RSBS, sedangkan pada Instalasi
Sabuga, pengolahan pendahuluan yang digunakan adalah tanki aliran rata rata dan bak
pengendap. Apabila dibandingkan kedua macam pengolahan pendahulaun ini maka proses
oksidasi lebih akan optimal apabila menggunakan unit aerator, sehingga akan lebih banyak
Fe(II) dan Mn(II) yang teroksidasi, dengan begitu akan lebih banyak besi dan mangan yang
disisihkan. Pengolahan pendahuluan ini bertujuan untuk membuat air yang akan diolah
dengan saringan pasir lambat sudah memiliki kualitas yang baik, agar performa dari saringan
pasir lambat dapat lebih ditingkatkan.
Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa unit saringan pasir lambat
merupakan suatu teknologi yang sangat mudah untuk diterapkan, dan tidak dibutuhkan
operator dalam jumlah yang banyak, seperti yang terlihat pada keempat instalasi ini. Salah
satu hal yang penting dalam pengoperasian saringan pasir lambat adalah kecepatan filtrasi
(Q/A), berdasarkan pengukuran debit yang dilakukan pada saat sampling diketahui bahwa
kecepatan saringan pasir lambat pada instalasi Margahayu, instalasi RSBS I, instalasi RSBS
II , dan instalasi Sabuga masing masing adalah 0,11 m/jam, 0,635 m/jam, 0,299 m /jam, dan
0,095 m/jam. Bila dibandingkan dengan SNI 3981 : 2008, maka diketahui pengoperasian
saringan pasir lambat yang sudah sesuai pengoperasiannya dalam pengaturan debit adalah
Instalasi Margahayu dan Instalasi RSBS II, sedangkan untuk instalasi I RSBS dan Instalasi
Sabuga kecepatan filtrasi belum memenuhi rekomendasi dari SNI, sehingga harus dilakukan
pengaturan debit yang lebih kecil lagi. Menurut Longsdon (2002), kinerja dari saringan pasir
lambat akan sangat baik pada saat laju filtrasi konstan, sehingga laju filtrasi yang tiba tiba
meningkat harus dicegah. Pemberhentian dan pengoperasian saringan pasir lambat yang tidak

W5-10

terkontrol dengan baik dapat merusak kualitas fitrat. Sehingga saringan pasir lambat harus
selalu dioeprasikan 24 jam per hari. Pada Instalasi Margahayu, Instalasi I RSBS, dan Instalasi
II RSBS pengoperasian saringan pasir lambat ini sudah dilakukan secara konstan selama 24
jam dan untuk mencegah terjadinya fluktuasi debit maka digunakan bak penampung sesudah
pengolahan aerasi, hal ini bertujuan agar pengolahan tetap akan berjalan walaupun debit air
baku yang berupa air tanah dalam debit kecil, selain bak penampung pada permukaan air di
atas media juga digunakan pelampung, hal ini bertujuan sebagai pengatur debit agar debit
yang akan diolah dengan saringan pasir lambat relatif konstan.
Pada Instalasi Sabuga, air baku yang digunakan adalah air sungai sehingga akan tetap
tersedia dalam debit yang jauh lebih besar. Selain itu pada unit saringan pasir lambat ini juga
tidak dioperasikan selama 24 jam penuh, pengoperasian dari saringan pasir lambat ini hanya
dilakukan 12 jam dalam satu hari, dan hal ini tidak sesuai dengan apa yang direkomendasikan
oleh Longsdon, 2002. Kondisi inilah yang menyebabkan pada instalasi ini memiliki efisiensi
yang kecil dalam penyisihan besi, karena saringan pasir lambat yang memang didukung oleh
adanya bakteria yang dapat mengurangi besi dapat mengurangi besi sampai 95%.
Dalam mendesain saringan pasir lambat parameter yang penting adalah ketinggian
pasir, menurut SNI 3981 : 2008, ketebalan pasir berkisar 0,6 1m, dan ketinggian air di
atas media yang dianjurkan adalah 1 1,5 m. Untuk Instalasi Sabuga, didapatkan unit
saringan pasir lambat dengan metode kering sehingga tidak ada genangan air di atas
permukaan saringan pasir lambat. Pada ketiga instalasi yaitu Instalasi Margahayu, instalasi I
RSBS, dan instalasi II RSBS menggunakan unit saringan pasir dengan metode terendam
walaupun ketinggian air pada unit ini belum mencapai seperti yang direkomendasikan oleh
SNI 3981 : 2008.
Hal yang paling membedakan dari keempat instalasi ini adalah metode perawatan
yang digunakan. Pemeliharaan saringan pasir lambat merupakan salah satu parameter yang
sangat menentukan keefektifan pengolahan. Seperti yang terlihat pada instalasi pribadi milik
pribadi yang selalu dilakukan pemeliharaan dengan cara melakukan pengupasan lapisan pasir
bagian atas (scrapping) sebesar 1-2 cm secara berkala, yaitu berkisar 2 3 bulan sekali,
menunjukkan pengolahan yang efektif dalam penyisihan besi dan mangan pada khususnya
dimana proses biologi sangat memegang peranan penting. Sedangkan pada instalasi saringan
pasir lambat pada RS. Bina Sehat yang tidak pernah dilakukan pemeliharaan dengan cara
scrapping sejak 4 tahun terakhir menunjukkan tingkat pengolahan yang tidak seefektif
instalasi milik pribadi perumahan Margahayu, bahkan terkadang ditemui adanya peningkatan
konsentrasi zat organik pada air effluent. Pemeliharaan yang dilakukan pada instalasi I RSBS
dan instalasi II RSBS hanya dengan mencuci pasir dengan menggunakan air baku dan air
hasil olahan pengolahan pendahuluan, dan cara ini bukanlah merupakan metode
pemeliharaan yang direkomendasikan, sedangkan untuk saringan pasir lambat pada Instalasi
Sabuga belum pernah dilakukan pemeliharaan dengan metode scrapping karena
pengoperasianya baru berjalan tiga bulan. Konstruksi dari saringan pasir ini juga harus
mendukung agar dapat dilakukan pemeliharaan yang efektif, sebenarnya pada Instalasi
Margahayu, Instalasi I RSBS, dan Instalasi Sabuga memiliki konstruksi saringan pasir lambat
yang sangat memungkinkan untuk dilakukannya perawatan dengan cara scrapping,
sedangkan untuk Instalasi II RSBS konstruksinya sangat tidak memungkinkan untuk
dilakukan dengan cara scrapping karena konstruksinya yang bersifat paten.
Menurut SNI 3981 : 2008, bagi pasir media yang baru pertama kali dipasang dalam
bak saringan memerlukan masa operasi penyaringan awal, secara normal dan terus menerus
selama waktu kurang lebih tiga bulan. Tujuan operasi awal adalah untuk mematangkan media
pasir penyaring dan membentuk lapisan kulit saringan (schmutsdecke), yang kelak akan
berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses biokimia dan proses biologis. Selama proses
pematangan, kualitas filtrat atau air hasil olahan dari saringan pasir lambat, biasanya belum
W5-11

memenuhi persyaratan air minum. Hal inilah yang membuat saringan pasir lambat pada
Instalasi Sabuga belum terlalu efektif dalam mengurangi beberapa parameter seperti
kekeruhan dan besi, karena pada saat pemeriksaan efisiensi penyisihan, saringan pasir lambat
ini baru dioperasikan 2 bulan, dan pengoperasiannya juga tidak dilakukan 24 jam, hal inilah
yang memungkinkan belum optimalnya proses biokimia dan biologis dalam unit ini.
KESIMPULAN
Pengolahan air dengan saringan pasir lambat memiliki kehandalan dalam berbagai hal
yaitu keefektifan pengolahan dalam mengurangi beberapa parameter serta pengoperasian dan
perawatannya yang mudah dan murah. Beberapa parameter yang dapat disisihkan dengan
menggunakan unit ini antara lain kekeruhan dengan efisiensi penyisihan hingga 92,6%, besi
dengan efisiensi penyisihan sebesar 91,5%, mangan dengan efisiensi 93%, zat organik
dengan efisiensi penyisihan sebesar 23.5% ,total solid terlarut dengan efisiensi penyisihan
7.7%, dan kesadahan total dengan efisiensi penyisihan 4.7%, nitrit hinggan 80% dan nitrat
hingga 69%. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengoerasian saringan pasir lambat
agar mencapai pengolahan yang efektif adalah kecepatan filtrasi, kualitas air yang akan
diolah, dan kontinuitas dari pengoperasian. Perawatan secara berkala dengan metode
scrapping juga penting untuk dilakukan untuk tercapainya pengolaahan air yang efektif.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Bpk. Ir. Irman Djaya, M.Eng yang telah membantu dalam pelaksanaan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aslan, S., Cakici, H., 2007, Biological Denitrification of Drinking Water in a Slow Sand
Filter, Journal of Hazardous Materials 148, pages : 253 258
Badan Standardisasi Nasional. 2008, SNI 3981, Perencanaan Instalasi Saringan Pasir
Lambat.
Eighmy, T.T., Collins, M.R., Spanos, K., Fenstermachet, J., 1992, Microbial Populations and
Activities and Carbon Metabolism in Slow Sand Filter, Environmental Research 26,
pages : 1319 1328
Huismann, 1974, Slow Sand Filter, University of Technology, Netherlands.
Longsdon, G.S., Kohne, R., Abel, S., LaBonde, S., 2002, Slow Sand Filter for Small Water
Treatment Systems, J. Environ. Eng. Sci 1, pages : 339 348
Meidhitasari, Vidyaningtyas, 2007, Evaluasi dan Modifikasi Instalasi Pengolahan Air Minum
Miniplan dago Pakar, Tugas Akhir SI, Prodi Teknik Lingkungan , ITB
Pacini, V.A., Ingallinella, A.M., Sanguinetti, G. 2005. Removal of Iron and Manganese
Using Biological Roughing Up Flow Filtration Technology. Water Research, 39 :
4463 4475.
Taweel, E.G., Ali, G.H, 2000, Evaluation Of Roughing And Slow Sand Filters For Water
Treatment, Water, Air, and Soil Pollution, 120: 2128.

W5-12

Anda mungkin juga menyukai