Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

SINDROMA NEFROTIK ET CAUSA SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS DENGAN ANEMIA

Oleh:
Devinta Ifandari, S.Ked
I1A005085

Pembimbing:
dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/BLUD RS ULIN
BANJARMASIN
AGUSTUS, 2010

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus

SINDROMA NEFROTIK ET CAUSA SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS DENGAN ANEMIA

Oleh
Devinta Ifandari, S. Ked

Pembimbing
dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD

Banjarmasin, Agustus 2010


Telah setuju diajukan

..
(dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD)

Telah selesai dipresentasikan

.
(dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................3
DAFTAR TABEL....................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1.

Sindroma nefrotik......................................................................................7

2.1.1.

Etiologi...............................................................................................7

2.1.2.

Diagnosis............................................................................................8

2.1.3.

Terapi................................................................................................11

2.1.4.

Komplikasi.......................................................................................12

2.2.

Systemic lupus erythematosus (SLE)......................................................15

2.2.1.

Diagnosis..........................................................................................15

2.2.2.

Terapi...............................................................................................17

BAB III LAPORAN KASUS................................................................................19


BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................36
BAB V PENUTUP.................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema barier glomerulus ginjal.1...........................................................7


Gambar 2. Insidensi penyebab umum sindroma nefrotik.1......................................8
Gambar 3. Ruam malar pada SLE: Butterfly rash di pipi dan jembatan hidung.. .17

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria diagnostik SLE dari American College of Rheumatology..........16


Tabel 2. Hasil pemeriksaan darah rutin tanggal 5 Juli 2010..................................21
Tabel 3. Hasil pemeriksaan urin rutin tanggal 5 Juli 2010.....................................22
Tabel 4. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 6 Juli 2010.............................24
Tabel 5. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 7 Juli 2010.............................24
Tabel 5. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010..........................................25
Tabel 7. Hasil pemeriksaan urin rutin tanggal 12 Juli 2010...................................25
Tabel 8. Hasil pemeriksaan darah rutin tanggal 14 Juli 2010................................25
Tabel 9. Hasil pemeriksaan kimia darah tanggal 20 Juli 2010...............................26
Tabel 10. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 24 Juli 2010.........................27
Tabel 11. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 25 Juli 2010.........................28
Tabel 12. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 28 Juli 2010.........................28
Tabel 13. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 3 Agustus 2010....................28
Tabel 14. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 7 Agustus 2010....................29
Tabel 15. Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 8 Agustus 2010....................29
Tabel 16. Tabulasi perjalanan penyakit selama perawatan (6-14 Juli 2010)..........29
Tabel 17. Catatan perjalanan penyakit selama perawatan (15-23 Juli 2010).........30
Tabel 18. Catatan perjalanan penyakit (24 Juli 1 Agustus 2010)........................31
Tabel 19. Catatan perjalanan penyakit selama perawatan (2 - 9 Agustus 2010)....32
Tabel 20. Rekapitulasi daftar masalah dan penanganannya...................................34

BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai adanya proteinuria,


hipoalbuminemia, dan edema. Sindrom nefrotik dapat bersifat primer akibat
keadaan khusus pada ginjal, atau dapat bersifat sekunder, sebagai akibat dari
penyakit sistemik. Penyebab sekunder meliputi penyakit berikut secara berurutan
sesuai angka kejadiannya: 1) Diabetes mellitus, 2) Lupus eritematosus; 3)
Amiloidosis dan paraproteinemia; 4) Infeksi virus (misalnya, hepatitis B, hepatitis
C, human immunodeficiency virus [HIV]) dan 5 ) Preeklamsia.1 Pada sindroma
nefrotik sekunder, morbiditas dan mortalitas lebih banyak berkaitan dengan proses
patofisiologi pada penyakit primernya, seperti diabetes atau lupus, meskipun
dalam nefropati diabetikum, besarnya proteinuria itu sendiri berkaitan langsung
dengan kematian.2
Ginjal adalah organ viseral yang paling sering terlibat dalam SLE.
Meskipun hanya sekitar 50% dari pasien SLE memiliki manifestasi klinis
penyakit ginjal yang jelas, pemeriksaan biopsi menunjukkan keterlibatan ginjal
pada penyakit ini di hampir semua pasien. Penyakit glomerulus biasanya dialami
setelah beberapa tahun pertama onset SLE dan biasanya tanpa gejala. Gagal ginjal
akut atau kronis dapat menyebabkan gejala yang berhubungan dengan uremia dan
kelebihan cairan. Penyakit nephritis akut dapat bermanifestasi sebagai hipertensi
dan hematuria.3,4 Prevalensi yang dilaporkan dari SLE dalam populasi umum
adalah 52 kasus per 100.000.5 Meskipun sebelum tahun 1955 angka harapan hidup

5 tahun adalah kurang dari 50%, SLE memiliki angka harapan hidup 10 tahun
rata-rata melebihi 90%.4,6,7
Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 20 tahun
yang didiagnosis sindroma nefrotik akibat systemic lupus erythematosus dengan
anemia ringan. Pasien dirawat dari tanggal 5 Juli s/d 9 Agustus 2010 di bangsal
Penyakit Dalam Wanita RSUD Ulin Banjarmasin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Sindroma nefrotik
Sindroma nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai adanya proteinuria,

hipoalbuminemia, dan edema. Rentang proteinuria sindroma nefrotik adalah 3


gram/24 jam atau lebih. Pada pengambilan urin sewaktu, nilai rentang ini menjadi
2 gram protein per gram kreatinin urin.1

Gambar 1. Skema barier glomerulus ginjal.1

2.1.1. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat bersifat primer akibat dari kondisi spesifik pada
ginjal, atau dapat bersifat sekunder, sebagai manifestasi penyakit sistemik pada
ginjal. Pada semua kasus, cedera pada glomerulus adalah gambaran definitif yang
penting pada penyakit ini. Adapun penyebab primer dari sindroma nefrotik antara
8

lain (diurutkan sesuai angka kejadian perkiraan): 1) Minimal-change nephropathy;


2) Focal glomerulosclerosis; 3) Membranous nephropathy; dan 4) Hereditary
nephropathies. Sedangkan penyebab sekunder meliputi (diurutkan sesuai angka
kejadian perkiraan): 1) Diabetes mellitus, 2) Lupus erythematosus, 3) Amiloidosis
dan paraproteinemia; 4) Infeksi virus (misalnya, hepatitis B, hepatitis C, human
immunodeficiency virus [HIV]); dan 5 ) Preeklamsia.1

Gambar 2. Insidensi penyebab umum sindroma nefrotik.1

2.1.2. Diagnosis
Tanda pertama dari sindroma nefrotik pada anak-anak biasanya adalah
edema pada wajah, hal ini kemudian diikuti oleh edema seluruh tubuh. Sedangkan
orang dewasa dapat memperlihatkan edema dependen. Kencing berbusa juga
dapat muncul sebagai salah satu gambaran klinisnya. Komplikasi trombotik,
seperti deep vein thrombosis dari vena tungkai atau bahkan embolus paru, dapat
menjadi petunjuk pertama adanya sindroma nefrotik. Tambahan gambaran klinis
lainnya dapat pula dikaitkan dengan penyebab sindroma nefrotik. Dengan

demikian, riwayat dimulainya penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid


(NSAID) baru ini atau riwayat diabetes selama 10 tahun juga sangat relevan
dengan penyakit ini. Edema adalah gambaran klinis utama dari sindroma nefrotik
dan awalnya berkembang di sekitar mata dan kaki. Seiring waktu, edema menjadi
umum dan mungkin terkait dengan peningkatan berat badan, timbulnya ascites,
atau efusi pleura. Hematuria dan hipertensi dapat terjadi pada sebagian kecil
pasien. Gambaran klinis tambahan pada saat pemeriksaan akan bervariasi sesuai
dengan penyebab dan sebagai akibat apakah dari gangguan fungsi ginjal atau
tidak. Jadi, dalam kasus diabetes kronis, mungkin pula didapatkan retinopati
diabetikum, yang berkorelasi erat dengan nefropati diabetikum. Jika fungsi ginjal
berkurang, mungkin ada hipertensi dan/atau anemia.1
Urinalisis adalah pemeriksaan laboratorium pertama yang digunakan
dalam mendiagnosis sindroma nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat sebagai
3+ atau 4+ pada bacaan dipstick atau dengan pemeriksaan semikuantitatif oleh
asam sulfosalisilat. Secara kuantitatif, bacaan 3+ dapat berarti 300 mg/dL protein
urin atau lebih yang sama dengan 3 g/L atau lebih, dan dengan demikian, masuk
dalam rentang proteinuria nefrotik. Susunan kimia dipstick mendeteksi urin
sedemikian rupa sehingga hanya albumin yang menjadi protein utama yang diuji.
Adanya glukosuria dapat menjadi petunjuk adanya diabetes. Pemeriksaan sedimen
urin dapat menunjukkan sel dan/atau cast. Waxy cast merupakan penanda adanya
penyakit ginjal proteinurik. Dengan menggunakan mikroskop polarisasi,
pemeriksa dapat melihat oval fat bodies dan juga fatty cast. Hal ini menunjukkan
adanya sindroma nefrotik yang terjadi karena filtrasi glomerulus dari lipoprotein

10

dimana penyerapan oleh sel-sel tubulus kemudian masuk ke dalam urin. Dilihat
dari polarizer, oval fat bodies dan fatty cast menyebabkan adanya gambaran
"Maltese cross". Adanya lebih dari 2 sel darah merah per lapangan pandang
berdaya tinggi merupakan indikasi adanya mikrohematuria. Mikrohematuria dapat
terjadi pada membranous nefropathy tetapi tidak ada pada minimal-change
nefropathy. Penyakit glomerulus memungkinkan sel darah merah untuk melintasi
membran basal glomerulus yang telah rusak dan sel darah merah dalam sedimen
kemudian dapat menjadi cacat atau dismorfik. Hal ini menunjukkan adanya
penyakit glomerulus dengan peradangan dan kerusakan pada struktur normal,
yaitu nefritis sehingga disebut gambaran nephritis. Hal ini dapat terjadi, misalnya,
pada sindroma nefrotik yang berhubungan dengan nefropati IgA atau
glomerulonefritis proliferatif. Lebih dari 2 cast granular di seluruh sedimen
merupakan penanda biologis adanya penyakit parenkim ginjal. Cast granular
bermacam kaliber juga menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal.1 Protein
urin diperiksa dengan urin sewaktu atau kolektif.8
Urin kolektif biasanya dilakukan selama 24 jam, mulai pukul 7 pagi
hingga pada hari berikutnya pada pukul yang sama. Pada individu yang sehat,
tidak boleh ada lebih dari 150 mg protein total dalam urin kolektif 24 jam.
Sedangkan pengumpulan urin sewaktu lebih mudah untuk didapatkan. Jika rasio
protein urin dan kreatinin urin lebih besar dari 2 g/g, maka hal ini sesuai dengan 3
gram protein urin per hari atau lebih. Tipe spesifik protein urin masih menjadi
topik yang disoroti saat ini. Hal ini dapat diuji dengan elektroforesis protein urin.
Proteinuria yang tidak termasuk albumin akan menunjukkan adanya overflow

11

proteinuria yang terjadi di paraproteinemia, seperti multiple myeloma. Dalam


kasus proteinuria yang selektif, terdapat kebocoran selektif albumin pada barier
glomerulus, sedangkan proteinuria yang non-selektif akan menunjuk pada cedera
glomerulus yang lebih besar dan mungkin juga memberikan respon yang lebih
rendah untuk terapi prednison.1
Pemeriksaan serum untuk fungsi ginjal juga sangat penting. Kreatinin
serum akan berada dalam kisaran normal pada sindroma nefrotik tanpa
komplikasi, seperti yang terjadi pada minimal-change nephropathy. Pada anakanak, kadar serum kreatinin ini akan lebih rendah daripada pada orang dewasa.
Kadar kreatinin serum dewasa normal adalah sekitar 1 mg/dL, sedangkan seorang
anak berusia 5 tahun akan menjadi sekitar 0,5 mg/dL. Nilai tinggi ini
menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Kadar serum albumin rendah pada
sindroma nefrotik klasik, yaitu di bawah kisaran normal 3,5-4,5 g/dL. 1 Penelitian
di satu centre tunggal menunjukkan bahwa ketika kadar serum albumin pasien
normal, maka focal glomerulosclerosis, dan bukan kondisi lain, cenderung
menjadi penyebab sindroma nefrotik.9

2.1.3. Terapi
Prinsip-prinsip terapi untuk gejala akut pada orang dewasa dengan
sindrom nefrotik adalah sama dengan anak-anak. Diuretik akan sangat
dibutuhkan, seperti furosemid, spironolactone, dan bahkan metolazone. Deplesi
volume mungkin terjadi pada penggunaan diuretik, yang harus dipantau dengan
menilai gejala, berat badan, denyut nadi, dan tekanan darah. Antikoagulan telah

12

dianjurkan oleh beberapa klinis untuk digunakan dalam pencegahan komplikasi


tromboembolik tetapi penggunaannya dalam pencegahan primer masih belum
terbukti. Agen hypolipidemic dapat pula digunakan tetapi jika sindroma nefrotik
tidak dapat dikendalikan maka akan terjadi hiperlipidemia persisten. Pada
sindroma nefrotik sekunder, seperti yang terkait dengan nefropati diabetikum,
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan/atau angiotensin II receptor
blocker telah secara luas digunakan. Hal ini dapat mengurangi proteinuria dengan
mengurangi

tekanan

darah

sistemik

dan

dengan

mengurangi

tekanan

intraglomerulus serta dengan aksi langsung pada podocytes. Terapi spesifik


sindroma

nefrotik

tergantung

pada

penyebab

penyakit

ini.

Jadi,

glukokortikosteroid, seperti prednison, daapt pula digunakan untuk nefropati


minimal-change nephropathy. Prednison dan siklofosfamid berguna dalam
beberapa bentuk nephritis lupus. Amiloidosis sekunder akibat sindroma nefrotik
akan berespon dengan pengobatan anti-inflamasi untuk penyakit primer.1

2.1.4. Komplikasi
Infeksi merupakan masalah utama dalam sindroma nefrotik, pasien rentan
terhadap infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, dan bakteri gram negatif lainnya. Infeksi varicella juga umum terjadi.
Komplikasi infeksi yang paling umum adalah sepsis, selulitis, pneumonia, dan
peritonitis. Hipotesis untuk penjelasan komplikasi ini antara lain penurunan kadar
imunoglobulin dimana cairan edema bertindak sebagai medium, terjadinya pula
kekurangan protein, penurunan aktivitas bakterisida dari leukosit, terapi

13

imunosupresif, penurunan perfusi limpa akibat hipovolemia, dan kehilangan


faktor komplemen di urin (faktor properdin B) yang opsonisasi bakteri tertentu.1
Beberapa

lipoprotein

serum

akan

disaring

di

glomerulus

yang

menyebabkan lipiduria dan temuan klasik oval fat bodies dan fatty cast pada
sedimen urin.1 Terjadinya hiperlipidemia dapat dianggap sebagai tanda khas
sindroma

nefrotik,

bukan

hanya

komplikasi.

Hal

ini

terkait

dengan

hipoproteinemia dan tekanan onkotik serum yang rendah pada sindroma nefrotik
yang kemudian menyebabkan sintesis protein yang reaktif di hati, termasuk
lipoprotein.10
Penyakit vaskular aterosklerotik tampaknya terjadi dengan frekuensi yang
lebih besar pada individu dengan sindroma nefrotik daripada individu sehat pada
usia yang sama. Curry dan Roberts menunjukkan bahwa frekuensi dan luasnya
penyakit arteri koroner stenosis lebih besar pada pasien dengan sindroma nefrotik
dibandingkan subjek kontrol non-nefrotik. Ketika penelitian mereka diterbitkan
(1977), perlakuan penurunan lipid kurang banyak digunakan daripada sekarang.
Dengan demikian, kolesterol total serum rata-rata tertinggi dalam seri penelitian
ini lebih dari 400 mg/dL. Nilai tersebut masuk dalam rentang nilai kolesterol
serum pada hiperkolesterolemia familial, yaitu penyakit yang mempengaruhi
individu untuk mengalami infark miokard.11
Hipokalsemia umum terjadi pada sindroma nefrotik yang biasanya
disebabkan oleh kadar serum albumin yang rendah. Kepadatan tulang yang rendah
dan histologi tulang yang abnormal telah dilaporkan pula dalam kaitannya dengan
sindroma nefrotik. Hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya vitamin D terikat

14

protein lewat urin dengan konsekuensi hipovitaminosis D, dan sebagai akibatnya,


mengurangi penyerapan kalsium usus. Tessitore et al melaporkan bahwa ketika
GFR itu normal, subjek dengan sindroma nefrotik tidak memiliki kadar kalsium
yang konsisten maupun kelainan tulang. Namun dalam penelitian yang sama,
ketika GFR tersebut menurun, telah ditemukan defek mineralisasi tulang yang
ditemukan oleh biopsi.12
Penelitian berikutnya kemudian menemukan adanya osteomalacia pada
biopsi tulang di lebih dari separuh orang dewasa yang telah berlangsung lama
mengalami sindroma nefrotik dengan GFR yang dijaga tetap normal.13 Komplikasi
lebih lanjut dapat berasal dari terapi, khususnya prednison. Massa tulang yang
rendah dapat pula ditemukan dalam kaitannya dengan dosis kumulatif steroid.14
Seperti dilaporkan oleh Leonard et al pada tahun 2004, pengobatan kortikosteroid
intermiten pada kanak-kanak dengan sindroma nefrotik yang sensitif steroid
tampaknya tidak dikaitkan dengan defisit mineral tulang. Ada kemungkinan
bahwa lamanya durasi sindroma nefrotik atau pemberian terapinya adalah faktor
risiko yang penting terjadinya penyakit tulang pada pasien.15
Hipovolemia terjadi ketika keadaan hipoalbuminemia menurunkan
tekanan onkotik plasma yang berakibat pada hilangnya cairan plasma ke
intersititium dan menyebabkan penurunan volume darah yang bersirkulasi.
Hipovolemia umumnya didapati hanya jika kadar albumin pasien kurang dari 1,5
g/dL. Gejalanya meliputi muntah, nyeri perut, dan diare. Tanda-tanda dapat
berupa akral dingin, pengisian kapiler yang tertunda, oliguria, dan takikardia.
Sedangkan hipotensi merupakan gambaran klinis yang lebih lambat muncul.

15

Gagal ginjal akut dapat mengindikasikan adanya glomerulonefritis tetapi lebih


sering dipicu oleh hipovolemia atau sepsis. Edema dari ginjal diduga akibat dari
penurunan GFR yang disebabkan oleh turunnya tekanan darah. Sedangkan
hipertensi berhubungan dengan retensi cairan dan penurunan fungsi ginjal yang
terjadi. Gagal tumbuh mungkin terjadi pada pasien dengan edema kronis,
termasuk ascites dan efusi pleura. Gagal tumbuh dapat disebabkan oleh anoreksia,
hipoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau komplikasi infeksi.
Edema usus dapat menyebabkan gangguan penyerapan yang menyebabkan
kekurangan gizi kronis.1

2.2.

Systemic lupus erythematosus (SLE)


Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada

multi sistem organ dengan banyak manifestasi klinis dan imunologis. Hal ini
ditandai oleh adanya respon autoantibodi untuk antigen nuklear dan sitoplasmik.
Penyakit ini terutama melibatkan kulit, sendi, ginjal, sel darah, dan sistem saraf.3

2.2.1. Diagnosis
Trias demam, nyeri sendi, dan ruam pada wanita usia subur menimbulkan
kecurigaan adanya systemic lupus erythematosus (SLE). Ketiga gejala ini
merupakan beberapa gejala yang paling sering ditemukan pada pasien dengan
lupus.16,17 Kriteria diagnostik untuk SLE dari American College of Rheumatology
terakhir diperbaharui pada tahun 1997. Kriteria tersebut telah tercantum pada
bawah ini.18,19

16

Tabel 1. Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 dari American College of Rheumatology.
Kriteria
1. Ruam malar

Definisi
Eritema menetap, rata atau meninggi, di atas eminensia malar, yang
cenderung mengenai lipatan nasolabial
2. Ruam diskoid
Makula eritematosa yang meninggi dengan skala keratotik adheren dan
sumbatan folikel (jaringan parut atrofik dapat terjadi pada lesi lama)
3. Fotosensitif
Ruam kulit akibat reaksi sinar matahari yang tidak biasa, berdasarkan
anamnesis pasien atau pengamatan dokter
4. Ulserasi oral
Ulserasi oral atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, yang diamati oleh dokter
5. Radang sendi
Arthritis non-erosive yang melibatkan 2 sendi perifer, yang ditandai oleh
nyeri, bengkak, atau efusi
6. Serositis
(A) Pleuritis: Pastikan riwayat berhubunga dengan nyeri pleuritik atau bunyi
menggosok oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura
ATAU
(B) Perikarditis: Terdokumentasi dari EKG atau bunyi menggosok atau bukti
efusi perikardial
7. Gangguan ginjal (A) Persistent proteinuria >0,5 g/hari atau >3+ jika tidak dilakukan kuantisasi
ATAU
(B) Cellular cast: Mungkin sel darah merah, hemoglobin, granular, tubular,
atau campuran
8. Gangguan saraf (A) Kejang: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan metabolik
misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit
ATAU
(B) Psikosis: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan metabolik
misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit
9. Gangguan darah (A) Hemolytic anemia: Dengan retikulositosis
ATAU
(B) Leukopenia: <4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan
ATAU
(C) Limfopenia: <1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan
ATAU
(D) Trombositopenia: <100.000/mm3 tanpa adanya obat-obatan
10. Gangguan imun (A) Anti-DNA: Antibodi untuk DNA asli dalam titer abnormal
ATAU
(B) Anti-Sm: Adanya antibodi terhadap antigen Sm nuklear
ATAU
(C) Temuan positif antibodi antifosfolipid berdasarkan: (1) tingkat IgG
serum abnormal atau antibodi IgM anticardiolipin, (2) hasil tes positif untuk
antikoagulan lupus dengan menggunakan metode standar, atau (3) seropositif palsu untuk tes sifilis positif paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan imobilisasi Treponema pallidum atau tes penyerapan
fluorensens terhadap antibodi treponemal
11. Ab antinuklear Suatu titer antibodi antinuclear yang abnormal berdasarkan pemeriksaan
immunofluorescence pada setiap titik waktu dan tidak ada obat yang
diketahui terkait dengan sindroma lupus yang diinduksi obat
Seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4 atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara
serial atau bersamaan, selama interval pengamatan.

17

Gambar 3. Ruam malar klasik pada SLE: Butterfly rash di pipi dan jembatan hidung.3, 4

2.2.2. Terapi
Terapi systematic lupus erythematosus (SLE) tergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Tindak lanjut secara periodik dan pemeriksaan laboratorium,
seperti urinalisis, darah lengkap dengan hitung diferensial, dan kreatinin, penting
dilakukan untuk mendeteksi gejala-gejala dan tanda-tanda keterlibatan organsistem baru dan untuk memantau respon atau efek samping terapi. Setidaknya
diperiksa setiap 3 bulan sekali. European League Against Rheumatism (EULAR)
baru-baru ini merilis rekomendasi baru untuk terapi SLE. Rekomendasi terapi
untuk SLE tergantung pada manifestasi penyakit yang timbul.4
Secara umum, gejala seperti demam, manifestasi kulit, manifestasi
muskuloskeletal, dan serositis merupakan gejala pada penyakit ringan, yang
mungkin berkurang seiring aktivitas penyakit. Keadaan ini dapat dikontrol dengan
pemberian obat steroid potensi rendah atau durasi singkat. Keterlibatan SSP dan

18

penyakit ginjal harus diakui sebagai manifestasi penyakit yang lebih parah dan
sering diobati dengan imunosupresi yang lebih agresif. Darurat akut pada SLE
antara lain termasuk keterlibatan neurologis yang berat, vaskulitis sistemik,
trombositopenia dengan sindroma mirip TTP, glomerulonefritis progresif akut,
dan perdarahan alveolar difus. Keadaan-keadaan ini dapat diobati dengan steroid
dosis tinggi intravena dan terapi sitotoksik seperti siklofosfamid. Dalam kasus
yang jarang terjadi, seperti TTP, pendarahan alveolar difus, atau trombositopenia
refraktori steroid berturut-turut membutuhkan transfusi plasma atau terapi dengan
intravena immunoglobuline (IVIG). Sindroma katastrofik antibodi antifosfolipid
juga mengharuskan terapi akut yang agresif.4
Tindakan perawatan preventif untuk pasien dengan SLE diperlukan untuk
meminimalkan risiko osteoporosis akibat steroid dan penyakit aterosklerosis yang
progresif. Pedoman dari ACR dapat digunakan untuk mencegah osteoporosis
akibat glukokortikosteroid ini yang menunjukkan langkah-langkah klasik terapi
dan pertimbangan perlu/tidaknya terapi profilaksis dengan bifosfonat. 4 Baru-baru
ini, banyak peneliti yang menyusun pedoman pencegahan kardiovaskuler yang
menyamakan SLE sebagai CAD dengan risiko setara dengan diabetes mellitus.
Hal ini didasarkan pada sebesar 13-15% pada pasien dengan SLE aktif
dibandingkan dengan angka kejadian koroner dalam 10 tahun tahun sebesar
18,8% pada pasien yang diketahui CAD.20

19

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1.

3.2.

Identitas pasien
Nama

: Ny. S

Umur

: 20 tahun

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Alamat

: Pulang Pisau , Kal-Teng

MRS

: 5 Juli 2010 pukul 20.00 WITA

RMK

: 79-07-10

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Juli 2010.

3.2.I

KELUHAN UTAMA
Nyeri perut.

3.2,II RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien sudah mengeluh nyeri
perut disertai merasa lemah. Pasien juga mengalami demam sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit dan sedikit buang air kecil. Pasien juga
mengeluhkan nyeri setelah buang air kecil. Nafsu makan mulai menurun

20

karena pasien sering merasa mual. Pasien juga mengaku muka menjadi
kemerahan bila terpapar sinar matahari. Pasien juga mengeluhkan sering
sariawan. Pasien mengeluhkan nyeri dada tiap kali berpindah posisi tidur.
3.2.III RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit Diebetes Melitus, Hipertensi
dan Asma.
3.2.IV RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pasien mengaku Di keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit
Diabetes Meilitus, Hipertensi, dan Asma.

3.3.

Pemeriksaan fisik
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Juli 2010.
Tanda vital
Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 110/70 mm Hg

Laju nadi

: 88 kali/menit

Laju nafas

: 22 kali/menit

Suhu tubuh (aksiler)

: 35,6oC

GCS

: 4-5-6

Kepala dan leher


Kepala

: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema


periorbita (+/+), konj. palpebra hiperemis (-/-)

Leher

: Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-)

Toraks

21

Pulmo

I : Tarikan nafas simetris


P : Fremitus raba simetris
P : Suara perkusi sonor (+/+)
A : Suara nafas vesikuler, rhonkii (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

I : Ictus cordis (+), voussure cardiaque (-)


P : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula,
getaran/ thrill (-)
P : Suara perkusi pekak, batas kanan ICS III, IV, V
linea parasternalis dextra , batas kiri ICS V linea
midclavicula sinistra
A : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar
suara bising

Abdomen
Inspeksi

: Cembung, distensi (-), venektasi (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Turgor cepat kembali, nyeri tekan epigastrik (+),


hepar, lien, massa tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Eksremitas
Atas

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

Bawah

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

22

3.4. Pemeriksaan penunjang


Tabel 2. Hasil pemeriksaan darah rutin tanggal 5 Juli 2010.
Pemeriksaan
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC

Hasil

Referensi

8,3
4.500
3,03
155.000
77,3
27,4
35,5

12,0-16,0
4.000-10.500
3,90-5,50
150.000-450.000
80,0-97,0
27,0-32,0
32,0-38,0

Satuan
g/dL
/uL
juta/uL
/uL
fl
pg
%

Tabel 3. Hasil pemeriksaan urin rutin tanggal 5 Juli 2010.


Pemeriksaan
Protein/albumin
Darah samar
Nitrit
Sedimen lekosit
Sedimen eritrosit

Hasil

Referensi

3+
3+
Positif
8-10
Banyak

Negatif
Negatif
Negatif
0-3
0-2

Satuan

/LPB
/LPB

3.5. Daftar abnormalitas


Beberapa abnormalitas pada kasus ini adalah sebagai berikut:
-

Edema periorbita
Nyeri epigastrik
Buang air besar dan kecil berdarah
Demam
Ruam malar
Nyeri sendi lutut kanan
Anemia mikrositik hipokromik
Peningkatan enzim liver
Hiperbilirubinemia

23

3.6. Rencana awal


1. Edema periorbita
a. Assessment : 1. Sindroma nefrotik
2. Konjungtivitis papilar
b. Planning

: 1. Diagnostik : Albumin darah, kolesterol darah,


protein urin
2. Terapetik

: Methylprednisolon,

transfusi

albumin, simvastatin
3. Monitoring : Edema, asites, tanda efusi pleura
4. Edukasi

: Tidak terlalu banyak asupan air


maupun

makanan

asin

atau

berlemak, disiplin jadwal obat


2. Nyeri epigastrik
a. Assessment : 1. Dispepsia
2. Hepatitis
b. Planning

: 1. Diagnostik : LFT, USG abdomen


2. Terapetik

: Ranitidin

3. Monitoring : Nyeri ulu hati


4. Edukasi

: Tidak mengonsumsi makanan asam


atau pedas, disiplin waktu makan

3. Buang air besar dan kecil berdarah


a. Assessment : 1. Perdarahan spontan ec. gangguan pembekuan darah
2. Perdarahan lambung dengan ISK
b. Planning

: 1. Diagnostik : PT/APTT, urin rutin, USG abdomen


2. Terapetik

: Asam traneksamat

24

3. Monitoring : KU, tanda vital, BAB, dan BAK


4. Edukasi

: Tidak mengonsumsi makanan asam


atau pedas, tirah baring

4. Demam, ruam malar dan nyeri sendi lutut kanan


a. Assessment : 1. Nefritis lupus (SLE) dengan infeksi sekunder
2. Hepatitis dengan osteoartritis genu dekstra
b. Planning

: 1. Diagnostik : Anti ds-DNA IgG, LFT, USG abd.


2. Terapetik

: Methylprednisolon,

cefotaxime,

antrain
3. Monitoring : Suhu aksiler, ruam, nyeri sendi
4. Edukasi

: Tirah baring

5. Anemia mikrositik hipokromik


a. Assessment : 1. Anemia ec. perdarahan
2. Anemia defisiensi besi
3. Anemia hemolitik
b. Planning

: 1. Diagnostik : Kadar Hb, besi serum, MDT


2. Terapetik

: Transfusi PRC

3. Monitoring : KU, tanda vital, kadar Hb


4. Edukasi

: Penjelasan

mengenai

keadaan

pasien ini, penanganan, prognosis


6. Peningkatan enzim liver dan hiperbilirubinemia
a. Assessment : 1. Hepatitis (lupus)
2. Heart attack dengan anemia hemolitik
b. Planning

: 1. Diagnostik : LFT, bilirubin serum, EKG, MDT

25

2. Terapetik

: Curcuma

3. Monitoring : KU, tanda vital, LFT


4. Edukasi

: Tirah baring

3.7. Evaluasi
Tanggal 6 Juli 2010
Problem: Anemia mikrositik hipokromik
a. Subjective

: Lelah (-), lesu (-)

b. Objective

TD = 110/70 mm Hg

RR = 20 kali/menit

N = 80 kali/menit

T = 36,5oC

Kulit pucat (-), konjungtiva anemis (-)

Tabel 4. Hasil pemeriksaan hemoglobin tanggal 6 Juli 2010.


Pemeriksaan
Hemoglobin

Hasil
11,6

12,0-16,0

c. Assessment : Anemia (terkoreksi)


1. ec. perdarahan
2. ec. defisiensi besi
3. ec. hemolitik
d. Planning

Referensi

: 1. Diagnostik : Tetap
2. Terapetik

: -

26

Satuan
g/dL

3. Monitoring : 4. Edukasi

: Tetap

Tanggal 12 Juli 2010


Problem: Edema periorbita
a. Subjective
b. Objective

: BAK keruh (+), sesak (-)


:

TD = 100/60 mm Hg

RR = 18 kali/menit

N = 78 kali/menit

T = 36,4oC

Edema periorbita (+)


Rhonkii (-/-)
Asites (-)
Edema ekstremitas (-/-)
Tabel 5. Hasil pemeriksaan albumin dan kolesterol darah tanggal 7 Juli 2010.
Pemeriksaan
Kolesterol total
Albumin

Hasil
208
2,4

Referensi
131-250
3,9-4,4

Satuan
mg/dL
g/dL

Tabel 6. Hasil pemeriksaan protein urin tanggal 12 Juli 2010.


Pemeriksaan
Protein/albumin

Hasil
3+

Referensi

Satuan

Negatif

c. Evaluation : Sindroma nefrotik (masih hipoalbuminemia dan


d. Planning

proteinuria)
: 1. Diagnostik : 2. Terapetik

: Tetap

27

3. Monitoring : Edema, asites, tanda efusi pleura


4. Edukasi

: Tetap

Tanggal 18 Juli 2010


Problem: Nyeri epigastrik
a. Subjective

: Nyeri ulu hati (-), mual/muntah (-/-)

b. Objective

TD = 100/70 mm Hg

RR = 20 kali/menit

N = 82 kali/menit

T = 36,5oC

Nyeri tekan epigastrik (-)


Tabel 7. Hasil pemeriksaan LFT tanggal 6 Juli 2010.
Pemeriksaan

Hasil

SGOT
SGPT

49
20

Referensi
16-40
8-45

Satuan
U/I
U/I

Tabel 8. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.

ULTRASONOGRAFI ABDOMEN
Hepar/lien/gallbladder
Ren dekstra et sinistra
Vesica urinaria

tidak tampak kelainan, pembesaran KGB


regional (-), asites (-)
tidak tampak kelainan
tidak tampak massa

Kesimpulan: Neurogenic bladder?

c. Evaluation : Dispepsia (membaik)


d. Planning
: 1. Diagnostik : -

28

2. Terapetik

: Ranitidin (stop)

3. Monitoring : 4. Edukasi

: Tetap

Problem: Buang air besar dan kecil berdarah


a. Subjective

: Nyeri ulu hati (-), BAB darah (-), BAK darah (+)

b. Objective

TD = 100/70 mm Hg

RR = 20 kali/menit

N = 82 kali/menit

T = 36,5oC

Nyeri tekan epigastrik (-)


Tabel 9. Hasil pemeriksaan urinalisis tanggal 12 Juli 2010.
Pemeriksaan

Hasil

Darah samar
Nitrit
Sedimen lekosit
Sedimen eritrosit

3+
Positif
8-10
Banyak

Referensi
Negatif
Negatif
0-3
0-2

Satuan

/LPB
/LPB

Tabel 10. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.

ULTRASONOGRAFI ABDOMEN
Hepar/lien/gallbladder
Ren dekstra et sinistra
Vesica urinaria

tidak tampak kelainan, pembesaran KGB


regional (-), asites (-)
tidak tampak kelainan
tidak tampak massa

Kesimpulan: Neurogenic bladder?

c. Evaluation : ISK dan perdarahan lambung (membaik)

29

d. Planning

: 1. Diagnostik : 2. Terapetik

: Levofloxacin

3. Monitoring : KU, tanda vital, dan BAK


4. Edukasi

: Tidak lama menahan kencing

Tanggal 20 Juli 2010


Problem: Peningkatan enzim liver dan hiperbilirubinemia
a. Subjective
: Demam (-), nyeri perut(+)
b. Objective
:
TD = 140/100 mm Hg
RR = 20 kali/menit
T = 36,1oC

N = 104 kali/menit

Tabel 11. Hasil pemeriksaan bilirubin darah dan LFT tanggal 20 Juli 2010.
Pemeriksaan
Bilirubin total
Bilirubin direk
Bilirubin indirek
SGOT
SGPT

c. Assessment
d. Planning

Hasil

Referensi

1,24
0,61
0,63
203
305

0,20-1,20
0,00-0,50
0,20-0,60
16-40
8-45

Satuan
Mg/dL
Mg/dL
Mg/dL
U/I
U/I

: Hepatitis (lupus)
: 1. Diagnostik : EKG, MDT
2. Terapetik

: Curcuma

3. Monitoring : Tetap
4. Edukasi

: Tetap

Tanggal 23 Juli 2010


Problem: Demam, ruam malar dan nyeri sendi lutut kanan
a. Subjective :
Sejak bulan lalu, sempat muncul ruam berwarna hitam yang
mengelupas di kulit pipi dan pasie mengaku pernah sering sesak
30

nafas sebelum masuk rumah sakit. Selama ini, pasien telah


mengalami penurunan berat badan dari 42 kg menjadi 35 kg.

b. Objective

TD = 100/70 mm Hg

RR = 20 kali/menit

N = 82 kali/menit

T = 36,5oC

Tabel 12. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.

ULTRASONOGRAFI ABDOMEN
Hepar/lien/gallbladder

tidak tampak kelainan, pembesaran KGB


regional (-), asites (-)
tidak tampak kelainan
tidak tampak massa

Ren dekstra et sinistra


Vesica urinaria

Kesimpulan: Neurogenic bladder?

Tabel 13. Hasil pemeriksaan LFT tanggal 20 Juli 2010.


Pemeriksaan
SGOT
SGPT

Hasil
203
305

Referensi
16-40
8-45

Satuan
U/I
U/I

Tabel 14. Hasil pemeriksaan imunoserologi tanggal 23 Juli 2010.


Anti ds-DNA IgG (EIA) = 335,25 IU (positif kuat)

Skor SLE
- Kejang (-)
- Arthritis (+) lutut

- Ruam malar (+)


- Ruam diskoid (-)
- Fotosensitif (-)
- Ulserasi (-)
- Serositis (-)
- Kelainan ginjal (-)

kanan (sudah ada


mulai bulan lalu)
31

- Kelainan hematologi (-)


- Kelainan imun (-)
- ANA (+)

Kesimpulan: Skor SLE +3

c. Evaluation : SLE (nefritis dan hepatitis lupus ) + infeksi sekunder


d. Planning
: 1. Diagnostik : 2. Terapetik

: Methylprednisolon,

cefotaxime,

antrain
3. Monitoring : KU, tanda vital, komplikasi SLE
4. Edukasi

: Tirah baring

BAB IV
PEMBAHASAN

Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai adanya proteinuria,


hipoalbuminemia, dan edema. Meskipun ketiga kriteria definitif di atas banyak
mengandalkan pemeriksaan fisik dan laboratorik, pada kasus ini, pasien tetap
dilakukan anamnesis untuk menelusuri perjalanan penyakitnya. Dari anamnesis,
informasi yang didapatkan tidak mengarah langsung ke sindroma nefrotik.
Informasi tersebut antara lain nyeri perut, lemah, demam, sedikit buang air kecil,
penurunan nafsu makan dan mual. Secara teoritis, tanda pertama dari sindroma
nefrotik pada anak-anak biasanya adalah edema pada wajah, hal ini kemudian
diikuti oleh edema seluruh tubuh. Sedangkan orang dewasa dapat memperlihatkan
edema dependen. Edema adalah gambaran klinis utama dari sindroma nefrotik dan

32

awalnya berkembang di sekitar mata dan kaki. Namun, hal ini tidak ditemukan di
anamnesis. Gambaran klinis tambahan pada saat pemeriksaan akan bervariasi
sesuai dengan penyebab dan sebagai akibat apakah dari gangguan fungsi ginjal
atau tidak. Gejala yang mungkin berkaitan dengan hal ini adalah demam, sedikit
buang air kecil, penurunan nafsu makan dan mual.
Pada tanggal 19 Juli 2010, terdapat beberapa informasi tambahan yang
mungkin mengarah kepada salah satu dari 3 penyebab terbanyak sindroma
nefrotik sesuai dengan grafik pada Gambar 2 di atas tentang insidensi penyebab
sekunder sindroma nefrotik, yaitu systemic lupus erythematosus (SLE). Dari
anamnesis tambahan tersebut, didapatkan adanya riwayat ruam berwarna hitam
yang mengelupas di kulit pipi dan pasien mengaku pernah sering sesak nafas
sebelum masuk rumah sakit. Selama ini, pasien telah mengalami penurunan berat
badan dari 42 kg menjadi 35 kg. Trias demam, nyeri sendi, dan ruam pada wanita
usia subur menimbulkan kecurigaan adanya systemic lupus erythematosus (SLE).
Pada kasus ini, pasien mengalami demam, nyeri sendi lutut kanan dan ruam di
wajah. Ruam tersebut merupakan suatu ruam malar seperti tergambarkan pada
Gambar 3 di atas. Sedangkan adanya sesak menunjukkan adanya efusi pleura
yang merupakan manifestasi edema pada pasien ini.
Dari pemeriksaan fisik, tanda vital pasien masih dalam batas normal.
Edema periorbita ditemukan dan dapat mendukung diagnosis sindroma nefrotik
meskipun pada kasus ini tidak didapatkan edema eksrtremitas. Meskipun diakui
sering sesak, konfirmasi pemeriksaan fisik tidak menemukan bunyi rhonkii pada
auskultasi dinding dada. Sedangkan kelainan lainnya hanya berupa nyeri

33

epigastrik dan tidak ada kelainan pada pemeriksaan fisik ginjal. Hal ini tidak
bersifat sugestif untuk terjadinya sindroma nefrotik. Pada tanggal 20 Juli 2010,
dilakukan penilaian skor SLE untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Dari
penilaian tersebut, pasien dilaporkan hanya memenuhi 2 skor, yaitu arthritis di
lutut kanan dan ruam malar. Namun demikian, penilaian ini sebenarnya tidak
tepat. Secara teoritis, skor untuk radang sendi terpenuhi jika terdapat arthritis nonerosive yang melibatkan 2 sendi perifer, yang ditandai oleh nyeri, bengkak, atau
efusi sehingga criteria arthritis tersebut tidak memenuhi syarat system skor
tersebut. Justru adanya proteinuria +3 yang persisten (dua kali pemeriksaan
dengan rentang satu minggu, yaitu tanggal 5 Juli 2010 dan 12 Juli 2010) masuk
sebagai skor untuk SLE pada kasus ini. Namun demikian, kasus ini hanya
memenuhi 2 skor saja padahal seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4
atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara serial atau bersamaan, selama interval
pengamatan. Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan imunoserologi (anti dsDNA IgG [EIA]) dan hasilnya menunjukkan positif kuat menderita SLE. Jika
Dengan demikian, diagnosis SLE ini tegak berdasarkan sistem skor dari American
College of Rheumatology ini.
Diagnosis sindroma nefrotik pada kasus ini ditegakkan dengan
ditemukannya proteinuria (pemeriksaan urin rutin menunjukkan +3 dari dua kali
pemeriksaan tanggal 5 Juli 2010 dan 12 Juli 2010), hipoalbuminemia (kadar
albumin darah hanya 2,4 g/dL pada tanggal 7 Juli 2010), dan edema periorbita
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik. Diagnosis banding diabetic neuropathy,
yang juga mengindikasikan sindroma nefrotik akibat diabetes melitus,

34

disingkirkan dengan hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 6 Juli 2010 dimana
nilai GDS adalah 87 mg/dL meskipun GDS sebenarnya tidak sensitif untuk
diabetes melitus. Pemeriksaan yang sensitif sebenarnya adalah kadar HbA1c
dimana dapat menunjukkan status glikemia seseorang secara stabil dalam 3 bulan
terakhir. Harusnya pemeriksaan ini dilakukan mengingat tingginya penyebab
sekunder akibat diabetes melitus pada sindroma nefrotik dewasa. Adanya
penuruanan berat badan dari anamnesis mencerminkan bagaimana glukosa tidak
dimetabolisme dengan baik sehingga sel kekurangan kalori dan menjadi lapar.
Pada kasus ini, pasien diberikan terapi suportif berupa pemberian cairan
ringer laktat dan drip Neurobion untuk mendukung metabolisme dalam
melakukan perbaikan jaringan selama proses pengobatan. Selain itu, kandung
vitamin neurotropik pada Neurobion dapat membantu mengatasi nyeri yang
dialami pasien. Injeksi ranitidin diberikan pada pasien untuk mengurangi asam
lambung atau dispepsia yang umum terjadi pada pasien-pasien rawat inap lama
dimana kebanyakan dari mereka mengalami ansieta akibat pengalaman sakitnya.
Ansietas ini berimbas pada gejala psikosomatik yang umumnya berupa ansietas.
Adanya pengurangan asam lambung ini juga akan mengurangi rasa mual yang
disebabkannya. Injeksi Antrain berisi metamizol yang bersifat antipiretika,
analgetika dab antiinflamasi kuat untuk mengatasi nyeri dan demam yang
dirasakan pasien.
Selain terapi suportif dan simptomatik di atas, pasien juga diberikan terapi
definitif sesuai diagnosis. Secara teoritis, gejala SLE seperti demam, manifestasi
kulit, manifestasi muskuloskeletal, dan serositis merupakan gejala yang ringan,

35

yang mungkin berkurang seiring aktivitas penyakit. Keadaan ini dapat dikontrol
dengan pemberian obat steroid potensi rendah atau durasi singkat. Pada kasus ini,
diberikan methylprednison sebagai terapi definitif yang dimaksud di atas. Untuk
sindroma nefrotik sendiri, juga diberikan terapi ini dimana prednison dan
siklofosfamid berguna dalam beberapa bentuk nephritis lupus, seperti kasus ini.
Diuretik akan sangat dibutuhkan, seperti furosemid, spironolactone, dan
bahkan metolazone. Deplesi volume mungkin terjadi pada penggunaan diuretik,
yang harus dipantau dengan menilai gejala, berat badan, denyut nadi, dan tekanan
darah. Karena pada kasus ini edema sangat minimal dan tidak terbukti
menyebabkan efusi pleura, dengan mempertimbangkan rendahnya tekanan darah
rerata selama masa perawatan, maka pemberian diuretik pun tidak dilakukan.
Agen hypolipidemic dapat pula digunakan tetapi jika sindroma nefrotik tidak
dapat dikendalikan maka akan terjadi hiperlipidemia persisten. Pada kasus ini
pasien diberikan simvastatin sebagai agen hypolipidemic-nya.
Karena pasien memiliki nilai Hb di bawah 10 g/dL, maka diberikan pula
transfusi PRC untuk mengoreksi hal ini. Sebenarnya transfusi darah bukan tanpa
adanya komplikasi, komplikasi berupa infeksi dapat terjadi pada pasien-pasien
yang mendapat transfusi. Port de entre kuman pada kasus ini adalah transfusi,
baik pemberian cairan infus, darah maupun albumin. Infeksi merupakan masalah
utama dalam sindroma nefrotik, pasien rentan terhadap infeksi Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan bakteri gram negatif
lainnya. Infeksi varicella juga umum terjadi. Untuk itu, pasien juga diberikan
antibiotik spektrum luas, seperti cefotaxime, levofloxacin atau ciprofloxacin.

36

Agen infeksi seperti jamur juga dapat terlibat sehingga pasien ini juga diberikan
ketoconazole. Adanya peningkatan SGOT/SGPT merupakan

salah satu

kemungkinan adanya keterlibatan infeksi virus di liver atau akibat obat-obatan,


seperti ketoconacole. Untuk melindungi fungsi hati tersebut, maka pasien juga
diberikan curcuma sebagai hepatoprotektor. Pada sindroma nefrotik sekunder,
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan/atau angiotensin II receptor
blocker telah secara luas digunakan. Pada kasus ini, obat yang digunakan adalah
captopril dengan catatan pemberiannya sesuai tekanan darah yang diperiksa sesaat
sebelum obat diberikan.
Meskipun sebelum tahun 1955 angka harapan hidup 5 tahun adalah kurang
dari 50%, SLE memiliki angka harapan hidup 10 tahun rata-rata melebihi 90%
sehingga prognosis vitam kasus ini baik meskipun pasien akan terus menjalani
pengobatan secara residif seumur hidupnya. Pada kasus ini, pasien tidak lagi
mengalami nyeri perut, demam, maupun mual. Pasien juga sudah dapat makan
dan minum serta tidak lagi memerlukan pemberian cairan intravena. Dengan
demikian, pasien ini dapat menghentikan rawat inap dan menjalani rawat jalan
hingga gejala dan tanda SLE dapat terkontrol.

37

BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 20 tahun yang


didiagnosis sindroma nefrotik akibat systemic lupus erythematosus dengan
anemia ringan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium. Pasien telah ditatalaksana dengan terapi suportif,
simptomatik dan definitif dengan pemberian methylprenisolon. Setelah pasien
dirawat selama 35 hari dari tanggal 5 Juli s/d 9 Agustus 2010 akhirnya pasien
dapat menghentikan rawat inap dan mendapat pengobatan lanjutan secara rawat
jalan.

38

DAFTAR PUSTAKA

1.
Cohen
EP.
Nephrotic
Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/244631-print.

Available

at:

2. Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al. Natural history and prognostic
factors of diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Quart J Med. 2002;95:371-7.
3. Leber MJ, Lakdawala VS. Systemic Lupus Erythematosus. Available at:
http://emedicine.medscape.com/809378-print.
4. Bartels CM, Muller D. Systemic Lupus Erythematosus. Available at:
http://emedicine.medscape.com/332244-print.
5. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus
erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus.
2006;15(5):308-18.
6. Trager J, Ward MM. Mortality and causes of death in systemic lupus
erythematosus. Curr Opin Rheumatol. Sep 2001;13(5):345-51.
7. Kasitanon N, Magder LS, Petri M. Predictors of survival in systemic lupus
erythematosus. Medicine (Baltimore). May 2006;85(3):147-56.
8. Cohen EP, Lemann J. The role of the laboratory in evaluation of kidney
function. Clin Chem. 1991;37:785-796.
9. Gupta K, Iskandar SS, Daeihagh P, et al. Distribution of pathologic findings in
individuals with nephrotic proteinuria according to serum albumin. Nephrol Dial
Transplant. May 2008;23(5):1595-9.
10. Appel GB, Blum CB, Chien S, Kunis CL, Appel AS. The hyperlipidemia of
the nephrotic syndrome. Relation to plasma albumin concentration, oncotic
pressure, and viscosity. N Engl J Med. Jun 13 1985;312(24):1544-8.
11. Curry RC Jr, Roberts WC. Status of the coronary arteries in the nephrotic
syndrome. Analysis of 20 necropsy patients aged 15 to 35 years to determine if
coronary atherosclerosis is accelerated. Am J Med. Aug 1977;63(2):183-92.
12. Tessitore N, Bonucci E, D'Angelo A, Lund B, Corgnati A, Lund B, et al. Bone
histology and calcium metabolism in patients with nephrotic syndrome and
normal or reduced renal function. Nephron. 1984;37(3):153-9.

39

13. Mittal SK, Dash SC, Tiwari SC, Agarwal SK, Saxena S, Fishbane S. Bone
histology in patients with nephrotic syndrome and normal renal function. Kidney
Int. May 1999;55(5):1912-9.
14. Gulati S, Godbole M, Singh U, Gulati K, Srivastava A. Are children with
idiopathic nephrotic syndrome at risk for metabolic bone disease?. Am J Kidney
Dis. Jun 2003;41(6):1163-9.
15. Leonard MB, Feldman HI, Shults J, Zemel BS, Foster BJ, Stallings VA. Longterm, high-dose glucocorticoids and bone mineral content in childhood
glucocorticoid-sensitive nephrotic syndrome. N Engl J Med. Aug 26
2004;351(9):868-75.
16. Dubois EL, Tuffanelli DL. Clinical manifestations of systemic lupus
erythematosus. Computer analysis of 250 cases. JAMA. Oct 12 1964;190:104-11.
17. Harvey AM, Shulman LE, Tumulty PA, Conley CL, Schoenrich EH. Systemic
lupus erythematosus: review of the literature and clinical analysis of 138 cases.
Medicine (Baltimore). Dec 1954;33(4):291-437.
18. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF, et al. The
1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus.
Arthritis Rheum. Nov 1982;25(11):1271-7.
19. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised
criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum.
Sep 1997;40(9):1725.
20. Wajed J, Ahmad Y, Durrington PN, Bruce IN. Prevention of cardiovascular
disease in systemic lupus erythematosus--proposed guidelines for risk factor
management. Rheumatology (Oxford). Jan 2004;43(1):7-12.

40

Anda mungkin juga menyukai