Gulam Gumilar
1111103000001
1 | Page
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa,
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta nikmat yang tiada hentinya
kepada manusia. Terutama nikmat akal yang menjadikan manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna. Dengan nikmat akal tersebutlah kita dituntut
untuk dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya tanpa menyimpang dari
perintah-Nya.
Shalawat serta salam kami sanjungkan bagi makhluk termulia junjungan
kita baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan ilmu dari Allah
kepada umat-umatnya. Ilmu tersebut tidak akan habis sekalipun air laut dijadikan
tinta untuk menuliskan ilmunya itu. Dan manusia hanya diberi sedikit sekali.
Tidak ada harapan lain dari kami, semoga dengan tersusunnya makalah ini
dapat menambah pengetahuan kita. Tiada gading yang tak retak demikian
pepatah mengatakan. Karena itu tiada menutup kemungkinan jika dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, segala kritik
dan saran kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan akan kami terima
dengan senang hati.
Akhirnya, kami mengucap banyak terima kasih kepada rekan-rekan serta semua
pihak yang telah membantu serta mendukung sehingga makalah ini dapat
terselesaikan
2 | Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I
1.1 Syndroma Behcet...........................................................................................4
1.2 Dwarfisme......................................................................................................8
1.3 vaskulitis krioglobulinemia essensial...........................................................16
1.4 Vasculitis Henoch Shchnlein Purpura.......................................................19
1.5 Granulo Matosa Wegener...........................................................................23
1.6 Arthritis Reumatoid Jouvnil.........................................................................26
1.7 Ameliodosis Ginjal........................................................................................ 38
1.8 Polyangiitis Mikroskopis..............................................................................42
1.9 Gigantisme.....................................................................................................47
1.10 Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer.................................................50
1.11 Sinusitis................................................................................................53
BAB II
Daftar Pustaka............................................................................................59
3 | Page
BAB I
1.1 SYNDROMA BEHCET
1.1.1
DEFINISI
.
1.1.2ETILOGI
Etiologi dari penyakit ini belum diketahui. Lebih dari separuh pasien penyakit
Behcet memiliki HLA-B5101 positif. Asam amino tunggal pada lokus HLAB5101 ditemukan mengalami perubahan pada penderita penyakit Behcet di
Jepang.10 Jenis HLA bertanggungjawab terhadap timbulnya gejala klinis tertentu,
misalnya HLA-B12 berhubungan dengan kelainan mukokutaneus, HLA-B27
berhubungan dengan kelainan artritis, dan HLA-B5 berhubungan dengan kelainan
okular.9
Kerusakan jaringan pada penyakit Behcet disebabkan karena timbulnya vaskulitis
dan deposisi dari kompleks imun di dinding pembuluh darah, bersama-sama
4 | Page
1.1.3EPIDEMIOLOGI
Penyakit Behcet banyak ditemukan di negara-negara Mediterania, Timur Tengah,
Timur Jauh, terutama di Jepang, dan relatif jarang terjadi di Amerika Serikat.7
Insiden penyakit ini di Jepang adalah 7-8,5 kasus dalam 100.000 penduduk,
dimana sebanyak 20% dari kasus uveitis akan berkembang menjadi penyakit
Behcet. Penyakit Behcet di Amerika Serikat terjadi sebanyak 4 kasus dalam 1 juta
penduduk, dan sebanyak 0,2% dari penyakit ini bermanifestasi sebagai uveitis.9
Penyakit Behcet lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
rasio 2,3:1. Penyakit Behcet tipe komplit lebih banyak terdapat pada laki-laki,
sedangkan tipe inkomplit terdapat pada laki-laki dan perempuan dalam jumlah
yang sama.9 Kelainan okular lebih sering terjadi pada laki-laki, sedangkan
ulserasi genital lebih sering terjadi pada perempuan.8 Penyakit Behcet biasanya
menyerang usia 25 hingga 35 tahun.9
1.1.4
SIGN &
SYMPTOMPS
Hampir semua penderita mengalami luka di mulut yang terasa nyeri dan berulang
(mirip dengan luka cangker), yang biasanya merupakan gejala awal.
Luka di penis, kantong buah zakar dan vulva cenderung nyeri, sedangkan luka di
5 | Page
vagina tidak
menimbulkan nyeri.
1.1.6 PATOFISIOLOGI
Penderita penyakit Behcet dengan kelainan okular memberikan gejala nyeri pada
mata, fotofobia, mata merah, dan penurunan tajam penglihatan. Kelainan okular
6 | Page
terjadi pada lebih dari 70% penderita penyakit Behcet tetapi yang ditemukan
hanya 25%.10 Sebenarnya, kelainan okular baru akan timbul 2-3 tahun setelah
onset awal. Kelainan yang biasa ditemukan adalah uveitis hipopion (Gambar 3).
Hipopion terjadi pada sepertiga kasus iridosiklitis.7 Kelainan ini biasanya bersifat
sementara dan menjadi penyebab timbulnya gejala nyeri pada mata, fotofobia, dan
penurunan tajam penglihatan.10
Gejalanya mirip dengan penyakit lain, seperti sindroma Reiter, sindroma StevenJohnson, lupus eritematosus sistemik, penyakit Crohn dan kolitis ulserativa.
1.1.7TREATMENT
Tetes mata atau salep kortikosteroid bisa membantu penyembuhan mata yang
meradang dan luka di kulit.
Peradangan mata atau sistem saraf yang berat mungkin memerlukan prednison
atau kortikosteroid lainnya.
1.2 DWARFISME
1.2.1 Definisi
Istilah Achondroplasia pertama kali digunakan oleh Parrot (1878).
Achondroplasia berasal dari bahasa Yunani yaitu; achondros: tidak ada
kartilago dan plasia: pertumbuhan. Secara harfiah Achondroplasia berarti
tanpa pembentukan/ pertumbuhan kartilago, walaupun sebenarnya
individu dengan Achondroplasia memiliki kartilago. Masalahnya adalah
gangguan pada proses pembentukan kartilago menjadi tulang terutama
pada tulang-tulang panjang.
Achondroplasia merupakan penyakit pertumbuhan tulang yang
genetik (turunan) dan biasanya terjadi satu dari setiap 20.000 kelahiran.
7 | Page
8 | Page
1.2.2 Epidemiologi
Achondroplasia adalah tipe dwarfisme yang paling sering dijumpai.2-6 Insiden
yang paling umum menyebabkan Achondroplasia adalah sekitar 1/26.000 sampai
1/66.000 kelahiran hidup.19 Achondroplasia bersifat autosomal dominant
inheritance, namun kira-kira 85-90% dari kasus ini memperlihatkan de novo gene
mutation atau mutasi gen yang spontan.5,7 Ini artinya bahwa kedua orang tua
tanpa Achondroplasia, bisa memiliki anak dengan Achondroplasia. Jika salah satu
orang tua mempunyai gen Achondroplasia, maka anaknya 50% mempunyai
peluang untuk mendapat kelainan Achondroplasia yang diturunkan heterozigot
Achondroplasia. Jika kedua orang tua menderita Achondroplasia, maka peluang
untuk mendapatkan anak normal 25%, anak yang menderita Achondroplasia 50%
dan 25% anak dengan homozigot Achondroplasia (biasanya meninggal).
Achondroplasia dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan dengan frekwensi
yang sama.7,8,10
1.2.3 Etiologi
9 | Page
10 | P a g e
11 | P a g e
Bertubuh pendek
Lengan dan tungkai yang pendek (terutama lengan bagian atas dan paha)
Keningnya menonjol
Punggungnya menonjol
Lordosis
Kifosis
Kaki berbentuk O.
usia> 37
tahun
Achondroplastic
induk
Genetika
Autosomal dominan
Diakuisisi oleh kebanyakan pasien (70%) sebagai mutasi baru
Homozigot pasien (dengan 2 orang tua yang terkena dampak) biasanya
meninggal.
12 | P a g e
1.1.6 Patofisiologi
Achondroplasia diwariskan dalam pola autosom dominan dimana bila salah satu
orang tua mempunyai gen Achondroplasia maka kemungkinan anaknya
mendapatkan kelainan. Achondroplasia adalah 50% heterozygote. Akan tetapi bila
kedua orangtuanya mengidap penyakit ini (mempunyai gen Achondroplasia) maka
kemungkinan anaknya mempunyai gen Achondroplasia adalah 75% heterozygote
Achondroplasia sebagaimana halnya 25% resiko homozygot achondroplasia.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada anak perempuan dibandingkan oleh
anak laki-laki. Individu penderita achondroplasia mempunyai genotipe KK
atau Kk. Sedangkan individu normal bergenotipe homozigot resesif (kk). Pada
penyakit Achondroplasia dalam pola autosom dominan 80% diantaranya
disebabkan secara mutasi spontan. Insiden catatan mutasi spontan yang tinggi
terhadap kematian muncul pada anak dengan orang tua normal (insiden meningkat
dengan umur dari pihak ayah).
13 | P a g e
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 38.2, di mana kedua orang tua
mempunyai salinan gen FGFR3 rusak menyebabkan achondroplasia, ada empat
kemungkinan kombinasi dari informasi genetik yang diwariskan oleh orang tua.
Ini berarti bahwa, dalam setiap kehamilan, ada.
1 peluang dalam 4 atau 25% kemungkinan bahwa anak mereka hanya akan
mewarisi salinan bekerja FGFR3 gen dari kedua orang tua dan mencapai 'normal'
pertumbuhan.
14 | P a g e
1 peluang dalam 4 atau 25% kemungkinan bahwa anak mereka akan menerima
salinan gen rusak FGFR3 dari kedua orang tuanya. Dampak dari tidak memiliki
FGFR3 bekerja protein untuk pertumbuhan, berarti bahwa anak-anak ini biasanya
tidak bertahan.
1.1.7 Treatment
Tidak ada perawatan akan membalikkan hadir di achondroplasia cacat. Semua
pasien dengan penyakit tersebut akan pendek, dengan proporsional normal
tungkai, batang, dan kepala. Pengobatan achondroplasia terutama dari beberapa
alamat komplikasi dari gangguan, termasuk masalah karena kompresi saraf,
hidrosefalus, kaki bengkok, dan kurva abnormal di tulang belakang. Anak-anak
dengan achondroplasia yang mengembangkan infeksi telinga tengah (otitis akut
media) akan memerlukan perawatan cepat dengan antibiotik dan pemantauan yang
cermat untuk menghindari gangguan pendengaran.
15 | P a g e
1.3.1 Definisi
Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang ditandai
dengan adanya proses inflamasi dari nekrosis dinding pembuluh darah. Pembuluh
darah yang terkena dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran.
Vaskulitis merupakan proses patologis yang ditandai dengan adanya
peradangan dan nekrosis dari pembuluh darah baik arteri kecil atau besar maupun
vena.
Vaskulitis adalah peradangan pada pembuluh darah.
1.3.2Epidemiologi
Sindrom vaskulitis termasuk tidak umum. Kejadian tahunan
secara keseluruhan diperkirakan antara 10 sampai 42 kasus per
1 juta orang per tahun. Arteritis Takayasu (TA) lebih cenderung
terjadi pada wanita muda. Penyakit Kawasaki dan purpura
Henoch-Schonlein merupakan tipe vaskulitis anak yang paling
umum, dan arteritis temporal (arteritis sel raksasa (GCA) terjadi
pada pasien-pasien yang umumnya berusia di atas 55 tahun.
Vaskulitis pembuluh darah kecil, utamanya pada kutaneous,
terjadi pada usia berapapun; tetapi etiologi yang mendasari
berbeda antara anak-anak dan orang dewasa.
1.3.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan jelas,
namun ada beberapa yang memegang peranan yang memicu timbulnya penyakit
ini, yaitu:
Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan
parasit.
16 | P a g e
Genetik
Epidemiologi
PredominanpadAperempuan
Usia onset sekitar 50 tahun
17 | P a g e
1.4.1 Definisi
Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang ditandai adanya
proses
inflamasi dan nekrosis dinding pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkena
dapat arteri atau
vena dengan berbagai ukuran
1.4.2 Epidemilogi
vaskulitis sistemik yang paling sering pada anak-anak. Puncak insiden pada usia 5
tahun. Mulai setelah suatu infeksi saluran pernafasan atas atau terpajan obat.
Diperantarai IgA.
18 | P a g e
1.4.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan jelas, namun ada
beberapa yang memegang peranan yang memicu timbulnya penyakit ini, yaitu:
Komplek imun
Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan
parasit.
Genetik
19 | P a g e
Purpura)
kelainan biasanya simetris dan lesi terbanyak pada sendi lutut dengan
pembengkakan
,hangat dan nyeri. Keluhan diperut berbentuk sakit (kolik), intususepsi,
perdarahan dan jarang
sekali terjadi perforasi Kelainan ginjal ditemukan pada 50% penderita
HSP
dengan manifestasi proteinuri asimtomatik , hematuria serta sindroma nefrotik
dangangguan
ginjal akut.
HSP sering dalam bentuk akut dan dapat menjadi baik pada 97 % kasus
sedangkan 3 5 %
dapat terjadi gangguan ginjal
20 | P a g e
yang dapat mencetuskan kerusakan pembuluh darah, atau jenis alergen apa saja
yang dapat
menyebabkan vaskulitis, dan mengapa proses inflamasi tersebut hanya terjadi
pada pembuluh
darah tertentu saja tanpa melibatkan pembuluh darah lainnya, serta mediatormediator yang
dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Kondisi tersebut hanya
sebagian
dapat diterangkan sedangkan mekanisme lainnya masih dalam penelitian.
Keadaan imunologi yang dapat menerangkan timbulnya aktivasi imunologi
ditentukan oleh
beberapa keadaan, yaitu jumlah antigen, kemampuan tubuh mengenai antigen,
kemampuan
respons imun untuk mengeliminasi antigen dan route (target organ) yang dirusak.
Beberapa mediator yang dapat terlibat dalam vaskulitis ini, misal : Interleukin
(sitokin) yaitu
suatu molekul yang dihasilkanoleh sel yang teraktivasi oleh respons imun yang
dapat
berpengaruh terhadap mekanisme imunologi selanjutnya. Interleukin yang
berperan pada
vaskulitis ialah : IL-1, IL-2, IL-6, IL-4, TNF alfa, dan Interferon gamma.
Sedangkan mediator
inflamasi lainnya yang terlibat dalam terjadinya vaskulitis misalnya histamin,
serotonin, PAF dan
endotelin. Walaupun etiologi dari HSP tidak diketahui akan tetapi endapan Ig A di
jaringan
merupakan gambaran imunipatogenesis yang patogenpmonik.
1.4.7 Treatment
21 | P a g e
Umumnya dapat sembuh sendiri (self limited) paling lama antara 6 16 minggu.
Kasus
ringan dapat diberikan pengobatan suportif. Adanya keluhan nyeri sendi dapat
diberikan
NSAID sedangkan steroid dapat diberikan pada kedadaan yang lebih berat.
Keadaan
gangguan ginjal yang progresif sukar pengobatannya kadang tidak respon dengan
steroid.
Pemberian agresif dengan high dose steroid dan obat sitostatik dapat diberikan
pada kasus
dengan prognosa jelek yaitu: proteinuria > 1 gram /hari. Sindroma nefrotik dan
glomerulonephritis cresentik (biopsi).
1.5.1 Definisi
Granulomatosis Wegener (WG), baru-baru Granulomatosis dengan
polyangiitis (Wegener) (IPK), adalah bentuk tidak dapat disembuhkan dari
vaskulitis (radang pembuluh darah) yang mempengaruhi hidung, paru-paru, ginjal
dan organ lainnya. Karena kerusakan organ akhir, adalah mengancam kehidupan
dan memerlukan jangka panjang imunosupresi. Lima tahun kelangsungan hidup
hingga 87%, dengan beberapa kematian karena toksisitas pengobatan. Hal ini
dinamai Dr Friedrich Wegener, yang menggambarkan penyakit pada tahun 1936
Wegener granulomatosis adalah bagian dari kelompok yang lebih besar dari
sindrom vaskulitis, yang semuanya fitur serangan autoimun dengan jenis yang
abnormal dari antibodi beredar disebut ANCAs (antineutrofil antibodi
sitoplasmik) terhadap pembuluh darah kecil dan menengah. Selain dari Wegener,
kategori ini meliputi Churg-Strauss syndrome dan polyangiitis mikroskopi
Meskipun granulomatosis Wegener mempengaruhi pembuluh kecil dan menengah
22 | P a g e
itu secara resmi diklasifikasikan sebagai salah satu vaskulitid pembuluh kecil
dalam sistem Chapel Hill
1.5.2 Etiologi
Rinoskleroma disebabkan oleh Klebsiela rhinoskleromatis yang merupakan basil
Gram negatif. Penyakit ini juga di-hubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T..
1.5.3 Epidimiologi
Penyakit ini dapat mengenai semua usia, tetapi sering pada dewasa muda.
Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga. Penyakit ini sering
dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat
dan gizi yang jelek. Belinoff melaporkan 94,5 % terdapat pada golongan pekerja
kasar seperti petani. Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara
laki-laki dan perempuan.
Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania,
Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India,
Philipina dan Indonesia.
Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.
1.5.4 Sign & Symptomp
penderita sesuai dengan stadiumnya.
Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh dengan pengobatan biasa.
Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung
tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan.
Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi
perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari
pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah,
kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini
penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah.
23 | P a g e
Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa
kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan
granu-lomatosa yang mengeras.
1.5.5 Faktor risiko
5 sampai 40% dari pasien menderita flare-up, tapi mayoritas merespon baik
terhadap pengobatan. Masalah anatomis (sinusitis, stenosis trakea) mungkin
memerlukan pembedahan pada sebagian kecil. Relaps bisa panjang
danmerepotkan.
Komplikasi jangka panjang yang sangat umum (86%): terutama gagal ginjal
kronis, gangguan pendengaran dan ketulian.
1.5.6 PATOFISIOLOGI
Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun granulomatosa dari
submukosa dengan gambaran histoCermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 13
24 | P a g e
patologis yang khas, berupa hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan
ikat di bawah epitel berbentuk trabekula dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan
vakuola pada sitoplasma. Sel-sel ini mempunyai inti di tepi dan di dalam vakuola
terdapat banyak basil berbentuk batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari
Von Frisch. Di samping itu terdapat pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan
histiosit.
Sel-sel besar dengan vakuola dan basil-basil tersebut kemudian dikenal
dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini menurut Fischer dan Hoffman penting
dalam menegakkan diagnosis penyakit rinoskleroma. Toppozada mengemukakan
bahwa sel ini berasal dari sel-sel plasma yang banyak terdapat pada penyakit ini.
Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadia; yang menunjukkan
gambaran khas adalah stadium granu-lomatosa
1. Stadium kataral/ atropik
Metaplasi skuamosa dan infiltrasi subepitel nonspesifik dari sel PMN dengan
jaringan granulasi.
2. Stadium granulomatosa
Gambaran diagnostik ditemukan pada stadium ini berupa sel radang kronik,
Russel body, hiperplasi pseudo epitelioma-tosa, histiosit besar bervakuola yang
mengandung Klebsiella rhinoskleromatis (Mikulicz sel).
3. Stadium sklerotik
1.5.7 Treatment
Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang
belum ada cara yang tepat dan memuaskan.
1. Medikamentosa
25 | P a g e
Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi kurang berharga pada
stadium sklerotik.
Antibiotik yang dapat digunakan antara lain:
- Streptomisin : 0,5-1 g/ hari
- Tetrasiklin : 1-2 g/ hari
- Rifampisin 450 mg/ hari
- Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin
Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua kali
hasil pemeriksaan kultur negatif.
Rolland menggunakan kombinasi Streptomisin dan Tetra-siklin dengan hasil yang
memuaskan.
Steroid dapat diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa.
1.6.1 Definisi
Artritis Reumatoid Juvenil (ARJ) adalah salah satu penyakit Reumatoid yang
paling sering pada anak, dan merupakan kelainan yang paling sering
menyebabkan kecacatan. Ditandai dengan kelainan karakteristik yaitu sinovitis
26 | P a g e
idiopatik dari sendi kecil, disertai dengan pembengkakan dan efusi sendi. Ada 3
tipe ARJ menurut awal penyakitnya yaitu: oligoartritis (pauciarticular disease),
poliartritis dan sistemik.
Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal
sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism
Association (ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik
yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari
beberapa penyakit.
1.6.2 Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan
beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit
ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif.
Pengemban HLA-DR4memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi
pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor
keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada
penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal
tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga
kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan
penyebab penyakit ini.
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan
faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit
ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi
yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu
mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan
bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme
yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau virus.
27 | P a g e
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60
sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap
stress. Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada
pasien AR, mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.
1.6.3 Epidemiologi
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan
tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara
0,3 sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita,
dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini mencapai
5:1 pada wanita dalam usia subur.
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan
wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih
sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid
yang dibandingkan dengan 600.000 pria.
28 | P a g e
Pembengkakan disebabkan oleh edema jaringan lunak periartikular, efusi intraartikular, atau dari hipertofi membran sinovial. Rasa nyeri atau sakit sendi pada
pergerakan biasanya tidak begitu menonjol, namun gerakan aktif atau pasif
tertentu, terutama gerakan yang ekstrim, dapat memicu nyeri. Pada anak kecil
yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan terutama pada pagi hari.
Gejala konstitusional yang dapat muncul antara lain anoreksia, penurunan berat
badan, gejala gastrointestinal dan gagal tumbuh. Kelelahan (fatigue) dapat muncul
pada tipe poliartritis dan sistemik, ditandai dengan peningkatan kebutuhan tidur,
merasa lemas dan iritabilitas.
Tipe onset poliartritis terdapat pada penderita yang menunjukkan gejala artritis
pada lebih dari 4 sendi, sedangkan tipe onset oligoartritis bila mengenai 4 sendi
atau kurang. Pada tipe oligoartritis sendi besar lebih sering terkena dan biasanya
di daerah tungkai. Keterlibatan sendi kecil di tangan menunjukkan perkembangan
ke arah poliartritis. Selain itu dapat ditemukan atrofi otot ekstensor (seperti vastus
lateralis dan quadriceps) dan kontraktur otot fleksor. Pada tipe poliartritis lebih
sering terdapat pada sendi-sendi jari dan biasanya simetris, tetapi di samping itu
dapat ditemukan pula pada sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku. Tipe onset
sistemik ditandai oleh demam intermiten dengan puncak tunggal atau ganda lebih
dari 39oC selama dua minggu atau lebih, artritis, dan biasanya disertai kelainan
sistemik lain berupa ruam reumatoid linier di tubuh atau ekstremitas, serta
kelainan viseral (hepatosplenomegali, serositis, limfadenopati). Ruam juga
memberat dengan adanya demam.
Gejala klinis yang lain dapat berupa tenosinovitis, yang biasa terjadi pada
pembungkus tendon ekstensor dari dorsum manus, pembungkus tendon ekstensor
dari dorsum pedis, tendon tibia posterior, tendon peroneus longus dan brevis di
sekitar pergelangan kaki.
Karakteristik artritis kronik menurut tipe onset penyakit
29 | P a g e
Karakteristik
Poliartritis
Oligoartritis
Sistemik
Persentase kasus
30
60
10
Sendi terlibat
>5
<4
Variasi
Usia onset
anak, puncak usia 1-3 puncak usia 1-2 tahun anak, tidak ada
tahun
Rasio jenis kelamin
1:3
puncak
1:5
1:1
Penyakit sistemik
sistemik, penyebab
sering self-limited,
utama morbiditas
sebagian mengalami
adalah uveitis
kronik artritis
(laki : perempuan)
Keterlibatan sistemik Penyakit sistemik
sedang
destruktif
Adanya uveitis kronik 5%
5-15%
Jarang
Jarang
Jarang
75-85%
10%
Buruk
Frekuensi seropositif
Faktor reumatoid
10%(meningkat
dengan usia
40-50%
Antibodi antinuklear
Prognosis
Sedang
penglihatan
(Dikutip dari JT Cassidy dan RE Petty, 1990)
Artritis
Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif. Ditandai dengan salah
satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau paling sedikit 2 dari 3 gejala
peradangan yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri
30 | P a g e
atau sakit biasanya tidak begitu menonjol. Pada anak kecil, yang lebih jelas
adalah kekakuan sendi pada pergerakan, terutama pada pagi (morning stiffness).
Tipe onset poliartritis
Terdapat pada penderita yang menunjukkan gejala arthritis pada lebih dari 4 sendi,
sedangkan tipe onset oligoartritis 4 sendi atau kurang. Pada tipe oligoartritis sendi
besar lebih sering terkena dan biasanya pada sendi tungkai. Pada tipe poliartritis
lebih sering terdapat pada sendi-sendi jari dan biasanya simetris, bisa juga pada
sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku.
Tipe onset sistemik
Ditandai dengan demam intermiten dengan puncak tunggal atau ganda, lebih dari
39o C selama 2 minggu atau lebih, artritis disertai kelainan sistemik lain berupa
ruam rematoid serta kelainan viseral misalnya hepatosplenomegali, serositis atau
limfadenopati.
Jenis Kelamin.
Perempuan lebih mudah terkena AR daripada laki-laki. Perbandingannya
adalah 2-3:1.
Umur.
31 | P a g e
Riwayat Keluarga.
Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis
rematoid maka anda kemungkinan besar akan terkena juga.
Merokok.
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid.
1.6.6 Patofisiologi
Dalam patofisiologi JRA, setidak-tidaknya ada 2 hal yang perlu diperhitungkan
yaitu hipereaktifitas yang berhubungan dengan HLA dan pencetus lingkungan
yang kemungkinannya adalah virus. Penyebab gejala klinis ARJ antara lain
infeksi autoimun, trauma, stres, serta faktor imunogenetik.
Pada ARJ sistem imun tidak bisa membedakan antigen diri. Antigen pada ARJ
adalah sinovia persendian. Hal ini terjadi karena genetik, kelainan sel T supresor,
reaksi silang antigen, atau perubahan struktur antigen diri. Peranan sel T
dimungkinkan karena adanya HLA tertentu. HLA-DR4 menyebabkan tipe
poliartikuler, HLA-DR5 dan HLA-DR8, HLA-B27 menyebabkan pauciartikuler.
Virus dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan struktur antigen diri ini.
Tampaknya ada hubungan antara infeksi virus hepatitis B, virus Eipstein Barr,
imunisasi Rubella, dan mikoplasma dengan ARJ.
Pada fase awal terjadi kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi sinovia. Tahap
berikutnya terjadi sembab pada sinovia, proliferasi sel sinovia mengisi rongga
sendi. Sel radang yang dominan pada tahap awal adalah netrofil, setelah itu
limfosit, makrofag dan sel plasma. Pada tahap ini sel plasma memproduksi
32 | P a g e
terutama IgG dan sedikit IgM, yang bertindak sebagai faktor rheumatoid yaitu
IgM anti IgG. Belakangan terbukti bahwa anti IgG ini jaga bisa dari klas IgG.
Reaksi antigen-antibodi menimbulkan kompleks imun yang mengaktifkan sistem
komplemen dengan akibat timbulnya bahan-bahan biologis aktif yang
menimbulkan reaksi inflamasi. Inflamasi juga ditimbulkan oleh sitokin, reaksi
seluler, yang menimbulkan proliferasi dan kerusakan sinovia. Sitokin yang paling
berperan adalah IL-18, bersama sitokin yang lain IL-12, IL-15 menyebabkan
respons Th1 berlanjut terus menerus, akibatnya produksi monokin dan kerusakan
karena inflamasi berlanjut.
Pada fase kronik, mekanisme kerusakan jaringan lebih menonjol disebabkan
respons imun seluler. Kelainan yang khas adalah keruskan tulang rawan ligamen,
tendon, kemudian tulang. Kerusakan ini disebabkan oleh produk enzim,
pembentukan jaringan granulasi. Sel limfosit, makrofag, dan sinovia dapat
mengeluarkan sitokin, kolagenase, prostaglandin dan plasminogen yang
mengaktifkan system kalokrein dan kinin-bradikinin. Prosraglandin E2 (PGE2)
merupakan mediator inflamasi dari derivat asam arakidonat, menyebabkan nyeri
dan kerusakan jaringan. Produk-produk ini akan menyebabkan kerusakan lebih
lanjut seperti yang terlihat pada Artritis Reumatoid kronik.
1.6.7 Treatment
Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala
klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup.
Garis besar pengobatan
Meliputi : (1) Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat;
Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga
dan penderita; Keterlibatan sekolah dan lingkungan; (2). Obat anti-inflamasi non
steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen; (3). Obat steroid intra-artikuler;
(4). Perawatan Rumah Sakit dan (5). Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.
33 | P a g e
34 | P a g e
DMRAIDs
Efek Samping
Pemantauan
Hidroksiklorokuin
Retinopati
Cek Ophtalmologi
Prednison
Kadar Cortisol
HPA
Garam emas
Cek Hematologi
Penisilamin
Hematologi
Sindroma nefrotik
Sufasalazin
Hematologi
sumsum tulang
Metotreksat
Hematologi, LFT
Siklofosfamid
Hematologi
Azatioprin
Hematologi, LFT
Hidroksiklorokuin
Bermanfaat pada anak yang cukup besar dengan dosis awal 6-7mg/kgBB/hari,
setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5mg/kgBB/hari. Bila setelah 6 bulan
pengobatan tidak diperoleh perbaikan hidroksiklorokuin harus dihentikan. Ketika
memulai jangan lupa meyakinkan bahwa tidak ada defisiensi G6PD karena bisa
terjadi hemolisis.
Kortikosteroid
35 | P a g e
Digunakan bila terdapat gejala sistemik,uveitis kronik atau untuk suntikan intraartikular. Dosis awal adalah 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal, atau dosis terbagi
pada kasus berat. Bila terjadi perbaikan klinis maka dosis diturunkan pelan-pelan
(tappering of).
Imunosupresan
Hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat yang
mengancam jiwa, walaupun beberapa pusat kesehatan sudah memakai untuk
pengobatan baku. Yang paling banyak digunakan adalah metotreksat dengan
indikasi untuk poliartritis berat atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan
NSAID, hidroksiklorokuin atau garam emas. Dosis awal metotreksat adalah
5mg/m2/minggu dapat dinaikkan menjadi 10mg/m2/minggu setelah 9 minggu
tidak ada perbaikan. Lama pengobatan adalah 6 bulan.
Obat-obat ARJ yang lain :
Naproksen 10-20 mg/kg bb/hari 2 x sehari; Tolmetin 25 mg/kg bb/hari 4 x sehari;
dan Ibuprofen 35 mg/kg bb/hari 4 x sehari.
Evaluasi pengobatan
Setelah 2-4 bulan, pemeriksaan laboratorium yang tetap menunjukkan aktivasi
penyakit, tanda untuk pemberian DMRAIDs lain.
1.7 Amiloidosis ginjal
1.7.1Defenisi
Amiloidosis ginjal adalah penyakit dengan karakteristik penimbunan polimer
protein di ekstraselurar dan gambaran dapat diketahui dengan histokimia dan
gambaran ultrastruktur yang khas. Polimer protein merupakan struktur tersier dan
mempunyai ciri khas dalam perwarnaan serta stabil dalam keadaan patologis.
36 | P a g e
bersamaan dangan mieloma 15% tidak disertai penyakit lain. pada Amiloidosis
AL yang mengenai gastrointestinal (7%) sering disertai perdaran hebat sehingga
mengancam jiwanya. Prognosis Amiloidosis AL 12-15 bulan atau kurang bila ada
mieloma. Bila Amiloidosis mengenai livar (9%) prognosis lebih baik.
Amiloidosis AA (sukender) terdapat pada penyakit inflamasi menahun
atau infeksi; penyakit yang sering menyertai adalah artritis rematoid, arteritis
rematoid juvenilis, dan ankilosis spondilitis. Malaria, lepra, Dan tuberkulosis
merupan infeksi menahun dan sering menyertai Amiloidosis AA. Amiloidosis AA
dapat disertai menyartai Amiloidosis AA. Amiloidosis AA dapat disertai pula
penyakit Hodgkin, keganasan dalam saluran makan dan saluran kemih. Prognosis
Amiloidosis AA, 50% selama 5 tahun dan 25% selama 15.
1.7.5 Patofisiologi
Perbedaan mekanisme patofisiologi berdasaran perubahan protein amiloidogenik
dan Konfrimasi patologis.
Terdapay beberapa macam mekanisme:
1. Protein tendesi meli;at secara tidak normalsesuai umur( transtetin pada
sistematik amiloidosis sinilis) atau kosentrasi dalam serum
tinggidisebabkan ekspresi yang berlebihan (AA amiloidosis) atau
berkurangnya penjernihan dari sirulasi (2 mikroglobuin pada
hemodialislisis.
2. Mutasi sehinggapergantian asam amino tunggal pada protein prekusor,
sehingga eadaan tidak stabil ( herediter).
3. Preteolitik parsial dari protein perkusor sehingga tidak terdapat
proteinfibilier( perkusor b- amiloid (AAP) pada penyakit alzeimer).
4. Kehilangan mekanisme peptida amiloidgenik dangan kosentrasi lokal yang
tinggi.
Mekanisme dan tempat penimbunan :
38 | P a g e
1.
2.
3.
39 | P a g e
1.8.1
Definisi
Deskripsi pertama dari pasien dengan penyakit yang sekarang dikenal sebagai
polyangiitis mikroskopis (MPA) muncul dalam literatur Eropa pada 1920-an.
Konsep penyakit ini sebagai kondisi yang terpisah dari poliarteritis nodosa (PAN)
dan bentuk lain dari vaskulitis tidak mulai berakar dalam berpikir medis, namun,
sampai akhir 1940-an. Bahkan saat ini, beberapa istilah membingungkan bagi
MPA (misalnya, "mikroskopis arteritis nodosa poli" daripada "angiitis poli
mikroskopis") bertahan dalam literatur medis. Kebingungan mengenai
nomenklatur yang tepat dari penyakit ini menyebabkan referensi untuk
"poliarteritis nodosa mikroskopis" dan "hipersensitivitas vaskulitis" selama
bertahun-tahun. Pada tahun 1994, Konferensi Chapel Konsensus Bukit diakui
MPA sebagai entitas sendiri, yang membedakannya dalam skema klasifikasi jelas
dari PAN, granulomatosis Wegener (WG), angiitis leukositoklastik kutaneus
40 | P a g e
(PKB), dan penyakit lainnya yang KPL telah bingung dengan melalui tahun.
Sebagian besar penjelasan untuk kesulitan dalam memisahkan MPA dari bentukbentuk lain dari vaskulitis telah berasal dari berbagai daerah tumpang tindih KPL
dengan penyakit lainnya. MPA, PAN, WG, PKB, sindrom Churg-Strauss, dan
gangguan lainnya semua berbagi berbagai fitur tetapi memiliki perbedaan yang
cukup untuk membenarkan klasifikasi terpisah.
Siapa yang Polyangiitis mikroskopis? Seorang pasien yang khas
KPL dapat mempengaruhi individu-individu dari semua latar belakang etnis dan
setiap kelompok usia. Di Amerika Serikat, pasien MPA khas adalah setengah baya
pengecualian laki atau perempuan, tetapi banyak putih ini ada. Penyakit ini dapat
terjadi pada orang-orang dari segala usia, kedua jenis kelamin, dan semua latar
belakang etnis.
1.8.2 Etiologi
Penyebab MPA tidak diketahui. Namun, cukup diketahui tentang beberapa jenis
vaskulitid yang memungkinkan kita untuk menggambarkan secara umum
bagaimana KPL mempengaruhi tubuh. MPA jelas merupakan gangguan yang
dimediasi oleh sistem kekebalan tubuh; peristiwa yang tepat mengarah ke
disfungsi sistem kekebalan tubuh (hiperaktif), bagaimanapun, tetap tidak jelas.
Banyak unsur dari sistem kekebalan tubuh yang terlibat dalam proses ini:
neutrofil, makrofag, limfosit T dan B, antibodi, dan banyak, banyak orang lain.
1.8.3 Epidemiologi
Polyangiitis mikroskopis (MPA) adalah vaskulitis pembuluh kecil. Pada awalnya
dianggap sebagai bentuk mikroskopis poliarteritis nodosa (PAN). Pada tahun
1990, American College of Rheumatology dikembangkan kriteria klasifikasi
untuk beberapa jenis vaskulitis sistemik namun tidak membedakan antara
poliarteritis nodosa dan poliarteritis nodosa mikroskopis. [1] Pada tahun 1994,
41 | P a g e
1.8.4
Sign
&
Symptomp
Banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan MPA. Penyakit ini dapat
mempengaruhi banyak sistem organ tubuh termasuk (namun tidak terbatas pada)
ginjal, sistem saraf (terutama saraf perifer, sebagai lawan dari otak atau sumsum
tulang belakang), kulit, dan paru-paru. Selain itu, gejala umum seperti demam dan
penurunan berat badan yang sangat umum.
LIMA manifestasi klinis yang paling umum KPL adalah:
1. Radang ginjal (~ 80% dari pasien).
2. Penurunan berat badan (> 70%).
3. Lesi kulit (> 60%).
4. Kerusakan saraf (60%).
5. Demam (55%)..
42 | P a g e
1.8.6 Patofisiologi
Karena MPA sering dikaitkan dengan anti-antibodi sitoplasmik neutrofil (ANCA),
antibodi yang diarahkan terhadap konstituen tertentu dari sel darah putih
(leukosit), penyakit ini sering disebut sebuah "ANCA terkait vaskulitis", atau
AAV. ANCA, ditemukan pada tahun 1982, bertindak melawan tertentu yang
spesifik (dan alami) enzim dalam tubuh berada dalam neutrofil dan makrofag,
yang semuanya adalah anggota keluarga WBC. Hasil dari interaksi ANCA dengan
protein target mereka adalah peningkatan leukosit kehancuran di lokasi penyakit
dan pelepasan enzim-enzim sel darah putih di dalam dinding pembuluh darah,
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Dalam MPA, yang ANCA
umumnya diarahkan melawan dengan protein spesifik: myeloperoxidase (MPO)
dan proteinase 3 (PR3).
1.8.7 Treatment
Sebuah steroid (biasanya prednison) dalam kombinasi dengan agen sitotoksik
[biasanya dimulai dengan cyclophosphamide (CYC)] biasanya kombinasi pertama
obat yang diresepkan. Prednisone biasanya diminum setiap hari bersama dengan
CYC. Kedua obat ini diberikan dalam bentuk tablet umumnya dalam MPA
(prednison hanya datang dalam formulasi tablet). Setelah pengendalian penyakit biasanya sekitar 4 - 6 bulan pengobatan - CYC kemudian biasanya beralih ke
azathioprine (AZA) atau metotreksat (MTX). Prednisone biasanya dihentikan
setelah sekitar 6 bulan. (Untuk informasi tentang obat-obat ini, silakan lihat
halaman Perawatan kami.)
43 | P a g e
1.9.2
Etiologi
44 | P a g e
1.9.3 Epidemiologi
Gigantisme sangat jarang dijumpai. Di Eropa, setiap tahunnya hanya dilaporkan
3-4 kasus/1 juta penduduk. Kejadiannya pada wanta dan laki-laki sama. Laporan
adanya kasus ini di Indonesia juga sangat jarang. Dalam KONAS PERKENI II,
tahun 1989 di Surabaya, Wijasa dkk, melaporkan adanya kasus yang dirawat di
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
1.9.4
mengunyah
Suara terdengar dalam dan bergaung
Jari-jari tangan menebal
45 | P a g e
1.9.5
Faktor resiko
Lesi pituitari ekstrapiramidal atau tumor lain yang menyebabkan sekresi
hormon pertumbuhan manusia (human growth hormone-hGh) yang berlebihan.
Sekresi hGh yang berlebihan yang membuat seluruh bagian tubuh berubah
sehingga menyebabkan akromegali. Jika sekresi yang berlebihan ini terjadi
sebelum masa pubertas, penderita mengalami gigantisme.
Patofisiologi
1.9.7 Treatment
Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah :
a) Menormalkan kembali kadar GH atau IGF-1
b) Memperkecilkan tumor atau menstabilkan besarnya tumor
c) Menormalkan fungsi hiposis
Dikenal 3 macam terapi, yaitu:
A.
Terapi pembedahan
B. Terapi radiasi
Indikasi radiasi adalah sebagai terapi pilihan secara tunggal, kalau tindakan
operasi tidak memungkinkan, dan menyertai tindakan pembedahan kalau masih
terdapat gejala akut setelah terapi pembedahan dilaksanakan.
Radiasi memberikan manfaat pengecilan tumor, menurunkan kadar GH , tetapi
dapat pula mempengaruhi fungsi hipofisis. Penurunan kadar GH umumnya
mempunyai korelasi dengan lamanya radiasi dilaksanakan. Eastment dkk
menyebutkan bahwa, terjadi penurunan GH 50% dari kadar sebelum disinar
(base line level), setelah penyinaran dalam kurun waktu 2 tahun, dan 75% setelah
5 tahun penyinaran.
Peneliti lainnya menyebutkan bahwa, kadar HP mampu diturunkan dibawah 5
g/l setelah pengobatan berjalan 5 tahun, pada 50% kasus. Kalau pengobatan
dilanjutkan s/d 10 tahun maka, 70% kasus mampu mencapai kadar tersebut.
I.
Definisi
Kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) adalah kelumpuhan otot-otot
wajah, sehingga wajah pasien tampak tidak simetris pada waktu
berbicara dan berekspresi.
II.
Etiologi
Kongenital, infeksi (infeksi telinga tengah, infeksi intrakranial), tumor
(tumor intrakranial atau ekstrakranial), trauma kepala, gangguan
pembuluh darah (trombosis arteri karotis, arteri maksilaris, dan arteri
serebri media), dan idiopatik (Bells palsy).
III.
Epidemiologi
48 | P a g e
49 | P a g e
Faktor Resiko
>>Infeksi HIV
>>Penyakit Lyme
>>Infeksi telinga bagian tengah
>>Sarkoidosis
VI.
Patofisiologi
Cedera saraf wajah dapat lengkap atau sebagian. Umumnya, gangguan
parsial aliran axonoplasmal mengungkapkan kesempatan lebih besar
untuk pemulihan fungsional yang lengkap. Hilangnya fungsi motor
dapat diamati segera setelah cedera saraf wajah. Tergantung pada
batang yang terkena dampak dan lokalisasi (proksimal atau distal),
berbagai pola kehilangan fungsi motor dapat dilihat dan digunakan
untuk diagnosis utama dari situs lesi. Pembusukan otot serat signifikan
telah ditunjukkan saat denervasi telah hadir selama lebih dari 3 tahun.
Awal perubahan pada tingkat sel (sekitar 1 minggu setelah denervasi)
termasuk perubahan kromatin dan jumlah mitokondria meningkat,
DNA, dan sel-sel satelit, sehingga. Mencerminkan plastik keadaan otot
denervated.
Selain Temuan klinis dan histopatologi, fungsi parasimpatis seperti
sensasi air liur, lakrimasi, dan rasa juga mungkin terganggu.
VII.
Treatment
50 | P a g e
Bila gangguan hantaran ringan dan fungsi motor masih baik, terapi
ditujukan untuk menghilangkan edema saraf dengan memakai obatobatan anti edema/kortikosteroid, vasodilator, dan neurotonik serta
fisioterapi. Bila gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi
total, harus segera dilakukan tindakan operatif dengan teknik
dekompresi N. VII transmastoid.
VIII. Daftar Pustaka
Mansjoer Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media
Aesculaplus. Jakarta.
1.11 Sinusitis
I.
Definisi
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir
sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan
cairan atau kerusakan tulang di bawahnya. Sinus paranasal adalah ronggarongga yang terdapat pada tulang-tulang di wajah. Terdiri dari sinus frontal
(di dahi), sinus etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi kanan dan kiri),
sinus sfenoid (di belakang sinus etmoid). Sedangkan sinusitis kronik adalah
suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama
3-8 minggu tetapi dapat juga berlanjut sampai berbulanbulan bahkan bertahun-tahun.
II.
Etiologi
Epidemiologi
Rhinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per
tahun di Amerika dan jumlah yang mengunjugi rumah
sakit mendekati 16 juta orang.
[5,8]
Menurut National
IV.
52 | P a g e
V.
Faktor Resiko
Orang yang rentan terjadi peningkatan risiko mengalami sinusitis
kronis jika:
Tidak normalnya saluran pernapasan, seperti penyimpangan sekat
pada saluran pernapasan, atau polip
pernapasan
(GERD)
53 | P a g e
VI.
Patofisiologi
Edema pada kompleks osteomeatal menyebabkan mukosa sinus
paranasal yang saling berhadapan akan bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak. Akibatnya lendir tidak dapat dialirkan. Gangguan
drainase ini juga diiringi oleh gangguan ventilasi dalam sinus
paranasal. Selain kurang aktifnya silia, lendir yang dihasilkan oleh
mukosa sinus paranasal menjadi lebih kental. Keadaan ini menjadi
media yang baik bagi pertumbuhan bakteri patogen. Bila sumbatan ini
berlangsung terus-menerus maka dapat terjadi hipoksia jaringan,
retensi lendir dan perubahan jaringan. Retensi lendir menimbulkan
infesksi bakteri anaerob. Jaringan dapat berubah menjadi hipertrofi,
polipoid, polip, atau kista.
VII.
Tata Laksana
Terapi yang dapat dilakukan pertama kali seperti
mengontrol faktor-faktor resiko karena sinusitis kronik
memiliki banyak faktor resiko dan beberapa penyebab
yang berpotensial. Selain itu, terapi selanjutnya yaitu
mengontrol gejala yang muncul serta pemilihan
antimikrobial (biasanya oral) yang di pakai.
Tujuan utama dari terapi dengan menggunakan obat
yaitu untuk mengurangi infeksi, mengurangi kesakitan
dan mencegah terjadinya komplikasi. Adapun berikut
beberapa contoh antibiotik yang digunakan seperti :
Vancomycin (Lyphocin, Vancocin, Vancoled) => Adult :
1 g or 15 mg/kg IV q12h, Pediatric : 30-40 mg/kg/d IV in
2 doses
54 | P a g e
BAB II
Daftar Pustaka
55 | P a g e
1.Guyton, A.C & Hall, J.E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Philadelphia: Elsevier-Saunders: 968-970, 973. EGC
2.Price, S. A & Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Philadelphia : Elsevier-Saunders : 1217-1219. EGC
3.Persatuan Ahli Penyakit Dalam. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2.
Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit FKUI: 799-807.
4.Anonim. 2006. Achondroplasia.
http://www.scumdoctor.com/Indonesian/disease-prevention/geneticdisorders/achondroplasia/What-Is-Achondroplasia.html.
5.Gardner GC. Vasculitis. In: Eisenberg MS, Dugdale DC. (Ed). Medical
Diagnostics.Philadelphia. WB Saunders 1992. p. 738-46.
6.Gay RM, Ball GV. Vasculitis. In: Koopman WJ. (Ed). Artritis and Allied
Conditions. ATextbook of Rheumatology. Baltimore, Maryland. William &
Wilkins 1997. p. 1491-517.
7.Mansjoer Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculaplus.
Jakarta
56 | P a g e