Anda di halaman 1dari 7

POTENSI SERBUK BIJI MIMBA DAN NPV DALAM PENGENDALIAN

Helicoverpa armigera HUBNER PADA TUMPANG SARI


KAPAS DAN KEDELAI
I G.A.A. Indrayani dan D. Winarno*)

ABSTRAK
Sebagian besar petani kapas di Lamongan, Jawa Timur, masih menggunakan insektisida kimia untuk mengendalikan penggerek buah kapas, H. armigera. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kapas adalah penggunaan insektisida kimia sintetik secara intensif yang telah mengakibatkan ulat H. armigera resisten, sehingga kerusakan tanaman meningkat. Satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah mensubstitusi insektisida kimia sintetik dengan insektisida botani atau biologi, seperti serbuk biji mimba (SBM) dan nuclear polyhedrosis virus (NPV) yang selain efektif
terhadap hama sasaran juga aman bagi musuh alami. Hasil penelitian membuktikan bahwa SBM sinergis dengan NPV
dan aplikasinya secara kombinasi meningkatkan mortalitas ulat dan menurunkan bobot ulat hidup. Analisis ekonomi
pengendalian H. armigera dengan kombinasi SBM dan NPV dapat mengurangi biaya pengendalian sekitar 63,4% dan
meningkatkan pendapatan hingga 32,7% dibanding pengendalian dengan insektisida kimia betasiflutrin.
Kata kunci: H. armigera, serbuk biji mimba, NPV, sinergis, mortalitas.

PENDAHULUAN
Berkembangnya industri tekstil di dalam negeri menyebabkan kebutuhan serat kapas meningkat, dan sebagian besar kebutuhan tersebut dipenuhi dari impor yang mencapai 450 760 ribu ton
setiap tahunnya, atau kira-kira 99,5% dari kebutuhan serat nasional (Sagala, 2006; Hadi, 2006). Di
Indonesia, umumnya kapas dibudidayakan di lahan
kering dengan produktivitas rata-rata 500 800 kg/
ha. Hasil tersebut sesungguhnya dapat ditingkatkan
hingga 1,5 2,0 ton/ha apabila diusahakan di lahan
berpengairan teknis (Hasnam et al., 1998). Selain
dipengaruhi oleh kondisi lahan marginal beriklim
kering dengan curah hujan rendah, tingginya serangan hama, khususnya ulat penggerek buah H.
armigera menyebabkan produktivitas kapas berbiji
semakin menurun. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka kapas mulai dikembangkan di lahan sawah tadah hujan dengan sistem tanam tumpang
sari dengan palawija.

Kabupaten Lamongan merupakan salah satu


sentra pengembangan kapas di Jawa Timur. Pertanaman kapas di Lamongan diusahakan secara tumpang sari dengan palawija, khususnya kedelai. Salah satu penyebab masih rendahnya produktivitas
kapas di Lamongan adalah serangan hama penggerek buah H. armigera. Pada tingkat petani, pengendalian hama ini masih menggunakan insektisida kimia secara intensif. Mahalnya harga insektisida kimia dan terbatasnya sumber dana yang dimiliki petani kapas, menyebabkan pengendalian hama dengan insektisida kimia sintetis menjadi beban berat
bagi petani. Basuki et al. (2002) menyatakan bahwa biaya input untuk insektisida kimia mencapai
65% dari total biaya produksi. Di samping itu,
dampak negatif penggunaan insektisida kimia dalam jangka panjang dapat meningkatkan ketahanan
(resistensi) serangga hama terhadap insektisida kimia (Lal et al., 1998; Mohan dan Katiyar, 2000).
Masalah yang ditimbulkan pada pengendalian hama dengan insektisida kimia tersebut mendo-

*) Masing-masing peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang

84

rong upaya untuk mencari teknik pengendalian hama alternatif. Salah satunya adalah pemanfaatan
sumber daya alam yang potensial sebagai bahan
pestisida, misalnya tanaman mimba (Azadirachta
indica A. Juss.) dan patogen serangga Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV). Secara individu, kedua
agensia biologi tersebut memiliki potensi tinggi dalam pengendalian hama H. armigera. Secara kombinasi, keduanya juga efektif meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian hama, sehingga
dalam jangka panjang keduanya berpeluang menjadi komponen pengendalian hama yang dapat mensubstitusi peran insektisida kimia dalam pengendalian hama kapas.
Tulisan ini menyajikan informasi tentang
prospek pemanfaatan kombinasi serbuk biji mimba
(SBM) dan NPV dalam pengendalian ulat penggerek buah kapas H. armigera pada tumpang sari
kapas dan palawija di lahan sawah.

POTENSI SBM DAN NPV DALAM


PENGENDALIAN HAMA
Tanaman mimba diketahui mengandung bermacam-macam senyawa kimia, salah satunya adalah senyawa azadirachtin yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan serangga (Schmutterer,
1990). Hampir seluruh bagian tanaman mimba mengandung azadirachtin dengan konsentrasi yang
berbeda-beda. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada bagian kernel biji. Pengaruh senyawa ini yang
paling penting pada serangga adalah sebagai penghambat pertumbuhan (growth inhibitor) dan penolak makan (feeding deterrent/antifeedant) (Gupta
dan Birah, 2001), sehingga menyebabkan kematian
yang tinggi pada ulat H. armigera, menghambat
pertumbuhan dan perkembangan ulat yang masih
hidup yaitu menurunkan bobot ulat dan pupa, serta
memperpanjang stadia ulat maupun pupa (Isman et
al., 1990; Verkerk et al., 1998; Ma-Deling et al.,
2000; Weathersbee dan Tang, 2002).

Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa SBM efektif menyebabkan kematian


ulat S. litura instar pertama dan kedua lebih dari
90% (Subiyakto et al., 1999). Hasil penelitian lain
juga mengungkapkan bahwa aplikasi SBM sebanyak tiga kali pada tanaman kapas disertai pelepasan parasitoid Trichogramma sp. sebanyak dua kali
efektif meningkatkan produksi kapas hingga 20%
dan menurunkan biaya pengendalian hama sebesar
61% (Sri-Hadiyani et al., 2002).
Pestisida botani SBM aman bagi artropoda
musuh alami, khususnya predator seperti coccinellid, chrysopid, Araneae, dan Hemiptera (Ma-DL et
al., 2000). Sunarto et al. (2004) menyatakan bahwa
perbedaan tingkat penekanan terhadap predator antara penggunaan insektisida kimia sintetis dan
SBM mencapai 25%, sehingga SBM juga dapat dimanfaatkan untuk mengkonservasi predator.
Teknologi pengendalian H. armigera dengan
patogen serangga NPV telah tersedia, dan terbukti
efektifitasnya terhadap ulat penggerek buah kapas
(Indrayani, 2003a). Di lapang, aplikasi NPV secara
tunggal cenderung kurang efektif mengendalikan
kompleks serangga hama kapas, sehingga masih
memerlukan perbaikan dalam upaya meningkatkan
efektivitas. Salah satu caranya adalah mengkombinasikan NPV dengan cara pengendalian hama lain
yang kompatibel dan sinergis (Cook, et al., 1996).
Terbatasnya kisaran inang (spesifik inang) dan paparan sinar ultraviolet juga merupakan faktor penyebab menurunnya efektivitas di lapang.
Hasil penelitian kombinasi SBM dan NPV
menunjukkan bahwa keduanya kompatibel, sinergis dan berpengaruh positif terhadap peningkatan
mortalitas H. armigera. Hal tersebut terbukti dari
persentase mortalitas ulat yang diamati (mortalitas
kenyataan) yang rata-rata lebih tinggi dibanding
persentase mortalitas yang diharapkan (mortalitas
harapan) (Tabel 1). Aditifitas menunjukkan bahwa
tidak terjadi interaksi nyata antara SBM dan NPV,
tetapi tetap efektif meningkatkan kematian ulat.

85

Tabel 1. Kompatibilitas kombinasi SBM dan NPV dalam pengendalian H. armigera


Perlakuan
SBM(LC25) + NPV(LC25)
SBM(LC25) + NPV(LC50)
SBM(LC50) + NPV(LC25)
SBM(LC50) + NPV(LC50)
Sumber: Indrayani et al. (2004)

Mortalitas ulat (%)


Kenyataan
Harapan
55,83
43,80
67,45
65,40
55,67
52,60
78,35
60,80

Interaksi
Aditif
Aditif
Aditif
Sinergis

Pengaruh kombinasi SBM dan NPV nyata


meningkatkan mortalitas ulat dibanding efektifitas
masing-masing secara individu. Penurunan bobot
ulat setelah perlakuan membuktikan bahwa pertumbuhan ulat H. armigera yang masih hidup terhambat karena adanya gangguan metabolisme
yang juga mempengaruhi sistem kekebalan serangga, sehingga lebih mudah terinfeksi NPV. Pengaruh SBM dan NPV terhadap pertumbuhan serangga menyebabkan menurunnya kemauan makan, serangga mengalami gangguan metabolisme, sehingga bobotnya berkurang (Sarode et al., 1995;
Lingappa et al., 2000; Praveen dan Dhandapani,
2001). Tabel 2 tersaji mortalitas dan bobot ulat setelah diperlakukan dengan SBM dan NPV baik individu maupun kombinasi.
Tabel 2. Mortalitas dan bobot ulat H. armigera setelah
perlakuan SBM dan NPV secara individu maupun kombinasi
Perlakuan
Kontrol
SBM(LC25)
SBM(LC50)
NPV(LC25)
NPV(LC50)
SBM(LC25) + NPV(LC25)
SBM(LC25) + NPV(LC50)
SBM(LC50) + NPV(LC25)
SBM(LC50) + NPV(LC50)
Sumber: Indrayani et al. (2004)

Mortalitas
(%)
2,42 a
23,32 b
35,83 c
27,50 b
55,85 c
55,83 d
67,45 d
51,67 e
78,35 f

Bobot
(mg)
58,87 d
8,60 bc
6,25 ab
11,62 c
10,25 c
8,20 bc
4,92 ab
5,55 ab
3,42 a

Bobot ulat dipengaruhi oleh faktor perlakuan


(Tabel 2). Dibanding dengan kontrol, bobot ulat
pada semua perlakuan lebih rendah dan sangat ber-

86

beda nyata. Bobot ulat yang lebih rendah dari bobot normalnya (kontrol) menunjukkan bahwa pertumbuhan ulat tersebut terganggu oleh bahan-bahan yang terkandung dalam perlakuan. Akibatnya,
ulat tidak mampu berkembang ke stadia pupa maupun imago, sehingga populasi generasi berikutnya
menurun.
Pengendalian H. armigera dengan kombinasi SBM dan NPV berpotensi menyediakan lingkungan yang lebih ideal bagi perkembangan musuh
alami (parasitod dan predator). Hal ini disebabkan
baik SBM maupun NPV tidak mengandung bahanbahan kimia beracun yang dapat membahayakan
musuh alami. Oleh karena itu, digunakannya SBM
dan NPV pada tumpang sari kapas dan palawija
berpotensi meningkatkan peran musuh alami
(Parajulee et al., 1997; Verkerk et al., 1998). Meskipun efektifitas SBM dan NPV mudah diturunkan oleh sinar ultraviolet, tetapi dengan mengatur
waktu aplikasi yaitu pagi hari sebelum jam 8 dan
sore hari setelah jam 3, maka kemungkinan penurunan efektifitas dapat diperlambat.
Patogen serangga NPV juga memiliki keistimewaan lain, yaitu dapat ditularkan (transmisi) secara vertikal dari induk terinfeksi ke generasi berikutnya melalui kontaminasi telur (Murray dan
Elkinton, 1990; Myers et al., 2000; Indrayani et
al., 2003b). Tentu saja hal tersebut sangat potensial
meningkatkan peran NPV sebagai faktor mortalitas
biotik di alam, sehingga berpotensi menjaga keseimbangan populasi inang patogen.
Selain tanaman, tanah juga merupakan habitat potensial berbagai patogen serangga, terutama
NPV. Keberadaan NPV di dalam tanah biasanya
terbawa oleh bangkai ulat yang mati terinfeksi
NPV dan inokulum ini selanjutnya mengawali
pembentukan epizootik NPV yang semakin berkembang sejalan dengan meningkatnya populasi
inang terinfeksi. Hal ini juga berarti bahwa meskipun belum pernah dilakukan aplikasi NPV di
suatu tempat, tetapi dengan adanya mekanisme pe-

nularan secara vertikal, maka inokulum yang jumlahnya terbatas akan berkembang cepat apabila
kondisi lingkungan dan populasi inang mendukung. Seperti yang terjadi di Lamongan, yaitu ditemukan sejumlah bangkai ulat Spodoptera litura
(F.) yang menunjukkan gejala terinfeksi NPV pada
pertanaman kapas petani. Hal yang sama juga pernah terjadi pada patogen lain, yaitu adanya gejala
serangan cendawan entomopatogen Nomuraea rileyi pada ulat H. armigera dan S. litura yang dikoleksi dari pertanaman tembakau di Temanggung
pada tahun 1999 2001.
Sehubungan dengan persistensi NPV di lapang, maka di daerah-daerah penamanan kapas
yang tidak melakukan olah tanah sebelum tanam,
epizootik NPV di dalam tanah cenderung lebih stabil. Hal ini disebabkan proses pengolahan tanah
berpotensi mengubah posisi inokulum NPV dari tidak terkena paparan sinar ultraviolet menjadi lebih
mudah terinaktivasi. Oleh karena itu, penggunaan
SBM dan NPV perlu diterapkan di lingkungan seperti itu.
Salah satu hasil penelitian kapas di Lamongan menunjukkan bahwa pengendalian H. armigera sudah dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan peran faktor mortalitas biotik terutama
musuh alami, atau tanpa insektisida kimia sintetis
(Nurindah et al., 2004). Namun demikian, hingga
saat masih sulit meyakinkan sebagian petani kapas
setempat untuk tidak melakukan penyemprotan
(unsprayed) insektisida kimia sintetis pada pengen-

dalian H. armigera. Hal ini tentunya menjadi masalah yang harus ditemukan solusinya. Karakter
petani kapas yang tetap spray-minded memunculkan peluang untuk memanfaatkan agen pengendalian hama yang lain sebagai substitusi insektisida
kimia sintetis, seperti SBM maupun patogen serangga yang selain efektif pada hama sasaran juga
aman bagi lingkungan.
Lingkungan ekosistem tumpang sari kapas
dan palawija cukup mendukung upaya penerapan
teknologi pengendalian hama dengan kombinasi
SBM dan NPV tersebut, karena kelembaban lingkungan lebih terjaga oleh penggunaan bahan penutup tanah, seperti mulsa jerami juga menyediakan
lingkungan yang sesuai bagi perkembangan patogen serangga. Hasil penelitian analisis ekonomi
menunjukkan bahwa pengendalian H. armigera dengan kombinasi SBM+NPV lebih efisien karena
dapat mengurangi biaya pengendalian hama hingga
63,4% dan meningkatkan pendapatan sebesar
32,7% dibanding penggunaan insektisida kimia
sintetis (Indrayani dan Winarno, 2005) (Tabel 3).
Saat ini sebagian petani binaan Balittas di
Lamongan sudah mampu membuat dan mengaplikasikan sendiri SBM sehingga peluang untuk mengenalkan komponen pengendalian hama yang
lain, seperti NPV kemungkinan akan lebih mudah
dilakukan asalkan sebelumnya dilakukan sosialisasi pengenalan produk dan manfaatnya kepada petani pengguna.

Tabel 3. Analisis ekonomi pengendalian H. armigera dengan kombinasi SBM dan NPV
Variabel
SBM+NPV
1. Penerimaan (Rp)1
2 946 000
2. Biaya pengendalian hama
160 555
(Rp)
(63,4%)2
3. Pendapatan atas biaya
2 785 455
pengendalian (Rp)
(32,7%)2
4. Tambahan penerimaan (Rp)
909 500
5. MRR atas kontrol
4,66
6. MRR atas betasiflutrin
4,28
Keterangan: 1 Penerimaan dari kapas dan kedelai
2
Dibandingkan dengan betasiflutrin

SBM
2 372 000
284 430

Komponen perlakuan
NPV
Betasiflutrin
2 356 240
2 536 990
233 330
438 880

2 087 580

2 122 910

2 098 110

335 500
0,18
0,04

319 730
0,37
0,11

500 480
0,14
-

Kontrol
2 036 510
0
2 036 510
-

87

KESIMPULAN
Ketergantungan pada insektisida kimia dalam pengendalian H. armigera pada kapas dapat
dikurangi dengan memanfaatkan insektisida botani
SBM dan insektisida biologi NPV. SBM sinergis
dengan NPV dan aplikasinya secara kombinasi meningkatkan mortalitas dan menurunkan bobot ulat
hidup. Analisis ekonomi pengendalian H. armigera
dengan kombinasi SBM dan NPV mengurangi
biaya pengendalian sekitar 63,4% dan meningkatkan pendapatan hingga 32,7% dibanding pengendalian dengan insektisida kimia betasiflutrin.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki, T., B. Sulistiono, dan S.A. Wahyuni. 2002. Sistem usaha tani kapas di Indonesia. Monograf
Balittas No 7, Buku 1: Kapas. Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Hal. 55
62.
Cook, S.P., R.E. Webb, and K.W. Thorpe. 1996. Potential enhancement of the Gypsy Moth (Lepidoptera:
Lymantriidae) Nuclear Polyhedrosis Virus with
the triterpene azadirachtin. Environ. Entomol.
25(5): 1209 1214.
Gupta, G.P. and A. Birah. 2001. Growth inhibitory and
antifeedant effect of azadirachtin-rich formulations on cotton bollworm (Helicoverpa armigera).
Indian Journal of Agricultural Sciences 71(5):
325 328.
Hadi, P.U. 2006. Analisis dampak pencabutan subsidi
ekspor kapas negara maju terhadap ekonomi kapas
Indonesia. Panduan Lokakarya Nasional Kapas
dan Rami, Surabaya 15 Maret 2006. 95 hal.
Hasnam, S. Sumartini, E. Sulistyowati, Kristamtini, N.
Ibrahim, dan IGAA. Indrayani. 1998. Simultaneous improvement of yield and fiber quality of
cotton. Indonesian Journal of Crop Science 13(1):
7 14.
Indrayani, IG.A.A. 2003a. Agen hayati nuclear polyhedrosis virus dan potensinya dalam mengendalikan
penggerek buah kapas Helicoverpa armigera

88

Hubner. Jurnal Perspektif: Review Penelitian Tanaman Industri 2(1): 20 30.


Indrayani, IG.A.A., T. Hadiastono, dan G. Mudjiono.
2003b. Dosis subletal SlNPV dan pengaruhnya
terhadap transmisi vertikal pada larva Spodoptera
litura F. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 9(2):
55 62.
Indrayani, IG.A.A., D. Winarno, dan Subiyakto. 2004.
Kompatibilitas kombinasi HaNPV dan SBM serta
pengaruhnya terhadap mortalitas dan aktivitas biologi penggerek buah kapas Helicoverpa armigera
Hubner. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10
(1): 28 33.
Indrayani, IG.A.A. dan D. Winarno. 2005. Efisiensi pengendalian penggerek buah kapas Helicoverpa armigera Hubner dengan serbuk biji mimba dan nuclear polyhedrosis virus. Jurnal Penelitian Tanaman Industri (in press).
Isman, M.B., O. Koul, A. Luezynski, and J. Kaminski.
1990. Insektisidal and antifeedant bioactivities of
neem oils and their relationship to azadirachtin
content. J. Agric. Food Chem. 38: 1407 1411.
Lal, R., G.P. Gupta, and R. Lal. 1998. Impact of
spraying schedules on sucking pests in cotton system. Indian Journal of Entomology 60(3): 305
310.
Lingappa, S., Rajendra-Hedge, S.S. Udikeri, and R.
Hedge. 2000. Efficacy of econeem with microbial
insecticides against Helicoverpa armigera in cotton. Karnataka Journal of Agricultural Sciences
13(3): 597 600.
Ma-Deling, G. Gordh, M.P. Zalucki, and D.L. Ma.
2000. Biological effects of azadirachtin on Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) fed on cotton and artificial diet. Australian
Journal of Entomology 39(4): 301 304.
Ma-DL, G. Gordh, and M.P. Zalucki. 2000. Toxicity of
biorational insecticides to Helicoverpa spp. (Lepidoptera: Noctuidae) and predators in cotton field.
International Journal of Pest Management 46(3):
237 240.
Mohan, M. and K.N. Katiyar. 2000. Effect of insecticides on the population and incidence of bollworms
in cotton. Shashpa 7(2): 171 175.
Murray, J.H. and J.S. Elkinton. 1990. Transmission of
nuclear polyhedrosis virus to gypsy moth (Lepi-

doptera: Lymantriidae) egg via contaminated substrates. Environ. Entomol. 19: 662 665.
Myers, J.H., R. Malakar, and J.S. Cory. 2000. Sublethal
nucleopolyhedrosis virus infection effects on female pupal weight, egg mass size, and vertical
transmission in gypsy moth (Lepidoptera; Lymantriidae). Environ. Entomol. 29(6): 1268 1272.
Nurindah, D.A. Sunarto, T. Basuki, Sujak, dan D.H.
Parmono. 2004. Pengembangan model PHT Helicoverpa armigera pada perkebunan kapas rakyat.
Laporan Teknis Hasil Penelitian Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat. 20 hal.
Parajulee, M.N., R. Montandon, dan J.E. Slosser. 1997.
Relay intercropping to enhance abundance of insect predators of cotton aphid (Aphis gossypii Glover) in Texas cotton. International Journal of Pest
Management 43: 227 232.

with Heliothis nuclear polyhedrosis virus against


cotton bollworms. Journal of Entomological Research 19(3): 219 222).
Schmutterer, H. 1990. Properties and potential of natural pesticides from the neem tree, Azadirachta
indica. Ann. Rev. Entomol. 35:271 297.
Sri-Hadiyani, D.A. Sunarto, A.A.A. Gothama, dan S.A.
Wahyuni. 2002. Perbaikan rekomendasi paket
PHT untuk pengendalian hama Helicoverpa armigera Hbn. Pada tanaman kapas. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri 9(2): 63-69.
Subiyakto, D. Winarno, dan D.H. Parmono. 1999.
Pengaruh konsentrasi serbuk biji mimba (Azadirachta indica A. Juss.) terhadap aspek biologi ulat
daun tembakau Spodoptera litura (F.). Prosiding
Semiloka Teknologi Tembakau. 11 hal.

Praveen, P.M. and N. Dhandapani. 2001. Consumption,


digestion, and utilization of biopesticides treated
tomato fruits by Helicoverpa armigera (Hubner).
J. Biological Control 15 (1): 59 62.

Sunarto, D.A., Nurindah, dan Sujak. 2004. Pengaruh


ekstrak serbuk biji mimba terhadap konservasi
musuh alami dan populasi Helicoverpa armigera
Hubner pada tanaman kapas. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri 10(3): 89 95.

Riajaya, P.D. dan F.T. Kadarwati. 2003. Kerapatan galur harapan kapas pada sistem tumpang sari dengan kedelai. Jurnal Penelitian Tanaman Industri
9(1): 11 16.

Verkerk, R.H.J., S.R. Leather, and D.J. Wright. 1998.


The potential for manipulating interactions for
improved insect pest management. Bulletin of
Entomological Research 88: 493 501.

Sagala, A. 2006. Analisis dampak pencabutan subsidi


ekspor kapas negara maju terhadap ekonomi kapas
Indonesia. Panduan Lokakarya Nasional Kapas
dan Rami, Surabaya 15 Maret 2006. 95 hal.

Weathersbee III, A.A. and Y.Q. Tang. 2002. Effects of


neem seed extract on feeding, growth, survival,
dan reproduction of Diaprepes abbreviatus (Coleoptera: Curculionidae). J. Econ. Entomol. 95(4):
661 667.

Sarode, S.V., P.P. Patil, and S.L. Borkar. 1995. Evaluation of neem seed kernel extract in combinations

89

This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.


The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
This page will not be added after purchasing Win2PDF.

Anda mungkin juga menyukai