PENDAHULUAN
Fraktur merupakan kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung. Riset Kesehatan
Dasar Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 menyatakan di
Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul. Dari 45.987 peristiwa
jatuh, yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus
kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%) dan dari
14.127 trauma benda tajam atau tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang
(1,7%).2
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur
terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang
terstandar dan segera untuk mengurangi resiko infeksi. Utamanya adalah untuk
mencegah infeksi, penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa
hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi
yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang dapat dilakukan
berulang-ulang selama 48-72 jam, stabilisasi fraktur, penutupan kulit serta pemberian
antibiotik yang adekuat.1
Insiden fraktur terbuka di Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit di Skotlandia
mendata sebanyak 21.3 kasus per 100.000 dalam setahun. Fraktur diafisis menduduki
peringkat terbanyak pada tibia (21,6%), disusul oleh femur (12,1%), radius dan ulna
(9,3%), dan humerus (5,7%). Pada tulang panjang, fraktur terbuka diafiseal lebih
sering terjadi dibanding metafiseal (15.3 % versus 1.2%).11,12
Penulisan referat ini bertujuan agar sebagai dokter mampu mengenali
dan mendiagnosis suatu penyakit dengan tepat serta memberikan terapi awal
dan mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan. Tindakan awal
yang diberikan serta penanganan terapi lanjutan dilakukan sesuai dengan
kompetensi dokter yang ditujukan demi kesembuhan pasien.
BAB II
ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI, DAN BIOKIMIA TULANG
Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyai 5 fungsi
utama, yaitu membentuk rangka badan, tempat melekat otot, bagian dari tubuh untuk
melindungi dan mempertahankan alat-alat dalam, seperti otak, sumsum tulang
belakang, jantung dan paru-paru, tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan
garam dan sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hematopoetik untuk
memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan trombosit.6
Secara garis besar tulang terbagi atas, yaitu :
1. Tulang panjang, yang termasuk adalah femur, tibia, fibula, humerus, ulna. Tulang
panjang (os longum) terdiri dari 3 bagian, yaitu epifisis, diafisis dan metafisis.
Diaphysis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder.
Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar.
Metaphysis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang.
Daerah ini terutama disusun oleh trabekular atau sel spongiosa yang mengandung
sel-sel hematopoetik. Metaphysis juga menopang sendi dan menyediakan daerah
yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epiphysis. Epiphysis
langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang. Seluruh tulang dilapisi oleh
lapisan fibrosa yang disebut periosteum.
2. Tulang pendek antara lain yaitu tulang vertebra dan tulang-tulang carpal.
3. Tulang pipih antara lain yaitu tulang iga, tulang skapula, tulang pelvis.
kolagen dengan substansi semen dan mineral yang lebih sedikit dibandingkan
sel, jaringan kolagen, dan mukopolisakarida. Tulang mature ditandai dengan sistem
Harversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi darah melalui korteks
yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih banyak substansi semen
dan mineral dibanding dengan tulang imatur.
Tulang terdiri atas bahan antar sel dan sel tulang. Sel tulang ada 3, yaitu
osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Sedang bahan antar sel terdiri dari bahan organik
(serabut kolagen, dll) dan bahan anorganik (kalsium, fosfor, dll). Osteoblas
merupakan salah satu jenis sel hasil diferensiasi sel mesenkim yang sangat penting
dalam proses osteogenesis dan osifikasi. Sebagai sel osteoblas dapat memproduksi
substansi organik intraseluler atau matriks, dimana kalsifikasi terjadi di kemudian
hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila kalsifikasi
terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat sesudah osteoblas dikelilingi
oleh substansi organik intraseluler, disebut osteosit dimana kradaan ini terjadi dalam
lakuna.
Osteosit adalah bentuk dewasa dari osteoblas yang berfungsi dalam recycling
garam kalsium dan berpartisipasi dalam reparasi tulang. Osteoklas adalah sel
makrofag yang aktivitasnya meresorpsi jaringan tulang. Kalsium hanya dapat
dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang mengilangkan
matriks organik dan kalsium secara bersamaan dan disebut deosifikasi. Jadi dalam
tulang selalu terjadi perubahan dan pembaharuan.8,9
Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis dan
union secara radiologik. Penilaian secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan daerah
fraktur dengan melakukan pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan
kompresi untuk mengetahui adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita.
Keadaan ini dapat dirasakan oleh pemeriksa atau oleh penderita sendiri. Apabila tidak
ditemukan adanya gerakan, maka secara klinis telah terjadi union dari fraktur. Union
secara radiologik dinilai dengan pemeriksaan roentgen pada daerah fraktur dan dilihat
adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan adanya trabekulasi yang
sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya
medulla atau ruangan dalam daerah fraktur.
BAB III
PEMBAHASAN FRAKTUR TERBUKA
3.1 DEFINISI
Secara umum, fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang
atau tulang rawan dan vaskularisasi disekitarnya yang umumnya disebabkan trauma,
baik trauma langsung maupun tidak langsung atau karena adanya kelainan yang
bersifat patologis. Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung
pada jenis, kekuatan dan arahnya trauma.
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri, sehingga timbul
komplikasi berupa infeksi.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Masalah pada tulang
yang mengakibatkan keparahan disabilitas adalah fraktur. Badan kesehatan dunia
(WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan
insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Dari 31,575
kejadian fraktur pertahun di Amerika didapatkan 1000 kejadian fraktur terbuka dan
tertinggi yakni fraktur ekstremitas bawah sekitar 3,7 % pertahunnya atau 488 kejadian
fraktur terbuka dari 13,096 fraktur ekstremitas bawah.
Frekuensi dari fraktur terbuka bervariasi tergantung dari faktor geografis dan
sosioekonomis, populasi penduduk, dan trauma yang terjadi. Dari data yang diambil
dari Universitas Gadjah Mada didapatkan insidensi fraktur terbuka sebesar 4% dari
seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3,64 : 1 dan kelompok
umur mayoritas dekade dua atau dekade tiga, dimana mobilitas dan aktifitas fisik
tergolong tinggi.
Fraktur
terbuka
sering
membutuhkan
pembedahan
segera
untuk
membersihkan area yang mengalami cidera. Karena diskontinuitas pada kulit, debris
dan infeksi dapat masuk ke lokasi fraktur dan mengakibatkan infeksi pada tulang.
Infeksi pada tulang dapat menjadi masalah yang sulit ditangani. Gustilo dan Anderson
melaporkan bahwa 50,7 % dari pasien mereka memiliki hasil kultur yang positif pada
luka mereka pada evaluasi awal. Sementara 31% pasien yang memiliki hasil kultur
negatif pada awalnya, menjadi positif pada saat penutupan definitif. Oleh karena itu,
setiap upaya dilakukan untuk mencegah masalah potensial tersebut dengan
penanganan dini.
2,3,5
%
3.3
3.7
0.2
0.6
0.0
3.17
3.3 ETIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya fraktur, yaitu:
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kekuatan trauma.
2. Instrisik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan dan densitas tulang.
MEKANISME TRAUMA
Angulasi/ memutar
ENERGI
Ringan
Kombinasi
Sedang
Variasi
Berat
BATASAN
Laserasi < 1 cm, kerusakan jaringan minimal, luka relatif bersih
Laserasi >1 cm, tidak ada kerusakan jaringan hebat atau avulsi, terdapat
kontaminasi
III
IIIA
IIIB
IIIC
Luka lebar dan rusak berat atau hilangnya jaringan di sekitar dan terdapat
kontaminasi berat
Tulang yang fraktur masih ditutupi jaringan lunak
Terdapat periosteal stripping yang luas dan penutupan luka dilakukan dengan
flap lokal atau flap jauh
Fraktur disertai kerusakan pembuluh darah
Keterangan :
Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan
bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya
traumatik.
Tipe IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak,
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak
langsung, atau kondisi patologis. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan tulang yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medulla tulang. Akibat hematoma yang terjadi dapat
menghambat suplai darah/nutrisi ke jaringan tulang yang berdekatan, sehingga
jaringan tulang mengalami nekrosis dan menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan infiltrasi sel darah putih.
Tahap ini menunjukan tahap awal penyembuhan tulang. Hematoma yang terjadi juga
menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler,
kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein
plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema.
Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf yang dapat menyebabkan nyeri
yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan sindroma kompartement.
pergeseran
fragmen tulang yang dapat mempengaruhi mobilitas fisik sehingga terjadi gangguan
pergerakan dan gangguan perfusi jaringan jika terjadi penyumbatan pembuluh darah
oleh emboli lemak dan trombosit yang terjadi akibat reaksi stress dan memicu
pelepasan katekolamin yang disebabkan oleh peningkatan tekanan sumsung tulang
dibanding tekanan kapiler. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur yaitu faktor
ekstrinsik (adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur) dan faktor
intrinsik (yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur) seperti kapasitas
absorbsi dari tekanan, elastisita, kelelahan dan kepadatan atau kekerasan tulang.
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase yaitu :
1. Fase hematoma (dalam waktu 24 jam timbul perdarahan)
Apabila terjadi fraktur tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami robekan pada daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur.Periosteum
akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang
terjadi sehingga dapat terjadi ektravasasi darah ke dalam
jaringan
reaksi
Gambar
5. Fase
Faktor trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat penting
dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan
jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat
ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda
berat akan mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma
olah raga. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita,
biomekanisme trauma, likasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi penderita sebelum
kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus dan sebagainya merupakan
faktor yang perlu dipertimbangkan juga. Kalau fraktur terjadi akibat cedera ringan,
curigailah lesi patologi. Nyeri, memar, dan pembengkakan adalah gejala yang sering
ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak.
Deformitas jauh lebih mendukung.
Anamnesis mengenai gejala-gejala cedera yang berkaitan, seperti baal atau
hilangnya gerakan, kulit yang pucat/ sianosis, darah dalam urin, nyeri perut, hilangnya
kesadaran untuk sementara. Tanyakan juga tentang cedera sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah identisifikasi luka secara jelas dan
gangguan neurovaskular bagian distal dan lesi tersebut. Pulsasi arteri bagian distal
penderita hipotensi akan melemah dan dapat menghilangkan sehingga dapat terjadi
kesalahan penilaian vaskular tersebut.bila disertai trauma kepala dan tulang belakang
maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut. Pemeriksaan
kulit seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
1. Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak. Kalau kulit robek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).
2. Feel (palpasi)
Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari
fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh
darah adalah keadaad darurat yang memerulkan pembedahan. Raba suhu pada
daerah trauma yang biasanya meningkat.
3. Movement (gerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk
menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal
dari cedera. Lakukan pergerakan secara aktif maupun pasif dari sendi
proksimal ke bagian distal pada daerah yang mengalami trauma.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan
tulang dan jaringn lunak yang berhubungn dengan derajat energi dari trauma itu
sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan
pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan debridement. Bila bayangan udara
tersebut tidak berhubungandengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa
fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda
asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping
melihat kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan tandatanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap
diperlukan untuk konfirmasi untuk melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal,
rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk fraktur-fraktur
yang tidak memberikan gejala kalsik dalam menentukan diagnosa harus dibantu
pemeriksaan radiologis sebagai gold standar.
Untuk menghindari kesalahan maka dikenal metode rule of two, yaitu ;
1. 2 posisi
Fraktur atau dislikasi mungkin tidak terlihat pada film rontge ntunggal, dan
sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut pandang (AP dan lateral).
2. 2 sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur dan
angulasi. Tetapi, angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain
juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi di atas dan di
bawah fraktur keduanya harus disertakan pada foto rontgen.
3. 2 tungkai
Pada rontgen tulang anak-anak epifisis yang normal dapat mengacaukan
diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
4. 2 cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat.
Karena itu, bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur, perlu juga diambil foto
rontgen pada pelvis dan tulang belakang.
5. 2 waktu
Segera setelah cedera, suatu fraktur (skafoid karpal) mungkin sulit dilihat.
Pemeriksaan selanjutnya setelah 10-14 hari kemudian dapat memudahkan
diagnosis.
Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat tulang
lapisan demi lapisan dan juga MRI untuk mengidentifikasi cedera pada jaringan lunak
seperti tendon, ligament dan tulang rawan.
3.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip penatalaksanaan fraktur
1. Pertolongan pertama membersihkan jalan napas, menutup luka dengan
verban yang bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena
agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut
dengan ambulans
2. Penilaian klinis nilai luka, apakah luka tembus tulang atau tidak, adakah
trauma pembuluh darah atau saraf atau trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi kebanyakan penderita dengan fraktur multiple tiba di rumah
sakit dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi
pada frakturnya sendiri berupa transfusi darah dan cairan-cairan lainnya serta
obat-obat anti nyeri.
Empat Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Awal pengobatan perlu diperhatikan :
Lokalisasi fraktur
Bentuk fraktur
Menentukan teknik yang sesuai dengan pengobatan
Komplikasi yang mungkin selama dan sesudah pengobatan
2. Reduction
Mengurangi fraktur dengan cara reposisi fraktur. Harus dengan posisi yang
baik yaitu:
Alignment yang sempurna
Aposisi yang sempurna
3. Retention
Imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penanggulangan fraktur terbuka
Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur tebuka:
1. Obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan.
2. Adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat
menyebabkan kematian.
3. Berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah
4.
5.
6.
7.
8.
9.
operasi.
Segera dilakukan debrideman dan irigasi yang baik
Ulangi debrideman 24-72 jam berikutnya
Stabilisasi fraktur.
Biarkan luka tebuka antara 5-7 hari
Lakukan bone graft autogenous secepatnya
Rehabilitasi anggota gerak yang terkena
Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan
sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang
terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah
konsistensinya
yang
buruk,
tidak
dapat
berkontraksi bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan
sama sekali.
Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka,
penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau
Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue
tranplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang
hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
4. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary
splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian
bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam
dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices
sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang
setelah luka jaringan luka baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan
fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah
salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan
untuk mempermudah perawatan luka harian.
5. Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.
6. Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness skingraft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan
serum pada luka yang dalam. luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa
hari tapi tidak lebih dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed
primary closure. yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak
dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
7. Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya
trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I
(cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin
1-2 mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan
setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalamcperawatan
ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan
sensitifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian antibiotik yang
digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka
derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang
terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan
kecurigaan sepsis. Penelitian lain menyatakan pemberian antibiotik bertujuan
untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat
sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi. Co amoxiclav atau
cefuroxime (klindamisin jika alergi penisilin) merupakan antibiotic pilihan
pertama sebagai pencegahan terhadap bakteri gram positif dan gram negative.
Bersamaan saat dilakukan debridement dapat dikombinasikan dengan
gentamisin.
Grade I
Grade II
Grade III A
Segera mungkin Co
atau 3 jam amoxiclav
pertama
Co amoxiclav
Co amoxiclav
Co amoxiclav
Debridement
Co
amoxiclav
dan
gentamisin
Penutupan luka
Gentamisin dan
vankomisin
atau
telcoplanin
Gentamisin dan
vankomisin
atau
telcoplanin
Gentamisin dan
vankomisin
atau
telcoplanin
Profilaksis
Co
amoxiclav
Co amoxiclav
Co amoxiclav
Co amoxiclav
Periode max
24 jam
72 jam
72 jam
72 jam
8. Pencegahan tetanus
Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat
diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada
penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan
75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus
dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama 30 menit.
Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1
dosis boster 0,5 ml secara intramuskular.
Stabilisasi fraktur
Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)
yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton,
2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak
agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat
mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami
kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat
dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat
fluoroskopi.
2. Pemasangan screws or wires
Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang
stabil. Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur
intraartikuler dan periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau kombinasi
bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens,
1996).
3. Pemasangan intramedullary nails/rods
Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujungujung fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan
blood supply sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan non-union.
Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed
intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap
vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur
terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC sementara
disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan
setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi local maupun pin
tract infection.
b. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini digunakan
untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi eksternal, pin atau
sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang patah di atas dan di bawah tempat fraktur.
Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin atau sekrup dihubungkan ke sebuah
lempengan logam di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi
yang menyangga tulang dalam posisi yang tepat.
Pemasangan external fixation devices
Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada
pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian
pemasangan plat disbanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada
pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian
infeksi pada pemasangan plat akan memerulkan operasi berulang kali. Sedangkan
Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi
fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulse. Menurut Bach dan Hansen
(1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris
terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka
derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan fiksasi luar yang
pernah sangat popular di Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi
pada tempat masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42 %, dan resiko terjadi
malunion sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi
yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia, pemasangan
fiksasi luar dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi pada
fraktur yang tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator
yang lebih cepat.
Pada beberapa kasus, amputasi menjadi pilihan terapi. Immediate amputation
biasanya diindikasikan pada keadaan berikut:
Fraktur terbuka derajat IIIC dimana lesi tidak dapat diperbaiki dan iskemia
3.9 KOMPLIKASI
Komplikasi dari fraktur terbuka dapat dibagi dalam dua fase yaitu:
Fase dini komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa hari atau beberapa
minggu setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase dini ini
antara lain; kerusakan lapisan visceral, kerusakan pembuluh darah, kerusakan
pembuluh saraf, sindroma kompartemen, haemarthrosis, infeksi, gas gangrene.
Fase lambat komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa minggu hingga
beberapa bulaan setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase
lambat ini antara lain; delayed union, non-union, malunion, avascular necrosis,
gangguan pertumbuhan, lesi tendon, kompresi saraf, osteoarthritis.
Selain itu penggolongan komplikasi dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu
komplikasi yang terjadi secara umum atau sistemik dan komplikasi lokal.
Komplikasi umum
Syok, koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24 jam
pertama setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera yang
terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup
peningkatan katabolisme dan membutuhkan dukungan gizi.
Sindroma peremukan (Crush syndrome)
Sindroma peremukan dapat terjadi kalau sejumlah besar massa otot remuk,
seperti tukang batu yang terjatuh, atau kalau suatu turniket dibiarkan terlalu lama. Bila
kompresi dilepaskan, asam miohematin (sitokrom C), akibat pemecahan otot, dibawa
oleh darah ke ginjal dan menyumbat tubulus. Penjelasan lainnya adalah terjadinya
spasme arteria renalis dan sel tubulus yang anoksia mengalami nekrosis.
Syok hebat, tungkai yang dilepaskan tidak memiliki nadi dan kemudian
menjadi merah, bengkak dan melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang. Sekresi
ginjal berkurang dan terjadi uremia keluaran rendah dengan asidosis. Kalau sekresi
ginjal pulih dalam seminggu, pasien dapat bertahan. Sebagian besar pasien, kecuali
kalau diterapi dengan dialysis ginjal, menjadi semakin mengantuk dan mati dalam 14
hari.
Trombosis vena dan emboli paru-paru
Trombosis vena dalam (DVT = deep venous thrombosis) adalah komplikasi
yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Insiden yang sebenarnya tidak
diketahui tetapi mungkin lebih besar dari 30 % (Hedges dan Kakkar, 1988).
Trombosis paling sering terjadi dalam vena-vena di btis, dan jarang dalam vena-vena
proksimal dip aha dan pelvis. Thrombosis terutama berasal dari tempat yang terakhir
itu dan fragmen bekunya dibawa ke paru-paru. Insiden emboli paru-paru setelah
operasi ortopedik besar sekitar 5% dan insiden emboli fatal sekitar 0,5%.
Penyebab utama DVT pada pasien pembedahan adalah hipokoagulabilitas
darah, terutama akibat aktivitas factor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh
jaringan rusak. Sekali trombosis telah terjadi, factor-faktor sekunder menjadi penting,
stasis dapat diakibatkan oleh turniket atau pembalut yang ketat, tekanan terhadap meja
bedah dan kasur, dan imobilitas yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan
jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi.
Pasien yang terbanyak menghadapi DVT adalah orang tua, pasien dengan
penyakit kardiovaskular, pasien yang tertahan di tempat tidur setelah cedera dan
pasien yang mengalami artroplasti pinggul (dimana pelebaran reaming pada tulang
dan terlalu banyak manipulasi pada tungkai dapat merupakan factor predisposisi
tambahan).
Tetanus
Organism tetanus hanya berkembang dalam jaringan mati. Organism ini
menghasilkan eksotosin yang menuju susunan saraf pusat lewat darah dan saluran
getah bening perineural dari derah yang terinfeksi. Toksin terkait dalam sel tanduk
anterior sehingga tidak dapat dinetralkan oleh antitoksin.
Tetanus ditandai oleh kontraksi tonik, dan belakangan klonik, terutama pada
otot rahang dan muka (trismus, risus sardonicus), otot dekat luka itu sendiri, dan
kemudian pada leher dan badan. Pada akhirnya, diafragma dan otot interkostal dapat
kejang dan pasien mati karena asfiksia.
Gas gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi klostrodium (terutama
C welchii). Organisme anaerob ini dapat hidup dan berkembang biak hanya dalam
jaringan dengan tekanan oksigen yang rendah, karena itu tempat utama infeksinya
adalah luka yang koto dengan otot yang mati yang telah ditutup tanpa debridement
yang memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini menghancurkan dinding sel
dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan, sehingga memudahkan
penyebaran penyakit itu.
Gambaran klinik timbul dalam 24 jam setelah cedera, pasien mengeluh nyeri
hebat dan terdapat pembengkakan di sekitar luka dan secret yang kecoklatan dapat
ditemukan. Pembentukan gas biasanya tidak sangat nyata. Terdapat sedikit atau tidak
ada demam, tetapi denyut nadi meningkat dan bau yang khas menjadi jelas. Dengan
cepat pasien akan mengalami toksemia dan dapat terjadi koma dan kematian.
Emboli lemak
Adanya gumpalan lemak yang diameternya lebih besar daripada 10
mikrometer dalam sirkulasi, dan sedikit tanda-tanda histologist dari emboli lemak
pada paru-paru, terjadi pada sebagian besar orang dewasa setelah fraktur tertutup pada
tulang panjang. Untungnya hanya sejumlah kecil pasien yang mengalami sindroma
emboli lemak, yang sekarang dianggap sebagai bagian dari gangguan fungsi
pernafasan pasca trauma.
Sumber emboli lemak kemungkinan adalah sumber tulang dan keadaan ini
sering ditemukan pada pasien dengan fraktur multiple yang tertutup. Tetapi, emboli
lemak telah dilaporkan pada berbagai jenis kelainan yang bukan merupakan cedera
kerangka (misalnya luka bakar, infark ginjal dan operasi kardiopulmoner).
Patogenesisnya masih diperdebatkan.
Komplikasi lokal
Komplikasi local dapat timbul lebih dini (selama beberapa minggu pertama
setelah cedera) atau belakangan (dari beberapa minggu sampai beberapa tahun setelah
fraktur). Komplikasi ini selanjutnya dapat dibagi lagi memnjadi yang mempengaruhi
tulang dan yang melibatkan jaringan lunak dan sendi-sendi.
Komplikasi dini tulang
Infeksi
Fraktur terbuka dapat terinfeksi, fraktur tertutup hamper tidak pernah trinfeksi
kecuali kalau dibuka dengan operasi. Infeksi luka pasca trauma sekarang paling sering
menyebabkan osteitis kronis. Keadaan ini tidak mencegah penyatuan frajtur, tetapi
penyatuan akan berjalan lambat dan kesempatan mengalami fraktur ulang meningkat.
Komplikasi dini jaringan lunak
Lepuh fraktur
Keadaan ini akibat naiknya lapisan dangkal kulit karena edema, dan kadangkadang dapat dicegah dengan pemmbalutan yang erat. Lepuh harus ditutupi dengan
suatu pembalut steril yang kering.
Borok akibat gips
Borok akibat gips terjadi bila kulit menekan langsung pada tulang. Keadaan
ini harus dicegah dengan memberikan bantalan pada tonjolan-tonjolan tulang dan
dengan mengatur bentuk gips yang basah, sehingga tekanan didistribusikan ke
jaringan lunak di sekitar tonjolan-tonjolan tulang. Bila borok akibat gipas timbul,
pasien merasakan nyeri membakar local. Gips harus segera dipotong untuk membuat
jendela, kalau tidak nyeri peringatan akan mereda dengan cepat dan tanpa diketahui
mulai timbul nekrosis kulit.
Robekan serabut otot
Robekan serabut otot sering ditemukan pada setiap fraktur. Kecuali kalau otot
tersebut digunakan secara aktif, serabut yang robek dapat menempel pada serabut
yang tidak robek, kapsul atau tulang. Kalau perlekatan dibiarkan terjadi, akan
diperlukan rehabilitasi yang lama setelah fraktur berkonsolidasi. Fraktur dan otot yang
robek membutuhkan terapi. Lebih baik menangani kedua keadaan tersebut daripada
sendiri-sendiri.
Hematrosis
Fraktur pada badan sering disertai komplikasi cedera pada visera yang
dibawahnya, yang paling penting adalah penetrasi pada paru-paru dengan
pneumotoraks yang membahayakan jiwa setelah fraktur tulang rusuk dan rupture
kandung kemih atau uretra pada fraktur pelvis. Cedera ini membutuhkan terapi
darurat, sebelum fraktur ditangani.
tidak patah, ujung-ujung frajtur pada tulang lainnya dapat tetap terpisah dan kemudian
terjadi penundaan.
Non union
Bila keterlambatan penyatuan tidak diketahui, meskipun fraktur telah diterapi
dengan memadai, cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah adanya celah yang
terlalu lebar dan interposisi jaringan.
Celah terlalu lebar, kalau permukaan fraktur terpisah terlalu jauh, penyatuan
sangat lama atau mungkin tidak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan oleh fraktur
tembakan yang menghancurkan banyak bagian tulang. Akibat bagian tulang yang
lepas dalam kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Reaksi otot dimana otot pasien
sendiri menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada fraktur patela), atau
akibat terapi dengan traksi yang berlebih.
Interposisi non-union dapat terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini
berada di antara ujung-ujung tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada
fraktur mata kaki), otot (misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps),
kartilago (misalnya fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar sehingga
permukaan sendi kartilaginosa menghadap bahannya).
Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan (angulasi,
rotasi atau pemendekan yang tidak dapat diterima) fraktur itu dikatakan mengalami
malunion. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya fraktur secara cukup, kegagalan
mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan, atau kolaps yang berangsurangsur pada tulang yang osteoporotik atau kominutif.
Komplikasi belakang-jaringan lunak
Ulkus dekubitus (bed sores)
Ulkus dekubitus terjadi pada manusia atau pasien yang lumpuh. Kulit,
terutama di atas sakrum dan tumit, mudah terserang. Perawatan yang cermat dan
aktivitas lebih awal biasanya dapat mencegah ulkus dekubitus. Sekali ulkus ini terjadi,
terapi sukar, mungkin diperlukan eksisi jaringan nekrotik dan pencangkokan kulit.
Miotitis osifikans
Oksifikasi heterotopik otot kadang-kadang terjadi setelah cedera, terutama
dislokasi pada siku atau pukulan pada brakialis, deltoid, atau kuadriseps. Diduga ini
akibat dari kerusakan otot, tetapi keadaan ini juga terjadi tanpa cedera lokal pada
pasien yang tidak sadar atau pasien paraplegia.
Tendinitis
Tendinitis dapat menyerang tendon posterior tibialis setelah fraktur maleolus
medial. Tendinitis harus dicegah dengan reduksi yang tepat, kalau perlu dengan
operasi terbuka.
Ruptur tendon
Ruptur belakangan pada tendon ekstensor polisis longus dapat terjadi 6-12
minggu setelah fraktur radius bagian bawah. Penjahitan langsung jarang berhasil dan
ketidakstabilan yang diakibatkannya diterapi dengan memindahkan tendon ekstensor
indisis peoprius ke ujung distal tendon ibu jari yang robek. Ruptur belakangan pada
kaput biseps panjang setelah fraktur leher humerus biasanya tidak memerlukan terapi.
Kompresi saraf
Kompresi saraf dapat merusak saraf popliteal lateral kalau seorang lanjut usia
atau pasien yang kurus berbaring dengan kaki dalam rotasi luar penuh. Kellumpuhan
radialis dapat terjadi akibat kesalahan dalam penggunaan penopang. Kedua keadaan
itu adalah akibat kurangnya pengawasan.
Terjepitnya saraf
Deformitas tulang atau sendi mungkin mengakibatkan terjepitnya saraf lokal
dengan tanda-tanda yang khas, misalnya rasa baal atau paraestesia, hilangnya tenaga
dan pengecilan otot dalam distribusi saraf yang terkena. Tempat yang sering terkena
ialah :
1. Saraf ulnaris, akibat suatu siku valgus setelah terjadi fraktur kondilus lateral
yang tidak menyatu.
2. Saraf medianus, setelah cedera sekitar daerah pergelangan tangan.
3. Saraf tibialis posterior, setelah fraktur sekitar pergelangan kaki.
Terapinya adalah dengan dekompresi dini terhadap saraf, dalam hal saraf ulnaris dapat
dibutuhkan transposisi anterior.
Kontraktur volkman
Setelah cedera arteri atau suatu sindroma kompartemen, pasien dapat
mengalami kontraktur iskemik pada otot yang terkena. Tetapi saraf yang cedera oleh
iskemia kadang-kadang sembuh kembali. Sekurang-kurangnya sebagian, kerena itu
pasien memperlihatkan deformitas dan mengalami kekakuan, tetapi rasa baal tidak
selalu ditemukan. Tempat yang paling sering terkena adalah lengan bawah, tangan,
tungkai bawah dan kaki.
Komplikasi yang belakang-sendi
Ketidakstabilan sendi
Setelah cedera suatu sendi dapat ambruk. Penyebabnya antara lain adalah
berikut :
o Longgarnya ligamentosa, terutama pada lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metakarpofalangeal ibu jari.
o Kelemahan otot, terutama kalau pembebatan berlebihan atau lama, dan
latihan tidak cukup (lutut dan pergelangan kaki yang paling sering
terkena)
o Kehilangan tulang, terutama stelah suatu fraktur tembakan atau cedera
terbuka yang berat.
Cedera juga dapat mengakibatkan dislokasi berulang. Tempat yang paling
biasa adalah :
o Bahu, kalau labrum glenoid telah terlepas.
algodistrofi hal tersebut sangat penting. Kalau tidak ada perbaikan di dalam beberapa
minggu, blok simpatik atau obat simpatolitik misalnya guanetidin intravena dapat
membantu. Sekalipun demikian, fisioterapi jangka panjang akan diperlukan.
Osteoatritis
Fraktur yang melibatkan sendi dapat sangat merusak rawan sendi dan
menyebabkan osteoatritis pasca trauma dalam beberapa bulan. Sekalipun tulang
rawan sembuh, tidak teraturnya permukaan sendi dapat menyebabkan predisposisi
untuk osteoartritis sekunder beberapa tahun kemudian. Tidak banyak yang dapat
dilakukan untuk mencegah keadaan ini sekali fraktur telah menyatu.
Malunion pada suatu fraktur batang dapat sama sekali mengubah mekanika
sendi yang berdekatan dan ini juga dapat menyebabkan osteoartritis sekunder.
Angulasi sisa yang lebih dari 15 derajatpada tulang tungkai bawah harus dengan hatihati dinilai efeknya terhadap fungsi sendi dan kalau perlu dikoreksi oleh osteotoni.
3.10 PROGNOSIS
Prognosis pada fraktur terbuka tergantung dari derajat fraktur, dan penanganan
pada fraktur tersebut. Semakin berat derajat fraktur, semakin lama dan buruknya
penanganan maka prognosis akan buruk.
BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur terbuka adalah diskontinuitas atau terputusnya jaringan tulang maupun
jaringan skeletal akibat tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang yang terpapar oleh lingkungan luar. Fraktur terbuka merupakan suatu
keadaan darurat. Insiden fraktur terbuka sebesar 4% dan banyak pada laki-laki.
Klasifikasi fraktur terbuka yang dianut dewasa ini adalah menurut Gustillo dan
Anderson. Penyebabnya bisa berupa trauma langsung dan tidak langsung. Diagnosis
fraktur terbuka didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik yang paling
bermakna adalah look, feel dan move serta penunjang berupa pemeriksaan radiologis,
CT-Scan maupun MRI. Tujuan dari tata laksana fraktur terbuka adalah untuk
mengurangi resiko infeksi, terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini
serta pemberian antibiotik yang adekuat. Komplikasi fraktur sendiri terdiri dari
komplikasi fase dini maupun fase lambat yang dapat terjadi secara sistemik maupun
lokal. Prognosis tergantung pada penolongan fraktur itu sendiri yang harus dilakukan
sebelum 6 jam (golden period) dan juga berhubungan dengan derajat fraktur.