DENGAN HIV/AIDS
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 3
1. Fitri Sepriani
9. Saril Simarmata
2. Heny Laia
3. Imelda Siburian
4. Ika Sarma
5. Rut Marlia
6. Sanriwifa Sitinjak
7. Santa Santi
8. Sofia Lorain
16.
17.
18. Dosen: Adventina Hutapea, S.Kep.,Ns
19.
20.
21. PROGRAM STUDI DI NERS TAHAP AKADEMIK
22. STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
23. 2015
24. BAB I
25. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
26.
kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan
yang disebabkan oleh human immunodefiency virus (HIV). Penyakit ini telah menjadi
masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah
pasien dan semakin melanda banyak negara. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau
obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia. (Widoyono,
2011)
27.
28.
serta telah dilakukan berbagai upaya pencegahan primer maupun sekunder, tetapi angka
kesakitan dan kematiannya tetap tinggi. Menurut WHO, sehingga Desember 2000, di
lapaorkan 58 juta jiwa penduduk dunia terinfeksi HIV, dalam kurun waktu tersebut 22 juta
jiwa meniggal atau 7.000 HIV masih tetap saja berlangsung sehingga kini, 16.000 jiwa
terinfeksi baru setiap harinya. (Nasronudin 2007).
29.
kematian HIV & AIDS, yaitu faktor eksternal dan internal. Tidak tertutup kemungkinan
tingginya tingkat keseriusan dan kematian penderita HIV/AIDS juga akibat penatalaksanaan
penderita yang optimal. Selama ini penatalaksanaan hanya dikonsentrasi pada terapi umum
dan terapi khusus dengan mengandalkan Antiretroviral Therapy (ART). Pengaruh radikal
bebas dan proteksi mitokondria hingga kini belum mendapatkan perhatian secara serius.
Padahal pada tubuh penderita HIV & AIDS terdapat peningkatan Reactive Oxygen Species
( ROS) yang potensial mendorong terjadinya progresitivitas ke arah tingkat penyakit yang
lebih berat. (Nasronudin 2007).
30.
Untuk itu selain pemberian ART dengan Highly Active Antiretroviral Therapy
Di indonesia HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada April 1987 ( terjadi
pada orang Belanda). Pada tahun 1999 terdapat 635 kasus HIV dan 183 kasus baru AIDS .
Mulai tahun 2000-2005 terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS secara signifikan di
Indonesia. Kasus AIDS tahun 2000 tercatat 255 orang, meningkat menjadi 316 orang pada
tahun 2003, dan meningkat cepat menjadi 2638 orang pada tahun 2005. Dari data tersebut,
DKI Jakarta memiliki jumlah penderita terbesar, di ikuti oleh Jawa Timur, Papua, Jawa Barat,
dan Bali. Peningkatan ini terutama di sebabkan oleh semakin bertambahnya sarana pelayanan
diagnostik kasus dengan klinik voluntary counselling and testing (VCT).
32.
HIV/AIDS di indonesia termasuk rendah. Alasan yang paling mungkin adalah lemahnya
sistem pencatatan dan pelaporan, terbatasnya peralatan laboratorium penunjang, dan
rendahnya kemampuan diagnosis (Widoyono,2011).
33.
1.2.
Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
34. Agar mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan klien dengan
HIV/AIDS
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar medik asuhan keperawatan
HIV/AIDS
2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar keperawatan asuhan
keperawatan HIV/AIDS
35.
36. BAB II
37. TINJAUAN TEORITIS
38. 2.2. Konsep Medis
39. 2.2.1. Defenisi
40.
kerusakan sistem kekebalan tubuh; bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan
yang disebabkan oleh human immunodefiency virus (HIV) (Widoyono, 2011).
41. 2.2.2. Klasifikasi
42. Departemen kesehatan pada tahun 2007 menyatakan stadium klinis HIV bagi orang
dewasa terbagi 4 kategori dan skala fungsional ,yaitu:
1. Stadium klinis 1
a. Asimtomatik
b. Limfadenitis generalisata
43. Skala fungsional 1: Asimtomatik, Antivitas normal.
2. Stadium klinis 2
a. Berat badan berkurang <10%
b. Manifestasi mukokutaneus ringan
c. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
d. Infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang
44. Skala fungsiona 2: Asimtomatik, Antivitas normal.
3. Stadium klinis 3
a. Berat badan berkurang <10%
b. Diare kroonis tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
c. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas >1 bulan
d. Kondidiasi oral (thrush)
e. Oral hairy leucoplakia (OHL)
f. TB Paru
g. Infeksi bakterial berat
45. Skala fungsiona 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring.
4. Stadium klinis 4 (Kriteria WHO: Klinis AIDS)
a. HIV wasting syndrome
b. Pneumonia pleumocystic carinii
c. Toxoplasmosis otak
d. Diare karena kriptosporidiosis <1 bulan
e. Kritokokosis ekstraparu
f. Penyakit sitomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
46.
getah bening
Infeksi virus herpes simplex di mukokutaneus <1 bulan
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Mikosis endemik yang menyebar
Kondisiasis esophagus, trakea, bronki
Mikobakteriosis atipik
Septikemia salmonela non-tipoid
Tuberkolosis ekstraparu
Limfoma
Sarkoma
Ensefalopati HIV
Skala fungsional 3: <50 %dalam 1 bulan terakhir berbaring. (Widoyono, 2011)
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III)
atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili
lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam lentivirus
sitopolik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
49.
50.
51.
Asam nukleat dari famili retrovirus adalah RNA yang mampu membantuk
DNA dan RNA. Enzim transcriptase reversi menggunakan RNA virus sebagai cetakan
untuk membantuk DNA. DNA ini bergabung pada kromosom induk (sel limfosit T4
sel mikrofag) yang berfungsi sebagai penggoda virus HIV.
52.
Waktu paruh virus (virion half-life) berlangsung cepat. Sebagai besar virus
akan mati, tetapi karena mulai infeksi, replikasi virus berjalan sangat cepat dan terusmenerus. Dalam sehari sekitar 10 miliar virus dapat diproduksi. Replikasi inilah yang
menyebabkan kerusakan system kekebalan tebuh. Tingginya jumlah virus dalam darah
ditunjukkan dengan angka viral load, sedangkan tinggat kerusakan sustem kekebalan tubuh
ditunjukkan dengan angka CD4. (Widoyono, 2011)
54. 2.2.4. Patofisiologi
55.
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal dan transeksual seperti hubungan heteroseksual, pemakaian obat
bius intravena, darah dan produk darah. Jadi, HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik
secara langsung dengan diperantarai benda tajam, yang mampu menembus dinding
pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak
seperti yang terjedi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi
sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah
(Nasronudin, 2007).
56.
HIV tergolong kedalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Tombol (knob)
yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein
gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-positif (CD4+)
adalah gp120 dari HIV (Smeltzer & Bare, 2001).
57.
T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah terikat
dengan terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksi dua utas benang RNA
yang identik kedalam sel T4 helper. Dengan menggnakan enzim yang dikenal sebagai
reverse transcriptase,HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4
yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan
disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang
permanen. (Smeltzer & Bare, 2001)
58.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin
atau produk gen virus. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan,
replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang
baru dibentuk ini kemudian dilepas kedalam plasma darah dan menginfeksi selsel CD4+
lainnya (Smeltzer & Bare, 2001).
59.
tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir bagi
HIV sehingga virusersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut keseluruh
tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan ini
dapat mengandung molekul sel CD4+ atau memiliki kemampuan untuk meproduksinya.
Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sesudah indeksi inisial, kurang-lebih 25% dari
sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus
sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat primernya adalah jaringan limfoid. Ketika sistem
imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke plasma darah
yang mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Kalau fungsi limfosit
T4 terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius. Infeksi dan
malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imundinamakan infeksi
oprtunistik. (Smeltzer & Bare, 2001)
60.
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan ,demam lama,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll. Pada fase ini
disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya
faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel
T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak mampu
memberikan respon terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan
penurunan kadar CD4+, sitokin; antibodi down regulation; TNF antinef (Nursalam, 2009)
61.
penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis.
Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu, dapat
mengakibatkan reaaktivitas virus di dalam limfosit sehingga perjalanan penyakit bisa lebih
progresif (Nursalam, 2009)
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
Merupakan tahap infeksi akut muncul gejala tetapi tidak spesifik tetapi muncul
6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan
sendi, nyeri telan, dan pembesaran getah bening dan juga disertai meningitis aseptic
yang di tandai demam, nyeri kepala hebat, kejang kjang dan kelumpuhan saraf otak.
80.
2. Fase kedua.
81.
Merupakan tahap asimtomatis, Pada tahap ini gejala dan keluhan hilang ,
berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun setelah infeksi, terjadi
internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahap ini aktivitas penderita normal.
82.
3. Fase ketiga
83.
Merupakan tahap simtomatis . Pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik
dengan gradasi sedang sampai berat yang di tandai dengan berat badan menurun tetapi
tidak sampai 10 % , pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan
pada sudut mulut , infeksi bakteri pada saluran nafas atas . penderita lebih banyak
berada di tempat tidur meskipun kurang 12 jam / hari.
4. Fase keempat
84.
Merupakan tahap yang lebih lanjut pada AIDS di tandai dengan, penurunan
berat badan lebih dari 10%, diare yang lebih dari satu bulan, panas yang tidak di
ketahui sebabnya lebih dari satu bulan , kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia,
tuberculosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita di serbu bermacam infeksi
sekunder misalnya pneumonia pneumokistik karinii, toksoplasmosis otak, diare akibat
kriptosporidiosis, penyakit virus sitomegalo infeksi virus herves, kandidisiasis pada
esophagus, trakea, bronkus, serta infeksi jamur yang lain yaitu, histoplasmosis,
kogsidiodomikosis.
85.
86. Manifestasi klinis HIV/AIDS
berikut:
1. Respiratorius
Pneumonia Pneumocytis carinii yaitu gejala napas pendek, sesak napas (dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada, dan demam.
2. Gastrointestinal
87.
Kandidiasis oral ditandai dengan bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga
mulut dengan keluhan sulit menelan, nyeri retrosternal dan lesi oral yang
mengalami ulserasi .
3. Neurologik
-
Neuropati perifer merupakan kelainan dengan mielinisasi disertai rasa nyeri pada
ektremitas, kelemahan, penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik
dan impotensi
4. Integumen
88.
Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks yang disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit.. Dermatitis
seboreika disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepala serta wajah. Penderita AIDS memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang
dserati dermatitis atopik seperti ekzema atau psoriasis.
89.
90. 2.2.7. Komplikasi
91.
(meningitis,
neuropati),
Infeksi
(toxoplasmosis,
ensefalitis,
95.
96. 2.2.9. Pemeriksaan Diagnostik
97. Pemeriksaan esensial :
1. Serologi HIV
2. hitung limfosit CD4 + atau hitung limfosit total
3. pemeriksaan darah lengkap dan profil kimia klinis
4. test kehamilan atau dugaan
5. HIV-RNA viral load
98. (Nasronudin, 2007)
99. Pemeriksaan tambahan atas indikasi:
1. Foto thoraks
2. urine untuk pemeriksaan rutin dan mikrokopis
3. pemeriksaan serologis hepatitis virus B dan C
4. toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo
5. histoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus
100.
(Nasronudin, 2007)
101.
2.2.10. Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan Umum
104.
Istirahat
cukup
guna
meminimalkan
kondisi
hipermetabolik
dan
hiperkatabolik. Dukungan nutrisi berbasis mikro dan makronutrien harus optimal untuk
diberikan secara kombinasi. Terhadap infeksi sekunder dan malignansi, terapi disesuaikan
dengan manifestasinya (Nasronudin, 2007)
106.
1.
2.
3.
4.
5.
Terapi antiretroviral
Terapi infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignansi
Dukungan nutrisi berbasis makronutrient dan mikronutrient
Konseling terhadap penderita dan keluarga
Membudayakan pola hidup sehat dan senam
107.
108.
109.
2.2.1. Pengkajian
Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali faktor-faktor
yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri oral atau
kesulitan menelan. Penimbangan berat badan, pengukuran antropometri, pemeriksaan
kadar BUN (blood urea nitrogen), protein serum, albumin dan transferin akan
ulserasi dan adanya bercak-bercak putih sperti krim yang menunjukkan kandidiasis.
Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk,
produksi sputum, napas pendek, ortopnea, takipnea, dan nyeri dada. Keberadaan suara
keseimbangan elektrolit mencakup kedutan otot, kram otot, denyut nadi tidak teratur,
110.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
111.
112.
113.
Tujuan
114.
Intervensi
N
115.
1
116.
NOC:Respiratory
Setelah
dilakukan
Frekuensi pernapasan
Irama pernapasan
Kedalaman inspirasi
Kemampuan
membersihkan sekret
118.
apakah
klien
sesuai
119.
2
120.
kebutuhan pasien
122.
NIC: Temperature Regulation
NOC:
Thermoregulation
121.
Setelah
dilakukan
Frekuensi pernapasan
Melaporkan kenyamanan
suhu
Suhu tubuh menurun
1.
2.
3.
4.
5.
keadaan pasien
6. Anjurkan klien banyak minum 2-3
liter/hari
7. Anjurkan klien memakai pakaian yang
tipis dan menyerap keringat
8. Ajarkan klien atau keluarga dalam
mengukur suhu untuk mencegah dan
mnegenali secara dini hipertermia
9. Kolaborasi pemberian cairan IV
10. Kolaborasi dengan dokter dalam
123.
3
124.
NOC:
Pain:
Disruptive effects
125.
Setelah
dilakukan
keperawatan
pemicu
2. Ekplorasi pasien tentang faktor yang
tindakan
Ketidaknyamanan
berkurang
Tidak ada
konsentrasi
Tidak ada gangguan tidur
Tidak ada gangguan
aktivitas fisik
gangguan
memperparah nyeri
3. Menentukan dampak dari pengalaman
nyeri dengan kualitas hidup (mis. tidur,
selera makan, aktivitas, hubungan)
4. Kaji
dampak
agama,
budaya
kepercayaan dan lingkungan terhadap
nyeri dan respons pasien
5. Ajarkan
teknik
nonfarmakologi
(relaksasi, distraksi, hipnosis)
6. Instruksikan
pasien
untuk
informasi
tentang
nyeri,
berlangsung
dan
antisipasi
ketidaknyamanan
9. Kolaborasi dengan dokter pemberian
analagesik
10. Kolaborasi dengan pasien atau tenaga
kesehatan lainnyauntuk menentukan
127.
4
128.
NOC:
Nutritional
Status
129.
Setelah
tindakan
dilakukan
keperawatan
Intake nutrisi
Intake makanan
Intake cairan
Peningkatan berat badan
implementasi nonfarmakologikal
130.
NIC: Nutrition Management
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
131.
5
132.
NOC:
Bowel
Elimination
133.
dilakukan
tindakan keperawatan 3x 24
diare
dapat
teratasi
dokter
dalam
pemberian cairan IV
134.
NIC: Diarrhea Management
1. Identifikasi faktor yang menyebabkan
Setelah
jam,
dengan
BAB terkontrol
Diare berkurang
Feses lunak dan terbentuk
Nyeri perut tidak ada
diare
2. Evaluasi jenis intake makanan
3. Evaluasi pengobatan yang berefek
samping gastrointestianl
4. Monitor kulit perianal terhadap adanya
iritasi dan ulserasi
5. Monitor turgor kulit, mukosa oral
sebagai indikator dehidrasi
6. Ajarkan pada keluarga penggunaan
obat anti diare
7. Instruksikan pada pasien dan keluarga
untuk
mencatat
warna,
volume
jika
dan
leukosit)
10. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
135.
136.
137.
Setelah
dilakukan
139.
7
Tekanan darah
Keseimbangan
output 24 jam
Kestabilan berat badan
intake
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
yang adekuat
Kaji indikasi kekurangan cairan
Kaji status nutrisi
Kaji intake dan output
Kaji lokasidan luas edema
Monitor tanda-tanda vital
Timbang bb per hari
Pertahankan intake dan output yang
Tissue
akurat
9. Kolaborasi pemberian cairan intravena
10. Kolaborasi pemberian diuretik
142.
NIC: Wound Care
140.
NOC:
Membranes
141.
Setelah
kerusakan
integritas
Integritas kulit
Lesi kulit berkurang
Tekstur kulit
Hidrasi kulit
kekeringan
yang
berlebihan,
area
keluarga
pasien
tentang
dalam
143.
144.
NOC: Cognition
146.
145.
Setelah
1. Identifikasi
tindakan
dilakukan
keperawatan
Komunikasi jelas
Konsentrasi
Daya ingat
kognitif
2. Sediakan
penyebab
stimulasi
kekurangan
sensori
yang
berencana
3. Berbicara dengan pasien
4. Orientasikan waktu tempat dan orang
5. Stimulasi memori dengan mengulang
ekspresi pasien sebelumnya
6. Sediakan
penggunaan
program
seperti
ceklis,
DAFTAR PUSTAKA
159.
of America: Elsevier.
160.
America: Elsevier
162.
Nasronudin. 2007. HIV/AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan
Sosial. Surabaya: Airlangga University Press
163.