Saringan Pasir Lambat
Saringan Pasir Lambat
PENDAHULUAN
Saringan pasir lambat adalah saringan yang menggunakan pasir sebagai media filter
dengan ukuran butiran sangat kecil, namun mempunyai kandungan kuarsa yang tinggi. Unit
ini sudah menjadi teknologi pengolahan air yang efektif lebih dari 150 tahun. Saringan pasir
W5-1
lambat ini dikenal di Inggris sebelum tahun 1830, dan pertama kalinya menjadi instalasi yang
sukses dalam pengolahan untuk air minum (Taweel dan Ali, 1999).
Saringan pasir lambat awalnya didesain dengan tebal media sebesar 1 m dan
kedalaman dari air supernatant sebesar 1 m. Effective size (ES) dari media pasir berkisar
antara 0,15 mm 0.35 mm, dan uniformity coefficient (UC) yang direkomendaikan adalah
kurang dari 5, namun sebaiknya kurang dari 3. Kecepatan filtrasi dari saringan pasir lambat
biasanya berkisar antara 0,1 0,3 m/jam (Longsdon et al., 2002). Sedangkan menurut SNI
2008, kecepatan filtrasi harus berada pada rentang 0,1 0,4 m/jam
Proses filtrasi yang terjadi pada saringan pasir lambat, terjadi dengan memisahkan air
dari kandungan kontaminan berupa partikel tersuspensi dan koloid, serta bakteri, dengan cara
melewatkan air pada suatu media berpori. Pada prinsipnya material ini dapat berupa material
apa saja, seperti lapisan granular pasir, batu yang dihancurkan, antrachite, kaca, sisa arang,
dll. Pada prakteknya di lapangan, media berpori yang paling sering digunakan adalah pasir,
karena pasir mudah ditemui dalam jumlah banyak, biaya yang murah, dan hasil pengolahan
yang diberikan juga sangat memuaskan (Longsdon et al., 2002). Secara keseluruhan
penyisihan kontaminan dengan proses filtrasi merupakan kombinasi dari beberapa proses
yang berbeda beda, dan yang terpenting adalah mechanical straining, sedimentasi, dan
adsorpsi, dan aktivitas biologi (Huisman, 1974).
Besi dan mangan dapat dihilangkan sampai 97% karena adanya biomassa bakteri
yang terdistribusi berdasarkan kedalaman media. Bakteri bakteri ini terdapat pada air baku,
dan dapat berkembang biak pada media pasir di bawah kondisi yang mendukung, bakteri
bakteri ini akan mngoksidasi ion bervalensi dua Fe(II) dan Mn(II) dan mempresipitasi ion
ion tersebut ke dalam bentuk ion teroksidasi yaitu Fe(III) dan Mn (IV) (Pacini et al, 2005).
Bakteri bakteri yang terdapat pada schumutzdecke yang berada pada permukaan atas
saringan, ataupun pada media pasir juga sangat potensial dalam mendukung pengurangan
konsentrasi zat organik melalui mekanisme bioadsorpsi, dan saringan pasir lambat tradisional
dapat mengurangi kandungan zat organic 15 19% (Eighmy et al, 1992).
Pengolahan dengan saringan pasir lambat pada umumnya tidak menggunakan bahan
kimai sebagai pengolahan pendahuluan, sehingga air baku yang digunakan haruslah dalam
kondisi yang sudah baik. Di bawah ini merupakan beberapa rekomendasi untuk air baku yang
akan diolah dengan saringan pasir lambat tanpa menggunakan pengolahan pendahuluan
berupa saringan pasir cepat :
Kekeruhan rendah, kurang dari 5 NTU
Tidak mengandung alga, dan konsentrasi klorofil maksimum 0,05 g/L.
Konsentrasi maksimum besi 0,3 mg/L, dan konsentrasi maksimum mangan 0,05 mg/L.
Hindari air baku yang mengandung logam berat.
Hindari air baku dengan kandungan pestisida dan herbisida kecuali digunakan karbon
aktif.
Hindari air baku dengan warna tinggi kecuali apabila digunakan pengolahan pendahuluan
ozone).
Tidak ada residu oksidan , misalnya chlorine yang digunakan sebelum saringan pasir
lambat. (Longsdon et al., 2002)
Karena terbatasnya kualitas air baku yang dapat diolah dengan menggunakan saringan
pasir lambat maka sampai saat ini telah banyak dilakukan beberapa studi dalam memodifikasi
proses dan pengolahan pendahuluan yang dapat digunakan, agar kualitas air yang dapat
dioalah dengan saringan pasir lambat menjadi lebih beragam. Namun yang terpenting dalam
menentukan modifikasi proses dan pengolahan pendahuluan yang akan digunakan adalah
tingkat kemudahannya. Jika tidak salah satu keuntungan slow sand filter karena kemudahan
dalam pengoperasiannya akan hilang (Longsdon et al., 2002 ).
W5-2
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat kehandalan unit saringan pasir lambat dalam
pengolahan air, baik dari segi tingkat keefektifan pengolahannya maupun kemudahan untuk
pengoperasian dan perawatan unit ini. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk melihat
faktor faktor pembatas dalam pengolahan dengan unit saringan pasir lambat, dan apa saja
yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan kelebihan dari unit ini.
METODOLOGI
Lokasi sampling
Sampling dilakukan pada empat buah instalasi saringan pasir lambat di Kota Bandung
dan Kabupaten Bandung, sebagai berikut :
Instalasi milik pribadi, Perumahan Margahayu
Instalasi ini sudah beroperasi sejak 8 tahun yang lalu, dan menggunakan air tanah sebagai
air bakunya. Instalasi ini digunakan untuk melayani kebutuhan rutin 10 orang, dengan
kebutuhan air sebesar 120 L/orang/hari. Unit saringan pasir ini memiliki diameter total
sebesar 115 cm, namun yang digunakan hanya 1/3 bagian dari dimensi total, dan memiliki
ketebalan pasir 50 cm, dengan ketinggian air di atas media pasir 50 cm. Berdasarkan hasil
pengukuran di lapangan maka diketahui debit air yang masuk ke dalam unit saringan pasir
lambat sebesar 0,045 m / jam. Untuk membantu pengolahan dengan saringan pasir lambat,
instalasi ini menggunakan pengolahan pendahuluan berupa aerator dan saringan pasir
cepat. Pengoperasian saringan pasir lambat ini dilakukan secara kontinu selama 24 jam,
dengan debit yang relatif konstan. Perawatan saringan pasir lambat ini dilakukan dengan
mengupas bagian atas media pasir 1 2 cm, secara rutin 2 3 bulan sekali.
Instalasi I Rumah Sakit Bina Sehat (RSBS I)
Instalasi yang berada di rumah sakit ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional
rumah sakit dengan total produksi 1000 L/hari. Instalasi ini sudah beroperasi sejak tahun
2004, dan menggunakan air tanah sebagai air baku. Pengolahan pendahuluan yang
digunakan adalah aerator dan saringan pasir cepat. Unit saringan pasir lambat di instalasi
ini memiliki diameter sebesar 95 cm, dengan ketebalan pasir 57 cm, dan ketinggian air di
atas media pasir sebesar 38 cm. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan maka diketahui
debit air yang masuk ke dalam unit saringan pasir lambat sebesar 0,48 m/jam. Sama
seperti halnya pada instalasi Margahayu, instalasi ini beroperasi secara kontinu selama 24
jam, namun ada perbedaan dalam segi perawatan, pada instalasi ini perawatan dilakukan
dengan menguras pasir dengan menggunakan air baku dan air setelah pengolahan
pendahuluan, dan tidak pernah dilakukan pengupasan pada media pasir.
Instalasi II Rumah Sakit Bina Sehat (RSBS II)
Sama seperti halnya dengan instalasi I RSBS, instalasi ini sudah beroperasi sejak 2004
dengan total produksi 3000 L/hari. Pengolahan pendahuluan, pengoperasian, dan
perawatan yang diterapkan juga sama halnya dengan instalasi I RSBS. Yang berbeda
adalah pada instalasi ini terdapat 2 unit saringan pasir lambat dengan diameter 60 cm,
dengan ketebalan pasir 40 cm, dan ketinggian air di atas media pasir sebesar 52 cm, selain
itu unit ini juga memiliki konstruksi yang paten dan konstruksi yang tidak memudahkan
untuk perawatan. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan maka diketahui debit air yang
masuk ke dalam unit saringan pasir lambat sebesar 0,085 m/jam
Instalasi Sabuga
Instalasi ini baru beroperasi kembali sejak 3 bulan yang lalu. Pengolahan pendahuluan
yang digunakan pada instalasi ini adalah tanki aliran rata rata (TAR), dan bak
pengendap. Unit saringan pasir pada instalasi ini memiliki dimensi sebesar 29 cm, dengan
ketebalan pasir sebesar 60 cm. Debit air yang masuk ke dalam unit saringan pasir lambat
sebesar 1 L / menit. Instalasi ini dioperasikan selama 12 jam dalam satu hari.
W5-3
Kondisi eksisting keempat instalasi di atas dapat terlihat pada Gambar 1 dengan titik
titik sampling terlihat pada Gambar 2.
2
(a)
(
(b)
(c)
(d)
Gambar 1.. Instalasi saringan pasir lambat pada (a) Margahayu (b) RSBS I (c) RSBS
II (d) Margahayu
3
1
Influent
(air baku)
Aerator
Saringan
Pasir
Cepat
Saringan
Pasir Lambat
Effluent
(air bersih)
(a)
Influent
(air baku)
TAR dan
Bak
Pengendap
1
Saringan
Pasir Lambat
Effluent
(air bersih)
(b)
Gambar 2. Titik titik sampling pada (a) Instalasi Margahayu, RSBS I, RSBS II (b) Instalasi
Sabuga.
Waktu Sampling
Sampling dimulai pada tanggal 27 April 2009 hingga 5 Agustus 2009. Pemilihan hari
dan jam sampling dilakukan secara random, dengan jarak
jarak waktu sampling minimal 2 hari.
Analisis Laboratorium
Seluruh analisis
nalisis laboratorium berdasarkan atas Standard Methods for the Examination
of Water and Waste Water 20th edition (SMEWW) dan SNI. Pemeriksaan laboratorium
mencakup pemeriksaan parameter berikut
be
ini :
Kekeruhan
Tingkat kekeruhan akan diperiksa dengan menggunakan turbidimeter (SMEWW
SMEWW-2130-B)
Besi
Total dan ion ferro Fe(II) akan diperiksa dengan menggunakan metode phenantroline
phenantrolinespectrofotometer (SMEWW-3500
3500-Fe-B). dan ferrover
Mangan
Total dan mangan terlarut akan diperiksa dengan menggunakan metode metode persulfatespectrofotometer (SMEWW3500
3500MnB) dan PAN.
W5-4
Nitrit
Senyawa nitrit akan diperiksa dengan menggunakan metode reaksi diazotasi (SMEWW4500-NO2_B).
Nitrat
Senyawa nitrat akan diperiksa dengan menggunakan metode brucin spectrofotometri
(SNI 06-2480 1991).
Kesadahan
Kesadahan total akan diperiksa dengan menggunakan metode titrasi kompleksometri
EDTA (SMEWW-2340-C).
Zat organik
Zat organik akan diperiksa dengan menggunakan metode titrasi permanganometri (SNI
06-2506 1991).
Total solid terlarut
Total solid terlarut akan diperiksa dengan menggunakan metode gravimetric (SMEWW2540-C).
Untuk menjaga agar kondisi sampel tetap tidak berubah selama perjalanan maka
sampel dimasukakn ke dalam cooler box, dan pengawetan yang digunakan adalah
penyimpanan sampel pada suhu 4C. Pemeriksaan parameter yang kondisinya cepat berubah
walaupun sudah disimpan pada suhu 4C akan didahulukan.
W5-5
NTU, sehingga efisiensi penyisihan kekeruhan pada instalasi ini tidak sebesar ketiga instalasi
lainnya.
60
kekeruhan (NTU)
50
Instalasi Margahayu
40
Instalasi RSBS I
30
Instalasi RSBS II
20
Instalasi Sabuga
10
-10
Air baku
Pengolahan pendahuluan
Effluent
W5-6
Besi (mg/L)
7
6
Instalasi Margahayu
Instalasi I RSBS
Instalasi II RSBS
Instalasi Sabuga
Baku mutu air minum
2
baku mutu air bersih
1
0
Air baku
Pengolahan
pendahuluan
Effluent
Mangan (mg/L)
Instalasi Margahayu
Instalasi RSBS I
Instalasi RSBS II
Instalasi Sabuga
Pengolahan
pendahuluan
Effluent
W5-7
Nitrit (mg/L)
dan nitrat pada effluent yang telah diolah dengan saringan pasir lambat, namun effluent pada
keempat instalasi memiliki kandungan nitrat dan nitrit jauh dibawah standar baku mutu untuk
air minum KEPMENKES RI No. 907 / MENKES / SK / VII/ 2002, dan baku mutu untuk air
bersih KEPMENKES RI No.416/MENKES/Per/IX/1990. Didapatkannya hasil yang tidak
stabil dapat disebakan oleh konsentrasi nitrit dan nitrat yang sangat kecil sehingga
kemungkinan terjadinya kesalahan pada percobaan di laboratorium dalam penentuan
konsentrasi nitrit dan nitrat sangat besar.
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
Instalasi Margahayu
Instalasi RSBS I
Instalasi II RSBS
Instalasi sabuga
Air baku
Pengolahan
pendahuluan
Effluent
Nitrat (mg/L)
0.8
0.6
Instalasi Margahayu
0.4
Instalasi RSBS I
0.2
0
Instalasi RSBS II
Air baku
Pengolahan
pendahuluan
Effluent
W5-8
6
5.5
Instlasi Margahayu
Instalasi RSBS I
4.5
Instalasi II RSBS
Instalasi Sabuga
3.5
3
Air baku
Pengolahan
pendahuluan
Effluent
700
650
600
550
500
450
400
Instalasi Margahayu
Instalasi RSBS I
Instalasi RSBS II
Baku mutu air bersih
Air baku
Pengolahan
pendahuluan
Effluent
W5-9
pada Instalasi Margahayu adalah 5%, dan 2,8% pada Instalasi I RSBS. Hal ini bisa
disebabkan oleh kondisi air baku yang memang hanya memiliki kandungan total solid terlarut
kurang dari 1000 mg/L dan sudah
memenuhi baku mutu air bersih No.
416/MENKES/Per/IX/1990.
550
500
450
400
350
300
Instalasi Margahayu
Instalasi RSBS I
Instalasi II RSBS
Air baku
Pengolahan
pendahuluan
Effluent
W5-10
terkontrol dengan baik dapat merusak kualitas fitrat. Sehingga saringan pasir lambat harus
selalu dioeprasikan 24 jam per hari. Pada Instalasi Margahayu, Instalasi I RSBS, dan Instalasi
II RSBS pengoperasian saringan pasir lambat ini sudah dilakukan secara konstan selama 24
jam dan untuk mencegah terjadinya fluktuasi debit maka digunakan bak penampung sesudah
pengolahan aerasi, hal ini bertujuan agar pengolahan tetap akan berjalan walaupun debit air
baku yang berupa air tanah dalam debit kecil, selain bak penampung pada permukaan air di
atas media juga digunakan pelampung, hal ini bertujuan sebagai pengatur debit agar debit
yang akan diolah dengan saringan pasir lambat relatif konstan.
Pada Instalasi Sabuga, air baku yang digunakan adalah air sungai sehingga akan tetap
tersedia dalam debit yang jauh lebih besar. Selain itu pada unit saringan pasir lambat ini juga
tidak dioperasikan selama 24 jam penuh, pengoperasian dari saringan pasir lambat ini hanya
dilakukan 12 jam dalam satu hari, dan hal ini tidak sesuai dengan apa yang direkomendasikan
oleh Longsdon, 2002. Kondisi inilah yang menyebabkan pada instalasi ini memiliki efisiensi
yang kecil dalam penyisihan besi, karena saringan pasir lambat yang memang didukung oleh
adanya bakteria yang dapat mengurangi besi dapat mengurangi besi sampai 95%.
Dalam mendesain saringan pasir lambat parameter yang penting adalah ketinggian
pasir, menurut SNI 3981 : 2008, ketebalan pasir berkisar 0,6 1m, dan ketinggian air di
atas media yang dianjurkan adalah 1 1,5 m. Untuk Instalasi Sabuga, didapatkan unit
saringan pasir lambat dengan metode kering sehingga tidak ada genangan air di atas
permukaan saringan pasir lambat. Pada ketiga instalasi yaitu Instalasi Margahayu, instalasi I
RSBS, dan instalasi II RSBS menggunakan unit saringan pasir dengan metode terendam
walaupun ketinggian air pada unit ini belum mencapai seperti yang direkomendasikan oleh
SNI 3981 : 2008.
Hal yang paling membedakan dari keempat instalasi ini adalah metode perawatan
yang digunakan. Pemeliharaan saringan pasir lambat merupakan salah satu parameter yang
sangat menentukan keefektifan pengolahan. Seperti yang terlihat pada instalasi pribadi milik
pribadi yang selalu dilakukan pemeliharaan dengan cara melakukan pengupasan lapisan pasir
bagian atas (scrapping) sebesar 1-2 cm secara berkala, yaitu berkisar 2 3 bulan sekali,
menunjukkan pengolahan yang efektif dalam penyisihan besi dan mangan pada khususnya
dimana proses biologi sangat memegang peranan penting. Sedangkan pada instalasi saringan
pasir lambat pada RS. Bina Sehat yang tidak pernah dilakukan pemeliharaan dengan cara
scrapping sejak 4 tahun terakhir menunjukkan tingkat pengolahan yang tidak seefektif
instalasi milik pribadi perumahan Margahayu, bahkan terkadang ditemui adanya peningkatan
konsentrasi zat organik pada air effluent. Pemeliharaan yang dilakukan pada instalasi I RSBS
dan instalasi II RSBS hanya dengan mencuci pasir dengan menggunakan air baku dan air
hasil olahan pengolahan pendahuluan, dan cara ini bukanlah merupakan metode
pemeliharaan yang direkomendasikan, sedangkan untuk saringan pasir lambat pada Instalasi
Sabuga belum pernah dilakukan pemeliharaan dengan metode scrapping karena
pengoperasianya baru berjalan tiga bulan. Konstruksi dari saringan pasir ini juga harus
mendukung agar dapat dilakukan pemeliharaan yang efektif, sebenarnya pada Instalasi
Margahayu, Instalasi I RSBS, dan Instalasi Sabuga memiliki konstruksi saringan pasir lambat
yang sangat memungkinkan untuk dilakukannya perawatan dengan cara scrapping,
sedangkan untuk Instalasi II RSBS konstruksinya sangat tidak memungkinkan untuk
dilakukan dengan cara scrapping karena konstruksinya yang bersifat paten.
Menurut SNI 3981 : 2008, bagi pasir media yang baru pertama kali dipasang dalam
bak saringan memerlukan masa operasi penyaringan awal, secara normal dan terus menerus
selama waktu kurang lebih tiga bulan. Tujuan operasi awal adalah untuk mematangkan media
pasir penyaring dan membentuk lapisan kulit saringan (schmutsdecke), yang kelak akan
berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses biokimia dan proses biologis. Selama proses
pematangan, kualitas filtrat atau air hasil olahan dari saringan pasir lambat, biasanya belum
W5-11
memenuhi persyaratan air minum. Hal inilah yang membuat saringan pasir lambat pada
Instalasi Sabuga belum terlalu efektif dalam mengurangi beberapa parameter seperti
kekeruhan dan besi, karena pada saat pemeriksaan efisiensi penyisihan, saringan pasir lambat
ini baru dioperasikan 2 bulan, dan pengoperasiannya juga tidak dilakukan 24 jam, hal inilah
yang memungkinkan belum optimalnya proses biokimia dan biologis dalam unit ini.
KESIMPULAN
Pengolahan air dengan saringan pasir lambat memiliki kehandalan dalam berbagai hal
yaitu keefektifan pengolahan dalam mengurangi beberapa parameter serta pengoperasian dan
perawatannya yang mudah dan murah. Beberapa parameter yang dapat disisihkan dengan
menggunakan unit ini antara lain kekeruhan dengan efisiensi penyisihan hingga 92,6%, besi
dengan efisiensi penyisihan sebesar 91,5%, mangan dengan efisiensi 93%, zat organik
dengan efisiensi penyisihan sebesar 23.5% ,total solid terlarut dengan efisiensi penyisihan
7.7%, dan kesadahan total dengan efisiensi penyisihan 4.7%, nitrit hinggan 80% dan nitrat
hingga 69%. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengoerasian saringan pasir lambat
agar mencapai pengolahan yang efektif adalah kecepatan filtrasi, kualitas air yang akan
diolah, dan kontinuitas dari pengoperasian. Perawatan secara berkala dengan metode
scrapping juga penting untuk dilakukan untuk tercapainya pengolaahan air yang efektif.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Bpk. Ir. Irman Djaya, M.Eng yang telah membantu dalam pelaksanaan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aslan, S., Cakici, H., 2007, Biological Denitrification of Drinking Water in a Slow Sand
Filter, Journal of Hazardous Materials 148, pages : 253 258
Badan Standardisasi Nasional. 2008, SNI 3981, Perencanaan Instalasi Saringan Pasir
Lambat.
Eighmy, T.T., Collins, M.R., Spanos, K., Fenstermachet, J., 1992, Microbial Populations and
Activities and Carbon Metabolism in Slow Sand Filter, Environmental Research 26,
pages : 1319 1328
Huismann, 1974, Slow Sand Filter, University of Technology, Netherlands.
Longsdon, G.S., Kohne, R., Abel, S., LaBonde, S., 2002, Slow Sand Filter for Small Water
Treatment Systems, J. Environ. Eng. Sci 1, pages : 339 348
Meidhitasari, Vidyaningtyas, 2007, Evaluasi dan Modifikasi Instalasi Pengolahan Air Minum
Miniplan dago Pakar, Tugas Akhir SI, Prodi Teknik Lingkungan , ITB
Pacini, V.A., Ingallinella, A.M., Sanguinetti, G. 2005. Removal of Iron and Manganese
Using Biological Roughing Up Flow Filtration Technology. Water Research, 39 :
4463 4475.
Taweel, E.G., Ali, G.H, 2000, Evaluation Of Roughing And Slow Sand Filters For Water
Treatment, Water, Air, and Soil Pollution, 120: 2128.
W5-12