Anda di halaman 1dari 29

Makalah Diskusi Kelompok

Pemicu 5
Modul Neuroscience

Disusun oleh kelompok 10 :

Afiati
Andhini Rezkia Enhas
Fahrizal Haris Harahap
M. Bustomy Chusnul M
Niken Nurul Paramesti
Rhandy Septianto
Rissa Adinda Putri
Ulfa Rosliana Putri
Tazkiatul Firdaus

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH SubhanahuWaTaalaa atas rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami sebagai rahmat lilalamin.
Makalah ini disusun berdasarkan sumber-sumber yang kami dapat. Pola maupun sistem
penyajian isi di dalam makalah ini diupayakan agar telihat bagus dan menarik.
Tidak ada harapan lain dari kami, semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat
menambah pengetahuan kita. Tiada gading yang tak retak demikian pepatah mengatakan.
Karena itu tiada menutup kemungkinan jika dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, segala kritik dan saran kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan akan kami terima dengan senang hati.
Kami berharap semoga makalah kami ini dapat di terima oleh pembaca.mohon di
bukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kata-kata yang salah dan penyinggung
perasaan pembaca.
Akhir kata,kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami
dalam proses pengerjaan makalah ini.

Ciputat, 15 Juli 2012

Kelompok 10

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN...............................................................................................
1.1 Pemicu....................................................................................................................
1.2 Identifikasi Fakta...................................................................................................
1.3 Rumusan Masalah..................................................................................................
1.4 Analisis Masalah....................................................................................................
1.5 Hipotesis........................................................................................................
1.6 Learning Issues......................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................................
Nyeri........................................
Obat Pada Sistem Saraf...........................................................................................
Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Obat........................................................
Mekanisme Obat Penghilang Nyeri........................................................................
Mekanisme Ketergantungan Obat Analgesik Opioid.............................................
Ketergantungan Obat : Toleransi dan Putus Obat...................................................
Mekanisme Berkeringat...........................................................................................
Fraktur Femur.......
Regenerasi Sistem Saraf.......
Tungkai Dapat Digerakkan Kembali
Neurorehabilitasi..
BAB III : PENUTUPAN....................................................................................................
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

2
3
4
4
4
4
5
6
6
7
7
15
16
17
18
20
21
22
24
24
26
28
28
29

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Tungkai atas sukar digerakkan dan nyeri
Seorang laki-laki 26 tahun datang dengan keluhan ungkaikanannya sukar digerakkan sejak
keluar dari RS 3 bulan lalu. Pasien dirawat selama 2 minggu karena kecelakaan dengan patah
tulang pada pahanya. Pada saat keluar dari RS, tungkai kanannya sama sekali tidak dapat
digerakkan tetapi berangsut-angsur dapat digerakkan dan masih sering terasa nyeri sampai
berkeringat. Pasien mendapat obat-obat untuk menghilangkan rasa nyerinya. Setelah obat dari
dokter habis, dia menangani sendiri rasa nyerinya tersebut dengan obat yang dibelinya di took
obat atas anjuran temannya. Nyerinya akan hilang setelah minum obat, tetapi akan timbul
setelah beberapa jam kemudian. Sejak 2 bulan terakhir dirasakannya obat yang diminum baru
memberikan efek jika dosisnya ditingkatkan. Bila tidak diminum obat tersebut akan pusing,
mual, nyeri berlebihan.
1.2 Identifikasi Fakta

Laki-laki usia 26 tahun, 3 bulan lalu keluar dari RS karena tulang paha patah

Tungkai kanan sukar digerakkan, berangsur-angsur dapat digerakkan tapi merasa


nyeri dan berkeringat.

Pasien diberi obat penghilang nyeri, setelah habis dia beli sendiri dan rasa nyeri
menjadi hilang timbul.

Obat berefek ketika dosis ditingkatkan sejak 2 bulan terakhir, bila tidak minum obat
akan merasa nyeri, pusing, dan mual.

1.3 Rumusan Masalah


Mengapa tungkai sulit digerakkan setelah fraktur 3 bulan yang lalu dan bagaimana pengaruh
obat pada rasa nyeri yang hilang timbul ?

1.4 Analisis Masalah

Pria, 26
tahun
Obat analgesic
opioid
Berikatan dengan
reseptor opioid di
substansi gelatinosa
kornu posterior
medula spinalis

NYERI AKUT , 3 bulan


pasca fraktur tulang
paha.
Traktus
spinotalamik
us
Persepsi
nyeri

Menghambat
pengeluaran
substansi P
Tidak
nyeri

Siste
m
Limbi
k

Hipotalam
us
Aktivitas
simpatis
Sekresi

Adaptasi
seluler

Sindrom
putus obat

Down
regulation
reseptor

Ketergantungan

Dosis untuk efek


sama
Toleransi

Lesi
Degenerasi
akson neuron
motoric,
N.ischiadikus

Regenerasi
akson dan
neurorehabilit
asi

Sulit
digerakkkan

Dapat
digerakkan

1.5 Hipotesis

Tungkai kanan sulit digerakkan karena adanya lesi pada neuron motoric dan karena
pegaruh rasa nyeri.

Dosis dan obat yang sesuai berpengaruh pada efektivitas obat.

1.6 Learning Issues


1. Bagaimana mekanisme obat penghilang nyeri ?
2. Bagaimana fraktur dapat menyebabkan neuropati dan neuroplegi ?
3. Saraf apa yang rusak dan mempengaruhi pergerakkan tungkai ?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya nyeri dan apa saja jenis-jenis nyeri?
5. Apa saja yang mempengaruhi efektivitas kerja obat ?
6. Mengapa setelah pasien tidak meminum obat, timbul gejela neurologis lain ?
7.Mengapa tungkainya berangsur-angsur dapat digerakkan dan apa saja faktor yang
mempengaruhi ?
8. Bagaimana neurorehabilitasi pada kasus tersebut ?
9. Mengapa pasien berkeringat pada saat mencoba menggerakkan tungkainya ?
10. Obat apa saja yang berpengaruh pada system saraf ?

BAB II
PEMBAHASAN

Nyeri

Defenisi

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan
kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam kerusakan
tersebut.

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh
yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena
letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini
biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi
dalam dua komponen yaitu :
-

Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan.

Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,
pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya
komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral
seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini
biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer, Zat kimia (substansi P,
bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu
mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang
terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord
(daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan
ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan
pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi
nyeri dipersepsikan.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba
menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap
paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan
dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak
mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat
saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A
dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi
nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti
endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator
ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik
distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin
(Potter, 2005)

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:


1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri
dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika pasien merasakan nyeri, karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap
orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda
antara satu orang dengan orang lain. Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu
menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang
sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klasifikasi Nyeri
1. Berdasarkan Letak Nyeri
- Nyeri Neuropatik Perifer
Pada nyeri neuropatik perifer letak lesi di sistem perifer, mulai dari saraf tepi, ganglion radiks
dorsalis sampai ke radiks dorsalis. Contoh: Diabetik Periferal Neuropati (DPN), Post
Herpetik Neuralgia (PHN), Trigeminal neuralgia, CRPS tipe I, CRPS tipe II.
- Nyeri Neuropatik Sentral
Letak lesi dari medula spinalis sampai ke korteks. Contoh: Nyeri post stroke, Multiple
Sclerosis, Nyeri post trauma medula spinalis.
2. Berdasarkan waktu terjadinya
- Nyeri Neuropatik Akut
Nyeri yang dialami kurang dari 3 bulan. Contoh Neuralgia herpetika, Acute Inflammatory
Demyelinating Neurophaty.
- Nyeri Neuropatik Kronik
Nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan. Nyeri neuropatik kronis juga dibedakan menjadi:
a. Malignan (nyeri keganasan, post operasi, post radioterapi, post chemoterapi
b. Non Malignan (neuropati diabetika, Carpal Tunnel Syndrome, neuropati toksis, avulsi
pleksus, trauma medula spinalis, neuralgia post herpes).

Karakteristik nyeri akut dan kronis


Gejala dan tanda
Nyeri bisa berupa nyeri tajam, tumpul, rasa terbakar, geli, menyentak (shooting) yang
bervariasi dalam intensitas dan lokasinya. Nyeri akut dpt mencetuskan hipertensi, takikardi,
midriasis, tapi tidak bersifat diagnostik. Untuk nyeri kronis seringkali tidak ada tanda yang
nyata. Perlu diingat : nyeri bersifat subyektif
Perbandingan karakteristik nyeri akut dan nyeri kronik
Karakteristik

Nyeri Akut

Nyeri Kronik

Awal dan durasi


Mendadak,

durasi

singkat,Bertahap, menetap, lebih lama dari

kurang dari 6 bulan

6 bulan

Intensitas

Sedang sampai parah

Sedang sampai parah

Penyebab

Spesifik, dapat diidentifikasi

Kausa mungkin jelas, mungkin

secara biologis

tidak

Respons fisiologik

Hiperaktivitas

autonom

dapat

yg

Aktivitas autonom normal

diperkirakan:

meningkatnya tek.darah, nadi,


dan

napas;

kepucatan;

dilatasi

pupil;

perspirasi;

mual

dan/atau muntah
Respons emosi/perilaku

Cemas,

tidak

berkonsentrasi,
mengalami
optimis

Respons terhadap anagesik

mampu

Depresi

gelisah,

imobilitas fisik, tidak melihat

distres

bahwa

nyeri

tetapi
akan

akan

dan
harapan

memperkirakan

kelelahan,
kesembuhan,
nyeri

akan

hilang

berlangsung lama

Meredakan nyeri secara efektif

Sering kurang dapat meredakan


nyeri

3. Berdasarkan asalnya:
- Nyeri nosiseptif (nociceptive pain)
- Nyeri perifer asal: kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dll nyeri akut, letaknya lebih
terlokalisasi.

- Nyeri visceral/central lebih dalam, lebih sulit dilokalisasikan letaknya.


Istilah Yang Berkaitan Dengan Nyeri
- Nyeri Neuropatik
Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer sistem saraf. Nyeri Neuropatik berbeda
dari nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik biasanya bertahan lebih lama dan lebih sulit diobati.
Mekanismenya mungkin karena dinamika alami pada sistem saraf. Pasien mungkin akan
mengalami: rasa terbakar, tingling, shock like, shooting, hyperalgesia atau allodynia.
- Nyeri Neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi , disfungsi atau gangguan sementara primer
pada sistem saraf pusat atau perifer.
- Neuralgia
Nyeri pada daerah distribusi saraf
- Neuritis
Inflamasi pada sistem saraf
- Neuropati
Gangguan fungsi atau perubahan patologis pada saraf jika mengenai 1 saraf disebut
mononeuropati. Pada beberapa saraf disebut mononeuropati multipleks, jika bersifat difus
dan bilateral disebut polineuropati.
- Alodinia
Nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri
- Hiperalgesia
Respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri.
- Hiperestesia
Meningkatnya sensitivitas terhadap stimulus, tidak termasuk didalamnya sensasi khusus
(indera lain).
- Hiperpatia
Sindroma dengan nyeri bercirikan reaksi nyeri abnormal terhadap stimulus, khususnya
terhadap stimulus berulang, seperti pada peninggian nilai ambang.
- Disestesia
Sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, baik bersifat spontan maupun dengan pencetus.
- Parestesia
Sensasi abnormal, baik bersifatspontan maupun dengan pencetus.
- Analgesia
Tidak adanya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal menimbulkan
nyeri.
- Hipoalgesia
Berkurangnya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal menimbulkan
nyeri.
- Anestesia
Hilangnya sensitivitas terhadap stimulus tidak termasuk sensasi khusus (indera lain).
- Hipoestesia
Menurunnya sensitivitas terhadap stimulus, kecuali sensasi khusus (indera lain).
- Kausalgia

Sindroma yang timbul pada lesi saraf pasca trauma yang ditandai nyeri seperti terbakar,
alodinia, hiperpatia yang menetap, seringkali bercampur dengan disfungsi vasomotor serta
sudomotor dan kemudian diikuti oleh gangguan trofik.
- Nyeri sentral
Nyeri yang didahului atau disebabkan atau disfungsi primer pada sistem saraf pusat.
- Nyeri Neuropatik Perifer
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer sistem saraf perifer.
- Nosiseptor
Reseptor yang sensitif terhadap stimulus noksius (yang merusak) atau terhadap stimulus yang
merusak apabila berkepanjangan.
- Stimulus Noksius
Stimulus yang menimbulkan kerusakan terhadap jaringan tubuh normal.
- Nilai Ambang Nyeri
Intensitas stimulus terkecil yang dapat dirasakan sebagai nyeri.
- Tingkat Toleransi Nyeri
Tingkat nyeri terbesar yang mampu ditoleransi subyek.
- Trigger Point
Titik dalam satu area tertentu pada otot dan/ atau fasianya yang menimbulkan pola nyeri
menjalar yang khas, dapat berupa kesemutan atau baal sebagai reaksi terhadap tekanan yang
agak lama.
-Tender Point
Nyeri lokal yang timbul pada otot, ligamentum, tendo atau jaringan periosteum pada
penekanan yang agak lama.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri


1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada
anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau
mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (tidak pantas kalo laki-laki mengeluh
nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana
mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi
nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama
timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,
pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang
yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
0

:Tidak nyeri

1-3

: Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6

: Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat menunjukkan

lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.


7-9
masih

: Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10

: Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi, berkomunikasi, memukul.

Obat Pada Sistem Saraf

Obat Hipnotik sedatif, menurunkan tingkat depresi pada sistem saraf pusat dan
menimbulkan kanruk serta mempertahankan keadaan tidur. Contoh : Golongan
barbiturat dan Benzodiazepin.

Alkohol, dalam jumlah sedikit sampai sedang dapat menghilangkan ansietas serta
membantu membuat perasaan menjadi lebih baik dan bahkan eurofia.

Obat antikejang, kejang merupakan suatu episode disfungsi otak yang terbatas, timbul
akibat cetusan listrik abnormal neuraon serebral. Contoh : fenitoin, karbamazepin.

Anestetik umum, kondisi fisiologis yang diinduksi oleh zat anestesi umum meliputi
hilangnya kesadaran, terhambatnya sensoris dan refleks otonom, serta relaksasi otot
rangka. Contoh : anestetik intravena : proponol, ketamin, anelgesik opioid (morfin,
fentalin, sufentanil, alfentanil, remifetanil).

Analgesik Opioid, opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium,
Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk
morfin. Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin
(diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone (Dilaudid).
Obat yang digunakan sebagai analgesik-opioid sangat berguna untuk meredakan rasa
nyeri. Semua analgesik-opioid dapat menimbulkan adiksi (kecanduan). Beberapa
contohnya: meperidin, metadon, levorvanol, fenazosin, propoksifen, dan derivat
fenilpiperidin (alfaprodin, anileridin).
Jika obat analgesik diberikan dalam dosis kecil (5-10 mg) pada orang yang sedang
nyeri atau sedih maka orang tersebut akan merasa senang dan nyeri tidak terasa/atau
berkurang , namun sebaliknya jika diberikan pada orang yang normal maka orang
tersebut akan merasa gelisah, khawatir, dan perasaan tidak senang. Obat analgesik
tidak menghilangkan fungsi sensorik lain (rasa raba, rasa getar, penglihatan dan
pendengaran. Obat analgesik meningkatkan ambang rasa nyeri dan mempengaruhi
emosi (jika ia telah sadar rasa nyeri) serta memudahkan tidur (waktu tidur ambang
rasa nyeri juga meningkat).
Dengan cara apapun obat tersebut masuk diabsorbsi dengan baik (baik secara oral
maupun IV) dan metabolismenya berlangsung dihati.

Analgesik antipiretik, merupakan obat analgesik ringan (analgesik non narkotik).


Kelompok obat ini umumnya memperlihatkan efek anti inflamasi. Sering kali efek
inflamasinya lebih menonjol daripada efek analgesiknya sehingga hanya digunakan
sebagai anti inflamasi.

Efek analgesik:

Hanya menghilangkan rasa nyeri ringansedang, contohnya nyeri kepala, mialgia,


artralgia.
Menghilangkan nyeri secar sentral ataupun
perifer:
Sentralbekerja pada hipothalamus
Perifermenghambat sintesis prostaglandin di
tempat inflamasi
Efek antipiretik:

Menurunkan suhu tubuh, mengembalikan kondisi termostat di hipothalamus hingga


normal

Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Kerja Obat


1. Macam cara pemberian obat
Intravenous Injections (i.v.)
Intramuscular Injections (i.m.)
Subcutaneous Administration (s.c.)
Intraperitoneal Injections (i.p.)
Inhalation
Oral Administration (p.o.)
Other ( Sublingual, Topical, Transdermal )

2. Potensi
Pengertian: range dosis yang dapat menimbulkan efek biologis. Misalnya obat A
bisa memicu respon dengan dosis 10 mg sementara obat B bisa memicu respon dengan
dosis hanya 1 mg, maka obat B lebih poten dari obat A. Faktor yang menentukan:
konsentrasi dan afinitas obat.
Seperti afinitas, potensi menggambarkan kekuatan ikatan antara obat dan
reseptor. Kekuatan suatu ikatan dapat diukur (dikuantifikasi) dengan melihat nilai

afinitas dan konstanta disosiasi (KD = konsentrasi obat yang menghasilkan setengah dari
efek maksimum). Nilai afinitas berbanding terbalik dengan KD.
Reseptor memiliki titik jenuh (Bmax), yaitu ketika situs aktif reseptor telah
terisi sepenuhnya oleh ligan. Pada tahap ini, apabila dosis obat ditambah maka obat
tersebut tidak akan diikat oleh reseptor target. Obat tersebut bisa jadi mengenai
reseptor/sel/jaringan lain dan justru menyebabkan kerjanya tidak lagi spesifik.
3. Efficacy
Pengertian: respon biologis yang muncul dari suatu kejadian fisik (dalam hal ini
pengikatan obat oleh reseptor). Misalnya pada dosis yang sama, obat antihipertensi A
dalam menurunkan tekanan darah sebesar 30 mmHg sedangkan obat B sebesar 10
mmHg, maka dapat dikatakan efikasi obat A lebih tinggi dari obat B. Ditentukan oleh
aktivitas intrinsik obat dalam tubuh
Obat dengan potensi lebih tinggi tidak selalu memiliki efikasi yang lebih tinggi.
Misalnya pada obat A dan B tadi, butuh dosis lebih besar bagi obat A sebelum bisa
memberikan efek (potensi A<B), tetapi efek yang dihasilkan lebih besar dari obat B
(efikasi A>B).
Mekanisme Obat Penghilang Nyeri (Analgesik)
Analgesik adalah golongan obat penghilang nyeri tanpa menimbulkan kehilangan
kesadaran. Ada 2 tipe analgesik :
-

NSAIDs (Non-Steroid Anti-Inflamation Drugs), seperti parasetamol.


Opioid, seperti morfin.

Mekanisme Kerja Analgesik Opioid


Reseptor opioid terdapat 4 , yaitu reseptor (mu), reseptor (kappa), reseptor (sigma),
dan reseptor (delta)

Opioid bekerja dengan aksi seluler maupun molekuler, yaitu :

Aksi seluler. Opioid bekerja dengan menutup kanal Ca2+ pada presinaps sehingga
terjadi penurunan pelepasan transmitter. Selain itu, opioid juga bekerja dengan
menghiperpolarisasi (pembukaan kanan K+), sehingga hiperpolarisasi berlangsung
lama, dan lama juga untuk kembali ke potensial membran istirahat untuk menerima
rangsang.
Aksi molekuler. Opioid bekerja dengan menghambat enzim adenilil siklase, sehingga
pembentukan cAMP terhambat. cAMP dapat membangkitkan potensial aksi.
Mekanisme Kerja Analgesik NSAIDs
Pada golongan NSAIDs, bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin.
Fungsiprostaglandin sendiri adalah untuk menstimulasi saraf perifer untuk
mengantarkan pesan nyeri ke otak.
Mekanisme Ketergantungan Obat Analgesik Opioid
Pasien pada pemicu merasa efek obat baru terasa saat dosis ditingkatkan. Hal ini
dinamakan toleransi. Pemberian ulang morfin (agonis penuh pada reseptor opioid )
atau penggantinya dalam dosis terapi secara terus-menerus, terjadi penurunan
efektivitas secara perlahan, yaitu toleransi, akibat dari homeostasis. Untuk kembali
menghasilkan respon awal harus diberikan dosis yang lebih besar. Toleransi silang
merupakan ciri opioid yang sangat penting; pada keadaan ini, pasien yang toleran
terhadap morfin menunjukan penurunan respon terhadap analgesic serta opioid
lainnya. Pernyataan ini terutama yang memiliki aktivitas utama sebagai agonis
reseptor . Penelitian neurobilogik terbaru menghasilkan pemisahan konseptual dan
mekanistik antara ketergantungan (dependence) yang dulu disebut ketergantungan
fisik dan kecanduan (addiction) yang dulu disebut ketergantungan psikologis.
Ketergantungan fisik selalu menyertai toleransi pada pemberian berulang opioid tipe
. Jika tidak melanjutkan konsumsi obat akan menimbulkan sindrom putus obat atau
abstinensia. Ketergantungan ditandai dengan kombinasi berbagai tanda dari sindrom
putus obat.
Kecanduan, merupakan tindakan penggunaan obat berulang dan kompulsif meskipun
terdapat konsenkuensi negative, kadang dipicu oleh ketagihan yang terjadi sebagai
respons rangsang konstektual. Ketergantungan dan kecanduan biasanya terjadi pada
orang yang menyalahgunakan obat. Tetapi, ketergantungan tidak selalu identik dengan
penyalahgunaan obat. Ketergantungan dapat juga disebabkan oleh berbagai obat
simpatomimetik, seperti vasokonstriktor, dan bronkodilator simpatomimetik,
vasodilator nitrat organic.
Sistem dopamine mesolimbik diungkapkan sebagai sasaran utama dari obat adiktif.
Sistem ini berasal dari area tegmentum ventral (ATV), suatu bangunan kecil di ujung
batang otak, yang menonjol ke nucleus akumbens, amigdala, dan korteks prefrontal.
Kebanyakan neuron proyeksi dari ATV merupakan neuron yang menghasilkan
dopamine yang bila mulai melakukan potensial aksi akan membebaskan banyak
dopamine ke dalam nucleus akumbens dan korteks prefrontal. Pemberian obat secara

langsung kedalam ATV juga berperan sebagai penguat yang poten, dan pemberian
sistemik obat yang disalahgunakan menyebabkan pembebasan dopamine. Semua obat
adiktif mengaktifkan sistem dopamine mesolimbik. Makna perilaku peningkatan
dopamine ini sebenarnya masih diperdebatkan. Hipotesisnya adalah dopamine
mesolimbik menyandi perbedaan antara imbalan yang diharapkan (ekspektasi) dan
yang sebenarnya (actual) sehingga membentuk suatu sinyal pembelajaran yang kuat.

Katzung, G. Bertram. 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik; Edisi Sepuluh. Jakarta:
EGC
Dopamine pada mesolimbik dipercaya merupakan zat neurobiokimiawi yang
berkaitan dengan kenikmatan (pleasure) dan imbalan (reward). Selama decade
terakhir, berbagai temuan eksperimental menemuan revisi. Pelepasan dopamine fasik
sebenarnya lebih menandakan prediksi adanya penyimpangan penerimaan imbalan
daripada imbalan itu sendiri. Sistem mesolimbik terus memantau situasi
diterima/tidaknya imbalan. Sistem ini meningkatkan aktivitasnya ketika imbalan yang
diterima lebih besar daripada yang diperkirakan, dan berhenti beraktivitas ketika yang
sebaliknya terjadi; dengan demikian, sistem dopamine mesolimbik dapat
memperkirakan adanya penyimpangan prediksi imbalan.
Pada keadaan fisiologik, sinyal dopamine mesolimbik merupakan suatu sinyal
pembelajaran yang berperan membentuk adaptasi perilaku yang konstruktif. Obatobat adiktif yang secara langsung meningkatkan dopamine akan menghasilkan suatu
sinyal pembelajaran yang kuat tetapi tidak tepat sehingga membajak sistem imbalan
dan menimbulkan efek penguatan yang patologik, konsumsi obat yang terus
bertambah, dan kecanduan.hal ini menyatakan bahwa kadar dopamine yang tinggi

mungkin merupakan sumber perubahan adaptif yang mendasari ketergantungan dan


kecanduan.
Ketergantungan Obat: Toleransi dan Putus obat
Akibat pajanan lama terhadap obat adiktif, otak menunjukkan tanda adaptasi seperti
dosis yang harus ditingkatkan untuk mempertahankan efek imbalan atau analgesiknya
(toleransi). Toleransi dapat menimbulkan efek samping seperti depresi napas dan bila
overdosis bisa menimbulkan kematian. Toleransi terhadap opioid dapat terjadi akibat
penurunan konsentrasi obat atau pemendekkan durasi kerjanya pada sistem sasaran
(toleransi farmakokinetik). Selain itu, toleransi melibatkan perubahan pada fungsi
reseptor opioid (toleransi farmakodinamik). Bahkan, banyak agonis reseptor opioid
menghasilkan fosforilasi reseptor kuat yang memicu perekrutan protein adaptor arrestin sehingga protein G terlepas dari reseptornya dan terinternalisasi dalam
hitungan menit. Hal ini dapat mengurangi penyampaian sinyal sehingga cenderung
terjadi toleransi.
Morfin yang sangat memicu toleransi tidak merekrut -arrestin dan juga tidak
menyebabkan internalisasi reseptor. Sebaliknya, agonis lain yang menjalankan
internalisasi reseptor hanya memicu toleransi sedang. Berdasarkan pengamatan ini,
muncul hipotesis bahwa desensitisasi dan internalisasi reseptor sebenarnya
melindungi sel dari overstimulasi. Pada model ini, morfin, karena tidak memicu
endositosis reseptor, secara tidak proporsional merangsang proses adaptif, yang pada
akhirnya menimbulkan toleransi. Walaupun masih diteliti, identitas molecular proses
ini mungkin serupa dengan yang ada pada keadaan putus obat.
Perubahan adaptif terlihat setelah pajanan obat dihentikan (putus-obat). Pada
penelitian hewan pengerat, terlihat ketergantungan, seperti analgesia dan imbalan,
tidak dijumpai pada mencit yang reseptor opioid -nya telah dirusak, tetapi dijumpai
pada mencit yang tidak memiliki reseptor opioid lainnya (, ). Meskipun aktivasi
reseptor opioid awalnya sangat menghambat adenilil siklase, inhibisi ini akan
melemah dalam beberapa hari setelah pemajanan berulang. Melemahnya inhibisi ini
adenilil siklase ini terjadi akibat adaptasi balik sistem enzim selama terpajan terhadap
obat sehingga menghasilkan produksi cAMP (adenosim monofosfat siklik) yang
berlebihan selama masa putus obat. Beberapa mekanisme respons kompensasi adenilil
siklase adalah pertambahan (up-regulation) trankripsi enzim ini. Peningkatan kadar
cAMP pada saatnya sangat mengaktifkan faktor transkripsi CREB, menyebabkan
regulasi gen down-stream. Salah satu gennya adalah gen untuk ligan opioid
endogen, yaitu dinorfin. Selama putus-obat, neuron nucleus akumbens menghasilkan
banyak dinorfin, yang kemudian dilepaskan bersama dengan GABA ke dalam neuron
proyeksi ATV. Sel-sel ini mengekspresikan reseptor opioid pada ujung sinaptik dan
dendrite mereka. Akibatnya, sel-sel ini dihambat sehingga pelepasan dopamine
menurun. Mekanisme ini menjadi contoh proses adaptif yang terjadi selama
ketergantungan, dan mungkin mendasari disforia selama putus-obat. Sindrom putus

obat yang muncul dapat sangat berat (kecuali kodein) dan meliputi mual, atau muntah
seperti pada pemicu ini. Lalu bisa juga terjadi disforia kuat, nyeri otot, lakrimasi,
rinorea, midriasis, piloereksi, berkeringat, diare, menguap, dan demam. Di luar
sindrom putus obat, yang bertahan tidak lebih dari beberapa hari, hanya sedikit
individu mengalami kecanduan yang mendapat opioid sebagai obat analgesic.
Sebaliknya jika opioid digunakan hanya untuk tujuan kesenangan maka akan menjadi
kecanduan (sangat adiktif).

Katzung, G. Bertram. 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik; Edisi Sepuluh. Jakarta:
EGC

Kasus : Pria berkeringat saat menggerakkan kakinya


Mekanisme berkeringat
1. Fisiologis
Rangsangan area preoptik di bagian anterior hipotalamus baik secara listrik atau oleh
panas yang berlebihan akan menyebabkan berkeringat. Impuls saraf dari area yang
menyebabkan berkeringat ini ini dihantarkan melalui jaras otonom ke medula spinalis
dan kemudian melalui jaras simpatis mengalir ke kulit di seluruh tubuh. Keringat
dipersarafi oleh serabut-serabut saraf kolinergik yaitu serabut yang menyekresikan
asetilkolin tetapi berjalan bersama dengan saraf simpatis di serabut adrenergik.
2. Patologis
Pada pasien yang merasakan nyeri akan memperlihatkan respon neurologik yang
terukur yang disebabkan oleh stimulasi simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas
autonom. Perubahan-perubahan ini mencakup takikardi, takipnea, meningkatnya
aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah, dan dibebaskannya katekolaminsuatu respon stres yang khas. Kekuatan otot lokal juga mungkin terjadi, dalam suatu

usaha involunteer agar daerah yang cedera tidak bergerak. Intensitas respon simpatis
secara umum setara dengan derajat stimulasi reseptor nyeri. Oleh karena itu, ketika
pasien berusaha menggerakkan, serabut saraf yang berada di lokasi cedera
menjalarkan rasa nyeri dengan dua jalur yaitu ke korteks untuk persepsi nyeri dan ke
system limbic untuk pengaturan emosi. System limbic dapat mempengaruhi sistem
saraf otonom, terutama simpatis sehingga pengalaman tidak menyenangkan dapat
menghasilkan emosi yang akan menstimulus hipotalamus untuk meningkatkan
aktivitas system saraf otonom yaitu merangsang saraf simpatis untuk bekerja lebih
dominan, sehingga produksi keringat meningkat.
Fraktur
Fraktur Femur
Fraktur Femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot , kondisi-kondisi tertentu seperti
degenerasi tulang/osteoporosis. Batang Femur dapat mengalami fraktur akibat trauma
langsung, puntiran, atau pukulan pada bagian depan yang berada dalam posisi fleksi
ketika kecelakaan lalu lintas.
Tanda dan Gejala :
a. Nyeri hebat ditempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas
bawah
c. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum,
seperti : fungsi berubah, bengkak, sepsis pada
fraktur terbuka dan deformitas

Nervus ischiadicus merupakan saraf motoris perifer yang apabila terganggu akan
terjadi gejala kelumpuhan atau kelemahan pada otot yang dipersarafinya. Kelemahan
tersebut bersifat lemas (flaksid) atau menurunnya tonus otot (hipotoni atau bahkan
atoni). Refleks otot juga akan menghilang. Nervus ischiadicus juga mengandung
serabut sensorik dari radiks dorsalis Lumbal IV sampai dengan Sakral III. Bagian
distalnya bercabang dua yaitu
Permukaan

nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.

anteroeksternal dari tungkai bawah dan

dorsum pedis

merupakan

kawasan nervus peroneus, sedangkan telapak kaki, tumit, dan permukaan tepi luar
kaki termasuk kawasan sensorik nervus tibialis.
Aktivitas refleks tonus ini dihambat oleh saraf yang berjalan di dalam traktus
piramidalis. Bila traktus piramidalis mengalami kerusakan, hambatan ini berkurang
sehingga tonus meninggi dan terjadilah kekakuan otot. Pada otot tungkai, otot-otot
ekstensor lebih kuat daripada otot fleksor.

Regenerasi Sistem Saraf


Regenerasi sel neuron yang efektif tidak dapat terjadi di dalam sistem saraf pusat.
Walaupun demikian sel-sel glia dapat mengalami proliferasi dalam merespon cedera
(gliosis).
Kerusakan saraf tepi akan mengenai akson dan jaringan penyangga seperti sel
schwann. Apabila saraf ini putus, bagian proksimal akaon akan mengalami degenerasi
sejauh 1-2 nodus. Bagian distal akan mengalami degenerasi wallerian yang diikuti
dengan proliferasi sel schwann untuk mengantisipasi pertumbuhan kembali akson.
Apabila letak kedua ujung itu tepat dan baik, akson dapat tumbuh kembali sesuai
dengan jalur sebelumnya ( yang sekarang telah dipenuhi oleh sel schwann yang
berproliferasi). Penyembuhan fungsi secara penuh jarang terjadi. Bila letak kedua
ujung tersebut tidak baik atau saraf terputus ujung akson yang terputus tetap
berproliferasi secara tidak teratur sehingga menghasilkan massa akson dan stroma
yang tidak teratur yang disebut neuroma amputasi. Kadang-kadang keadaan ini
menyebabkan nyeri sehingga haris diangkat. Faktor yang mempengaruhi
penyembuhan:

Umur
Gangguan nutrisi
Gangguan neoplasia
Sindroma cushing dan pengobatan sterroid
Diabetes melitus dan imunosupresi
Gangguan veskuler
Denervasi

Tungkai berangsur-angsur dapat digerakan


Kaki secara berangsur-angsur dapat digerakan karena adanya pemulihan neuron
setelah cedera berupa regenerasi akson di saraf tepi. Jadi nucleolus akan bergerak ke
tepi nucleus dan kelompok polisom terlihat kembali di sitoplasma. Hal ini
menunjukan bahwa sintesis RNA dan protein dipercepat untuk mempersiapkan
reformasi akson. Selanjutnya terjadi rekontruksi struktur substansia nissl,
pembengkakan badan sel semakin berkurang, dan posisi nucleus kembali ke tengah.
Setelah cedera, sel-sel Schwann di ujung distal berkembang biak dan mengubah
fungsi elektrik akson untuk mendukung pertumbuhan untuk regenerasi serat
saraf. Adanya sel Schwann di ujung saraf distal penting untuk regenerasi setelah
cedera saraf.

Gambar 10.Proses regenerasi soma pada sel saraf


Kisner, et.al.(1996). Therapeutic Exercise Foundation and Techniques.
Edisi 3.
Sel saraf berusaha untuk memperbaiki kerusakan, melakukan regenerasi juluran saraf
yang rusak dan memperbaharui fungsinya dengan cara menstimulus serangkaian
proses metabolisma dan proses struktural yang dikenal sebagai reaksi akson.
Berdasarkan lokasi terjadinya reaksi akson ini di bagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Reaksi lokal (local reaction): reaksi yang terjadi pada tempat traumanya. Ke dua
ujung yang mengalami trauma akan saling berusaha mendekat dan menyatu guna
menutup ke dua puntung yang terpotong dan mencegah hilangnya bagian sitoplasma
akson. Makrofag kemudian datang untuk memakan dan membersihkan daerah yang
luka dari debris.
2. Reaksi anterograde (anterograde reaction): reaksi yang terjadi pada bagian distal
dari tempat trauma. Ujung akson menjadi hipertrofi dan berdegenerasi dalam waktu
seminggu, sehingga kontak dengan membran pasca-sinaps akan berakhir. Sel
Schwann kemudian akan berproliferasi, memfa- gositasi puing-puing akson terminal
yang hancur dan menduduki ruang sinaps. Bagian distal akson ini mengalami
degenerasi Wallerian yang menyebabkan akson menjadi terpecah-pecah dan sel-sel
Schwann berproliferasi dengan cepat yang kemudian akan memakan puing-puing
akson dan selubung mielin. Jaringan ikat yang menyelubungi serat saraf tersebut
tidak mengalami perubahan. Ruangan yang terdapat di antara jaringan ikat ini
kemudian akan terisi oleh sel-sel Schwann yang berproliferasi secara cepat., yang
akan berfungsi sebagai penuntun bagi akson yang baru tumbuh yang bergerak menuju
ke bagian postsinaps.
3. Reaksi Retrograde: reaksi yang terjadi pada bagian proksimal dari tempat
terjadinya trauma. Perikarion neuron yang hancur menjadi hipertrofi, badan Nisslnya
akan tercerai berai dan inti sel akan bergeser dari tempatnya semula. Kejadian ini
disebut kromatolisis (chromatolysis). Setelah 3 minggu bila sel saraf luput dari

trauma, badan sel kemudian secara aktif mensintesa ribosom-ribosom bebas, protein
dan berbagai molekul-molekul berukuran besar (makromolekul). Proses ini dapat
berlangsung selama beberapa bulan. Selama masa ini bagian proksimal akson dan
selubung mielin yang menyelubunginya akan berdegenerasi. Kemudian beberapa
tunas akson akan muncul dari ujung proksimal tersebut, dan berjalan mengisi ruang
selubung jaringan ikat dengan dibimbing oleh sel-sel Schwann menuju ke sel sasaran.
Tunas yang pertama mencapai sel target akan langsung membentuk sinaps, sementara
tunas-tunas yang lain akan berdegenerasi. Proses regenerasi ini berlangsung kira-kira
dengan kecepatan 3-4 mm/hari. Sel saraf mempunyai pengaruh tropik (mempengaruhi
kehidupan) sel target. Jika sel saraf mati, maka sel-sel lainnya yang merupakan target
dari sel saraf tersebut juga akan mengalami atropi dan degenerasi.
Jika diduga potongan proksimal dan distal saraf cedera yang berat berada berdekatan,
akan terjadi proses regenerasi berikut. Sel schwann yang telah bermitosis akan
mengisi ruang didalam membran basalis tabung endoneurial potongan proksimal
sampai ke nodus ranvier berikutnya, dan pada potongan distal sampai ujung akhir
organ.Jika terdapat celah kecil diantara potongan proksimal dan distal,sel schwann
yang telah bermitosis membentuk sejumlah pita untuk menjembatani celah tersebut.
Pada setiap ujung proksimal akson muncul tunas atau filamen-filamen halus yang
multiple dengan ujung yang membulat. Pada saat tumbuh, filamen tumbuh di
sepanjang celah diantara sel schwan dan menyebrangi jarak antara potongan distal
dan proksimal. Banyak filamen masuk ke ujung proksimal masing-masing tabung
endoneurial dan tumbuh ke arah distal berhubungan dengan sel schwann (filamen dari
berbagai jenis akson dapat memasuki tabung endoneurial, namun hanya 1 filamen
yang menetap dan sisanya akan berdegenerasi). Satu filamen yang menetap akan
tumbuh ke arah distal mempersarafi kembali organ motorik/ sensorik di ujungnya.
Setelah akson mencapai organ akhirnya, sel schwann yang terdekat mulai membentuk
selubung mielin (dari awal lesi ke arah distal) nodus ranvier dan incisura schmidtlanterman. Kecepatan pertumbuhan diperkirakan sekitar 2-4 mm/hari, kecepatan
regenerasi secara keseluruhan 1,5 mm/hari.
Neurorehabilitasi
Teknologi fisioterapi yang digunakan dalam kasus ini adalah terapi latihan. Terapi
latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan
latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif.
1. Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa gerakan pada
sendi. Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah, vena yang
tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan
terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi edema, dengan edema berkurang,
maka rasa nyeri juga dapat berkurang. Ditambahkan elevasi sehingga dengan
pengaruh gravitasi akan semakin memperlancar aliran darah pada pembuluh darah
vena.

2. Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar
sementara itu otot pasien lemas. Relaxed Passive Movement merupakan gerakan pasif
yang hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien sudah merasa nyeri pada
batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan dihentikan.
3. Active Movement
Latihan gerak aktif merupakan gerakan yang timbul dari kekuatan kontraksi otot
pasien sendiri secara volunteer. Pada kondisi edema, gerakan katif ini dapat
menimbulkan pumping action yang akan mendorong cairan bengkak mengikuti
aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk tujuan
mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan mempertahankan mobilitas
sendi. Active Movement terdiri dari:
a. Assisted Active Movement
Assisted active movement yaitu suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh
adanya kekuatan otot dengan bantuan kekuatan dari luar. Bantuan dari luar
dapat berupa tangan terapis, papan maupun suspension. Terapi latihan jenis ini
dapat membantu mempertahankan fungsi sendi dan kekuatan otot setelah
terjaid fraktur.
b. Free Active Movement
Free active movement merupakan suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh
adanya kekuatan otot tanpa bantuan dan tahanan kekuatan dari luar, gerakan
yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan pengaruh gravitasi. Gerakan
dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan sirkulasi darah
sehingga edema akan berkurang, jika edema berkurang maka nyeri juga dapat
berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara
kekuatan otot.
4. Latihan Jalan
Latihan jalan dilakukan bila penderita sudah mampu dan keseimbangannya sudah
baik. Latihan jalan dapat dilakukan dengan kruk menggunakan cara partial weight
bearing (PWB) yaitu pasien berjalan dengan menumpu sebagian berat badan, yang
kemudian ditingkatkan dengan cara full weight bearing (FWB) yaitu pasien
berjalan dengan menumpu berat badan penuh. Latihan berjalan dilakukan dengan
metode swing through. Dimana swing through merupakan latihan berjalan dengan
cara kruk diayunkan lebih dulu kemudian kaki melangkah melebihi kruk.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fraktur tulang paha menyebabkan tungkai sulit digerakkan karena adanya


kerusakan pada saraf Ischiadikus sehingga terjadi degenerasi akson, dan
tungkai dapat kembali digerakkan karena ada regenerasi akson melalui
proses neurorehabilitasi.

Kerja obat analgesic opioid sebagai penghilang rasa nyeri yaitu


menghambat pelepasan substansi P (pembuat rasa nyeri) dengan berikatan
pada reseptor opioid yang terletak pada kornu posterior medulla spinalis
substansi gelatinosa.

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G., et all. 2006. Basic and Clinical Pharmacology 10th Edition.
San Francisco : The McGraw-Hill .
Katzung, G. Bertram. 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik; Edisi Sepuluh. Jakarta:
EGC.
Kushartanti, BM. Wara dan Ali Satyagraha. Penyusunan Standard Diagnosis dan
Terapi Fisik Untuk Ischialgia dan Low Back Pain di Klinik Terapi Fisik FIK-UNY.
Yogyakarta : UNY. www.staff.uny.ac.id 15/07/12.
McCance, Kathryn L. 2010. Pathophysiology : The Biologic for Disease in Adults
and Children 6th Edition. Missouri : Elsevier.
Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. Oktober 2007
http://www.dexa-medica.com
Netter, Frank H. 2011. Atlas Of Human Anatomy 5 th Edition. America : Saunders
Elsevier.
Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The
American Journal of Managed Care. Juni 2006. p256-61.
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.
H. 1502-1533.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Volume 2.
Jakarta : EGC.
Purba JS. Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai terapi Nyeri Neuropatik. Oktober
2006 http://www.dexa-medica.com
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

Anda mungkin juga menyukai