Anda di halaman 1dari 9

JOURNAL READING

The risk factors of concomitant intraperitoneal and


retroperitoneal hemorrhage in the patients with
blunt abdominal trauma
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian di SMF Bedah
Rumah Sakit Umum Jayapura

Oleh:
Indah Rismandasari
009 084 0029
PEMBIMBING:
dr. Santi Yuanita, Sp.B

SMF BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA-PAPUA
2015
1

Faktor resiko pada perdarahan intraperitoneum dan retroperitoneum


yang meyertai pada pasien trauma tumpul abdomen
Chun-Yi Wu, Shang-Ju Yang, Chih-Yuan Fu, Chien-Hung Liao, Shih-ching Kang, Yu-Pao
Hsu, Being-Chuan Lin
Abstrak
Pendahuluan: Perdarahan intraperitoneal dan retroperitoneal dapat terjadi secara
bersamaan pada pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen. Dikarenakan tidak
stabilnya hemodinamik pasien dan hasil tes sonografik yang positif, maka dilakukan
laparotomi darurat pada pasien pasien ini. Namun, jika terjadi perdarahan retroperitoneal
yang tidak dapat dikontrol pada saat dilakukan operasi, maka dilakukan transcatheter
arterial embolization (TAE) post laparotomi. Studi ini bermaksud untuk menentukan faktor
resiko apa yang berpengaruh pada tindakan TAE post-laparotomi.
Bahan dan Metode: Dilakukan analisis retrospektif pada pasien yang disertai trauma
tumpul abdomen dan memiliki hemodinamika yang tidak stabil. Kemudian dibandingkan
ciri-cirinya antara pasien yang menjalani proses laparotomi darurat dan TAE postlaparotomi. Digunakan sistem TILE untuk mengevaluasi pola fraktur pelvis.
Hasil: Dari tujuh puluh empat pasien yang diteliti, lima puluh sembilan (79.7%) pasien
menjalani proses laparotomi darurat dan lima belas (20.3%) sisanya melalui proses
tambahan berupa TAE post-laparotomi karena disertai perdarahan retroperitoneal. Fraktur
pelvis lebih banyak ditemukan pada pasien yang menjalani TAE post-laporotomi (80%)
daripada pasien yang hanya menjalani laparotomi darurat saja (80.0% vs. 30.5%, p <
0.001). Selanjutnya, 30 pasien (40.5%, 30/74) disertai diagnosis fraktur pelvis. Dari pasien
ini, delapan belas pasien (60%, 18/30) hanya melalui proses lapaorotomi saja, dan dua
belas pasien (40%, 12/30) sisanya menjalani proses tambahan TAE post-laparotomi.
Ditemukan jumlah persentase tindakan TAE post-laparotomi yang jauh lebih besar
daripada tindakan laparotomi saja pada pasien yang mengalami fraktur pelvis tipe Tile B1
(58.3%vs11.1%, p=0.0013).
Kesimpulan: Dalam penanganan pasien trauma tumpul abdomen, tindakan TAE post
laparotomi dipertimbangkan pada pasien yang disertai fraktur pelvis. Terutama pada pasien
yang mengalami fraktur pelvis Tile B1 dikarenakan pola frakturnya dan kekuatan tubrukan.
Keyword: Fraktur pelvis, laparotomi, Transchateter arterial embolization, Tile B1
Pendahuluan
2

Perdarahan intra dan retroperitoneum sering terjadi secara bersamaan pada pasien
yang mengalami trauma tumpul abdomen dan unstable hemodinamik. Keadaan ini dapat
ditangani melalui pendekatan nonoperatif. Kadang

dalam situasi-situasi tertentu

pendekatan operatiflah yang dilakukan pada pasien. tindakan ini berupa laparotomi atau
TAE (prosedur alternatif dalam penanganan perdarahan retroperitoneal). Namun pada
pasien kasus trauma tumpul abdomen rumit yang menjalani kedua tindakan ini (laparotomi
serta TAE), hanya tersedia sedikit informasi tentang lokasi perdarahan walaupun terdapat
presentasi klinis atau peralatan diagnostik primer. Pemeriksaan sonografi dapat mendeteksi
perdarahan intraperitoneum tetapi memiliki keterbatasan dalam mendeteksi perdarahan
retroperitoneum. Oleh karena itu sulit untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami
perdarahan intraperitoneum dan retroperitoneum dalam waktu yang singkat.
Pasien akan menjalani prosedur laparotomi darurat berdasarkan presentasi klinis dan
hasil sonografi positif. Tetapi jika perdarahan retroperitoneum kemudian ditemukan pada
saat dilakukan operasi dan tidak bisa dikontrol dengan pembedahan, maka TAE post
laparotomi akan dilakukan sebagai prosedur penanganannya. Persiapan dan pengumpulan
personel sebagai bagian dari preparasi TAE merupakan proses yang memakan waktu dan
dapat menunda hemostasis definitif. Bahkan proses transfer pasien dari ruang operasi ke
ruang angiografi merupakan hal yang berisiko karena pasien dalam keadaaan kritis. Oleh
karena itu identifikasi awal terhadap pasien pasien ini penting untuk menentukan
penanganan selanjutnya dalam waktu yang lebih singkat.
Pada studi ini kami melakukan observasi retrospektif terhadap pasien yang disertai
trauma tumpul abdomen dan hemodinamik tidak stabil. Setiap perbedaan presentasi klinis
dibandingkan dan pasien yang melalui prosedur TAE post laparotomi diinvestigasi dan
dianalisis. Dari sini kami mencoba menentukan faktor risiko yang menjadi penentu
indikasi TAE post laparotomi serta menganalisa proses pembuatan keputusan yang terjadi
pada saat informasi yang ada terbatas.
Bahan dan metode
Pasien yang dimasukkan dalam studi ini merupakan pasien yang disertai trauma
tumpul abdomen dan hemodinamik tidak stabil yang terdaftar dari bulan mei 2008 sampai
bulan oktober 2013. Pasien-pasien ini telah melalui evaluasi dan penanganan berdasarkan
guidelines yang berpedoman pada ATLS. Digunakan juga Xray pelvis sebagai primary
survey. Hemodinamik tidak stabil diklasifikasikan dengan tekanan darah sitolik <90mmHg
3

tanpa adanya respon terhadap pemberian 2000 ml cairan resusitasi. Pasien yang meninggal
di UGD tanpa menjalani evaluasi lain tidak dimasukkan dalam studi ini. Digunakan juga
alat pelvic circumferential compresion device (PCCD) pada saat dilakukan diagnosa fraktur
pelvis. Pasien yang memiliki sonografi positif kemudian menjalani prosedur lapaorotomi
darurat. Jika ditemukan perdarahan retroperitoneal pada saat dilakukan operasi maka
pasien akan menjalani lagi proses TAE post-laporotomi.
Pada studi ini karakterisitik (Demografi pasien, revised trauma scores (RTSs), injury
severity scores (ISSs), dan jumlah darah yang ditransfusikan di ruang UGD ) dari pasien
yang melalui proses TAE post-laporotomi dicatat dan diinvestigasi. Klasifikasi fraktur
pelvis berdasarkan sistem TILE membagi pasien manjadi: (1) tipe A, fraktur stabil pada
pelvic ring dengan sacroilicaka yang intak, (2) B1, fraktur pelvis tidak stabil dengan rotasi
eksteral tidak stabil. B2, fraktur tidak stabil dengan rotasi internal yang tidak stabil. (3)
pasien dengan fraktur tidak stabil yang memiliki rotasi eksternal dan internal yang tidak
stabil. Data ini kemudian dibandingkan lagi dengan pasien yang hanya menjalani
laporotomi dan laparotomi plus TAE post laparotomi.
Hasil
Selama masa penelitian 68 bulan, 3.871 pasien dengan Diagnosis BAT dikirim ke
UGD kami. Tiga puluh sembilan pasien meninggal di UGD tanpa menjalani evaluasi lebih
lanjut dan kami keluarkan. Total terdapat 74 pasien datang dengan BAT konkomitan dan
hemodinamilk yang tidak stabil tanpa adanya respon terhadap resusitasi cairan 2000 ml.
Usia pasien rata-rata adalah 42 tahun (48 [64,7%] laki-laki dan 26 [35,3%] wanita).

Berbagai distribusi klinis untuk pasien ditunjukkan pada Gambar 1. Lima puluh
sembilan pasien (79.7%) menjalani prosedur laporotomi untuk menangani perdarahan
intraperitonealnya, sedangkan lima belas sisanya (20.3%) menjalani TAE post-laporotomi
disebabkan oleh penemuan perdarahan retroperitoneal. Tabel 1 membandingkan pasien
yang hanya menjalani laparotomi dengan pasien yang diperlukan TAE post-laparotomi.
Fraktur pelvis ditemukan juga pada 80% pasien yang menjalani TAE post laparotomi,
dimana persentase ini jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase fraktur pelvis yang
ditemukan pada pasien yang hanya menjalani proses laparotomi saja (80% vs 30.5%, p
<0,001). Pasien pasien ini memiliki nilai ISS (24,6 24,1 vs 19,5 20,7, p = 0,004) yang
lebih tinggi dan nilai RTS (4,819 1,335 vs 6,007 0,772, p = 0,011) yang lebih rendah.
Jumlah darah yang ditransfusikan juga jauh lebih besar (1356,3 977,6 ml vs 887,3
934,9 ml, p = 0,028) (Tabel 1). Berdasarkan analisis multivariate logistic regression
adanya fraktur pelvis dan ISS 16 merupakan dua faktor signifikan yang memprediksi
pasien-pasien yang membutuhan TAE post laparotomi (Tabel 2).

Pada studi ini juga ditemukan 30 pasien yang disertai diagnosis fraktur pelvis
(40.5%, 30/74). Dari pasien ini, delapan belas (60%, 18/30) menjalani prosedur laparotomi
dan 12 pasien (40%, 12/30) sisanya menjalani proses TAE post laparotomi. Transfusi darah
lebih banyak diperlukan pada pasien TAE post laporotomi daripada yang menjalani
laporotomi saja (1542.8 1022.5 ml vs. 914.5 425.9 ml, p < 0.001). Ditemukan juga
persentase fraktur pelvis B1 yang lebih tinggi (58.3% vs. 11.1%, p = 0.013) atau fraktur
pelvis tidak stabil (75.0% vs. 22.2%, p = 0.008) diantara pasien-pasien ini. Nilai ISS lebih
tinggi (26.3 14.1 vs. 22.5 20.7, p = 0.004) dan nilai RTS lebih rendah (4.115 2.431
vs. 5.981 3.212, p = 0.011) pada pasien-pasien ini daripada pasien lainnya (Tabel 3).
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai ISS>16 (OR = 5.9, p = 0.002) dan fraktur pelvis tipe B1
(OR = 6.4, p = 0.002) merupakan dua faktor independen yang menjadi faktor resiko TAE
post laporotomi.

Dalam penelitian ini, ada tiga pasien tanpa fraktur pelvis yang diperlukan TAE postlaparotomi. Pemeriksaan angiografi mereka mengungkapkan bahwa mereka semua
memiliki perdarahan aktif arteri lumbar.
Diskusi
Trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan rerjadinya perdarahan intraperitoneal
atau retroperitoneal, yang dimana keduanya berpotensi untuk mengancam nyawa pasien.
Oleh karea itu keadaan ini membutuhkan evaluasi dan penanganan yang cepat. Laporotomi
darurat biasanya diiindikasikan kepada pasien yang mngalami perdarahan intraperitoneal
yang terlihat sebagai cairan bebas selama dilakukkan sonografi. Sedangkan managemen
dari perdarahan retroperitoneal membutuhkan PCCD bahkan juga extraperitoneal packing
untuk menurunkan perdarahan sebelum dilakukan laparotomi. Baru kemudian dilakukan
6

TAE bisa dilakukan sebagai tindakan hemostasis definitif. Namun, pada pasien-pasien ini,
biasanya sulit untuk menentukan diperlukannya TAE sampai terjadi expansi persisten dari
perdarahan retroperitoneal yang dideteksi pada saat dilakukan operasi. Jika terjadi keadaan
seperti ini, pasien kemudian ditransfer ke ruang angiografi, tentunya setelah dilakukan
damage-control laparotomi dan retro/intraperitoneal packing. Oleh karena itu, selama
menunggu persiapan TAE, pasien pasien ini tetap berada dalam keadaan kritis dengan
perdarahan yang terus berlanjut.
Dari 74 pasien yang dimasukkan dalam studi ini, terdapat 15 pasien yang melalui
TAE post laporotomi (20.3%) karena perdarahan retroperitoneal. Dalam kelompok ini,
80% diantaranya disertai diagnosa fraktur pelvis. Dibandingkan dengan pasien yang hanya
melalui proses laparotomi saja, persentasi ini jauh lebih besar ( 80% vs 30.5%, p < 0.001).
Setelah dilakukan analisa multivariate logistic regression, didapatkan bahwa fraktur pelvis
merupakan faktor signifikan yang berpengaruh terhadap dilakukannya TAE post
laporotomi (OR = 3.4, p = 0.018) (Tabel 2). Fraktur pelvis ini terjadi karena adanya trauma
tumpul energi kinetik tinggi yang dapat mengakibatkan perdarahan retroperitoneal, dimana
dilaporkan bahwa terjadi ketidakstabilan hemodinamis pada 5-20% pasien ini dan tingkat
mortalitasnya mencapai angka 18-40%. Melihat hasil ini, perlu untuk mempertimbangkan
adanya perdarahan retroperitoneal jika diperhadapkan dengan pasien pasien yang
mengalami trauma tumpul abdomen dan unstable hemodinamic yang disertai fraktur
pelvis.
Laporan laporan sebelumnya menyatakan bahwa fraktur pelvis tak stabil
mengindikasikan adanya disrupsi ligamen yang sering dihubungkan dengan perdarahan
arteri yang mengancam nyawa. Pada studi ini terungkap bahwa pasien yang merlukan TAE
post laparotomi memiliki persentase fraktur pelvis tak stabil dan fraktur pelvis Tile B1
yang lebih tinggi daripada pasien yang hanya memerlukan laparotomi saja. Selain itu,
analisa multivariate logistic regression pada studi ini juga mengungkapkan bahwa fraktur
pelvis tipe B1 merupakan faktor independen yang menjadi penerus terjadinya perdarahan
intra dan retroperitoneal, dengan kemungkinan dilakukannya TAE post laporotomi adalah
6 kali lipat.
Berbeda dengan fraktur pelvis lainnya, fraktur pelvis tipe B1 akan menyebabkan
terjadinya diastase komplit dari pelvis anterior dan diastase komplit atau parsial dari pelvis
posterior. Gaya tensil dan shearing yang menyebabkan cedera ini akan membuka pelvis
anterior melewati sisi lateral melalui mekanisme fraktur ramus pubis dan ruptur ligamen
7

simfisis pubis. Adanya gaya rotasi eksternal pada cedera ini akan menyebabkan keluarnya
pelvis anterior dan rotasi eksternal dan dari illiac wings, yang menciptakan proteksi
circumferensial terhadap organ intraabdominal. Oleh karena itu, dengan proteksi yang
lemah, cedera seperti ini berhubungan erat dengan resiko terjadinya perdarahan
intraperitoneal. Selain itu, dilaporkan juga bahwa fraktur pelvis dengan rotasi eksternal
ternyata melibatkan gangguan pembuluh pembuluh darah besar dan perdarahan yang
diakibatkan jadi lebih parah daripada mekanisme cedera lainnya. Laporan lain juga
menyebutkan bahwa cedera ini juga melibatkan cedera pada sendi sakroiliaka bilateral dan
arteri biliteral. Oleh karena itu, berdasarkan teori diatas, perdarahan intraperitoneal dan
retroperitoneal dapat terjadi pada fraktur pelvis tipe B1.

ISS merupakan suatu sistem penilaian terhadap tingkat keparahan dari cedera terkait
lainnya, yang dapat membantu triase, prediksi prognosis, dan alokasi sumber daya pada
pasien trauma emergensi. Pada studi ini, pasien-pasien yang melalui prosedur TAE post
laparotomi memiliki nilai ISS yang secara signifikan lebih tinggi daripada pasien-pasien
yang hanya melalui prosedur laparotomi saja. Secara spesifik, analisa multivariate logistic
regression mengungkapkan bahwa nilai ISS 16 merupakan faktor independen yang
dihubungkan dengan meningkatnya resiko dilakukannya prosedur TAE post laporotomi.
Hal ini menunjukkan bahwa cedera terkait lainnya dapat meningkatkan resiko dari
tindakan tambahan lainnya.
Dengan identifikasi yang lebih awal, resiko yang muncul pada saat pasien menunggu
prosedur TAE dan pada saat transfer ke ruangan anguiografis, dapat diturunkan. Ini dapat
terjadi karena identifikasi awal tidak memerlukan waktu yang lama. Identifikasinya dapat
dilakukan dengan evaluasi primer (primary tools evaluation). Contohnya dengan
menggunakan pemeriksaan sonografi dan foto polos pelvis. Untuk menghemat waktu
tambahan, satu saran adalah secara bersamaan mempersiapkan TAE saat melakukan
8

laparotomi tipe B1 pasien fraktur panggul. Proses ini dapat mengurangi peningkatan risiko
cedera terkait dengan perdarahan retroperitoneal yang menyertai, yang mungkin
memerlukan TAE post-laparotomi.
Keterbatasan dari studi adalah digunakannya metode retrospektif dengan jumlah
subjek penelitian yang terbatas, yang dapat berpengaruh pada hasil karena terjadi bias
seleksi. Selain itu pada studi ini peranan CT scan tidak disinggung dalam studi ini.
Walupun CT scan dapat memperbesar kemungkinan terdeteksinya cedera jaringan lunak
dan perdarahan

aktif dari arteri, CT scan tidaklah disarankan pada pasien dengan

ketidakstabilan hemodinamik. Studi tambahan yang memiliki jumlah sampel yang lebih
besar dan design prospektif dibutuhkan untuk menghasilkan algoritma rencana penanganan
yang lebih akurat di UGD.
Kesimpulan
Pada penanganan pasien BAT, perlunya

dilakukan TAE post laporatomi harus

dipertimbangkan pada pasien yang disertai fraktur pelvis, terutama pada pasien dengan tipe
fraktur pelvis B1 dikarenakan pola frakturnya dan kekuatan tubrukan.

Anda mungkin juga menyukai