Anda di halaman 1dari 8

Pengertian musyawarah

Secara etimologi, kata “musyawarah” berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata “‫ ” ُشورى‬yang
berarti “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Kata “‫ ”مشاورة‬merupakan bentuk masdar dari
kata “‫يش(اور‬-‫ ”ش(اور‬yang berarti “menjelaskan atau mengatakan”1. Kata “‫ ”ش(ورى‬terbentuk dari
lafal fiil “‫مشاورة‬-‫يشاور‬-‫ ”شاور‬yang beberapa ahli bahasa mengatakan berarti “mengeluarkan
pendapat atau bertukar pikiran”. Dengan wazan demikian dapat ditambahkan arti “saling”,
oleh karenayanya kata tersebut juga dapat diartikan sebagai “saling mengeluarkan pendapat”.
Arti kata “musyawarah” mengalami banyak perkembangan sehingga dapat mencakup sesuatu
apapun yang dapat diambil dari sesuatu yang lain, termasuk pendapat. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, “musyawarah” diartikan sebagai “pembahasan bersama dengan maksud
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama”2. Selain itu, kata “musyawarah”
juga digunakan untuk berunding dan berembuk.
Secara terminologi, terdapat banyak pendapat mengenai hal ini. Al-Allusi berpendapat dalam
kitabnya bahwa al-Raghib berkata, “musyawarah” adalah mengeluarkan pendapat dengan
mempertimbangkan pendapat orang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat
yang lain untuk mencapai suatu pendapat yang disepakati.
Secara istilah, Ibn al-‘Arabi berkata bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa
“musyawarah” adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar setiap individu
meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya. Dengan
demikian,berdasarkan uraian diatas bahwa “musyawarah” adalah berkumpulnya manusia
untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing mengeluarkan pendapatnya,
kemudian diambil pendapat yang disepakati bersama.
Musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, sesuai dengan
makna dasarnya, yaitu mengeluarkan madu. Oleh karenanya, beberapa unsur musyawarah
yang harus dipenuhi adalah: a) Al-Haq, yang berarti yang dimusyawarahkan adalah
kebenaran, b) Al-‘Adlu, yang berarti dalam musyawarah terdapat nilai keadilan, c) Al-
Hikmah, yang berarti musyawarah dilakukan dengan bijaksana.
Dari sekian banyak uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa musyawarah adalah suatu
Proses dalam memberikan pendapat yang banyak ragamnya disertai argumen dalam suatu
perkara dan diuji oleh para ahli yang cerdas dan ahli dibidangnya sehingga menghasilkan
solusi atau jalan keluar yang tepat untuk diamalkan atau dapat direalisasikan guna mencapai
suatu tujuan.
Ruang lingkup musyawarah

1
Jamaluddin Muhammad Ibnu Mukram Ibn Al-Manzhur Al-Fikriy
Al-Mishry, Lisan Al-A‟roby (Beirut: Dar Al-Fikri, 1990), hal. 434
2
1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai
Pustaka, 1996), hal. 772.
Musyawarah adalah suatu persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan.
Oleh karena itu, al-Qur’an memberikan petunjuk secara global (prinsip-prinsip umum) agar
petunjuk tersebut dapat mencakup segala perubahan dan perkembangan sosial budaya
manusia.
Dalam kalangan ulama, terdapat perbedaan pendapat mengenai ruang lingkup musyawarah.
Ada yang berpendapat bahwa musyawarah hanya berkaitan dengan masalah-masalah dunia,
sementara ada juga yang berpendapat bahwa musyawarah tidak hanya terbatas pada hal-hal
dunia, tetapi juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan agama selama tidak ada wahyu
atau nash yang mengatur secara khusus.
Pendapat yang kedua didasarkan pada contoh-contoh musyawarah yang dilakukan oleh Nabi
terhadap tawanan perang Badr, serta musyawarah para sahabat terkait tindakan terhadap
murtad dan peminum khamr. Meskipun masalah ini termasuk dalam ranah agama, Nabi dan
para sahabat juga melakukan musyawarah terkait hal-hal tersebut.
Al-Qurthubi berpendapat bahwa musyawarah memainkan peran dalam urusan agama maupun
urusan dunia, dan menambahkan bahwa pelaku musyawarah dalam masalah agama harus
memiliki pengetahuan agama yang memadai. Demikian pula, dalam urusan dunia yang
membutuhkan nasehat, pemberi nasehat harus bijaksana dan kompeten agar nasehat yang
diberikan masuk akal.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, musyawarah menjadi hal yang mutlak
dilakukan, baik untuk masalah yang belum memiliki nash maupun untuk pelaksanaan suatu
persoalan yang sudah memiliki nash. Contohnya adalah dalam institusi musyawarah, sistem
politik kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sebagainya. Namun, dalam urusan agama
yang sudah memiliki nash, perlu dilakukan musyawarah mengenai tata cara pelaksanaan atau
penegakan hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip prinsip musyawarah

Sesunguhnya musyawarah adalah di antara bentuk ibadah-ibadah untuk mendekatkan pada


Allah3.Al Quran sebagai pedoman hidup umat muslim telah mengatur musyawarah agar
dapat terlaksana dengan baik sebagaimana dalam Q.S Ali Imron 159 yaitu:
ۖ ‫اورْ هُ ْم فِى ٱَأْل ْم ِر‬ ۟ ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِّمنَ ٱهَّلل ِ لِنتَ لَهُ ْم ۖ َولَوْ ُكنتَ فَظًّا َغلِيظَ ْٱلقَ ْل‬
ِ ‫ب ٱَلنفَضُّ وا ِم ْن َحوْ لِكَ ۖ فَٱعْفُ َع ْنهُ ْم َوٱ ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم َو َش‬
َ‫فَِإ َذا َع َز ْمتَ فَت ََو َّكلْ َعلَى ٱهَّلل ِ ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ ي ُِحبُّ ْٱل ُمتَ َو ِّكلِين‬
a) (‫ )لِنتَ لَهُ ْم‬: Berlaku lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan
dengan sikap emosiaonal dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan
menyebabkan orang-orang meninggalkan majelis musyawarah
b) (‫ )فَٱعْفُ َع ْنهُ ْم‬: Memberi maaf, atas hal-hal buruk yang pernah dilakukan oleh anggota
musyawarah sebelumnya. Juga dalam bermusyawarah harus menyiapkan mental

3
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, op.cit.,hal. 142
pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan terjadi
hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak-tanduk orang lain.
Manakala sikap pemaaf ini tidak dimiliki dalam bermusyawarah, hal itu akan
berkembang menjadi pertengkaran secara emosional dan berujung pada perpecahan
yang melemahnya kekuatan jamaah.
c) (‫)وٱ ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم‬
َ : Memohon ampun pada Allah. Karena dalam bermusyawarah, merupakan
suatu kemungkinan berbuat kesalahan yang tidak disadari, baik pada sesama anggota
musyawarah ataupun pada Allah.
d) ( َ‫ )فَِإ َذا َعزَ ْمت‬: Membulatkan tekad. Seharusnya dalam suatu musyawarah membulatkan
tekad dalam mengambil suatu keputusan yang disepakati bersama bukan saling ingin
menang sendiri tanpa ada keputusan. Kemudian keputusan-keputusan yang telah
diambil harus dijalankan.
e) (ِ ‫ )فَتَ َو َّكلْ َعلَى ٱهَّلل‬: Bertawakkal kepada Allah. Setelah bermusyawarah, hendaknya
keputusan yang telah diambil diserahkan kepada Allah
Mengenai prinsip prinsip misyawarah Muhammad Hanafi beliau berpendapat bahwa
Pembahasan mengenai prinsip-prinsip di dalam pelaksanaan musyawarah masih jarang untuk
ditemukan, hal ini dikarenakan belum adanya praktik musyawarah yang menyeluruh dan
berkesinambungan mulai dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan
tetapi, pemikiran dan pembahasan mengenai musyawarah sebagai suatu prinsip yang harus
ditegakkan dalam kehidupan sangat banyak untuk ditemukan.4
Menurut beliau ada beberapa hal yang harus ada ketika pelaksanaan musyawarah,yaitu:
Pertama, keridhaan atau kemauan untuk kebaikan bersama yang tidak bertentang dengan
perintah Allah Swt. Hal ini dapat dilihat pada ayat pertamadalam pembahasan sebelumnya
yaitu Q.s. Al-Baqarah ayat 233. Di mana Allah memberikan petunjuk apabila dalam suatu
keluarga sudah ada keridhaan di antara keduanya dan bermusyawarahlah.
Kedua, hati yang lemah lembut (bersih) lawan dari berhati keras. Prinsip ini haruslah ada,
hati yang lemah lembut yaitu yang tidak menaruh kedengkian dan kebencian antara satu sama
lainnya, dalam musyawarah perilaku ini akan terlihat pada saat berbicara atau menyampaikan
pendapat atau sebuah gagasan. Oleh karenanya apabila musyawarah dilaksanakan tidak
berdasarkan hati yang lemah lembut (bersih) sebagai rahmat dari Allah Swt, maka
mustahillah akan dapat terjadi kemufakatan.
Ketiga, saling memaafkan dan memohonkan ampun kepada Allah Swt. Karena di dalam
musyawarah pasti akan sering terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu pembahasannya,
maka antara sesama anggota yang terlibat didalam musyarawah apabila ada yang merasa
tesinggung akibat ucapan maupun pemikiran, maka mestilah siap untuk saling memaafkan
dan memohonkan ampun kepada Allah Swt.
Keempat, mematuhi perintah Allah Swt dan mendirikan sholat. Berdasarkan prinsip yang
keempat ini menunjukan bahwa dalam praktik musyawarah untuk mengambil suatu
keputusan harus didasarkan atau tidak boleh bertentang dengan perintah Allah Swt. Makanya,
4
Muhammad Hanafi,Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Cita Hukum. Vol. I No. 2
Desember 2013.
orang-orang yang bermusyawarah dalam menetapkan suatu aturan atau hukum untuk
kehidupan bersama harus senantiasa didasarkan kepada hukum-hukum Allah Swt.
Kelima, mufakat, segala keputusan yang akan ditetapkan dalam suatu permusyawaratan harus
merupakan kemufakatan dari seluruh anggota yang terlibat di dalam musyawarah. Mufakat
adalah antara satu dan lainnya anggota musyawarah menerima hasil musyawarah yang akan
diputuskan dan ditetapkan untuk dilaksanakan bersama-sama. Adapun keputusan yang
diambil tersebut tidaklah boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, dalam
konteks kaidah-kaidah utama yang tertuang di dalam tujuan hukum menurut hukum syara’
yang disebut dengan Adhdhararul, yaitu: Memelihara Agama, Memelihara Jiwa, Memelihara
Akal, Memelihara Keturunan, Memelihara Harta dan Kehormatan5.

Penafsiran ayat ayat musyawarah menurut mufassir


Ayat yang membicarakan tentang syura dalam alqur an cenderung singkat dan hanya
menjelaskan secara global saja. Namun hal ini tidak dapat diambil kesimpulan bahwa alquran
tidak menaruh perhatian pada topik tersebut.
Menurut Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, dalam Al-Qur’an ada tiga ayat yang berbicara
tentang syura atau musyawarah, yaitu Q.S. al-Baqarah (2): 233, Q.S. Ali ‘Imran (3): 159, dan
Q.S. asy-Syura (42): 38. Adapun ayat yang sering digunakan sebagai landasan normatif syura
atau asy-syura adalah Q.S. Ali ‘Imran (3): 159 dan Q.S. asySyura (42): 38. Sebab, konteks
musyawarah dalam Q.S. al-Baqarah (2): 233 hanya mencakup kehidupan keluarga, yakni
dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak.6
Berikut adalah penafsiran ayat musyawarah menurut para musaffir:
1. QS. Asy-Syura ayat 38

َ‫ُور ٰى بَ ْينَ ُه ْم َو ِم َّما َر َز ْق ٰنَ ُه ْم يُنفِقُون‬


َ ‫صلَ ٰوةَ َوَأ ْم ُر ُه ْم ش‬ ۟ ‫وا لِ َربِّ ِه ْم َوَأقَا ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬ ۟ ُ‫ست ََجاب‬
ْ ‫َوٱلَّ ِذينَ ٱ‬
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan Mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara Mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada Mereka.” [Asy-Syura : 38].
(Departemen Agama RI, 2010, p. 487)
Asbabun nuzul
Ayat ini diturunkan sebagai pujian kepada kelompok Muslimin Madinah (Anshar) yang
bersedia membela Nabi Muhammad SAW. Dan menyepakati hal Tersebut melalui
musyawarah (syūra) yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari. Walaupun
khiṭāb ayat ini bersifat khusus, namun pesan intinya Berlaku universal.(Shihab, 2007, p. 619)
Kandungan ayat
5
Fuad Hasbi Ash ² Shiddieqy, ed., Falsafah Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2001), hal. 169
6
Muhammad Fuad Abd. Al-Baqiy, al-Mu’jam al Mufahras Li al Fazh al-Quran al-Karim (Beirut : Dar
al-Fikr, 1987), hal.391
Ayat ini mendorong umat Muslim untuk mendirikan sholat dengan khusu' dan konsisten, serta
mematuhi rukun dan fardunya. Ayat ini juga memerintahkan untuk melaksanakan
musyawarah dan bersedekah di jalan Allah, memberikan harta kepada yang membutuhkan.
Ayat ini menekankan bahwa iman tidak hanya tentang hubungan dengan Tuhan, tetapi juga
tentang hubungan dengan sesama manusia. Oleh karena itu, Allah memerintahkan untuk
berdiskusi dalam urusan yang penting. Sholat sebaiknya dilakukan secara berjamaah, tidak
hanya untuk mendapatkan pahala yang berlipat, tetapi juga memiliki nilai sosial. Dalam
urusan yang melibatkan kepentingan bersama, disarankan untuk melakukan musyawarah
yang baik. Selain itu, kita juga diinstruksikan untuk menyumbangkan sebagian rezeki kita di
jalan Allah.

Tafsir al maraghi
۟ ‫ َوٱلَّ ِذينَ ٱ ْستَ َجاب‬Dan orang-orang yang memenuhi apa yang diserukan oleh Tuhan kepada
‫ُوا لِ َربِّ ِه ْم‬
mereka, seperti mengesakan-Nya dan melepaskan diri dari menyembah sesembahan selain
Allah. َ‫صلَ ٰوة‬ َّ ‫وا ٱل‬ ۟ ‫ َوَأقَا ُم‬Dan mereka mendirikan shalat yang diwajibkan tepat pada waktunya
dengan cara yang paling sempurna. Shalat di sini disebutkan secara khusus di antara rukun-
rukun agama yang lain, karena shalat memang sangat penting dalam menjernihkan jiwa dan
membersihkan hati, serta meninggalkan perbuatan keji, baik yang nyata maupun yang tidak
nyata.‫ َوَأ ْم(((( ُرهُ ْم ُش((((و َر ٰى بَ ْينَهُ ْم‬Apabila mereka menghendaki suatu urusan, maka mereka
bermusyawarah sesama mereka, agar urusan itu dibahas dan dipelajari bersama-sama, apalagi
dalam soal peperangan dan lain-lain.
Rasulullah saw, mengajak bermusyawarah kepada para sahabat dalam banyak urusan, akan
tetapi tidak mengajak mereka bermusyawarah dalam persoalan hukum, karena hukum-hukum
itu diturunkan dari Allah. Adapun para sahabat, mereka bermusyawarah mengenai hukum-
hukum dan menyimpulkannya dari kitab dan As-Sunnah. Kasus yang pertama
dimusyawarahkan oleh parasahabat ialah tentang khilafah, karena Rasulullah saw tidak
menentukan siapa yang menjadi khilafah, dan akhirnya Abu Bakar dinobatkan sebagai
khilafah. Dan mereka juga bermusyawarah tentang peperangan melawan orang-orang yang
murtad setelah wafatnya Rasulullah saw. Dimana yang dilaksanakan adalah pendapat Abu
Bakar untuk memerangi mereka. Ternyata perang tersebut lebih baik bagi Islam dan kaum
Muslimin. Begitu pula Umar r.a, bermusyawarah dengan Al-Hurmuzan ketika dia datang
kepadanya sebagai Muslim
Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Ta’ala :
‫اورْ هُ ْم فِى ٱَأْل ْم ِر‬
ِ ‫َو َش‬
Dan bermusyawarahlah dengan perkara dalam urusan itu. (Ali Imran: 159)
Diriwayatkan dari Al-Hasan: tidak ada satu kaum yang bermusyawarah kecuali mendapat
petunjuk pada urusan mereka yang paling baik.Dan Ibnu Arabi mengatakan pula bahwa
musyawarah itu melembutkan hati orang banyak, mengasah otak dan menjadi jalan menuju
kebenaran. Dan tidak ada satu pun yang bermusyawarah kecuali mendapat petunjuk.Dalam
perkara apa pun di antara urusan-urusan penting, pemerintahan sekarang ini tidak mengambil
keputusan kecuali bila telah diajukan terlebih dahulu kepada majlis-majlis permusyawaratan

َ‫ َو ِم َّما َرزَ ْق ٰنَهُ ْم يُنفِقُون‬dan mereka menafkahkan sebagian dari apa yang didatangkan oleh Tuhan
kepada mereka ke jalan kebaikan, dan disumbangkan kepada hal-hal yang bermanfaat bagi
individu maupun masyarakat, serta untuk mengangkat derajat umat dan meninggikan nasib
dan kejayaannya.(Al-Maraghi, 2006, pp. 52–53)
2. QS. Ali Imran ayat 159

ْ ‫وا ِمنْ َح ْولِ َك ۖ فَٱعْفُ َع ْن ُه ْم َوٱ‬


‫ستَ ْغفِ ْر لَ ُه ْم‬ ۟ ‫ض‬ ُّ َ‫ب ٱَلنف‬ ِ ‫فَبِ َما َر ْح َم ٍة ِّمنَ ٱهَّلل ِ لِنتَ لَ ُه ْم ۖ َولَ ْو ُكنتَ فَظًّا َغلِيظَ ٱ ْلقَ ْل‬
َ‫َوشَا ِو ْر ُه ْم فِى ٱَأْل ْم ِر ۖ فَِإ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّك ْل َعلَى ٱهَّلل ِ ۚ ِإنَّ ٱهَّلل َ يُ ِح ُّب ٱ ْل ُمت ََو ِّكلِين‬

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.” [Al 'Imran : 159].
Tafsir al maraghi

‫ فَبِ َم ^^ا َر ْح َم^^ ٍة ِّمنَ ٱهَّلل ِ لِنتَ لَ ُه ْم‬sesungguhnya memang telah ada di antara para sahabatmu
orangorang yang berhak mendapatkan celaan dan perlakuan keras, ditinjau dari segi karakter
manusia. Sebab, mereka meninggalkan kamu ketika keadaan kritis. Bahkan, mereka telah
melakukan kesalahan yang berakibat kekalahan, sedangkan peperangan itu dilakukan oleh
semuanya. Tetapi sekalipun demikian, engkau (Muhammad) tetap bersikap lemah lembut
terhadap mereka, dan engkau perlakukan mereka dengan baik. Semua itu berkat rahmat yang
diturunkan Allah ke dalam hatimu, dan Allah mengkhususkan hal itu hanya untukmu. Karena,
Allah telah membekalimu dengan akhlak-akhlak Al-Qur’an yang luhur, di samping hikmah-
hikmah-Nya yang agung. Dengan demikian, musibah-musibah yang engkau alami sangat
mudah dan enteng dirasakan
۟ ‫ض‬
‫وا ِمنْ َح ْولِ َك‬ ِ ‫ َولَ ْو ُكنتَ فَظًّا َغلِيظَ ٱ ْلقَ ْل‬andaikata engkau (Muhammad) bersikaap kasar dan
ُّ َ‫ب ٱَلنف‬
galak dalam muamalah dengan mereka (kaum Muslimin), niscaya mereka akan bercerai
(bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyukaimu, sehingga engkau tidak bisa
menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. Hal itu, karena
maksud dan tujuan utama diutusnya para rasul ialah untuk menyampaikan syariat-syariat
Allah kepada umat manusia. Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka bersimpati kepada
para Rasul. Semua itu akan terwujud jika sang Rasul bersikp pemurah dan mulia, melupakan
semua dosa yang dilakukan oleh seseorang, serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul
haruslah bersifat lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya ke arah
kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan bimbingan dan hidayah.
‫ َوشَا ِو ْر ُه ْم ِفى ٱَأْل ْم ِر‬tempuhlah jalan musyawarah dengan mereka, yang sepertibiasanya engkau
lakukan dalam kejadian-kejadian seperti ini, dan berpegang teguhlah kepadanya. Sebab,
mereka itu, meski berpendapat salah dalam musyawarah, memang hal itu merupakan suatu
konsekuensi untuk mendidik mereka, jangan sampai hanya menuruti pendapat satu orang
pemimpin saja, meski pendapat pemimpin itu benar dan bermanfaat pada permulaan dan
masa depan pemerintahan mereka. Selagi mereka mau berpegang pada sistem musyawarah
itu, maka mereka akan selamat dan membawa kemaslahatan bagi semuanya

ِ ‫ فَِإ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّك ْل َعلَى ٱهَّلل‬apabila hatimu telah bulat dalam mengerjakan sesuatu, setelah hal itu
dimusyawarahkan, serta dapat dipertnggung-jawabkan kebenarannya, maka bertawakallah
kepada Allah. Segala sesuatu diserahkan kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan
memiliki sarana yang cukup untuk menjalankan sebab-sebab yang telah dijadikan oleh Allah
swt. Jangan sekali-kali kalian mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Juga jangan
terlalu yakin

َ ^َ‫ ِإنَّ ٱهَّلل َ يُ ِح ُّب ٱ ْل ُمت‬hanya kepada Allah mereka mempercayakan segala urusannya. Maka,
َ‫^و ِّكلِين‬
Allah menolong dan membimbing mereka kepada yang lebih baik, sesuai dengan pengertian
cinta ini. Dalam ayat ini terkandung bimbingan terhadap kaum mukallaf, disamping anjuran
untuk mereka agar bertawakkal kepada Allah dan mengembalikan segala sesuatu kepada-
Nya, serta berpaling dari semua hal selain-Nya.(Al-Maraghi, 1986, pp. 112–113)
3. QS Al Baqarah ayat 233

ِ ‫ضا َعةَ ۚ َو َعلَى ْٱل َموْ لُو ِد لَهُ ۥ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْٱل َم ْعر‬
‫ُوف ۚ اَل‬ َ ‫ض ْعنَ َأوْ ٰلَ َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ۖ لِ َم ْن َأ َرا َد َأن يُتِ َّم ٱل َّر‬
ِ ْ‫ت يُر‬ ُ ‫َو ْٱل ٰ َولِ ٰ َد‬
َ ِ‫ك ۗ فَِإ ْن َأ َرادَا ف‬ ٰ
َ ِ‫ث ِم ْث ُل َذل‬ ۢ
ٍ ‫صااًل عَن ت ََر‬
‫اض‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫ضٓا َّر ٰ َولِ َدةٌ بِ َولَ ِدهَا َواَل َموْ لُو ٌد لَّهُ ۥ بِ َولَ ِد ِهۦ ۚ َو َعلَى ْٱل َو‬
َ ُ‫تُ َكلَّفُ نَ ْفسٌ ِإاَّل ُو ْس َعهَا ۚ اَل ت‬
۟ ٰ ۟
ِ ‫ضع ُٓوا َأوْ لَ َد ُك ْم فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َسلَّ ْمتُم َّمٓا آتَ ْيتُم بِ ْٱل َم ْعر‬ِ ْ‫ِّم ْنهُ َما َوتَ َشا ُو ٍر فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما ۗ َوِإ ْن َأ َردتُّ ْم َأن تَ ْستَر‬
َ ‫ُوف ۗ َوٱتَّقُوا ٱهَّلل‬
‫صي ٌر‬ ِ َ‫َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا َأ َّن ٱهَّلل َ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka
dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena
anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Kandungan ayat
Ayat tersebut membicarakan pentingnya keterlibatan suami dan istri dalam mengambil
keputusan terkait rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu
ibunya. Dalam proses menceraikan anak, musyawarah antara kedua orang tua harus
dilakukan, dan tindakan tersebut tidak boleh dilakukan tanpa musyawarah. Jika salah satu
dari mereka tidak setuju, maka tindakan tersebut dianggap dosa karena berdampak pada
kemaslahatan anak. Dengan demikian, ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa setiap
persoalan rumah tangga, termasuk pendidikan anak dan perencanaan keluarga di masa depan,
harus dibahas secara sungguh-sungguh dan dengan benar antara suami dan istri.
Para mufassir kurang menjelaskan isi ayat ini, terutama mengenai musyawarah. M. Quraish
Shihab menyatakan bahwa dalam ayat tersebut, al-Qur'an mengarahkan agar persoalan seperti
menyapih anak dan masalah rumah tangga lainnya, harus dibahas melalui musyawarah antara
suami dan istri. Intinya, ayat al-Baqarah/2:233 menekankan pentingnya musyawarah dalam
mengambil keputusan terkait masalah rumah tangga. Dengan kata lain, meskipun masalahnya
berkaitan dengan rumah tangga, musyawarah dan sikap demokratis tetap harus dihargai.

Anda mungkin juga menyukai