Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

DENGAN HIV/AIDS
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 3
1. Fitri Sepriani

9. Saril Simarmata

2. Heny Laia

10. Sri Nasrani

3. Imelda Siburian

11. Sri Waty

4. Ika Sarma

12. Srinta Decy

5. Rut Marlia

13. Stefani Priscilla

6. Sanriwifa Sitinjak

14. Sulistyowati Gulo

7. Santa Santi

15. Timo Rauli

8. Sofia Lorain

16.

17.
18. Dosen: Adventina Hutapea, S.Kep.,Ns
19.

20.
21. PROGRAM STUDI DI NERS TAHAP AKADEMIK
22. STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
23. 2015
24. BAB I
25. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
26.

Acquired immune deficiency syndrome adalah suatu kumpulan gejala penyakit

kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan
yang disebabkan oleh human immunodefiency virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi
masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah
pasien dan semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau
obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia. (Widoyono,
2011)
27.

Sejarah tentang HIV/AIDS di mulai ketika tahun 1979 di amerika serikat di


temukan seorang gay muda dengan pneumocystis carinii dan dua orang gay muda
dengan sarcoma kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan
kerusakan sistem kekebalan tubuh. Pada tahun 1980 WHO mengadakan pertemuan
yang pertama tentang AIDS. Penelitian mengenai AIDS telah di laksanakan secara
intensif, dan informasi mengenai AIDS sudah menyebar dan bertambah dengan cepat.
Selain berdampak negatif pada bidang medis, AIDS juga berdampak negatif pada
bidang lainnya seperti ekonomi, politik, etika, dan moral (Widoyono,2011).

28.

Meskipun telah di capai berbagai kemajuan di bidang kedokteran dan farmasi,

serta telah dilakukan berbagai upaya pencegahan primer maupun sekunder, tetapi angka
kesakitan dan kematiannya tetap tinggi. Menurut WHO, sehingga Desember 2000, di
lapaorkan 58 juta jiwa penduduk dunia terinfeksi HIV, dalam kurun waktu tersebut 22 juta
jiwa meniggal atau 7.000 HIV masih tetap saja berlangsung sehingga kini, 16.000 jiwa
terinfeksi baru setiap harinya. (Nasronudin 2007).
29.

Berbagai faktor ikut berpangaruh dalam peningkatan angka kesakitan dan

kematian HIV & AIDS, yaitu faktor eksternal dan internal. Tidak tertutup kemungkinan
tingginya tingkat keseriusan dan kematian penderita HIV/AIDS juga akibat penatalaksanaan
penderita yang optimal. Selama ini penatalaksanaan hanya dikonsentrasi pada terapi umum
dan terapi khusus dengan mengandalkan Antiretroviral Therapy (ART). Pengaruh radikal
bebas dan proteksi mitokondria hingga kini belum mendapatkan perhatian secara serius.
Padahal pada tubuh penderita HIV & AIDS terdapat peningkatan Reactive Oxygen Species
( ROS) yang potensial mendorong terjadinya progresitivitas ke arah tingkat penyakit yang
lebih berat. (Nasronudin 2007).
30.

Untuk itu selain pemberian ART dengan Highly Active Antiretroviral Therapy

(HAART), dukungan nutrisi berlandaskan konsep imunonutrien perlu di perhatikan di dalam


penatalaksaan penderita HIV/AIDS. Penentuan stadium klinis WHO (2002) maupun
klasifikasi CDC (1993) sangat penting untuk menjadi landasan pemberian Antiretroviral
Therapy ( ART) (Nasronudin 2007).
31.

Di indonesia HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada April 1987 ( terjadi

pada orang Belanda). Pada tahun 1999 terdapat 635 kasus HIV dan 183 kasus baru AIDS .
Mulai tahun 2000-2005 terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS secara signifikan di
Indonesia. Kasus AIDS tahun 2000 tercatat 255 orang, meningkat menjadi 316 orang pada
tahun 2003, dan meningkat cepat menjadi 2638 orang pada tahun 2005. Dari data tersebut,
DKI Jakarta memiliki jumlah penderita terbesar, di ikuti oleh Jawa Timur, Papua, Jawa Barat,
dan Bali. Peningkatan ini terutama di sebabkan oleh semakin bertambahnya sarana pelayanan
diagnostik kasus dengan klinik voluntary counselling and testing (VCT).
32.

Di bandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, angka kasus

HIV/AIDS di indonesia termasuk rendah. Alasan yang paling mungkin adalah lemahnya
sistem pencatatan dan pelaporan, terbatasnya peralatan laboratorium penunjang, dan
rendahnya kemampuan diagnosis (Widoyono,2011).

33.
1.2.

Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
34. Agar mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan klien dengan
HIV/AIDS
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar medik asuhan keperawatan
HIV/AIDS
2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar keperawatan asuhan
keperawatan HIV/AIDS

35.
36. BAB II
37. TINJAUAN TEORITIS
38. 2.2. Konsep Medis
39. 2.2.1. Defenisi
40.

Acquired immune deficiency syndrome adalah suatu kumpulan gejala penyakit

kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan
yang disebabkan oleh human immunodefiency virus (HIV) (Widoyono, 2011).
41. 2.2.2. Klasifikasi
42. Departemen kesehatan pada tahun 2007 menyatakan stadium klinis HIV bagi orang
dewasa terbagi 4 kategori dan skala fungsional ,yaitu:
1. Stadium klinis 1
a. Asimtomatik
b. Limfadenitis generalisata
43. Skala fungsional 1: Asimtomatik, Antivitas normal.
2. Stadium klinis 2
a. Berat badan berkurang <10%
b. Manifestasi mukokutaneus ringan
c. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
d. Infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang
44. Skala fungsiona 2: Asimtomatik, Antivitas normal.

3. Stadium klinis 3
a. Berat badan berkurang <10%
b. Diare kroonis tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
c. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
d. Kondidiasi oral (thrush)
e. Oral hairy leucoplakia (OHL)
f. TB Paru
g. Infeksi bakterial berat
45. Skala fungsiona 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring.
4. Stadium klinis 4 (Kriteria WHO: Klinis AIDS)
a. HIV wasting syndrome
b. Pneumonia pleumocystic carinii
c. Toxoplasmosis otak
d. Diare karena kriptosporidiosis <1 bulan
e. Kritokokosis ekstraparu
f. Penyakit sitomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
46.

getah bening
Infeksi virus herpes simplex di mukokutaneus <1 bulan
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Mikosis endemik yang menyebar
Kondisiasis esophagus, trakea, bronki
Mikobakteriosis atipik
Septikemia salmonela non-tipoid
Tuberkolosis ekstraparu
Limfoma
Sarkoma
Ensefalopati HIV
Skala fungsional 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring. (Widoyono, 2011)

47. 2.2.3. Etiologi


48.

HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III)
atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili
lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam lentivirus
sitopolik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.

49.

Pada tahun 1983, ilmuwan perancis montagnier(institute Pasteur, paris)


mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV.
Oleh sebab itu virus disebut dinamakan lymphadenopathy associated virus (LAV).
Pada tahun 1984 Gallo(National Institute of Health, USA) menemukan virus human T
lymphotropic virus (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS.

50.

Pada tahun 1986 di afrika ditemukan beberapa - HIV, yaitu HIV-1


yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang di temukan di Afrika Barat. Virus
HVI termasuk subfamily lentivirinae dari famili Retroviridae.

51.

Asam nukleat dari famili retrovirus adalah RNA yang mampu membantuk
DNA dan RNA. Enzim transcriptase reversi menggunakan RNA virus sebagai cetakan
untuk membantuk DNA. DNA ini bergabung pada kromosom induk (sel limfosit T4
sel mikrofag) yang berfungsi sebagai penggoda virus HIV.

52.

Secara sederhana sel HIV terdiri dari :

1. Inti-RNA dan enzim transkriptase reversi (polimerase), protease, dan integrase.


2. Kapsid-antigen p24.
3. Sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp14).
53.

Waktu paruh virus (virion half-life) berlangsung cepat. Sebagai besar virus

akan mati, tetapi karena mulai infeksi, replikasi virus berjalan sangat cepat dan terusmenerus. Dalam sehari sekitar 10 miliar virus dapat diproduksi. Replikasi inilah yang
menyebabkan kerusakan system kekebalan tebuh. Tingginya jumlah virus dalam darah
ditunjukkan dengan angka viral load, sedangkan tinggat kerusakan sustem kekebalan tubuh
ditunjukkan dengan angka CD4. (Widoyono, 2011)
54. 2.2.4. Patofisiologi
55.

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal dan transeksual seperti hubungan heteroseksual, pemakaian obat
bius intravena, darah dan produk darah. Jadi, HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik
secara langsung dengan diperantarai benda tajam, yang mampu menembus dinding
pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak
seperti yang terjedi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi
sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah
(Nasronudin, 2007).

56.

HIV tergolong kedalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Tombol (knob)
yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein

gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-positif (CD4+)
adalah gp120 dari HIV (Smeltzer & Bare, 2001).
57.

Sel-sel CD4+ mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper, limfosit

T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah terikat
dengan terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksi dua utas benang RNA
yang identik kedalam sel T4 helper. Dengan menggnakan enzim yang dikenal sebagai
reverse transcriptase,HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4
yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan
disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. (Smeltzer & Bare, 2001)
58.

Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi

diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin
atau produk gen virus. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan,
replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang
baru dibentuk ini kemudian dilepas kedalam plasma darah dan menginfeksi selsel CD4+
lainnya (Smeltzer & Bare, 2001).
59.

Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan

tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir bagi
HIV sehingga virusersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut keseluruh
tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan ini
dapat mengandung molekul sel CD4+ atau memiliki kemampuan untuk meproduksinya.
Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sesudah indeksi inisial, kurang-lebih 25% dari
sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus
sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat primernya adalah jaringan limfoid. Ketika sistem
imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke plasma darah
yang mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Kalau fungsi limfosit
T4 terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Infeksi dan
malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imundinamakan infeksi
oprtunistik. (Smeltzer & Bare, 2001)
60.

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai

menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan ,demam lama,

pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll. Pada fase ini
disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya
faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel
T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu
memberikan respon terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan
penurunan kadar CD4+, sitokin; antibodi down regulation; TNF antinef (Nursalam, 2009)
61.

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya

penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis.
Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu, dapat
mengakibatkan reaaktivitas virus di dalam limfosit sehingga perjalanan penyakit bisa lebih
progresif (Nursalam, 2009)
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.

77. 2.2.6. Manifestasi Klinis


78. Menurut Nasronudin (2007), manifestasi gejala dan tanda dari HIV dibagi menjadi 4
tahap:
1. Fase pertama
79.

Merupakan tahap infeksi akut muncul gejala tetapi tidak spesifik tetapi muncul

6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan
sendi, nyeri telan, dan pembesaran getah bening dan juga disertai meningitis aseptic
yang di tandai demam, nyeri kepala hebat, kejang kjang dan kelumpuhan saraf otak.
80.
2. Fase kedua.
81.

Merupakan tahap asimtomatis, Pada tahap ini gejala dan keluhan hilang ,

berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi, terjadi
internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahap ini aktivitas penderita normal.
82.
3. Fase ketiga
83.

Merupakan tahap simtomatis . Pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik

dengan gradasi sedang sampai berat yang di tandai dengan berat badan menurun tetapi
tidak sampai 10 % , pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan
pada sudut mulut , infeksi bakteri pada saluran nafas atas . penderita lebih banyak
berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam / hari.
4. Fase keempat
84.

Merupakan tahap yang lebih lanjut pada AIDS di tandai dengan, penurunan

berat badan lebih dari 10%, diare yang lebih dari satu bulan, panas yang tidak di
ketahui sebabnya lebih dari satu bulan , kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia,
tuberculosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita di serbu bermacam infeksi
sekunder misalnya pneumonia pneumokistik karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat
kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo infeksi virus herves, kandidisiasis pada
esophagus, trakea, bronkus, serta infeksi jamur yang lain yaitu, histoplasmosis,
kogsidiodomikosis.
85.
86. Manifestasi klinis HIV/AIDS
berikut:
1. Respiratorius

menurut Smeltzer & Bare (2001) adalah sebagai

Pneumonia Pneumocytis carinii yaitu gejala napas pendek, sesak napas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, dan demam.

Mycobacterium avium suatu kelompok basil tahan asam yang menyebabkan


infeksi pernapasan kendati juga sering dijumpai dalam traktus gastrointestinal,
nodus limfatikus dan sumsum tulang.

2. Gastrointestinal
87.

Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup hilangnya selera makan,

mual, vomitus, kandidiasis oral serta esofagus dan diare kronis.


-

Kandidiasis oral ditandai dengan bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga
mulut dengan keluhan sulit menelan, nyeri retrosternal dan lesi oral yang
mengalami ulserasi .

Sindrom pelisutan (wasting syndrome) yaitu penurunan berat badan melampaui


10% dari berat badan dasar, diare yang kronis, dan demam kambuhan atau
menetap.

3. Neurologik
-

Ensefalopati HIV ditandai dengan penurunan progresif pada fungsi kognitif,


perilaku dan motorik seperti gangguan daya ingat, sakit kepala, sulit
berkonsentrasi, konfusi progresif, kelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia

Cryptococcus neoformans yaitu meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala sperti


demam, sakit kepala, keadaan tidak enak badan (malaise), kaku kuduk, mual,
vomitus perubahan status mentak dan kejang- kejang.

Leukoenfalopati Multifokal Progresiva (PML) dengan gejala kebutaan, afasia,


paresis, serta kematian

Neuropati perifer merupakan kelainan dengan mielinisasi disertai rasa nyeri pada
ektremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik
dan impotensi

4. Integumen
88.

Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks yang disertai

dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit.. Dermatitis
seboreika disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepala serta wajah. Penderita AIDS memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
dserati dermatitis atopik seperti ekzema atau psoriasis.
89.
90. 2.2.7. Komplikasi

91.
(meningitis,

Komplikasi primer : MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder), Neurobiologi


mylopati,

neuropati),

Infeksi

(toxoplasmosis,

ensefalitis,

cytomegalovirus/CMV), Leukoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)


(Mansjoer , 2000)
92.
93. 2.2.8. Prognosis
94.

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal, sekitar 75% pasien yang


didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5%
kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.
(Widoyono, 2011)

95.
96. 2.2.9. Pemeriksaan Diagnostik
97. Pemeriksaan esensial :
1. Serologi HIV
2. hitung limfosit CD4 + atau hitung limfosit total
3. pemeriksaan darah lengkap dan profil kimia klinis
4. test kehamilan atau dugaan
5. HIV-RNA viral load
98. (Nasronudin, 2007)
99. Pemeriksaan tambahan atas indikasi:
1. Foto thoraks
2. urine untuk pemeriksaan rutin dan mikrokopis
3. pemeriksaan serologis hepatitis virus B dan C
4. toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo
5. histoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus
100.
(Nasronudin, 2007)
101.

Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi :

1. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay )


2. Western blot
3. PCR ( Polymerase Chain Reaction )
102.
(Widoyono, 2011)
103.

2.2.10. Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan Umum
104.

Istirahat

cukup

guna

meminimalkan

kondisi

hipermetabolik

dan

hiperkatabolik. Dukungan nutrisi berbasis mikro dan makronutrien harus optimal untuk

menghindari munculnya sindrom wasting. Konseling yang memadai merupakan formulasi


dukungan psikobiologis dan psikososial terhadap penderita HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).
b) Penatalaksanaan Khusus
105.

Karena kausanya virus, maka pemberian antiretroviral theraphy (ART) perlu

diberikan secara kombinasi. Terhadap infeksi sekunder dan malignansi, terapi disesuaikan
dengan manifestasinya (Nasronudin, 2007)
106.
1.
2.
3.
4.
5.

Strategi Pelaksanaan menurut Nasronudin (2007):

Terapi antiretroviral
Terapi infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignansi
Dukungan nutrisi berbasis makronutrient dan mikronutrient
Konseling terhadap penderita dan keluarga
Membudayakan pola hidup sehat dan senam

107.
108.

2.2. Konsep Keperawatan

109.

2.2.1. Pengkajian

Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali faktor-faktor
yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri oral atau
kesulitan menelan. Penimbangan berat badan, pengukuran antropometri, pemeriksaan
kadar BUN (blood urea nitrogen), protein serum, albumin dan transferin akan

memberikan parameter status nutrisi yang obkjektif


Kulit dan membran mukosa diinspeksi setiap hari untuk menemukan tanda-tanda lesi,
ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau gejala kemerahan,

ulserasi dan adanya bercak-bercak putih sperti krim yang menunjukkan kandidiasis.
Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk,
produksi sputum, napas pendek, ortopnea, takipnea, dan nyeri dada. Keberadaan suara

pernapasan dan sifatnya juga harus diperiksa.


Status neurologis ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien, orientasinya
terhadap orang, tempat serta waktu dan ingatan yang hilang. Paien juga dinilai untuk

mendeteksi gangguan sensorik dan motorik


Status cairan dan elektrolit dinilai dengan memriksa turgor kulit, peningkatan rasa
haus, penurunan haluaran urin, tekanan darah rendah, denyut nadi yang lemah serta
cepat dan berat jenis urin 1,025 atau lebih, menunjukkan dehidrasi, gangguan

keseimbangan elektrolit mencakup kedutan otot, kram otot, denyut nadi tidak teratur,

mual, serta vomitus dan pernapasan yang dangkal.


Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara penularan penyakit
harus dievaluasi. Reaksi psikologis pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS
merupakan informasi penting yang harus digali. Pemahaman tentang cara pasien
menghadapi sakitnya dan riwayat stres utama yang pernah dialami sebelumnya
kerapkali bermanfaat. (Smeltzer & Bare, 2001)

110.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

2.2.2. Diagnosa Keperawatan

Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas b.d. mukus berlebihan


Hipertermia.b.d. proses penyakit
Nyeri kronis b.d. gangguan imun
Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh b.d. faktor biologis
Diare b.d. inflamasi gastrointestinal
Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan aktif
Kerusakan integritas kulit b.d. imunodefisiensi
Konfusi akut b.d. cedera otak (penyakit neurologis)

111.

2.2.3. Intervensi Keperawatan

112.

113.

Tujuan

114.

Intervensi

N
115.
1

116.

NOC:Respiratory

Status: Airway Patency


117.

Setelah

dilakukan

tindakan keperawatan 3x24


jam, bersihan jalan napas
dapat efektif dengan kriteria
hasil:
-

Frekuensi pernapasan
Irama pernapasan
Kedalaman inspirasi
Kemampuan
membersihkan sekret

118.

NIC: Airway Management

1. Auskultasi suara nafas, catat daerah


yang terjadi penurunan atau tidak
adanya ventilasi
2. Identifikasi

apakah

klien

membutuhkan insertion airway


3. Bebaskan jalan napas
4. Instrukskan pasien untuk batuk efektif
5. Posisikan klien untuk memaksimalkan
ventilasi
6. Lakukan pengeluaran sekret dengan
batuk dan menggunakan suction
7. Atur posisi untuk mengurangi dispnea
8. Lakukan fisoterapi dada jika perlu
9. Kolaborasi pemberian bronkodilator
sesuai dengan instruksi dokter
10. Kolaborasi pemberian O2

sesuai

119.
2

120.

kebutuhan pasien
122.
NIC: Temperature Regulation

NOC:

Thermoregulation
121.

Setelah

dilakukan

tindakan keperawatan 2x24


jam, diharapkan suhu tubuh
normal dengan kriteria hasil:
-

Frekuensi pernapasan
Melaporkan kenyamanan

suhu
Suhu tubuh menurun

1.
2.
3.
4.
5.

Pantau tanda-tanda vital


Pantau suhu minimal setiap dua jam
Pantau warna kulit dan suhu kulit
Berikan kompres pada pasien
Berikan lingkungan yang mendukung

keadaan pasien
6. Anjurkan klien banyak minum 2-3
liter/hari
7. Anjurkan klien memakai pakaian yang
tipis dan menyerap keringat
8. Ajarkan klien atau keluarga dalam
mengukur suhu untuk mencegah dan
mnegenali secara dini hipertermia
9. Kolaborasi pemberian cairan IV
10. Kolaborasi dengan dokter dalam

123.
3

124.

NOC:

Pain:

Disruptive effects
125.

Setelah

pemberian obat antipiretik


126.
NIC: Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri meliputi

dilakukan

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

keperawatan

kualitas, intensital dari nyeri dan faktor

3x24jam nyeri kronis dapat

pemicu
2. Ekplorasi pasien tentang faktor yang

tindakan

teratasi dengan kriteria hasil:


-

Ketidaknyamanan

berkurang
Tidak ada

konsentrasi
Tidak ada gangguan tidur
Tidak ada gangguan
aktivitas fisik

gangguan

memperparah nyeri
3. Menentukan dampak dari pengalaman
nyeri dengan kualitas hidup (mis. tidur,
selera makan, aktivitas, hubungan)
4. Kaji
dampak
agama,
budaya
kepercayaan dan lingkungan terhadap
nyeri dan respons pasien
5. Ajarkan
teknik
nonfarmakologi
(relaksasi, distraksi, hipnosis)
6. Instruksikan
pasien

untuk

menginformasikan kepada perawat jika


rasa nyeri tetap ada
7. Tingkatkan istirahat dan tidur yang
adekuat
8. Berikan

informasi

tentang

nyeri,

seperti penyebab nyeri, seberapa lama


akan

berlangsung

dan

antisipasi

ketidaknyamanan
9. Kolaborasi dengan dokter pemberian
analagesik
10. Kolaborasi dengan pasien atau tenaga
kesehatan lainnyauntuk menentukan
127.
4

128.

NOC:

Nutritional

Status
129.

Setelah

tindakan

dilakukan
keperawatan

3x24jam, kekurangan nutrisi


dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
-

Intake nutrisi
Intake makanan
Intake cairan
Peningkatan berat badan

implementasi nonfarmakologikal
130.
NIC: Nutrition Management
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kaji pola makan klien


Kaji adanya alergi makanan
Kaji makanan yang disukai klien
Monitor bb setiap hari
Monitor adanya mual muntah
Monitor intake nutrisidan kalori
Yakinkan diet yang dikonsumsi

mengandung cukup serat


8. Anjurkan klien untuk meningkatkan
asupan nutrisinya
9. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
penyediaan nutrisi sesuai kebutuhan
klien
10. Kolaborasi

131.
5

132.

NOC:

Bowel

Elimination
133.

dilakukan

tindakan keperawatan 3x 24
diare

dapat

teratasi

dengan kriteria hasil:


-

dokter

dalam

pemberian cairan IV
134.
NIC: Diarrhea Management
1. Identifikasi faktor yang menyebabkan

Setelah

jam,

dengan

BAB terkontrol
Diare berkurang
Feses lunak dan terbentuk
Nyeri perut tidak ada

diare
2. Evaluasi jenis intake makanan
3. Evaluasi pengobatan yang berefek
samping gastrointestianl
4. Monitor kulit perianal terhadap adanya
iritasi dan ulserasi
5. Monitor turgor kulit, mukosa oral
sebagai indikator dehidrasi
6. Ajarkan pada keluarga penggunaan
obat anti diare
7. Instruksikan pada pasien dan keluarga
untuk

mencatat

warna,

volume

frekuensi dan konsistensi feses


8. Kolaborasikan dengan dokter

jika

tanda dan gejala diare menetap


9. Monitor hasil lab (elektrolit

dan

leukosit)
10. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
135.

136.

NOC: Fluid Balance

pemberian diet yang tepat


138.
NIC: Fluid Management

137.

Setelah

1. Kaji status hidrasi (membran mukosa

dilakukan

tindakan keperawatan 3x24


jam, kekurangan cairan dapat
teratasi dengan kriteria hasil:

139.
7

Tekanan darah
Keseimbangan

output 24 jam
Kestabilan berat badan

intake

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

yang adekuat
Kaji indikasi kekurangan cairan
Kaji status nutrisi
Kaji intake dan output
Kaji lokasidan luas edema
Monitor tanda-tanda vital
Timbang bb per hari
Pertahankan intake dan output yang

Tissue

akurat
9. Kolaborasi pemberian cairan intravena
10. Kolaborasi pemberian diuretik
142.
NIC: Wound Care

Integrity: Skin & Mucous

1. Pantau kulit dan adanya ruam dan

140.

NOC:

Membranes
141.

Setelah

lecet, warna, suhu, kelembapan, dan


dilakukan

tindakan keperawatan 3x24


jam,

kerusakan

integritas

kulit dapat teratasi dengan


kriteria hasil:
-

Integritas kulit
Lesi kulit berkurang
Tekstur kulit
Hidrasi kulit

kekeringan

yang

berlebihan,

area

kemerahan dan rusak


2. Mengukur dasar luka yang ada
3. Lakukan perawatan luka
4. Bersihkan luka dengan menggunakan
normal saline
5. Mengoleskan salep pada luka di kulit
sesuai instruksi dokter
6. Bandingkan secara teratut perubahan
luka pada kulit
7. Ganti posisi setiap 1-2 jam secara
teratur
8. Gunakan teknik yanng benar dalam
mengubah posisi dengan memiringkan
pasien
9. Ajarkan

keluarga

pasien

pentingnya perawatan luka


10. Kolaborasi dengan dokter

tentang
dalam

pemberian salep atau obat oles pada


luka pasien

143.

144.

NOC: Cognition

146.

145.

Setelah

1. Identifikasi

tindakan

dilakukan
keperawatan

3x24jam diharapkan konfusi


dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
-

Komunikasi jelas
Konsentrasi
Daya ingat

NIC: Cognitive stimulation

kognitif
2. Sediakan

penyebab
stimulasi

kekurangan
sensori

yang

berencana
3. Berbicara dengan pasien
4. Orientasikan waktu tempat dan orang
5. Stimulasi memori dengan mengulang
ekspresi pasien sebelumnya
6. Sediakan
penggunaan

program

multistimulasi (terapi musik, aktivitas


kreatif, latihan)
7. Gunakan pengingat

seperti

ceklis,

jadwal, dan alarm pengingat


8. Tawarkan stimulasi lingkungan dengan
berkomunikasi dengan orang lain
9. Berikan waktu istirahat
10. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian program medis
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.

DAFTAR PUSTAKA

159.

Bulechek, Gloria M. 2013. Nursing Intervention Classification. United States

of America: Elsevier.
160.

Herdman, T.H. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses 2015-2017.

Oxford: Wiley Blackwell.


161.

Moorhead, Sue. 2013. Nursing Outcomes Classification. United States of

America: Elsevier
162.
Nasronudin. 2007. HIV/AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan
Sosial. Surabaya: Airlangga University Press
163.

Smeltzer, Suzzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner

& Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.


164.
165.
166.
167.
168.
169.
170.
171.
172.
173.
174.
175.
176.
177.

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai