satu pondasi bagi para rabbniyyn hingga hari ini, sebagaimana dulu
musyawarah juga menjadi salah satu prinsip yang selalu dijaga para
"pewaris bumi".
Di dalam al-Qur`an, musyawarah menjadi indikator terpenting yang
menunjukkan kualitas keimanan pada suatu masyarakat serta menjadi
karakter utama yang melekat pada semua komunitas yang
mempersembahkan hidup mereka demi kejayaan agama Islam.
Di dalam al-Qur`an, musyawarah disandingkan sejajar dengan shalat dan
infak. Allah s.w.t. berfirman: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka."
(QS al-Syr [42]: 38).
Lewat ayat ini, Allah s.w.t. mengingatkan bahwa musyawarah adalah
sesuatu yang setara dengan ibadah ritual. Bahkan Allah lalu
menyematkan musyawarah dalam perintah-Nya yang menyebutkan halhal wajib: shalat, musyawarah, dan infak.
Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat kita simpulkan bahwa sebuah
masyarakat yang mengabaikan musyawarah sebagai landasan hidup,
tidak dapat disebut sebagai masyarakat yang sempurna keimanannya
kepada Allah. Sebagaimana dapat pula kita katakan bahwa sebuah
masyarakat yang mengabaikan prinsip musyawarah, tidak dapat disebut
sebagai masyarakat muslim yang seutuhnya.
Dalam agama Islam, musyawarah adalah sebuah landasan hidup yang
harus dipegang teguh baik oleh para pemimpin maupun oleh rakyat
jelata. Para pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menerapkan
musyawarah dalam kebijakan politik, pemerintahan, hukum, dan
berbagai hal yang berhubungan dengan masyarakat luas. Sementara
selalu menjadi urusan milik umat Islam secara keseluruhan. Oleh sebab
itu maka mereka setara dalam memberikan pendapat mengenai
permasalahan tersebut. Namun tentu saja, hak tersebut dapat berubah
mengikuti perkembangan zaman, tempat, dan kondisi, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan dalam bentuk musyawarah yang
dilakukan atau lembaga penyelenggaranya.
2- Karena setiap pemimpin harus menerapkan musyawarah dalam semua
urusan yang berhubungan dengan masyarakat berdasarkan perintah
Allah yang berbunyi: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu...", maka jika seorang pemimpin harus dihukum jika ia tidak
mampu atau tidak mau memusyawarahkan segala urusan yang
dihadapinya dengan bawahannya. Di sisi lain, rakyat juga memiliki
tanggung jawab untuk merahasiakan pendapat mereka jika mereka
belum diajak bermusyawarah. Hal ini perlu dilakukan karena rakyat
dapat dianggap tidak mampu memenuhi hak rakyat lain jika mereka
hanya mampu mengemukakan pendapat tanpa pernah ada usaha untuk
mencari pendapat terbaik di antara mereka melalui musyawarah.
3- Salah satu dasar penting yang perlu diperhatikan: setiap musyawarah
harus dilakukan demi memohon keridhaan Allah, menjaga kemaslahatan
umat Islam, dan selalu menghindari terjadinya penyimpangan pendapat
para peserta musyawarah disebabkan terjadinya praktik suap atau
intimidasi. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya orang yang diajak
bermusyawarah (dimintai saran) adalah terpercaya." Jadi siapapun yang
dimintai saran dalam suatu perkara tertentu, maka hendaklah ia memberi
saran sebagaimana ia memberi saran untuk dirinya sendiri.
4- Dalam musyawarah, terkadang ijm' (konsensus) tidak dapat tercapai.
Jika pendapat yang saling berbeda dalam sebuah musyawarah tidak
dapat ditemukan jalan tengahnya, maka pendapat yang diambil adalah
yang paling banyak mendapat dukungan dari peserta musyawarah.
Alasannya adalah karena Rasulullah s.a.w. telah menetapkan bahwa
pendapat mayoritas setara dengan hukum yang dicapai lewat konsensus.
Rasulullah s.a.w. bersabda: "'Tangan' Allah bersama jamaah."[6]
Barizah r.a., dan beberapa sahabat beliau yang lainnya. Pada saat itu, Ali
r.a. memberi masukan kepada Rasulullah yang cukup membantu beliau
memecahkan masalah yang tengah beliau hadapi. Demikian pula Umar
ibn Khattab r.a., Zainah binti Jahsy r.a., Barizah r.a., dan para sahabat
lain menyatakan bahwa Ummul Mukminin Aisyah r.a. bersih dari segala
desas-desus yang disebarkan kaum munafik.
Berkenaan dengan peristiwa ini, terdapat sebuah riwayat yang meski
lemah sanadnya namun cukup menggambarkan dialog yang terjadi
antara Rasulullah s.a.w. dengan Umar ibn Khaththab r.a. Dalam riwayat
itu disebutkan bahwa Rasulullah meminta pendapat Umar r.a. mengenai
Aisyah r.a.. Umar lalu menjawab dengan menegaskan kembali bahwa
Aisyah r.a. pasti bersih dari segala fitnah yang dituduhkan kepadanya.
Rasulullah pun bertanya kepada Umar mengenai alasan sahabatnya itu
bisa begitu yakin akan kesucian Aisyah r.a. dari segala noda.
Umar pun lalu menjelaskan bahwa pada suatu ketika Rasulullah s.a.w.
pernah shalat bersama para sahabat. Sebelum shalat, ternyata Rasulullah
melepaskan terompah beliau terlebih dulu. Umar lalu bertanya mengapa
Rasulullah melepas alas kaki beliau. Rasulullah kemudian menjawab
bahwa Jibril a.s. telah memberitahu bahwa ada najis di terompah beliau.
Jadi, ujar Umar, jika bahkan mengenai keberadaan kotoran di terompah
saja Allah s.w.t. langsung mengutus Malaikat Jibril a.s. untuk memberi
tahu Rasulullah s.a.w. tentang hal itu, maka bagaimana mungkin Allah
akan berdiam diri jika memang ada istri Rasulullah yang telah berbuat
nista.
Meskipun sanad riwayat ini diperdebatkan dan menjadi objek ilmu jarh
wa al-ta'dl (ilmu kritik sanad), tapi kandungan dari riwayat ini layak
kita tangkap dengan sepenuh hati.
2- Ketika perang Badar akan dimulai, Rasulullah terlebih dulu meminta
saran kepada para sahabat beliau, baik dari golongan muhajirin maupun
anshar. Pada saat itu, seorang sahabat Rasulullah yang bernama Miqdad
r.a. mewakili kaum muhajirin, sementara Sa'd ibn Mu'adz r.a. mewakili
kaum anshar. Dalam musyawarah itu, ternyata baik Miqdad r.a. maupun