Dirangkum oleh:
Putu Tantri Kumalasari.,ST.,MT
1. Pengertian liquefaction.
Liquefaction adalah suatu kejadian dimana suatu massa tanah mengalami
kehilangan kekuatan mekanisnya pada kondisi tanah yang jenuh air, pada jenis tanah
yang non-kohesif yang disebabkan oleh kenaikan nilai pore water pressure (tegangan air
pori) pada saat mengalami beban dinamis. Menurut Sladen dkk, (1985), Liquefaction
adalah suatu fenomena dimana massa tanah mengalami kehilangan nilai shear resistance
karena adanya suatu kondisi yang bersifat monoton, berulang, siklik dan beban yang
mengagetkan (shock loading) sehingga bersifat seperti suatu cairan yang mengalir hingga
shear stress yang terjadi pada massa tanah tersebut bernilai sama rendahnya dengan nilai
berkurangnya shear resistance. Namun secara garis besar, liquefaction dapat diartikan
sebagai perubahan suatu sifat masa tanah yang awalnya bersifat solid berubah menjadi
bersifat seperti liquid yang disebabkan oleh meningkatnya nilai tegangan pori dan
berkurangnya nilai tegangan efektif pada tanah. (Definition on terms.. 1978).
Sumber lain menyatakan bahwa liquefaction adalah suatu fenomena hilangnya
kekuatan ketahanan mekanik dari tanah sebagai akibat adanya beban siklik gempa yang
monoton. Hilangnya soil resistance tersebut ditandai dengan hilangnya tegangan efektif
antar butiran partikel tanah ( = 0), sebagai akibat naiknya harga tegangan air pori u
hingga mencapai harga overburden presure ( u= dan u = ) dalam suatu tanah yang
relatif jenuh (Sr = 95% - 100%). Kenaikan harga Pore Water Presure ini terjadi pada
kondisi undrained atau short time, sebagai akibat adanya beban siklik yang mendadak dan
berulang dari suatu gempa. Pada saat liquifaction perilaku tanah berubah menjadi fluid
viscus. Hilangnya ketahanan mekanik tersebut dapat dilihat melalui teori Morh Coloumb
sebagai berikut:
= c + ( - u) tg
= ( - u)
Untuk pasir c = 0 persamaan menjadi
= ( - u) tg
Pada saat liqufaction u = maka = 0 akhirnya = 0
Beberapa kegagalan struktur bangunan tanah yang diyakini merupakan
akibat dari kejadian liquefaction ternyata sebenarnya hanya merupakan suatu cyclic
mobilitas yang merupakan akibat dari deformasi tanah yang terjadi tanpa adanya
perubahan sifat tanah menjadi seperti cairan. Pengertian pasti tentang liquefaction
sebenarnya masih dalam perdebatan para pelaku geoteknik. Beberapa investigator
berpendapat bahwa harus ada beberapa hal yang dibedakan dalam membedakan antara
liquefaction dan Cyclic mobility (Castro dan Poulos, 1977) sehingga ditetapkanlah bahwa
pengertian liquefaction adalah lebih kepada mekanisme keruntuhan yang disebabkan
oleh kenaikan tegangan pori selama terjadinya tegangan cyclic undraine (Undrained
cyclic shear) pada tanah yang jenuh air.
Seperti rumusan yang telah dijelaskan diatas, liquefaction sebenarnya disebabkan
oleh berkurangnya kekuatan suatu massa tanah yang jenuh air. Pada saat kondisi tanah
tersebut loose / lepas, butiran tanah yang jenuh air tersebar sehingga pori-pori dapat
terisi air dengan penuh. Ketika terjadi beban siklik yang monoton dan berulang seperti
gempa bumi, maka butiran-butiran tanah yang sebelumnya menyebar tersebut makin
mendekat satu sama lain sehingga pori-pori yang awalnya penuh terisi air terdesak
(Gambar 1). Sehingga air yang awalnya penuh mengisi pori-pori terdesak keluar hingga
ke permukaan tanah (Gambar 2). Jika air pori tersebut terhalangi untuk keluar maka
tegangan air pori akan meningkat secara progresif dengan adanya beban geser yang
terjadi. Hal ini mengakibatkan terjadinya pentransferan tegangan dari massa tanah ke
air pori yang menyebabkan berkurangnya nilai tegangan efektif dan tegangan geser dari
tanah. Jika tegangan geser pada tanah lebih kecil dari nilai tegangan statisnya, tegangan
geser penggerak (driving shear resistance), maka pada tanah tersebut akan terjadi
deformasi yang sangat besar sehingga massa tanah tersebut akan bersifat seperti liquid (
Martin dkk,1975 ; Seed dan Idriss, 1982). Liquefaction pada massa tanah yang lepas dan
bersifat nonkohesif dapat diteliti baik pada beban yang monotonic maupun beban geser
siklik.
Gambar 1. Proses terjadinya liquefaction pada butiran tanah. Sebelum terjadinya gempa
dimana butiran tanah masih bersifat loose; Selama terjadi gempa dimana butiran tanah mulai
mendekat satu sama lain dan menyebabkan pori-pori menjadi menyempit ; Setelah gempa
dimana tanah menjadi semakin padat sehingga terjadi perubahan volume.
Gambar 2. Proses terjadinya liquefaction pada air pori tanah. Sebelum gemba dimana pasir
lepas (loose sand) yang jenuh air tidak terjadi hal yang membahayakan. Selama gempa,
dimana butiran tanah mendekat satu sama lain dan mendesar air yang memenuhi pori untuk
keluar kepermukaan tanah. Setelah gempa, karena butiran tanah yang mendekat satu sama
lain dan air tanah yang keluar menggenang di permukaan maka terjadi perubahan volume
tanah.
Apabila suatu pasir yang bersifat dense mengalami kelebihan beban monoton,
butiran tanah akan memampat terlebih dahulu dan kemudian partikel tanah akan
bergerak keatas dan saling berdekatan satu sama lain. Pada kondisi pasir dense ini, pasir
yang jenuh air ini berkurang tanpa adanya pengaliran air pori. Yang artinya bahwa
bertambahnya volume suatu massa tanah disebabkan oleh berkurangnya nilai tegangan
air pori dan meningkatnya nilai tegangan efektif dan tegangan geser. Jika suatu contoh
masa tanah pasir dense yang diberikan suatu beban siklik pada tegangan geser yang kecil
pada kondisi undrained, nilai tegangan air pori mungkin dihasilkan pada masing-masing
siklus pembebanan yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat masa tanah menjadi
lebih soft dan terjadi akumulasi nilai deformasi. Sebaliknya, pada kondisi regangan geser
yang lebih besar, pelebaran dapat mengurangi nilai tegangan air pori yang dihasilkan
oleh peningkatan nilai shear resistance.
Pada kondisi tanah yang dapat terjadi liquefaction, tanah dapat berdeformasi
dengan tegangan geser yang kecil. Deformasi yang terjadi tersebut cukup besar
sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan dan banyak kegagalan
struktur bagian bawah lainnya. Ada atau tidaknya kejadian liquefaction ini disebabkan
oleh jenis tanahnya, apakah tanah tersebut termasuk jenis pasir lepas, jenuh air atau
tidak dan beberapa bertimbangan lainnya untuk menentukan apakah tanah tersebut
berpotensi terjadi liquefaction. Penjelasan tentang jenis tanah yang berpotensi terhadap
bahaya liquefaction akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya.
Sebagai bahan pertimbangan pada mekanisme kagagalan/keruntuhan bangunan
bawah, Robertson (1994) dan Robertson dkk (1994) menyarankan suatu system
klasifikasi untuk mengartikan soil liquefaction. Study terakhir yang dilakukan tentang
system ini adalah oleh Robertson dan Fear (1996) yang dirangkum sebagai berikut :
Flow liquefaction digunakan untuk aliran undrained dari tanah yang jenuh air,
tanah yang constractive pada saat nilai tegangan geser statis melebihi nilai
tegangan residual pada tanah. Keruntuhan yang terjadi disebabkan oleh beban
geser siklik maupun beban geser monoton (cyclic or monotonic shear loading).
Cyclic softening digunakan untuk menjelaskan deformasi besar yang terjadi selama
terjadinya beban siklik disebabkan oleh meningkatnya nilai tegangan air pori
pada tanah yang cukup besar pada kondisi tanah yang undrained dan mengalami
tegangan geser yang monotonic.
o Cyclic liquefaction, terjadi pada saat regangan geser siklik (cyclic shear
stresses) melebihan batas normal yaitu static shear stress yang
menyebabkan pembalikan/perubahan nilai tegangan yang terjadi. Kondisi
pada saat tegangan efektifnya bernilai nol mungkin terjadi selama
terjadinya deformasi yang besar.
liquefaction
Sr = 95% - 100%
LL<35%
LI>1
Keempat syarat diatas harus terpenuhi, maka liquefaction dikatakan bisa terjadi
pada jenis tanah lepung diatas.
Liquefaction dapat terjadi apabila 3 syarat utama terjadinya liquefaction terpenuhi
yaitu tanah tersebut berjenis pasir dan jenuh air yang dikenai beban getar yang cukup
kuat. Besar kecilnya kekuatan getar yang terjadi pada tanah sehingga berdampak
terjadinya liquefaction adalah tergantung dari sejauh mana kawasan yang memiliki jenis
tanah pasir lepas yang jenuh air tersebut terhadap sumber getar (gempa bumi) yang
dilihat berdasarkan patahan sumber gempa. Pada area yang letaknya lumayan jauh dari
sumber gempa tetapi memiliki jenis tanah yang berpotensi liquefaction masih dapat
mengalami kejadian liquefaction namun sebaliknya, hal tersebut tidak akan terjadi apabila
jenis tanah tersebut tidak berpotensi liquefaction. Material tanah yang berpotensi tinggi
terhadap liquefaction akan mengalami liquefaction apabila mengalami beban getar yang
setara dengan modified Mercalli intensity (MMI) VII. Sedangkan pada material tanah
yang memiliki potensi terjadi liquefaction rendah akan mengalami liquefaction pada
beban getar yang sangat kuat setara dengan MMI VIII. Liquefaction yang terjadi akibat
beban getar yang lebih kecil dari MMI VII atau pada area yang berpotensi kecil hingga
sangat kecil untuk terjadi liquefaction secara statistic dapat terjadi liquefaction tetapi
prosentasi kejadiannya tergolong kecil.
Tabel 1. Dampak Liquefaction berdasarkan nilai MMI dan material tanah yang
berpotensi terjadinya liquefaction.
Pakar Geologi Nasional menggunakan Seismic Hazards Mapping Act tahun 1991
untuk menggambarkan variasi dari zona dampak seismic termasuk juga zona dampak
liquefaction. Kriteria lain untuk menggambarkan zona liquefaction dikembangkan oleh
Seismic hazards Mapping Act Advisory Committee for the California State Mining and Geology
Board pada tahun 1993 dan kemudian telah diperbarui dan diperbaiki menjadi document
yang berjudul Guidelines For Delineating Seismic Hazard Zones (CDMG, 1999).
Berdasarkan criteria yang telah ditetapkan tersebut, zona liquefaction adalah dengan
syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut :
1. Area tersebut merupakan kawasan yang pernah terjadi gempa bumi atau
merupakan kawasan yang berdampak terhadap gempa bumi (dekat dengan
pertemuan lempeng sumber gempa)
2. Area tersebut memiliki material tanah yang tidak terpadatkan atau merupakan
material loose yang bersifat jenuh air, hampir jenuh air maupun akan jenuh air.
3. Area tersebut berpotensi terhadap kejadian liquefaction sesuai dengan data-data
geoteknis yang ada.
4. Pada area yang tidak memilki data geoteknik yang cukup mendukung, zona
tersebut digambarkan dengan beberapa criteria yaitu sebagai berikut:
a. Area tersebut mengandung tanah pada era Holocane Age (berumur
kurang dari 1000 tahun, dan merupakan kawasan aliran sungai yang
bermuara ke laut, pernah berdampak banjir daratan, merupakan kawasan
rawa dan esthuari) dimana muka air tanah kurang dari kedalaman 40 feet
dan nilai Peak Ground Acceleration (PGA) memiliki 10% kemungkinan
mengalami peningkatan dalam 50 tahun terakhir yaitu bernilai lebih dari
0.1 g.
b. Area tersebut memiliki jenis tanah pada era Holocene Age ( berumur
kurang dari 11000 tahun) dimana muka air tanah kurang dari 30 feet
dibawah permukaan tanah dan nilai PGA (10% dalam 50 tahun terakhir)
adalah lebih dari 0.2g.
c. Area tersebut mengandung tanah pada era Pleistocene Age ( berusia
antara 11000 sampai dengan 15000 tahun) dimana muka air tanah kurang
dari 20 feet dibawah permukaan tanah dan nilai PGA (10% dalam 50
tahun terakhir) adalah bernilai lebih besar dari 0.3 g.
Selain investigasi oleh pakar diatas, Special Publication (SP) 117 juga menyatakan
bahwa investigasi pada daerah yang berpotensial terhadap terjadinya liquefaction dapat
dilakukan dengan menggunakan dua step yaitu (1) a screening investigation dan (2)
quantitative evaluation. Screening investigation dilakukan dengan melakukan review
terhadap topografi disuatu kawasan, kondisi geologis dan laporan serta peta kondisi
mekanis tanah, foto aerial, peta kontur muka air tanah, kondisi muka air sumuran, peta
hasil survey kondisi tanah secara agrikultur, sejarah kejadian liquefaction di kawasan
tersebut, dan beberapa laporan investigasi lainnya yang mendukung. Tujuan dari
screening investigation tersebut adalah untuk memudahkan study maupun pekerjaan
dalam mengetahui kawasan mana yang berpotensi terhadap bahaya liquefaction dan
kawasan yang tidak berpotensi.
Apabila, estimasi tinggi muka air tanah kondisi lampau, sekarang dan yang akan
datang diprediksi lebih dalam dari 50 feet dibawah permukaan tanah dasar,
liquefaction dianggap tidak mungkin terjadi.
Apabila suatu masa tanah adalah sangat kaku atau bahkan sudah bersifat seperti
batuan, maka material tersebut tidak perlu lagi dicek apakah berpotensi akan
terjadi liquefaction. Jenis tanah batuan ataupun sudah bersifat seperti batu tidak
berpotensi terjadi liquefaction.
Apabila nilai N-SPT terkoreksi (N1)60 adalah lebih besar dan sama dengan 30
pada semua sample tanah yang ditest, maka tidak akan terjadi liquefaction pada
tanah tersebut. Kondisi tersebut setara dengan nila CPT terkoreksi qc1N lebih
besar atau sama dengan 160 pada semua jenis material pasir.
Apabila material tersebut adalah lempung yang murni lempung, maka tanah
tersebut dipastikan tidak akan mengalami liquefaction. Namun, apabila tanah
tersebut adalah jenis tanah yang berkadar lempung (artinya, memiliki clay
content dengan ukuran partikel butiran <0.005 mm lebih besar dari 15%) maka
masih bisa berpotensi mengalami liquefaction dengan syarat-syarat yang disebut
Chinese Criteria (Seed and Idriss,1982) yaitu : (a). Prosentase butiran yang
berdiameter <0.005 mm lebih kecil dari 15%, (b). nilai liquid limit lebih kecil dari
pada 35, (c). Kadar air lebih besar dari pada 0.9 kali Liquid Limit.
kemudian
yang
harus
dilakukan
adalah
mengetahui
dampak-dampak
membahayakan apa saja yang akan terjadi akibat liquefaction tersebut. The Nation
Research Council ( Liquefaction 1985) mencatat ada 8 dampak umum yang terjadi
akibat tanah mengalami liquefaction. Dampak-dampak tersebut antara lain adalah :
1. Sand Boils yang biasanya disebabkan oleh terjadinya subsidence dan kerusakankerusakan kecil yang terjadi pada struktur.
2. Flow Falilures of slopes yang terjadi pada talud yang memiliki kemiringan lereng
yang curam.
kondisi lateral spread ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Gempa bumi di
San Fransisco, 1906 mencatat bahwa terjadi pergerakan terhadap 30% dari
ketebalan material lepas (loose sand) yang berpotensi terhadap liquefaction
(Pease dan ORourke, 1998).
4. Ground oscillation dimana terjadi liquefaction pada deposit tanah yang berada
dibawah suatu area yang mengalami pergerakan. Biasanya berupa suatu massa
tanah yang berupa blok utuh dibawah permukaan tanah.
Beberapa metode yang berbeda digunakan dalam teknologi perbaikan tanah pada
daerah yang berpotensi liquefaction. Beberapa contoh penggunaan metode perbaikan
tersebut dilakukan di Treasure Island, Santa Cruz, Richmond, Emeryville, Bay Farm
Island, Union City dan South San-Fransisco, California yang merupakan dampak dari
gempa Loma Prieta, 1989. Daerah yang sudah dilakukan perbaikan tanah hanya
mengalami kerusakan bahkan ada yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa
dengan besaran peak ground acceleration 0.11 0.45 g. Sebaliknya kerusakan yang besar
terjadi pada daerah yang tidak dilakukan perbaikan tanah untuk menanggulangi
liquefaction. Dampak tersebut antara lain spread pada lapisan tanah, oscillated maupun
pemampatan akibat liquefaction.
Beberapa negara bagian Amerika dan New-Zealand menggunakan system
pemetaan kondisi tanah termasuk lokasi tanah mana saja dengan data ketebalan yang
pasti yang berpotensi terhadap liquefaction. Dari peta itu, dapat dilihat kawasan mana
saja yang perlu dilakukan perbaikan tanah untuk mengantisipasi dampak liquefaction.
Seperti contoh dilakukannya pengamatan secara khusus pada area reklamasi di San
Fransisco bay yang menggunakan timbunan yang un-compacted dibawah permukaan air
sehingga memungkinkan terjadinya bahaya liquefaction nantinya. Selain itu Metode
vibro-flotation dan sand column untuk memadatkan area reklamasi di pulau buatan palm
island dubai untuk menghindari dampak liquefaction yaitu tenggelamnya pulau tersebut
ditengah laut.
Gambar 9. Peta area yang berpotensi terhadap terjadinya liquefaction di Chrischurch, NewZealand.
Gambar 10. Ground improvement dengan penggantian lapisan tanah yang berpotensi
terhadap liquefaction di port of Oakland 7th street marine terminal
Gambar 11. Ground improvement dengan pemasangan tiang pada daerah yang berpotensi
terhadap liquefaction di port of Oakland 7th street marine terminal
Berdasarkan laporan kejadian liquefaction yang dirangkum dalam Recommended
Procedures for Implementation of DMG Special Publication 117 Guidelines for Analyzing
and Mitigating Liquefaction Hazards in California yang telah dipublikasi oleh Sothern
California Earthquake Center ( Martin, Lew dkk, 1999) mencatat tentang rekomendasi
teknis untuk penanggulangan bahaya yang diakibatkan oleh kejadian liquefaction.
Perbaikan tanah dengan metode tersebut telah menunjukan hasil yang memuaskan pada
beberapa kejadian gempa yang terjadi belakangan ini. Rekomendasi penanggulangan
yang dilakukan adalah :
4.1. Metode perbaikan tanah
a. Teknik pemadatan tanah.
Metode pemadatan yang banyak dilakukan untuk pemadatan in-situ adalah
vibro-compaction, vibro-replacement (yang biasa dikenal dengan vibro-stone column), deep
dynamic compaction dan compaction (pressure) grouting (Hayden dan Baez, 1994).
Vibro-compaction dan vibro-replacement adalah merupakan teknik pemadatan yang
hampir sama tetapi digunakan pada material timbunan yang berbeda pada
pemadatan tanah yang tergantung pada ketebalan tanah yang dipadatkan tersebut.
Pada vibro-compaction material timbunan yang biasa digunakan adalah pasir
sedangkan pada teknik pemadatan dengan vibro-replacement stone material tambahan
timbunan yang digunakan adalah batuan.
Vibro-compaction biasanya efektif digunakan pada pemadatan tanah pasir yang
terdiri miliki kurang dari 10 % material halus yang lolos ayakan No.200. Vibroreplacement biasanya efektif dilakukan pada tanah yang terdiri dari kurang dari 1520% material halus. Walaupun, beberapa pengalaman (Luehring dkk,1998) telah
menunjukkan bahwa tanah lanau berpasir yang bersifat non-plastis dapat juga
dipadatkan dengan kombinasi metode vibro-replacement dan vertical band (wick) drains
atau PVD.
Pada beberapa kasus, vertical drains dipasang pada bagian tengah dari lokasi
pemasangan stone column yang berfungsi sebagai vibro-replacement. Disebabkan oleh
bervariasinya kejadian liquefaction disebabkan oleh perbedaan tipe tanah serta
kondisi ekonomi yang terjadi, vibro-replacement lebih dipilih untuk digunakan dalam
proses pemadatan tanah khususnya dikawasan America Utara (Hayded dan Baez,
1994). Beberapa publikasi ilmiah tentang desain pemadatan tanah serta karakteristik
yang terjadi telah dilakukan oleh beberapa peneliti termasuk Barksdale dan Bachus
(1983), Mitchell dan Huber (1985), Dobson (1987), Baez (1995 dan 1997).
Deep dynamic compaction termasuk dampak dari energy yang digunakan pada
permukaan tanah dan tanah dibawahnya yang akan dipadatkan. Variasi berat yang
digunakan adalah antara 10-30 ton yang dipilih berdasarkan metode pemadatan
yang digunakan, apakah itu metode standart, metode modifikasi maupun dengan
menggunakan mesin khusus. Beban berat tersebut dijatuhkan pada ketinggian antara
50-120 feet. Dampak dari energy beban yang dijatuhkan tersebut tergantung dari
pemilihan berat beban yang dijatuhkan, tinggi jatuh beban, berapa kali beban
dijatuhkan pertitik jatuh dan jarak antara titik jatuh satu dengan yang lainnya.
Hubungan empiris bisa dilakukan untuk mendesain deep dynamic compaction untuk
melakukan pemadatan pada tipe tanah tertentu seperti tanah yang bisa berdampak
liquefaction.
Secara garis besar, treatment yang dilakukan pada tanah dengan ketebalan
lebih dari 35 feet bisa dilakukan pada tanah yang bersifat granular. Apabila tanah
tersebut bersifat kohesif dan muka air tanahnya berada antar kedalaman 3-5 feet dari
permukaan tanah, lapisan granular tersebut biasanya difungsikan untuk membatasi
hilangnya pengaruh energy dan mentransfer kekuatan pada tanah yang lebih dalam.
Batasan utama lainnya yang biasanya terjadi apabila menggunakan metode ini
adalah dampak getaran, masalah debu yang beterbangan selama proses dan bising.
Karena alasan tersebut, pekerjaan pemadatan dengan metode ini dilakukan paling
tidak menggunakan batasan clearance 100 hingga 200 feet dari bangunan yang sudah
berdiri.
Displacement dan compaction grouting termasuk pada menggunaan low slump,
mortar-type grout yang di pompa dengan tekanan yang kuat untuk memadatkan tanah
yang bersifat loose. Pipa yang dipasang dengan system grouting untuk pemadatan
control terhadap rotasi drill dan rata-rata material yang dimasukkan dibandingkan
dengan material tanah yang diperbaiki seperti yang dijelaskan oleh Moseley (1993).
Deep soil-mixing adalah metode pencampuran material semen dengan
menggunakan hollow-stem-auger dan paddle. Sejumlah 1 hingga 5 shaf dilakukan
dengan menggunakan auger berukuran lebih dari 3 feet bahkan lebih yang
digunakan untuk mencampur material hingga kedalaman 100 feet. Pada saat Auger
tersebut dimasukkan kedalam tanah, hollow stems digunakan sebagai saluran untuk
memompa kedalam tanah dan memasukkan ujungnya kedalam tanah. Metode ini
sudah pernah sukses dilakukan di negara Jepang. Sel batas (confining cell) pada
metode ini terjadi pada proses dimana suatu auger yang dipasang overlapping
sehingga berbentuk menyerupai seperti tembok penahan.
Liquefaction dapat
diantisipasi dengan membatasi terjadinya regangan geser akibat gempa bumi dan me
re-distribusikan tegangan geser yang terjadi dari tanah ke tembok yang telah
dipasang. Perbaikan pada tanah yang berdampak besar terjadi liquefaction hingga
tanah lanau yang sangat lunak sangat memungkinkan dilakukan dengan
menggunakan jet grouting. Metode ini sudah pernah digunakan dilapangan walau
hanya pada beberapa tipe bangunan saja di Amerika Utara termasuk Jackson Lake
dam di Wyoming (Ryan dan Jasperse, 1989). Tetapi metode ini sudah banyak
dilakukan di negara Jepang (1997).
4.2. Perbaikan struktur bangunan atas
Pada beberapa kasus, pencegahan
liquefaction mungkin akan jauh lebih ekonomis jika dibandingkan dengan melakukan
perbaikan tanah. tetapi, pencegahan kerusakan struktur ini mungkin memiliki
dampak yang sedikit atau malah tidak berdampak sama sekali terhadap tanah yang
berpotensi liquefaction tersebut. Melalui perbaikan struktur tersebut bukan berarti
tanah dasar menjadi tidak berpotensi terhadap bahaya liquefaction tetapi hanya
struktur bangunannya saja yang kuat untuk menahan bahaya liquefaction misalnya
adanya deformasi maupun dampak lainnya. Pemilihan perkuatan struktur bangunan
untuk mencegah dampak liquefaction ini tergantung pada magnitude gempa yang
terjadi dan kondisi tanah dasar tersebut. Apabila liquefaction yang terjadi pada suatu
tanah mengakibatkan adanya lateral spreading pada tanah, perkuatan struktur untuk
mengurangi dampak liquefaction tidak layak untuk dilakukan. Namun sebaliknya,
dampak liquefaction yang terjadi pada tanah tersebut hanya sebatas settlement arah
vertical saja, perkuatan struktur bisa dilakukan untuk mengurangi dampak
liquefaction karena lebih memungkinkan dan ekonomis.
Perbaikan tanah
1. Mengganti tanah yang
berdampak terjadi
liquefaction.
berdampak terjadi
liquefaction dapat
liquefaction di aera
berdampak liquefaction
distabilisasi dengan
melakukan grouting,
2. Densification/ pemadatan
densification dan
berdampak terhadap
dewatering.
dilakukan selama
berdampak liquefaction
bertahun-tahun dan
Lateral spreading,
pemasangan penopang
untuk menanggulangi
diatasnya atau
liquefaction akibat
mengurangi dampak
tersebut.
terjadinya pemampatan
Loma Prieta.
maupun differential
3. Penanggulangan
liquefaction khususnya
malah membahayakan
struktur.
menggunakan metode
3. Penanggulangan khusus
efektif.
tidak memanggulangi
bahaya akibat daya
dukungnya. Sehingga
akan muncul problem
memangjang hingga
melampaui kedalaman
terhadap liquefaction
retrofit.
Perkuatan struktur
Perkuatan struktur ini
pondasi, penanggulangan
terjadi.
5. Investigasi lapangan
Investigasi lapangan (termasuk investigasi geoteknik) harus rutin dilakukan
pada setiap pekerjaaan pembangunan yang baru. Biasanya di negara-negara barat,
survey kondisi geologis dan survey tahan dasar adalah sesuatu yang normal tetapi
penting dilakukan untuk mengetahui kondisi suatu tanah, termasuk apakah tanah
tersebut berpotensi terhadap bahaya liquefaction dan sebesar apa bahaya liquefaction
yang akan terjadi pada jenis tanah tersebut.
a. Pemahaman geologis terhadap sifat tanah
Beberapa tahapan pemantauan geologi yang harus dilakukan adalah
membuat suatu peta Geologis tentang kondisi tanah yang berisi tentang
penjelasan jenis tanah, sejarah tanah, ketebalan lapisan tanah sehingga
dari situ dapat dilihat apakah tanah tersebut berpotensi terhadap bahaya
liquefaction.
b. Explorasi tanah dasar
Explorasi tanah dasar biasanya diperoleh dari pengetesan Boring dengan
menggunakan cone penetration test (CPT). Banyak sedikitnya area yang
ditest tergantung kepada jenis bangunan yang akan dibangun diatasnya.
Ada banyak macam metode yang digunakan untuk mengevaluasi tanah
yang berpotensi terhadap liquefaction. Metode yang dianggap sangat
pouler adalah SPT maupun CPT. Berdasarkan hasil pengetesan tersebut
dapat diindikasi apakah tanah tersebut dapat mengalami liquefaction
apabila terkena gempa bumi.
c. Kedalaman tanah untuk evaluasi liquefaction
Umumnya kedalaman tanah yang ditinjau untuk melakukan analisa
liquefaction adalah 50 feet (sekitar 15 meter). The Seed and Idriss EERI
Monograph on Ground Motion and Soil Liquefaction During Earthquakes
(1982) tidak merekomendasikan kedalaman tanah untuk peninjauan
liquefaction, tetapi menggunakan kedalaman 40 feet (12 m) untuk
pengetesan yang merupakan nilai penyederhanaan untuk melakukan
perhitungan numerik dalam penelitian tersebut. Namun,tidak menutup
kemungkinan bahwa liquefaction juga terjadi pada kedalaman tanah lebih
dari 50 feet apabila kondisi tanah tinjauan tersebut sangat loose dan tidak
padat, berjenis tanah granural, jenuh air dan mengalami beban getar
akibat gempa.
= Tegangan Total
= Tegangan efektif
rd
mempunyai nilai maksimum 1 yang dapat dilihat pada gambar 2.1. dibawah.
= 1 0.00765 z
rd
rd
= 0.744 0.008 z
rd
Untuk analisa CRR didapatkan dari SPT denga (N60)cs (N60 clean sand) dengan
mengikuti persamaan berikut yang digunakan CRR7.5 :
CRR7.5
a + c x + e x 2 + g x2
1 + b x + d x 2 + f x 3 + h x4
Dimana
x
= 0.048
= 0.1248
= 0.004721
= 0.009578
= 0.0005136
=-0.0003285
=-1.673 / 100000
= 3.673 / 1000000
hubungan (N60) cs dan CRR yang didesain pada magnitude 7.5 dapat dilihat pada
gambar 4 dibawah ini
Grafik diatas hanya digunakan untuk N60 Clean sand dan untuk CRR
dengan magnitude 7.5, sehingga untuk menggunakan grafik di atas diperlukan
korelasi korelasi seperti N60 yang dikorelasikan dengan (N60) cs dan dibutuhkan
Magnitude Scaling Factor (MSF) sehingga grafik di atas dapat digunakan untuk
kondisi magintude lain. Korelasi tersebut adalah :
(N60)cs
= + N60
= 102.24 / M2.25
1.7
) qc (kg/cm2)
+ 0.7
dimana C1 adalah fungsi kedalaman dari dalam satuan kg/cm2 pada titik
kedalaman sondir.
2. CSR yang terjadi dilapangan dapat dihitung menggunakan formula
Tokimatsu dan Yoshima 1983 sbb
CSR = av / 0 = 0.1 (M -1) (a mak /g) (0 / 0 ) (1-0.015z)
mak
(/o) 0.1
(/o) + 0.1
(qc1/C2) 50
(250 qc1 / C2
Dimana C2 = 1 untuk pasir bersih dengan harga D50 > 0.25 mm dan
C2 = D50/0.25 untuk tanah pasir halus dengan D50 <0.25 mm
Sehingga untuk menentukan liquifaction adalah dengan menggunakan faktor
SF = (CRR/CSR)
SF < 1 maka tanah yang dianalisa mengalami liquifacsi.
Gambar 14.
c. Metode Tokimatsu dan Yoshima (1983)
1. CSR yang terjadi dilapangan dapat dihitung menggunakan formula sbb
CSR = av / 0 = 0.1 (M -1) (a mak /g) (0 / 0 ) (1-0.015z)
Dimana M adalah besaran gempa a
mak
= ( 1.7/(0 - 0.7)) N + Nf
Dimana
Nf
Nf
= 0.1FC + 4
16 Na1/2
Dimana
a
= 0.45
Cr
= 0.57
= 80 90
Cs
= 75
16 Na1/2
Cs
100
N1 < 35
Dimana
N1
= Cn N
= Harga SPT
Cn
RL2O = 0.88 ( (
v + 70
RL2O = 0.88 ( (
)1/2 - 0.0567 )
v + 70
= hasil SPT
D50
((
v + 70
((
)1/2 - 0.0567 )
v + 70
dapat diambil
Magnitude.
Tabel 2.1 Koefesien A dalam magnitude dan jumlah siklik ekivalen (corte).
Magnitude
5.5 - 6
6.5
7.5
12
15
20
0.66
0.6
0.56
0.53
0.5