Oleh
1
Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, 1987. Diterjemahkan Oleh Bahrun Abu bakar Lc, Drs Hery Noer Aly,
Dan K Anshori Umar Sitanggal. Semarang: Karya Toha Putra, H. 196.
1
Tafsir Al-Maraghi, lebih jauh, menjelas kan manfaat musyawarah dalam
mengambil kebijakan politik. Pertama, musyawarah akan menunjukkan keterbukaan
informasi dalam mencapai kebijakan untuk kemash lahatan umum. Musyawarah akan
membuat opini, pendapat dan pemikiran yang mendukung atau menolak serta
mempertimbangkan satu kebijakan bersifat terbuka dan diketahui semua peserta
musyawarah. Dari keter bukaan opini, pendapat dan pemikiran tersebut akan terlihat,
menurut Al-Maraghi, keikhlasan dan kecinta an sese orang terhadap kepentingan
umum, bukan ke pentingan pribadi dan kelompok. Manfaat musyawarah kedua
menurut Tafsir Al-Maraghi adalah munculnya pandangan yang beragam dari semua
peserta musyawarah. Munculnya pan dangan yang beragam ini kemudian akan me
mungkin kan munculnya kelebihan dari satu pandangan daripada pandangan yang
lain. Yang mungkin saja menurut beliau pandangan yang memiliki kelebihan tersebut
bukan berasal dari para pemimpin atau penguasa di masyarakat.
Tafsir al-Maraghi kemudian menjelaskan manfaat musyawarah ketiga yaitu
pengujian opini, pendapat dan pemikiran. Dalam musyawarah semua pandangan
dimunculkan dalam semua pandangan tersebut dinilai dan disepakati pandangan mana
yang akan menjadi pandangan bersama. Menurut Al-Maraghi, pandangan yang ter
baiklah yang akan menjadi pandangan atau keputusan bersama. Terakhir, manfaat
musyawarah menurut Tafsir Al-Maraghi, adalah keterkaitan hati antar semua peserta
musyawarah. Mereka yang sering ber musya warah akan merasa saling mengerti dan
memahami teman diskusinya. Dengan menetap kan kemashlahatan bersama sebagai
tujuan musyawarah maka semua orang akan merasa bersama dalam merencana kan,
men jalankan dan meng - evaluasi kegiatan. Oleh karena itu, AlMaraghi mengbanding
kan musyawarah bersama banyak orang dengan shalat berjamaah dengan banyak
orang juga.
2. Tafsir Al-Azhar
Buya Hamka memulai menafsirkan ayat 159 surat Ali Imran ini dengan
menggunakan kata pujian untuk menjelaskan sikap Rasulullah dalam memimpin.
Menurut beliau, Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam sangat menunjukkan bahwa
sikap lemah lembut dalam memimpin mem buat beliau bisa menuntun dan membina
umat Islam dengan baik2.serta sikap bermusyawarah dengan umat disekelilingnya
dalam menghadapi persoalan besama.
2
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007. H. 129.
2
Lebih lanjut Buya Hamka menunjukkan bahwa tafsir utama ayat 159 surat Ali
Imran ini adalah tentang Ilmu memimpin dalam Islam.3Ilmu Memimpin yang beliau
maksudkan adalah bahwa ayat ini meng haruskan pemimpin dalam Islam untuk
bersikap lemah lembut dalam memimpin. Menurut beliau, pemimpin yang kasar,
keras hati dan kaku sikapnya, bukan saja pemimpin yang tidak sesuai dengan Al-
Qur’an tetapi juga akan dijauhi banyak orang. Pemimpin seperti ini, menurut beliau,
juga tidak akan berhasil dalam memimpin.
3. Tafsir Al-Misbah
Kemampuan penafsir dalam menguasai Bahasa Arab juga terlihat ketika
beliau men jelas kan dalam tafsir Al-Misbah asal kata musyawarah. Kata ini
dijelaskan berasal dari akar kata syawara yang memiliki arti dasar mengeluarkan
madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian ber kembang, termasuk mencakup
segalasesuatu yang dapat diambil atau di keluarkan dari yang lain, termasuk pendapat
seseorang. Oleh karena itu, menurut beliau, musyawarah hanya akan melahirkan
sesuatu yang baik dan manis, seperti madu.
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat 159 surat Ali Imran ini
mengimplisit kan syarat-syarat seorang pemimpin yang akan berhasil dalam ber
musya warah4. Pertama, bersikap lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras.
Menurut mufassir ini, mitra musyawarah akan menjauh jika seorang pemimpin
bersikap tidak sesuai dengan disebutkan tadi. Sikap yang kedua yang harus dimiliki
pemimpin agar berhasil dalam musyawarah adalah memberi maaf dan membuka
lembaran baru dalam ber interaksi dengan mereka yang telah melaku kan kesalahan.
Hal ini perlu di lakukan karena musyawarah selalu membutuh kan pihak lain dan
kecerahan pikiran dalam bermusyawarah hanya muncul dalam hati yang pemaaf.
Terakhir, musyawarah tidak hanya membutuhkan logika dan akal sehat tetapi juga
hati. Quraish Shihab menekankan bahwa hati yang sehatlah yang bisa menangkap
sesuatu pendapat dan pikiran dari orang lain yang bisa saja pendapat dan pikiran
tersebut datang sekejap dan tidak terduga.5
3
Ibid, H. 130.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah. (Jakarta: Lentera hati. 2000). H 313
5
Ibid, H 314.
3
B. Al-QURAN SURAH ASY SYURA 38
ين ا ْستَ َجابُوا لِ َربِّ ِه ْم َوَأقَا ُموا الصَّالةَ َوَأ ْم ُرهُ ْم َ َوالَّ ِذ
َ ُُشو َرى بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِق
ون
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan
melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,
QS. Asy-syura-ayat-38
ين آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َ يَا َأ ُّيهَا الَّ ِذ
َوُأولِي األ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَِإ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى
ِ ون بِاهَّلل ِ َو ْاليَ ْو ِم
اآلخ ِر َ ُُول ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنِ هَّللا ِ َوال َّرس
ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َس ُن تَْأ ِويال َ َِذل
6
Siti Rahma, "Pendidikan Politik Dalam Perspektif Al-Qur'an Dan Hadits", Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis,
Vol/ 15 No.2 (Desember, 2021), H 47-48.
4
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.QS. An-Nisa 59
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir / Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris
tafsir Universitas Islam Madinah membrikan penafsiran terkait Qs. An-Nisa : 59.
َ ( َوَأ ِطيعُوا ال َّرسtaatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)) Setelah Allah memerintahkan para qadhi
ُول
dan penguasa apabila mereka memutuskan perkara diantara rakyatnya agar mereka memutuskannya
dengan kebenaran, maka disini Allah memerintahkan para rakyat untuk mentaati pemimpin mereka.
Dan hal itu didahului dengan perintah untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul, karena qadhi atau
penguasa apabila menyelisihi hukum Allah dan rasul-Nya maka hukum mereka tidak berlaku.
َوُأولِي األ ْم ِر (dan ulil amri) Mereka adalah para Imam, Sultan, Qadhi, dan semua yang memiliki
kekuasaan yang syar’i dan bukan kekuasaan yang mengikuti thaghut. Yang dimaksud dengan ketaatan
kepada perintah dan larangan mereka adalah dalam apa yang bukan kemaksiatan sebagaimana telah
datang hadist dari Rasulullah (tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah).
Dan pendapat lain mengatakan yang dimaksud dengan ulil amri adalah para ulama al-qur’an dan fiqih
yang menyuruh kepada kebenaran dan menfatwakannya sedang mereka memiliki ilmunya.
( فَِإ ْن تَنَازَ ْعتُ ْمKemudian jika kamu berlainan pendapat) Yakni antara sebagian kalian dengan sebagian
yang lain, atau sebagian kalian dengan para pemimpin.
( َوَأحْ َس ُن تَْأ ِويالdan lebih baik akibatnya) yakni Allah dan Rasul-Nya adalah rujukan yang lebih baik
daripada anggapan kalian bahwa apabila terjadi perselisihan kalian merujuk kepada selain Allah dan
rasul-Nya.7
7
Ibid, h 49-50.
5
Daftar pustaka
Siti. (2021)"Pendidikan Politik Dalam Perspektif Al-Qur'an Dan Hadits", Jurnal Ilmu Al
Quran Dan Hadis, Vol.15 No.2. 48-50.