LAPSUS SLE Dvinta
LAPSUS SLE Dvinta
Oleh:
Devinta Ifandari, S.Ked
I1A005085
Pembimbing:
dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh
Devinta Ifandari, S. Ked
Pembimbing
dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD
..
(dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD)
.
(dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................3
DAFTAR TABEL....................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1.
Sindroma nefrotik......................................................................................7
2.1.1.
Etiologi...............................................................................................7
2.1.2.
Diagnosis............................................................................................8
2.1.3.
Terapi................................................................................................11
2.1.4.
Komplikasi.......................................................................................12
2.2.
2.2.1.
Diagnosis..........................................................................................15
2.2.2.
Terapi...............................................................................................17
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
5 tahun adalah kurang dari 50%, SLE memiliki angka harapan hidup 10 tahun
rata-rata melebihi 90%.4,6,7
Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 20 tahun
yang didiagnosis sindroma nefrotik akibat systemic lupus erythematosus dengan
anemia ringan. Pasien dirawat dari tanggal 5 Juli s/d 9 Agustus 2010 di bangsal
Penyakit Dalam Wanita RSUD Ulin Banjarmasin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sindroma nefrotik
Sindroma nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai adanya proteinuria,
2.1.1. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat bersifat primer akibat dari kondisi spesifik pada
ginjal, atau dapat bersifat sekunder, sebagai manifestasi penyakit sistemik pada
ginjal. Pada semua kasus, cedera pada glomerulus adalah gambaran definitif yang
penting pada penyakit ini. Adapun penyebab primer dari sindroma nefrotik antara
8
2.1.2. Diagnosis
Tanda pertama dari sindroma nefrotik pada anak-anak biasanya adalah
edema pada wajah, hal ini kemudian diikuti oleh edema seluruh tubuh. Sedangkan
orang dewasa dapat memperlihatkan edema dependen. Kencing berbusa juga
dapat muncul sebagai salah satu gambaran klinisnya. Komplikasi trombotik,
seperti deep vein thrombosis dari vena tungkai atau bahkan embolus paru, dapat
menjadi petunjuk pertama adanya sindroma nefrotik. Tambahan gambaran klinis
lainnya dapat pula dikaitkan dengan penyebab sindroma nefrotik. Dengan
10
dimana penyerapan oleh sel-sel tubulus kemudian masuk ke dalam urin. Dilihat
dari polarizer, oval fat bodies dan fatty cast menyebabkan adanya gambaran
"Maltese cross". Adanya lebih dari 2 sel darah merah per lapangan pandang
berdaya tinggi merupakan indikasi adanya mikrohematuria. Mikrohematuria dapat
terjadi pada membranous nefropathy tetapi tidak ada pada minimal-change
nefropathy. Penyakit glomerulus memungkinkan sel darah merah untuk melintasi
membran basal glomerulus yang telah rusak dan sel darah merah dalam sedimen
kemudian dapat menjadi cacat atau dismorfik. Hal ini menunjukkan adanya
penyakit glomerulus dengan peradangan dan kerusakan pada struktur normal,
yaitu nefritis sehingga disebut gambaran nephritis. Hal ini dapat terjadi, misalnya,
pada sindroma nefrotik yang berhubungan dengan nefropati IgA atau
glomerulonefritis proliferatif. Lebih dari 2 cast granular di seluruh sedimen
merupakan penanda biologis adanya penyakit parenkim ginjal. Cast granular
bermacam kaliber juga menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal.1 Protein
urin diperiksa dengan urin sewaktu atau kolektif.8
Urin kolektif biasanya dilakukan selama 24 jam, mulai pukul 7 pagi
hingga pada hari berikutnya pada pukul yang sama. Pada individu yang sehat,
tidak boleh ada lebih dari 150 mg protein total dalam urin kolektif 24 jam.
Sedangkan pengumpulan urin sewaktu lebih mudah untuk didapatkan. Jika rasio
protein urin dan kreatinin urin lebih besar dari 2 g/g, maka hal ini sesuai dengan 3
gram protein urin per hari atau lebih. Tipe spesifik protein urin masih menjadi
topik yang disoroti saat ini. Hal ini dapat diuji dengan elektroforesis protein urin.
Proteinuria yang tidak termasuk albumin akan menunjukkan adanya overflow
11
2.1.3. Terapi
Prinsip-prinsip terapi untuk gejala akut pada orang dewasa dengan
sindrom nefrotik adalah sama dengan anak-anak. Diuretik akan sangat
dibutuhkan, seperti furosemid, spironolactone, dan bahkan metolazone. Deplesi
volume mungkin terjadi pada penggunaan diuretik, yang harus dipantau dengan
menilai gejala, berat badan, denyut nadi, dan tekanan darah. Antikoagulan telah
12
tekanan
darah
sistemik
dan
dengan
mengurangi
tekanan
nefrotik
tergantung
pada
penyebab
penyakit
ini.
Jadi,
2.1.4. Komplikasi
Infeksi merupakan masalah utama dalam sindroma nefrotik, pasien rentan
terhadap infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, dan bakteri gram negatif lainnya. Infeksi varicella juga umum terjadi.
Komplikasi infeksi yang paling umum adalah sepsis, selulitis, pneumonia, dan
peritonitis. Hipotesis untuk penjelasan komplikasi ini antara lain penurunan kadar
imunoglobulin dimana cairan edema bertindak sebagai medium, terjadinya pula
kekurangan protein, penurunan aktivitas bakterisida dari leukosit, terapi
13
lipoprotein
serum
akan
disaring
di
glomerulus
yang
menyebabkan lipiduria dan temuan klasik oval fat bodies dan fatty cast pada
sedimen urin.1 Terjadinya hiperlipidemia dapat dianggap sebagai tanda khas
sindroma
nefrotik,
bukan
hanya
komplikasi.
Hal
ini
terkait
dengan
hipoproteinemia dan tekanan onkotik serum yang rendah pada sindroma nefrotik
yang kemudian menyebabkan sintesis protein yang reaktif di hati, termasuk
lipoprotein.10
Penyakit vaskular aterosklerotik tampaknya terjadi dengan frekuensi yang
lebih besar pada individu dengan sindroma nefrotik daripada individu sehat pada
usia yang sama. Curry dan Roberts menunjukkan bahwa frekuensi dan luasnya
penyakit arteri koroner stenosis lebih besar pada pasien dengan sindroma nefrotik
dibandingkan subjek kontrol non-nefrotik. Ketika penelitian mereka diterbitkan
(1977), perlakuan penurunan lipid kurang banyak digunakan daripada sekarang.
Dengan demikian, kolesterol total serum rata-rata tertinggi dalam seri penelitian
ini lebih dari 400 mg/dL. Nilai tersebut masuk dalam rentang nilai kolesterol
serum pada hiperkolesterolemia familial, yaitu penyakit yang mempengaruhi
individu untuk mengalami infark miokard.11
Hipokalsemia umum terjadi pada sindroma nefrotik yang biasanya
disebabkan oleh kadar serum albumin yang rendah. Kepadatan tulang yang rendah
dan histologi tulang yang abnormal telah dilaporkan pula dalam kaitannya dengan
sindroma nefrotik. Hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya vitamin D terikat
14
15
2.2.
multi sistem organ dengan banyak manifestasi klinis dan imunologis. Hal ini
ditandai oleh adanya respon autoantibodi untuk antigen nuklear dan sitoplasmik.
Penyakit ini terutama melibatkan kulit, sendi, ginjal, sel darah, dan sistem saraf.3
2.2.1. Diagnosis
Trias demam, nyeri sendi, dan ruam pada wanita usia subur menimbulkan
kecurigaan adanya systemic lupus erythematosus (SLE). Ketiga gejala ini
merupakan beberapa gejala yang paling sering ditemukan pada pasien dengan
lupus.16,17 Kriteria diagnostik untuk SLE dari American College of Rheumatology
terakhir diperbaharui pada tahun 1997. Kriteria tersebut telah tercantum pada
bawah ini.18,19
16
Tabel 1. Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 dari American College of Rheumatology.
Kriteria
1. Ruam malar
Definisi
Eritema menetap, rata atau meninggi, di atas eminensia malar, yang
cenderung mengenai lipatan nasolabial
2. Ruam diskoid
Makula eritematosa yang meninggi dengan skala keratotik adheren dan
sumbatan folikel (jaringan parut atrofik dapat terjadi pada lesi lama)
3. Fotosensitif
Ruam kulit akibat reaksi sinar matahari yang tidak biasa, berdasarkan
anamnesis pasien atau pengamatan dokter
4. Ulserasi oral
Ulserasi oral atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, yang diamati oleh dokter
5. Radang sendi
Arthritis non-erosive yang melibatkan 2 sendi perifer, yang ditandai oleh
nyeri, bengkak, atau efusi
6. Serositis
(A) Pleuritis: Pastikan riwayat berhubunga dengan nyeri pleuritik atau bunyi
menggosok oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura
ATAU
(B) Perikarditis: Terdokumentasi dari EKG atau bunyi menggosok atau bukti
efusi perikardial
7. Gangguan ginjal (A) Persistent proteinuria >0,5 g/hari atau >3+ jika tidak dilakukan kuantisasi
ATAU
(B) Cellular cast: Mungkin sel darah merah, hemoglobin, granular, tubular,
atau campuran
8. Gangguan saraf (A) Kejang: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan metabolik
misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit
ATAU
(B) Psikosis: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan metabolik
misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit
9. Gangguan darah (A) Hemolytic anemia: Dengan retikulositosis
ATAU
(B) Leukopenia: <4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan
ATAU
(C) Limfopenia: <1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan
ATAU
(D) Trombositopenia: <100.000/mm3 tanpa adanya obat-obatan
10. Gangguan imun (A) Anti-DNA: Antibodi untuk DNA asli dalam titer abnormal
ATAU
(B) Anti-Sm: Adanya antibodi terhadap antigen Sm nuklear
ATAU
(C) Temuan positif antibodi antifosfolipid berdasarkan: (1) tingkat IgG
serum abnormal atau antibodi IgM anticardiolipin, (2) hasil tes positif untuk
antikoagulan lupus dengan menggunakan metode standar, atau (3) seropositif palsu untuk tes sifilis positif paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan imobilisasi Treponema pallidum atau tes penyerapan
fluorensens terhadap antibodi treponemal
11. Ab antinuklear Suatu titer antibodi antinuclear yang abnormal berdasarkan pemeriksaan
immunofluorescence pada setiap titik waktu dan tidak ada obat yang
diketahui terkait dengan sindroma lupus yang diinduksi obat
Seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4 atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara
serial atau bersamaan, selama interval pengamatan.
17
Gambar 3. Ruam malar klasik pada SLE: Butterfly rash di pipi dan jembatan hidung.3, 4
2.2.2. Terapi
Terapi systematic lupus erythematosus (SLE) tergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Tindak lanjut secara periodik dan pemeriksaan laboratorium,
seperti urinalisis, darah lengkap dengan hitung diferensial, dan kreatinin, penting
dilakukan untuk mendeteksi gejala-gejala dan tanda-tanda keterlibatan organsistem baru dan untuk memantau respon atau efek samping terapi. Setidaknya
diperiksa setiap 3 bulan sekali. European League Against Rheumatism (EULAR)
baru-baru ini merilis rekomendasi baru untuk terapi SLE. Rekomendasi terapi
untuk SLE tergantung pada manifestasi penyakit yang timbul.4
Secara umum, gejala seperti demam, manifestasi kulit, manifestasi
muskuloskeletal, dan serositis merupakan gejala pada penyakit ringan, yang
mungkin berkurang seiring aktivitas penyakit. Keadaan ini dapat dikontrol dengan
pemberian obat steroid potensi rendah atau durasi singkat. Keterlibatan SSP dan
18
penyakit ginjal harus diakui sebagai manifestasi penyakit yang lebih parah dan
sering diobati dengan imunosupresi yang lebih agresif. Darurat akut pada SLE
antara lain termasuk keterlibatan neurologis yang berat, vaskulitis sistemik,
trombositopenia dengan sindroma mirip TTP, glomerulonefritis progresif akut,
dan perdarahan alveolar difus. Keadaan-keadaan ini dapat diobati dengan steroid
dosis tinggi intravena dan terapi sitotoksik seperti siklofosfamid. Dalam kasus
yang jarang terjadi, seperti TTP, pendarahan alveolar difus, atau trombositopenia
refraktori steroid berturut-turut membutuhkan transfusi plasma atau terapi dengan
intravena immunoglobuline (IVIG). Sindroma katastrofik antibodi antifosfolipid
juga mengharuskan terapi akut yang agresif.4
Tindakan perawatan preventif untuk pasien dengan SLE diperlukan untuk
meminimalkan risiko osteoporosis akibat steroid dan penyakit aterosklerosis yang
progresif. Pedoman dari ACR dapat digunakan untuk mencegah osteoporosis
akibat glukokortikosteroid ini yang menunjukkan langkah-langkah klasik terapi
dan pertimbangan perlu/tidaknya terapi profilaksis dengan bifosfonat. 4 Baru-baru
ini, banyak peneliti yang menyusun pedoman pencegahan kardiovaskuler yang
menyamakan SLE sebagai CAD dengan risiko setara dengan diabetes mellitus.
Hal ini didasarkan pada sebesar 13-15% pada pasien dengan SLE aktif
dibandingkan dengan angka kejadian koroner dalam 10 tahun tahun sebesar
18,8% pada pasien yang diketahui CAD.20
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1.
3.2.
Identitas pasien
Nama
: Ny. S
Umur
: 20 tahun
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
Alamat
MRS
RMK
: 79-07-10
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Juli 2010.
3.2.I
KELUHAN UTAMA
Nyeri perut.
20
karena pasien sering merasa mual. Pasien juga mengaku muka menjadi
kemerahan bila terpapar sinar matahari. Pasien juga mengeluhkan sering
sariawan. Pasien mengeluhkan nyeri dada tiap kali berpindah posisi tidur.
3.2.III RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit Diebetes Melitus, Hipertensi
dan Asma.
3.2.IV RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pasien mengaku Di keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit
Diabetes Meilitus, Hipertensi, dan Asma.
3.3.
Pemeriksaan fisik
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Juli 2010.
Tanda vital
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 110/70 mm Hg
Laju nadi
: 88 kali/menit
Laju nafas
: 22 kali/menit
: 35,6oC
GCS
: 4-5-6
Leher
Toraks
21
Pulmo
Jantung
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Eksremitas
Atas
Bawah
22
Hasil
Referensi
8,3
4.500
3,03
155.000
77,3
27,4
35,5
12,0-16,0
4.000-10.500
3,90-5,50
150.000-450.000
80,0-97,0
27,0-32,0
32,0-38,0
Satuan
g/dL
/uL
juta/uL
/uL
fl
pg
%
Hasil
Referensi
3+
3+
Positif
8-10
Banyak
Negatif
Negatif
Negatif
0-3
0-2
Satuan
/LPB
/LPB
Edema periorbita
Nyeri epigastrik
Buang air besar dan kecil berdarah
Demam
Ruam malar
Nyeri sendi lutut kanan
Anemia mikrositik hipokromik
Peningkatan enzim liver
Hiperbilirubinemia
23
: Methylprednisolon,
transfusi
albumin, simvastatin
3. Monitoring : Edema, asites, tanda efusi pleura
4. Edukasi
makanan
asin
atau
: Ranitidin
: Asam traneksamat
24
: Methylprednisolon,
cefotaxime,
antrain
3. Monitoring : Suhu aksiler, ruam, nyeri sendi
4. Edukasi
: Tirah baring
: Transfusi PRC
: Penjelasan
mengenai
keadaan
25
2. Terapetik
: Curcuma
: Tirah baring
3.7. Evaluasi
Tanggal 6 Juli 2010
Problem: Anemia mikrositik hipokromik
a. Subjective
b. Objective
TD = 110/70 mm Hg
RR = 20 kali/menit
N = 80 kali/menit
T = 36,5oC
Hasil
11,6
12,0-16,0
Referensi
: 1. Diagnostik : Tetap
2. Terapetik
: -
26
Satuan
g/dL
3. Monitoring : 4. Edukasi
: Tetap
TD = 100/60 mm Hg
RR = 18 kali/menit
N = 78 kali/menit
T = 36,4oC
Hasil
208
2,4
Referensi
131-250
3,9-4,4
Satuan
mg/dL
g/dL
Hasil
3+
Referensi
Satuan
Negatif
proteinuria)
: 1. Diagnostik : 2. Terapetik
: Tetap
27
: Tetap
b. Objective
TD = 100/70 mm Hg
RR = 20 kali/menit
N = 82 kali/menit
T = 36,5oC
Hasil
SGOT
SGPT
49
20
Referensi
16-40
8-45
Satuan
U/I
U/I
ULTRASONOGRAFI ABDOMEN
Hepar/lien/gallbladder
Ren dekstra et sinistra
Vesica urinaria
28
2. Terapetik
: Ranitidin (stop)
3. Monitoring : 4. Edukasi
: Tetap
: Nyeri ulu hati (-), BAB darah (-), BAK darah (+)
b. Objective
TD = 100/70 mm Hg
RR = 20 kali/menit
N = 82 kali/menit
T = 36,5oC
Hasil
Darah samar
Nitrit
Sedimen lekosit
Sedimen eritrosit
3+
Positif
8-10
Banyak
Referensi
Negatif
Negatif
0-3
0-2
Satuan
/LPB
/LPB
ULTRASONOGRAFI ABDOMEN
Hepar/lien/gallbladder
Ren dekstra et sinistra
Vesica urinaria
29
d. Planning
: 1. Diagnostik : 2. Terapetik
: Levofloxacin
N = 104 kali/menit
Tabel 11. Hasil pemeriksaan bilirubin darah dan LFT tanggal 20 Juli 2010.
Pemeriksaan
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
SGOT
SGPT
c. Assessment
d. Planning
Hasil
Referensi
1,24
0,61
0,63
203
305
0,20-1,20
0,00-0,50
0,20-0,60
16-40
8-45
Satuan
Mg/dL
Mg/dL
Mg/dL
U/I
U/I
: Hepatitis (lupus)
: 1. Diagnostik : EKG, MDT
2. Terapetik
: Curcuma
3. Monitoring : Tetap
4. Edukasi
: Tetap
b. Objective
TD = 100/70 mm Hg
RR = 20 kali/menit
N = 82 kali/menit
T = 36,5oC
ULTRASONOGRAFI ABDOMEN
Hepar/lien/gallbladder
Hasil
203
305
Referensi
16-40
8-45
Satuan
U/I
U/I
Skor SLE
- Kejang (-)
- Arthritis (+) lutut
: Methylprednisolon,
cefotaxime,
antrain
3. Monitoring : KU, tanda vital, komplikasi SLE
4. Edukasi
: Tirah baring
BAB IV
PEMBAHASAN
32
awalnya berkembang di sekitar mata dan kaki. Namun, hal ini tidak ditemukan di
anamnesis. Gambaran klinis tambahan pada saat pemeriksaan akan bervariasi
sesuai dengan penyebab dan sebagai akibat apakah dari gangguan fungsi ginjal
atau tidak. Gejala yang mungkin berkaitan dengan hal ini adalah demam, sedikit
buang air kecil, penurunan nafsu makan dan mual.
Pada tanggal 19 Juli 2010, terdapat beberapa informasi tambahan yang
mungkin mengarah kepada salah satu dari 3 penyebab terbanyak sindroma
nefrotik sesuai dengan grafik pada Gambar 2 di atas tentang insidensi penyebab
sekunder sindroma nefrotik, yaitu systemic lupus erythematosus (SLE). Dari
anamnesis tambahan tersebut, didapatkan adanya riwayat ruam berwarna hitam
yang mengelupas di kulit pipi dan pasien mengaku pernah sering sesak nafas
sebelum masuk rumah sakit. Selama ini, pasien telah mengalami penurunan berat
badan dari 42 kg menjadi 35 kg. Trias demam, nyeri sendi, dan ruam pada wanita
usia subur menimbulkan kecurigaan adanya systemic lupus erythematosus (SLE).
Pada kasus ini, pasien mengalami demam, nyeri sendi lutut kanan dan ruam di
wajah. Ruam tersebut merupakan suatu ruam malar seperti tergambarkan pada
Gambar 3 di atas. Sedangkan adanya sesak menunjukkan adanya efusi pleura
yang merupakan manifestasi edema pada pasien ini.
Dari pemeriksaan fisik, tanda vital pasien masih dalam batas normal.
Edema periorbita ditemukan dan dapat mendukung diagnosis sindroma nefrotik
meskipun pada kasus ini tidak didapatkan edema eksrtremitas. Meskipun diakui
sering sesak, konfirmasi pemeriksaan fisik tidak menemukan bunyi rhonkii pada
auskultasi dinding dada. Sedangkan kelainan lainnya hanya berupa nyeri
33
epigastrik dan tidak ada kelainan pada pemeriksaan fisik ginjal. Hal ini tidak
bersifat sugestif untuk terjadinya sindroma nefrotik. Pada tanggal 20 Juli 2010,
dilakukan penilaian skor SLE untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Dari
penilaian tersebut, pasien dilaporkan hanya memenuhi 2 skor, yaitu arthritis di
lutut kanan dan ruam malar. Namun demikian, penilaian ini sebenarnya tidak
tepat. Secara teoritis, skor untuk radang sendi terpenuhi jika terdapat arthritis nonerosive yang melibatkan 2 sendi perifer, yang ditandai oleh nyeri, bengkak, atau
efusi sehingga criteria arthritis tersebut tidak memenuhi syarat system skor
tersebut. Justru adanya proteinuria +3 yang persisten (dua kali pemeriksaan
dengan rentang satu minggu, yaitu tanggal 5 Juli 2010 dan 12 Juli 2010) masuk
sebagai skor untuk SLE pada kasus ini. Namun demikian, kasus ini hanya
memenuhi 2 skor saja padahal seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4
atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara serial atau bersamaan, selama interval
pengamatan. Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan imunoserologi (anti dsDNA IgG [EIA]) dan hasilnya menunjukkan positif kuat menderita SLE. Jika
Dengan demikian, diagnosis SLE ini tegak berdasarkan sistem skor dari American
College of Rheumatology ini.
Diagnosis sindroma nefrotik pada kasus ini ditegakkan dengan
ditemukannya proteinuria (pemeriksaan urin rutin menunjukkan +3 dari dua kali
pemeriksaan tanggal 5 Juli 2010 dan 12 Juli 2010), hipoalbuminemia (kadar
albumin darah hanya 2,4 g/dL pada tanggal 7 Juli 2010), dan edema periorbita
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik. Diagnosis banding diabetic neuropathy,
yang juga mengindikasikan sindroma nefrotik akibat diabetes melitus,
34
disingkirkan dengan hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 6 Juli 2010 dimana
nilai GDS adalah 87 mg/dL meskipun GDS sebenarnya tidak sensitif untuk
diabetes melitus. Pemeriksaan yang sensitif sebenarnya adalah kadar HbA1c
dimana dapat menunjukkan status glikemia seseorang secara stabil dalam 3 bulan
terakhir. Harusnya pemeriksaan ini dilakukan mengingat tingginya penyebab
sekunder akibat diabetes melitus pada sindroma nefrotik dewasa. Adanya
penuruanan berat badan dari anamnesis mencerminkan bagaimana glukosa tidak
dimetabolisme dengan baik sehingga sel kekurangan kalori dan menjadi lapar.
Pada kasus ini, pasien diberikan terapi suportif berupa pemberian cairan
ringer laktat dan drip Neurobion untuk mendukung metabolisme dalam
melakukan perbaikan jaringan selama proses pengobatan. Selain itu, kandung
vitamin neurotropik pada Neurobion dapat membantu mengatasi nyeri yang
dialami pasien. Injeksi ranitidin diberikan pada pasien untuk mengurangi asam
lambung atau dispepsia yang umum terjadi pada pasien-pasien rawat inap lama
dimana kebanyakan dari mereka mengalami ansieta akibat pengalaman sakitnya.
Ansietas ini berimbas pada gejala psikosomatik yang umumnya berupa ansietas.
Adanya pengurangan asam lambung ini juga akan mengurangi rasa mual yang
disebabkannya. Injeksi Antrain berisi metamizol yang bersifat antipiretika,
analgetika dab antiinflamasi kuat untuk mengatasi nyeri dan demam yang
dirasakan pasien.
Selain terapi suportif dan simptomatik di atas, pasien juga diberikan terapi
definitif sesuai diagnosis. Secara teoritis, gejala SLE seperti demam, manifestasi
kulit, manifestasi muskuloskeletal, dan serositis merupakan gejala yang ringan,
35
yang mungkin berkurang seiring aktivitas penyakit. Keadaan ini dapat dikontrol
dengan pemberian obat steroid potensi rendah atau durasi singkat. Pada kasus ini,
diberikan methylprednison sebagai terapi definitif yang dimaksud di atas. Untuk
sindroma nefrotik sendiri, juga diberikan terapi ini dimana prednison dan
siklofosfamid berguna dalam beberapa bentuk nephritis lupus, seperti kasus ini.
Diuretik akan sangat dibutuhkan, seperti furosemid, spironolactone, dan
bahkan metolazone. Deplesi volume mungkin terjadi pada penggunaan diuretik,
yang harus dipantau dengan menilai gejala, berat badan, denyut nadi, dan tekanan
darah. Karena pada kasus ini edema sangat minimal dan tidak terbukti
menyebabkan efusi pleura, dengan mempertimbangkan rendahnya tekanan darah
rerata selama masa perawatan, maka pemberian diuretik pun tidak dilakukan.
Agen hypolipidemic dapat pula digunakan tetapi jika sindroma nefrotik tidak
dapat dikendalikan maka akan terjadi hiperlipidemia persisten. Pada kasus ini
pasien diberikan simvastatin sebagai agen hypolipidemic-nya.
Karena pasien memiliki nilai Hb di bawah 10 g/dL, maka diberikan pula
transfusi PRC untuk mengoreksi hal ini. Sebenarnya transfusi darah bukan tanpa
adanya komplikasi, komplikasi berupa infeksi dapat terjadi pada pasien-pasien
yang mendapat transfusi. Port de entre kuman pada kasus ini adalah transfusi,
baik pemberian cairan infus, darah maupun albumin. Infeksi merupakan masalah
utama dalam sindroma nefrotik, pasien rentan terhadap infeksi Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan bakteri gram negatif
lainnya. Infeksi varicella juga umum terjadi. Untuk itu, pasien juga diberikan
antibiotik spektrum luas, seperti cefotaxime, levofloxacin atau ciprofloxacin.
36
Agen infeksi seperti jamur juga dapat terlibat sehingga pasien ini juga diberikan
ketoconazole. Adanya peningkatan SGOT/SGPT merupakan
salah satu
37
BAB V
PENUTUP
38
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cohen
EP.
Nephrotic
Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/244631-print.
Available
at:
2. Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al. Natural history and prognostic
factors of diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Quart J Med. 2002;95:371-7.
3. Leber MJ, Lakdawala VS. Systemic Lupus Erythematosus. Available at:
http://emedicine.medscape.com/809378-print.
4. Bartels CM, Muller D. Systemic Lupus Erythematosus. Available at:
http://emedicine.medscape.com/332244-print.
5. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus
erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus.
2006;15(5):308-18.
6. Trager J, Ward MM. Mortality and causes of death in systemic lupus
erythematosus. Curr Opin Rheumatol. Sep 2001;13(5):345-51.
7. Kasitanon N, Magder LS, Petri M. Predictors of survival in systemic lupus
erythematosus. Medicine (Baltimore). May 2006;85(3):147-56.
8. Cohen EP, Lemann J. The role of the laboratory in evaluation of kidney
function. Clin Chem. 1991;37:785-796.
9. Gupta K, Iskandar SS, Daeihagh P, et al. Distribution of pathologic findings in
individuals with nephrotic proteinuria according to serum albumin. Nephrol Dial
Transplant. May 2008;23(5):1595-9.
10. Appel GB, Blum CB, Chien S, Kunis CL, Appel AS. The hyperlipidemia of
the nephrotic syndrome. Relation to plasma albumin concentration, oncotic
pressure, and viscosity. N Engl J Med. Jun 13 1985;312(24):1544-8.
11. Curry RC Jr, Roberts WC. Status of the coronary arteries in the nephrotic
syndrome. Analysis of 20 necropsy patients aged 15 to 35 years to determine if
coronary atherosclerosis is accelerated. Am J Med. Aug 1977;63(2):183-92.
12. Tessitore N, Bonucci E, D'Angelo A, Lund B, Corgnati A, Lund B, et al. Bone
histology and calcium metabolism in patients with nephrotic syndrome and
normal or reduced renal function. Nephron. 1984;37(3):153-9.
39
13. Mittal SK, Dash SC, Tiwari SC, Agarwal SK, Saxena S, Fishbane S. Bone
histology in patients with nephrotic syndrome and normal renal function. Kidney
Int. May 1999;55(5):1912-9.
14. Gulati S, Godbole M, Singh U, Gulati K, Srivastava A. Are children with
idiopathic nephrotic syndrome at risk for metabolic bone disease?. Am J Kidney
Dis. Jun 2003;41(6):1163-9.
15. Leonard MB, Feldman HI, Shults J, Zemel BS, Foster BJ, Stallings VA. Longterm, high-dose glucocorticoids and bone mineral content in childhood
glucocorticoid-sensitive nephrotic syndrome. N Engl J Med. Aug 26
2004;351(9):868-75.
16. Dubois EL, Tuffanelli DL. Clinical manifestations of systemic lupus
erythematosus. Computer analysis of 250 cases. JAMA. Oct 12 1964;190:104-11.
17. Harvey AM, Shulman LE, Tumulty PA, Conley CL, Schoenrich EH. Systemic
lupus erythematosus: review of the literature and clinical analysis of 138 cases.
Medicine (Baltimore). Dec 1954;33(4):291-437.
18. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF, et al. The
1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus.
Arthritis Rheum. Nov 1982;25(11):1271-7.
19. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised
criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum.
Sep 1997;40(9):1725.
20. Wajed J, Ahmad Y, Durrington PN, Bruce IN. Prevention of cardiovascular
disease in systemic lupus erythematosus--proposed guidelines for risk factor
management. Rheumatology (Oxford). Jan 2004;43(1):7-12.
40