BAB 1
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional.1,2,3 Penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun
1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus akibat defisiensi ganglion.1,3
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup,
Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta.4
Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari bagian distal
kolon yaitu di peralihan antara usus dengan anus. Panjang dari bagian segmen
yang tidak mempunyai sel ganglion (aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ;
75% pasien terbatas pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami
segmen aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan usus kecil.5
Setelah muncul penemuan kelainan histologik pada penyakit ini, barulah
ditemukan teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Mortalitas dari kondisi
ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam
diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan dan diagnosis dan
penatalaksanaan dengan enterokolitis.3
Tujuan Penulisan
b
c
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Usus Besar
Usus besar berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar lebih
besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm, namun semakin dekat dengan anus
diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan
rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan
mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
disebut dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai
setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian
bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian
utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon
sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum
disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan
internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol volunter. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,dan
saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal. Serabut
simpatis
meninggalkan
medulla
spinalis
melalui
saraf
splangnikus
dan
kontraksi,
serta
perangsangan
sfingter
rektum, sedangkan
Gambar 2.2 Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada bagian akhir
usus Pleksus Myenterik (Auerbach) dan Pleksus Submukosal (Meissner)
2.2.2. Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan
merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada
neonatus. Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens
penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata
mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Rectosigmoid paling sering terkena
sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus.7
Menurut penelitian menangani penyakit Hirschsprung di RS Cipto
Mangunkusumo memperlihatkan proporsi penyakit Hirschprung lebih banyak
ditemukan pada pasien berumur 0-1 bulan yaitu sebesar 29,71% (52 dari 175
orang) sedangkan untuk umur 1 bulan-1 tahun sebesar 22,85% (40 dari 175
orang). Penderita penyakit Hirschsprung sebanyak 131 orang (74,85%) berjenis
kelamin lelaki sedangkan perempuan yang berjumlah 44 orang (25,15%). 8 Hasil
penelitian di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2005-2009 tercatat ada 50 orang
anak yang menderita penyakit Hirschsprung. Dari 50 orang sampel tersebut,
distribusi tertinggi pada kelompok usia 0-2 tahun yaitu sebanyak 40 orang (80%).
Ada 36 orang (72%) berjenis kelamin laki-laki dan 14 orang (28%) berjenis
kelamin perempuan yang tercatat menderita penyakit Hirschsprung.9
2.2.3. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel
saraf parasimpatis myenterik dari kranial ke kaudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal.7
a
Mutasi Gen
Mutasi pada RET proto-oncogene, yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah
ditemukan dalam kaitannya dengan penyakit Hirschsprung. Mutasi RET dapat
menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan dalam
pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk
penyakit Hirschsprung adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang
berlokasi pada kromososm 13q22. Sinyal dari gen ini diperlukan untuk
perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon.
Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan
short-segment. Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang
rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat
pensinyalan yang penting untuk perkembangan normal dari sistem saraf enterik.
Mutasi pada proto-onkogen RET adalah diwariskan dengan pola dominan
autosom dengan 50-70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus
familial dan hanya 15-20% pada kasus sporadis. Mutasi pada gen EDNRB
diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya 5% pada kasus familial,
biasanya pada kasus sporadis.7
c
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi selsel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari
antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat
pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan penyakit Hirschsprung, namun
tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol, menunjukkan
suatu mekanisme autoimun pada penyakit ini.7
d
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan
kolagen tipe IV yang tinggi dalam matriks telah ditemukan dalam segmen ususa
ganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini di dalam usus dapat mencegah
migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi penyakit
Hirschsprung.7
2.2.4. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit Hirschprung meliputi:10
a) Riwayat Keluarga
Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschprung biasanya pada pasien yang
mempunyai
riwayat
keluarga
deangan
penyakit
Hirschprung.
Penyakit
hirschsprung lebih sering terjadi diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh
ayah.
b) Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari sindrom
yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang paling
Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat
(sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan
pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest.
Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan
memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.
2.2.5. Klasifikasi Hirschsprung
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak kolon yang
terkena.Tipe Hirschsprung meliputi:11
Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecildari
rektum.
Short segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari
kolon.
Long segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar kolon.
Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh kolon, rektum dan
kadang sebagian usus kecil.
10
11
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan manometri rektum dan biopsi rektum (rectal suction
biopsy) adalah indikator yang paling mudah dan paling dapat diandalkan untuk
menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung. Anorektal manometri mengukur
tekanan sfingter anal internal sementara balon didistensikan di dalam rektum.
Pada orang normal, distensi rektum memicu penurunan refleks tekanan sfingter
internal. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, pemeriksaan Manometri
pada anus (balloon distention of the rectum) menunjukkan tidak adanya relaksasi
sfingter anal internal pada rectum yg distensi. Keakuratan tes diagnostik ini lebih
dari 90%, tetapi secara teknis sulit pada bayi muda.15,16
Pemeriksaan pencitraan (imaging) dapat membantu mendiagnosis
penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dapat menunjukkan
dilatasi usus halus atau kolon proksimal. Radiografi enema dengan kontras pada
usus besar umumnya normal untuk tiga bulan pertama kehidupan. Setelah proses
dilatasi dimulai, bagian aganglionik pada usus besar akan tampak normal dan
kolon yg lebih proksimal akan melebar. Adanya "zona transisi" (titik di mana usus
normal menjadi aganglionik) dapat terlihat pada radiografi kontras enema.
Pemeriksaan barium enema berguna dalam menentukan sejauh mana segmen
aganglionosis sebelum operasi dilakukan dan dapat mengevaluasi penyakit lain.
Enema kontras harus dihindari pada pasien dengan enterokolitis karena risiko
perforasi. Pemeriksaan radiografi enema dengan kontras dan manometri anal
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama.16
12
13
berupa meconium
plug
syndrome,
stenosis
anus,
prematuritas,
enterokolitis nekrotikans, dan fisura ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih
besar diagnosis bandingnya dapat berupa konstipasi oleh karena beberapa
sebab, stenosis anus, tumor anorektum, dan fisura anus.18,19
2.2.9. Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah.
a. Pengobatan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasikomplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum
penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non
bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah
terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta
mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan
adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum,
pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta
penjagaan nutrisi.8
b. Tindakan Pembedahan
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah
sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan
14
untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah
terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita penyakit Hirschsprung.20
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung
antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, bedah Laparoskopik, dll.20
Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi
sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar rongga peritoneal.
Pembedahan ini disebut sebagai prosedur rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan
pull-through abdomino-perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis
mukokutan. Pada masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi seperti
kebocoran anastomosis, stenosis, inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain.
Teknik pembedahan prosedur Swenson yaitu reseksi kolon aganglion dimulai
dengan pemotongan arteri dan vena sigmoidalis dan hemoroidalis superior.
Segmen sigmoid dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar peritoneum sampai 12 cm proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari jaringan
sekitarnya di dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui anus.
Pembebasan kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut
dapat
ditarik
ke
perineum
melalui
anus
tanpa
tegangan.
Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang di dalam lumen.
Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis mukokutan, bagian
posterior dan bagian anterior sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan
dilakukan dengan arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian
posterior (prosedur Swenson II). Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke
perineum melalui puntung rektum yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan
dengan jahitan dua lapis dengan menggunakan benang sutera atau benang vicryl.
Setelah anastomosis kolorektal selesai dilaku-kan, kemudian rektum dimasukkan
kembali ke rongga pelvis. Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada
15
keluar
anus.
Mesokolon
diletakkan
di
bagian
posterior.
16
2.2.10. Komplikasi
Komplikasi
pasca
tindakan
bedah
penyakit
Hirschsprung
dapat
17
dari
anastomosis dan pembentukan striktur (5-15%), obstruksi usus (5%), abses pelvis
(5%), infeksi luka (10%), dan membutuhkan re-operasi kembali (5%) seperti
prolaps atau striktur.8
Enterokolitis
Enterokolitis menyumbang morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung. Hasil enterokolitis dari proses inflamasi pada
mukosa dari usus besar atau usus kecil. Sebagai penyakit berlangsung, lumen usus
menjadi penuh dengan eksudat fibrin dan berada pada peningkatan risiko untuk
perforasi. Proses ini dapat terjadi di kedua bagian aganglionik dan ganglionik
usus. Pasien mungkin hadir pasca operasi dengan distensi perut, muntah, sembelit
atau indikasi obstruksi yang sedang berlangsung. Obstruksi mekanik dapat dengan
mudah didiagnosis dengan rektal digital dan barium enema.23
Aganglionosis Persistent
Jarang terjadi dan mungkin karena kesalahan patologis, reseksi tidak memadai,
atau hilangnya sel ganglion setelah di tarik keluar.
18
Inkontinensia
Hal ini mungkin hasil dari fungsi sfingter normal, ataupun kesalahan dalam
tindakan operasi sehingga penurunan sensasi, atau inkontinensia sekunder. Secara
umum manometri anorectal dan USG harus membantu dalam membedakan antara
diagnosa ini.
Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca
operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat
operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter
bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta
perawatan
pasca bedah.
19
jikalau
kita
mencermati
perbedaan
prosedur
operasi
yang
2.2.11. Prognosis
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum
prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat
tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.8,23
20
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Farel Kunwardana
Jenis Kelamin
: Laki- Laki
Umur
: 2 tahun 1 bulan
No. Rekam Medik
: 00.66.76.29
Ruangan
: RB2A 315
Tanggal masuk
: 20Februari 2016
ANAMNESIS
Keluhan utama
: Perut membesar
Telaah
dalam 1 minggu terakhir ini. Sulit BAB dijumpai sejak lahir, mekonium keluar
saat pasien berusia 3 hari. Menurut pengakuan ibu pasien, pasien baru bisa BAB
setelah dimasukkan alat melalui lubang anus. Sebelumnya pasien pernah dirawat
di rumah sakit umum Binjai pada awal masa kelahiran dengan diagnosis penyakit
Hirscsprung dan direncanakan dilakukan tindakan operasi, namun operasi tidak
dapat dilakukan dengan alasan berat badan pasien pada saat itu tidak cukup yaitu
2300 gram. 4 hari yang lalu pasien dirawat di rumah sakit umum insani Stabat
sebelum akhirnya di rujuk dengan dignosa Hirschsprung Disease + gizi buruk
oleh dokter spesialis anak di sana.
Muntah tidak di jumpai (-), Riwayat muntah dijumpai (+), penurunan nafsu
makan dijumpai (+).
21
Demam tidak dijumpai (-), riwayat demam berulang dijumpai (+) pada pasien
dalam 2 bulan ini, demam bersifat tidak terlalu tinggi, naik turun, dan turun
dengan obat penurun panas.
Buang air kecil (+) kesan cukup
Pasien lahir cukup
menangis.
Riwayat makanan bayi pada 0-6 bulan mengkonsumsi susu formula, 6 bulan
sampai sekarang mengkonsumsi susu formula + bubur + nasi tim, 18 bulan
sampai sekarang mengkonsumsi nasi lembek 3x/hari, susu formula 2-3x/hari
diberi 20-40 cc/kali beri.
Pasien lahir kurang bulan (usia gestasi 35 minggu) dengan BB lahir tidak jelas.
Riwayat antenatal care (+) oleh bidan. Pasien merupakan anak ke empat dari
empat bersaudara. Riwayat kelainan kongenital dalam keluarga (-). Usia ibu saat
hamil 24 tahun. Ibu pasien sering mengalami panas pada saat hamil, dan tidak
pernah diberikan obat.
RPT
RPO
STATUS PRESENS
Sensorium
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 100/60 mmHg
Nadi
: 92x/menit
Pernafasan
: 24 x/menit
Suhu
: 37,1C
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
Mata: pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva palpebra inferior
pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
22
Toraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: tampak cembung
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium
20 Februari 2016
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PCT
SATUAN
HASIL
RUJUKAN
g%
105/mm3
103/mm3
%
103/mm
Fl
Pg
g%
%
fL
%
7,5
3,21
12.64
23
289
71
23,4
32.90
21,60
11,0
0.32
11,3 14,1
4.40 4.48
4.5 13.5
37 41
150 450
81 95
25 29
29 31
11.6 14.8
7.0 10.2
23
PDW
fL
Hitung jenis
%
Neutrofil
%
Limfosit
%
Monosit
%
Eosinofil
%
Basofil
103/l
Neutrofil Absolut
103/l
Limfosit Absolut
103/l
Monosit Absolut
103/l
Eosinofil Absolut
103/l
Basofil Absolut
HST
Waktu Protrombin
Pasien
detik
Kontrol
detik
INR
APTT
Pasien
detik
Kontrol
detik
Waktu Trombin
Pasien
detik
Kontrol
detik
HATI
Albumin
g/dL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu)
mg/ dL
GINJAL
Blood Urea Nitrogen
mg/ dL
Ureum
mg/ dL
Kreatinin
mg/ dL
Elektrolit
Natrium (Na)
mEq/L
Kalium (K)
mEq/L
Klorida (Cl)
mEq/L
12,6
51,80
42,10
5,80
0,2
0.10
6,56
5,32
0.73
0,02
0.01
37 80
20 40
28
16
01
2.4 7.3
1.7 5.1
0.2 - 0.6
0.10 0.30
0 0.1
19.5
14.00
1.38
43.5
33.5
20.8
17.0
1.0
3.8-5.4
133
<200
13
28
0.32
9-21
<50
0.32 0.59
127
2.3
105
135 155
3.6 5.5
96 106
24
25
Tirah baring
Diet F-75 60 cc/3 jam + mineral mix 1,2cc
IVFD D5% NaCl 0,225% 10 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 500mg/12jam
Wash-out
Barium Enema
Biopsi
Konsul bagian anak untuk rawat bersama
Koreksi Hipoalbuminemia dengan Plasmanat 5% 90cc/48 jam
FOLLOW UP RUANGAN
Tgl
22-23 Feb 2016
S Perut kembung, BAB (-)
O Sens: CM, HD stabil
A
P
Abdomen:
Abdomen:
I:Tampak Cembung,
I:Tampak Cembung,
P: hipertimpani
P: hipertimpani
26
Plasmanat 5% 90cc/48jam
Vit a 1x 200000 IU
Vit a 1x 200000 IU
As. Folat 1x 5 mg
Vit C 1x 100 mg
Vit C 1x 100 mg
Wash-out 2x1
Wash-out 2x1
R
Barium enema
Barium retensi
Biopsy
Hasil
27
28
Hasil tampak distensi kolon dan usus halus, penebalan sebagian dindingnya,
masih tampak sisa kontras di kolon desendens dan rectum, psoas line smooth dan
simetris, kontur kedua ginjal baik, tidak tampak batu opaque proyeksi traktus
urinarius, distribusi udara diusus sampai ke distal, tulang tulang intak, kesimpulan
retensi barium
Hasil pemeriksaan laboratorium
25 Februari 2016
JENIS PEMERIKSAAN
SATUAN
HASIL
RUJUKAN
29
HEMATOLOGI
Darah Lengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG)
g%
Eritrosit (RBC)
105/mm3
Leukosit (WBC)
103/mm3
Hematokrit
%
Trombosit (PLT)
103/mm
MCV
Fl
MCH
Pg
MCHC
g%
RDW
%
MPV
fL
PCT
%
PDW
fL
Hitung jenis
%
Neutrofil
%
Limfosit
%
Monosit
%
Eosinofil
%
Basofil
103/l
Neutrofil Absolut
103/l
Limfosit Absolut
103/l
Monosit Absolut
103/l
Eosinofil Absolut
103/l
Basofil Absolut
HATI
Albumin
g/dL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu)
mg/ dL
Elektrolit
Natrium (Na)
mEq/L
Kalium (K)
mEq/L
Klorida (Cl)
mEq/L
BAB 4
6.4
2.77
10.27
20
328
73
23,1
31.70
21,50
11,20
0.37
14,4
11,3 14,1
4.40 4.48
4.5 13.5
37 41
150 450
81 95
25 29
29 31
11.6 14.8
7.0 10.2
25,90
67,40
5,20
1,00
0.50
2,67
6,92
0.53
0,10
0.05
37 80
20 40
28
16
01
2.4 7.3
1.7 5.1
0.2 - 0.6
0.10 0.30
0 0.1
1.3
3.8-5.4
87
<200
132
3.5
96
135 155
3.6 5.5
96 106
KESIMPULAN
Laki- laki, 2 tahun 1 bulan datang dengan keluhan perut membesar. Pasien
di diagnosa dengan susp. Hirschsprung Disease dan direncanakan akan dilakukan
biopsi untuk menegakkan diagnosis.
30
DAFTAR PUSTAKA
after surgery for Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg 1997; 32: 1443
Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105
Nur Rahmat Wibowo, Hermanto, BAB 1 dalam: Hirschsprungs Disease.
Surgery.
3rd
edition.
W.B.
Saunders
Company.
Jakarta.
Verawati, S. 2010. Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hirschprung
Hirschprung
Disease.
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#showall (Diakses
tanggal 9 Juni 2015)
11 Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Pediatric Surgery in Schwartzs
Principles of Surgery. 8th edition. McGraw-Hill. NewYork. Page 14961498.
12 Martini, Frederic H., Judi, Nath., & Edwin, Bartholomew. Martini :
Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Edition.
31
Disease.
Disease.