Anda di halaman 1dari 30

LIQUIEFACTION PADA TANAH DASAR

Dirangkum oleh:
Putu Tantri Kumalasari.,ST.,MT
1. Pengertian liquefaction.
Liquefaction adalah suatu kejadian dimana suatu massa tanah mengalami
kehilangan kekuatan mekanisnya pada kondisi tanah yang jenuh air, pada jenis tanah
yang non-kohesif yang disebabkan oleh kenaikan nilai pore water pressure (tegangan air
pori) pada saat mengalami beban dinamis. Menurut Sladen dkk, (1985), Liquefaction
adalah suatu fenomena dimana massa tanah mengalami kehilangan nilai shear resistance
karena adanya suatu kondisi yang bersifat monoton, berulang, siklik dan beban yang
mengagetkan (shock loading) sehingga bersifat seperti suatu cairan yang mengalir hingga
shear stress yang terjadi pada massa tanah tersebut bernilai sama rendahnya dengan nilai
berkurangnya shear resistance. Namun secara garis besar, liquefaction dapat diartikan
sebagai perubahan suatu sifat masa tanah yang awalnya bersifat solid berubah menjadi
bersifat seperti liquid yang disebabkan oleh meningkatnya nilai tegangan pori dan
berkurangnya nilai tegangan efektif pada tanah. (Definition on terms.. 1978).
Sumber lain menyatakan bahwa liquefaction adalah suatu fenomena hilangnya
kekuatan ketahanan mekanik dari tanah sebagai akibat adanya beban siklik gempa yang
monoton. Hilangnya soil resistance tersebut ditandai dengan hilangnya tegangan efektif
antar butiran partikel tanah ( = 0), sebagai akibat naiknya harga tegangan air pori u
hingga mencapai harga overburden presure ( u= dan u = ) dalam suatu tanah yang
relatif jenuh (Sr = 95% - 100%). Kenaikan harga Pore Water Presure ini terjadi pada
kondisi undrained atau short time, sebagai akibat adanya beban siklik yang mendadak dan
berulang dari suatu gempa. Pada saat liquifaction perilaku tanah berubah menjadi fluid
viscus. Hilangnya ketahanan mekanik tersebut dapat dilihat melalui teori Morh Coloumb
sebagai berikut:
= c + ( - u) tg
= ( - u)
Untuk pasir c = 0 persamaan menjadi
= ( - u) tg
Pada saat liqufaction u = maka = 0 akhirnya = 0
Beberapa kegagalan struktur bangunan tanah yang diyakini merupakan
akibat dari kejadian liquefaction ternyata sebenarnya hanya merupakan suatu cyclic

mobilitas yang merupakan akibat dari deformasi tanah yang terjadi tanpa adanya
perubahan sifat tanah menjadi seperti cairan. Pengertian pasti tentang liquefaction
sebenarnya masih dalam perdebatan para pelaku geoteknik. Beberapa investigator
berpendapat bahwa harus ada beberapa hal yang dibedakan dalam membedakan antara
liquefaction dan Cyclic mobility (Castro dan Poulos, 1977) sehingga ditetapkanlah bahwa
pengertian liquefaction adalah lebih kepada mekanisme keruntuhan yang disebabkan
oleh kenaikan tegangan pori selama terjadinya tegangan cyclic undraine (Undrained
cyclic shear) pada tanah yang jenuh air.
Seperti rumusan yang telah dijelaskan diatas, liquefaction sebenarnya disebabkan
oleh berkurangnya kekuatan suatu massa tanah yang jenuh air. Pada saat kondisi tanah
tersebut loose / lepas, butiran tanah yang jenuh air tersebar sehingga pori-pori dapat
terisi air dengan penuh. Ketika terjadi beban siklik yang monoton dan berulang seperti
gempa bumi, maka butiran-butiran tanah yang sebelumnya menyebar tersebut makin
mendekat satu sama lain sehingga pori-pori yang awalnya penuh terisi air terdesak
(Gambar 1). Sehingga air yang awalnya penuh mengisi pori-pori terdesak keluar hingga
ke permukaan tanah (Gambar 2). Jika air pori tersebut terhalangi untuk keluar maka
tegangan air pori akan meningkat secara progresif dengan adanya beban geser yang
terjadi. Hal ini mengakibatkan terjadinya pentransferan tegangan dari massa tanah ke
air pori yang menyebabkan berkurangnya nilai tegangan efektif dan tegangan geser dari
tanah. Jika tegangan geser pada tanah lebih kecil dari nilai tegangan statisnya, tegangan
geser penggerak (driving shear resistance), maka pada tanah tersebut akan terjadi
deformasi yang sangat besar sehingga massa tanah tersebut akan bersifat seperti liquid (
Martin dkk,1975 ; Seed dan Idriss, 1982). Liquefaction pada massa tanah yang lepas dan
bersifat nonkohesif dapat diteliti baik pada beban yang monotonic maupun beban geser
siklik.

Gambar 1. Proses terjadinya liquefaction pada butiran tanah. Sebelum terjadinya gempa
dimana butiran tanah masih bersifat loose; Selama terjadi gempa dimana butiran tanah mulai
mendekat satu sama lain dan menyebabkan pori-pori menjadi menyempit ; Setelah gempa
dimana tanah menjadi semakin padat sehingga terjadi perubahan volume.

Gambar 2. Proses terjadinya liquefaction pada air pori tanah. Sebelum gemba dimana pasir
lepas (loose sand) yang jenuh air tidak terjadi hal yang membahayakan. Selama gempa,
dimana butiran tanah mendekat satu sama lain dan mendesar air yang memenuhi pori untuk
keluar kepermukaan tanah. Setelah gempa, karena butiran tanah yang mendekat satu sama
lain dan air tanah yang keluar menggenang di permukaan maka terjadi perubahan volume
tanah.

Apabila suatu pasir yang bersifat dense mengalami kelebihan beban monoton,
butiran tanah akan memampat terlebih dahulu dan kemudian partikel tanah akan
bergerak keatas dan saling berdekatan satu sama lain. Pada kondisi pasir dense ini, pasir
yang jenuh air ini berkurang tanpa adanya pengaliran air pori. Yang artinya bahwa

bertambahnya volume suatu massa tanah disebabkan oleh berkurangnya nilai tegangan
air pori dan meningkatnya nilai tegangan efektif dan tegangan geser. Jika suatu contoh
masa tanah pasir dense yang diberikan suatu beban siklik pada tegangan geser yang kecil
pada kondisi undrained, nilai tegangan air pori mungkin dihasilkan pada masing-masing
siklus pembebanan yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat masa tanah menjadi
lebih soft dan terjadi akumulasi nilai deformasi. Sebaliknya, pada kondisi regangan geser
yang lebih besar, pelebaran dapat mengurangi nilai tegangan air pori yang dihasilkan
oleh peningkatan nilai shear resistance.
Pada kondisi tanah yang dapat terjadi liquefaction, tanah dapat berdeformasi
dengan tegangan geser yang kecil. Deformasi yang terjadi tersebut cukup besar
sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada bangunan dan banyak kegagalan
struktur bagian bawah lainnya. Ada atau tidaknya kejadian liquefaction ini disebabkan
oleh jenis tanahnya, apakah tanah tersebut termasuk jenis pasir lepas, jenuh air atau
tidak dan beberapa bertimbangan lainnya untuk menentukan apakah tanah tersebut
berpotensi terjadi liquefaction. Penjelasan tentang jenis tanah yang berpotensi terhadap
bahaya liquefaction akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya.
Sebagai bahan pertimbangan pada mekanisme kagagalan/keruntuhan bangunan
bawah, Robertson (1994) dan Robertson dkk (1994) menyarankan suatu system
klasifikasi untuk mengartikan soil liquefaction. Study terakhir yang dilakukan tentang
system ini adalah oleh Robertson dan Fear (1996) yang dirangkum sebagai berikut :

Flow liquefaction digunakan untuk aliran undrained dari tanah yang jenuh air,
tanah yang constractive pada saat nilai tegangan geser statis melebihi nilai
tegangan residual pada tanah. Keruntuhan yang terjadi disebabkan oleh beban
geser siklik maupun beban geser monoton (cyclic or monotonic shear loading).

Cyclic softening digunakan untuk menjelaskan deformasi besar yang terjadi selama
terjadinya beban siklik disebabkan oleh meningkatnya nilai tegangan air pori
pada tanah yang cukup besar pada kondisi tanah yang undrained dan mengalami
tegangan geser yang monotonic.
o Cyclic liquefaction, terjadi pada saat regangan geser siklik (cyclic shear
stresses) melebihan batas normal yaitu static shear stress yang
menyebabkan pembalikan/perubahan nilai tegangan yang terjadi. Kondisi
pada saat tegangan efektifnya bernilai nol mungkin terjadi selama
terjadinya deformasi yang besar.

o Cyclic mobility, di mana beban siklik tidak menghasilkan pembalikan


tegangan geser dan kondisi stres yang efektif nol tidak berkembang.
deformasi terakumulasi dalam setiap siklus tegangan geser.
Sistem klasifikasi ini digunakan untuk memahami arti liquefaction apabila terjadi
berbagai macam mekanisme pada keruntuhan struktur bangunan bawah di lapangan.
Hingga saat ini, penjelasan umum liquefaction adalah dimana kegagalan struktur
bangunan bawah terjadi pada kondisi tanah nonkohesif yang jenuh air selama terjadinya
gempa bumi.
2. Jenis dan sifat tanah yang mengalami

liquefaction

Tidak semua jenis tanah berpotensi mengalami liquefaction. Association of Bay


Area Government, San-fracisco merumuskan suatu resep dimana tanah dapat dikatakan
memiliki potensi terjadinya liquefaction. resep pertama adalah tanah tersebut mersifat
Loose/ lepas, tidak terkonsolidasi atau tidak terpadatkan serta berjenis tanah pasir
maupun lanau tanpa adanya banyak material lempung yang terkandung didalamnya.
resep kedua adalah, tanah yang berjenis pasir dan lanau tersebut bersifat jenuh air
yang disebabkan oleh tingginya muka air tanah. resep ketiga adalah, tanah jenis
tersebut mengalami beban getar yang cukup kuat yang berasal dari gempa bumi
sehingga liquefactionpun dapat terjadi. Penggunaan resep pertama dan kedua didasari
pada peta regional (area San Francisco) yang dapat menggambarkan lokasi-lokasi yang
berpotensi terhadap liquefaction. Selain jenis tanah, kekuatan gempa juga sangat
berpengaruh terhadap terjadinya liquefaction. Liquefaction juga dapat terjadi pada tanah
yang mengandung lempung dengan syarat-syarat adalah

Sr = 95% - 100%

LL<35%

LI>1

Water content > 0.90xLL

Keempat syarat diatas harus terpenuhi, maka liquefaction dikatakan bisa terjadi
pada jenis tanah lepung diatas.
Liquefaction dapat terjadi apabila 3 syarat utama terjadinya liquefaction terpenuhi
yaitu tanah tersebut berjenis pasir dan jenuh air yang dikenai beban getar yang cukup
kuat. Besar kecilnya kekuatan getar yang terjadi pada tanah sehingga berdampak
terjadinya liquefaction adalah tergantung dari sejauh mana kawasan yang memiliki jenis
tanah pasir lepas yang jenuh air tersebut terhadap sumber getar (gempa bumi) yang

dilihat berdasarkan patahan sumber gempa. Pada area yang letaknya lumayan jauh dari
sumber gempa tetapi memiliki jenis tanah yang berpotensi liquefaction masih dapat
mengalami kejadian liquefaction namun sebaliknya, hal tersebut tidak akan terjadi apabila
jenis tanah tersebut tidak berpotensi liquefaction. Material tanah yang berpotensi tinggi
terhadap liquefaction akan mengalami liquefaction apabila mengalami beban getar yang
setara dengan modified Mercalli intensity (MMI) VII. Sedangkan pada material tanah
yang memiliki potensi terjadi liquefaction rendah akan mengalami liquefaction pada
beban getar yang sangat kuat setara dengan MMI VIII. Liquefaction yang terjadi akibat
beban getar yang lebih kecil dari MMI VII atau pada area yang berpotensi kecil hingga
sangat kecil untuk terjadi liquefaction secara statistic dapat terjadi liquefaction tetapi
prosentasi kejadiannya tergolong kecil.
Tabel 1. Dampak Liquefaction berdasarkan nilai MMI dan material tanah yang
berpotensi terjadinya liquefaction.

(ABAG earthquake program)

Pakar Geologi Nasional menggunakan Seismic Hazards Mapping Act tahun 1991
untuk menggambarkan variasi dari zona dampak seismic termasuk juga zona dampak
liquefaction. Kriteria lain untuk menggambarkan zona liquefaction dikembangkan oleh
Seismic hazards Mapping Act Advisory Committee for the California State Mining and Geology
Board pada tahun 1993 dan kemudian telah diperbarui dan diperbaiki menjadi document
yang berjudul Guidelines For Delineating Seismic Hazard Zones (CDMG, 1999).
Berdasarkan criteria yang telah ditetapkan tersebut, zona liquefaction adalah dengan
syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut :

1. Area tersebut merupakan kawasan yang pernah terjadi gempa bumi atau
merupakan kawasan yang berdampak terhadap gempa bumi (dekat dengan
pertemuan lempeng sumber gempa)
2. Area tersebut memiliki material tanah yang tidak terpadatkan atau merupakan
material loose yang bersifat jenuh air, hampir jenuh air maupun akan jenuh air.
3. Area tersebut berpotensi terhadap kejadian liquefaction sesuai dengan data-data
geoteknis yang ada.
4. Pada area yang tidak memilki data geoteknik yang cukup mendukung, zona
tersebut digambarkan dengan beberapa criteria yaitu sebagai berikut:
a. Area tersebut mengandung tanah pada era Holocane Age (berumur
kurang dari 1000 tahun, dan merupakan kawasan aliran sungai yang
bermuara ke laut, pernah berdampak banjir daratan, merupakan kawasan
rawa dan esthuari) dimana muka air tanah kurang dari kedalaman 40 feet
dan nilai Peak Ground Acceleration (PGA) memiliki 10% kemungkinan
mengalami peningkatan dalam 50 tahun terakhir yaitu bernilai lebih dari
0.1 g.
b. Area tersebut memiliki jenis tanah pada era Holocene Age ( berumur
kurang dari 11000 tahun) dimana muka air tanah kurang dari 30 feet
dibawah permukaan tanah dan nilai PGA (10% dalam 50 tahun terakhir)
adalah lebih dari 0.2g.
c. Area tersebut mengandung tanah pada era Pleistocene Age ( berusia
antara 11000 sampai dengan 15000 tahun) dimana muka air tanah kurang
dari 20 feet dibawah permukaan tanah dan nilai PGA (10% dalam 50
tahun terakhir) adalah bernilai lebih besar dari 0.3 g.
Selain investigasi oleh pakar diatas, Special Publication (SP) 117 juga menyatakan
bahwa investigasi pada daerah yang berpotensial terhadap terjadinya liquefaction dapat
dilakukan dengan menggunakan dua step yaitu (1) a screening investigation dan (2)
quantitative evaluation. Screening investigation dilakukan dengan melakukan review
terhadap topografi disuatu kawasan, kondisi geologis dan laporan serta peta kondisi
mekanis tanah, foto aerial, peta kontur muka air tanah, kondisi muka air sumuran, peta
hasil survey kondisi tanah secara agrikultur, sejarah kejadian liquefaction di kawasan
tersebut, dan beberapa laporan investigasi lainnya yang mendukung. Tujuan dari
screening investigation tersebut adalah untuk memudahkan study maupun pekerjaan
dalam mengetahui kawasan mana yang berpotensi terhadap bahaya liquefaction dan
kawasan yang tidak berpotensi.

Screening berdasarkan beberapa point dibawah ini dapat digunakan untuk


melakukan evaluasi secara kuantitatif terhadap daerah yang berpotensi mengalami
liquefaction :

Apabila, estimasi tinggi muka air tanah kondisi lampau, sekarang dan yang akan
datang diprediksi lebih dalam dari 50 feet dibawah permukaan tanah dasar,
liquefaction dianggap tidak mungkin terjadi.

Apabila suatu masa tanah adalah sangat kaku atau bahkan sudah bersifat seperti
batuan, maka material tersebut tidak perlu lagi dicek apakah berpotensi akan
terjadi liquefaction. Jenis tanah batuan ataupun sudah bersifat seperti batu tidak
berpotensi terjadi liquefaction.

Apabila nilai N-SPT terkoreksi (N1)60 adalah lebih besar dan sama dengan 30
pada semua sample tanah yang ditest, maka tidak akan terjadi liquefaction pada
tanah tersebut. Kondisi tersebut setara dengan nila CPT terkoreksi qc1N lebih
besar atau sama dengan 160 pada semua jenis material pasir.

Apabila material tersebut adalah lempung yang murni lempung, maka tanah
tersebut dipastikan tidak akan mengalami liquefaction. Namun, apabila tanah
tersebut adalah jenis tanah yang berkadar lempung (artinya, memiliki clay
content dengan ukuran partikel butiran <0.005 mm lebih besar dari 15%) maka
masih bisa berpotensi mengalami liquefaction dengan syarat-syarat yang disebut
Chinese Criteria (Seed and Idriss,1982) yaitu : (a). Prosentase butiran yang
berdiameter <0.005 mm lebih kecil dari 15%, (b). nilai liquid limit lebih kecil dari
pada 35, (c). Kadar air lebih besar dari pada 0.9 kali Liquid Limit.

3. Dampak terjadinya Liquefaction


Setelah melakukan pengecekan material tanah terhadap terjadinya liquefaction
maka

kemudian

yang

harus

dilakukan

adalah

mengetahui

dampak-dampak

membahayakan apa saja yang akan terjadi akibat liquefaction tersebut. The Nation
Research Council ( Liquefaction 1985) mencatat ada 8 dampak umum yang terjadi
akibat tanah mengalami liquefaction. Dampak-dampak tersebut antara lain adalah :
1. Sand Boils yang biasanya disebabkan oleh terjadinya subsidence dan kerusakankerusakan kecil yang terjadi pada struktur.
2. Flow Falilures of slopes yang terjadi pada talud yang memiliki kemiringan lereng
yang curam.

Gambar 3. Flow Failure pada suatu talud (Youd,1992)


Biasanya aliran terjadi pada suatu talud dengan kemiringan lebih dari 3o
dimana aliran akan bergerak dari posisi talud pada elevasi tinggi ke elevasi
rendah (EERI,1994). Sehingga keruntuhan talud jenis ini biasa disebut landslide
atau longsor.
3. Lateral spreads yang disebabkan oleh adanya displacement arah horizontal pada
area berlereng.

Gambar 4. Lateral Spread Failure (Youd, 1992)


Pada keruntuhan jenis ini lapisan tanah pada permukaan akan membawa
lapisan tanah dibawahnya yang materialnya berpotensi liquefaction kearea yang
permukaannya datar hingga menuju daerah aliran sungai. Kerusakan terjadi pada
lapisan permukaan pada saat lapisan tersebut bergerak. Pergerakan dari
permukaan tanah tersebut akan merusak struktur pondasi dan struktur
bangunan bawah lainnya. Perencana pada kondisi tertentu dapat melakukan
estimasi terhadap besarnya pergerakan tanah yang terjadi yang mengakibatkan

kondisi lateral spread ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Gempa bumi di
San Fransisco, 1906 mencatat bahwa terjadi pergerakan terhadap 30% dari
ketebalan material lepas (loose sand) yang berpotensi terhadap liquefaction
(Pease dan ORourke, 1998).
4. Ground oscillation dimana terjadi liquefaction pada deposit tanah yang berada
dibawah suatu area yang mengalami pergerakan. Biasanya berupa suatu massa
tanah yang berupa blok utuh dibawah permukaan tanah.

Gambar 5. Ground Ocillation Failure (Youd, 1992)


Pada kondisi permukaan tanah yang datar, liquefaction masih dapat
menyebabkan terjadinya dampak buruk. Jika tanah dibawahnya mengalami
liquefaction sedangkan lapisan tanah diatasnya tidak maka akan terjadi
pergerakan bolak-balik dan naik turun pada lapisan tanah diatasnya akibat
lapisan tanah dibawahnya mencair. Sehingga akan menyebabkan muncuknya
retakan-retakan besar dan akan terjadi tubrukan antar section satu dengan yang
lainnya akibat adanya pergerakan tersebut.Ground oscillation terjadi pada
kawasan dekat laut di San Fransisco yang disebabkan oleh kejadian gempa bumi
Loma Prieta pada 1989.

5. Loss of bearing capacity, yang menyebabkan keruntuhan pondasi.

Gambar 6. Loss of Bearing Strength (Youd,1992)


Ketika suatu tanah mengalami liquefaction, tanah tersebut akan bersifat
semakin lemah dan kemampuan untuk menahan suatu beban suatu struktur
diatasnya akan berkurang sehingga sistem struktur tersebut akan terbangun
tidak dengan struktur pondasi yang kuat. Pada kondisi ini pula, bangunan dalam
tanah (basement) maupun jaringan pipa bawah tanah dapat terangkat keluar
bahkan hingga muncul ke permukaan atau biasa disebut dengan istilah Buoyant
rise of buried structure. Contoh klasik tentang hilangnya daya dukung akibat
hilangnya daya dukung pada tanah pernah terjadi pada tahun 1964 akibat gempa
bumi di Niigata, Japan dimana sebuah apartement dengan 4 lantai mengalami
tilting akibat adanya liquefaction.
6. Buoyant rise of buried structure, seperti misalnya terjadi pada bangunan tanks.
7. Ground settlement yang biasanya diikuti oleh terjadinya kerusakan-kerusakan
struktur lainnya.

Gambar 7. Differential settlement


Perencana dapat melakukan perhitungan settlement yang terjadi pada
tanah. biasanya settlement dapat berkisar antara 1-5% ketebalan lapisan tanah
yang ditinjau. Pada kondisi tanah pasir yang sangat lepas settlement dapat
terjadi hingga 10% dari ketebalan pasir lepas jenuh air yang ter-liquefaction
(Tokimatsu dan Seed, 1984). Apabila suatu tanah memampat secara seragam,
struktur diatasnya tidak mengalami kerusakan yang sangat berarti. Namun
sebaliknya, jika suatu pemampatan terjadi tidak seragam atau berbeda dari satu
area dibawah bangunan dengan area yang lain, maka kerusakan struktur yang
lebih besar akan terjadi.
8. Failure of retaining wall, yang disebabkan oleh meningkatnya beban lateral yang
terjadi dari suatu tanah yang terliquifaction atau hilangnya suatu kekuatan dari
massa tanah yang sudah mangalami liquefaction sehingga terjadi kegagalan
struktur pondasi.

Gambar 8. Dampak liquefaction terhadap struktur diatasnya (ABAG earthquake program)


Penyebab natural yang mengakibatkan terjadinya liquefaction ini adalah
merupakan fungsi dari berkurangnya kekuatan tanah dan magnitude dari beban geser
statis yang disebabkan oleh tanah deposit (Ishihata dkk, 1991). Castro (1987)
mengklasifikasikan dampak liquefaction seperti yang ditunjukkan pada Tabel, yang
berdasarkan kepada nilai magnitude relative dari tegangan statis pendorong (driving
shear load) yang mungkin saja disebabkan oleh kemiringan suatu permukaan tanah
ataupun daya dukung dari pondasi tersebut. Apabila nilai driving shear load lebih besar
dari pada berkurangnya kekuatan tanah akibat terjadinya liquefaction, hilangnya
stabilitas dari tanah tersebut dapat menyebabkan terjadinya kelongsoran maupun flow
slides. Namun, jika nilai driving shear stress lebih kecil daripada nilai tegangan geser (yang
mungkin disebabkan oleh terjadinya dilatation pada regangan yang besar) maka
kemungkinan besar akan terjadi deformasi yang relative kecil.
Tabel 2. Klasifikasi liquefaction (Castro, 1987)

Berdasarkan penelitan Robertson dkk (1992) keruntuhan tanah yang disebabkan


oleh liquefaction akibat beban siklik dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Flow Failures, liquefaction yang terjadi pada jenis tanah yang lepas, tanah yang
memiliki sifat yaitu tidak mengalami peningkatan kekuatan pada saat mengalami
regangan geser yang besar sehingga menyebabkan terjadinya deformasi yang
relative besar.
2. Deformation failures, terjadi apabila tanah yang terliquefaction mengalami
peningkatan nilai shear resistance pada regangan yang besar, mengalami deformasi
tanpa kehilangan stabilitasnya.

4. Cara penanggulangan Liquefaction


Penanggulangan terjadinya liquefaction terhadap tanah perlu dilakukan untuk
menghindari kerusakan-kerusakan yang dapat terjadi. Terdapat beberapa cara untuk
menanggulangi liquefaction antara lain :
a. Memperkuat struktur bangunan diatas tanah sehingga kuat terhadap adanya
bahaya pergerakan tanah.
b. Memilih menggunakan jenis pondasi (termasuk melakukan modifikasi tipe
pondasi) yang memungkinkan serta dipasang pada kedalaman yang cukup kuat
untuk menahan bahaya liquefaction.
c. Melakukan stabilisasi tanah untuk mengurangi potensi terjadinya liquefaction
maupun untuk mengkontrol efek yang akan terjadi. Metode-metode yang
dilakukan antara lain : mengupas maupun mengganti lapisan tanah yang
berpotensi liquefaction, in-situ stabilization dengan menggunakan Grouting,
pemadatan, dewatering.
Pemilihan metode penanggulangan bahaya liquefaction adalah tergantung pada
karakteristik dari tanah tersebut. Apabila tidak ada bahaya pergerakan lateral yang
sangat signifikan, mitigasi untuk fasilitas/ bangunan baru dapat dilakukan dengan
mencari solusi yang efektif dan ekonomis untuk mengkontrol terjadinya pemampatan
akibat beban vertical yang terjadi. Untuk fasilitas existing (fasilitas yang sudah ada),
mitigasi yang dilakukan akan lebih sulit dan mahal karena juga harus dilakukan
perbaikan terhadap bangunan yang sudah ada tersebut selain melakukan perbaikan
terhadap tanah dasarnya sendiri.

Beberapa metode yang berbeda digunakan dalam teknologi perbaikan tanah pada
daerah yang berpotensi liquefaction. Beberapa contoh penggunaan metode perbaikan
tersebut dilakukan di Treasure Island, Santa Cruz, Richmond, Emeryville, Bay Farm
Island, Union City dan South San-Fransisco, California yang merupakan dampak dari
gempa Loma Prieta, 1989. Daerah yang sudah dilakukan perbaikan tanah hanya
mengalami kerusakan bahkan ada yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa
dengan besaran peak ground acceleration 0.11 0.45 g. Sebaliknya kerusakan yang besar
terjadi pada daerah yang tidak dilakukan perbaikan tanah untuk menanggulangi
liquefaction. Dampak tersebut antara lain spread pada lapisan tanah, oscillated maupun
pemampatan akibat liquefaction.
Beberapa negara bagian Amerika dan New-Zealand menggunakan system
pemetaan kondisi tanah termasuk lokasi tanah mana saja dengan data ketebalan yang
pasti yang berpotensi terhadap liquefaction. Dari peta itu, dapat dilihat kawasan mana
saja yang perlu dilakukan perbaikan tanah untuk mengantisipasi dampak liquefaction.
Seperti contoh dilakukannya pengamatan secara khusus pada area reklamasi di San
Fransisco bay yang menggunakan timbunan yang un-compacted dibawah permukaan air
sehingga memungkinkan terjadinya bahaya liquefaction nantinya. Selain itu Metode
vibro-flotation dan sand column untuk memadatkan area reklamasi di pulau buatan palm
island dubai untuk menghindari dampak liquefaction yaitu tenggelamnya pulau tersebut
ditengah laut.

Gambar 9. Peta area yang berpotensi terhadap terjadinya liquefaction di Chrischurch, NewZealand.

Contoh mitigasi lain yang dilakukan di kawasan Chrischurch, New-Zealand


adalah dengan melakukan metode vibro-compaction untuk pembangunan waste water
plant. Metode ini dimaksudkan untuk melakukan pemadatan terhadap lapisan tanah pasir
dengan metode getar. Selain itu penggunaan tiang beton dilakukan pada lapisan tanah
yang berpotensi liquefaction untuk menghindari pergerakan tanah dan kelongsoran
kearah sungai pada pembangunan Opawa Road Bridge. Selain itu, beberapa jenis
perbaikan tanah seperti compaction (pemadatan) juga dilakukan disana. Pemadatan
dilakukan dengan metode heavy tamping yaitu menjatuhkan beban (15-35 ton) keatas
tanah yang akan dipadatkan dari ketinggian 15-25 meter. Metode ini digunakan untuk
melakukan pemadatan pada lapisan tanah dengan tebal 2 meter. Stone column juga dapat
digunakan untuk mencegah bahaya liquefaction yang dilakukan untuk pembangunan Jade
Stadium. Pada pembangunan stadium ini, stone column yang digunakan adalah
berukuran diameter 600 mm dengan jarak pemasangan 1.4 1.7 dan panjang
pemasangan antara 8-10 meter pada area seluas 12500 m.
Metode perbaikan dengan ground improvement yaitu mengelupas dan mengganti
lapisan tanah yang berpotensi terhadap liquefaction serta pemasangan tiang dilakukan
pada proyek pembangunan port of Oakland 7th street marine terminal (J.Egan.
geometrix)

Gambar 10. Ground improvement dengan penggantian lapisan tanah yang berpotensi
terhadap liquefaction di port of Oakland 7th street marine terminal

Gambar 11. Ground improvement dengan pemasangan tiang pada daerah yang berpotensi
terhadap liquefaction di port of Oakland 7th street marine terminal
Berdasarkan laporan kejadian liquefaction yang dirangkum dalam Recommended
Procedures for Implementation of DMG Special Publication 117 Guidelines for Analyzing
and Mitigating Liquefaction Hazards in California yang telah dipublikasi oleh Sothern
California Earthquake Center ( Martin, Lew dkk, 1999) mencatat tentang rekomendasi
teknis untuk penanggulangan bahaya yang diakibatkan oleh kejadian liquefaction.
Perbaikan tanah dengan metode tersebut telah menunjukan hasil yang memuaskan pada
beberapa kejadian gempa yang terjadi belakangan ini. Rekomendasi penanggulangan
yang dilakukan adalah :
4.1. Metode perbaikan tanah
a. Teknik pemadatan tanah.
Metode pemadatan yang banyak dilakukan untuk pemadatan in-situ adalah
vibro-compaction, vibro-replacement (yang biasa dikenal dengan vibro-stone column), deep
dynamic compaction dan compaction (pressure) grouting (Hayden dan Baez, 1994).
Vibro-compaction dan vibro-replacement adalah merupakan teknik pemadatan yang
hampir sama tetapi digunakan pada material timbunan yang berbeda pada
pemadatan tanah yang tergantung pada ketebalan tanah yang dipadatkan tersebut.
Pada vibro-compaction material timbunan yang biasa digunakan adalah pasir
sedangkan pada teknik pemadatan dengan vibro-replacement stone material tambahan
timbunan yang digunakan adalah batuan.
Vibro-compaction biasanya efektif digunakan pada pemadatan tanah pasir yang
terdiri miliki kurang dari 10 % material halus yang lolos ayakan No.200. Vibroreplacement biasanya efektif dilakukan pada tanah yang terdiri dari kurang dari 1520% material halus. Walaupun, beberapa pengalaman (Luehring dkk,1998) telah

menunjukkan bahwa tanah lanau berpasir yang bersifat non-plastis dapat juga
dipadatkan dengan kombinasi metode vibro-replacement dan vertical band (wick) drains
atau PVD.
Pada beberapa kasus, vertical drains dipasang pada bagian tengah dari lokasi
pemasangan stone column yang berfungsi sebagai vibro-replacement. Disebabkan oleh
bervariasinya kejadian liquefaction disebabkan oleh perbedaan tipe tanah serta
kondisi ekonomi yang terjadi, vibro-replacement lebih dipilih untuk digunakan dalam
proses pemadatan tanah khususnya dikawasan America Utara (Hayded dan Baez,
1994). Beberapa publikasi ilmiah tentang desain pemadatan tanah serta karakteristik
yang terjadi telah dilakukan oleh beberapa peneliti termasuk Barksdale dan Bachus
(1983), Mitchell dan Huber (1985), Dobson (1987), Baez (1995 dan 1997).
Deep dynamic compaction termasuk dampak dari energy yang digunakan pada
permukaan tanah dan tanah dibawahnya yang akan dipadatkan. Variasi berat yang
digunakan adalah antara 10-30 ton yang dipilih berdasarkan metode pemadatan
yang digunakan, apakah itu metode standart, metode modifikasi maupun dengan
menggunakan mesin khusus. Beban berat tersebut dijatuhkan pada ketinggian antara
50-120 feet. Dampak dari energy beban yang dijatuhkan tersebut tergantung dari
pemilihan berat beban yang dijatuhkan, tinggi jatuh beban, berapa kali beban
dijatuhkan pertitik jatuh dan jarak antara titik jatuh satu dengan yang lainnya.
Hubungan empiris bisa dilakukan untuk mendesain deep dynamic compaction untuk
melakukan pemadatan pada tipe tanah tertentu seperti tanah yang bisa berdampak
liquefaction.
Secara garis besar, treatment yang dilakukan pada tanah dengan ketebalan
lebih dari 35 feet bisa dilakukan pada tanah yang bersifat granular. Apabila tanah
tersebut bersifat kohesif dan muka air tanahnya berada antar kedalaman 3-5 feet dari
permukaan tanah, lapisan granular tersebut biasanya difungsikan untuk membatasi
hilangnya pengaruh energy dan mentransfer kekuatan pada tanah yang lebih dalam.
Batasan utama lainnya yang biasanya terjadi apabila menggunakan metode ini
adalah dampak getaran, masalah debu yang beterbangan selama proses dan bising.
Karena alasan tersebut, pekerjaan pemadatan dengan metode ini dilakukan paling
tidak menggunakan batasan clearance 100 hingga 200 feet dari bangunan yang sudah
berdiri.
Displacement dan compaction grouting termasuk pada menggunaan low slump,
mortar-type grout yang di pompa dengan tekanan yang kuat untuk memadatkan tanah
yang bersifat loose. Pipa yang dipasang dengan system grouting untuk pemadatan

tanah biasanya dipasang dengan menggunakan pipa baja dengan diameter


internalnya sepanjang 2 inch atau lebih. Pemasangan material kaku, sepanjang kirakira 3 inch, pemasangan cement dilakukan dengan memberikan tekanan kurang lebih
100-300 pounds per inch persegi (psi). Penolakan nilai tekanan antara 400-500 psi
biasanya terjadi pada tipe tanah granular pada area yang berdampak liquefaction.
Pipa tersebut dipasang dengan pola grid dengan ukuran antara 5-9 feet. Volume pipa
yang dimasukkan bervariasi kira-kira antara 3-12 percent dari volume tanah yang
diperbaiki pada tanah granular, walaupun volume yang lebih dari 20 % pernah juga
dilakukan pada jenis tanah pasir lepas maupun jenis tanah lanau. Teori dan beberapa
contoh kasus yang terjadi dilapangan dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan
oleh Graf (1992), Baez dan Henry (1993) dan Boulanger dan Hayden (1995) dan
beberapa penelitian lainnya.
b. Teknik Hardening dan Pencampuran material
Teknik hardening dan/atau teknik pencampuran bahan dilakukan untuk
mengurangi volume pori pada tanah yang berdampak liquefaction dengan
menggunakan metode Grout materials maupun metode lain seperti pencampuran
material secara mekanis maupun jetting. Teknik tersebut kemudian dikenal dengan
permeation grounting, soli mixing dan jet grouting.
Permeation grouting dilakukan dengan memasukkan material cair dengan nilai
viskositas rendah kedalam pori-pori tanah granular. Material yang ditambahkan
tersebut adalah sodium silicate ataupun microfine cement dengan nilai D15 dari
tanah tersebut harus lebih besar dari pada 25 kali nilai D85 dari grout untuk
perembesan. Dengan pelakukan metode ini dengan baik, maka tanah yang berpotensi
liquefaction dengan nilai prosentase tanah yang berbutir halus antara 12 s/d 15
dapat bersifat lebih keras. Metode ini sudah dilakukan pada beberapa bangunan di
Amerika utara antara lain Jembatan Pier di Santa Cruz, California (Mitchell dan
Wents,1991) dan Tunnel Horizon di pusat kota San-Francisco. Metodolgi desain
dan implementasi di lapangan dibahas dalam penelitian yang dilakukan oleh Baker
(1982) dan Moseley (1993).
Jet grouting yang dilakukan pada proses soil hardening, berfungsi untuk
mengganti tanah yang bersifat liquefiable, sensitive terhadap pemampatan atau tanah
yang bersifat permeable dengan soil-cement yang memiliki tegangan dengan nilai
lebih dari 2500 Psi. Metode ini dilakukan dengan tekanan air yang digunakan adalah
lebih besar dari 7000 Psi pada area pipa semprot untuk memotong tanah dicampur
ditempat dengan menggunakan semen pada permukaan tanah. Harus dilakukan

control terhadap rotasi drill dan rata-rata material yang dimasukkan dibandingkan
dengan material tanah yang diperbaiki seperti yang dijelaskan oleh Moseley (1993).
Deep soil-mixing adalah metode pencampuran material semen dengan
menggunakan hollow-stem-auger dan paddle. Sejumlah 1 hingga 5 shaf dilakukan
dengan menggunakan auger berukuran lebih dari 3 feet bahkan lebih yang
digunakan untuk mencampur material hingga kedalaman 100 feet. Pada saat Auger
tersebut dimasukkan kedalam tanah, hollow stems digunakan sebagai saluran untuk
memompa kedalam tanah dan memasukkan ujungnya kedalam tanah. Metode ini
sudah pernah sukses dilakukan di negara Jepang. Sel batas (confining cell) pada
metode ini terjadi pada proses dimana suatu auger yang dipasang overlapping
sehingga berbentuk menyerupai seperti tembok penahan.

Liquefaction dapat

diantisipasi dengan membatasi terjadinya regangan geser akibat gempa bumi dan me
re-distribusikan tegangan geser yang terjadi dari tanah ke tembok yang telah
dipasang. Perbaikan pada tanah yang berdampak besar terjadi liquefaction hingga
tanah lanau yang sangat lunak sangat memungkinkan dilakukan dengan
menggunakan jet grouting. Metode ini sudah pernah digunakan dilapangan walau
hanya pada beberapa tipe bangunan saja di Amerika Utara termasuk Jackson Lake
dam di Wyoming (Ryan dan Jasperse, 1989). Tetapi metode ini sudah banyak
dilakukan di negara Jepang (1997).
4.2. Perbaikan struktur bangunan atas
Pada beberapa kasus, pencegahan

kerusakan struktural akibat bahaya

liquefaction mungkin akan jauh lebih ekonomis jika dibandingkan dengan melakukan
perbaikan tanah. tetapi, pencegahan kerusakan struktur ini mungkin memiliki
dampak yang sedikit atau malah tidak berdampak sama sekali terhadap tanah yang
berpotensi liquefaction tersebut. Melalui perbaikan struktur tersebut bukan berarti
tanah dasar menjadi tidak berpotensi terhadap bahaya liquefaction tetapi hanya
struktur bangunannya saja yang kuat untuk menahan bahaya liquefaction misalnya
adanya deformasi maupun dampak lainnya. Pemilihan perkuatan struktur bangunan
untuk mencegah dampak liquefaction ini tergantung pada magnitude gempa yang
terjadi dan kondisi tanah dasar tersebut. Apabila liquefaction yang terjadi pada suatu
tanah mengakibatkan adanya lateral spreading pada tanah, perkuatan struktur untuk
mengurangi dampak liquefaction tidak layak untuk dilakukan. Namun sebaliknya,
dampak liquefaction yang terjadi pada tanah tersebut hanya sebatas settlement arah
vertical saja, perkuatan struktur bisa dilakukan untuk mengurangi dampak
liquefaction karena lebih memungkinkan dan ekonomis.

Rekomendasi lain berupa teknis penanggulanagan bahaya liquefaction termasuk


keuntungan dan kerugiaan penggunaan metode tersebut dirangkum berdasarkan ABAG
earthquake program yang dapat dilihat pada Tabel.
Tabel 3. Teknis untuk melakukan penanggulangan bahaya liquefaction
Cara Penanggulangan

Keuntungan jika dilakukan

Kerugian jika dilakukan

Perbaikan tanah
1. Mengganti tanah yang

1. Penggantian tanah akan

1. Sangat susah dilakukan

berdampak terjadi

baik dilakukan apabila

dilapangan dan tentunya

liquefaction.

ketebalan tanah yang

akan sangat mahal aabila

berdampak terjadi

kedalaman tanah yang

liquefaction dapat

liquefaction di aera

berdampak liquefaction

distabilisasi dengan

tersebut relative kecil.

terlampau sangat tebal.

2. Tanah yang berdampak

melakukan grouting,

2. Stabilisasi tanah yang

2. Densification/ pemadatan

densification dan

berdampak terhadap

tanah akan sulit dilakukan

dewatering.

kejadian liquefaction sudah

pada area tanah yang

dilakukan selama

berdampak liquefaction

dampak liquefaction yaitu

bertahun-tahun dan

dimana sudah terdapat

Lateral spreading,

terbukti cukup efektif

bangunan yang berdiri

pemasangan penopang

untuk menanggulangi

diatasnya atau

dapat dilakukan untuk

liquefaction akibat

disekitarnya. Hal tersebut

mengurangi dampak

guncangan gempa hebat

malah akan berakibat

tersebut.

seperti yang terjadi di

terjadinya pemampatan

Loma Prieta.

maupun differential

3. Sesuai dengan prinsip

3. Penanggulangan

settlement sehingga justru

liquefaction khususnya

malah membahayakan

lateral speading dengan

struktur.

menggunakan metode

3. Penanggulangan khusus

penopangan dirasa cukup

untuk lateral spreading

efektif.

tidak memanggulangi
bahaya akibat daya
dukungnya. Sehingga
akan muncul problem

yang lain yaitu kerusakan


pada pipa maupun jalan.
Memperkuat pondasi
1. Mat foundation

Penanggulangan dengan cara

Perkuatan pondasi pada

2. Tiang dengan pier yang

ini baik dilakukan khususnya

struktur yang bersifat

memangjang hingga

pada pembangunan struktur

individu/ setempat tidak

melampaui kedalaman

yang baru. Selain itu juga bisa

dapat mencegah bahaya

tanah yang berdampak

dilakukan pada struktur yang

liquefaction pada area

terhadap liquefaction

retrofit.

sekitarnya khsusunya apabila


tibe struktur tersebut adalah
pada pembangunan pipa dan
jalan yang memanjang. Cara
ini juga tidak dapat
berdampak dengan baik
apabila bahaya yang terjadi
adalah lateral spreading.

Perkuatan struktur
Perkuatan struktur ini

Sama halnya dengan perkuatan

Sama seperti pada perkuatan

dilakukan untuk memperkuat

pondasi, penanggulangan

pondasi, perkuatan pondasi

struktur bangunan atas

dengan cara ini baik dilakukan

pada struktur yang bersifat

sehingga kuat menahan

khususnya pada pembangunan

individu/ setempat tidak

bahaya liquefaction yang

struktur yang baru. Selain itu

dapat mencegah bahaya

terjadi.

juga bisa dilakukan pada

liquefaction pada area

struktur yang retrofit.

sekitarnya khsusunya apabila


tibe struktur tersebut adalah
pada pembangunan pipa dan
jalan yang memanjang. Cara
ini juga tidak dapat
berdampak dengan baik
apabila bahaya yang terjadi
adalah lateral spreading.

5. Investigasi lapangan
Investigasi lapangan (termasuk investigasi geoteknik) harus rutin dilakukan
pada setiap pekerjaaan pembangunan yang baru. Biasanya di negara-negara barat,
survey kondisi geologis dan survey tahan dasar adalah sesuatu yang normal tetapi
penting dilakukan untuk mengetahui kondisi suatu tanah, termasuk apakah tanah
tersebut berpotensi terhadap bahaya liquefaction dan sebesar apa bahaya liquefaction
yang akan terjadi pada jenis tanah tersebut.
a. Pemahaman geologis terhadap sifat tanah
Beberapa tahapan pemantauan geologi yang harus dilakukan adalah
membuat suatu peta Geologis tentang kondisi tanah yang berisi tentang
penjelasan jenis tanah, sejarah tanah, ketebalan lapisan tanah sehingga
dari situ dapat dilihat apakah tanah tersebut berpotensi terhadap bahaya
liquefaction.
b. Explorasi tanah dasar
Explorasi tanah dasar biasanya diperoleh dari pengetesan Boring dengan
menggunakan cone penetration test (CPT). Banyak sedikitnya area yang
ditest tergantung kepada jenis bangunan yang akan dibangun diatasnya.
Ada banyak macam metode yang digunakan untuk mengevaluasi tanah
yang berpotensi terhadap liquefaction. Metode yang dianggap sangat
pouler adalah SPT maupun CPT. Berdasarkan hasil pengetesan tersebut
dapat diindikasi apakah tanah tersebut dapat mengalami liquefaction
apabila terkena gempa bumi.
c. Kedalaman tanah untuk evaluasi liquefaction
Umumnya kedalaman tanah yang ditinjau untuk melakukan analisa
liquefaction adalah 50 feet (sekitar 15 meter). The Seed and Idriss EERI
Monograph on Ground Motion and Soil Liquefaction During Earthquakes
(1982) tidak merekomendasikan kedalaman tanah untuk peninjauan
liquefaction, tetapi menggunakan kedalaman 40 feet (12 m) untuk
pengetesan yang merupakan nilai penyederhanaan untuk melakukan
perhitungan numerik dalam penelitian tersebut. Namun,tidak menutup
kemungkinan bahwa liquefaction juga terjadi pada kedalaman tanah lebih
dari 50 feet apabila kondisi tanah tinjauan tersebut sangat loose dan tidak
padat, berjenis tanah granural, jenuh air dan mengalami beban getar
akibat gempa.

5.1. Metode untuk mengetahui zona Liquefaction


Zone of liquifaction ditentukan dengan cara membandingkan evolusi dari
tegangan siklik yang terjadi akibat gempa dengan kemampuan tanah tersebut
menahan beban siklik.
a. Metode Seed dan Idris
Metode ini dilakukan dengan menentukan CSR (Cyclic Stress Ratio) dan
CRR (Cyclic Resistance Ratio) .Analisa CSR sangat tergantung percepatan
gelombang maksimum dan tegangan dari tanah, untuk menganalisa CSR dapat
digunakan perumusan yang dilakukan oleh Seed Idris.
CSR = av / 0 = 0.65 amak /g (0 / 0 ) rd
Dimana
amak

= Percepatan permukaan tanah maksimum

= Tegangan Total

= Tegangan efektif

rd

= Koefisien reduksi tegangan yang tergantung pada kedalaman dan

mempunyai nilai maksimum 1 yang dapat dilihat pada gambar 2.1. dibawah.

Gambar 12. Stress Reduktion Factor rd


Dari grafik dapat dihubungkan dengan kedalaman tinjauan liquifaksi, dimana
rd

= 1 0.00765 z

untuk z < 9.15

rd

= 1.174 0.0267 z untuk 9.15 < z < 23 m

rd

= 0.744 0.008 z

untuk 23 < z < 30 m

rd

= 0.5 untuk z > 30 m

Untuk analisa CRR didapatkan dari SPT denga (N60)cs (N60 clean sand) dengan
mengikuti persamaan berikut yang digunakan CRR7.5 :
CRR7.5

a + c x + e x 2 + g x2
1 + b x + d x 2 + f x 3 + h x4

Dimana
x

= Nilai SPT (N60) cs

= 0.048

= 0.1248

= 0.004721

= 0.009578

= 0.0005136

=-0.0003285

=-1.673 / 100000

= 3.673 / 1000000

hubungan (N60) cs dan CRR yang didesain pada magnitude 7.5 dapat dilihat pada
gambar 4 dibawah ini

Gambar 13. Hubungan (N60) cs dan CRR7.5

Grafik diatas hanya digunakan untuk N60 Clean sand dan untuk CRR
dengan magnitude 7.5, sehingga untuk menggunakan grafik di atas diperlukan
korelasi korelasi seperti N60 yang dikorelasikan dengan (N60) cs dan dibutuhkan
Magnitude Scaling Factor (MSF) sehingga grafik di atas dapat digunakan untuk
kondisi magintude lain. Korelasi tersebut adalah :
(N60)cs

= + N60

= exp ( 1.76 9190/Fc2 ))


= ( 0.99 + (fc1.5 /1000))
Fc = kandungan pasir dari suatu tanah yang diambil dari analisa ayakan
MSF

= 102.24 / M2.25

Sehingga untuk menentukan liquifaction adalah dengan menggunakan faktor


SF = (CRR/CSR) * MSF
SF < 1 maka tanah yang dianalisa mengalami liquefaction.
b. Metode Shibata dan Terapaksa (1987,1988)
Shibata dan Terapaksa mengusulkan metode evaluasi potensi liquifaction
berdasarkan data sondir yang tersedia dilapangan. Data tersebut dikumpulkan
dari beberapa kejadian gempa dimana terdapat hasil uji sondir yang cukup
representatip. Gambar 2.2. menunjukan korelasi yang dianjurkan tersebut yang
menghubungkan antara perlawanan ujung sondir qc1 dan rasio tegangan siklik
/o yang terjadi dilapangan saat terjadi gempa. Metode ini baik untuk pasir
bersih (D50 > 0.25 mm) maupun pasir kelanauan.
Prosedur analisa adalah sebagai berikut:
1. Tentukan harga perlawanan ujung sondir yang telah dikoreksi terhadap
tegangan efektif 1 kg/cm2 pada titik kedalaman sondir.
qc1 = C1 qc = (

1.7

) qc (kg/cm2)

+ 0.7

dimana C1 adalah fungsi kedalaman dari dalam satuan kg/cm2 pada titik
kedalaman sondir.
2. CSR yang terjadi dilapangan dapat dihitung menggunakan formula
Tokimatsu dan Yoshima 1983 sbb
CSR = av / 0 = 0.1 (M -1) (a mak /g) (0 / 0 ) (1-0.015z)

Dimana M adalah besaran gempa a

mak

adalah percepatan maksimum

dipermukaan tanah. 0 dan 0 tegangan total dan tegangan efektif total


dari kedalam z dari muka tanah.
3. CRR dapat dianalisa menggunakan rumus sebagai berikut:
qc1 = C2 (50 + 200

(/o) 0.1
(/o) + 0.1

CRR = 0.1 + 0.2

(qc1/C2) 50
(250 qc1 / C2

Dimana C2 = 1 untuk pasir bersih dengan harga D50 > 0.25 mm dan
C2 = D50/0.25 untuk tanah pasir halus dengan D50 <0.25 mm
Sehingga untuk menentukan liquifaction adalah dengan menggunakan faktor
SF = (CRR/CSR)
SF < 1 maka tanah yang dianalisa mengalami liquifacsi.

Gambar 14.
c. Metode Tokimatsu dan Yoshima (1983)
1. CSR yang terjadi dilapangan dapat dihitung menggunakan formula sbb
CSR = av / 0 = 0.1 (M -1) (a mak /g) (0 / 0 ) (1-0.015z)
Dimana M adalah besaran gempa a

mak

adalah percepatan maksimum

dipermukaan tanah. 0 dan 0 tegangan total dan tegangan efektif total


dari kedalam z dari muka tanah.
2. Koreksi nilai N
Na

= ( 1.7/(0 - 0.7)) N + Nf

Dimana
Nf

= 0 (FC < 5%)

Nf

= 0.1FC + 4

3. CRR dapat dianalisa menggunakan rumus sebagai berikut:


CRR = a Cr (

16 Na1/2

Dimana
a

= 0.45

Cr

= 0.57

= 80 90

Cs

= 75

16 Na1/2

Cs

100

Sehingga untuk menentukan liquifaction adalah dengan menggunakan faktor


SF = (CRR/CSR)
SF < 1 maka tanah yang dianalisa mengalami liquifacsi.
d. Metode lain untuk menentukan CRR adalah dari Seed Mori dan Chan dari
SPT.
CRR = av / 0 = N1/90

N1 < 35

Dimana
N1

= Cn N

= Harga SPT

Cn

= Faktor koreksi yang tergantung tegangan overbaurden effective.

Gambar 15. Koreksi harga Cn (seed et el)


Dari Tatsuko et el menyajikan tegangan ciklik batas liquifaction
N

RL2O = 0.88 ( (

)1/2 - 0.258 Log (D50 /0.35) )

v + 70

Untuk 0.04 < D50 < 0.6 mm


N

RL2O = 0.88 ( (

)1/2 - 0.0567 )

v + 70

Untuk 0.4 < D50 < 1.5 mm


Dimana
RL2O

= (tegangan ciklik batas)

= hasil SPT

= tegangan efektif vertical dilapangan

D50

= dimater butiran yang lolos 50% ayakan

Dari Corte mengusulkan CRR


CRR = A

((

)1/2 - 0.258 Log (D50 /0.35) )

v + 70

Untuk 0.04 < D50 < 0.6 mm


CRR = A

((

)1/2 - 0.0567 )

v + 70

Untuk 0.4 < D50 < 1.5 mm


Koefisien A

dapat diambil

dari tabel yang besar kecilnya tergatung

Magnitude.
Tabel 2.1 Koefesien A dalam magnitude dan jumlah siklik ekivalen (corte).
Magnitude

5.5 - 6

6.5

7.5

Jumlah siklik equivalen

12

15

20

0.66

0.6

0.56

0.53

0.5

Anda mungkin juga menyukai