Anda di halaman 1dari 3

Telaah Kritis Pelaksanaan Evaluasi di Tingkat Nasional

Lila Puspitasari (lilapuspitasari.010@gmail.com)


Program Studi Magister Pendidikan Matematika
Universitas Muhammadiyah Malang
Kontroversi dan silang pendapat tentang kebijakan Ujian Nasional hingga saat ini
masih terus berlangsung. Sebagian kalangan menilai bahwa Ujian Nasional perlu
tetap dipertahankan dengan model yang saat ini sedang berlaku. Kalangan lain
berpendapat bahwa kebijakan ini tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem
pendidikan nasional. Sementara kalangan lain juga memiliki pendapat berbeda,
yaitu menolak Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, sementara fungsinya yang
lain masih boleh dipertahankan. Ketiga perbedaan pendapat tersebut tentunya
dilandasi oleh argumen yang diyakininya masing-masing.
Kisi-Kisi UN 1. Kisi-kisi UN tahun pelajaran 2015/2016 disusun berdasarkan kriteria
pencapaian kompetensi lulusan, standar isi, dan lingkup materi pada kurikulum
yang berlaku. 2. Kisi-kisi UN memuat level kognitif dan lingkup materi.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan dilakukan oleh Panitia UN Tingkat Pusat,
Panitia UN Tingkat Provinsi, Panitia UN Tingkat Kabupaten/Kota, perguruan tinggi,
LPMP, PP Paudni dan BP-Paudni, serta Panitia UN Tingkat Satuan Pendidikan sesuai
dengan tugas dan kewenangannya.
1. Ujian Nasional Berbasis Kertas (Paper Based Test, PBT) yang selanjutnya disebut
UN adalah sistem ujian yang digunakan dalam UN dengan menggunakan naskah
soal dan Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) berbasis kertas. 2. Ujian Nasional
Berbasis Komputer (Computer Based Test) yang selanjutnya disebut UNBK adalah
sistem ujian yang digunakan dalam UN dengan menggunakan sistem computer

Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang berhasil membentuk siswa yang
cerdas, berkarakter, bermoral, dan berkepribadian (pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas). Untuk itu
perlu dirancang satu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses
pembelajaran yang mendorong siswa secara aktif mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat
dan kemampuannya.

Simpulan Kesimpulan yang menjadi penutup tulisan ini dapat dinyatakan sebagai
berikut. Filsafat pendidikan pragmatisme adalah aliran pemikiran pendidikan yang
sangat fokus dan mementingkan kegunaan atau kemanfaatan pendidikan. Namun
demikian, porsi kepraktisan yang sangat mendominasi konsep pendidikan
pragmatime itu tetap memperhatikan proses-proses pendidikan yang ilmiahmetodis dengan memprasyaratkan aspek sosial dan kultural. Artinya, tujuan
pendidikan harus berdiri di atas konteks kemasyarakatan, dan pendidikan harus
memiliki peran untuk membangun peradaban. Selain itu, John Dewey sebagai tokoh
penting pendidikan pragmatisme juga menganjurkan pendidikan yang mengarah

pada tujuan demokrasi, di mana prinsip kesetaraan dan keadilan menjadi penting.
Lalu, dari beberapa konsep pendiidkan pragmatisme tersebut dapat dipakai untuk
meninjau kembali UN sebagai evaluasi pendidikan nasional di Indonesia. Hasilnya,
UN dipandang terlalu mendahulukan formalisme tanpa mengindahkan prinsipprinsip
demokrasi dalam pendidikan. Acuan standarisasi evaluasi nasional yang dituju
pemerintah dalam penyelenggaraan UN tidak sesuai dengan prinsip kualitas dan
ekuitas sebagaimana disarankan oleh kalangan pragmatisme. Lalu, aspek: prinsip
perubahan, proses dan pengalaman yang menjadi perhatian pendidikan
pragmatisme dalam mencapai tujuan pembelajaran tidak sejalan dengan konsep UN
yang cenderung bersifat konseptual dan jauh dari pengalaman maupun proses
pembelajaran. Simpulan Kesimpulan yang menjadi penutup tulisan ini dapat
dinyatakan sebagai berikut. Filsafat pendidikan pragmatisme adalah aliran
pemikiran pendidikan yang sangat fokus dan mementingkan kegunaan atau
kemanfaatan pendidikan. Namun demikian, porsi kepraktisan yang sangat
mendominasi konsep pendidikan pragmatime itu tetap memperhatikan prosesproses pendidikan yang ilmiah-metodis dengan memprasyaratkan aspek sosial dan
kultural. Artinya, tujuan pendidikan harus berdiri di atas konteks kemasyarakatan,
dan pendidikan harus memiliki peran untuk membangun peradaban. Selain itu, John
Dewey sebagai tokoh penting pendidikan pragmatisme juga menganjurkan
pendidikan yang mengarah pada tujuan demokrasi, di mana prinsip kesetaraan dan
keadilan menjadi penting. Lalu, dari beberapa konsep pendiidkan pragmatisme
tersebut dapat dipakai untuk meninjau kembali UN sebagai evaluasi pendidikan
nasional di Indonesia. Hasilnya, UN dipandang terlalu mendahulukan formalisme
tanpa mengindahkan prinsipprinsip demokrasi dalam pendidikan. Acuan
standarisasi evaluasi nasional yang dituju pemerintah dalam penyelenggaraan UN
tidak sesuai dengan prinsip kualitas dan ekuitas sebagaimana disarankan oleh
kalangan pragmatisme. Lalu, aspek: prinsip perubahan, proses dan pengalaman
yang menjadi perhatian pendidikan pragmatisme dalam mencapai tujuan
pembelajaran tidak sejalan dengan konsep UN yang cenderung bersifat konseptual
dan jauh dari pengalaman maupun proses pembelajaran.

Tujuan utama pendidikan nasional Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa,


dengan harapan kecerdasan tersebut dapat meningkatkan taraf hidup dan derajat sosial
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun (6
tahun Sekolah Dasar (SD) dan 3 tahun Sekolah Menengah Pertama (SMP)) dengan meningkatkan
dan memfokuskan anggaran yang cukup besar untuk mendongkrak kualitas level pendidikan dasar
tersebut, baik untuk masalah kurikulum, kualitas guru, serta sarana dan prasarana pendukung.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pendidikan merupakan hak dasar atau hak asasi tiap warga
negara dan dalam rangka menjamin hal tersebut diselenggarakan sebuah Sistem Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Pasal 3, telah mengatur Tujuan
Pendidikan Nasional. Sesuai dengan perspektif Wawasan Wiyata Mandala, segala yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pendidikan meliputi; sistem, institusi, maupun personality tidak dibenarkan

dipergunakan untuk kegiatan selain yang termaktub dalam Tujuan Pendidikan. 3 Hal ini sejalan
dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang terdapat pada Pasal 4, UU Sisdiknas. Namun
yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan dimana pendidikan yang berkualitas seolah-olah
diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial saja. Dunia pendidikan yang
sejatinyamerupakan wahana strategis untuk investasi sumber daya manusia dimasa depan sering
justru diperlakukan tidak adil, sebagai contoh, anggaran pendidikan 20% yang sudah dikuatkan
dengan undang-undang, ternyata masih dipolitisir. Hal inilah yang mendorong anggapan logis jika
akhirnya menurut penilaian berbagai lembaga independen dunia, kualitas pendidikan di Indonesia
masih rendah. Banyak sekolah dan lembaga pendidikan melaksanakan proses pembelajarannya
hanya formalitas, yang penting meluluskan peserta didik. Pendidikan di Indonesia sekarang ini
diilustrasikan seperti mobil tua yang mesinnya rewel dan sedang berada di tengah arus lalu lintas di
jalan bebas hambatan. Digambarkan demikian karena di satu sisi pendidikan di Indonesia dirundung
masalah besar, sedangkan di sisi lain tantangan memasuki era global tidak boleh dianggap remeh.

Anda mungkin juga menyukai