Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Fraktur merupakan kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung. Riset Kesehatan
Dasar Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 menyatakan di
Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh,
kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul. Dari 45.987 peristiwa
jatuh, yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus
kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%) dan dari
14.127 trauma benda tajam atau tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang
(1,7%).2
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan komplikasi. Fraktur
terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur
terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang
terstandar dan segera untuk mengurangi resiko infeksi. Utamanya adalah untuk
mencegah infeksi, penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa
hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi
yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang dapat dilakukan
berulang-ulang selama 48-72 jam, stabilisasi fraktur, penutupan kulit serta pemberian
antibiotik yang adekuat.1
Insiden fraktur terbuka di Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit di Skotlandia
mendata sebanyak 21.3 kasus per 100.000 dalam setahun. Fraktur diafisis menduduki
peringkat terbanyak pada tibia (21,6%), disusul oleh femur (12,1%), radius dan ulna
(9,3%), dan humerus (5,7%). Pada tulang panjang, fraktur terbuka diafiseal lebih
sering terjadi dibanding metafiseal (15.3 % versus 1.2%).11,12
Penulisan referat ini bertujuan agar sebagai dokter mampu mengenali
dan mendiagnosis suatu penyakit dengan tepat serta memberikan terapi awal
dan mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan. Tindakan awal
yang diberikan serta penanganan terapi lanjutan dilakukan sesuai dengan
kompetensi dokter yang ditujukan demi kesembuhan pasien.
BAB II
ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI, DAN BIOKIMIA TULANG

Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyai 5 fungsi
utama, yaitu membentuk rangka badan, tempat melekat otot, bagian dari tubuh untuk
melindungi dan mempertahankan alat-alat dalam, seperti otak, sumsum tulang
belakang, jantung dan paru-paru, tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan
garam dan sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hematopoetik untuk
memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan trombosit.6
Secara garis besar tulang terbagi atas, yaitu :
1. Tulang panjang, yang termasuk adalah femur, tibia, fibula, humerus, ulna. Tulang
panjang (os longum) terdiri dari 3 bagian, yaitu epifisis, diafisis dan metafisis.
Diaphysis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder.
Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar.
Metaphysis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang.
Daerah ini terutama disusun oleh trabekular atau sel spongiosa yang mengandung
sel-sel hematopoetik. Metaphysis juga menopang sendi dan menyediakan daerah
yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epiphysis. Epiphysis
langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang. Seluruh tulang dilapisi oleh
lapisan fibrosa yang disebut periosteum.
2. Tulang pendek antara lain yaitu tulang vertebra dan tulang-tulang carpal.
3. Tulang pipih antara lain yaitu tulang iga, tulang skapula, tulang pelvis.

Gambar 1. Bagian tulang panjang


Tulang terdiri atas bagian kompak pada bagian luar yang disebut korteks dan
bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekular dan diluarnya dilapisi oleh
periosteum. Berdasarkan histologisnya maka dikenal sebagai:
Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone), tulang ini pertmatama terbentuk dari osifikasi endokondral pada perkembangan embrional dan
kemudian secara perlahan-lahan menjadi tulang yang matur dan pada umur 1
tahun tulang imatur tidak terlihat lagi. Tulang imatur ini mengandung jaringan

kolagen dengan substansi semen dan mineral yang lebih sedikit dibandingkan

dengan tulang matur.


Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
o Tulang kortikal (cortical bone, dense bone, compacta bone)
o Tulang trabekular (cansellous bone, trabecular bone, spongiosa)
Secara histolgik, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah

sel, jaringan kolagen, dan mukopolisakarida. Tulang mature ditandai dengan sistem
Harversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi darah melalui korteks
yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih banyak substansi semen
dan mineral dibanding dengan tulang imatur.
Tulang terdiri atas bahan antar sel dan sel tulang. Sel tulang ada 3, yaitu
osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Sedang bahan antar sel terdiri dari bahan organik
(serabut kolagen, dll) dan bahan anorganik (kalsium, fosfor, dll). Osteoblas
merupakan salah satu jenis sel hasil diferensiasi sel mesenkim yang sangat penting
dalam proses osteogenesis dan osifikasi. Sebagai sel osteoblas dapat memproduksi
substansi organik intraseluler atau matriks, dimana kalsifikasi terjadi di kemudian
hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila kalsifikasi
terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat sesudah osteoblas dikelilingi
oleh substansi organik intraseluler, disebut osteosit dimana kradaan ini terjadi dalam
lakuna.
Osteosit adalah bentuk dewasa dari osteoblas yang berfungsi dalam recycling
garam kalsium dan berpartisipasi dalam reparasi tulang. Osteoklas adalah sel
makrofag yang aktivitasnya meresorpsi jaringan tulang. Kalsium hanya dapat
dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang mengilangkan
matriks organik dan kalsium secara bersamaan dan disebut deosifikasi. Jadi dalam
tulang selalu terjadi perubahan dan pembaharuan.8,9

Gambar 2. Bagian-bagian tulang


Tulang dapat dibentuk dengan dua cara: melalui mineralisasi langsung pada
matriks yang disintesis osteoblas (osifikasi intramembranosa) atau melalui

penimbunan matiks tulang pada matriks tulang rawan sebelumnya (osifikasi


endokondral).
Struktur tulang berubah sangat lambat terutama setelah periode pertumbuhan
tulang berakhir. Setelah fase ini perubahan tulang lebih banyak terjadi dalam bentuk
perubahan mikroskopik akibat aktivitas fisiologis tulang sebagai suatu organ biokimia
utama tulang. Komposisi tulang terdiri atas: substansi organik (35%), substansi
anorganik (45%), air (20%). Substansi organik terdiri atas sel-sel tulang serta
substansi organik intraseluler atau matriks kolagen dan merupakan bagian terbesar
dari matriks (90%), sedangkan sisanya adalah asam hialuronat dan kondrotin asam
sulfur. Substansi anorganik terutama terdiri atas kalsium dan fosfor dan sisanya oleh
magnesium, sodium, hidroksil, karbonat, dan fluorida. Enzim tulang adalah alkali
fosfatase yang diproduksi oleh osteoblas yang kemungkinan besar mempunyai
peranan penting dalam produksi organik matriks sebelum terjadi kalsifikasi.
WAKTU PENYEMBUHAN FRAKTUR
Waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual dan berhubungan
dengan beberapa factor penting pada penderita, antara lain:
1. Umur penderita
Waktu penyembuhan tulang pada anak anak jauh lebih cepat pada orng
dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktivitas proses osteogenesis pada
daerah periosteum dan endoestium dan juga berhubungan dengan proses
remodeling tulang pada bayi pada bayi sangat aktif dan makin berkurang
apabila unur bertambah
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Lokalisasi fraktur memegang peranan sangat penting. Fraktur metafisis
penyembuhannya lebih cepat dari pada diafisis. Disamping itu konfigurasi
fraktur seperti fraktur tranversal lebih lambat penyembuhannya dibanding
dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.
3. Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana periosteum intak, maka
penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur yang
bergeser. Terjadinya pergeseran fraktur yang lebih besar juga akan
menyebabkan kerusakan periosteum yang lebih hebat.
4. Vaskularisasi pada kedua fragmen
Apabila kedua fragmen memiliki vaskularisasi yang baik, maka penyembuhan
biasanya tanpa komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur vaskularisasinya jelek

sehingga mengalami kematian, maka akan menghambat terjadinya union atau


bahkan mungkin terjadi nonunion.
5. Reduksi dan Imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang
lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah
pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang akan mengganggu
penyembuhan fraktur.
6. Waktu imobilisasi
Bila imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi
union, maka kemungkinan untuk terjadinya nonunion sangat besar.
7. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lemak.
Bila ditemukan interposisi jaringan baik berupa periosteal, maupun otot atau
jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi kedua ujung
fraktur.
8. Adanya infeksi
Bila terjadi infeksi didaerah fraktur, misalnya operasi terbuka pada fraktur
tertutup atau fraktur terbuka, maka akan mengganggu terjadinya proses
penyembuhan.
9. Cairan Sinovial
Pada persendian dimana terdapat cairan sinovia merupakan hambatan dalam
penyembuhan fraktur.
10. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak
Gerakan pasif dan aktif pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi
daerah fraktur tapi gerakan yang dilakukan didaerah fraktur tanpa imobilisasi
yang baik juga akan mengganggu vaskularisasi.
Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu 4 bulan. Waktu
penyembuhan pada anak secara kasar setengah waktu penyembuhan daripada orang
dewasa. Perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa dapat di lihat pada table
berikut:
LOKALISASI
Phalang / metacarpal/ metatarsal / kosta
Distal radius
Diafisis ulna dan radius
Humerus
Klavicula
Panggul
Femur
Condillus femur / tibia
Tibia / fibula
Vertebra

WAKTU PENYEMBUHAN (minggu)


36
6
12
10 12
6
10 12
12 16
8 10
12 16
12

Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis dan
union secara radiologik. Penilaian secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan daerah
fraktur dengan melakukan pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan
kompresi untuk mengetahui adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita.
Keadaan ini dapat dirasakan oleh pemeriksa atau oleh penderita sendiri. Apabila tidak
ditemukan adanya gerakan, maka secara klinis telah terjadi union dari fraktur. Union
secara radiologik dinilai dengan pemeriksaan roentgen pada daerah fraktur dan dilihat
adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan adanya trabekulasi yang
sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya
medulla atau ruangan dalam daerah fraktur.

BAB III
PEMBAHASAN FRAKTUR TERBUKA
3.1 DEFINISI
Secara umum, fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan tulang
atau tulang rawan dan vaskularisasi disekitarnya yang umumnya disebabkan trauma,
baik trauma langsung maupun tidak langsung atau karena adanya kelainan yang
bersifat patologis. Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung
pada jenis, kekuatan dan arahnya trauma.
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri, sehingga timbul
komplikasi berupa infeksi.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Masalah pada tulang
yang mengakibatkan keparahan disabilitas adalah fraktur. Badan kesehatan dunia
(WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan
insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Dari 31,575
kejadian fraktur pertahun di Amerika didapatkan 1000 kejadian fraktur terbuka dan
tertinggi yakni fraktur ekstremitas bawah sekitar 3,7 % pertahunnya atau 488 kejadian
fraktur terbuka dari 13,096 fraktur ekstremitas bawah.

Frekuensi dari fraktur terbuka bervariasi tergantung dari faktor geografis dan
sosioekonomis, populasi penduduk, dan trauma yang terjadi. Dari data yang diambil
dari Universitas Gadjah Mada didapatkan insidensi fraktur terbuka sebesar 4% dari
seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3,64 : 1 dan kelompok
umur mayoritas dekade dua atau dekade tiga, dimana mobilitas dan aktifitas fisik
tergolong tinggi.
Fraktur

terbuka

sering

membutuhkan

pembedahan

segera

untuk

membersihkan area yang mengalami cidera. Karena diskontinuitas pada kulit, debris
dan infeksi dapat masuk ke lokasi fraktur dan mengakibatkan infeksi pada tulang.
Infeksi pada tulang dapat menjadi masalah yang sulit ditangani. Gustilo dan Anderson
melaporkan bahwa 50,7 % dari pasien mereka memiliki hasil kultur yang positif pada
luka mereka pada evaluasi awal. Sementara 31% pasien yang memiliki hasil kultur
negatif pada awalnya, menjadi positif pada saat penutupan definitif. Oleh karena itu,
setiap upaya dilakukan untuk mencegah masalah potensial tersebut dengan
penanganan dini.

2,3,5

Insiden fraktur terbuka di Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit di Skotlandia


mendata sebanyak 21.3 kasus per 100.000 dalam setahun. Fraktur diafisis menduduki
peringkat terbanyak pada tibia (21,6%), disusul oleh femur (12,1%), radius dan ulna
(9,3%), dan humerus (5,7%). Pada tulang panjang, fraktur terbuka diafiseal lebih
sering terjadi dibanding metafiseal (15.3 % versus 1.2%).11,12
Lokasi
Jumlah kasus fraktur
Fraktur Terbuka
Ekstremitas atas
15,406
503
Ekstremitas bawah
13,096
488
Lingkar bahu
1,448
3
Pelvis
942
6
Tulang Belakang
683
0
Total
31,575
1,000

%
3.3
3.7
0.2
0.6
0.0
3.17

3.3 ETIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, 2 faktor yang mempengaruhi
terjadinya fraktur, yaitu:
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kekuatan trauma.
2. Instrisik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan dan densitas tulang.

Setelah fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya bergeser. Sebagian oleh


gaya berat dan sebagian oleh tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran biasanya
disebut dengan aposisi, penjajaran (alignment), rotasi dan berubahnya panjang.
Semua fraktur terbuka harus dianggap terkontaminasi, sehingga mempunyai
potensi untuk terjadi infeksi. Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmenfragmen tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang
terjadi, gaya berat, maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran fragmen
fraktur akibat suatu trauma dapat berupa:
1. Aposisi (pergeseran ke samping/ sideways, tumpang tindih dan berhimpitan/
overlapping, bertrubukan sehingga saling tancap/ impacted) : fragmen dapat
bergeser ke samping, ke belakang atau ke depan dalam hubungannya dengan
satu sama lain, sehingga permukaan fraktur kehilangan kontak. Fraktur
biasanya akan menyatu sekalipun aposisi tidak sempurna, atau sekalipun
ujung-ujung tulang terletak tidak berkontak sama sekali.
2. Angulasi (kemiringan/ penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur) :
fragmen dapat miring atau menyudut dalam hubungannya satu sama lain.
3. Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang) : salah satu
fragmen dapat berotasi pada poros longitudinal, tulang itu tampak lurus tetapi
tungkai akhirnya mengalami deformitas rotasional.
4. Panjang (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau overlapping
antara fragmen fraktur): fragmen dapat tertarik dan terpisah atau dapat
tumpang tindih, akibat spasme otot, menyebabkan pemendekan tulang.
Adapun hubungan garis fraktur dengan energi trauma, yaitu:
GARIS FRAKTUR
Transversal, oblik, spiral (sedikit
bergeser/ masih ada kontak)
Butterfly, transversal (bergeser), sedikit
kominutif
Segmental kominutif (sangat bergeser)

MEKANISME TRAUMA
Angulasi/ memutar

ENERGI
Ringan

Kombinasi

Sedang

Variasi

Berat

3.4 KLASIFIKASI FRAKTUR TERBUKA


Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan
Anderson (1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme cedera,
derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat kontaminasi.
Klasifikasi Gustillo ini membagi fraktur terbuka, yaitu
TIPE
I
II

BATASAN
Laserasi < 1 cm, kerusakan jaringan minimal, luka relatif bersih
Laserasi >1 cm, tidak ada kerusakan jaringan hebat atau avulsi, terdapat
kontaminasi

III
IIIA
IIIB
IIIC

Luka lebar dan rusak berat atau hilangnya jaringan di sekitar dan terdapat
kontaminasi berat
Tulang yang fraktur masih ditutupi jaringan lunak
Terdapat periosteal stripping yang luas dan penutupan luka dilakukan dengan
flap lokal atau flap jauh
Fraktur disertai kerusakan pembuluh darah

Keterangan :
Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan
bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya

luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau in-out.


Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringn

lunak dan fraktur tidak kominutif.


Tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit,
jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan
kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi

traumatik.
Tipe IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak,

walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.


Tipe IIIB terjadi pada fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringn lunak,
sehingga tulang terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum,
fraktur kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masif dan merupakan trauma

high energy tanpa memandang luas luka.


Tipe IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar
fungsi dari bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat
kerusakan jaringan lunak.

Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Terbuka


3.5 PATOFISIOLOGI

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Apabila tekanan eksternal lebih besar dari yang diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung, trauma tidak
langsung, atau kondisi patologis. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan tulang yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medulla tulang. Akibat hematoma yang terjadi dapat
menghambat suplai darah/nutrisi ke jaringan tulang yang berdekatan, sehingga
jaringan tulang mengalami nekrosis dan menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan infiltrasi sel darah putih.
Tahap ini menunjukan tahap awal penyembuhan tulang. Hematoma yang terjadi juga
menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler,
kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein
plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema.
Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf yang dapat menyebabkan nyeri
yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan sindroma kompartement.

Gambar 4. Skema terjadinya komplikasi pada fraktur terbuka


Fraktur yang hebat menyebabkan diskontinuitas tulang yang dapat merubah
jaringan sekitar seperti merusak integritas kulit atau terjadi laserasi kulit hal ini
menyebabkan fraktur terbuka. Fraktur juga menyebabkan terjadinya

pergeseran

fragmen tulang yang dapat mempengaruhi mobilitas fisik sehingga terjadi gangguan
pergerakan dan gangguan perfusi jaringan jika terjadi penyumbatan pembuluh darah
oleh emboli lemak dan trombosit yang terjadi akibat reaksi stress dan memicu
pelepasan katekolamin yang disebabkan oleh peningkatan tekanan sumsung tulang
dibanding tekanan kapiler. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur yaitu faktor
ekstrinsik (adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur) dan faktor
intrinsik (yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur) seperti kapasitas
absorbsi dari tekanan, elastisita, kelelahan dan kepadatan atau kekerasan tulang.
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase yaitu :
1. Fase hematoma (dalam waktu 24 jam timbul perdarahan)
Apabila terjadi fraktur tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami robekan pada daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur.Periosteum
akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang
terjadi sehingga dapat terjadi ektravasasi darah ke dalam

jaringan

lunak.Osteosit dengan lakunanya yang terletak didekat fraktur akan


kehilangan darah dan mati,yang akan menimbulakn suatu daerah cincin
avaskuler tulang yang mati pada sisi fraktur segera setelah trauma.
2. Fase proliferasi/inflamasi (terjadi 1-5 hari)
Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktir sebagai suatu

reaksi

penyembuhan.Penyembuhan terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang


berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada
daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktivitas seluler dalam
kanalis medularis. Pada tahap awal penyembuhan fraktur ini terjadi
pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang member pertumbuhan
cepat .setelah beberapa minggu ,kalus dari fraktur akan membentuk massa
yang meliputi jaringan osteogenik.
3. Fase pembentukan kalus(terjadi 6-10 hari setelah trauma)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel
dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk
tulang rawan.tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan

perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk tulang


imatur.Bentuk tulang ini disebut woven bone.
4. Fase konsolidasi (2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi
struktur lamellar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling(waktu lebih dari 10 minggu)
Pada fase remodeling ini perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik
dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara
perlahan-lahan hilang.kalus intermediate berubah menjadi tulang yang
kompak dan berisi system haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
peronggaan membentuk ruang sumsum.

Gambar
5. Fase

penyembuhan fraktur pada tulang kortikal

3.6 MANIFESTASI KLINIS


Deformitas karena adanya pergeseran fragmen pada fraktur
Nyeri terus menerus dan bertambah berat terutama bila digerakan
Pembengkakan, memar dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai

akibat trauma dan perubahan yang mengikuti fraktur.


Ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak akibat terputusnya

kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan.


Krepitasi yaitu derik tulang yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan fragmen lainnya.
3.7 DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur terbuka dapat ditegakkan dengan riwayat penderita,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis.


Anamnesis

Faktor trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi sangat penting
dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena akan berdampak pada kerusakan
jaringan itu sendiri. Riwayat trauma kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat
ketinggian, luka tembak dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda
berat akan mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau trauma
olah raga. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai keluhan penderita,
biomekanisme trauma, likasi dan derajat nyeri. Umur dan kondisi penderita sebelum
kejadian seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus dan sebagainya merupakan
faktor yang perlu dipertimbangkan juga. Kalau fraktur terjadi akibat cedera ringan,
curigailah lesi patologi. Nyeri, memar, dan pembengkakan adalah gejala yang sering
ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak.
Deformitas jauh lebih mendukung.
Anamnesis mengenai gejala-gejala cedera yang berkaitan, seperti baal atau
hilangnya gerakan, kulit yang pucat/ sianosis, darah dalam urin, nyeri perut, hilangnya
kesadaran untuk sementara. Tanyakan juga tentang cedera sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah identisifikasi luka secara jelas dan
gangguan neurovaskular bagian distal dan lesi tersebut. Pulsasi arteri bagian distal
penderita hipotensi akan melemah dan dapat menghilangkan sehingga dapat terjadi
kesalahan penilaian vaskular tersebut.bila disertai trauma kepala dan tulang belakang
maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut. Pemeriksaan
kulit seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
1. Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak. Kalau kulit robek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).
2. Feel (palpasi)
Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari
fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh
darah adalah keadaad darurat yang memerulkan pembedahan. Raba suhu pada
daerah trauma yang biasanya meningkat.
3. Movement (gerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pnting untuk
menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal
dari cedera. Lakukan pergerakan secara aktif maupun pasif dari sendi
proksimal ke bagian distal pada daerah yang mengalami trauma.

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan
tulang dan jaringn lunak yang berhubungn dengan derajat energi dari trauma itu
sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak merupakan petunjuk dalam melakukan
pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan debridement. Bila bayangan udara
tersebut tidak berhubungandengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa
fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda
asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping
melihat kondisi fraktur atau tipe fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan tandatanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap
diperlukan untuk konfirmasi untuk melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal,
rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk fraktur-fraktur
yang tidak memberikan gejala kalsik dalam menentukan diagnosa harus dibantu
pemeriksaan radiologis sebagai gold standar.
Untuk menghindari kesalahan maka dikenal metode rule of two, yaitu ;
1. 2 posisi
Fraktur atau dislikasi mungkin tidak terlihat pada film rontge ntunggal, dan
sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut pandang (AP dan lateral).
2. 2 sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur dan
angulasi. Tetapi, angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain
juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi di atas dan di
bawah fraktur keduanya harus disertakan pada foto rontgen.
3. 2 tungkai
Pada rontgen tulang anak-anak epifisis yang normal dapat mengacaukan
diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
4. 2 cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat.
Karena itu, bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur, perlu juga diambil foto
rontgen pada pelvis dan tulang belakang.
5. 2 waktu
Segera setelah cedera, suatu fraktur (skafoid karpal) mungkin sulit dilihat.
Pemeriksaan selanjutnya setelah 10-14 hari kemudian dapat memudahkan
diagnosis.
Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat tulang
lapisan demi lapisan dan juga MRI untuk mengidentifikasi cedera pada jaringan lunak
seperti tendon, ligament dan tulang rawan.

3.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip penatalaksanaan fraktur
1. Pertolongan pertama membersihkan jalan napas, menutup luka dengan
verban yang bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena
agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut
dengan ambulans
2. Penilaian klinis nilai luka, apakah luka tembus tulang atau tidak, adakah
trauma pembuluh darah atau saraf atau trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi kebanyakan penderita dengan fraktur multiple tiba di rumah
sakit dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi
pada frakturnya sendiri berupa transfusi darah dan cairan-cairan lainnya serta
obat-obat anti nyeri.
Empat Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Awal pengobatan perlu diperhatikan :
Lokalisasi fraktur
Bentuk fraktur
Menentukan teknik yang sesuai dengan pengobatan
Komplikasi yang mungkin selama dan sesudah pengobatan
2. Reduction
Mengurangi fraktur dengan cara reposisi fraktur. Harus dengan posisi yang
baik yaitu:
Alignment yang sempurna
Aposisi yang sempurna
3. Retention
Imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penanggulangan fraktur terbuka
Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur tebuka:
1. Obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan.
2. Adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat
menyebabkan kematian.
3. Berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah
4.
5.
6.
7.
8.
9.

operasi.
Segera dilakukan debrideman dan irigasi yang baik
Ulangi debrideman 24-72 jam berikutnya
Stabilisasi fraktur.
Biarkan luka tebuka antara 5-7 hari
Lakukan bone graft autogenous secepatnya
Rehabilitasi anggota gerak yang terkena

Tatalaksana fraktur terbuka bergantung pada derajat fraktur. Berdasarkan standar


manajemen fraktur terbuka pada ekstremitas bawah oleh British Orthopaedic
Association dan british Association of Plastic, Reconstructive and aesthetic Surgeons
2009, fraktur terbuka semua derajat harus mendapatkan antibiotik dalam 3 jam setelah
trauma. Antibiotik yang menjadi pilihan adalah ko amoksiklav atau sefuroksim.
Apabila pasien alergi golongan penisilin dapat diberikan klindamisin. Pada saat
debridemen, antibiotik gentamisin ditambahkan pada regimen tersebut.
Pada kasus fraktur terbuka diperlukan ketepatan dan kecepatan diagnosis pada
penanganan agar komplikasi terhindar dari kematian atau kecacatan. Penatalaksanaan
fraktur terbuka derajat III meliputi tindakan life saving dan life limb dengan resusitasi
sesuai dengan indikasi, pembersihan luka dengan irigasi, eksisi jaringan mati dan
debridement, pemberian antibiotik (sebelum, selama, dan sesudah operasi), pemberian
anti tetanus, penutupan luka, stabilisasi fraktur dan fisioterapi. Tindakan definitif
dihindari pada hari ketiga atau keempat karena jaringan masih inflamasi/ infeksi dan
sebaiknya ditunda sampai 7-10 hari, kecuali dapat dikerjakan sebelum 6-8 jam pasca
trauma.
Tahap-Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka
1. Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen2 yang lepas.
Debridement bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan
jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu.
Dalam anestesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten
mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya
agar tetap ditempat. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti
dengan bantalan yang steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur.
Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan
sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika,
misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh
membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.
Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut:

Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan
sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang
terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah

diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas.


Fasia
Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.
Otot
Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot
yang mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang
keungu-unguannya,

konsistensinya

yang

buruk,

tidak

dapat

berkontraksi bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan

yang kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi.


Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan
cermat, tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal
dalam luka, pembuluh darah yang kecil dijepit dengan gunting tang

arteri dan dipilin.


Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka
itu bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung saraf dijahit
dengan bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan

pengenalan di kemudian hari.


Tendon
Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya
saraf, penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi

tidak perlu dilakukan.


Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan
kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus
diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas

sama sekali.
Sendi
Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka,
penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau

irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.


3. Penanganan jaringan lunak

Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue
tranplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang
hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
4. Stabilitas fraktur
Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaangips sebagai temporary
splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian
bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam
dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices
sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang
setelah luka jaringan luka baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan
fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah
salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan
untuk mempermudah perawatan luka harian.
5. Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.
6. Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness skingraft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan
serum pada luka yang dalam. luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa
hari tapi tidak lebih dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed
primary closure. yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak
dipaksakan yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
7. Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya
trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I
(cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin
1-2 mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan
setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalamcperawatan
ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan
sensitifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian antibiotik yang
digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka

derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang
terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan
kecurigaan sepsis. Penelitian lain menyatakan pemberian antibiotik bertujuan
untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat
sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi. Co amoxiclav atau
cefuroxime (klindamisin jika alergi penisilin) merupakan antibiotic pilihan
pertama sebagai pencegahan terhadap bakteri gram positif dan gram negative.
Bersamaan saat dilakukan debridement dapat dikombinasikan dengan
gentamisin.
Grade I

Grade II

Grade III A

Grade III B/C

Segera mungkin Co
atau 3 jam amoxiclav
pertama

Co amoxiclav

Co amoxiclav

Co amoxiclav

Debridement

Co
amoxiclav
dan
gentamisin

Co amoxiclav Co amoxiclav Co amoxiclav


dan gentamisin dan gentamisin dan gentamisin

Penutupan luka

Gentamisin dan
vankomisin
atau
telcoplanin

Gentamisin dan
vankomisin
atau
telcoplanin

Gentamisin dan
vankomisin
atau
telcoplanin

Profilaksis

Co
amoxiclav

Co amoxiclav

Co amoxiclav

Co amoxiclav

Periode max

24 jam

72 jam

72 jam

72 jam

8. Pencegahan tetanus
Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat
diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada
penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan
75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus
dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama 30 menit.
Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1
dosis boster 0,5 ml secara intramuskular.

Stabilisasi fraktur
Imobilisasi Gips (Plaster of Paris)

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser


setelah dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat
sementara agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen fraktur tidak merusak
jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan
mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak
sesuai bentuk anggota gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif
pilihan. Pada fraktur terbuka derajat III, dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang
hebat dan luka terkontaminasi, penggunaan gips untuk stabilisasi fraktur cukup
beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi
penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secondary
bone healing dengan pembentukan kalus.
- Pemasangan fiksasi
Tulang patah dalam fraktur terbuka biasanya digunakan metode fiksasi
eksternal atau internal. Metode ini memerlukan operasi.
a. Fiksasi Internal
Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi (dikurangi) ke posisi
normal kemudian diikat dengan sekrup khusus atau dengan melampirkan pelat logam
ke permukaan luar tulang. Fragmen juga dapat diselenggarakan bersama-sama dengan
memasukkan batang bawah melalui ruang sumsum di tengah tulang. Karena fraktur
terbuka mungkin termasuk kerusakan jaringan dan disertai dengan cedera tambahan,
mungkin diperlukan waktu sebelum operasi fiksasi internal dapat dilakukan dengan
aman. Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam,
yaitu:
1. Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi
terjadi komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya
pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur
dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit
langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya
terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembentukan kalus periosteum. Pada
penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah
mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan
aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para
pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited
contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru
dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup

yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton,
2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak
agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat
mengakibatkan non-union. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami
kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat
dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat
fluoroskopi.
2. Pemasangan screws or wires
Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang
stabil. Pemasangan screw banyak digunakan dalam fiksasi fraktuur
intraartikuler dan periartikuler, baik digunakan secara tunggal atau kombinasi
bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens,
1996).
3. Pemasangan intramedullary nails/rods
Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujungujung fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan
blood supply sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan non-union.
Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa penggunaan undreamed
intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap
vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur
terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC sementara
disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan
setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi local maupun pin
tract infection.
b. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini digunakan
untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi eksternal, pin atau
sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang patah di atas dan di bawah tempat fraktur.
Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin atau sekrup dihubungkan ke sebuah
lempengan logam di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi
yang menyangga tulang dalam posisi yang tepat.
Pemasangan external fixation devices
Akhir-akhir ini pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar daripada
pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian
pemasangan plat disbanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada

pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian
infeksi pada pemasangan plat akan memerulkan operasi berulang kali. Sedangkan
Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi
fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulse. Menurut Bach dan Hansen
(1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris
terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka
derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996). Penggunaan fiksasi luar yang
pernah sangat popular di Eropa dan Amerika mempunyai resiko terjadinya komplikasi
pada tempat masuknya pin (pin tract infection) sebesar 20-42 %, dan resiko terjadi
malunion sebagai akibat reduksi yang kurang memadai dan akibat pelepasan fiksasi
yang terlalu awal setelah lama pemasangan. Pda fraktur diafisis tibia, pemasangan
fiksasi luar dengan unilateral frame external fixator merupakan indikasi, tetapi pada
fraktur yang tibia proksimal atau lebih distal penggunaan multiplanar external fixator
yang lebih cepat.
Pada beberapa kasus, amputasi menjadi pilihan terapi. Immediate amputation
biasanya diindikasikan pada keadaan berikut:
Fraktur terbuka derajat IIIC dimana lesi tidak dapat diperbaiki dan iskemia

sudah terjadi >8 jam


Anggota gerak yang mengalami crush berat dan jaringan viable yang

tersisa untuk revaskularisasi sangat minimal


Kerusakan neurologis dan soft tissue yang berat, dimana hasil akhir repair

tidak lebih baik dari penggunaan prosthesis.


Cedera multipel dimana amputasi dapat mengontrol perdarahan dan

mengurangi efek sistemik/life saving


Kasus dimana limb salvage bersifat life-threatening dengan adanya
penyakit kronik yang berat, seperti diabetes mellitus dengan gangguan

vaskular perifer berat dan neuropati.


Kondisi bencana / mass disaster

3.9 KOMPLIKASI
Komplikasi dari fraktur terbuka dapat dibagi dalam dua fase yaitu:
Fase dini komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa hari atau beberapa
minggu setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase dini ini
antara lain; kerusakan lapisan visceral, kerusakan pembuluh darah, kerusakan
pembuluh saraf, sindroma kompartemen, haemarthrosis, infeksi, gas gangrene.

Fase lambat komplikasi ini timbul dalam waktu beberapa minggu hingga
beberapa bulaan setelah terjadinya fraktur. Komplikasi yang muncul pada fase
lambat ini antara lain; delayed union, non-union, malunion, avascular necrosis,
gangguan pertumbuhan, lesi tendon, kompresi saraf, osteoarthritis.
Selain itu penggolongan komplikasi dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu
komplikasi yang terjadi secara umum atau sistemik dan komplikasi lokal.
Komplikasi umum
Syok, koagulasi difus dan gangguan fungsi pernafasan terjadi selama 24 jam
pertama setelah cedera. Juga terdapat reaksi metabolic lambat terhadap cedera yang
terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah cedera, ini mencangkup
peningkatan katabolisme dan membutuhkan dukungan gizi.
Sindroma peremukan (Crush syndrome)
Sindroma peremukan dapat terjadi kalau sejumlah besar massa otot remuk,
seperti tukang batu yang terjatuh, atau kalau suatu turniket dibiarkan terlalu lama. Bila
kompresi dilepaskan, asam miohematin (sitokrom C), akibat pemecahan otot, dibawa
oleh darah ke ginjal dan menyumbat tubulus. Penjelasan lainnya adalah terjadinya
spasme arteria renalis dan sel tubulus yang anoksia mengalami nekrosis.
Syok hebat, tungkai yang dilepaskan tidak memiliki nadi dan kemudian
menjadi merah, bengkak dan melepuh, sensasi dan tenaga otot dapat hilang. Sekresi
ginjal berkurang dan terjadi uremia keluaran rendah dengan asidosis. Kalau sekresi
ginjal pulih dalam seminggu, pasien dapat bertahan. Sebagian besar pasien, kecuali
kalau diterapi dengan dialysis ginjal, menjadi semakin mengantuk dan mati dalam 14
hari.
Trombosis vena dan emboli paru-paru
Trombosis vena dalam (DVT = deep venous thrombosis) adalah komplikasi
yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Insiden yang sebenarnya tidak
diketahui tetapi mungkin lebih besar dari 30 % (Hedges dan Kakkar, 1988).
Trombosis paling sering terjadi dalam vena-vena di btis, dan jarang dalam vena-vena
proksimal dip aha dan pelvis. Thrombosis terutama berasal dari tempat yang terakhir
itu dan fragmen bekunya dibawa ke paru-paru. Insiden emboli paru-paru setelah
operasi ortopedik besar sekitar 5% dan insiden emboli fatal sekitar 0,5%.
Penyebab utama DVT pada pasien pembedahan adalah hipokoagulabilitas
darah, terutama akibat aktivitas factor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh
jaringan rusak. Sekali trombosis telah terjadi, factor-faktor sekunder menjadi penting,
stasis dapat diakibatkan oleh turniket atau pembalut yang ketat, tekanan terhadap meja

bedah dan kasur, dan imobilitas yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan
jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi.
Pasien yang terbanyak menghadapi DVT adalah orang tua, pasien dengan
penyakit kardiovaskular, pasien yang tertahan di tempat tidur setelah cedera dan
pasien yang mengalami artroplasti pinggul (dimana pelebaran reaming pada tulang
dan terlalu banyak manipulasi pada tungkai dapat merupakan factor predisposisi
tambahan).
Tetanus
Organism tetanus hanya berkembang dalam jaringan mati. Organism ini
menghasilkan eksotosin yang menuju susunan saraf pusat lewat darah dan saluran
getah bening perineural dari derah yang terinfeksi. Toksin terkait dalam sel tanduk
anterior sehingga tidak dapat dinetralkan oleh antitoksin.
Tetanus ditandai oleh kontraksi tonik, dan belakangan klonik, terutama pada
otot rahang dan muka (trismus, risus sardonicus), otot dekat luka itu sendiri, dan
kemudian pada leher dan badan. Pada akhirnya, diafragma dan otot interkostal dapat
kejang dan pasien mati karena asfiksia.
Gas gangren
Keadaan yang mengerikan ini ditimbulkan oleh infeksi klostrodium (terutama
C welchii). Organisme anaerob ini dapat hidup dan berkembang biak hanya dalam
jaringan dengan tekanan oksigen yang rendah, karena itu tempat utama infeksinya
adalah luka yang koto dengan otot yang mati yang telah ditutup tanpa debridement
yang memadai. Toksin yang dihasilkan oleh organisme ini menghancurkan dinding sel
dan dengan cepat mengakibatkan nekrosis jaringan, sehingga memudahkan
penyebaran penyakit itu.
Gambaran klinik timbul dalam 24 jam setelah cedera, pasien mengeluh nyeri
hebat dan terdapat pembengkakan di sekitar luka dan secret yang kecoklatan dapat
ditemukan. Pembentukan gas biasanya tidak sangat nyata. Terdapat sedikit atau tidak
ada demam, tetapi denyut nadi meningkat dan bau yang khas menjadi jelas. Dengan
cepat pasien akan mengalami toksemia dan dapat terjadi koma dan kematian.
Emboli lemak
Adanya gumpalan lemak yang diameternya lebih besar daripada 10
mikrometer dalam sirkulasi, dan sedikit tanda-tanda histologist dari emboli lemak
pada paru-paru, terjadi pada sebagian besar orang dewasa setelah fraktur tertutup pada
tulang panjang. Untungnya hanya sejumlah kecil pasien yang mengalami sindroma
emboli lemak, yang sekarang dianggap sebagai bagian dari gangguan fungsi
pernafasan pasca trauma.

Sumber emboli lemak kemungkinan adalah sumber tulang dan keadaan ini
sering ditemukan pada pasien dengan fraktur multiple yang tertutup. Tetapi, emboli
lemak telah dilaporkan pada berbagai jenis kelainan yang bukan merupakan cedera
kerangka (misalnya luka bakar, infark ginjal dan operasi kardiopulmoner).
Patogenesisnya masih diperdebatkan.
Komplikasi lokal
Komplikasi local dapat timbul lebih dini (selama beberapa minggu pertama
setelah cedera) atau belakangan (dari beberapa minggu sampai beberapa tahun setelah
fraktur). Komplikasi ini selanjutnya dapat dibagi lagi memnjadi yang mempengaruhi
tulang dan yang melibatkan jaringan lunak dan sendi-sendi.
Komplikasi dini tulang
Infeksi
Fraktur terbuka dapat terinfeksi, fraktur tertutup hamper tidak pernah trinfeksi
kecuali kalau dibuka dengan operasi. Infeksi luka pasca trauma sekarang paling sering
menyebabkan osteitis kronis. Keadaan ini tidak mencegah penyatuan frajtur, tetapi
penyatuan akan berjalan lambat dan kesempatan mengalami fraktur ulang meningkat.
Komplikasi dini jaringan lunak
Lepuh fraktur
Keadaan ini akibat naiknya lapisan dangkal kulit karena edema, dan kadangkadang dapat dicegah dengan pemmbalutan yang erat. Lepuh harus ditutupi dengan
suatu pembalut steril yang kering.
Borok akibat gips
Borok akibat gips terjadi bila kulit menekan langsung pada tulang. Keadaan
ini harus dicegah dengan memberikan bantalan pada tonjolan-tonjolan tulang dan
dengan mengatur bentuk gips yang basah, sehingga tekanan didistribusikan ke
jaringan lunak di sekitar tonjolan-tonjolan tulang. Bila borok akibat gipas timbul,
pasien merasakan nyeri membakar local. Gips harus segera dipotong untuk membuat
jendela, kalau tidak nyeri peringatan akan mereda dengan cepat dan tanpa diketahui
mulai timbul nekrosis kulit.
Robekan serabut otot
Robekan serabut otot sering ditemukan pada setiap fraktur. Kecuali kalau otot
tersebut digunakan secara aktif, serabut yang robek dapat menempel pada serabut
yang tidak robek, kapsul atau tulang. Kalau perlekatan dibiarkan terjadi, akan
diperlukan rehabilitasi yang lama setelah fraktur berkonsolidasi. Fraktur dan otot yang
robek membutuhkan terapi. Lebih baik menangani kedua keadaan tersebut daripada
sendiri-sendiri.
Hematrosis

Fraktur yang melibatkan sendi dapat menyebabkan hemartrosis akut. Sendi


bengkak dan tegang dan pasien terhalang setiap kali mencoba menggerakkannya.
Darah harus diaspirasi sebelum menangani fraktur.
Cedera pembuluh darah
Fraktur yan paling sering disertai kerusakan pada arteri utama adalah fraktur
di sekitar lutut dan siku, dan fraktur batang humerus dan femur. Arteri dapat terputus,
robek, tertekan atau mengalami kontusi, akibat cedera awal atau sesudahnya akibat
fragmen tulang yang lancip. Meskipun penampilan luarnya normal, intima dapat
terlepas dan pembuluh tersumbat oleh thrombus, atau segmen arteri mungkin
mengalami spasme. Efek-efeknya bervariasi mulai dari pengurangan aliran darah
sementara sampai iskemia yang jelas, kematian jaringan dan gangguan perifer.
Sindroma kompartemen
Fraktur pada lengan dan kaki dapat menimbulkan iskemia hebat sekalipun
tidak ada kerusakan pembuluh besar. Perdarahan, edema atau radang (infeksi) dapat
meningkatkan tekanan pada salah satu kompartemen osteofasia. Terdapat penurunan
aliran kapiler yang mengakibatkan iskemia otot, yang akan menyebabkan edema lebih
jauh, mengakibatkan tekanan yang lebih besar lagi dan iskemia lebih hebat, suatu
lingkaran setan yang berakhir. Setelah 12 jam atau kurang, dengan nekrosis saraf dan
otot dalam kompartemen. Saraf dapat mengalami regenerasi, tetapi otot sekali terkena
infark, tidak dapat pulih dan digantikan oleh jaringan fibrosa yang tidak elastic
(kontraktur iskemik Volkman). Rangkaian kejadian yang serupa dapat disebabkan
oleh pembengkakan suatu tungkai dalam suatu cetakan gips yang ketat.
Cedera saraf
Fraktur dapat disertai komplikasi cedera saraf. Keadaan ini terutama sering
ditemukan pada fraktur humerus atau cedera di sekitar lutut. Tanda-tanda yang
member petunjuk harus dicari dalam pemeriksaan awal. Pada cedera tertutup, saraf
jarang terputus, dan penyembuhan spontan harus ditunggu. Kalau belum terjadi
penyembuhan dalam waktu yang diharapkan, saraf harus dieksplorasi, kadang-kadang
saraf terjebak diantara fragmen-fragmen dan kadang-kadang ditemukan terpisah. Pada
fraktur terbuka, suatu lesi lengkap (neurotmesis) kemungkinan besar terjadi. Saraf
dieksplorasi selama debridement luka dan diperbaiki, atau sebagi prosedur sekunder 3
minggu kemudian. Kompresi saraf akut kadang-kadang terjadi pada fraktur atau
dislokasi di sekitar pergelangan tangan. Keluhan baal atau parestesia dalam distribusi
saraf ulnaris atau medianus harus ditanggapi secara serius dan saraf dengan segera
dieksplorasi dan dilakukan dekompresi.
Cedera visceral

Fraktur pada badan sering disertai komplikasi cedera pada visera yang
dibawahnya, yang paling penting adalah penetrasi pada paru-paru dengan
pneumotoraks yang membahayakan jiwa setelah fraktur tulang rusuk dan rupture
kandung kemih atau uretra pada fraktur pelvis. Cedera ini membutuhkan terapi
darurat, sebelum fraktur ditangani.

Komplikasi belakang tulang


Nekrosis avaskular
Daerah tertrntu dikenal memiliki kecenderungan untuk mengalami iskemia

dan nekrosis tulang setelah cedera. Daerah-daerah itu adalah :


1. Kaput femoralis (setelah fraktur pada leher femur atau dislokasi pada pinggul).
2. Bagian proksimal dari skafoid (akibat fraktur pada pinggangnya).
3. Lunatum (setelah dislokasi).
4. Tubuh talus (setelah fraktur pada lehernya).
Tepatnya ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang karena iskemia terjadi
selama beberapa jam pertama setelah fraktur atau dislokasi. Tetapi, efek-efek klinik
dan radiologi tidak terlihat sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan
kemudian.
Penyatuan terlambat
Jangan sekali-kali mengandalkan untuk menentukan kapan terapi dapat
dihentikan. Kalau waktunya terlalu lama, digunakan istilah penyatuan terlambat.
Penyebabnya karena pasokan darah tidak cukup. Bila terjadi fraktur pada tulang yang
tidak memiliki serabut otot, terdapat resiko penyatuan lambat. Tulang yang mudah
terserang antara lain adalah tulang yang cenderung terkena nekrosis avaskular, dan
juga tibia bagian bawah(terutama fraktur ganda).
Infeksi fraktur terbuka lambat untuk menyatu, mungkin karena tidak banyak
hematoma di sekitar fraktur tempat kalus penyelubung terbentuk. Infeksi dapat
menunda penyatuan lebih jauh. Pembebatan yang tidak benar ini mencangkup:
Pembebatan yang tidak mencukupi, karena itu gips standar di bawah lutut tidak

cukup menahan fraktur batang tibia.


Traksi yang terlalu banyak, yang menarik tulang hingga terpisah.
Tulang disampingnya utuh kalau satu tulang pada lengan bawah atau kaki

tidak patah, ujung-ujung frajtur pada tulang lainnya dapat tetap terpisah dan kemudian
terjadi penundaan.
Non union
Bila keterlambatan penyatuan tidak diketahui, meskipun fraktur telah diterapi
dengan memadai, cenderung terjadi non-union. Penyebab lain ialah adanya celah yang
terlalu lebar dan interposisi jaringan.

Celah terlalu lebar, kalau permukaan fraktur terpisah terlalu jauh, penyatuan
sangat lama atau mungkin tidak pernah terjadi. Celah dapat diakibatkan oleh fraktur
tembakan yang menghancurkan banyak bagian tulang. Akibat bagian tulang yang
lepas dalam kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Reaksi otot dimana otot pasien
sendiri menarik kedua fragmen hingga terpisah (seperti pada fraktur patela), atau
akibat terapi dengan traksi yang berlebih.
Interposisi non-union dapat terjadi bila salah satru dari jaringan berikut ini
berada di antara ujung-ujung tulang periosteum (misalnya selapis periosteum pada
fraktur mata kaki), otot (misalnya fraktur femur dapat menembus otot kuadriseps),
kartilago (misalnya fraktur kondilus lateral humerus dapat demikian terputar sehingga
permukaan sendi kartilaginosa menghadap bahannya).
Malunion
Bila fragmen menyambung pada posisi yang tidak memuaskan (angulasi,
rotasi atau pemendekan yang tidak dapat diterima) fraktur itu dikatakan mengalami
malunion. Penyebabnya adalah tidak tereduksinya fraktur secara cukup, kegagalan
mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan, atau kolaps yang berangsurangsur pada tulang yang osteoporotik atau kominutif.
Komplikasi belakang-jaringan lunak
Ulkus dekubitus (bed sores)
Ulkus dekubitus terjadi pada manusia atau pasien yang lumpuh. Kulit,
terutama di atas sakrum dan tumit, mudah terserang. Perawatan yang cermat dan
aktivitas lebih awal biasanya dapat mencegah ulkus dekubitus. Sekali ulkus ini terjadi,
terapi sukar, mungkin diperlukan eksisi jaringan nekrotik dan pencangkokan kulit.
Miotitis osifikans
Oksifikasi heterotopik otot kadang-kadang terjadi setelah cedera, terutama
dislokasi pada siku atau pukulan pada brakialis, deltoid, atau kuadriseps. Diduga ini
akibat dari kerusakan otot, tetapi keadaan ini juga terjadi tanpa cedera lokal pada
pasien yang tidak sadar atau pasien paraplegia.
Tendinitis
Tendinitis dapat menyerang tendon posterior tibialis setelah fraktur maleolus
medial. Tendinitis harus dicegah dengan reduksi yang tepat, kalau perlu dengan
operasi terbuka.
Ruptur tendon
Ruptur belakangan pada tendon ekstensor polisis longus dapat terjadi 6-12
minggu setelah fraktur radius bagian bawah. Penjahitan langsung jarang berhasil dan
ketidakstabilan yang diakibatkannya diterapi dengan memindahkan tendon ekstensor

indisis peoprius ke ujung distal tendon ibu jari yang robek. Ruptur belakangan pada
kaput biseps panjang setelah fraktur leher humerus biasanya tidak memerlukan terapi.
Kompresi saraf
Kompresi saraf dapat merusak saraf popliteal lateral kalau seorang lanjut usia
atau pasien yang kurus berbaring dengan kaki dalam rotasi luar penuh. Kellumpuhan
radialis dapat terjadi akibat kesalahan dalam penggunaan penopang. Kedua keadaan
itu adalah akibat kurangnya pengawasan.
Terjepitnya saraf
Deformitas tulang atau sendi mungkin mengakibatkan terjepitnya saraf lokal
dengan tanda-tanda yang khas, misalnya rasa baal atau paraestesia, hilangnya tenaga
dan pengecilan otot dalam distribusi saraf yang terkena. Tempat yang sering terkena
ialah :
1. Saraf ulnaris, akibat suatu siku valgus setelah terjadi fraktur kondilus lateral
yang tidak menyatu.
2. Saraf medianus, setelah cedera sekitar daerah pergelangan tangan.
3. Saraf tibialis posterior, setelah fraktur sekitar pergelangan kaki.
Terapinya adalah dengan dekompresi dini terhadap saraf, dalam hal saraf ulnaris dapat
dibutuhkan transposisi anterior.
Kontraktur volkman
Setelah cedera arteri atau suatu sindroma kompartemen, pasien dapat
mengalami kontraktur iskemik pada otot yang terkena. Tetapi saraf yang cedera oleh
iskemia kadang-kadang sembuh kembali. Sekurang-kurangnya sebagian, kerena itu
pasien memperlihatkan deformitas dan mengalami kekakuan, tetapi rasa baal tidak
selalu ditemukan. Tempat yang paling sering terkena adalah lengan bawah, tangan,
tungkai bawah dan kaki.
Komplikasi yang belakang-sendi
Ketidakstabilan sendi
Setelah cedera suatu sendi dapat ambruk. Penyebabnya antara lain adalah
berikut :
o Longgarnya ligamentosa, terutama pada lutut, pergelangan kaki, dan
sendi metakarpofalangeal ibu jari.
o Kelemahan otot, terutama kalau pembebatan berlebihan atau lama, dan
latihan tidak cukup (lutut dan pergelangan kaki yang paling sering
terkena)
o Kehilangan tulang, terutama stelah suatu fraktur tembakan atau cedera
terbuka yang berat.
Cedera juga dapat mengakibatkan dislokasi berulang. Tempat yang paling
biasa adalah :
o Bahu, kalau labrum glenoid telah terlepas.

o Patela, kalau setelah dislokasi traumatik, kapsul sembuh dengan kurang


baik.
Bentuk ketidakstabilan yang lebih halus ditemukan setelah fraktur di sekitar
pergelangan tangan. Pasien yang mengeluhkan rasa tidak enak atau kelemahan yang
berkelanjutan setelah cedera pergelangan tangan harus diperiksa secara lengkap
untuk mencari ada tidaknya ketidakstabilan karpal kronis.
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi yang terjadi setelah suatu fraktur biasanya terjadi di lutut,
siku, bahu dan sendi-sendi kecil pada tangan. Kadang-kadang sendi sendiri
mengalami cedera. Suatu hemartrosis terbentuk dan mengakibatkan perlekatan
sinovial. Biasanya kekakuan terjadi akibat edema dan fibrosis pada kapsul, ligamen
dan otot di sekitar sendi, atau perlekatan dari jaringan lunak satu sama lain atau ke
tulang yang mendasari. Semua keadaan ini akan lebih buruk bila imobilisasi
berlangsung lama. Selain itu, kalau sendi telah dipertahankan dalam posisi dimana
ligamen terpendek, tidak ada latihan yang akan berhenti sepenuhnya merentangkan
jaringan ini dan memulihkan gerakan yang hilang.
Pada sejumlah kecil pasien dengan fraktur lengan bawah atau kaki,
pembengkakan dini pasca trauma disertai oleh nyeri tekan dan kekakuan progesif
dari sendi-sendi distal. Pasien ini sangat beresiko dapat mengalami distrofi simpatik
reflek (algodistrofi). Apakah ini suatu hal yang sama sekali terpisah atau hanya suatu
perluasan dari reaksi jaringan lunak pasca trauma yang normal masih tidak jelas.
Yang penting adalah mengenali jenis kekakuan ini bila terjadi dan menganjurkan
fisioterapi oleh seorang ahli sampai fungsi normal pulih kembali.
Algodistrofi (atrofi sudeck)
Pada tahun 1900, Sudeck menguraikan suatu keadaan yang ditandai oleh
osteoporosis yang nyeri pada tangan. Keadaan yang sama kadang-kadang terjadi
setelah fraktur pada tungkai dan sekarang diketahui bahwa ini adalah stadium akhir
dari algodistrofi pasca trauma. Ini jauh lebih sering ditemukan daripada yang semula
dipercaya dan dapat terjadi akibat cedera yang relatif sepele.
Pasien mengeluhkan nyeri yang terus-menerus dan terasa membakar. Mulamula terdapat pembengkakan lokal, kemerahan dan kehangatan, di samping nyeri
tekan dan kekakuan sedang pada sendi-sendi yang berdekatan. Setelah beberapa
minggu berlalu kulit menjadi pucat dan mengalami deformitas yang menetap. SinarX secara khas memperlihatkan penipisan tulang.
Lebih cepat keadaan ini dikenal dan terapi dimulai, prognosis akan lebih
baik. Peninggian dan latihan aktif penting setelah semua cedera, tetapi pada

algodistrofi hal tersebut sangat penting. Kalau tidak ada perbaikan di dalam beberapa
minggu, blok simpatik atau obat simpatolitik misalnya guanetidin intravena dapat
membantu. Sekalipun demikian, fisioterapi jangka panjang akan diperlukan.
Osteoatritis
Fraktur yang melibatkan sendi dapat sangat merusak rawan sendi dan
menyebabkan osteoatritis pasca trauma dalam beberapa bulan. Sekalipun tulang
rawan sembuh, tidak teraturnya permukaan sendi dapat menyebabkan predisposisi
untuk osteoartritis sekunder beberapa tahun kemudian. Tidak banyak yang dapat
dilakukan untuk mencegah keadaan ini sekali fraktur telah menyatu.
Malunion pada suatu fraktur batang dapat sama sekali mengubah mekanika
sendi yang berdekatan dan ini juga dapat menyebabkan osteoartritis sekunder.
Angulasi sisa yang lebih dari 15 derajatpada tulang tungkai bawah harus dengan hatihati dinilai efeknya terhadap fungsi sendi dan kalau perlu dikoreksi oleh osteotoni.
3.10 PROGNOSIS
Prognosis pada fraktur terbuka tergantung dari derajat fraktur, dan penanganan
pada fraktur tersebut. Semakin berat derajat fraktur, semakin lama dan buruknya
penanganan maka prognosis akan buruk.

BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur terbuka adalah diskontinuitas atau terputusnya jaringan tulang maupun
jaringan skeletal akibat tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang yang terpapar oleh lingkungan luar. Fraktur terbuka merupakan suatu
keadaan darurat. Insiden fraktur terbuka sebesar 4% dan banyak pada laki-laki.
Klasifikasi fraktur terbuka yang dianut dewasa ini adalah menurut Gustillo dan
Anderson. Penyebabnya bisa berupa trauma langsung dan tidak langsung. Diagnosis
fraktur terbuka didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik yang paling

bermakna adalah look, feel dan move serta penunjang berupa pemeriksaan radiologis,
CT-Scan maupun MRI. Tujuan dari tata laksana fraktur terbuka adalah untuk
mengurangi resiko infeksi, terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini
serta pemberian antibiotik yang adekuat. Komplikasi fraktur sendiri terdiri dari
komplikasi fase dini maupun fase lambat yang dapat terjadi secara sistemik maupun
lokal. Prognosis tergantung pada penolongan fraktur itu sendiri yang harus dilakukan
sebelum 6 jam (golden period) dan juga berhubungan dengan derajat fraktur.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kepemimpinan
    Kepemimpinan
    Dokumen3 halaman
    Kepemimpinan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • MP 8
    MP 8
    Dokumen2 halaman
    MP 8
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN KEUANGAN
    LAPORAN KEUANGAN
    Dokumen5 halaman
    LAPORAN KEUANGAN
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen44 halaman
    Lembar Pengesahan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Ukuran Jaket
    Ukuran Jaket
    Dokumen2 halaman
    Ukuran Jaket
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Kepemimpinan
    Kepemimpinan
    Dokumen3 halaman
    Kepemimpinan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Hasil Rapat 2 Bulanan
    Hasil Rapat 2 Bulanan
    Dokumen4 halaman
    Hasil Rapat 2 Bulanan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Peran Dokter Penerbangan
    Peran Dokter Penerbangan
    Dokumen8 halaman
    Peran Dokter Penerbangan
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Yang Biasa Disingkat AD
    Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Yang Biasa Disingkat AD
    Dokumen52 halaman
    Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Yang Biasa Disingkat AD
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Pengendalian PPTM
    Pengendalian PPTM
    Dokumen67 halaman
    Pengendalian PPTM
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Referat Saraf
    Referat Saraf
    Dokumen15 halaman
    Referat Saraf
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Cover Luar
    Cover Luar
    Dokumen1 halaman
    Cover Luar
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Transgender dari Aspek Medis
    Transgender dari Aspek Medis
    Dokumen5 halaman
    Transgender dari Aspek Medis
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Kekerasan Dalam Rumah Tangga
    Kekerasan Dalam Rumah Tangga
    Dokumen12 halaman
    Kekerasan Dalam Rumah Tangga
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Icd - Ix CM Mata
    Icd - Ix CM Mata
    Dokumen6 halaman
    Icd - Ix CM Mata
    Prabha Amandari Sutyandi
    100% (2)
  • SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
    SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
    Dokumen32 halaman
    SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Program PTM Puskesmas
    Program PTM Puskesmas
    Dokumen1 halaman
    Program PTM Puskesmas
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Mata
    Mata
    Dokumen2 halaman
    Mata
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • SMD Komboran
    SMD Komboran
    Dokumen1 halaman
    SMD Komboran
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Per Tanya An
    Per Tanya An
    Dokumen2 halaman
    Per Tanya An
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • TM Abadaftar Isi Tabel Gambar (Revisi)
    TM Abadaftar Isi Tabel Gambar (Revisi)
    Dokumen4 halaman
    TM Abadaftar Isi Tabel Gambar (Revisi)
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • No RE
    No RE
    Dokumen2 halaman
    No RE
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • DXFGH
    DXFGH
    Dokumen10 halaman
    DXFGH
    Nanda Soraya
    Belum ada peringkat
  • Rumah Sehat 5 - Perilaku
    Rumah Sehat 5 - Perilaku
    Dokumen6 halaman
    Rumah Sehat 5 - Perilaku
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • BAB V SPM - Revised
    BAB V SPM - Revised
    Dokumen13 halaman
    BAB V SPM - Revised
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • No RE
    No RE
    Dokumen2 halaman
    No RE
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • BAB V SPM - Revised
    BAB V SPM - Revised
    Dokumen13 halaman
    BAB V SPM - Revised
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Isiologi 3
    Isiologi 3
    Dokumen1 halaman
    Isiologi 3
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Emg 4
    Daftar Pustaka Emg 4
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka Emg 4
    Prabha Amandari Sutyandi
    Belum ada peringkat