rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai
embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke v. pudenda
interna, v. iliaka interna dan sistem vena kava. Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk
pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir
ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan
limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v.
hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe
mesenterika inferior dan aorta. Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik.
Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4,s
erabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut
parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi
penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan.
2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas
lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada
wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker (Depkes, 2006).
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 3,2%
dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang dilaksanakan
oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo menunjukkan
kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit (WHO, 2003).
Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di
Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal
merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita
(Soeripto, 2003).
Gambar 2.1: Insidensi kanker tertinggi di Indonesia pada tahun 2002 berdasarkan jantina.
(WHO, 2008)
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohns sekitar 20%. Pasien dengan
striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi
fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari
dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga
bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan
crohns disease (Schwartz, 2005).
Faktor Genetik
Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal
pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal
mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat
kanker kolorektal pada keluarganya (Casciato DA, 2004).
Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa kolon
yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada
adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari seluruh
kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar (Depkes, 2006). Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana
mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu
familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC)
(Casciato DA, 2004).
Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan
besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga
penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal
(Casciato DA, 2004). Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah
menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor
sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat
kanker kolorektal pada keluarganya (Casciato DA, 2004).
Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa kolon
yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada
adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari seluruh
kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar (Depkes, 2006). Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana
mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu
familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC)
(Casciato DA, 2004).
Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk memiliki
adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun
berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar
(Casciato DA, 2004). Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika
dihubungkan dengan pemakaian rokok (Depkes, 2006). Pemakaian alkohol juga menunjukkan
hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA,
2001).
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan asupan
energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi
telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko
kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan
antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas
fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA,
2001).
Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah 61% dan
56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun)
dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila
dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker
yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker
paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang
terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker
kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per
100.000) (Hansen J, 1998).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada
sebagian besar populasi (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA, 2001). Risiko dari kanker
kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun
atau lebih (Depkes, 2006), dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia
dibawah 40 tahun (Casciato DA, 2004). Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia 65
tahun (Devita VT, Hellman S, Rosenberg SA, 2001), angka insiden 19 per 100.000 populasi yang
berumur kurang dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun
(Casciato DA, 2004).
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar 5% (Casciato
DA, 2004). Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah
pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki
kemungkinan men
dari stadium 1 hingga 4, tetapi untuk kanker kolorektal , dengan lebih spesifik stagingnya
dikenali sebagai Dukes. Maka, stadium 1 hingga 4 berkorelasi dengan staging Dukes dari A
hingga D.
Tabel 2.1: Klasifikasi Duke Definisi
5-tahun
(Avunduk,
Selepas Pengobatan
Canan,
2002)
Kategori Dukes
A
Kanker
in-situ/
Survival
(%)
displasia 90
mukosa
submukosa
Kanker sudah penetrasi ke 80
dalam
tetapi
belum
menembus
B2
atau
muskularis.
Kanker sudah
propria
propria
menembus 70
muskularis
atau
C1
serosa
Sama dengan B1, ditambah 50
C2
<30
kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon
refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang
cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih
infiltratif pada waktu diagnosis dari lesi proksimal, maka prognosisnya lebih jelek (Kumar,
Abbas, Fausto, 2010).
Gejala subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang air
besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien
mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali
menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post
menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan
kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan
yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar.
Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah
yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah
penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat
menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai
gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium
enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon (Schwartz, 2005).
Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien
usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker.
Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan
kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan
diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh
tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi
tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi
nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor
primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi
pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal
ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon
2.1.6 Diagnosa
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah
obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan sangat
berguna (Casciato DA, 2004). Jenis histopatologi pada kanker kolorektal terdiri dari
adenokarsinoma, adenokarsinoma mucinous, radang non spesifik, signet sel karsinoma dan lainlain.
Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam
peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif
dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai
CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase
ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.
Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah
pembedahan (Casciato DA, 2004).
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan
untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor
prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan
nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang
bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA (Casciato DA, 2004).
Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina
iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat
teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas
sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang
mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau
oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker
kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan (Schwartz, 2005).
Barium Enema
Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang
sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Teknik ini jika
digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai
alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau
kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah,
yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus
digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang
sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi
sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon (Schwartz, 2005).
Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna
(Casciato DA, 2004).
Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum.
Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara
yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan
keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67% (Depkes, 2006). Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi
merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi
anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan
cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease,
non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada
diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik,
sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik (Schwartz, 2005).
2.1.7 Imaging Teknik
MRI, CT scan, transrektal ultrasound merupakan bagian dari teknik imaging yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan
merupakan screening tes (Schwartz, 2005).
CT scan
CT scan dapat mengevaluasi rongga abdominal dari pasien kanker kolon pre operatif. CT scan
bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya
di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA
yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan
staging dari lesi sebelum tindakan operatif. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor
ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah
bening >1 cm pada 75% pasien (Schwartz, 2005). Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen
dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal (Casciato DA,
2004).
MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang
lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar
(Schwartz, 2005).
radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal
radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh
(Henry Ford, 2006).
Adjuvant Kemoterapi
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi. Bagaimanapun
juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat
menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika
kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan
banyak (Schwartz, 2005).
2.1.9 Pencegahan
Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai diet
tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik
daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet
pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40% ke 30%
dari total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi
makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung
bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol (Schwartz, 2005).
Non Steroid Anti Inflammation Drug
Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis 150 mg
secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan dengan
pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat
tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi
formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker kolorektal, baik pada
kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat membutuhkan
pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun (Casciato DA,
2004).