PENDAHULUAN
Masa anak-anak merupakan periode yang penting karena masa ini merupakan
fase peletakan landasan bagi kehidupan di tahun-tahun mendatang (Santrock, 2002, h.
8). Jumlah anak yang mencapai 82.840 juta jiwa atau setara dengan 35,8% dari
seluruh penduduk Indonesia (IDAI, 2009) menjadikannya sebagai kelompok yang
potensial untuk dikembangkan demi kemajuan bangsa. Berbagai upaya dilakukan
orangtua untuk mewujudkan hal yang terbaik untuk perkembangan anak. Mulai dari
memperhatikan asupan gizi yang dikonsumsi oleh anak, memenuhi apa yang
dibutuhkan sampai pada memberikan pendidikan kepada anak.1,2
Mencetak anak sukses bukan hanya tergantung pada lembaga pendidikan
formal, melainkan bisa kita mulai dengan memberikan pendidikan di dalam keluarga
sejak usia dini. Menurut Piaget, salah satu tokoh psikologi menyatakan bahwa usia
dini (0-6 tahun) merupakan tahap perkembangan anak yang paling penting. Hal ini
dikarenakan usia dini adalah masa keemasan (golden age) bagi perkembangan otak
anak. Kosasih (2008) menambahkan bahwa The Golden Age adalah masa emas
yang tepat untuk diberikan stimulasi. Pada masa ini perkembangan motorik anak
semakin baik, sejalan dengan perkembangan kognitifnya yang mulai kreatif dan
imajinatif. Daya imajinatif yang tinggi, membuat anak semakin suka menemukan halhal baru. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya informasi yang diberikan kepada
anak secara berulang-ulang akan tersimpan dalam waktu yang lama (Koyan, 2000).
Hal ini menunjukkan bahwa potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh anak usia
dini harus dikembangkan, agar pendidikan yang diberikan bisa optimal.2
Berbagai bentuk pendidikan yang bisa diberikan kepada anak-anak sejak usia
dini. Banyak metode mengajar yang dapat digunakan mulai dari metode bernyanyi,
bermain, bercerita dan karya wisata. Masing-masing metode mempunyai kelemahan
dan kelebihan. Namun banyak penelitian, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
Murdiono pada tahun 2008 dari beberapa metode yang digunakan tersebut, metode
bercerita (storytelling) adalah metode yang efektif dan paling banyak digemari pada
usia anak.2
Storytelling yang berarti penyampaian cerita kepada para pendengar dirasa
tepat dijadikan metode pembelajaran bagi anak karena sifatnya yang menyenangkan,
tidak menggurui, serta dapat mengembangkan imajinasi (Majid, 2008; Yudha, 2007).
Ada beberapa alasan mengapa (storytelling) dianggap efektif dalam memberikan
pendidikan kepada anak. Pertama, cerita pada umumnya lebih berkesan dari pada
nasehat, sehingga pada umumnya cerita terekam jauh lebih kuat dalam memori
manusia. Kedua, melalui (storytelling) anak diajarkan mengambil hikmah.
Penggunaan metode bercerita akan membuat anak lebih nyaman dari pada diceramahi
dengan nasehat. Bagi anak usia dini mendengarkan cerita yang menarik yang dekat
dengan lingkungannya merupakan kegiatan yang menyenangkan.1,2
Anak usia dini memiliki karakter yang khas, mereka lebih suka bermain dan
bersenang-senang. Maka dalam pengajaran pada anak dibutuhkan metode-metode
yang sesuai dengan karakter anak agar proses pengajaran tersebut bisa maksimal. Di
dalam (storytelling) anak-anak dikenalkan dengan berbagai karakter unik yang ada di
dalamnya. Selain itu, anak lebih merasa senang dari pada model pembelajaran
ceramah.1
<etode bercerita (storytelling) memiliki beberapa manfaat, diantaranya; (1)
melalui cerita kita bisa menyisipkan sifat empati, kejujuran, kesetiaan dan keramahan,
ketulusan, (2) memberikan sejumlah pengetahuan sosia, moral dan lain sebagainya,
(3) melatih anak belajar mendengarkan apa yang disampaikan, (4) membuat anak bsia
mengembangkan aspek psikomotor, kognitif dan afektif, (5) metode bercerita mampu
meningkatkan imajinasi dan kreatifitas anak.1
Dari berbagai hasil penelitian yang sudah dikemukakan di atas, dapat
difahami bahwa peran metode bercerita (storytelling) bagi anak usia dini mampu
menumbuhkembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak. Baik dari aspek
psikomotor, kognitif, afeksi maupun moral anak. Untuk itu artikel ini membahas
tentang
metode
storytelling
sebagai
metode
parenting
education
untuk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Storytelling adalah seni lisan kuno yang didefinisikan dalam berbagai cara.
Gere (2002) mendefinisikan sebagai "tindakan menggunakan bahasa dan sikap
dengan cara beragam untuk membuat adegan dalam urutan "(dikutip dalam Behmer,
2005, hal. 2). Menurut McDrury dan Alterio (2003), bercerita adalah pengalaman
manusia unik yang memungkinkan kita untuk menyampaikan melalui bahasa katakata.
Bercerita
memungkinkan
kita
untuk
mengetahui
dunia
nyata
dan
beberapa dampak positif, diantaranya; (a) menimbulkan minat untuk membaca bagi
anak-anak, (b) meningkatkan minat baca, (c) membentuk budaya membaca.2
Ketika bercerita, pencerita dapat melakukan dengan teknik yang menarik agar
pesan yang disampaikan oleh penulis atau pengarang cerita dapat disampaikan. Hal
ini bisa dilakukan dengan cara; pengucapan atau peniruan suara, intonasi atau nada
suara, penghayatan watak tokoh cerita, ekspresi cerita, gerak dan penampilan,
kemampuan bahasa yang komunikatif.2
yang banyaknya melebihi kebutuhan. Proses inilah yang membentuk pengalaman dan
akan dibawanya seumur hidup.2
Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh anak tersebut, maka pemberian
stimulus yang tidak maksimal juga akan membuat potensi tidak berkembang dengan
optimal. Untuk mencapai perkembangan potensi anak secara optimal, seharusnya
stimulasi dilakukan sejak anak usia dini. Kemampuan verbal anak-anak prasekolah
memungkinkan dia untuk lebih memahami materi di sekolah dan masa setelah itu.
Misalnya jika ia telah mendapat pengetahuan yang baik dari kosa kata dan informasi
umum yang baik dan ketika memasuki sekolah ia dapat memahami cerita yang lebih
baik dan belajar dengan cepat.2,5
Banyak wacana yang mengatakan akhir-akhir ini orangtua banyak lebih
memilih cara yang lebih instan dan mudah dalam melaksanakan pengasuhan anak.
Hal ini ditunjukkan dengan kurang adanya kontrol dan dampingan orangtua terhadap
pergaulan anak, kegiatan anak dan tontonan program televisi yang disaksikan oleh
anak-anak. Pengaruh media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih &
intensitasnya semakin tinggi. Sementara orangtua tidak memiliki banyak waktu yang
cukup untuk memperhatikan, mendampingi & mengawasi anak. Anak lebih banyak
menghabiskan waktu menonton televisi dari pada melakukan aktifitas lain yang
mampu mengembangkan kreatifitasnya.2
Masih banyak orangtua memandang bahwa beberapa program televisi mampu
menggantikan perannya untuk membuat anak menjadi lebih diam dan menikmati
dengan berbagai bentuk visualnya. Padahal banyak penelitian yang menyatakan
bahwa televisi memiliki beberapa dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak.
Diantaranya, penelitian Prof Sarlito menyebutkan bahwa banyaknya waktu yang
dihabiskan oleh anak-anak untuk melihat televisi menyebabkan anak lebih pasif, sulit
berinteraksi, lebih agresif dan sulit berkomunikasi serta kreatifitas anak menjadi lebih
sempit. Penelitian lain menyebutkan bahwa melihat televisi lebih dari 6 jam sehari
bisa menimbulkan dampak negatif pada anak, diantaranya: mendorong anak menjadi
konsumtif, berpengaruh terhadap sikap, mengurangi semangat belajar, membentuk
pola pikir sederhana, mengurangi konsentrasi, mengurangi kreativitas dan lain
membangun
keterampilan
komunikasi
oral
dan
tulisan,
dan
bahwa mereka bisa meniru. Dari hal tersebut maka Storytelling sangat berpengaruh
terhadap kecerdasan verbal anak.8
Storytelling Membuat Anak Kreatif
Kreatifitas pada anak usia dini merupakan kemampuan yang bukan hanya ada
begitu saja, tetapi membutuhkan stimulasi dari pihak luar termasuk orangtuanya. Ford
(2007)
menjelaskan
hasil
pengalamannya
mengajar
menggunakan
metode
dengan nikmat yang diterima, dan bersikap sopan santun kepada orang lain. Melalui
storytelling anak tanpa merasa diguruhi dan dinasehati dengan kata-kata yang
menakutkan. Dengan demikian orangtua bisa mengajarkan dan menanamkan moral
kepada anak sejak usia dini.2
Dalam
menggunakan
Storytelling
(metode
bercerita)
hendaknya
menyesuaikan dengan level kognitif anak. Dimana pada usia dini, level kognitif
mereka masih pada operasional kongrit (Santrock, 2007). Jadi cerita yang dibacakan
atau disampaikan haruslah menyesuaikan tingkat kemampuan kognitif anak.2
Borba (2001) merumuskan bahwa kecerdasan moral yaitu kemampuan
memahami kebenaran dari kesalahan, artinya memiliki keyakinan etika yang kuat dan
bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan
terhormat. Kecerdasan yang sangat penting ini mencakup karakter-karakter utama,
seperti kemampuan memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat,
mampu mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan, mendengarkan dari
berbagai pihak sebelum memberikan penilaian, menerima dan menghargai perbedaan,
dapat memahami pilihan yang tidak etis, dapat berempati, memperjuangkan keadilan,
dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat pada orang lain.9
Borba (2001) menyatakan kecerdasan moral terbangun dari tujuh kebajikan
utama yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik budi, toleransi dan adil yang
membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat
dihindarkan dalam kehidupannya kelak. Kebajikan-kebajikan utama tersebut yang
akan melindunginya agar tetap berada di jalan yang benar dan membantunya agar
selalu bermoral dalam bertindak. Perkembangan moral merupakan suatu proses yang
terus menerus berkelanjutan sepanjang hidup. Meningkatnya kapasitas moral anak
dan didukung dengan kondisi yang baik, anak berpotensi menguasai moralitas yang
lebih tinggi. Setiap kali anak berhasil menguasai satu kebajikan, kecerdasan moralnya
bertambah dan ia pun menaiki tangga kecerdasan moral yang lebih tinggi.9
Temuan penting yang dilaporkan adalah anak-anak dengan kecerdasan moral
tinggi menunjukkan korelasi dengan academic performance dan peningkatan prestasi
yang signifikan (Blocks, 2002). Kochanska, Murray, dan Harlan (McCartney &
contoh. Namun, anak-anak dikelilingi oleh contoh buruk. Selain menetapkan contoh
yang baik bagi anak-anak, salah satu hal sederhana yang dapat kita lakukan adalah
membaca sebuah dongeng yang dapat menghubungkan mereka dengan sebuah prinsip
atau nilai.9
melalui
perbuatan,
menunjukkan
sikap-sikap
bahwa
dengan
menggunakan metode bercerita dengan media gambar sebagai sumber belajar dan
sumber cerita akan dapat meningkat kan sikap mandiri anak.12
Pengembangan sikap mandiri ini akan mudah berkembang bagi anak TK
asalkan guru pintar memilih metode pengajaran. Metode yang sangat cocok
diterapkan adalah metode bercerita. Metode bercerita merupakan salah satu
pemberian pengalaman belajar bagi anak TK dengan membawakan cerita kepada
anak secara lisan. Dengan metode bercerita anak-anak akan kembali pada dunia
kehidupannya yang penuh suka cita, karena menimbulkan perasaan alami mereka
seperti gembira, lucu, dan mengasyikkan. Dunia kehidupan anak-anak itu dapat
berkaitan dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan luar sekolah, yang bersifat unik
dan menarik, yang menggetarkan perasaan anak, dan memotivasi anak untuk
mendengarkan cerita itu sampai tuntas, sehingga mampu mengambil pesan-pesan
moral yang disampaikan oleh guru saat ber-cerita, dan mampu memotivasi anak agar
mampu memiliki sikap mandiri.12
Apalagi, bila dikaitkan dengan realitas, anak dalam kesehariannya terus melakukan
interaksi dengan kedua orang tuanya. Salah satu cara yang relevan dengan tuntutan
tersebut antara lain dengan mengajarkan karya sastra.13
Cerita merupakan medium yang sangat baik. Cerita, yang diceritakan dengan
baik, dapat menginspirasikan suatu tindakan; membantu perkembangan apresiasi
kultural; kecerdasan emosional; memperluas pengetahuan anakanak; atau hanya
menimbulkan kesenangan. Mendengarkan cerita, membantu anak-anak memahami
dunia mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain (Raines dan
Isbell, 2002:vii). Ketika anak-anak mendengar cerita, mereka menggunakan imajinasi
mereka. Mereka menggambarkan isi cerita dari deskripsi pembaca cerita. Kreativitas
ini bergantung pada bagaimana pembaca cerita dapat menghidupkan ceritanya, dan
bagaimana pendengar aktif menginterpretasikan apa yang didengarnya. Anak-anak
mendapat kesenangan dari seluruh pengalaman itu. Dari uraian di atas jelas kiranya
keterkaitan antara pengembangan kecerdasan emosional dan penjelajahan dialog
antartokoh dalam cerita. Setidaknya, melalui penelitian ini akan ditemukan model
yang dapat memperkaya pengalaman anak dari contoh-contoh model kehidupan para
tokoh yang ada dalam cerita.13
Anak tidak perlu belajar dan berlatih untuk kecerdasan emosional dari
kehidupan nyata yang memerlukan sekian banyak waktu untuk mendapatkannya.
Cerita, sebagai contoh baik kristal kehidupan masyarakat, dapat menjadi sarana
pengembangan kecerdasan emosional yang efektif dan efisien bagi anak.13
Kecerdasan emosional merupakan wacana baru di wilayah psikologi dan
paedagogi, setelah bertahun-tahun masyarakat sangat meyakini bahwa faktor penentu
keberhasilan hidup seseorang adalah kecerdasan intelektual (IQ). Temuan penelitian
di bidang psikologi oleh Howard Gardner tentang Multiple Intelligence, yang
menyatakan bahwa manusia memiliki banyak kecerdasan, bukan hanya kecerdasan
intelektual saja, telah membuka cakrawala baru tentang potensi manusia yang belum
dieksplorasi untuk mendorong keberhasilan hidup. Riset di bidang psikologi terus
berkembang sampai akhirnya Solovey dan Mayer (1996) menemukan kecerdasan
emosional sebagai salah satu faktor penting bagi kesuksesan hidup manusia. Temuan
Solevey dan Mayer (1996) tersebut disempurnakan oleh Patton (1997) dan Goleman
(1999) (Nugroho, 2003:1).13
Pengembangan kecerdasan emosional melalui bercerita berkaitan dengan
konsep bahwa individu yang memiliki kcerdasan emosional umumnya menampilkan
ciri yang menonjol dalam hal mampu mengelola emosi diri sendiri dan emosi orang
lain serta menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain. Bercerita mampu
menggugah bagi tersulutnya kehidupan emosional individu karena empat hal berikut
ini. Pertama, dari pihak pencerita, bercerita merupakan manifestasi early loving
relationship (membangun hubungan cinta) dengan baik jika dia tidak memiliki
perhatian dan rasa sayang yang memadai terhadap pihak yang akan mendengarkan
ceritanya. Merasakan cinta, akan mendorong individu untuk dapat belajar mencintai
dan dicintai. Belajar mencintai dan dicintai bukankah hal yang mudah; bagaimana
menjadi orang yang pantas untuk dicintai dan bagaimana mencintai orang secara
pantas menurut takaran norma dan etika merupakan awal pembelajaran menghargai
hidup dan kehidupan yang penting.13
Kedua, dari sisi bahan yang diceritakan, selalu terkandung pesan, nilai-nilai
dan pemihakan yang jelas atas nilai-nilai tersebut. Seperti halnya tubuh-fisik yang
butuh gizi untuk dapat tumbuh dan berkembang secara sempurna, kepribadian juga
butuh asupan gizi berupa nilai-nilai dan kasih sayang. Setiap cerita selalu memiliki
kandungan nilai-nilai dan kasih sayang sesuai dengan tujuan yang tersirat dalam ide
cerita tersebut. Ketika pencerita menyampai-kan ceritanya, pada saat itu
sesungguhnya ia sedang menyampaikan atau menawarkan nilai-nilai, pesan moral
kepada pendengarnya. Tawaran nilai-nilai dan pesan moral yang dikemas dalamcerita
itu menjadi rangsangan yang bagus bagi berlangsungnya aktivitas otak emosional
sehingga berlangsunglah proses olah rasa.13
Semakin sering ia mendengarkan cerita, semakin terlatihlah kemampuan
untuk olah rasa di wilayah otak emosional anak. Ketiga, dari sisi cara penceritaan,
gaya penyampaian cerita yang enak, tidak membosankan, penuh penghayatan akan
mampu menggugah rasa empati dan simpati pendengarnya terhadap tokoh-tokoh
yang sedang melakonkan cerita tersebut. Penghayatan, rasa empati, dan simpati inilah
yang akan menjadi benih subur bagi tumbuh kembangnya kemampuan mengenali
emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Penyampaian cerita yang tidak bagus akan
gagal menghantarkan pendengarnya mencapai penghayatan yang total terhadap isi
cerita dan tokohtokohnya. Penyampaian cerita semacam itu gagal menyulut
berfungsinya wilayah kehidupan emosional saraf otak.13
Keempat, dari sisi pendengar cerita, bagi individu yang mampu menjadi
pendengar yang baik, dalam arti menjadi pendengar yang kritis dan aktif, ia akan
memiliki kesadaran empathetic, yakni kesanggupan untuk secara imajinatif
memposisikan diri, dan menghayati perasaan orang lain, serta kesanggupan untuk
berbagi perasaan dengan orang lain dalam suatu situasi. Frekuensi penyampaian
cerita atau cerita yang didengar akan membantu anak untuk mengelola rasa, sehingga
mereka dapat menjadi individu yang peka terhadap rangsangan-rangsangan
emosional.13
Pengertian tentang kecerdasan emosional sampai saat ini masih dalam
perdebatan. 265 Menurut Steve Hein, masih dipertentangkan apakah kecerdasan
emosional merupakan suatu potensi bawaan ataukah serangkaian kemampuan,
kompetensi, atau keterampilan. Senada dengan itu, Mayor & Salovey menyatakan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan secara akurat,
memahami, dan mengekspresikan emosi; kemampuan untuk mengetahui dan
menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran; kemampuan
memahami emosi; dan kemampuan mengarahkan emosi guna perkembangan emosi
dan intelektual (Hein, 1999:3). Daniel Goleman cenderung mengikuti definisi Mayor
& Salovey ini dalam mendefinisikan kecerdasan emosional.13
terkait dari proses yang terlibat dalam membaca dan menulis, bercerita adalah strategi
pedagogis efektif yang dapat ditenun menjadi instruksi untuk meningkatkan
kompetensi siswa dalam semua ruang lingkup.14
Perkembangan anak merupakan hasil dari interaksi dinamik antara biologi
(aspek-aspek fisik, genetic) dan lingkungan (psikoedukatif, sosiokultural). Faktor
lingkungan dapat mencetuskan atau merangsang berkembangnya fungsi-fungsi
tertentu, mengatur dan memberikan arah, percepatan atau sebaliknya, menghambat
perkembangan fungsi-fungsi itu. Faktor-faktor diatas dapat dikontrol oleh orang tua.
Orang tua mempunyai peranan penting dalam mengatur lingkungan dimana anak
besar. Dengan mengajarkan anak dengan metode storytelling dapat membuat anak
lebih berkembang salah satunya dalam pembelajaran literasi. Kegiatan anak membaca
dan menulis adalah salah satu komponen yang penting dalam pembelajaran literasi.15
dapat
dinyatakan
dalam
sukacita,
kesedihan,
kegembiraan,
Christie
dan
Richgels,
2003).
Mendengarkan
merupakan
pusat
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anak adalah anugrah dari Tuhan yang luar biasa, kesuksesan anak merupakan
dambaan dan harapan semua orangtua. Untuk menciptakan anak cerdas dan sukses
diperlukan usaha yang maksimal, termasuk model parenting (pola asuh) yang
diterapkan kepada anak. Parenting yang bisa mengembangkan potensi dan kreatifitas
anak adalah model parenting authoritative. Selain itu, untuk membuat anak cerdas
bisa diawali dengan memberikan stimulasi sejak usia dini. Karena pada masa ini anak
disebut sebagai masa golden age (usia keemasan), dimana stimulasi sangat tepat
diberikan untuk mengembangkan kecerdasannya.2
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa storytelling (metode bercerita)
mampu menstimulasi berbagai kecerdasan anak sejak usia dini. Diantaranya,
storytelling mampu meningkatkan kecerdasan bahasa anak, kreatifitas dan
menanamkan moral pada anak usia dini. Namun yang perlu diperhatikan adalah tahap
kognitif anak usia dini masih pada tahap operasional kongkrit, maka bentuk cerita
yang dijadikan sebagai metode bercerita harus menyesuaikan dengan kemampuan
anak.2
DAFTAR PUSTAKA
Anak.
Jurnal
Psikologi
Undip
Volume
12
Nomor
2.
Semarang;2013.p.121-30.
2. Muallifah. Storytelling Sebagai Metode Parenting Untuk Pengembangan
Kecerdasan Anak Usia Dini. Jurnal Psikologi Islam Volume 10 Nomor 1.
Malang;2013.p.98-105.
3. Soleimani H, Akbari M. The Effect Of Storytelling On Childrens Learning
English Vocabulary: A Case In Iran. International Research Journal Of Applied
And Basic Sciences Volume 5. Iran:Science Explorer Publications;2013.p.10413.
4. Roointan Z, Mousavi F. Investigation Of The Influence Of Teaching Via
Storytelling On Verbal Intelligence And Vocabulary Of Preschoolers (Case
Study: Sar Pol Zahab City). Journal Of Applied Environmental And Biological
Sciences Volume 4 Nomor 12. Iran:TextRoad Publication;2014.p.127-32.
5. Yarigarravesh M. The Effect Of Storytelling On The Verbal Intelligence Of
Preschool Children. Indian Journal Of Fundamental And Applied Volume 3
Nomor 3. Tehran;2013.p.566-73.
6. Haven KF, Ducey MG. Crash
Course
Storytelling
Volume
388.
Pascasarjana
Universitas
Pendidikan
Ganesha
Program
Studi
Psikolinguistik.
Humaniora
Volume
19
Nomor
3.
Semarang;2007.p.261-73.
14. Miller S, Pennycuff L. The Power Of Story : Using Storytelling To Improve
Literacy Learning. Journal Of Cross Perspectives In Education Volume 1 Nomor
1. Ravenswood City;2008.p.36-43.
15. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2010.p.393.
16. Davis OL, Yeager EA, Foster SJ. Historical Empathy And Perspective Taking In
The Social Studies. New York:Rowman&Littlefield Publishers.2001.p.16.
17. Ioannidou F, Konstantikaki V. Empathy And Intelligence What Is It Really
About?. International Journal Of Caring Sciences Volume 8 Nomor 3.
Thessaloniki.2008.p.118-23.
18. Cubukcu F. A Synergy Between Storytelling And Vocabulary Teaching Through
TPRS. ELT Research Journal Volume 3 Nomor 2. Turkey;2014.p.84-90.
19. Keshta AS. Using Storytelling In Teaching English In Palestinian Schools :
Perception And Difficulties. Education Journal Volume 2 Nomor 2.
Gaza;2013.p.16-26.
Of Primary One Pupil In Ibadan North Local Government Area Of Oyo State,
Nigeria. International Journal Of Humanities And Social Science Volume 4
Nomor 9. Ibadan;2014.p.100-7.