Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Umat islam sangat menghargai dan memuliakan al-qur'an. Demikian agungnya
kitab suci ini, sehingga membacanya saja sudah dianggap sebagai sesuatu yang
bernilai ibadah. Selain itu, dalam kehidupan umat islam al-qur'an menempati posisi
penting dan menentukan hidup keagamaan mereka. Isi al-qur'an diyakini sebagai
petunjuk kehidupan yang dapat mengantar manusia ke arah kehidupan yang bahagia
di dunia dan di akhirat kelak. Kitab suci al-qur'an syarat dengan berbagai petunjuk
yang seharusnya di aplikasikan dalam realitas kehidupan ini, dan salah satu dari
petunjuk al-qur'an tersebut adalah musyawarah. Penafsiran tentang musyawarah
agaknya mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

Demikian pula pengertian dan persepsi tentang istilah yang padat makna ini
mengalami evolusi. Seperti dijelaskan Hamka bahwa evolusi itu terjadi sesuai dengan
perkembangan pemikiran, ruang, dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah
dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi,
parlemen, sistem perwakilan, senat, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan
sistem pemerintahan. Keterkaitan musyawarah dengan aspek-aspek lain, seperti
dikemukakan Hamka tersebut, merupakan suatu indikasi bahwa ayat-ayat tentang
musyawarah sangat menarik untuk dikaji. Dalam mengkaji ayat-ayat tentang
musyawarah, para mufassir pada umumnya menafsirkannya dengan metode tahlīliy.
Namun seiring dengan perkembangan pemikiran yang dialami oleh umat manusia,
maka upaya untuk menafsirkan ayat-ayat tentang musyawarah dengan metode
mawdhu’iy (tematik) nampaknya sangat urgen dan signifikan.

2. Rumusan Masalah
Dari latarbelakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan dua
pokok rumusan masalah:

1
 Apakah yang dimaksud dengan musyawarah?
 Apa saja dalil al qur’an yang berhubungan dengan musyawarah?
 Apa manfaat dari musyawarah?

3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan yang dikemukakan di atas, maka
makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

 Memenuhi tugas al qur’an hadist


 Memberikan pemahaman tentang membudayakan bermusyawarah dikalangan
pelajar
 Mengetahui materi dalil yang memperkuat konsep musyawarah menurut al
qur’an

2
BAB II
PEMBAHASAN MATERI

1. Pengertian Membudayakan Musyawarah Dalam Al-Qur'an


Istilah musyawarah berasal dari kata ‫ مشاورة‬ia adalah masdar dari kata kerja
syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra' dengan pola fa'ala. Struktur
akar kata tersebut bermakna pokok "menampakkan dan menawarkan sesuatu". Dari
makna ini muncul ungkapan syawartu fulanan fi amri (aku mengambil pendapat si
Fulan mengenai urusanku).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai


pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah
bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan
berembuk.

Jika hendak ditelusuri perbedaan antara ayat yang terkandung dalam surah Ali
Imran ayat 159 dengan surah Asy Syura ayat 38, maka ayat pertama bersifat perintah
dalam hubungan vertikal khususnya antara nabi dan para sahabatnya.

Sehingga sekilas nampak musyawarah seperti ini terjadi karena inisiatif dari
atas. Tetapi jika dilihat dari sisi istilahnya sendiri, maka kata musyawarah (dari kata-
kata wa syawir hum) dari sisi ini mengandung konotasi "saling" atau "berinteraksi"
antara atasan dan bawahan. Sebaliknya dalam istilah syura (dari kata-kata wa amr-u
hum syura bayn-ahum), terkandung konotasi "Berasal dari suatu pihak tertentu".
Tetapi rangkaian kalimat itu mengisyaratkan makna-makna "bermusyawarah diantara
mereka" atau diantara mereka perlu ada (lembaga) "syura". Karena itu istilah syura,
diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi musyawarah.

2. Isyarat Berdemokrasi QS. Ali Imran (3):159


‫َفِبَم ا َر ْح َم ٍة ِّم َن ِهّٰللا ِلْنَت َلُهْۚم َو َلْو ُكْنَت َفًّظا َغ ِلْيَظ اْلَقْلِب اَل ْنَفُّض ْو ا ِم ْن َح ْو ِلَۖك َفاْعُف َع ْنُهْم َو اْسَتْغ ِفْر َلُهْم َو َش اِو ْر ُهْم ِفى‬
‫اَاْلْم ِۚر َفِاَذ ا َع َز ْم َت َفَتَو َّك ْل َع َلى ِۗهّٰللا ِاَّن َهّٰللا ُيِح ُّب اْلُم َتَو ِّك ِلْين‬

3
Artinya: "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah
ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal". (QS.Ali Imran (3):159)

a. Penjelasan

Ayat ini berisi perintah Allah untuk bermusyawarah. Melalui ayat ini Allah
menjelaskan kepada kita bahwa sekalipun dalam keadaan genting seperti terjadinya
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada peperangan
Uhud, sehingga menyebabkan pasukan Nabi Muhammad saw. menderita kekalahan,
beliau tetap berlaku sabar, tidak marah terhadap pelakunya, bahkan memohonkan
ampunan kepada Allah atas kesalahan mereka. Andaikata Nabi Muhammad
saw.bersikap kasar dan tidak memaafkan mereka, niscaya mereka akan menjauhkan
diri dari beliau dan membenci ajaran agama Islam.

Selain itu, Nabi Muhammad saw. senantiasa mengadakan musyawarah dengan


pengikutnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi termasuk dalam
masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin selalu taat dan patuh terhadap
keputusan yang diambil karena mereka merasa bahwa keputusan itu adalah
kesepakatan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka memiliki semangat yang tinggi
dan tekad yang bulat dalam memperjuangkan agama Allah tanpa menghiraukan
bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi sambil senantiasa bertawakkal dan
memohon pertolongan Allah. Sikap seperti inilah yang diperintah oleh Allah swt.
serta akan diberi pahala besar.

Kata musyawarah berasal dari kata syawara (‫ )شاور‬yang artinya mengeluarkan


madu dari sarang lebah. Arti ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala
sesuatu yang dapat diambil/ dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata
musyawarah pada dasarnya hanya dipakai untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan
arti dasar kata tersebut.

4
Dalam ayat ini, diungkapkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan
diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk beliau laksanakan sebelum
mengadakan musyawarah. Penyebutan ketiga hal itu walaupun dari segi konteks
turunnya ayat mempunyai arti tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud, tetapi
dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia perlu menghiasi diri Rasulullah saw.
dan setiap orang yang mengadakan musyawarah. Setelah itu, disebutkan satu sikap
yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah yaitu kebulatan tekad.

Pertama, yaitu berlaku lemah lembut, tidak berhati keras, dan tidak kasar.
Seorang yang melakukan musyawarah apalagi yang berada dalam posisi pemimpin,
yang pertama ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala dan
otoriter, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi.

Kedua, yaitu memberi maaf dan membuka lembaran baru dalam bahasa ayat
diatas fa'fu 'anhum (‫)ف<<<اعف عنهم‬. "‫ "عفى‬secara harfiah berarti “menghapus”,
memaafkan. Yaitu menghapus bekas luka hati akibat perlakuan orang lain yang
dinilai tidak wajar, ini perlu karena tiada musyawarah tanpa orang lain, sedangkan
kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati orang-
orang yang bermusyawarah.

Di lain pihak bermusyawarah harus menyiapkan mentalnya untuk selalu


bersedia memberi maaf, karena boleh jadi ketika melaksanakan musyawarah terjadi
perbedaan pendapat atau terlontar dari orang lain kalimat atau pendapat yang
menyinggung dan bila sampai ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi
mengubah musyawarah menjadi pertengkaran dan permusuhan.

Dengan demikian untuk mendapat yang terbaik dari hasil musyawarah,


hubungan dengan sesama pun harus harmonis.

Ketiga, yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan ampunan


kepada Allah. Pesan terahir ayat ini dalam konteks musyawarah adalah apabila telah

5
bulat tekad, laksanakanlah dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.

3. Anjuran Bermusyawarah QS. Asy Syura (42):38


‫َو اَّلِذ ْيَن اْسَتَج اُبْو ا ِلَر ِّبِهْم َو َاَقاُم وا الَّص ٰل وَۖة َو َاْم ُر ُهْم ُش ْو ٰر ى َبْيَنُهْۖم َو ِمَّم ا َر َز ْقٰن ُهْم ُيْنِفُقْو َۚن‬

Artinya: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan


dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka". QS Asy-Syura (42):38

a. Penjelasan

Ayat ini menunjukkan karakter pribadi mukmin yang menaati Allah


swt.Mereka melaksankaan perintah salat dengan sebaik-baiknya. Pun saat
mereka akan melakukan sesuatu yang terkait dengan orang banyak, mereka
tidak bertindak sendiri dan tergesa-gesa. Mereka berkumpul untuk
menampung ide dan pendapat lalu dimusyawarahkan bersama. Dan ketika
sudah jelas manfaatnya, mereka konsisten melaksanakan hasil musyawarah.
Jadi jelas betapa umat beriman sangat menghargai pendapat orang lain.
Mencari titik temu memperoleh maslahat terbaik melalui musyawarah.

Pakar tafsir Muhammad Rasyid Rida menyatakan bahwa Allah telah


menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan yang sempurna
dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat, dengan jalan memberi petunjuk
untuk melakukan musyawarah, yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan
terpandang yang kita percayai, guna menetapkan pada setiap periode hal-hal yang
bermanfaat dan membangun masyarakat.

4. Manfaat Musyawarah
Sebuah persoalan dapat di atasi dengan mengedepankan musyawarah, berikut
manfaat musyawarah:
1. Menumbuhkan rasa kebersamaan.

6
2. Dapat menyatukan perbedaan pendapat.
3. Masalah dapat segera terpecahkan.
4. Nilai keadilan pada keputusan yang dibuat.
5. Ajang melatih diri buat mengemukakan pendapat.
6. Hasil keputusan yang diambil menguntungkan semua pihak.
7. Dapat mengambil kesimpulan yang benar.
8. Mencari kebenaran dan menjaga diri dari kekeliruan
9. Terciptanya stabilitas emosi.
10. Menghindari celaan.

7
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1) Musyawarah adalah suatu ajaran Islam yang terkandung dalam kitab suci Alquran
yang secara leksikal berarti perundingan. Akan tetapi, secara terminologi,
musyawarah dapat dipahami sebagai upaya saling berembuk dengan cara
berinteraksi yang baik antara dua pihak atau lebih untuk menyatukan konsep
dalam mencari seluruh yang dianggap terbaik terhadap sesuatu masalah yang
dihadapi.
2) Konsep musyawarah dalam Alquran dapat ditelusuri melalui tiga istilah,
yakni syūra, syāwir, dan tasyāwur. Istilah syūra mengandung interpretasi tentang
lapangan musyawarah dan demokrasi. Istilah syāwir mengandung interpretasi
demokrasi dan orang-orang yang diminta bermusyawarah. Sedangkan
istilah tasyāwur mengandung interpretasi tentang urgennya musyawarah
diterapkan mulai dari unit sosial terkecil (rumah tangga) untuk terbinanya
kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar (negara). Jadi,
musyawarah dalam perspektif Alquran adalah sesuatu yang penting dan
merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk menerapkannya dalam kehidupan
ini.
3) Musyawarah dalam konsep Alquran mengandung unsur pendidikan, seperti
mendidik individu yang terlibat di dalamnya untuk mengeluarkan pendapat
dengan benar, berinteraksi satu-sama lain dengan etis, saling memaafkan, dan
bertawakkal kepada Allah swt setelah mengambil keputusan. Selain itu, dengan
membagi-bagikan (Organizing) tugas kepada masing-masing pihak (seperti Allah
swt menunjukkan tugas suami-isteri) merupakan penerapan dari salah satu fungsi
manajemen. Selanjutnya, dengan melibatkan orang-orang yang berkonpeten
dalam musyawarah, merupakan penerapan dari manajemen strategis dalam
pengambilan keputusan.

8
4) Banyak manfaat yang bisa dipetik dari musyawarah, namun yang paling penting
adalah menghormati dan mentaati keputusan yang diambil atas dasar
musyawarah, dengan harapan bisa meraih kesuksesan dengan kemaslahatan
bersama mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat sampai kehidupan bangsa
dan negara.
2. Saran

Jikalau kami diperkenankan untuk memberi saran, kami sebelumnya pasti


sudah tahu bahwa dalam membahas falsafah negara saja penuh dengan proses
musyawarah diantara berbagai elemen tokoh bangsa. Maka dari itu dalam terjadinya
perbedaan pendapat kita harus mengedepankan musyawarah agar nantinya bisa
mencapai mufakat, dan harmonisasi dengan sesama manusia pun terjaga karena
semua aspirasi dapat terakomodasi, serta yang penting adalah ketika musyawarah
usai kita harus meminta maghfiroh dan ampunan illahi agar apa yang kita lakukan
mendapat ridho dari Allah SWT. Aamiin.

Anda mungkin juga menyukai