PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, peningkatan jumlah penduduk dunia semakin meningkat dari
tahun ke tahun, dan secara langsung berkaitan dengan peningkatan konsumsi
energi di dunia. Oleh karena itu, banyak negara sudah mulai berlomba-lomba
untuk mengembangkan kemampuan masing masing untuk mencari sumber
energi baru agar negara mereka tidak mengalami krisis energi yang secara
langsung akan berimbas terhadap keberjalanan negara tersebut di masa
mendatang. Melihat isu ini semakin berkembang maka Indonesia perlu
mencermati kondisi ini karena jumlah penduduk Indonesia merupakan jumlah
terbanyak ke empat di dunia dibawah China, India dan Amerika Serikat, sehingga
kondisi krisis akan sumber energi ini akan menjadi masalah yang besar. Kondisi
ini juga dipersulit dengan keterdapatan sumber daya energi konvensional seperti
minyak bumi yang semakin minim dan tidak bisa mengimbangi kebutuhan negara
sehingga Indonesia terpaksa melakukan impor minyak bumi untuk memenuhi
kebutuhan negara. Oleh karena itu, Indonesia harus jeli melihat potensi potensi
energi yang bersifat non-konvensional salah satunya adalah keterdapatan potensi
gas hidrat.
Gas hidrat merupakan sebuah substansi yeng menyerupai es dan memiliki
kandungan metana. Pada lingkungan laut, metana hidrat ini umumnya stabil pada
temperatur yang berkisar antara 00C hingga 150C dengan kedalaman 500 M
dibawah permukaan laut dan memiliki ketebalan sedimen di bawah lantai
samudera sekitar 300 M (Sloan, 1998 dalam Kumar.dkk., 2005). Berdasarkan
survey seismik yang dilakukan oleh Pertamina, hingga saat ini volume gas hidrat
yang terdapat di Indonesia mencapai 3000 Tcf (trillion cubic feet) yang tersebar di
beberapa wilayah antara lain Aceh bagian utara, Selat Sunda, Selat Makasar, dan
Laut Sulawesi (Gambar 1.1). Jumlah gas hidrat yang melimpah ini tentu menjadi
sebuah potensi yang amat besar untuk dikembangkan sebagai sumber energi baru
yang dapat dimanfaatkan dalam waktu yang sangat lama contohnya dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan listrik, transportasi, dan industri di Indonesia.
Potensi gas hidrat yang sangat besar ini tentu akan menarik untuk diperdalam
karena apabila dengan tahap eksplorasi dan pengembangan yang tepat maka gas
hidrat ini menjadi salah satu solusi krisis energi di Indonesia. Oleh karena itu
perlu adanya pengembangan yang lebih mendalam terutama untuk mempelajari
karakteristik zona gas hidrat dan salah satunya adalah dengan menggunakan
metode seismik refleksi. Kehadiran dari gas hidrat ini memberikan efek yang
sangat besar dalam seismik refleksi karena menunjukkan perubahan akustik
impedansi yang sangat besar sepanjang batas yang memisahkan antara zona yang
terdapat gas hidrat dan zona saturasi air yang tidak mengandung gas (free gases
saturated zone) dan dalam hal ini dapat dilihat berupa bottom simulating reflector
(BSR) dalam sebuah penampang seismik. Dengan informasi ini akan sangat
mendukung dalam merancang pemodelan untuk melihat bagaimana karakteristik
reservoir yang terdapat gas hidrat tersebut dan persebaran gas tersebut sehingga
dapat meminimalisir potensi terjadinya kegagalan dalam pengeboran (dry hole).
Oleh karena itu penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini meliputi proses penyusunan proposal dan mencari
perusahaan yang bersedia memberikan data seismik yang berkaitan
dengan topik penelitian yang hendak dilakukan antara lain berupa data
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
Daerah penelitian ini berada sepanjang Palung Sumatera yang menjadi penciri
dari batas timur Samudera Hindia. Terbentuknya prisma akresi yang berasal dari
proses subduksi yang berlangsung sejak Oligosen menyebabkan perkembangan
secara masif sepanjang Pulau Sumatera hingga Pulau Jawa (Gambar 2.1). Pada
muka busur cekungan (forearc basin) dapat terbagi ke dalam beberapa cekungan
besar dan memiliki akumulasi sedimen dengan ketebalan sekitar 4 km. Cekungan
muka busur ini memiliki karakteristik berupa urutan lapisan horizontal yang
serupa dengan lantai samudera dan umumnya tidak mengalami gangguan dari
beberapa struktur antiklin, yang mencirikan jejak permukaan Sesar Mentawai
(Kopp, 2002).
Gambar 2.1 Peta batimetri dari bagian tengah busur sunda yang mengindikasikan
proses mekanisme struktural pada daerah batas (Kopp,2002).
mengalami perlipatan karena terjadinya proses pengangkatan dan erosi pada busur
busur yang berdekatan secara masif. Proses pemboran telah berhasil menembus
urutan perlapisan dari batupasir, batulanau, dan batugamping dolomitic dengan
adanya endapan volkanik yang menghasilkan perlapisan dengan urutan
permeabilitas tinggi dan rendah (Kopp, 2002).
2.2 Teori Dasar
Gas hidrat merupakan sebuah substansi padat yang terdiri dari molekul
molekul gas dan air yang saling bereaksi secara kimiawi dan kemudia
menghasilkan bentukan menyerupai kristal es (Ecker et al., 1998 dalam Bahar
dkk., 2006). Gas hidrat ini akan mudah terbentuk pada kondisi temperatur yang
sangat rendah dan tekanan yang sangat tinggi, dan hal ini dikenal dengan istilah
gas hydrate stability zone (GHSZ) dan dalam lingkungan laut GHSZ ini terletak
ratusan meter dibawah lantai samudera yang terletak sepanjang paparan benua
(Kvenvolden,1994 dalam Jaiswal, 2016). Kehadiran gas hidrat sebenarnya bisa
saja diperoleh dengan identifikasi sampel hasil pemboran namun untuk
mengetahui kehadirannya pada area yang lebih luas maka metode seismic adalah
metode unggul yang digunakan untuk mencari potensi gas hidrat tersebut.
Metode seismik refleksi merupakan metode yang sangat penting dalam
karakterisasi zona gas hidrat karena kehadiran gas hidrat ini sendiri dicirikan
dengan adanya efek yang sangat kuat pada refleksi seismik yang dikarenakan
tingginya akustik impedansi yang ditimbulkan (Sunjay dkk.,2011). Pada beberapa
kejadian, lokasi hadirnya gas hidrat ini dapat diketahui berdasarkan hadirnya
bottom sampling reflector (BSR), yang merefleksikan dasar dari GHSZ (Bahar
dkk.,2006). BSR ini dicirikan dengan koefisien refleksi yang negatif, umumnya
memotong sepanjang refleksi stratal, dan memiliki pola yang menyerupai
bentukan dari lantai samudera (Gambar 2.2). Selain BSR, blanking zone dan
pembalikan kutub (polarity reversal) juga dapat diketahu melalui penampang
seismik dan kedua hal tersebut juga dapat berguna dalam mendeteksi kehadiran
dari gas hidrat (Sunjay dkk.,2011). Distribusi gas hidrat ini dapat diinterpretasikan
Gambar 2.2 Penampang seismik dengan arah barat-timur yang ditunjukkan ocean
bottom seismometer (OBS) (Kumar dkk., 2006). Gambar ini
menunjukkan BSR memiliki pola yang menyerupai lantai samudera
BAB III
ALOKASI WAKTU, PERENCANAAN PENELITIAN, DAN RENCANA
ANGGARAN BELANJA
Uraian
Jumlah
Pembuatan proposal
Subtotal
Rp
Rp
30.000,00
30.000,00
Uraian
Jumlah
Percetakan Literatur
Subtotal
Rp
Rp
150.000,00
150.000,00
Uraian
Jumlah
.
1.
Rp
2.
2.500.000,00
Rp
Subtotal
1.000.000,00
Rp
3.500.000,00
Uraian
Jumlah
.
1.
Rp
2.
1.000.000,00
Rp
300.000,00
Model Seismik
Subtotal
Rp
1.300.000,00
3.2.5
No
Uraian
Jumlah
.
1.
Rp
390.000,00
2.
Laporan
Penjilidan dan perbanyakan laporan
Rp
240.000,00
(3x80.000)
Subtotal
Rp
630.000,00
3.2.6
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Uraian
Tahap persiapan
Tahap studi pendahuluan
Tahap pengambilan data lapangan
Tahap akuisisi data dan interpretasi
Tahap penyusunan laporan
Total
Jumlah
Rp
30.000,00
Rp
150.000,00
Rp 3.500.000,00
Rp 1.300.000,00
Rp
630.000,00
Rp 5.610.000,00
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A., Santoso, D., Hakiki, F., Widyantoro, S., Surachman, Y., 2006, Seismic
Identification and Characterization of Gas Hydrates in Central Sunda
10