Anda di halaman 1dari 5

TAFSIR AYAT ALI-IMRON

TENTANG MUSYAWARAH

RAHMAWATI

MAN 2 LOMBOK TENGAH

2022
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pedoman hidup bagi umat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka
memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak. Konsep-konsep yang
ditawarkan al-Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena al-Qur’an
turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan
masalah terhadap problema tersebut, kapan dan di manapun mereka berada.
Salah satu konsep yang ditawarkan Al-Qur’an adalah musyawarah. Ketika seseorang
ingin memutuskan suatu perkara atau berselisih tentang suatu urusan maka Al-Qur’an
memberikan solusinya dengan musyawarah. Oleh karena pentingnya musyawarah itu, maka
dalam makalah ini kami akan menjelaskan sedikit tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan
musyawarah dan penafsirannya menurut para pakar tafsir.

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      Bagaimana Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159?

III.             PEMBAHASAN
A.    Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an bahwa, pembahasan
ayat ini mencakup delapan perkara:
Pertama, Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan
perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada
beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau karena telah
meninggalkan tanggung jawab yang diberikan beliau. Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah
SWT memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah
SWT. Setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah
dalam segala perkara.[1]
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah mengomentari ayat ini bahwa, pada ayat ini
disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu,
walaupun dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan
Perang Uhud, namun dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia menghiasi diri Nabi SAW
dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus
diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.
1. berlaku lemah-lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras,
2. memberi maaf, dan membuka lembaran baru, dan
3. permohonan magfirah dan ampunan Ilahi.[2]
Kedua, Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan
penetapan hukum-hukum. barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib
diberhentikan. Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang
beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman-Nya, ‘Sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka’. (QS. Asy-Syura (42): 38).[3]
Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam tafsirnya Al-Maragi menyebutkan bahwa, ada banyak

B. Manfaat Musyawarah Diantaranya Adalah Sebagai Berikut:


1.      Melalui musyawarah dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan dan keikhlasan
terhadap kemaslahatan umum.
2.      Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab
kemungkinan ada di antara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain,
para pembesar sekalipun.
3.      Semua pendapat di dalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu dipilih pendapat yang
paling baik.
4.      Di dalam musyawarah akan tampak bertautnya hati untuk menyukseskan suatu upaya dan
kesepakatan hati. Dalam hal itu memang sangat diperlukan untuk suksesnya masalah yang
sedang dihadapi. Oleh sebab itu berjamaah lebih afdal di dalam shalat-shalat fardu. Shalat
berjamaah lebih afdal dari pada sahalat sendiri, dengan perbedaan dua puluh tujuh derajat.[4]
Ketiga, Firman Allah SWT, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu” menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama
yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya.[5]
Keempat, Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Rasulullah
SAW bersabda, ‘Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya’.”[6]
Kelima, Kriteria orang yang diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat
adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.[7]
Keenam, Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang
bernusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling
dekat dengan Kitbullah dan Sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah
menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah
menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakkal kepada-Nya, sebab inilah akhir
ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat
ini.[8]
Ketujuh, Firman Allah SWT, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka
bertawakallah kepada Allah.” Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya
apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal
kepada Allah SWT,” bukan tawakal kepada musyawarah mereka.[9]
Kedelapan, Firman Allah SWT, “Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.[10]
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai