Anda di halaman 1dari 10

CHANCROID

2.1. Definisi
Chancroid atau ulkus mole adalah penyakit infeksi pada alat kelamin yang disebabkan
oleh Haemophillus ducreyi dengan gejala klinis yang khas berupa ulkus yang nyeri pada tempat
inokulasi dan sering disertai peradangan kelenjar getah bening regional.2

2.2. Epidemiologi
Chancroid adalah penyakit infeksi kelamin yang paling umum di negara-negara
berkembang, terutama di Afrika dan Asia. Epidemi terbaru di negara-negara industri biasanya
dikaitkan dengan pekerja seks komersial, penggunaan kokain, sifilis, dan peningkatan risiko
infeksi HIV. Pelacur kelas bawah tampak sebagai reservoir pada semua wabah penyakit
chancroid yang telah dilaporkan. Pria memiliki insiden yang lebih tinggi dari pada wanita.
Beberapa penelitian di Afrika menunjukkan bahwa ulkus chancroid merupakan faktor risiko
penting untuk penyebaran heteroseksual HIV-1.1

2.3. Etiologi
H. ducreyi merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerob yang membutuhkan hemin
(faktor x) untuk tumbuh. Organisme ini berbentuk batang pendek, ramping dengan ujung
membundar, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Basil ini pada lesi terbuka di daerah
genital sukar ditemukan karena tertutup oleh infeksi sekunder, lebih mudah dicari bila bahan
pemeriksaan berupa nanah yang diambil dengan cara aspirasi abses kelenjar inguinal. Kuman ini
sulit dibiakan.1

2.4. Patogenesis
Tiga faktor utama yang penting dalam pathogenesis infeksi H. Ducreyi adalah keutuhan
permukaan epitel, tingkat produksi eksotoksin (misalnya cytolethal distending toksin), dan
perlawanan dari mekanisme pertahanan tuan rumah. Banyak rincian tentang patogenesis masih
belum jelas karena kurangnya sistem model eksperimen yang masih belum dipahami dengan
baik.1

2.5. Manifestasi klinis


Masa inkubasi dari chancroid biasanya pendek, antara 3-7 hari, jarang hingga 10 hari.
Chancroid di awali oleh papul halus dengan eritema pada sekelilingnya. Setelah 24 hingga 48
jam akan menjadi pustula, erosi dan berkembang menjadi ulkus. Vesikel tidak terlihat. Tepi ulkus
sering tidak teratur dan rusak. Ulkus biasanya tertutup oleh jaringan yang sudah nekrotik
bercampur eksudat berwarna abu-abu kekuningan dan dasarnya terdiri dari jaringan granulasi
yang mudah berdarah. Berbeda dengan orang-orang yang mengidap sifilis, ulkus chancroid
biasanya halus, tidak indurasi (chancre lunak), dan menyakitkan. Diameternya bervariasi dari 1
mm sampai 2 cm. Setengah dari laki-laki yang terkena chancroid memiliki ulkus tunggal, dan
sebagian besar lesi ditemukan pada permukaan eksternal atau internal preputium, di frenulum
dan pada glans penis. Chancroid pada meatus, batang penis dan anus jarang. Edema pada
preputium sering terlihat. Pada wanita, lesi sebagian besar terlokalisasi pada vulva, terutama
pada komisura posterior, labia minora, dan vestibulum. Vagina, leher rahim, dan ulkus perianal
juga telah dilaporkan. Lesi ekstragenital dari chancroid telah dilaporkan yaitu pada payudara,
jari, paha dan bagian dalam mulut. Dari 1-3 kasus, biasanya disertai dengan adenitis inguinal
yang menyakitkan (bubo). Abses akan pecah dan meengeluarkan cairan. Limfadenitis inguinal
menyakitkan (bubo) terjadi pada 50 persen pasien dalam beberapa hari sampai 2 minggu (ratarata, 1 minggu) setelah timbulnya lesi primer. Adenitis biasanya unilateral dan eritema pada kulit
di atasnya yang khas. 1

Ada beberapa varian klinis dari chancroid diantara


adalah:

Follikular chancroid: Timbul pada folikel


rambut, pada permukaanya menyerupai
folikulitis yang disebabkan oleh kokus, tapi
cepat menjadi ulkus. Lesi seperti ini dapat
timbul pada vulva dan pada daerah berambut
di sekitar genitalia dan sangat superficial.1
Dwarf chancroid: Lesi sangat kecil dan
menyerupai erosi pada herpes genitalis, tetapi
dasarnya tidak teratur dan tepi berdarah.2

Transient chancroid: Lesi kecil, sembuh dalam beberapa hari, tetapi 2-3 mingu kemudian
diikuti timbulnya bubo yang meradang pada daerah inguinal.1
Papular chancroid: Dimulai dengan ulkus yang kemudian menimbul terutama pada
tepinya. Gambarnya menyerupai condiloma akuminata lata pada sifilis stadium II.1
Giant chancroid: Mula-mula timbul ulkus kecil, tetapi meluas dengan cepat dan
menutupi satu daerah. Sering mengikuti abses inguinal yang pecah, dan dapat meluas ke
daerah suprapubis bahkan daerah paha dengan cara autoinokulasi.1
Phagedenic chancroid: Lesi kecil dan menjadi besar dan destruktif dengan jaringan
nekrotik yang luas. Genetalia eksterna dapat hancur, pada beberapa kasus disertai infeksi
organisme vincevt.1
Tipe serpiginosa: Lesi membesar karena perluasan atau autoinokulasi dari lesi pertama ke
daerah lipat paha. Ulkus jarang menyembuh, dapat menetap berbulan-bulan atau
bertahun-tahun.1

2.6. Pemeriksaan penunjang

Kultur bakteri: Saat ini tetap sebagai alat utama untuk menentukan diagnosis chancroid
dalam uji klinis. Bahan diambil dari pus bubo atau lesi kemudian ditanam pada
perbenihan/pelat agar khusus. Basil akan bertahan hanya 2 sampai 4 jam pada swab
kecuali didinginkan. Penggunaan bersamaan dari dua media isolasi primer dari dasar agar
yang kaya nutrisi dilengkapi dengan hemoglobin dan serum dianjurkan untuk sensitivitas
lebih tingi. Kecil, tidak berlendir, kuning abu-abu, koloni transparan muncul dalam 2
sampai 4 hari setelah inokulasi. Biasanya, koloni ini tetap utuh ketika mereka mendesak
seluruh permukaan agar.1
Pemeriksaan sediaaan basah : Diambil bahan pemeriksaan dari tepi ulkus yang tergaung,
dibuat hapusan pada gelas alas, kemudian dibuat pewarnaan gram, wright atau giemsa.
Hanya pada 30-50% kasus ditemukan basil berkelompok atau berderet seperti rantai.2
Serologi: Banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan tes serologi untuk
chancroid. Karena sensitivitas terbatas dalam mendeteksi antibodi H. ducreyi, pengujian
serologi saat ini memiliki kegunaan yang terbatas dalam diagnosis rutin infeksi chancroid
tetapi mungkin berguna dalam penelitian epidemiologi sebagai metode skrining untuk
infeksi sebelumnya.1
Polymerase chain reaction (PCR): menunjukan sensitivitas lebih besar untuk
mendiagnosis chancroid dari pada kultur bakteri. Uji multipleks PCR telah
dikembangkan untuk amplifikasi DNA dari H.ducreyi, T.pallidum dan herpes simpleks
yang tampaknya menjadi alat diagnostik sangat menarik dalam penyelidikan ulkus
genital. Multipleks PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas untuk H.ducreyi masingmasing 98,4% dan 99,6%. Metode PCR ini tidak tersedia untuk komersil, tapi
penggunaannya untuk tujuan diagnostik rutin akan jelas menguntungkan.1
3

2.7. Diagnosis banding


Tiga agen penyebab klasik untuk ulserasi genital adalah H. Ducreyi, T. pallidum dan
herpes simpleks. Penampilan klinis penyebab penyakit dengan tiga agen ini bisa sangat
bervariasi baik pada pria dan wanita. Penyebab ulkus kelamin juga berbeda jauh dengan wilayah
geografis. 1
1. Herpes genetalia
Pada herpes genitalia kelainannya ialah adanya vesikel yang berkelompok dan jika
memecah menjadi erosi, jadi bukan ulkus seperti yang terdapat pada ulkus mole. Tanda-tanda
radang akut lebih mencolok pada ulkus mole. Pada sediaan hapus dari ulkus mole
berupa bahan yang diambil dari dasar ulkus tidak ditemukan sel raksasa berinti banyak seperti
yang terdapat pada herpes genitalia.3
Perjalanan klinis episode akut herpes genetalia diantara pasien yang terinfeksi HSV-1 dan
HSV-2 sama. Infeksi ini berhubungan dengan infeksi yang luas dalam berbagai tahap evolusi,
termasuk vesikel, pustul dan ulkus eritematosa yang mungkin memerlukan 2-3 minggu untuk
menyembuhkan.
Pada laki laki lesi umumnya terjadi pada glans penis atau batang penis, pada wanita lesi
mungkin melibatkan vulva, perineum, bokong, vagina atau serviks. Terdapat nyeri, gatal, disuria
dan limfadenopati inguinal. Tanda tanda dan gejala sistemik yang umum termasuk demam, sakit
kepala, malaise dan mialgia.

2. Sifilis stadium I

Pada inokulasi, ulkus berkembang setelah periode inkubasi yang berkisar antara10-90 hari
(rata-rata, 3minggu). Ulkus mulai dari makula merah kehitaman yang berkembang menjadi papul
dan kemudian ulkus oval. Ulkus yang khas biasanya disebut hunterian chancre atau ulcus durum,
berdiameter dari beberapa milimeter sampai 2cm dan berbatas tegas serta teratur. Dasar ulkus
biasanya bersih dan umumnya tidak nyeri. Sebanyak 35% ulkus dilaporkan terdapat nyeri.

3. Limfogranuloma venerium (L.G.V)


LGV terjadi dalam tiga tahap. Sebagian besar infeksi LGV pada tahap primer dan
sekunder mungkin mungkin tidak terdeteksi.
Tahap primer, terjadi 3-30 hari setelah penularan, ditandai dengan munculnya ulkus
herpetiformis sementara dilokasi inokulasi. Tahap sekunder terjadi setelah 2-6 minggu, secara
umum digambarkan sebagai sindrom inguinal dan ditandai dengan limfadenitis inguinal yang
nyeri dan disertai gejala konstitusional. Lesi lembut, awalnya unilateral dan berkembang menjadi
bubos supuratif dengan beberapa formasi fistula. Pembesaran kelenjar getah bening femoralis
dan inguinal dipisahkan oleh ligamentum inguinalis menghasilkan sign of the groove dalam 1-3
kasus. Tahap tersier LGV dapat terjadi bertahun tahun setelah tahap awal. Pada wanita
limfadenopati jarang terjadi karena keterlibatan primer biasanya pada serviks atau bagian
internal lainnya yang menuju ke perirectal dan kelenjar getah bening iliaka bagian dalam.

2.8.

Diagnosis
Diagnosis pada chancroid dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan

pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan sediaan hapus.
Diambil bahan pemeriksaan (spesimen) dari tepi ulkus yang tergaung dengan
menggunakan apusan kapas, di buat hapusan pada gelas alas, Pemeriksaan langsung
ini dapat dilakukan dengan pewarnaan gram, giemsa atau mikroskopelektron
.Identifikasi yang cepat dapat dengan pewarnaan methylgreenpyronine pappenheim
dan Unna, juga dapat dilaksanakan dengan pewarnaan blue danwright. Namun
pemeriksaan

langsung

tersebut

dapat

menyesatkan

oleh

karena banyaknya

flora polimikrobial ulkus genital. Hanya pada 30-50% kasus ditemukan basil
berkelompok atau berderet seperti rantai.4
2. Biakan kuman H. ducreyi merupakan mikroorganisme yang sulit dikultur. Untuk
mengkultur bakteri tersebut diperlukan teknik dan keterampilan khusus. Pemeriksaan
kultur merupakan gold standard untuk mendeteksi H. ducreyi. H. Ducreyi tumbuh
pada suhu terbaik 33oC kelembaban atmosfer yang mengandung karbondioksida 5%.
Untuk mendapatkan sensitivitas yang tinggi pada isolasi primer, dirokemendasikan
penggunaan 2 media sekaligus yang ditambahkan dengan hemoglobin dan serum.
Bahan diambil dari pus bubo atau lesi kemudian ditanam pada perbenihan atau pelat
agar khusus( Chocolate Agar) yang ditambahkan darah kelinci yang sudah
didefibrinasi. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa perbenihan yang mengandung serum
6

darah penderita sendiri yang sudah diinaktifkan memberikan hasil yang memuaskan.
Inkubasi membutuhkan waktu 48 jam. Medium yang mengandung gonococcal
madium base, ditambah dengan hemoglobin 1%, iso-witalex 1 %, dan vankomisin 3
mcg/ml akan mengurangi kontaminasi yang timbul. Pada biakan nampak koloni kecil,
non mukoid, abu-abu kuning, semi opak atau translusen dapat digeser

pada

permukaan agar dalam keadaan utuh, nampak 2-4 hari, tetapi biasa 7 hari setelah
inokulasi.4
3. Teknik imunofluoresens untuk menemukan antibody.4
4. Biopsi
Biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pada gambaran
histopatologik ditemukan
a. Daerah superfisial pada dasar ulkus : neutrophil, fibrin, eritrosit, dan
jaringannekrotik.
b. Daerah tengah : pembuluh-pembuluh darah kapiler baru dengan proliferasi selselendotel sehingga lumen tersumbat dan menimbulkan thrombosis. Terjadi
perubahan degeneratif pada dinding pembuluh-pembuluh darah.
c. Daerah sebelah dalam : infiltrat padat terdiri atas sel-sel plasma dan sel-sel
limfoid.4

2.10. Komplikasi
Sekitar setengah dari pasien yang tidak diobati, dapat terjadi penyembuhan spontan tanpa
komplikasi. Ketika pengobatan tertunda, berbagai komplikasi dapat terjadi.1 Diantaranya:
Adenitis inguinal yang nyeri
- Pecah spontan dari buboes inguinal dengan terjadinya abses besar dan pembentukan
fistula
- Penyebaran Haemophilus ducreyi ke situs jauh
- Konjungtivitis akut
- Superinfeksi bakteri yang menyebabkan kerusakan yang luas
- Eritema nodusum

2.11. Penatalaksanaan
Berdasarkan kepekaan secara in vitro obat yang paling aktif terhadap H.ducreyi adalah
azitromisin, ceftriaxone, ciprofloxacin, dan eritromisin. Di seluruh dunia, resisten ke salah satu
ciprofloxacin atau eritromisin telah dilaporkan. Rejimen yang benar-benar direkomendasikan
oleh Center for Disease Control and Prevention, The World Health Organization, dan The
7

European Branch of the International terhadap infeksi menular seksual tercantum dalam tabel.
Kombinasi antibiotik (misalnya ceftriaxone dan streptomycin) menunjukkan sinergi dalam model
hewan dan dapat menjanjikan untuk meningkatkan pengobatan dosis tunggal, tetapi evaluasi
klinis diperlukan. Pengobatan lokal terdiri dari penerapan balutan antiseptik. Nodul supuratif
tidak harus diiris, jika perlu, mereka bisa ditusuk untuk mencegah pecah spontan dan
pembentukan sinus track. Sebuah jarum suntik besar harus digunakan pada bubo yang fluktuatif
masuk dari arah lateral melalui kulit normal. Pada pasien dengan komplikasi phimosis sirkumsisi
mungkin diperlukan ketika semua lesi aktif telah sembuh.1
Bahkan setelah pengobatan yang tepat, borok kambuh pada sekitar 5 persen pasien dan
pengobatan ulang dengan rejimen asli dianjurkan. Biasanya infeksi ulang oleh pasangan seks
yang tidak diobati adalah penyebab kekambuhan.1
Infeksi HIV dan kurangnya sirkumsisi tampaknya dikaitkan dengan peningkatan
kemungkinan infeksi dengan H.ducreyi dan kegagalan pengobatan. Di daerah miskin sumber
daya di dunia, manajemen sindrom dapat direkomendasikan, tetapi epidemiologi lokal harus
dipertimbangkan. Flowchart untuk pengelolaan ulkus genital telah dikembangkan yang tidak
memerlukan identifikasi laboratorium patogen penyebabnya. Jika pasien mengeluh dari satu atau
lebih lepuh kecil, maka manajemen herpes harus dimulai. Jika borok kecil yang terisolasi dan
limpadenopati yang nyeri hadir, pengobatan untuk limfogranuloma venereum, chancroid, dan
sifilis harus dimulai. Jika hanya borok hadir, pengobatan harus untuk sifilis dan chancroid.1

Recomended treatment regimen


Antibiotik
Azitromycin

Dosage
1g dosis tunggal per oral

Ceftriaxone

250mg i.m dosis tunggal

Ciprofloxacin

500mg oral 2 kali sehari


selama 3 hari

Erytromycin

500mg oral 4 kali sehari


selama 7 hari

Limitation
Harga mahal, persediaan
tebatas, kontra indikasi pada
kehamilan
Dosis parenteral, kurang baik
pada pasien dengan hiv
positif
Harga mahal, masalah
kepatuhan, kontra indikasi
pada kehamilan
Masalah kepatuhan,
intoleransi gastrointestinal

2.9. Prognosis
Penyakit ini self-limited dan penyebaran sistemik tidak terjadi. Kadang-kadang tanpa
perawatan, ulkus genital dan abses inguinal dilaporkan bertahan selama bertahun-tahun. Nyeri
lokal merupakan keluhan yang paling sering. jika tidak ada perbaikan klinis 1 minggu setelah
dimulainya terapi kemungkinan diagnosis yang salah, koinfeksi dengan organisme lainnya,
bersamaan dengan infeksi HIV, kepatuhan terapi yang buruk, atau strain resisten H. ducrey harus
diperhatikan.1
Infeksi tidak memberikan kekebalan dan infeksi berulang mungkin terjadi. Untuk
menghindari infeksi ulang, pasien harus diinstruksikan untuk menggunakan kondom dengan
benar.1

2.12. Pencegahan
Eksaserbasi dari epidemi hiv yang terinfeksi H. ducreyi telah membuat kontrol chancroid
menjadi prioritas utama. Pasien dianjurkan untuk menjauhkan diri dari aktivitas seksual sampai
semua lesi klinis telah dibersihkan. Kontak seksual pasien harus diperiksa dan diobati, terlepas
dari apakah gejala penyakitnya hadir atau tidak, karena kemungkinan adalah carier asimtomatik
H.ducreyi. Terapi antibiotik dapat memberikan beberapa perlindungan dari infeksi ulang, karena
efek dari dosis tunggal azytromycin dapat berlangsung selama 2 bulan setelah pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Klaus Wolff, Lowella A, Goldsmith Stephen I, Katz, Barbara A, Gilchrest Amy S,


Paller, Daffid J Leffell. 2008. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine.

2
3

7theditions. Vol 1 & 2. Hal 1983 - 1986. The Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI Edisi Kelima, tahun 2007
Lewis, D. 2003. Chancroid : clinical manifestations, diagnosis, and management. Sex

Transm Infect. Hal 68-71.


Djuanda,A.2009. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Jakarta: Balai penerbit FK UI

10

Anda mungkin juga menyukai