Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

TINJAUAN TEORI
2.1

Definisi DHF
DHF merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue

(Arbovirus) yang masuk dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.
(Suriadi, 2000).
DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) merupakan infeksi akut yang disebabkan
oleh Abrovirus (arthropodborne virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
(Aedes albopictus dan Aedes aegypti). (Ngastiyah, 1997).
DHF atau yang di sebut Demam berdarah dengue, adalah penyakit demam
akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan dan bertendensi mengakibatkan
renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer, 2000).
Dengue hemoragic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan
dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang disertai leukopenia,
dengan / tanpa ruam (rash) dan limfadenopati. Thrombocytopenia ringan dan bintikbintik perdarahan (Noer Syaifullah, 2000).
Berdasarkan beberapa definisi menurut para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa DHF merupakan suatu infeksi virus dengue yang menginvasi tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan bermanifestasi demam tinggi, nyeri otot
dan sendi, trombositopeni, dengan atau tanpa ruam, mampu mengakibatkan renjatan
dan kematian.
2.2

Etiologi DHF
Penyebab DHF atau DBD adalah virus dengue (Arbovirus) yang ditularkan

melalui vector yaitu nyamuk aedes. Di Indonesia, virus dengue tersebut telah diisolsi
menjadi 4 serotype antara lain DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Dan dilaporkan
bahwa penyebab terbanyak adalah virus dengue serotype DEN-2 dan DEN-3.

Infeksi oleh salah satu serotipe menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap
serotipe bersangkutan, tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.
(Mansjoer, 2000).
Hipotesis The secondary heterologous infections yang dikemukakan oleh
Halstead pada tahun 1973, mengatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi
ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi.
2.3

Patofisiologi
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terjadi

viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa penyebab yang jelas disertai
gejala lain seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, pegal di seluruh tubuh,
nafsu makan berkurang dan sakit perut, bintik-bintik merah pada kulit.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis
kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T
sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti
TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang
mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel. Kelainan yang terjadi pada sistem
retikulo endotel atau seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan
limpa. Pelepasan zat anafilaktoksin C3a dan C5a, histamin dan serotonin serta
aktivitas dari sistem kalikrein menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
kapiler/vaskuler sehingga cairan dari intravaskuler keluar ke ekstravaskuler atau
terjadinya perembesan plasma akibatnya terjadi pengurangan volume plasma yang
terjadi hipovolemia, penurunan tekanan darah, hemokonsentrasi, hipoproteinemia,
efusi dan renjatan. Selain itu sistem reikulo endotel bisa terganggu sehingga
menyebabkan reaksi antigen anti body yang akhirnya bisa menyebabkan
Anaphylaxia.

Akibat lain dari virus dengue dalam peredaran darah akan menyebabkan
depresi sumsum tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit sehingga
akan terjadi trombositopenia yang berlanjut akan menyebabkan perdarahan karena
gangguan trombosit dan kelainan koagulasi dan akhirnya sampai pada perdarahan
kelenjar adrenalin.
Plasma merembas sejak permulaan demam dan mencapai puncaknya saat
renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai
30% atau lebih. Bila renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma
yang tidak dengan segera diatasi maka akan terjadi anoksia jaringan, asidosis
metabolik dan kematian. Terjadinya renjatan ini biasanya pada hari ke-3 dan ke-7.
Reaksi lainnya yaitu terjadi perdarahan yang diakibatkan adanya gangguan
pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskuler, trombositopenia (trombosit <
100.000/mm3), menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi
(protrombin, faktor V, IX, X dan fibrinogen). Pembekuan yang meluas pada
intravaskuler (DIC) juga bisa terjadi saat renjatan. Perdarahan yang terjadi seperti
petekie, ekimosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, sampai perdarahan hebat pada
traktus gastrointestinal
2.4

Manifestasi Klinis
Kasus DHF di tandai oleh manifestasi klinis, yaitu : demam tinggi dan

mendadak yang dapat mencapa 40 C atau lebih dan terkadang di sertai dengan kejang
demam, sakit kepala, anoreksia, muntah-muntah (vomiting), epigastric, discomfort,
nyeri perut kana atas atau seluruh bagian perut; dan perdarahan, terutama perdarahan
kulit,walaupun hanya berupa uji tuorniquet poistif. Selain itu, perdarahan kulit dapat
terwujud memar atau dapat juga dapat berupa perdarahan spontan mulai dari ptechiae
(muncul pada hari-hari pertama demam dan berlangsung selama 3-6 hari) pada
extremitas, tubuh, dan muka, sampai epistaksis dan perdarahan gusi. Sementara
perdarahan gastrointestinal masif lebih jarang terjadi dan biasanya hanya terjadi pada
kasus dengan syok yang berkepanjangan atau setelah syok yang tidak dapat teratasi.
Perdarahan lain seperti perdarahan sub konjungtiva terkadang juga di temukan. Pada

masa konvalisen sering kali di temukan eritema pada telapak tangan dan kaki dan
hepatomegali. Hepatomegali pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit
dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan beratanya penyakit. Nyeri tekan
seringkali di temukan tanpa ikterus maupun kegagalan peredaran darah (circulatory
failure) (Nursalam, 2005).
Tanda dan gejala yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF, dengan
masa inkubasi antara 13-15 hari menurut WHO (1975) sebagai berikut :
1.

Demam tinggi mendadak dan terus menerus 2-7 hari

2.

Manifestasi perdarahan, paling tidak terdapat uji tourniquet positif, seperti

perdarahan pada kulit (petechiae, echimosis, purpura, Epistaksis, Hematemesis,


Hematuri, dan melena)
3.

Pembesaran hati (sudah dapat diraba sejak permulaan sakit)

4.

Syok yang ditandai dengan nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi menurun

(< 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau
kurang dan diastolik 20 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan
lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita gelisah timbul sianosis
disekitar mulut.
Selain timbul demam, perdarahan yang merupakan ciri khas DHF gambaran
klinis lain yang tidak khas dan biasa dijumpai pada penderita DHF adalah:
a.

Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.

b.

Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare, konstipasi

c.

Keluhan sistem tubuh yang lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot,

tulang dan sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada saluran tubuh
dll.
d.

Temuan-temuan laboratorium yang mendukung adalah thrombocytopenia

(kurang atau sama dengan 100.000 mm3) dan hemokonsentrasi (peningkatan


hematokrit lebih atau sama dengan 20 %)
2.5

Klasifikasi Derajat

Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitanya


dengan pengelolaan dan prognosis, WHO (1975) membagi DBD dalam 4 derajat
setelah kriteria laboratorik terpenuhi yaitu :
1)

Derajat I
Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas, dan hanya terdapat
manifestasi perdarahan pada uji tourniquet positif.

2)

Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau perdarahan lain.

3)

Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
darah rendah, gelisah, sianosis mulut, hidung dan ujung jari.

4)

Derajat IV
Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi.
2.6

Pathway DHF

2.7

Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan yang dilakukan antara lain :

1)

Pemeriksaan uji Tourniquet/Rumple leed


Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita

DHF. Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk mendeteksi
kelainan sistem vaskuler dan trombosit. Dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10
ptechiae dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian depan termasuk lipatan siku
(Depkes,2006).

Prinsip : Bila dinding kapiler rusak maka dengan pembendungan akan tampak
sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit yang disebut Ptechiae (R.Ganda
Soebrata,2004).
2)

Pemeriksaan Hemoglobin
Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan terjadi

kebocoran /perembesan pembuluh darah sehingga cairan plasmanya akan keluar dan
menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi. Kenaikan kadar hemoglobin >14 gr/100
ml.
Pemeriksaan kadar hemaglobin dapat dilakukan dengan metode sahli dan fotoelektrik
(cianmeth hemoglobin), metode yang dilakukan adalah metode fotoelektrik.
Prinsip : Metode fotoelektrik (cianmeth hemoglobin) Hemoglobin darah
diubah menjadi cianmeth hemoglobin dalam larutan yang berisi kalium ferrisianida
dan kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm/filter
hijau (R.GandaSoebrata,2004).
3)

Pemeriksaan Hematokrit

Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi, yang


merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Nilai peningkatan ini lebih dari
20%. Pemeriksaan kadar hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro dan
mikro. Prinsip : Mikrometode yaitu menghitung volume semua eritrosit dalam 100
ml darah dan disebut dengan % dari volume darah itu (R.Ganda Soebrata,2004).
4)

Pemeriksaan Trombosit

Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien didiagnosa
sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu dilakukan pengulangan sampai
terbukti bahwa jumlah trombosit tersebut normal atau menurun. Penurunan jumlah
trombosit < 100.000 /l atau kurang dari 1-2 trombosit/ lapang pandang dengan ratarata pemeriksaan 10 lapang pandang pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan
semua sel kecuali sel trombosit) dimaksudkan dalam bilik hitung dan dihitung dengan
menggunakan faktor konversi jumlah trombosit per /l darah (R.Ganda
Soebrata,2004).

5)

Pemeriksaan Lekosit

Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis ringan sampai
lekopenia ringan.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan
semua sel kecuali sel lekosit) dimasukkan bilik hitung dengan menggunakan faktor
konversi jumlah lekosit per /l darah (R.Ganda Soebrata,2004).
6)

Pemeriksaan Bleding time (BT)

Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih memanjang menutup
kebocoran dinding pembuluh darah tersebut, sehingga jumlah trombosit dalam darah
berkurang. Berkurangnya jumlah trombosit dalam darah akan menyebabkan
terjadinya gangguan hemostatis sehingga waktu perdarahan dan pembekuan menjadi
memanjang.
Prinsip : Waktu perdarahan adalah waktu dimana terjadinya perdarahan
setelah dilakukan penusukan pada kulit cuping telinga dan berhentinya perdarahan
tersebut secara spontan. (R.Ganda Soebrata,2004).
7)

Pemeriksaan Clothing time (CT )

Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya gangguan hemostatis.


Prinsip : Sejumlah darah tertentu segera setelah diambil diukur waktunya
mulai dari keluarnya darah sampai membeku. (R.Ganda Soebrata,2004).
8)

Pemeriksaan Serologis (IgG dan IgM)


Bila IgG dan IgM dua-duanya positif maka disimpulkan bahwa infeksi sedang

berada pada tahap manifest, yaitu sudah terjadi infeksi namun waktunya belum terlalu
lama. Untuk itu, bila IgG dan IgM positif, maka perlu dilakukan pemeriksaan aviditas
IgG anti toksoplasmosis. Bila nilai aviditas IgG rendah, hal ini menunjukkan infeksi
baru saja terjadi. Namun, bila nilai aviditas IgG tinggi, menunjukkan infeksi sudah
lama terjadi.

Anda mungkin juga menyukai