Anda di halaman 1dari 16

RHINOSINUSITIS : bukti dan pengalaman : Suatu Lampiran

Pendahuluan
Rinosinusitis (RS) adalah proses inflamasi dari mukosa hidung, dan itu diklasifikasikan sebagai
akut (<12 minggu) atau kronis (12 minggu) sesuai dengan waktu yang dibutuhkan untuk
evolusi tanda dan gejala, dan menurut beratnya kondisi, seperti ringan, sedang, atau berat.
Keparahan penyakit diklasifikasikan melalui Skala Visual Analog (VAS) (Gambar. 1), dari
0-10 cm. Pasien diminta untuk mengukur dari 0 sampai 10 untuk tingkat ketidaknyamanan yang
disebabkan oleh gejala; nol mengartikan tidak ada ketidaknyamanan, dan 10 ketidaknyamanan
terbesar. Tingkat keparahan ini kemudian diklasifikasikan sebagai berikut: ringan: 0-3 cm;
sedang:> 3-7 cm; berat:> 7-10 cm.1
Meskipun VAS hanya divalidasi untuk Rinosinusitis kronis (RSK) pada orang dewasa, European
Position Paper tentang Rinosinusitis dan Polip Nasal 2012 1 juga merekomendasikan
penggunaannya untuk Rhinosinusitis Akut (RSA). Terdapat beberapa kuesioner khusus untuk
rinosinusitis; namun, dalam prakteknya, sebagian besar memiliki keterbatasan dalam
aplikasinya, khususnya di kondisi akut.2- 4

Rhinosinusitis akut
Definisi
Rhinosinusitis akut (ARS) adalah proses inflamasi dari mukosa hidung dengan onset mendadak,
berlangsung hingga 12 minggu. Dapat terjadi satu kali atau lebih dalam jangka waktu tertentu,
namun selalu dengan remisi lengkapdari tanda dan gejala di antara setiap episode.
Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi untuk rinosinusitis. Salah satu yang paling sering digunakan
adalah klasifikasi berdasarkan etiologi, yang didasarkan terutama pada durasi gejala:1
- RSA Viral atau common cold: kondisi umumnya diri terbatas, di mana durasi gejala kurang
dari sepuluh hari;
- RSA post-virus: ketika terjadi perburukan gejala lima hari setelah onset penyakit, atau bila
gejala terus berlangsung selama lebih dari sepuluh hari;
- Rinosinusitis Bakteri Akut (RSBA): pada presentase kecil, pasien dengan RSA post-virus
dapat berkembang menjadi RSBA.
RSA virus atau common cold memiliki durasi gejala yang biasanya kurang dari 10 hari.
Ketikaterdapat perburukan gejala pada sekitar hari kelima, atau menetap lebih dari sepuluh hari
(dan kurang dari 12 minggu), dapat diklasifikasikan sebagai RS post-virus. Diperkirakan bahwa
RSA post-virus berkembang menjadi RSBA dengan persentase kecil, sekitar 0,5 - 2%.
Terlepas dari durasi waktu, setidaknya terdapat tiga dari tanda-tanda / gejala di bawah ini yang
mengarahkan ke RSA bakteri:

- Sekresi nasal (yang biasanya unilateral) dan adanya nanah di rongga hidung;
- Nyeri lokal yang intens (dengan dominasi unilateral);
- Demam > 38C;
- Peningkatan laju endap darah (LED) dan kadar C- reactive protein (CRP);
- ''Perburukan ganda '': kekambuhan yang akut atau keburukan setelah periode awal dari gejala
yang ringan.
Diagnosis klinis
Tanda dan gejala
Pada tingkat pelayanan kesehatan primer dan untuk kepentingan epidemiologi, RSA dapat
didiagnosis berdasarkan gejala saja, tanpa perlu pemeriksaan khusus otorhinolaryngologi dan /
atau pencitraan. Dalam kasus ini, perbedaan antara jenis RSA terutama didasarkan dengan
riwayat medis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan medis umum dan spesialis, baik ahli
otorhinolaryngologi atau tidak. Penting diperhatikan bahwa pada saat penilaian medis,
pasien mungkin lupa memberi informasi mengenai ''perburukan '' jika tidak ditanyakan secara
khusus. Riwayat dari durasi terjadinya gejala berlangsung beberapa hari sering diikuti dengan
terjadinya kekambuhan. Bergantung pada dokter apakah mengetahui atau tidak, dalam
kebanyakan kasus, itu dapat mewakili evolusi dari penyakit yang sama, dari RSA ke RS postvirus, bukan dua infeksi yang berbeda.
Evaluasi subjektif dan diagnosis pada pasien dengan RSA didasarkan dengan adanya dua atau
lebih dari gejala kardinal berikut ini:1
Obstruksi hidung / kongesti;
Anterior atau posterior nasal discharge / rhinorrhea (paling sering, namun tidak selalu,
purulen);
Wajah nyeri / tekanan / sakit kepala;
Gangguan penciuman.
Selain gejala-gejala di atas, odinofagia, disfonia, batuk, rasa penuh dan tekanan pada
telinga dan gejala sistemik seperti asthenia, malaise dan demam juga dapat terjadi. Beberapa
studi tentang frekuensi gejala-gejala RSA ini pada masyarakat menunjukkan adanya variabilits
yang besar.5-7 Kemungkinan terjadinya RSBA lebih besar ditandai dengan adanya tiga atau lebih
dari tanda dan gejala berikut:1
Sekresi nasal / adanya nanah dalam rongga hidung yang biasanya unilateral;
Nyeri lokal yang biasanya unilateral;
Demam > 38C;
Perburukan gejala / kemunduran setelah periode awal penyakit;
Peningkatan laju endap darah (LED) dan kadar C reactive protein (CRP).

Gejala RSA memiliki onset tiba-tiba yang khas, tanpa riwayat gejala rinosinusitis
sebelumnya. Dalam eksasesi akut rinosinusitis kronis (RSK), kriteria diagnostik dan pengobatan
sama dengan yang digunakan untuk RSA.1 Batuk, meskipun dianggap sebagai gejala yang
penting berdasarkan pedoman internasional, tetapi tidak menjadi salah satu gejala kardinal dalam
dokumen ini. Namun pada populasi pediatrik, batuk diidentifikasi sebagai salah satu dari
empat gejala kardinal, bukan gangguan penciuman.1,8
Obstruksi hidung merupakan salah satu gejala penting dari RSA dan harus dievaluasi
bersama dengan keluhan lain pasien. Meskipun metode evaluasi obyektif obstruksi hidung
seperti rinomanometri, aliran inspirasi puncak hidung dan rhinometri akustik jarang diterapkan
dalam praktek sehari-hari pada pasien dengan RSA, penelitian menunjukkan korelasi yang baik
antara gejala yang dilaporkan oleh pasien dan pengukuran obyektif yang diperoleh dengan
metode ini.1
Rhinorrhea yang purulen sering diinterpretasikan praktek klinis sebagai indikator infeksi
bakteri yang membutuhkan penggunaan antibiotisk.9,10 Namun, bukti-bukti untuk asosiasi ini
terbatas. Meskipun gejala yang tampaknya meningkatkan peluang positif terhadap kultur
bakteri, rhinorrhea yang purulen saja tidak mencirikan RSBA.11 Rhinorrhea yang purulen yang
kebanyakan unilateral dan adanya nanah di rongga hidung memiliki nilai prediktif positif hanya
50% dan 17%, masing-masing untuk kultur bakteri positif yang diperoleh dari aspirasi sinus
maksilaris.12 Oleh karena itu, adanya rhinorrhea yang purulen tidak selalu menunjukkan adanya
infeksi bakteri dan tidak harus dijadikan sebagai kriteria terisolasi untuk preskripsi antibiotik.11-13
Pengurangan indera penciuman adalah salah satu yang paling gejala sulit diukur dalam
praktek klinis dan biasanya dievaluasi hanya secara subyektif. Hiposmia dan anosmia
merupakan keluhan umum terkait dengan RSA, yang dapat dinilai dengan tes objektif yang
sudah tervalidasi dan skala subjektif menunjukkan korelasi yang baik. 14,15 Penting bahwa tes
fungsi penciuman ini adaptasi melalui proses translasi, budaya dan sosial ekonomi digunakan di
populasi yang berbeda.16
Nyeri dan tekanan pada wajah umum terjadi pada RSA. Nyeri wajah atau gigi unilateral
dianggap sebagai prediktor sinusitis maksilaris akut.5,17 Keluhan sakit gigi pada gigi atas di
topografi sinus maksilaris menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik dengan
adanya kultur bakteri positif, dengan dominasi Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenza yang diperoleh dengan aspirasi sinus.18 Namun, dalam studi lain, nilai prediksi positif
dari gejala nyeri wajah yang unilateral untuk infeksi bakteri hanya 41% .17
Beberapa penelitian dan pedoman berusaha untuk mendefinisikan kombinasi dari gejala
yang paling tinggi menentukan probabilitas infeksi bakteri dan respons antibiotic. 1 Pada studi
oleh Berg dan Carenfelt, 7 adanya dua atau lebih temuan (rhinorrhea yang purulent dan nyeri
lokal yang kebanyakan unilateral, nanah dalam rongga hidung dan rhinorrhea yang purulen
bilateral) menunjukkan sensitivitas 95% dan 77% spesifisitas untuk diagnosis RSBA.
Pemeriksaan klinis pasien dengan RSA awalnya harus melibatkan pengukuran tandatanda vital dan pemeriksaan fisik kepala dan leher, dengan perhatian khusus adanya edema
wajah yang lokal atau difus. Pada oroskopi, sekresi purulen posterior di orofaring adalah temuan
penting.8 Rhinoskopi anterior adalah bagian dari pemeriksaan fisik yang harus dilakukan dalam

evaluasi utama pasien dengan gejala kelainan di hidung, dan meskipun memberikan informasi
yang terbatas, mungkin dapat mengungkapkan aspek penting sekresi dan mukosa hidung.1
Demam dapat terjadi pada beberapa pasien dengan RSA pada hari-hari pertama infeksi, 19
dan saat lebih tinggi dari 38C mengindikasikan penyakit yang lebih parah dan merupakan
indikasi perlunya pengobatan yang lebih agresif, terutama ketika dikaitkan dengan gejala berat
lainnya. Demam juga secara signifikan terkait dengan kultur bakteri positif yang diperoleh oleh
aspirasi hidung terutama S. pneumoniae dan H. influenzae. Meskipun data dalam literature
terbatas, pada pasien dengan RSA, adanya edema dan nyeri pada palpasi area maksilofasial
mungkin menunjukkan penyakit yang lebih parah, membutuhkan antibiotik.9
Di tingkat pelayanan kesehatan primer, endoskopi hidung umumnya tidak tersediadan
tidak dianggap sebagai pemeriksaan wajib untuk diagnosis RSA. Jika tersedia, memberikan
visualisasi yang lebih baik anatomi hidung dan diagnosis topografi, serta kesempatan untuk
mendapatkan bahan untuk analisis mikrobiologi. 1 Pada penilaian dan pemeriksaan klinis pasien,
kemungkinan variasi antara wilayah geografis dan berbeda populasi harus dipertimbangkan.
Iklim, sosial, perbedaan ekonomi dan budaya, serta beragam kesempatan akses pelayanan
kesehatan,di antara faktor lain, mungkin mengubah persepsi subjektif dari penyakit, serta
berpotensi menghasilkan gambaran klinis yang khas. Pentingnya variabilitas ini tidak diketahui
dari sudut pandang bukti ilmiah; diperlukan studi lebih banyak untuk mendeteksi itu.
Pengobatan
Adanya keprihatinan terhadap penggunaan antibiotik yang sembarangan dan dengan
perkembangan resistensi bakteri di seluruh dunia. Diperkirakan bahwa sekitar 50 juta resep
antibiotik untuk rinosinusitis di Amerika Serikat tidakdi perlukan, yang diresepkan untuk infeksi
virus. Ketika pasien mengikuti algoritma yang lebih selektif untuk pengobatan antibiotik,
manfaat lebih besar, dan itu hanya diperlukan untuk mengobati tiga pasien untuk satu
pencapaian hasil yang diharapkan.20 Dengan demikian, kecenderungan seluruh dunia untuk
mengobati RSA menurut tingkat keparahan penyakit dan durasi.
Antibiotik
Meta-analisis dengan plasebo-terkontrol, acak, uji klinis tersamar ganda menunjukkan
kemanjuran antibiotik dalam perbaikan gejala pasien RSBA, terutama jika diberikan dengan
hati-hati. Mereka tidak diindikasikan untuk kasus rinosinusitis virus, karena mereka tidak
mengubah perjalanan penyakit, 21dan tidak boleh diresepkan sebagai pengobatan simtomatik,
sehingga menghindar dari penggunaan yang sembarangan karena dapat mengkontribusi dalam
peningkatkan resistensi bakteri.22
Studi klinis telah menunjukkan bahwa sekitar 65% dari pasien yang didiagnosis dengan RSBA
memiliki resolusi klinis spontan,23 dan dalam beberapa kasus RSBA ringan dapat diatasi secara
spontan dalam sepuluh hari pertama;21 karena itu, pengobatan adjuvant awal, tanpa antibiotik
mungkin merupakan pilihan yang tepat untuk RS ringan dan / atau post-virus. Antibiotik harus
dipertimbangkan bila tidak ada perbaikan setelah pengobatan dengan tindakan adjuvant atau jika
keparahan gejala meningkat. Antibiotik diindikasikan dalam kasus RSBA sedang sampai berat,

pada pasien dengan gejala yang berat (demam > 37,8C dan nyeri wajah yang parah) dan pada
pasien immunocompromised, terlepas dari durasi penyakit, dan dalam kasus ringan atau RSBA
tanpa komplikasi yang tidak membaik dengan pengobatan awal dengan kortikosteroid topikal
nasal.24,25
Tidak ada penelitian untuk menentukan durasi pengobatan optimal dengan antibiotik. Secara
umum, durasi pengobatan 7-10 hari bagi kebanyakan agen antimikroba dan 14 hari untuk
klaritromisin. Amoksisilin dianggap pilihan pertama antibiotik di pusat kesehatan masyarakat,
karena efektivitasnya dan biaya rendah. Makrolid memiliki khasiat yang sebanding terhadap
amoksisilin dan diindikasikan untuk pasien alergi terhadap antibiotik - laktam. 22,25,26 Dalam
kasus dugaan resisten S. pneumoniae terhadap penisilin, kasus yang berat dan/atau kasus dengan
komorbiditas, diindikasikan antimikroba spektrum luas.
Kortikosteroid topikal intranasal
Pasien usia lebih dari 12 tahun dengan RS post-virus, atau pasien RSBA dengan gejala ringan
atau sedang,24 dan tanpa demam atau nyeri wajah yang intens, 25 manfaat dari kortikosteroid
topikal nasal sebagai monoterapi. Selain menghilangkan gejala rhinorrhea, hidung tersumbat,
nyeri sinus, dan nyeri/tekanan pada wajah,24 kortikosteroid topikal meminimalkan penggunaan
antibiotik yang sembarangan, mengurangi risiko resistansi bakteri.25
Penelitian menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal nasal dengan terapi antibiotik yang tepat
memberikan perbaikan gejala umum dan khusus RS lebih cepat, terutama kongesti dan nyeri
wajah,27- 32 mempercepat pemulihan pasien, walau tidak ada perbaikan yang signifikan di
gambaran radiografi.30,31,33 Namun, dosis optimal dan waktu pengobatan belum dipastikan.28-31
Meskipun tidak ada penelitian yang membandingkan efektivitas dari berbagai jenis kortikoid
nasal pada RSA, banyak dari itu seperti budesonid, flutikason dan mometason furoat propionat
telah menunjukkan keuntungan.33 Penggunaannya direkomendasikan untuk setidaknya 14 hari
untuk perbaikan gejala.
Kortikosteroid oral
Penggunaan kortikosteroid oral direkomendasikan untuk pasien dewasa dengan RSBA yang
memiliki nyeri wajah intens, selama mereka tidak memiliki kontraindikasi dalam
penggunaannya.34,35 Kortikosteroid oral harus digunakan selama tiga sampai lima hari, hanya di
beberapa hari pertama dalam fase akut, dan selalu bersamaan dengan terapi antibiotik,
memperpendek durasi nyeri wajah34 dan mengurangi konsumsi analgesik konvensional. 35
Evaluasi setelah 10-14 hari pengobatan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan
dalam resolusi gejala atau kegagalan pengobatan bila dibandingkan terapi antibiotik terisolasi
dengan kortikosteroid oral.35 Beberapa studi dalam literatur penggunaan kortikosteroid oral
dalam pengobatan RSBA telah menunjukkan hasil yang baik dengan metilprednisolon dan
prednison.
Lavage nasal

Meskipun sering menggunakan larutan salin isotonik atau hipertonik dalam nasal lavage pasien
dengan rhinitis dan RS, sedikit yang diketahui manfaat nyata dalam RSA.
Pengujian acak 36 membandingkan nasal lavage dengan larutan garam fisiologi dan lartuan
hipertonik menunjukkan intoleransi pasien yang lebih besar untuk larutan hipertonik.
Sebuah meta-analisis dari plasebo-terkontrol, acak dan percobaan double-blind menunjukkan
manfaat terbatas irigasi hidung dengan larutan garam nasal pada orang dewasa, pada umumnya,
tidak menunjukkan perbedaan antara pasien dan kelompok kontrol. Hanya satu studi
menunjukkan perbedaan rata-rata perbaikan dalam waktu resolusi gejala 0,3 hari tanpa statistik
yang signifikan.37
Dalam meta-analisis lain pada pasien yang lebih muda dari 18 tahun dengan RSA, menunjukkan
tidak ada bukti jelas bahwa antihistamin, dekongestan lavage nasal efektif terhadap anak-anak
dengan ARS.38
Meskipun sedikit bukti dari manfaat klinis, penggunaan saline lavage nasal umumnya
direkomendasikan pada pasien dengan RSA. Ini menghasilkan peningkatan fungsi silia,
mengurangi mukosa edema dan mediator inflamasi, sehingga membantu membersihkan rongga
hidung dari sekresi dari proses infeksi, dan dilaporkan tidak memiliki efek samping.39

Rhinosinusitis Kronik
Definisi
Rhinosinusitis kronik adalah penyakit inflamasi dari mukosa hidung yang berlangsung selama
setidaknya >12 minggu. Dalam kasus-kasus tertentu, perkembangan sinus yang terisolasi dapat
diamati, seperti yang terjadi pada sinusitis odontogenik atau fungal ball. Hal ini dapat dibagi
menjadi dua fenotip utama: CRS dengan poliposis hidung (CRSwNP) dan CRS tanpa polip
hidung (CRSsNP). Saat ini, ada bukti yang menunjukkan bahwa dua varietas ini memiliki
mekanisme patofisiologis dan patogenesis berbeda.
RK adalah penyakit yang umum terjadi pada populasi dan data epidemiologi penting
untuk mengevaluasi distribusi, menganalisis faktor-faktor risiko dan mempromosikan kebijakan
kesehatan masyarakat. Namun, data tersebut langka dalam literatur. Selain itu, definisi yang
berbeda dan metode yang heterogen yang digunakan dalam penelitian - dan, akibatnya, dalam
hasil yang diperoleh - membuat sulit untuk membandingkan data.
Diagnosis klinis
Beberapa uji klinis telah dikembangkan untuk diagnosis klinis CRS, tetapi pada kebanyakan
pasien hanya didasarkan pada adanya tanda dan gejala sinonasal, dengan durasi lebih dari 12
minggu. Endoskopi Sinonasal dan Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan penunjang
yang dapat membantu dalam mengklasifikasikan penyakit. Dalam bentuk CRSwNP dan
CRSsNP, gejala utama adalah:
- Hidung tersumbat: Gejala yang sangat subjektif. Merupakan salah satu keluhan yang paling
sering dalam praktek klinis, mempengaruhi sekitar 83,7% dari pasien, menjadi hal yang lebih

serius bila pasien yang disertai pula dengan polip hidung. Hal ini disebabkan oleh kongesti
pembuluh sinusoidal, yang mengakibatkan edema lokal, diikuti oleh fibrosis jaringan, dan hanya
dapat diatasi dengan penggunaan vasokonstriktor. Meskipun itu adalah gejala subjektif,
beberapa artikel dalam literatur yang telah divalidasi, sumbatan hidung merupakan gejala yang
penting pada RSK, dengan menggunakan rinomanometri akustik dan peak nasal inspiratory
flow.
- Rhinorrhea: Dapat terjadi pada daerah anterior atau posterior, dan sekresi dapat bervariasi dari
hyaline sampai mukopurulen dan dapat terjadi pada 63,6% dari pasien dengan RSK. Hal ini juga
dapat disertai dengan cacosmia, batuk dan suara serak. Ini adalah gejala yang sulit untuk diukur.
- Gangguan penciuman: Hiposmia atau anosmia sering terjadi, terutama pada CRSwNP,
ditemukan 46% dari pasien. Hal ini dapat disebabkan oleh proses obstruktif (polip), edema
mukosa dan / atau degenerasi yang disebabkan oleh proses peradangan kronis, dengan atau
tanpa polip hidung, atau karena prosedur bedah lokal. Ada beberapa uji coba dengan bukti
dengan tingkatan yang baik dalam literatur, yang menunjukkan adanya gangguan penciuman
pada pasien dengan RSK.
- Nyeri wajah atau tekanan: Gejala dengan prevalensi variabel (18-80%). Hal ini lebih sering
ditemukan pada CRSwNP, pada pasien dengan rhinitis alergi yang sulit terkontrol atau selama
proses eksaserbasi. Rhinogenic headache merupakan diagnosis eksklusi, menurut International
Headache Society (IHS).
- Batuk: Ini adalah gejala yang sering terjadi pada masa anak-anak, biasanya tidak produktif,
dan mungkin satu-satunya manifestasi klinik dalam RSK. Selain gejala yang biasa terjadi,
seperti phlegm, iritasi faring dan laring, disfonia, halitosis, rasa penuh pada telinga, adynamia
dan gangguan tidur harus ditanyakan. Selama anamnesis, di samping gejala klasik yang sudah
dijelaskan, penting untuk menanyakan tentang penyakit sistemik dan faktor predisposisi yang
dapat mendukung perkembangan RSK. Kebiasaan pribadi seperti merokok, penggunaan kokain,
paparan inhalansia beracun, jenis iklim di wilayah di mana pasien berada dan pencemaran
lingkungan harus diperhatikan.
Pemeriksaan fisik:
Anterior rhinoskopi (dengan dan tanpa vasokonstriktor): penggunaannya terbatas, kecuali dalam
kasus-kasus poliposis, ketika polip dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan sederhana dari
ruang depan hidung. Namun, penting untuk menggambarkan tanda-tanda seperti hipertrofik
inferior dan turbinasi tengah, penyimpangan septum atau degenerasi mukosa. Perlu disebutkan
bahwa tidak ada tanda-tanda patognomonik dari RSK.
Orofaringoskopi: adanya sekresi retropalatal muco-catarrhal menunjukkan gejala postnasal
discharge yang tidak berwarna

Pemeriksaan penunjang
Endoskopi nasal
Endoskopi nasal menggambarkan visualisasi sistematis rongga hidung (turbinasi rendah,
menengah dan atas), septum hidung, di samping nasofaring dan aliran drainase, dan dapat
dilakukan dengan dan tanpa dekongestan nasal topikal. Adanya polip, degenerasi mukosa,
sekresi, crusts, perubahan struktural, bekas luka dan tumor pada hidung juga dapat diamati. Hal
ini dapat dilakukan pada awal atau secara berkala (misalnya, 3, 6, 9, dan 12 bulan) untuk
membantu diagnosis, untuk mengawasi tindak lanjut periode penyakit dan pasca operasi, serta
untuk mengumpulkan bahan untuk uji coba tambahan.
Hal ini penting untuk melakukan penilaian yang sistematis dari rongga hidung, seperti:
pemeriksaan septum hidung, turbinasi, visualisasi dari meatus tengah, dari reses
sphenoethmoidal dan nasofaring. Hal ini juga diperlukan untuk memverifikasi adanya crusts,
ulserasi, perforasi septum, tanda-tanda perdarahan hidung serta sekresi, dan untuk
mengecualikan kemungkinan poliposis terkait dan lesi luas. Hal ini sangat penting untuk
melakukan endoskopi pada pasien yang sedang menjalani atau sebelumnya telah menjalani
operasi. Bukti lain yang didapatkan penyakit pada mukosa yang terjadi selama enam bulan
setelah operasi, harus dipertimbangkan sebagai RSK. Faktor lain yang harus diperhatikan pada
pasien yang sebelumnya menjalani operasi adalah resirkulasi mukus dengan tidak termasuk
ostium alami dari sinus maksilaris pada antrostomi. Endoskopi hidung adalah pemeriksaan yang
paling penting untuk membantu diagnosis, untuk mengawasi tindak lanjut dari penyakit tindak
lanjut dan periode pasca operasi, serta untuk mengumpulkan bahan untuk uji coba yang akan
dating.
Penilaian pencitraan
CT adalah metode pilihan untuk RSK; namun, bukan merupakan langkah pertama untuk
mendiagnosis, kecuali dalam kasus-kasus dengan tanda-tanda dan gejala unilateral dan dengan
dugaan terdapat komplikasi.
Bacterioskopi / kultur sekresi sinus
Ditunjukkan dengan penyakit dengan kasus refrakter terhadap pengobatan, dan ketika bahan
yang dikumpulkan tidak terkontaminasi. Hal ini dilakukan dengan cara menusuk sinus
maksilaris melalui fossa canine dan menggunakan endoskopi, dengan pengumpulan yang
dilakukan di meatus tengah.

Biopsi

Hal ini penting untuk studi dan pengklasifikasian lokasi inflamasi dari RSK dan polyposis
hidung serta diindikasikan untuk diagnosis differensial dari autoimun, penyakit granulomatosa
dan untuk menyingkirkan kasus neoplasma (terutama dalam kasus-kasus unilateral).
Komentar
Penegakkan diagnostik RSK didasarkan pada riwayat pasien, tanda-tanda dan gejala,
pemeriksaan endoskopi dan CT scan. Yang terakhir ini dianggap sebagai faktor utama dalam
menganalisis perkembangan penyakit dan dalam keputusan untuk intervensi bedah. Beberapa
penyebab RSK hanya dapat mencetuskan manifestasi di daerah sinonasal, tetapi harus diingat
bahwa rongga hidung dan sinus paranasal mungkin menunjukkan timbulnya penyakit sistemik.
Mengidentifikasi faktor predisposisi dan penyakit yang berhubungan dengan terjadinya rinositis
dan hal yang paling penting adalah untuk manajemen pasien yang adekuat.
Pengobatan
Pengobatan sistemik dan antimikroba topical
Berkembangnya pandangan tentang RSK sebagai proses inflamasi multifaktorial telah
dinyatakan dengan jelas dalam konsensus terbaru, yaitu, bukan disebabkan oleh infeksi bakteri
persisten.
Bukti mengarahkan bahwa pentingnya menggunakan antimikroba untuk pengobatan
pemyakit ini. Dalam prakteknya, tidak mengherankan bahwa, kelompok obat ini tetap sebagai
pengobatan sehari-hari yang digunakan, serta terus-menerus diidentifikasi penggunaannya pada
berbagai proposal yang berbeda untuk mengelola penyakit ini.
Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya alternatif dan pengetahuan tentang
adanya bakteri dalam sinus paranasal sebagai bentuk bebas dan / atau biofilm. Dasar pilihan
utama antibiotik juga memungkinkan ditemukannya bakteri di dalam sinus paranasal, adanya
bakteri saja belum tentu menggambarkan kondisi infeksi atau inflamasi. Namun, adanya bakteri
seperti Staphylococcus dan Pseudomonas persentase tinggi pada pasien dengan kejadian
berulang (pascaoperasi) terus menggambarkan bagian dari patogenesis RSK. Untuk tujuan
ilustrasi dan pertanyaan, terlepas dari analisis statistik signifikan, perlu dicatat bahwa dalam hal
persentase, jumlah kultur positif dalam penelitian ini adalah tinggi baik pada kelompok dengan
hasil yang buruk dan dalam kelompok dengan hasil yang menguntungkan (87% vs 73%), dan
untuk bakteri tertentu perbedaan mutlak adalah 14% (39% vs 25%).
Penelitian terbaru menggambarkan bakteri sebagai elemen yang diperlukan dan
akuntabel, tergantung pada interaksi dengan host, untuk menjaga keseimbangan jumlahnya
untuk merespon inflamasi. Penggunaan probiotik topikal dan bakteri dalam upaya untuk
membangun flora dan induktor biofilm dari homeostasis sinonasal sebagai contoh.
Selama lima tahun terakhir, belum ada bukti yang dramatis untuk penggunaan
antimikroba di RSK. Namun demikian, direkomendasikan penggunaan makrolid jangka
panjang, misalnya, dengan tidak adanya peningkatan serum IgE. Meltzer et al. di sebuah artikel,
didapatkan kurangnya publikasi yang berisi proposal yang terbukti efektif untuk pengobatan

RSK, dan menekankan bahwa, selama presentase yang berbeda dari penyakit ini tidak
didefinisikan dengan baik, beberapa perawatan akan mengikuti dengan keterbatasan dalam
interpretasi hasil dan ekstrapolasi. Mereka juga menekankan bahwa ada peningkatan peminatan
dalam pengembangan penelitian; Namun, perbandingan sederhana dari catatan saat uji coba
terkontrol secara acak (RCT) dibandingkan dengan plasebo, yaitu, desain yang memadai untuk
pencarian tanggapan seperti di National Institute of Health (NIH - ClinicalTrial.gov) tidak
memungkinkan upaya verifikasi ini. (Http://clinicaltrials.gov/ct2/results). Dengan demikian,
kriteria inklusi dan eksklusi yang lebih spesifik, pengacakan, prospective design, dan study
control arms yang diperlukan sebagai acuan untuk pengobatan antibiotik pada RSK.
Komentar
Karena seringnya penggunaan antimikroba, penting untuk dapat membedakan antara jenis
antibiotik tersebut sebagai pilihan terapi untuk RSK. Selain itu, belum ada informasi yang cukup
agar penggunaannya tidak digunakan. Maka dalam hal ini diperlukan untuk dapat
mengidentifikasi pasien dengan tepat dan mendapatkan manfaat dari penggunaan antimikroba
dalam berbagai kasus dan mengidentifikasi agen yang terlibat, dengan uji kultur sensitivitas.
Pilihan penggunaan antimikroba jangka panjang dalam kasus CRSwNP, di mana ada beberapa
gejala berat yang belum dapat diatasi dengan penggunaan beberapa terapi dengan beberapa
perawatan, termasuk operasi, dan meskipun demikian, tanpa serum elevasi IgE, masih
kurangnya bukti dan efek biologis yang mungkin terjadi, harus hati-hati dipertimbangkan ketika
membatasi penggunaanya. Tidak ada cukup bukti, dalam hal kuantitatif dan kualitatif, untuk
merekomendasikan penggunaan antibiotik topikal untuk RSK dengan dan tanpa polip hidung.
Kortikosteroid pada rinosinusitis kronis
Terapi dengan kortikosteroid topikal dan / atau sistemik (KS) merupakan salah satu pengobatan
RSK. Efek obat ini lebih tampak pada pasien dengan poliposis. Meskipun lebih berbasis bukti
dan studi yang diperlukan, agen ini dianggap sebagai adjuvant dalam memerangi RSK secara
umum, terutama bila digunakan secara topikal. Pemberian sistemik disarankan untuk kasus RSK
dengan gejala yang tidak terkontrol, di mana tujuannya adalah untuk mengurangi sementara,
dampak penyakit pada kehidupan pasien. Dalam situasi ini, dianjurkan untuk menggunakan
dosis efektif terendah dalam waktu sesingkat mungkin untuk meminimalkan efek samping yang
lebih parah.
Penggunaan pra operasi pada pasien dengan indikasi bedah
Meskipun ada perbedaan pendapat, pasien dengan purulen CRSsNP pasien mendapat
amoksisilin klavulanat 875 mg setiap 12 jam atau cefuroxime 500 mg setiap 12 jam sebelum
operasi selama 7-10 hari, dan dosis pemeliharaan perawatan pasca operasi untuk 7-21 hari.
Dalam beberapa kasus, fluoroquinolones, dan makrolid dapat diresepkan.
Pada pasien dengan CRSwNP, penggunaan kortikosteroid oral disarankan selama tiga
sampai lima hari, manajamen perawatan pasca operasi, tergantung pada luasnya
penyakit. Contoh: prednisolon 0.50 mg / kg / hari. Irigasi dari mukosa hidung dengan saline

(isotonik) dan larutan hipertonik, dengan dan tanpa bahan pengawet, adalah ukuran klasik dan
aman dalam pengobatan RSK dan sangat berguna dalam mengatur sekresi dan mengeringkan
mukosa pre dan post operasi. Tidak ada bukti untuk aksi obat tersebut untuk pengobatan
terisolasi.
Pengobatan bedah: teknik
Beberapa teknik bedah telah dijelaskan pada pasien dengan CRSwNP dan CRSsNP, terapi obat
yang refrakter. Perlu disebutkan bahwa tidak ada gold standart yang dapat diterapkan untuk
semua kasus. Karena kurangnya uji coba terkontrol secara acak, beberapa aspek dari manajemen
bedah tetap kontroversial. Yang paling penting adalah sejauh mana diseksi bedah. Akibatnya,
pedoman saat ini, terutama didasarkan pada studi case-series dan pendapat ahli, menunjukkan
manajemen bedah individual. RSK dengan dan tanpa polip hidung (NP) dilakukan diseksi
bedah, sejauh luasnya penyakit. 1
Prosedur bedah yang paling sering adalah endonasal access. Namun, beberapa kasus
mungkin memerlukan external access atau combined access. Contohnya adalah lesi pada lateral
maksilaris atau lesi sinus frontalis, atau bahkan dalam kasus-kasus dengan kurangnya landmark
anatomi untuk pendekatan secara eksklusif endonasal. Terlepas dari teknik dan instrumen yang
digunakan, jelas ada kurva yang dipelajari dari terapi bedah sinonasal endoskopi. Sangat penting
bahwa ahli bedah memiliki pengetahuan yang mendalam tentang anatomi bedah dan mengalami
pelatihan sebelumnya melalui program khusus untuk belajar diseksi dari hidung dan sinus
paranasal.
Terapi pembedahan pada RSK dapat berkembang dengan baik karena penggunaaan
endoskopi nasal. Akurasi gambar dengan endoskopi (optical 0 degree wide angle), dengan
angulasi (30, 45, 70 derajat) memungkinkan dapat menvisualisasi secara detail dan meresesus
kavitas paranasalis. Perkembangan peralatan yang spesifik dan instrumen ke dalam intranasal
dan adanya sinus (dilatasi balon, neuronavigator, dan microdebrider) selalu menggambarkan
prosedur bedah mulai dilatasi simpel dari ostium drainase sampai marsupialisasi kompleks pada
sinus paranasalis ke dalam kavitas nasal.
Pengobatan pasca operasi - topikal
Beberapa produk telah tersedia untuk pengobatan topikal pasca operasi. Dapat digunakan pada
volume tinggi atau rendah dengan tekanan tinggi, rendah atau negatif. 63 Kapasitas obat untuk
mencapai daerah anatomi yang tepat dalam sinus paranasal telah menjadi subyek dari penelitian
yang luas selama lima tahun terakhir. Terapi topikal efektif tergantung pada beberapa faktor
seperti teknik aplikasi, anatomi sinonasal pasca operasi dan fluid dynamic (volume, tekanan,
posisi). Kombinasi faktor-faktor tampaknya memiliki dampak yang signifikan terhadap
efektivitas terapi topikal di mukosa sinonasal pasien. 64-67
Menghilangkan lendir, antigen, polutan, produk inflamasi dan bakteri / biofilm adalah
tujuan dari pengobatan topikal. Intervensi ini sangat sering tergantung pada solusio volume
tinggi dengan tekanan positif untuk memasok pasukan geser yang dapat mengubah tegangan
permukaan antara cairan dan udara. Namun, pendekatan yang sama mungkin tidak sesuai untuk

penggunaan solusi farmasi yang membutuhkan sifat mempromosikan distribusi yang lengkap
dalam sinus paranasal, kontak yang dengan mukosa untuk penyerapan lokal dan pengeluaran
minimal. 63
Hal ini dianggap sangat penting untuk melanjutkan perawatan medis pasca operasi di
hampir semua bentuk RSK. Saat ini, disarankan untuk mencuci dengan nasal saline dan
kortikosteroid topikal hidug setelah operasi endoskopi sinonasal untuk RSK. 63,68 Penggunaan
obat langsung di lokasi penyakit memiliki keuntungan yang memungkinkan tinggi dosis lokal
dan meminimalkan efek samping. 64 Distribusi solusi topikal untuk sinus yang tidak dioperasi
tampaknya terbatas. Dengan demikian, operasi endoskopi sinonasal adalah penting untuk
memungkinkan distribusi topikal efektif untuk sinus paranasal. 1 distribusi pasca operasi lebih
unggul dengan perangkat tekanan positif volume tinggi. 65-67 semprotan low-volume dan tetes
memiliki distribusi yang buruk dan harus dipertimbangkan sebagai pengobatan hanya untuk
rongga hidung, terutama sebelum operasi endoskopi sinonasal. Ada data ttas pada jumlah yang
diperlukan untuk memungkinkan distribusi yang lengkap. Lavage nasal dengan larutan garam
isotonik dapat digunakan dalam langsung pada RSK pasca operasi, serta kortikosteroid topikal
hidung, yang dapat dimulai 2-3 minggu setelah operasi, atau setelah hilangnya crusts. Tidak ada
data yang relevan dalam literatur untuk penggunaan nasal topical agents pasca operasi pada
RSK.
Pengobatan pasca operasi - sistemik
Kortikosteroid (KS)
Setelah terapi pembedahan CRS, pada dasarnya kortikosteroid sistemik (KS) dapat digunakan
dengan dua cara: dalam dosis singkat, antara 7 dan 14 hari, dengan pemeliharaan dosis untuk
seluruh pengobatan, atau untuk waktu yang lebih lama, menggunakan dosis bertahap. Peran
utama dari KS dalam berbagai jenis penyakit adalah untuk mengurangi peradangan mukosa,
sehingga memberikan efek yang lebih baik untuk efek pembedahan. Namun, penggunaan obat
ini masih dihindari oleh banyak ahli bedah karena efek sampingnya.
Antibiotik
Tujuan dari penggunaan antibiotik pasca operasi adalah untuk mencegah infeksi segera yang
disebabkan sekresi yang terkumpul dalam sinus paranasal segera setelah operasi. Jika ada
sekresi purulen selama prosedur bedah, harus diresepkan antibiotik, dengan berdasarkan pada
kultur dan uji sensitivitas. Antibiotik yang efektif terhadap patogen yang paling umum harus
digunakan.
Meskipun data literatur tentang efektivitas antibiotik pada periode pasca operasi dari terapi
bedah endoskopi sangat langka, diyakini bahwa antibiotik dapat memperbaiki gejala dan
penampilan endoskopi, jika digunakan untuk jangka waktu lama (setidaknya 14 hari), tetapi
tidak ada data tentang lamanya manfaat obat ini. Secara umum, turunan penisilin, terutama
amoksisilin + asam klavulanat dan cefuroxime axetil adalah agen yang paling sering digunakan.

Aspek Khusus dari Rhinosinusitis Pada Anak-anak


Diagnosis
Diagnosis klinis dari RSA pada anak-anak tidak mudah untuk diperoleh. Banyak gejala-gejala
adalah biasa pada penyakit kanak-kanak seperti cold, flu dan rhinitis alergi. Apalagi, ada
keterbatasan dan kesulitan berhubungan dengan pemeriksaan klinis pada pediatrik.
Tanda-tanda dan gejala-gejala umum
Penelitian pada anak-anak dengan RSA menunjukan bahwa gambaran klinis yang selalu terjadi
demam (50-60%), rhinorea (71-80%), batuk (50-80%), dan nyeri (29-33%), ditambah sekresi
belakang hidung (post nasal drip) dan hidung tersumbat. Pada anak-anak sampai dengan usia
sebelum sekolah, gejala nyeri mempunyai angka kejadian terendah, digantikan dengan batuk.
Pada masa sekolah dasar dan dewasa, nyeri adalah gejala yang lebih sering muncul.
Meskipun tidak terdapat banyak penelitian, banyak professional medis dan pedoman
merekomendasikan bahwa diagnosis dari RSA bakterial menjadi klinis, berdasarkan waktu
evolusi (gejala ISPA lebih dari 10 hari), serangan mendadak dari gejala dengan intensitas berat
(seperti awal 4 hari pertama), atau gejala memburuk setelah periode awal perbaikan ISPA,
dikenal sebagai keparahan ganda. Berikut ini bias menjadi tanda dan gejala: demam tinggi,
cairan hidung bernanah yang banyak, edema periorbital dan nyeri wajah.
Pemeriksaan klinis
Sebagai tambahan tanda dan gejala yang disebutkan diatas, endoskopi hidung membantu dalam
mendiagnosis dan membedakan antara penyakit dari virus dan bakteri, memperjelas gambaran
dari sekresi hidung dan nasofaring. Ketika positif RSBA (sekresi bernanah mengalir dari meatus
media), diagnosis ditegakan. Bagaimanapun, sekresi bernanah tidak selalu mudah untuk dilihat
pada anak-anak. Lebih lanjut, meskipun sangat spesifik, dia mempunyai sensitifitas yang
rendah, sehingga tes yang negative tidak menghilangkan diagnosis dari RSBA.
Pencitraan
Ada konsensus terbaru dari banyak pedoman baru-baru ini menyatakan bahwa diagnosis RSA
tidak harus berdasarkan temuan radiologi, terutama pada plain radiograph.
Proses infeksi virus pada anak-anak selalu melibatkan sinus. Anak-anak menunjukkan
gejala ISPA kurang lebih enam hari dengan gambaran klinis selalu menunjukan abnormalitas
pada semua sinus: maksilaris dan etmoid, sfenoid dan frontal, dalam hal jumlah. Gambaran opak
tidak spesifik dan dapat terjadi di virus, bakteri, dan alergi sama seperti tumor, atau khusus pada
sinus nonformation.
Temuan CT pada anak-anak dengan gambaran klinis mengarah pada RSA menunjukkan
temuan yang paling penting menggambarkan perubahan berupa kemunduran signifikan setelah
dua minggu. Indikasi CT pada kondisi sinus akut harus dilakukan pada pasien yang tidak
membaik dan gejala nya menetap setelah terapi yang tepat, maupun yang diduga komplikasi.

Pengobatan ARS pada anak-anak


Sebagian besar sembuh spontan
Terapi antibiotik
Hasil dari meta-analisis menggambarkan bahwa rata-rata perbaikan dan penyembuhan RSA
antara 7 dan 15 hari sedikit lebih tinggi ketika antibiotik digunakan. Dengan alasan ini,
dipercayai bahwa antibiotik digunakan pada kasus yang lebih berat atau ketika ada penyakit
penyerta yang dicetuskan oleh RSA, seperti asma dan bronkitis kronik. Bagaimanapun, tidak
ada konsesnsus umum mengenai penggunaan antibiotik pada RSA. Secara umum, amoxicillin
(40 mg/kg/hari atau 80mg/kg/hari) merupakan terapi utama yang dapat diterima pada banyak
penelitian. Amoxicillin/klavulanat dan sefalosporin merupakan pillihan yang baik terhadap
tahap - laktam dan diindikasikan pada kasus gagal terapi.
Seperti rekomendasi pada otitis media akut, pada RSA terdapat pula pilihan dosis
tunggal seftriakson 50 mg/kg IV atau IM utuk anak-anak yang mual muntal dan tidak dapat
menerima pengobatan secara oral. Jika ada perbaikan klinis dalam 24 jam, pengobatan
sepenuhnya dengan antibioitik oral.
Untuk pasien alergi penisilin, ada beberapa perselisihan diantara panduan internasional
yang terakhir. Beberapa mempertimbangan trimetropin/sulfametoksazol, makrolid dan
klindamisin adalah pilihan yang baik untuk keadaan ini. Yang lain tidak merekomendasikan
penggunaan trimetropin/sulfametoksazol dan makrolid dikarenakan meningkatnya resistensi
dari Peneumococci dan H. influenza terhadap obat ini dan menyarankan golongan kuinolon
seperti levofloksasin sebagai alternatif khususnya pada anak-anak, meskipun dalam hal
toksisitas, harga yang mahal dan munculnya resistensi. Tidak ada tinjauan terhadap durasi
pengobatan yang optimal. Rekomendasi berdasarkan observasi klinis menunjukkan hasil yang
beragam, dari 10-28 hari pengobatan. Suatu saran menyarankan untuk mempertahankan terapi
selama 7 hari setelah gejala membaik.
Kortikosteroid intranasal
KS intranasal selama 3 minggu bersama dengan antibiotik menunjukan keuntungan ketika
dibandingkan untuk mengobati RSA pada anak-anak dan dewasa dengan antibiotik saja,
khususnya dalam hubungan dengan batuk dan cairan hidung. Ada beberapa bukti, berdasarkan
single double-blind, percobaan acak, pada pasien >12 tahun, sebuah dosis ganda KS intranasal
sebagai obat tunggal lebih efektif dalam membatasi RSA dari pada antibiotik saja.
RSA Rekuren (RSAR)
Kebanyakan penulis sepakat bahwa RSAR adalah episode akut yang bertahan kurang dari 30
hari, dengan interval sekurangnya 10 hari dengan pasien tanpa gejala total. Menurut beberapa
penulis, pasien harus memiliki setidaknya 4 kejadian/tahun untuk masuk dalam kriteria ini.
Seperti keadaan kronis, harus mencari beberapa penyebab yang bersasal dari sistemik.
Penyelidikan harus termasuk proses alergi, dengan melakukan tes spesifik; defisiensi
immunoglobulin, dengan penelitian kuantitatif terutama IgA dan IgG; kista fibrosis; GERD, dan

penyakit siliaris. Hipertrofi tonsil faringeal, bahkan sedang, harus dipertimbangkan, sejak itu
dapat menjadi rumah berkembang bagi patogen. Faktor anatomis, meskipun tidak sesuai pada
anak-anak, juga harus disingkirkan (konka bullosa, deviasai septum, dll.). Dalam kasus ini, CT,
endoskopi nasal dan/atau MRI dapat membantu dalam mendiagnosis proses sumbatan dan
kelainan bentuk/susunan.
Bakteriologi sama pada RSA dan, oleh karena itu, pengobatan pada fase akut harus
mengikuti prinsip yang sama. Sayangnya, hal itu dibutuhkan untuk mengetahui bahwa
penggunaan antibiotik secara terus menerus dalam jangka pendek turut serta dalam resistensi
bakterial. Pencegahan dengan antimikroba harus dipertimbangkan untuk kasus tertentu, selalu
pada kasus yang diketahui dengan penyakit mendasar/utama, terutama pada imunodefisiensi.
Langkah-langkah pencegahan dibawah ini disarankan: vaksinasi tahunan untuk influenza
dan vaksin Pneumococus. Pada kasus dimana rhinitis alergi atau GERD saling berhubungan,
kejadian kasus akut menurun ketika penyakit penyerta diobati. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa pengobatan dengan imunostimulator seperti bacterial lysates membantu dalam menjaga
infeksi saluran napas terhadap rekureni virus dan bakteri, dan dapat menjadi terapi tambahan
dalam menjaga RSAR.
Keistimewaan dari rinosinusitis kronik pada anak-anak
RSK pada anak-anak bukan merupakan penelitian yang sering dilakukan seperti pada dewasa
dan prevalensinya belum sepenuhnya ditetapkan. Hal itu karena beberapa faktor mempengaruhi
penyakit, termasuk faktor inflamasi dan faktor bakteriologi, dan bahwa tonsil faringeal adalah
faktor yang penting dalam kelompok umur ini. Pengobatan terutama dengan obat-obatan, dan
terapi pembedahan sebagai pilihan pada sebagian kecil pasien.
Gambaran klinis dan diagnosis
Diagnosis klinis dari RSK pada anak-anak merupakan sebuah tantangan, karena sering
menyerupai dengan penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak, seperti infeksi virus pada URT,
hipertrofi, dengan atau tanpa infeksi pada tonsil faringeal dan adenoid dan rhinitis alergi. Tanda
dan gejala yang paling penting termasuk sumbatan pada hidung, rinorea (anterior/posterior),
nyeri/tekan pada wajah, batuk d an/atau tanda endoskopi pada penyakit. CT dapat menunjukan
perubahan yang sesuai pada sinus paranasal.
Studi Pencitraan
Penelitian yang menilai timbulnya kelainan pada sinus paranasal pada CT, memasukan alasan
klinis yang tidak berhubungan dengan RSK pada anak-anak menunjukan persentase kelainan
radiografi sinus dari 18%-45%, persentase sama dengan temuan pada anak-anak dengan gejala
RSK. Ini menggambarkan bahwa pentingnya sebuah studi pencitraan adalah tidak mutlak dan
harus selalu mempertimbangkan gambaran klinis.
Bakteriologi
Ada beberapa penelitian dalam bakteriologi pada CSR di anak-anak. Mikroorganisme yang
sudah ditemukan dalam aspirasi atau intraoperative termasuk: S. alpha hemolytic dan

Staphylococcus aureus, S. pneumonia, H. influenza dan M. catarrhalis, juga organisme


anaerobic seperti bacteroides dan brook I fusobacterium.
Terapi
Obat-obatan
Penelitian baru-baru ini menunjukan bahwa terapi RSK pada anak-anak dengan antibiotik untuk
jangka pendek tidak dapat dibenarkan. Di samping itu, kedua korikosteroid nasal dan larutan
saline telah menunjukan keuntungan, dan dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk
penyakit ini, dengan atau tanpa adanya polip.
Terapi Pembedahan
Pendekatan dengan pembedahan harus selalu dipertimbangkan untuk kasus khusus, i.e., anakanak yang tidak merespon terhadap terapi farmakoligis yang sesuai. Penelitian telah
menunjukan perbaikan yang signifikan pada gambaran klinis dan pada kualitas hidup, tanpa
bertolak belakang dalam hubungan dengan sekuel fasial osteoskeletal. Sayangnya, sebagian
besar studi yang mendukung rekomendasi ini tidak mempunyai prospek (kemungkinan terjadi),
randomized design. Secara umum, pendekatan dengan pembedahan, ketika diindikasikan,
awalnya dapat terdiri dari adenoidectomy, dengan pencucian sinus maxillaris. Pembedahan
dapat dilakukan dengan atau tanpa dilatasi ballon, diikuti pembedahan dengan endoskopi sinus
paranasal pada kasus gejala rekurens. Pada kasus anak-anak dengan kistik fibrosis, NP,
antrochoanal polyps ata alergi jamur RS, pembedahan dengan endoskopi adalah pilihan
pertama. Mungkin penelitian selanjutnya membandingkan terapi dengan metode berbeda dengan
kuesioner gejala yang terstandarisasi, sebelum dan sesudah operasi, dapat memperoleh
pendekatan terapeutik terbaik pada pasien anak-anak dengan RSK.
Konflik Kepentingan
Penulis menyatakan tidak mempunyai konflik kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai