Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Masa anak-anak merupakan periode yang penting karena masa ini merupakan
fase peletakan landasan bagi kehidupan di tahun-tahun mendatang (Santrock, 2002, h.
8). Jumlah anak yang mencapai 82.840 juta jiwa atau setara dengan 35,8% dari
seluruh penduduk Indonesia (IDAI, 2009) menjadikannya sebagai kelompok yang
potensial untuk dikembangkan demi kemajuan bangsa. Berbagai upaya dilakukan
orangtua untuk mewujudkan hal yang terbaik untuk perkembangan anak. Mulai dari
memperhatikan asupan gizi yang dikonsumsi oleh anak, memenuhi apa yang
dibutuhkan sampai pada memberikan pendidikan kepada anak.1,2
Mencetak anak sukses bukan hanya tergantung pada lembaga pendidikan
formal, melainkan bisa kita mulai dengan memberikan pendidikan di dalam keluarga
sejak usia dini. Menurut Piaget, salah satu tokoh psikologi menyatakan bahwa usia
dini (0-6 tahun) merupakan tahap perkembangan anak yang paling penting. Hal ini
dikarenakan usia dini adalah masa keemasan (golden age) bagi perkembangan otak
anak. Kosasih (2008) menambahkan bahwa The Golden Age adalah masa emas
yang tepat untuk diberikan stimulasi. Pada masa ini perkembangan motorik anak
semakin baik, sejalan dengan perkembangan kognitifnya yang mulai kreatif dan
imajinatif. Daya imajinatif yang tinggi, membuat anak semakin suka menemukan halhal baru. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya informasi yang diberikan kepada
anak secara berulang-ulang akan tersimpan dalam waktu yang lama (Koyan, 2000).
Hal ini menunjukkan bahwa potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh anak usia
dini harus dikembangkan, agar pendidikan yang diberikan bisa optimal.2
Berbagai bentuk pendidikan yang bisa diberikan kepada anak-anak sejak usia
dini. Banyak metode mengajar yang dapat digunakan mulai dari metode bernyanyi,
bermain, bercerita dan karya wisata. Masing-masing metode mempunyai kelemahan
dan kelebihan. Namun banyak penelitian, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
Murdiono pada tahun 2008 dari beberapa metode yang digunakan tersebut, metode

bercerita (storytelling) adalah metode yang efektif dan paling banyak digemari pada
usia anak.2
Storytelling yang berarti penyampaian cerita kepada para pendengar dirasa
tepat dijadikan metode pembelajaran bagi anak karena sifatnya yang menyenangkan,
tidak menggurui, serta dapat mengembangkan imajinasi (Majid, 2008; Yudha, 2007).
Ada beberapa alasan mengapa (storytelling) dianggap efektif dalam memberikan
pendidikan kepada anak. Pertama, cerita pada umumnya lebih berkesan dari pada
nasehat, sehingga pada umumnya cerita terekam jauh lebih kuat dalam memori
manusia. Kedua, melalui (storytelling) anak diajarkan mengambil hikmah.
Penggunaan metode bercerita akan membuat anak lebih nyaman dari pada diceramahi
dengan nasehat. Bagi anak usia dini mendengarkan cerita yang menarik yang dekat
dengan lingkungannya merupakan kegiatan yang menyenangkan.1,2
Anak usia dini memiliki karakter yang khas, mereka lebih suka bermain dan
bersenang-senang. Maka dalam pengajaran pada anak dibutuhkan metode-metode
yang sesuai dengan karakter anak agar proses pengajaran tersebut bisa maksimal. Di
dalam (storytelling) anak-anak dikenalkan dengan berbagai karakter unik yang ada di
dalamnya. Selain itu, anak lebih merasa senang dari pada model pembelajaran
ceramah.1
<etode bercerita (storytelling) memiliki beberapa manfaat, diantaranya; (1)
melalui cerita kita bisa menyisipkan sifat empati, kejujuran, kesetiaan dan keramahan,
ketulusan, (2) memberikan sejumlah pengetahuan sosia, moral dan lain sebagainya,
(3) melatih anak belajar mendengarkan apa yang disampaikan, (4) membuat anak bsia
mengembangkan aspek psikomotor, kognitif dan afektif, (5) metode bercerita mampu
meningkatkan imajinasi dan kreatifitas anak.1
Dari berbagai hasil penelitian yang sudah dikemukakan di atas, dapat
difahami bahwa peran metode bercerita (storytelling) bagi anak usia dini mampu
menumbuhkembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak. Baik dari aspek
psikomotor, kognitif, afeksi maupun moral anak. Untuk itu artikel ini membahas
tentang

metode

storytelling

sebagai

metode

mengembangkan kecerdasan pada anak usia dini.1

parenting

education

untuk

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Storytelling adalah seni lisan kuno yang didefinisikan dalam berbagai cara.
Gere (2002) mendefinisikan sebagai "tindakan menggunakan bahasa dan sikap
dengan cara beragam untuk membuat adegan dalam urutan "(dikutip dalam Behmer,
2005, hal. 2). Menurut McDrury dan Alterio (2003), bercerita adalah pengalaman
manusia unik yang memungkinkan kita untuk menyampaikan melalui bahasa katakata.

Bercerita

memungkinkan

kita

untuk

mengetahui

dunia

nyata

dan

membayangkan tempat kita di dalamnya (Behmer, 2005).3


Secara bahasa Storytelling adalah interaktif, pendengar mendengarkan cerita
yang disampaikan. Metode bercerita (storytelling) merupakan sebuah metode yang
dilakukan oleh seseorang, dengan cara membaca. Menurut Henny (2007) dalam
proses pembelajaran storytelling atau metode bercerita merupakan salah satu metode
untuk meningkatkan kemampuan berbicara. Bercerita bukan hanya berbagi
pengetahuan tentang isi cerita dan pengalaman, tetapi juga memberikan suatu nasihat
kepada anak. Selain itu bercerita juga dapat memperkenalkan anak kepada nila-nilai
moral dan sosial.2
Hal senada juga diungkapkan oleh Brewer (2007) menggambarkan
storytelling adalah bertutur dengan intonasi yang jelas, menceritakan sesuatu yang
berkesan, menarik, punya nilai-nilai khusus dan punya tujuan khusus. Menurut
Henny (2007) melalui metode cerita, anak tidak akan pernah kehabisan akal, karena
cerita akan menimbulkan dampak positif, antara lain; (a) melatih daya tangkap, (b)
melatih daya pikir, (c) melatih daya konsentrasi, (d) membantu perkembangan
imajinasi. (e) menciptakan suasana yang menyenangkan. Wuryandani (2006) dalam
penelitiannya juga menyebutkan bahwa metode bercerita (storytelling) memiliki

beberapa dampak positif, diantaranya; (a) menimbulkan minat untuk membaca bagi
anak-anak, (b) meningkatkan minat baca, (c) membentuk budaya membaca.2
Ketika bercerita, pencerita dapat melakukan dengan teknik yang menarik agar
pesan yang disampaikan oleh penulis atau pengarang cerita dapat disampaikan. Hal
ini bisa dilakukan dengan cara; pengucapan atau peniruan suara, intonasi atau nada
suara, penghayatan watak tokoh cerita, ekspresi cerita, gerak dan penampilan,
kemampuan bahasa yang komunikatif.2

Storytelling Sebagai Metode Mencerdaskan Anak


Menurut kedokteran optimalisasi perkembangan kecerdasan dimulai dari anak
baru lahir sampai usia 5 tahun atau sering disebut dengan usia golden age (usia
emas). Hal ini menunjukkan bahwa hampir 50 persen potensi kecerdasan anak sudah
terbentuk pada usia empat tahun, kemudian secara bertahap mencapai 80 persen pada
usia delapan tahun.2
Kecerdasan adalah sebuah kata yang sangat umum digunakan berbicara tapi
sulit didefinisikan. Definisi kecerdasan sulit karena mengacu pada realitas yang
sangat kompleks dan memiliki banyak aspek. Menurut para peneliti dahulu
kecerdasan dianggap faktor umum atau karakteristik yang dinyatakan dalam berbagai
perilaku. Menurut psikolog kecerdasan adalah kumpulan kemampuan yang relatif
independen.4
Untuk mencerdaskan anak bisa dilakukan dengan memberikan stimulasi.
Diantara cara yang paling mudah adalah dengan membacakan buku pada anak,
terutama sejak usia dini (0-6 tahun). Dengan cara demikian anak bisa merespon
informasi yang disampaikan dalam cerita dan otak menyerap informasi yang
terkandung di dalamnya. Seperti yang sudah diketahui bahwa usia balita disebut
sebagai the golden age, dimana kualitas otak anak sangat ditentukan oleh tiga tahun
pertama kehidupannya. Saat lahir, otak memiliki satu triliun sel otak. Setelah
kelahiran, otak bayi menghasilkan bertriliun-triliun sambungan (sinap) antar neuron

yang banyaknya melebihi kebutuhan. Proses inilah yang membentuk pengalaman dan
akan dibawanya seumur hidup.2
Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh anak tersebut, maka pemberian
stimulus yang tidak maksimal juga akan membuat potensi tidak berkembang dengan
optimal. Untuk mencapai perkembangan potensi anak secara optimal, seharusnya
stimulasi dilakukan sejak anak usia dini. Kemampuan verbal anak-anak prasekolah
memungkinkan dia untuk lebih memahami materi di sekolah dan masa setelah itu.
Misalnya jika ia telah mendapat pengetahuan yang baik dari kosa kata dan informasi
umum yang baik dan ketika memasuki sekolah ia dapat memahami cerita yang lebih
baik dan belajar dengan cepat.2,5
Banyak wacana yang mengatakan akhir-akhir ini orangtua banyak lebih
memilih cara yang lebih instan dan mudah dalam melaksanakan pengasuhan anak.
Hal ini ditunjukkan dengan kurang adanya kontrol dan dampingan orangtua terhadap
pergaulan anak, kegiatan anak dan tontonan program televisi yang disaksikan oleh
anak-anak. Pengaruh media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih &
intensitasnya semakin tinggi. Sementara orangtua tidak memiliki banyak waktu yang
cukup untuk memperhatikan, mendampingi & mengawasi anak. Anak lebih banyak
menghabiskan waktu menonton televisi dari pada melakukan aktifitas lain yang
mampu mengembangkan kreatifitasnya.2
Masih banyak orangtua memandang bahwa beberapa program televisi mampu
menggantikan perannya untuk membuat anak menjadi lebih diam dan menikmati
dengan berbagai bentuk visualnya. Padahal banyak penelitian yang menyatakan
bahwa televisi memiliki beberapa dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak.
Diantaranya, penelitian Prof Sarlito menyebutkan bahwa banyaknya waktu yang
dihabiskan oleh anak-anak untuk melihat televisi menyebabkan anak lebih pasif, sulit
berinteraksi, lebih agresif dan sulit berkomunikasi serta kreatifitas anak menjadi lebih
sempit. Penelitian lain menyebutkan bahwa melihat televisi lebih dari 6 jam sehari
bisa menimbulkan dampak negatif pada anak, diantaranya: mendorong anak menjadi
konsumtif, berpengaruh terhadap sikap, mengurangi semangat belajar, membentuk
pola pikir sederhana, mengurangi konsentrasi, mengurangi kreativitas dan lain

sebagainya (Adhim, 2006). Anak-anak membutuhkan orang tua untuk mendampingi


perkembangan mereka. Anak-anak perlu mendengarkan cerita dengan lengkap bukan
hanya sebagian saja. Maka dari ini pernah orang tua sangat berarti untuk menemani
keseharian anak dimulai dari bercerita.2,6
Model parenting atau pengasuhan dalam keluarga merupakan dasar yang
sangat penting bagi perkembangan dan kesuksesan anak (Karen & Claudio, 2008).
Oleh karena itu, bagaimana kemudian model pengasuhan yang diberikan kepada anak
bisa sesuai dengan pengembangan potensi yang dimiliki anak, termasuk pemberian
stimulasi agar berbagai kecerdasan anak bisa berkembang dengan baik, mengontrol,
mendampingi apa yang disaksikan dan apa yang dilakukan oleh anak. Jadi model pola
asuh authoritative merupakan bentuk pola asuh yang tetap menstimulasi dan
meningkatkan kecerdasan anak.2
Kecerdasan anak relatif stabil pada seluruh tahun usia sekolah. Walaupun
relatif stabil, beberapa faktor dapat mempengaruhi kecerdasan anak. Maka daripada
itu anak-anak disarankan untuk menjalankan tes kecerdasan. Fungsi kecerdasan pada
anak dengan penyakit mental yang parah dan yang berasal dari lingkungan
sosioekonomi yang kekurangan mungkin menurun dengan berjalannya waktu,
sedangkan nilai inteligensia anak yang lingkungannya diperkaya mungkin meningkat
dengan berjalannya waktu. Faktor yang mempengaruhi skor anak terhadap uji fungsi
intelektual tertentu dan dengan demikian mempengaruhi keakuratan tes adalah
motivasi, keadaan emosional, kecemasan, dan lingkungan kultural.7
Berbagai cara bisa dilakukan oleh orangtua untuk menstimulasi kecerdasan
anak, diantaranya; mendengarkan musik, melihat atau mengalami secara langsung
dalam proses pembelajaran. Namun banyak penelitian menyatakan bahwa metode
yang tepat dan efektif untuk menstimulasi berbagai kecerdasan anak usia dini adalah
metode storytelling. Dalam kegiatan storytelling, proses bercerita menjadi sangat
penting, karena dari proses inilah nilai atau pesan dari cerita tersebut dapat sampai
pada anak. Pada saat proses storytelling berlangsung terjadi sebuah penyerapan
pengetahuan yang disampaikan orangtua kepada anak.2

Storytelling Meningkatkan Kecerdasan Bahasa Anak


Dari berbagai penelitian, storytelling digunakan sebagai metode yang mampu
untuk menstimulasi dan meningkatkan kemampuan bahasa verbal anak. Melatih dan
merangsang kemampuan berbahasa anak merupakan salah satu tugas penting bagi
orangtua. Salah satu metode yang tepat menurut kriteria di atas adalah dengan
storytelling atau metode bercerita. Dalam Cerita pada dasarnya memiliki struktur kata
dan bahasa yang lengkap serta menyeluruh yang mana di dalamnya sudah terdapat
sistem aturan bahasa yang mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, semantik
(Santrock, 2007). Lenox (2000) juga menjelaskan efek lain dari storytelling adalah
alat yang sangat kuat untuk meningkatkan pemahaman diri anak dan orang lain
disekitarnya.2
Hal ini dijelaskan oleh Colon (1997 dalam Isbell, Sobol, 2004) yang
menyatakan bahwa dalam storytelling mampu mengajari anak untuk mendengar,
membantu

membangun

keterampilan

komunikasi

oral

dan

tulisan,

dan

mengembangkan pemahaman dari cerita skema. Storytelling juga membantu


mengembangkan kelancaran, menambah perbendaharaan kata, dan membantu
mengingat kata. Selain itu, melalui Storytelling anak menjadi tertarik untuk bertanya
ketika mereka tidak memahami isi cerita, dari proses inilah kemudian perbendaharaan
kata bertambah. Dari berbagai penelitian di atas, dapatlah kita ketahui bahwa metode
storytelling bisa digunakan untuk meningkatkan kecerdasan bahasa anak usia dini.2
Storytelling semakin diakui sebagai implikasi penting secara teoritis dan
praktis (Kim, 1999). Storytelling memiliki banyak kegunaan dalam pendidikan dasar
anak-anak (Collins, 1999). Dia menyimpulkan bahwa cerita menyediakan konseptual
kerangka kerja untuk berpikir yang memungkinkan anak-anak untuk membentuk
pengalaman menjadi satu kesatuan yang mereka bisa mengerti. Cerita memungkinkan
mereka untuk memetakan mental pengalaman dan melihat gambar di kepala mereka;
jitu cerita tradisional memberikan anak-anak dengan model bahasa dan berpikir

bahwa mereka bisa meniru. Dari hal tersebut maka Storytelling sangat berpengaruh
terhadap kecerdasan verbal anak.8
Storytelling Membuat Anak Kreatif
Kreatifitas pada anak usia dini merupakan kemampuan yang bukan hanya ada
begitu saja, tetapi membutuhkan stimulasi dari pihak luar termasuk orangtuanya. Ford
(2007)

menjelaskan

hasil

pengalamannya

mengajar

menggunakan

metode

storytelling yang disesuaikan dengan karakteristik anak, dimana murid-muridnya


memiliki kekurangan dalam memecahkan masalah secara kreatiaf. Melalui
storytelling Ford mengungkapkan bahwa anak didiknya menjadi lebih kreatif dalam
menjawab soal dan memecahkan masalah.2
Storytelling mampu meningkatkan kreatifitas anak, karena di dalamnya
membuat pencerita berfikir bagaimana cerita itu disampaikan dengan model yang
berbeda dan kreatif. Misalnya, ketika membacakan buku tentang warna dan bentuk
buah-buahan, orang tua dapat mengambil buah yang asli dan menjelaskannya pada
anak. Anak dapat merasakan tekstur buah, dan mengetahui warna aslinya. Selain itu,
aspek yang harus diperhatikan agar berjalan dengan efektif adalah memiliki
komunikasi dua arah (antara storyteller dan pendengar).2,8

Storytelling Mengajarkan Moral pada Anak Usia Dini


Dalam storytelling juga mengandung unsur modelling (teladan) yang bisa
diberikan kepada anak melalui ceritanya. Sebagai orangtua pasti menginginkan sikap
dan prilaku anak memiliki moral yang baik. Untuk mengajarkan moral yang positif
pada anak usia dini tidak mungkin dengan memberikan ceramah yang panjang dan
memarahi jika anak berbuat salah. Salah satu metode yang disenangi anak tanpa harus
memaksanya adalah dengan bercerita (storytelling). Di dalamnya orangtua bisa
memberikan cerita yang mengandung unsur-unsur moral dan mengajarkan nilai-nilai
moral yang baik kepada anak. Misalnya, sambil bercerita orangtua mengajarkan anak
untuk berdoa setiap sebelum dan sesudah makan, berterimakasih dan bersyukur

dengan nikmat yang diterima, dan bersikap sopan santun kepada orang lain. Melalui
storytelling anak tanpa merasa diguruhi dan dinasehati dengan kata-kata yang
menakutkan. Dengan demikian orangtua bisa mengajarkan dan menanamkan moral
kepada anak sejak usia dini.2
Dalam

menggunakan

Storytelling

(metode

bercerita)

hendaknya

menyesuaikan dengan level kognitif anak. Dimana pada usia dini, level kognitif
mereka masih pada operasional kongrit (Santrock, 2007). Jadi cerita yang dibacakan
atau disampaikan haruslah menyesuaikan tingkat kemampuan kognitif anak.2
Borba (2001) merumuskan bahwa kecerdasan moral yaitu kemampuan
memahami kebenaran dari kesalahan, artinya memiliki keyakinan etika yang kuat dan
bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan
terhormat. Kecerdasan yang sangat penting ini mencakup karakter-karakter utama,
seperti kemampuan memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat,
mampu mengendalikan dorongan dan menunda pemuasan, mendengarkan dari
berbagai pihak sebelum memberikan penilaian, menerima dan menghargai perbedaan,
dapat memahami pilihan yang tidak etis, dapat berempati, memperjuangkan keadilan,
dan menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat pada orang lain.9
Borba (2001) menyatakan kecerdasan moral terbangun dari tujuh kebajikan
utama yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik budi, toleransi dan adil yang
membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan etika yang tidak dapat
dihindarkan dalam kehidupannya kelak. Kebajikan-kebajikan utama tersebut yang
akan melindunginya agar tetap berada di jalan yang benar dan membantunya agar
selalu bermoral dalam bertindak. Perkembangan moral merupakan suatu proses yang
terus menerus berkelanjutan sepanjang hidup. Meningkatnya kapasitas moral anak
dan didukung dengan kondisi yang baik, anak berpotensi menguasai moralitas yang
lebih tinggi. Setiap kali anak berhasil menguasai satu kebajikan, kecerdasan moralnya
bertambah dan ia pun menaiki tangga kecerdasan moral yang lebih tinggi.9
Temuan penting yang dilaporkan adalah anak-anak dengan kecerdasan moral
tinggi menunjukkan korelasi dengan academic performance dan peningkatan prestasi
yang signifikan (Blocks, 2002). Kochanska, Murray, dan Harlan (McCartney &

Phillips, 2006) menyimpulkan dari berbagai penelitian bahwa kecerdasan moral


berpengaruh terhadap kemampuan regulasi diri pada anak usia dini maupun
prasekolah. Konsep kecerdasan moral memberikan pemahaman bahwa kecerdasan
moral dapat diajarkan.9
Sanchez dkk. (2009) mengungkapkan kekuatan utama strategi dongeng adalah
menghubungkan rangsangan melalui penggambaran karakter. Dongeng memiliki
potensi untuk memperkuat imajinasi, memanusiakan individu, meningkatkan empati
dan pemahaman, memperkuat nilai dan etika, dan merangsang proses pemikiran
kritis/kreatif. Menurut Horn (Staden & Watson, 2007) dongeng mempunyai
kemampuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang benar untuk siswa anak usia
dini. Selain itu, metode dongeng dapat dijadikan sebagai media membentuk
kepribadian dan moralitas anak usia dini.9
Menurut Borba (2001) dongeng tentang suatu kebajikan serta pengaruhnya
dalam memberikan perubahan yang positif di dunia akan membantu anak memahami
kekuatan kebajikan tersebut dan membuat mereka berpikir bahwa mereka pun dapat
melakukan sesuatu bagi dunia. Metode dongeng memiliki sejumlah aspek yang
diperlukan dalam perkembangan kejiwaan anak, memberi wadah bagi anak untuk
belajar berbagai emosi dan perasaan dan belajar nilai-nilai moral. Anak akan belajar
pada pengalaman-pengalaman sang tokoh dalam dongeng, setelah itu memilah mana
yang dapat dijadikan panutan olehnya sehingga membentuknya menjadi moralitas
yang dipegang sampai dewasa.9
Anak dapat meniru model, anak dapat menangkap inspirasi mengenai perilaku
moral dapat diberikan penguatan (reinforcement) sehingga setahap demi setahap anak
dapat meningkatkan kecerdasan moralnya. Semakin dini diajarkan kepada anak
semakin besar kapasitas anak untuk mencapai karakter yang solid yaitu growing to
think, believe, and act morally (Coles, 1999). Fittro (Mukti & Hwa, 2004)
menyatakan bahwa anak-anak mengembangkan moralitas perlahan dan bertahap.
Setiap tahap membawa anak lebih dekat dengan pembangunan moral dewasa. Fittro
juga mencatat bahwa salah satu cara yang efektif untuk membantu anak-anak kita
mengubah moral mereka menjadi positif adalah mengajar perilaku moral dengan

contoh. Namun, anak-anak dikelilingi oleh contoh buruk. Selain menetapkan contoh
yang baik bagi anak-anak, salah satu hal sederhana yang dapat kita lakukan adalah
membaca sebuah dongeng yang dapat menghubungkan mereka dengan sebuah prinsip
atau nilai.9

Storytelling Membangun Attachment (Kelekatan) Antara Orangtua dan Anak


Dalam storytelling bukan hanya bisa meningkatkan berbagai kecerdasan pada
diri anak, namun melalui metode cerita juga mampu meningkatkan kelekatan
(attachment) antara orang tua dan anak. Karena dalam storytelling orang tua mampu
membangun komunikasi efektif, memberikan suasana menyenangkan dan membuat
anak merasa nyaman dengan berbagai cerita yang diberikan. Selain itu, melalui
storytelling orang tua juga memberikan perhatian yang dibutuhkan oleh anak,baik
secara emosional meupun secara sosial.2
Orang tua dianjurkan untuk membangun hubungan yang baik dengan anak.
Orang tua memegang peranan penting dalam evaluasi psikiatri anak. Sebuah evaluasi
menyeluruh dari anak terdiri dari wawancara dengan orang tua, anak, dan anggota
keluarga lainnya. Kemudian mengumpulkan informasi mengenai fungsi sekolah anak
saat ini dan prestasi akademik. Evaluasi psikiatri anak jarang diprakarsai oleh anak,
sehingga dokter harus memperoleh informasi dari keluarga dan sekolah untuk
memahami informasi untuk evaluasi. Oleh karena hal diatas maka orang tua
dianjurkan membangun hubungan baik dengan anak salah satu cara melalui
storytelling.11
Brewer (2007) menyatakan bahwa melalui storytelling mampu membangun
hubungan yang harmonis dan dekat antara orang tua dan anak. Selain itu juga
hubungan anak dan orang tua dapat menjadi peranan penting dalam menurunkan
semua adat istiadat dan nama baik keluarga. Semakin bagus kelekatan yang dibangun
antara orangtua dan anak, maka semakin bagus pula stimulasi kecerdasan yang
diberikan kepada anak. Hal ini tentunya bisa meningkatkan kecerdasan anak.2,11

Storytelling Membangun Sikap Mandiri Pada Anak


Sikap mandiri anak harus dibina sejak usia dini, seandainya sikap mandiri
anak ditanamkan setelah anak besar, sikap mandiri itu akan menjadi tidak utuh.
Secara alamiah anak sudah mempunyai dorongan untuk mandiri atas dirinya sendiri.
Mereka terkadang lebih senang untuk biasa mengurus dirinya sendiri dari pada
dilayani. Sayangnya orang tua sering menghambat keinginannya dan dorongan untuk
menjadi mandiri. Sikap mandiri yang diajar kan pada anak sejak dini akan
membuatnya, dapat mengatur waktu kegiatannya sendiri dan membuat anak terbiasa
me nolong orang lain serta lebih bisa menghargai orang lain. Oleh karena itu sikap
mandiri pada anak sangat di-perlukan karena dengan kemandirian, anak bisa menjadi
lebih bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhannya .(Sidharto&Izzaty,2004).12
Selain mengembangkan sikap mandiri anak pengembangan kemam-puan
berbahasa anak juga perlu di-kembangkan karena kemampuan ber-bahasa pada
dasarnya merupakan rangkaian bunyi yang melambangkan pikiran, perasaan serta
sikap (Akhadiah, dkk, 2000: 2).12
Pemanfaatan akan media gambar akan sangat penting baik bagi guru maupun
anak, karena media mem punyai fungsi penting dalam pendidikan antara lain yaitu
sebagai media instruksional edukatif sangat dipengaruhi oleh ruang, waktu,
pendengaran serta sarana dan prasarana yang teredia, disamping itu sifat dari media
instruksional edukatif. Fungsi media pembelajaran menyampaikan imformasi dalam
proses belajar mengajar, mem-perjelas informasi pada waktu tatap muka dalam
proses belajar mengajar. Dengan menggunakan media intruksi- onal edukatif secara
tepat, dapat menimbulkan semangat yang lesu menjadi bergairah, pelajaran yang
langsung menjadi lebih hidup, mudah dicerna dan tahan lama dalam menyerap pesanpesan. Dengan demikian gambar menjadi media pembelajaran yang utama dalam
meningkatkan sikap mandiri anak.12

Pemilihan metode bercerita didalam kegiatan pembelajaran dapat menarik


minat anak didalam mendengarkan cerita yang diceritakan oleh guru dengan media
gambar, anak dapat mengayati dan peran-peran yang ada pada gambar yang
diceritakan,

melalui

perbuatan,

menunjukkan

sikap-sikap

bahwa

dengan

menggunakan metode bercerita dengan media gambar sebagai sumber belajar dan
sumber cerita akan dapat meningkat kan sikap mandiri anak.12
Pengembangan sikap mandiri ini akan mudah berkembang bagi anak TK
asalkan guru pintar memilih metode pengajaran. Metode yang sangat cocok
diterapkan adalah metode bercerita. Metode bercerita merupakan salah satu
pemberian pengalaman belajar bagi anak TK dengan membawakan cerita kepada
anak secara lisan. Dengan metode bercerita anak-anak akan kembali pada dunia
kehidupannya yang penuh suka cita, karena menimbulkan perasaan alami mereka
seperti gembira, lucu, dan mengasyikkan. Dunia kehidupan anak-anak itu dapat
berkaitan dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan luar sekolah, yang bersifat unik
dan menarik, yang menggetarkan perasaan anak, dan memotivasi anak untuk
mendengarkan cerita itu sampai tuntas, sehingga mampu mengambil pesan-pesan
moral yang disampaikan oleh guru saat ber-cerita, dan mampu memotivasi anak agar
mampu memiliki sikap mandiri.12

Storytelling Meningkatkan Kecerdasan Emosional


Kecerdasan emosional bukanlah sesuatu yang dimiliki seorang anak secara
genetis atau bawaan, tetapi merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan
dikembangkan (Dulewicz dan Higgs, 2000:1). Oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya-upaya yang dapat mengembangkannya secara sehat agar pada masa-masa yang
akan datang lahir generasi yang lebih baik daripada generasi sekarang. Ungkapan
penyair Libanon Khalil Gibran bahwa anak itu seperti anak panah yang telah lepas
dari busurnya dan dia adalah milik sang hidup itu sendiri, tidak diartikan secara
harafiah bahwa anak setelah lahir dibiarkan begitu saja. Akan tetapi, di dalam
kelepasannya itu tetap ada peran orang tua untuk mendidik dan mengarahkan.

Apalagi, bila dikaitkan dengan realitas, anak dalam kesehariannya terus melakukan
interaksi dengan kedua orang tuanya. Salah satu cara yang relevan dengan tuntutan
tersebut antara lain dengan mengajarkan karya sastra.13
Cerita merupakan medium yang sangat baik. Cerita, yang diceritakan dengan
baik, dapat menginspirasikan suatu tindakan; membantu perkembangan apresiasi
kultural; kecerdasan emosional; memperluas pengetahuan anakanak; atau hanya
menimbulkan kesenangan. Mendengarkan cerita, membantu anak-anak memahami
dunia mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain (Raines dan
Isbell, 2002:vii). Ketika anak-anak mendengar cerita, mereka menggunakan imajinasi
mereka. Mereka menggambarkan isi cerita dari deskripsi pembaca cerita. Kreativitas
ini bergantung pada bagaimana pembaca cerita dapat menghidupkan ceritanya, dan
bagaimana pendengar aktif menginterpretasikan apa yang didengarnya. Anak-anak
mendapat kesenangan dari seluruh pengalaman itu. Dari uraian di atas jelas kiranya
keterkaitan antara pengembangan kecerdasan emosional dan penjelajahan dialog
antartokoh dalam cerita. Setidaknya, melalui penelitian ini akan ditemukan model
yang dapat memperkaya pengalaman anak dari contoh-contoh model kehidupan para
tokoh yang ada dalam cerita.13
Anak tidak perlu belajar dan berlatih untuk kecerdasan emosional dari
kehidupan nyata yang memerlukan sekian banyak waktu untuk mendapatkannya.
Cerita, sebagai contoh baik kristal kehidupan masyarakat, dapat menjadi sarana
pengembangan kecerdasan emosional yang efektif dan efisien bagi anak.13
Kecerdasan emosional merupakan wacana baru di wilayah psikologi dan
paedagogi, setelah bertahun-tahun masyarakat sangat meyakini bahwa faktor penentu
keberhasilan hidup seseorang adalah kecerdasan intelektual (IQ). Temuan penelitian
di bidang psikologi oleh Howard Gardner tentang Multiple Intelligence, yang
menyatakan bahwa manusia memiliki banyak kecerdasan, bukan hanya kecerdasan
intelektual saja, telah membuka cakrawala baru tentang potensi manusia yang belum
dieksplorasi untuk mendorong keberhasilan hidup. Riset di bidang psikologi terus
berkembang sampai akhirnya Solovey dan Mayer (1996) menemukan kecerdasan
emosional sebagai salah satu faktor penting bagi kesuksesan hidup manusia. Temuan

Solevey dan Mayer (1996) tersebut disempurnakan oleh Patton (1997) dan Goleman
(1999) (Nugroho, 2003:1).13
Pengembangan kecerdasan emosional melalui bercerita berkaitan dengan
konsep bahwa individu yang memiliki kcerdasan emosional umumnya menampilkan
ciri yang menonjol dalam hal mampu mengelola emosi diri sendiri dan emosi orang
lain serta menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain. Bercerita mampu
menggugah bagi tersulutnya kehidupan emosional individu karena empat hal berikut
ini. Pertama, dari pihak pencerita, bercerita merupakan manifestasi early loving
relationship (membangun hubungan cinta) dengan baik jika dia tidak memiliki
perhatian dan rasa sayang yang memadai terhadap pihak yang akan mendengarkan
ceritanya. Merasakan cinta, akan mendorong individu untuk dapat belajar mencintai
dan dicintai. Belajar mencintai dan dicintai bukankah hal yang mudah; bagaimana
menjadi orang yang pantas untuk dicintai dan bagaimana mencintai orang secara
pantas menurut takaran norma dan etika merupakan awal pembelajaran menghargai
hidup dan kehidupan yang penting.13
Kedua, dari sisi bahan yang diceritakan, selalu terkandung pesan, nilai-nilai
dan pemihakan yang jelas atas nilai-nilai tersebut. Seperti halnya tubuh-fisik yang
butuh gizi untuk dapat tumbuh dan berkembang secara sempurna, kepribadian juga
butuh asupan gizi berupa nilai-nilai dan kasih sayang. Setiap cerita selalu memiliki
kandungan nilai-nilai dan kasih sayang sesuai dengan tujuan yang tersirat dalam ide
cerita tersebut. Ketika pencerita menyampai-kan ceritanya, pada saat itu
sesungguhnya ia sedang menyampaikan atau menawarkan nilai-nilai, pesan moral
kepada pendengarnya. Tawaran nilai-nilai dan pesan moral yang dikemas dalamcerita
itu menjadi rangsangan yang bagus bagi berlangsungnya aktivitas otak emosional
sehingga berlangsunglah proses olah rasa.13
Semakin sering ia mendengarkan cerita, semakin terlatihlah kemampuan
untuk olah rasa di wilayah otak emosional anak. Ketiga, dari sisi cara penceritaan,
gaya penyampaian cerita yang enak, tidak membosankan, penuh penghayatan akan
mampu menggugah rasa empati dan simpati pendengarnya terhadap tokoh-tokoh
yang sedang melakonkan cerita tersebut. Penghayatan, rasa empati, dan simpati inilah

yang akan menjadi benih subur bagi tumbuh kembangnya kemampuan mengenali
emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Penyampaian cerita yang tidak bagus akan
gagal menghantarkan pendengarnya mencapai penghayatan yang total terhadap isi
cerita dan tokohtokohnya. Penyampaian cerita semacam itu gagal menyulut
berfungsinya wilayah kehidupan emosional saraf otak.13
Keempat, dari sisi pendengar cerita, bagi individu yang mampu menjadi
pendengar yang baik, dalam arti menjadi pendengar yang kritis dan aktif, ia akan
memiliki kesadaran empathetic, yakni kesanggupan untuk secara imajinatif
memposisikan diri, dan menghayati perasaan orang lain, serta kesanggupan untuk
berbagi perasaan dengan orang lain dalam suatu situasi. Frekuensi penyampaian
cerita atau cerita yang didengar akan membantu anak untuk mengelola rasa, sehingga
mereka dapat menjadi individu yang peka terhadap rangsangan-rangsangan
emosional.13
Pengertian tentang kecerdasan emosional sampai saat ini masih dalam
perdebatan. 265 Menurut Steve Hein, masih dipertentangkan apakah kecerdasan
emosional merupakan suatu potensi bawaan ataukah serangkaian kemampuan,
kompetensi, atau keterampilan. Senada dengan itu, Mayor & Salovey menyatakan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan secara akurat,
memahami, dan mengekspresikan emosi; kemampuan untuk mengetahui dan
menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran; kemampuan
memahami emosi; dan kemampuan mengarahkan emosi guna perkembangan emosi
dan intelektual (Hein, 1999:3). Daniel Goleman cenderung mengikuti definisi Mayor
& Salovey ini dalam mendefinisikan kecerdasan emosional.13

Storytelling Mengembangkan Pembelajaran Literasi


Agar sekolah dapat meningkatan pembelajaran literasi dari semua siswa,
strategi pedagogis yang berbeda perlu digunakan. Menggunakan storytelling di dalam
kelas adalah salah satu cara untuk mengatasi pembelajaran literasi dengan
meningkatkan bahasa lisan, membaca pemahaman, dan menulis. Karena sifat saling

terkait dari proses yang terlibat dalam membaca dan menulis, bercerita adalah strategi
pedagogis efektif yang dapat ditenun menjadi instruksi untuk meningkatkan
kompetensi siswa dalam semua ruang lingkup.14
Perkembangan anak merupakan hasil dari interaksi dinamik antara biologi
(aspek-aspek fisik, genetic) dan lingkungan (psikoedukatif, sosiokultural). Faktor
lingkungan dapat mencetuskan atau merangsang berkembangnya fungsi-fungsi
tertentu, mengatur dan memberikan arah, percepatan atau sebaliknya, menghambat
perkembangan fungsi-fungsi itu. Faktor-faktor diatas dapat dikontrol oleh orang tua.
Orang tua mempunyai peranan penting dalam mengatur lingkungan dimana anak
besar. Dengan mengajarkan anak dengan metode storytelling dapat membuat anak
lebih berkembang salah satunya dalam pembelajaran literasi. Kegiatan anak membaca
dan menulis adalah salah satu komponen yang penting dalam pembelajaran literasi.15

Storytelling Mengembangkan Perilaku Empati Pada Anak


Empati merupakan dasar dari semua keterampilan sosial (Shapiro, 2003).
Empati tetap perlu dikembangkan meskipun kemampuan ini merupakan bawaan
alamiah yang diperoleh dari genetika orangtua (Borba, 2008; Hoffman, 1994). Salah
satu faktor yang mempengaruhi empati adalah perspective taking. Perspective taking
memungkinkan anak mengetahui bahwa pemikiran, perasaan, serta keinginannya bisa
jadi berbeda dengan orang lain. Empati dapat dilatih dengan beragam cara salah
satunya dengan menyampaikan pendapat ke orang lain. Salah satu kegiatan yang
dapat dilakukan adalah melakukan presentasi di depan orang-orang. Untuk
melakukan presentasi anak-anak akan mencontoh para guru yang mengajar setiap
hari. Dengan metode storytelling diharapkan anak-anak dapat mencontohnya dan
dengan begitu maka empati anak-anak akan berkembang sendirinya.1,16
Empati

dapat

dinyatakan

dalam

sukacita,

kesedihan,

kegembiraan,

penderitaan, rasa sakit dan kebingungan. Dalam perawatan kesehatan, empati


memungkinkan professional paramedis dan pasien untuk bekerja sama (Le Compte A
2000). Hal ini sering digambarkan sebagai "kemampuan untuk melihat dunia melalui

mata seseorang yang lain", berarti mengembangkan kemampuan membayangkan apa


yang orang lain berpikir dan merasa di situasi tertentu. Ini merupakan upaya untuk
memahami satu sama lain, untuk hidup dan merasakan hal-hal dengan cara yang
sama.17
Storytelling diharapkan mampu menjadi salah satu metode yang dapat
digunakan untuk megembangkan empati anak dengan memberikan gambaran pada
anak bahwa setiap orang memiliki keadaan internal yang berbeda-beda. Storytelling
membantu anak untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain.1
Storytelling yang berarti penyampaian cerita kepada para pendengar dirasa
tepat dijadikan metode pembelajaran bagi anak karena sifatnya yang menyenangkan,
tidak menggurui, serta dapat mengembangkan imajinasi (Majid, 2008; Yudha, 2007).
Cerita yang disajikan melalui storytelling

akan mengisi memory anak dengan

berbagai informasi termasuk nilai-nilai kehidupan dan berbagai sudut pandang.


Peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita akan memperkaya pengalaman anak
sehingga dapat digunakan sebagai bahan referensi pemecahan masalah atau
mengubah perilaku (Burns, 2005).1
Memory sebagai tempat penyimpanan berbagai informasi mengenai dunia
sosial diharapkan mampu membantu anak dalam menghadapi kehidupan nyata.
Memory berperan dalam pengambilan keputusan mengenai respon perilaku yang
seharusnya diambil, karena memory merupakan sumber informasi yang akan
digunakan sebagai pertimbangan saat seseorang dihadapkan pada sebuah situasi
sosial. Empati akan dimunculkan melalui pemrosesan informasi sosial ketika anak
mempertimbangkan konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Berdasarkan
uraian diatas maka storytelling, memori dan empati sangat berpengaruh satu sama
lain.1

Storytelling Meningkatkan Kemampuan Mendengar Anak


Pengetahuan kosakata merupakan salah satu prediktor terbaik dari membaca
prestasi (Lewis, 1996; Richek, 2005). Bromley (2004), dalam tinjauan komprehensif

penelitian tentang pengembangan kosakata, menyimpulkan bahwa pengetahuan


kosakata mempromosikan membaca kelancaran, meningkatkan pemahaman bacaan,
meningkatkan prestasi akademik, dan meningkatkan pemikiran dan komunikasi.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa storytelling dapat meningkatkan
kecerdasan verbal anak dan otomatis semua anak-anak berkembang kemampuan
mendengarnya.18
Mendongeng memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperluas kosa
kata mereka karena mereka memecahkan arti kata-kata, berdasarkan konteks cerita
yang mereka dengar atau baca. Mendengarkan cerita juga meningkatkan pemahaman
siswa tentang tata bahasa dan sastra perangkat karena mereka melihat mereka dalam
sebuah cerita (Wojciechowicz, 2003).19
Mendengarkan sangat penting karena semua kemampuan bahasa anak ikut
berkembang dan mendengarkan adalah salah satu yang berkembang paling awal
(Roskos,

Christie

dan

Richgels,

2003).

Mendengarkan

merupakan

pusat

perkembangan anak dan keterampilan lainnya, termasuk kelangsungan hidup, sosial


dan keterampilan intelektual. (Wolvin dan Coakley, 2000). Mendengarkan
pemahaman dianggap sebagai salah satu keterampilan yang paling prediktif dari
keseluruhan dan keberhasilan sekolah jangka panjang (Brigman, Lane dan Switzer,
2001). Oleh karena itu meningkatkan kemampuan mendengar anak salah satu caranya
dengan storytelling.20

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Anak adalah anugrah dari Tuhan yang luar biasa, kesuksesan anak merupakan
dambaan dan harapan semua orangtua. Untuk menciptakan anak cerdas dan sukses
diperlukan usaha yang maksimal, termasuk model parenting (pola asuh) yang
diterapkan kepada anak. Parenting yang bisa mengembangkan potensi dan kreatifitas
anak adalah model parenting authoritative. Selain itu, untuk membuat anak cerdas
bisa diawali dengan memberikan stimulasi sejak usia dini. Karena pada masa ini anak
disebut sebagai masa golden age (usia keemasan), dimana stimulasi sangat tepat
diberikan untuk mengembangkan kecerdasannya.2
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa storytelling (metode bercerita)
mampu menstimulasi berbagai kecerdasan anak sejak usia dini. Diantaranya,
storytelling mampu meningkatkan kecerdasan bahasa anak, kreatifitas dan
menanamkan moral pada anak usia dini. Namun yang perlu diperhatikan adalah tahap
kognitif anak usia dini masih pada tahap operasional kongkrit, maka bentuk cerita
yang dijadikan sebagai metode bercerita harus menyesuaikan dengan kemampuan
anak.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Ayuni RD, Siswati, Rusmawati D. Pengaruh Storytelling Terhadap Perilaku


Empati

Anak.

Jurnal

Psikologi

Undip

Volume

12

Nomor

2.

Semarang;2013.p.121-30.
2. Muallifah. Storytelling Sebagai Metode Parenting Untuk Pengembangan
Kecerdasan Anak Usia Dini. Jurnal Psikologi Islam Volume 10 Nomor 1.
Malang;2013.p.98-105.
3. Soleimani H, Akbari M. The Effect Of Storytelling On Childrens Learning
English Vocabulary: A Case In Iran. International Research Journal Of Applied
And Basic Sciences Volume 5. Iran:Science Explorer Publications;2013.p.10413.
4. Roointan Z, Mousavi F. Investigation Of The Influence Of Teaching Via
Storytelling On Verbal Intelligence And Vocabulary Of Preschoolers (Case
Study: Sar Pol Zahab City). Journal Of Applied Environmental And Biological
Sciences Volume 4 Nomor 12. Iran:TextRoad Publication;2014.p.127-32.
5. Yarigarravesh M. The Effect Of Storytelling On The Verbal Intelligence Of
Preschool Children. Indian Journal Of Fundamental And Applied Volume 3
Nomor 3. Tehran;2013.p.566-73.
6. Haven KF, Ducey MG. Crash

Course

Storytelling

Volume

388.

Westport:Greenwood Publishing Group;2007.p.10.


7. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis Jilid II. Tangerang:Binarupa Aksara Publisher;2010.p.686.
8. Isbell R, Sobol J, Lindaeur L, Lowrance A. The Effects Of Storytelling And
Story Reading On The Oral Language Complexity And Story Comprehension Of

Young Children. Early Childhood Education Journal Volume 32 Nomor 3.


Johnson City:Springer Science;2014.p.157-63.
9. Ahyani LN. Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan
Moral Anak Usia Pra Sekolah. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus Volume
10 Nomor 1. Jepara;2010.p.24-32.
10. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi 10. Philadelphia:Lippincott Williams &
Wilkins.2007.p.1127
11. Lenox MF. Storytelling For Young Children In A Multicultural World. Early
Childhood Education Journal Volume 28 Nomor 2. Columbia;2000.p.97-103.
12. Nugraha NM, Marhaeni IN, Tika N. Penggunaan Metode Bercerita Dengan
Media Gambar Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Dan Sikap
Mandiri Anak Kelompok A Tk Negeri Pembina Bangli Tahun Ajaran 2012/2013.
Program

Pascasarjana

Universitas

Pendidikan

Ganesha

Program

Studi

Pendidikan Dasar Volume 4. Bali:2014.p.1-8.


13. Subyantoro. Model Bercerita Untuk Meningkatkan Kecerdasan Anak : Aplikasi
Ancangan

Psikolinguistik.

Humaniora

Volume

19

Nomor

3.

Semarang;2007.p.261-73.
14. Miller S, Pennycuff L. The Power Of Story : Using Storytelling To Improve
Literacy Learning. Journal Of Cross Perspectives In Education Volume 1 Nomor
1. Ravenswood City;2008.p.36-43.
15. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2010.p.393.
16. Davis OL, Yeager EA, Foster SJ. Historical Empathy And Perspective Taking In
The Social Studies. New York:Rowman&Littlefield Publishers.2001.p.16.
17. Ioannidou F, Konstantikaki V. Empathy And Intelligence What Is It Really
About?. International Journal Of Caring Sciences Volume 8 Nomor 3.
Thessaloniki.2008.p.118-23.
18. Cubukcu F. A Synergy Between Storytelling And Vocabulary Teaching Through
TPRS. ELT Research Journal Volume 3 Nomor 2. Turkey;2014.p.84-90.
19. Keshta AS. Using Storytelling In Teaching English In Palestinian Schools :
Perception And Difficulties. Education Journal Volume 2 Nomor 2.
Gaza;2013.p.16-26.

20. Oduolowu E, Ekintemi, Oluwakemi E. Effect Of Storytelling On Listening Skills

Of Primary One Pupil In Ibadan North Local Government Area Of Oyo State,
Nigeria. International Journal Of Humanities And Social Science Volume 4
Nomor 9. Ibadan;2014.p.100-7.

Anda mungkin juga menyukai

  • Journal Translate
    Journal Translate
    Dokumen3 halaman
    Journal Translate
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Hepatologi
    Hepatologi
    Dokumen9 halaman
    Hepatologi
    HeidyGraciaPalempung
    Belum ada peringkat
  • Gastroenterologi
    Gastroenterologi
    Dokumen16 halaman
    Gastroenterologi
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Reumatologi
    Reumatologi
    Dokumen13 halaman
    Reumatologi
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Geriatri1
    Geriatri1
    Dokumen18 halaman
    Geriatri1
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • 01.1. Prosedur Dan Tindakan Kardiologi
    01.1. Prosedur Dan Tindakan Kardiologi
    Dokumen19 halaman
    01.1. Prosedur Dan Tindakan Kardiologi
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Referat CLP Charity
    Referat CLP Charity
    Dokumen30 halaman
    Referat CLP Charity
    Rafles Simbolon
    Belum ada peringkat
  • Pulmonologi
    Pulmonologi
    Dokumen48 halaman
    Pulmonologi
    Clerik Heal
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Flow
    Lapkas Flow
    Dokumen13 halaman
    Lapkas Flow
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Etiologi&Epidemiologi
    Etiologi&Epidemiologi
    Dokumen2 halaman
    Etiologi&Epidemiologi
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Cover Interna
    Laporan Kasus Cover Interna
    Dokumen1 halaman
    Laporan Kasus Cover Interna
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • He Sterilisasi
    He Sterilisasi
    Dokumen16 halaman
    He Sterilisasi
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • 3496
    3496
    Dokumen12 halaman
    3496
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Keespto
    Keespto
    Dokumen13 halaman
    Keespto
    Risa Yuniadilla
    Belum ada peringkat
  • He Per
    He Per
    Dokumen6 halaman
    He Per
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Steri Lisas I
    Steri Lisas I
    Dokumen1 halaman
    Steri Lisas I
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Health Education Kehamilan Ektopik Terganggu 2
    Health Education Kehamilan Ektopik Terganggu 2
    Dokumen3 halaman
    Health Education Kehamilan Ektopik Terganggu 2
    Jemmy Sie
    Belum ada peringkat
  • Brosur HE
    Brosur HE
    Dokumen3 halaman
    Brosur HE
    Andy Abraham Rangan
    Belum ada peringkat
  • BAB I Lapkas
    BAB I Lapkas
    Dokumen13 halaman
    BAB I Lapkas
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Hiperemesis Gravidarum
    Hiperemesis Gravidarum
    Dokumen4 halaman
    Hiperemesis Gravidarum
    Endriko Toreh
    Belum ada peringkat
  • He 1
    He 1
    Dokumen14 halaman
    He 1
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR Perrr
    DAFTAR Perrr
    Dokumen2 halaman
    DAFTAR Perrr
    Laalaa Shalvy Sima
    Belum ada peringkat
  • 3 Daftar Hadir HE Kelahiran Prematur
    3 Daftar Hadir HE Kelahiran Prematur
    Dokumen1 halaman
    3 Daftar Hadir HE Kelahiran Prematur
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Promosi Qbule
    Promosi Qbule
    Dokumen1 halaman
    Promosi Qbule
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Per Tanya An
    Per Tanya An
    Dokumen1 halaman
    Per Tanya An
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Perdarahan Antepartum
    Perdarahan Antepartum
    Dokumen35 halaman
    Perdarahan Antepartum
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • HE (Hemoragic Antepartum)
    HE (Hemoragic Antepartum)
    Dokumen21 halaman
    HE (Hemoragic Antepartum)
    Randy Nicholas Lesiasel
    Belum ada peringkat
  • Katarak Senilis Matur
    Katarak Senilis Matur
    Dokumen12 halaman
    Katarak Senilis Matur
    arlinferlin
    Belum ada peringkat