Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering didunia.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dansinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.(Depkes RI, 2003).
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal yang merupakan
penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari hari, bahkan
dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering diseluruh
dunia. Menurut Gluckman, kuman penyebab sinusitis akut tersering adalah
streptococcus pneumonia dan haemophilus infuenzae yang ditemukan pada 70%
kasus. Secaraepidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan
maksilaris. Bahayadari sinusitis adalah komplikasi ke orbita dan intracranial,
komplikasi ini terjadiakibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi
yang tidak dapat dihindari. (Hall dan Collman, 2005).
Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada
membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase
normal. Secara tradisional terbagi dalam akut (simptoms kurang dari 3 minggu),
subakut (simptoms 3 minggu sampai 3 bulan), dan kronik. Sinus paranasal adalah
rongga di dalam tulang kepala yang terletak disekitar hidung dan mempunyai
hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 4 pasang sinus yang
terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontalis dan sfenoid kanan dan kiri dan

beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior.
Sinusitis dapat berkembang dari demam yang lebih dari seminggu, tetapi tidak
semua orang dengan demam berkembang menjadi sinusitis. Prinsip utama dalam
menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa hidung dan sinus paranasalis
hanyalah sebagian dari sistem pernafasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan
paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasalis. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasanperluasan anatomik harus dianggap sebagai satu kesatuan.(Hall dan Collman,
2005).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang paling
sulit didiskripsikan oleh karena bentuknya yang sangat bervariasi pada setiap
individu, ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maxilla, sinus etmoid,
sinus frontal dan sinus sfenoid. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernafasan yang mengalami modifikasi dan menghasilkan mukus dan silia, sekret
disalurkan kedalam rongga hidung melalui ostium masing-masing sinus. Secara
klinis sinus paranasal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok anterior yang
terdiri sinus frontalis, sinus maksila dan sinus etmoid anterior, muara sinus
kelompok ini bermuara di meatus media, dekat infundibulum, sedangkan
kelompok posterior terdiri dari sinus etmoid posterior dan sphenoid, ostiumnya
terletak di meatus superior. Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu
rongga pneumatic berbentuk piramid yang tak teratur dengan dasarnya
menghadap ke fosanasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os
maksila. Sinus ini merupakan sinus yang terbesar diantara sinus paranasal.
Pengukuran volume sinus maksila dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu
rontgenologik dan manometrik. Pada saat lahir volume sinus maksila dan
sekitarnya berukuran 6 8 ml dan penuh dengan cairan, sedangkan volume sinus
maksila orang dewasa kira -kira 15 ml. Tidak ada perbedaan kapasitas antara lakilaki dan perempuan. Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama,
tetapi diantara sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara

kanan dan kiri serta paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar
kecilnya rongga sinus maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding
sinus. Ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7 - 8 x 4 6 mm dan untuk 15 tahun
31 32 x 18 20 x 19 20 mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu
anteroposteror 34 mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm. Sinus mempunyai
beberapa dinding, anterior dibentuk oleh permukaan maksila os maksila, yang
disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk oleh permukaan infratemporal
maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral rongga hidung. Dinding
superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh prosesus alveolaris
dan palatum.(Hilger PA, 2010).

Gambar. 2.1

Gambar 2.2
Kompleks Osteomeatal (KOM)
Kompleks osteomeatal (KOM) daerah yang rumit dan sempit pada
sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus etmoid anterior. Kompleks osteomeatal (KOM)
5

merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan
penting dalam terjadinya sinusitis. Pada potongan koronal sinus paranasal terlihat
gambaran suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel
agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan
astiumnya dan ostium sinus maksila.(Hilger PA, 2010).

2.2 Fisiologi dan Fungsi


Fisiologi dan fungsi sinus banyak menjadi penelitian. Berbagai teori dari
fungsi ada. Ini meliputi fungsi dari kelembaban udara respirasi, membantu
pengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas,mendukung pertahanan
imun, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak,
memberi resonasi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan
masase muka. Hidung adalah suatu alat pelembab udara yang mengagumkan dan
lebih hangat dari udara. Bahkan saat kecepatan aliran udara 7 liter/menit, hidung
belum memcapai kemampuan maksimalnya untuk melaksanakan fungsi ini.
Kelembaban hidung telah ditunjukkan untuk menyokong pO2 serum sebanyak 6,9
mmHg. Walaupun mukosa hidung beradaptasi melaksanakan fungsi ini, sinus
berperan

pada

area

permukaan

mukosa

dan

kemampuannya

untuk

menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa bernafas dengan mulut


menurunkan volume akhir CO2 yang dapat meningkatkan kadar CO2 serum dan
berperan untuk sleep apnea. (E.Mangunkusumo, 2010)

Oleh karena produksi mukosa sinus yang berlimpah mereka berperan


pada pertahanan imun atau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung.
Hidung dan mukosa sinus terdiri dari sel cilia yang berfungsi untuk
menggerakkan mukosa ke choana. Lapisan superfisial yang dikentalkan dari
mukosa hidung berperan menjerat bakteri dan partikel yang mengandung unsur
yang kaya dengan sel imun, antibody dan protein antibakteri. (Bratwijaya, 2001).

2.3 Definisi Sinusitis


Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Sinusitis
diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansunusitis
(E.Mangunkusumo, 2010).
2.4 Etiologi Sinusitis
Sinusitis dapat disebabkan oleh
1. Bakteri
: Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, Streptococcus
group A, Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram -,
Pseudomonas.
2. Virus
:Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus

3. Bakteri anaerob
: fusobakteria
4. Jamur

2.5 Patofisiologi Sinusitis


Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya udem pada dinding hidung dan
sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan pada ostium sinus, dan
berpengaruh pada mekanisme drainase di dalam sinus.

Virus tersebut juga

memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan


mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia
menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang
merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen.
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus.
Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di
dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk
berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan
mempengaruhi pergerakan silia dan aktiviitas leukosit.
Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak
adekuat , obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa
bakteri pathogen . (E.Mangunkusumo, 2010)

Polusi zat kimia

Hilangnya silia

Sumbatan mekanis

Drainase buruk

Perubahan mukosa

Alergi,

defisiensi imun
Infeksi

Sepsis residual

Terapi tidak adekuat


2. 6 Faktor predisposisi Sinusitis
1. Obstruksi mekanis
: Deviasi septum, corpus alienum, polip, tumor, hipertrofi konka
2. Infeksi
Rhinitis kronis dan rhinitis alergi yang menyebabkan obstruksi ostium sinus
serta menghasilkan banyak lendir yang merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan kuman. Adanya infeksi pada gigi
3. Lingkungan berpolusi, udara dingan dan kering yang dapat merubah mukosa
dan merusak silia

2.7 Gejala Klinis Sinusitis


2.7.1 Sinusitis akut
a. Sinusitis maksillaris
Demam, malaise
Nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
aspirin. Sakit dirasa mulai dari pipi ( di bawah kelopak mata ) dan
menjalar ke dahi atau gigi. Sakit bertambah saat menunduk.
Wajah terasa bengkak dan penuh
Nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada palpasi
dan perkusi.
Kadang ada batuk iritatif non-produktif
Sekret mukopurulen yang dapat keluar dari hidung dan kadang berbau
busuk
Adanya pus atau sekret mukopurulen di dalam hidung, yang berasal
dari metus media, dan nasofaring.
b. Sinusitis ethmoidalis
Sering bersama dengan sinusitis maksillaris dan sinusitis frontalis
Nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan
hidung menjalar ke arah temporal
Nyeri sering dirasakan di belakang bola mata dan bertambah apabila
mata digerakkan
Sumbatan pada hidung

10

Pada anak sering bermanifestasi sebagai selulitis orbita karena lamina


papiracea anak seringkali merekah
Mukosa hidung hiperemis dan udem
Adanya pus dalam rongga hidung yang berasal dari meatus media
c. Sinusitis frontalis
Hampir selalu bersamaan dengan sinusitis ethmoidalis anterior
Nyeri kepala yang khas di atas alis mata. Nyeri biasanya pada pagi
hari, memburuk pada tengah hari dan berangsur angsur hilang pada
malam hari.
Pembengkakan derah supraorbita
Nyeri hebat pada palpasi atau perkusi daerah sinus yang terinfeksi
d. Sinusitis sphenoidalis
Nyeri kepala dan retro orbita yang menjalar ke verteks atau oksipital
2.7.2 Sinusitis kronis
Postnasal drip
Rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
Pendengaran terganggu karena oklusi tuba eustachii
Nyeri atau sakit kepala
Infeksi pada mata yang menjalar dari duktus nasolakrimalis
Gastroenteritis ringan pada anak akibat mukopus yang tertelan
2.8 Pemeriksaan Penunjang Sinusitis
2.8.1 Transiluminasi

11

Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya Transiluminasi


akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan
cairan).
2.8.2 Rontgen sinus paranasalis
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa
1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
dilihat pada foto waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki
kekurangan dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan
penebalan mukosa sinus (E.Mangunkusumo, 2010).
2.8.3 CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang
paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang
relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut.
Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis
radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata (E.Mangunkusumo, 2010).
2.8.4 Sinoscopy

12

Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi


akurat tentang perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus,
dan letak dan keadaan dari ostium sinus.
Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu
keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.
2.8.5 Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal fari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya
lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior.
Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan
bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan menagspirasi pus dari inus yang
terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi
mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.
2.9 Terapi Sinusitis
Terapi primer dari sinusitis akut adalah secara medikamentosa.
1. Analgetik
Rasa sakit yang disebabkan oleh sinusitis dapat hilang dengan pemberian
aspirin atau preparat codein.
Kompres hangat pada wajah juga dapat menbantu untuk mengjilangkan rasa
sakit tersebut
2. Antibiotik

13

Secara umum, dapat diberikan antibiotika yang sesuia selama 10 14 hari


walaupun gejala klinik telah hilang.
Antibiotik

yang

sering

diberikan

adalah

amoxicillin,

ampicillin,

erythromicin plus sulfonamid, sefuroksim dan trimetoprim plus sulfonamid


3. Dekongestan
Pemberian dekongestan seperti pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti
fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk mengurangi udem
sehingga dapat terjadi drainase sinus.
4. Irigasi antrum
Indikasinya adalah apabila ketiga terapi di atas gagal, dan ostium sinus
sedemikian udematosa sehingga terbentuk abses sejati.
Irigasi antrum maksiilaris dilakukan dengan mengalirkan larutan salin
hangat melalui fossa incisivus kedalam antrum maksillaris. Caian ini
kemudian akan mendorong pus untuk keluar melalui ostium normal.
5. Diatermi gelombang pendek
6. Menghilangkan faktor predisposisi
Prinsip utama penanganan sinusitis kronik adalah
1. Mengenali faktor penyebab dan mengatasinya
2. Mengembalikan integritas dari mukosa yang udem
Pengembalian ventilasi sinus dan koreksi mukosa akan mengembalikan fungsi
lapisan mukosilia.
1. Antibiotika

14

Sinusitis kronis biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob.


Antibiotik yang biasanya digunakan adalah metronidazole, co-amoxiclav
dan clindamycin
2. Mukolitik
Sinusitis kronis biasanya menghasilkan sekret yang kental. Terapi dengan
mukolitik ini biasanya diberikan pada penderita rinosinusitis. Sekret yang
encer akan lebih mudah dikeluarkan dibandingkan dengan sekret yang
kental.
3. Nasal toilet
Pembersihan hidung dan sinus dari sekret yang kental dapat dilakukan
dengan saline sprays atau irigasi.
Cara yang efektif dan murah adalah dengan menggunakan canula dan
Higgisons syringe
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat yang paling efektif untuk mengurangi udem
pada mukosa yang berkaitan dengan infeksi.
5. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila pengobatan dengan medikamentosa sudah
gagal.
Pembedahan radikal dilakukan dengan mengankat mukosa yang patologik
dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila

15

dilakukan operasi Caldwell Luc, sedangkan untuk sinus ethmoid dilakukan


etmoidektomi.
Pembedahan tidak radikal yang akhir akhir ini sedang dikembangkan adalah
menggunakan

endoskopi

yang

disebut

Bedah

Sinus

Endoskopi

Fungsional.Prisnsipnya adalah membuka daerah osteomeatal kompleks yang


menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase
sinus dapat lancar kembali melaui ostium alami (E.Mangunkusumo, 2010).
2.10 Komplikasi Sinusitis
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
1. Kelainan pada orbita
Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang
berdekatan dengan mata .
Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum
Edema palpebra
Preseptal selulitis
Selulitis orbita tanpa abses
Selulitis orbita dengan sub atau extraperiostel abses
Selulitis orbita dengan intraperiosteal abses
Trombosis sinus cavernosus
2. Kelainan intrakranial
Abses extradural, subdural, dan intracerebral
Meningitis

16

Encephalitis
Trombosis sinus cavernosus atau sagital
3. Kelainan pada tulang
Osteitis
Osteomyelitis
4. Kelainan pada paru
Bronkitis kronik
Bronkhiektasis
5. Otitis media
6. Toxic shock syndrome
Mucocele , pyococele (E.Mangunkusumo, 2010).

17

BAB III
MODALITAS DIAGNOSTIK RADIOLOGI

3.1 Pemeriksaan Foto kepala


Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang paling baik dan
paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur
tulang dan jaringan lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal,
kelainan jaringan lunak, erosi tulang kadang sulit di evaluasi. Pemeriksaan ini dari
sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.
Semua pemeriksaan harus dilakukan dengan proteksi radiasi yang baik,
arah sinar yang cukup teliti dan digunakan fokal spot yang kecil. Posisi pasien
yang paling baik adalah posisi duduk. Apabila dilakukan pada posisi tiduran,
paling tidak posisi Waters dilakukan pada posisi duduk. Diusahakan untuk
memperoleh hasil yang dapat mengevaluasi adanya air fluid level dalam sinussinus. Apabila pasien tidak dapat duduk, dianjurkan untuk melakukan foto lateral
dengan film diletakkan pada posisi kontralateral dengan sinar X horizontal.
Pemeriksaan kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas
berbagai macam posisi, antara lain:
a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( posisi Caldwell)
Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital
kepala tegak lurus pada film. Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan
dahi diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang
menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius

18

eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 derajat
kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion (Rachman, 2005).

Gambar 3.1 Gambaran Posisi Caldwell (Kanan) dan kiri Foto Caldwell
(kiri)
b. Foto kepala lateral
Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan
sentrasi diluar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila
berhimpit satu sama lain (Rachman, 2005).

Gambar 3.2 Gambaran posisi lateral

19

c. Foto kepala posisi Waters


Posisi ini yang paling sering digunakan. Pada foto waters, secara ideal piramid
tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris. Maksud dari posisi ini
adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum
maksila sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Hal ini
didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu
menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus
membentuk sudut lebih kurang 37 derajat dengan film. Foto waters umumnya
dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai daerah dinding posterior sinus sphenoid dengan baik (Rachman, 2005)

Gambar 3.3 Gambaran Posisi


20 Waters (Kanan) dan kiri Foto
Waters (kiri)

Gambar 3.4 Rontgen posisi Waters dengan mulut terbuka

d. Foto kepala posisi Submentoverteks


Posisi submentoverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks,
kepala pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar dengan film.
Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagital melalui sella tursika ke arah
verteks. Banyak variasu-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar
supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii,
khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris (Rachman, 2005).

Gambar 3.5 Gambaran posisi Submentoverteks (kanan) dan Foto kepala


posisi Submentoverteks
21 (kiri)

e. Foto Rhese
Posisi rhese atau oblik dapat mengevaluasi bagian posterior sinus etmoid,
kanalis optikus dan lantai dasar orbita sisi lain (Rachman, 2005).

Gambar 3.6 Foto Rhese


f. Foto proyeksi Towne
Posisi towne diambil denga berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60 ke
arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas glabela dari foto
polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah posisi yang paling baik
untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbita inferior,
kondilus mandibularis, dan arkus zigomatikus posterior (Rachman, 2005).

22

Gambar 3.7 Foto proyeksi Towne

g. Contoh Kasus

Gambar 3.8 Terdapat perselubungan pada sinus maxillaris kiri (foto Waters)

23

Gambar 3.9 Terdapat gambaran air fluid level perselubungan pada sinus
maxillaris kanan pada foto Waters (kanan) dan foto Caldwell (kiri)

3. 2 Pemeriksaan CT-Scan
Merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah
pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan
mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu
atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasuskasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen. Kadang
sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama
makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b.Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa

24

jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai
perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
f. Tumor (Cornelius, 2013).

Gambar 3.10 Lateral frontal view

Gambar 3.11 Axial Bone View

Gambar 3.12 Axial Non contrast

25

CT Scan non kontras


menunjukkan penebalan
mukosa yang luas di sinus
paranasal, dengan hampir
seluruh dari sinus maksilaris
dan sinus ethmoidalis keruh.
Septum hidung tepat di
midline.
Gambar 3.13 Coronal Bone View

Sinusitis Maksilaris Akut

Gambar 3.15 Coronal Bone Window

26

Gambar 3.14 Coronal Non Contrast

Pada CT Scan terlihat gambaran


sinus maksilaris kanan dan sinus
ethmoidalis kanan terisi cairan
dengan penuh.

Gambar 3.16 Axial Non Contrast

3.3 Pemeriksaan MRI


Pemeriksaan MRI pada sinusitis diperlukan bila sinusitis gagal disembuhkan
dengan terapi awal.

27

MRI Scan potongan coronal


menunjukkan kekeruhan dari sinus
maxillaris kiri dan sinus
ethmoidalis kiri.

Terdapat gambaran air fluid level.

Terdapat gambaran penebalan mukosa dan


kekeruhan pada sinus maksilaris kanan.
28

29

DAFTAR PUSTAKA
Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.
http://www.bcm.edu [diakses tanggal: 16 Januari 2016]
Cornelius RS, Martin J, Wippold FJ et-al. ACR appropriateness criteria sinonasal
disease.J Am Coll Radiol. 2013;10 (4): 241-6. doi:10.1016/j.jacr.2013.01.001
Pubmed citation
E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N. dkk (Eds).
Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta 2010 ; 85-87 30.
Evans
Hall dan Collman,s Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and
Neck Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 53
H. Ric Harnsberger. [et al.]. Diagnostic imaging. Salt Lake City, UT: Amirsys,
2004. ISBN:0808923455
Hilger PA. Applied Anotomy and Phisiology of the Nose. Adam GL Boies.
Fundametal of Otolaryngology,6th ed. Philadelphia, Souders Cumpany, 2010.17795
KG Bratwijaya. Allergic Inflamation. Proceeding Symposium onn Update Allergy
dan Clinical Immunology. Current Treatment in daily Practice, Bogor 2001, 31
39
Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher, Ekstremitas
Atas Jilid 1 Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000
Rachman MD. Sinus Paranasal dalam Radiolodi Diagnostik Edisi Kedua.
FKUI-RSCM. Jakarta. 2005. 431-46
Yousem DM. Imaging of sinonasal inflammatory disease. Radiology. 1993;188
(2): 303-14. Radiology (abstract) - Pubmed citation
__. Sinusitis. Radiopaedia.org [diakses tanggal: 16 Januari 2016]

30

Anda mungkin juga menyukai