Mohammad Husni Thamrin dilahirkan di Jakarta pada 16 Februari 1894 dan wafat di
Jakarta, 11 Januari 1941. Beliau dimakamkan di Karet Kubur, Jakarta.
Muhammad Husni Thamrin lahir pada 16 Februari 1894 di Sawah Besar, Jakarta
Selatan. Setelah menamatkan pelajarannya di Koning Williem II, sejenis SMA ia
kemudian bekerja di kantor kepatihan.Karena prestasinya baik, maka ia dipindahkan
ke Kantor Karesidenan dan terakhir ke perusahan pelayaran Koninglijke Paketvaart
(KPM) Pada tahun 1927 ia diangkat sebagai anggota Volksraad. Ia membentuk Fraksi
Nasionalis untuk memperkuat golongan nasional dalam dewan tersebut.Setelah dr.
Sutomo meninggal dunia pada tahun 1938, maka Thamrin menggantikannya sebagai
wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra). Perjuangannya di Volksraad tetap
dilanjutkan dengan sebuah mosi, agar istilah Nederlands Indie, Nederlands Indische
dan Inlander diganti dengan istilah Indonesia, Indonesische dan Indonesiea.Sejak
tanggal 6 januari 1941 Husni thamrin dikenakan tahanan rumah, karena dituduh
bekerja sama dengan Jepang. Walaupun dalam keadaan sakit, Thamrin tidak boleh
dikunjungi teman-temannya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 11 Januari 1941 dan
dimakamkan di pekuburan Karet, Jakarta.
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki adalah salah seorang komponis besar Indonesia yang lahir pada tahun
1914 di Kwitang, Jakarta Pusat. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat
seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat.
Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini, memang memiliki
bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia terkenal
sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak
muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang
berdasi.
Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di
perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan
piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau
kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Di rumah keluarga Marzuki ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak
jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, mulai dari keroncong, jali-jali,
cokek, sampai gambus. Ismail pun tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk
membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia. Banyak nantinya
karya yang diciptakan Ismail memiliki irama Latin, seperti rumba, tango dan beguine.
Ismail memang sangat menyukai lagu-lagu berirama itu.
Setelah menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP, Ismail kemudian
mengikuti panggilan hatinya untuk bekerja dalam musik. Setelah sempat bekerja di
sebuah toko penjual piringan hitam, Ismail akhirnya masuk ke perkumpulan orkes
Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon dan akordion.
Karirnya semakin bersinar setelah Belanda membentuk sebuah radio yang diberi
nama Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM). Orkes Lief Java,
tempat Ismail bermain, diberi kesempatan untuk mengisi siaran musik. Bakat dan jiwa
musik Ismail makin berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail
pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat
melalui NIROM.
Namun, sang ayah, walau pun menyukai dunia musik, tidak begitu setuju dengan karir
Ismail di jalur musik. Beliau kuatir dengan asumsi masyarakat pada saat itu yang
masih memandang rendah profesi seniman. Sebaliknya, Ismail tidak terpengaruh
dengan pencitraan yang dibuat oleh Belanda tersebut. Bahkan setiap naik kelas, ia
selalu minta dibelikan berbagai macam alat musik, macam harmonika, mandolin dsb.
Ismail yang memiliki bakat dan fasilitas bermusik yang besar tidak menyia-nyiakan
karunia yang ada. Ia pun mengembangkan kemampuan musiknya lebih jauh lagi
dengan mencoba untuk menggubah lagu. Karya pertamanya yang berjudul O Sarinah
pun lahir di tahun 1931, ketika usianya 17 tahun. Tembang ini bermakna lebih dari
sekadar nama seorang wanita, tetapi juga perlambang bangsa yang tertindas penjajah.
Ismail memang memiliki semangat cinta dan penuh pujaan terhadap Tanah Air. Peran
sang ayah sangat besar dalam membentuk kepribadian tersebut. Beliau terus
mendorong agar Ismail tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib bangsanya dan
mampu berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan kesukuan.
Proses penciptaan musik dalam karir Ismail Marzuki dibagi dalam dua periode besar,
yakni pada periode Hindia-Belanda dan periode pendudukan Jepang serta revolusi
kemerdekaan. Pada periode pertama, karya Ismail banyak dipengaruhi oleh irama
musik yang terkenal saat itu, yakni jazz, hawaiia, seriosa/klasik ringan dan keroncong.
Karyanya yang terkenal adalah Keroncong Serenata, Kasim Baba, Bandaneira dan
Lenggang Bandung.
Periode kedua pada jaman penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radionya
Jepang. Tembang-tembang macam Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan
Karangan Bunga dari Selatan lahir di jaman ini. Sementara lagu-lagu perjuangan yang
paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain
Sepasang Mata Bola (1946), Melati di Tapal Batas (1947), Bandung Selatan di Waktu
Malam (1948), Selamat Datang Pahlawan Muda (1949).
Dengan proses kreatif yang produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis,
Ismail Marzuki telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Banyak penghargaan seni yang
diberikan kepada Ismail karena dedikasi pada musik, perjuangan dan kecintaannya
pada Tanah Air. Salah satunya adalah Piagam Wijayakusuma yang diberikan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1961.
Karya Lagu :
1. Aryati
2. Gugur Bunga
3. Melati di Tapal Batas (1947)
4. Wanita
5. Rayuan Pulau Kelapa
6. Sepasang Mata Bola (1946)
7. Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
8. Sarinah (1931)
9. Keroncong Serenata
10. Kasim Baba
11. Bandaneira
12. Lenggang Bandung
13. Sampul Surat
14. Karangan Bunga dari Selatan
15. Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi
antara lain Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara
lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias
Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu
waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita
penyakit paru-paru. Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut
dimusnahkan. Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.
Ketika Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak
Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di
Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia
banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian
diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R.
Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah
lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de
orchideen bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His
Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".
Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada
Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan
diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes
Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode
menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis
yang lembut seperti "Kalau Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali"
dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
***
Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-
lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah
Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu,
mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer
Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini
tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di
Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya
pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir.
Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing
terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari
dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu,
mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa
mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang
Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari
Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang
(kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan
kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita
Malam".
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya
dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang
sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu
ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara
populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin
Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu
"Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para
pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan
belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan
syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki -- komponis besar Indonesia itu -- menutup
mata selamanya pada 25 Mei 1058.
* surianto kartaatmadja
Dia lahir tanggal 11 Mei 1914, dan tutup usia tanggal 25 Mei 1958. sosok yang
berkepribadian luhur, khususnya dalam bidang seni. Salah seorang putra terbaik
Betawi ini memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Ismail yang tergolong
anak pintar, sejak muda senang tampil necis. Sore hari ia suka keliling kota dengan
motor kebanggaannya, merek Ariel buatan Inggris. Bajunya disetrika licin, sepatunya
mengkilat, dan ia senang berdasi. Tentu saja semua itu dimungkinkan karena Pak
Marzuki ayah Ismail termasuk orang berkecukupan sebagai pegawai di perusahaan
Ford Reparatieer TIO. Dari ayahnya pula kemungkinan besar Ismail mewarisi bakat
musik. Pak Marzuki diketahui gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-
syair yang bernapaskan Islam. (Lihat misalnya Ismail Marzuki-Komponis Pejuang,
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Drs Jajang Gunawijaya MA & Drs Wiyoso
Yudoseputro, Editor, 1997) Ismail sendiri sejak kanak-kanak sudah tertarik dengan
lagu-lagu. Di rumahnya ada gramofon dan piringan hitam yang cukup banyak
jumlahnya. Jenis lagunya sendiri sangat beragam, ada keroncong, jali-jali, cokek,
gambus, dan sebagainya. Ismail juga tak segan mengeluarkan uang sakunya untuk
membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia, yang sangat ia
kagumi. Lalu kalau kemudian orang menemukan lagu-lagu ciptaan Ismail banyak
yang berirama Latin seperti rumba, tango, dan beguine, itu juga karena Ismail sangat
menyukai lagu-lagu berirama itu. Ismail sering menghabiskan waktu berjam-jam di
muka gramofon dan setiap kali bersiul atau bernyanyi-nyanyi. Kalau teman-temannya
datang ke rumah, topik hangatnya adalah lagu-lagu yang baru mereka dengarkan.
Panggilan musik semakin menyusup dalam kehidupan Ismail setelah ia
menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP. Ismail lalu bekerja di toko
penjual piringan hitam, sebelum akhirnya masuk ke perkumpulan orkes Lief Java. Di
sini ia menjadi pemain gitar, saksofon, dan akordion. Ketika Belanda membentuk
Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM), orkes Lief Java juga
diberi kesempatan mengisi siaran musik. Tentu saja dengan itu, Bang Maing semakin
dikenal orang. Lebih-lebih setelah bakat dan jiwa musiknya berkembang luas. Selain
makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya
banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui NIROM. Meski sudah seperti tak
terbendung, tak urung aktivitas seni Ismail sempat membuat khawatir ayahnya. Pak
Marzuki rupanya berbagi dengan pandangan yang umum pada waktu itu, yaitu bahwa
profesi seniman masih sering direndahkan. Misalnya, pemain sandiwara disebut "anak
wayang", penyanyi disebut "buaya keroncong". Sebutan seperti itu tampaknya belum
kena di hati Pak Marzuki. Di lain pihak, Ismail sendiri tidak terpengaruh oleh
pencitraan yang diciptakan oleh Belanda tersebut. Untuk menegaskan tekadnya, setiap
naik kelas ia malah selalu minta dibelikan alat musik-harmonika, mandolin, dan
sebagainya-sehingga kamarnya dipenuhi berbagai alat musik. Memang, sebagai
akibatnya, Ismail lalu jadi lebih terbuai oleh aneka alat musiknya itu daripada buku
pelajaran. Warna penciptaan Bakat dan semangat bermusik yang sangat besar,
ketersediaan aneka instrumen musik yang bisa dia akses, keterbukaannya pada
berbagai jenis musik dunia, serta lingkungan pergaulan, semua itu lalu menjadi lahan
yang amat subur bagi Ismail untuk mengembangkan lebih jauh kesenangan main
musiknya, dan-ini dia yang lebih penting-menggubah lagu. Peran ayahanda Ismail-di
luar kesediaannya untuk memenuhi keinginan Ismail pada alat-alat musik-tidak kecil
di sini. Di luar kerisauannya menyangkut tekad bermusik putranya, Marzuki sendiri
terus mendorong agar Ismail juga tidak kehilangan kepekaan terhadap nasib
bangsanya, dan berkembang tanpa dikotak-kotakkan oleh golongan dan kesukuan. Ini
dapat menjelaskan, mengapa lagu-lagu Ismail Mz kaya akan semangat cinta dan
penuh pujaan terhadap Tanah Air. Kepekaan Ismail pada perjuangan bangsanya lalu
tercermin dalam alam penciptaannya. Karya pertamanya adalah O Sarinah yang dia
ciptakan tahun 1931, jadi ketika usianya 17 tahun. Judul itu bermakna lebih dari
sekadar nama seorang wanita, tetapi ia juga perlambang bangsa yang tertindas
penjajah. Menurut penelitian tim penulis Dinas Kebudayaan DKI di atas, yang
hasilnya menjadi rujukan tulisan ini, proses penciptaan Ismail Marzuki dapat dibagi
dalam dua periode besar. Yang pertama Periode Hindia-Belanda (1900-1942), Periode
Pendudukan Jepang (1942-1945), dan Revolusi (1945-1950-an). Dalam Periode
pertama, musik jazz, hawaiian, seriosa/klasik ringan, dan keroncong, mulai populer
seiring dengan makin terpaparnya warga di kawasan Hindia-Belanda dengan
kebudayaan, termasuk musik Barat. Ismail pun tak lepas dari pengaruh tersebut.
Setelah O Sarinah (1931), ia mencipta antara lain Keroncong Serenata (1935),
Roselani (1936) yang membawa pendengarnya ke suasana Hawaii, dan setahun
kemudian (1937), Ismail mencipta lagu-lagu berlatar belakang Hikayat 1001 Malam
seperti Kasim Baba. Ismail mulai mengisi musik untuk film tahun 1938, tatkala ia
mengarang tiga lagu untuk film Terang Bulan. Sesudahnya Ismail masih
menghasilkan lagu-lagu dengan judul yang antara lain merupakan nama tempat,
seperti Bandaneira, Olee Lee di Kutaraja, Lenggang Bandung, Melancong ke Bali
(1939). Dalam Periode ini, Ismail belum menciptakan lagu-lagu perjuangan.
Sementara selama Periode Penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radio, yakni
Hozo Kanri Kyeku (Radio Militer Jepang). Dalam Periode ini lahir sejumlah lagunya
yang terkenal, seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat, dan Karangan Bunga dari
Selatan. Sementara lagu-lagu perjuangan yang paling masyhur muncul semasa
Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola (1946),
Melati di Tapal Batas (1947), Bandung Selatan di Waktu Malam (1948), Selamat
Datang Pahlawan Muda (1949). Lalu, dalam tahun-tahun akhir kehidupannya, Bang
Maing juga masih menghasilkan sejumlah lagu yang sangat terkenal. Sebutlah,
misalnya, Candra Buana (1953), Payung Fantasi (1955), Sabda Alam (1956). Lagu
terakhirnya yang tercatat adalah Inikah Bahagia? (1958). Dengan proses kreatif yang
produktif dalam rentang 27 tahun menjadi komponis, Ismail Marzuki telah
menciptakan lebih dari 200 lagu. Ada yang menyebutnya 202, ada juga yang
mengatakan sekitar 250. Apa pun, dari jumlah itu, yang bisa dikatakan masih populer
berjumlah sekitar 75. Dalam buku-buku yang disusun oleh RE Rangkuti, DS Soewito,
dan GS Pardede, yang dimuat memang hanya 50 lagu terpopuler. Sementara lagu
indah seperti Murai Kasih yang dinyanyikan dengan manis oleh Rien Djamain, atau
Mari Bung, dan Keroncong Hasrat Menyala tidak tercantum dalam kumpulan lagu
pilihan tersebut. Untuk semua dedikasi pada musik, perjuangan, dan kecintaan pada
Tanah Air, Ismail banyak mendapat penghargaan seni. Misalnya saja anugerah dari
Presiden Soekarno berupa Piagam Wijayakusuma 17 Agustus tahun 1961.
Romantisme dan kritik Gambaran umum tentang lagu-lagu Ismail Marzuki adalah
perjuangan dengan romantismenya. Selendang Sutera yang diberikan gadis pujaan
bagi pejuang merupakan suvenir yang menyertai kepergiannya ke medan tempur. Dan
ketika lengan pejuang terluka parah, selendang sutera tersebut turut berjasa sebagai
pembalut luka. Dalam lagu tersebut, kecuali unsur semangat juang, hal lain yang
menonjol antara lain juga penguasaan bahasa liris Ismail. Di baris terakhir ia tulis:
Cabik semata, tercapai tujuannya. Duh, memang selendang hanyalah secarik kain,
namun alangkah besar makna dan manfaatnya. Akan tetapi, dengan semua yang telah
diberikannya, Ismail Marzuki tak juga terbebas dari kritik. Kritik L Manik, meski
disampaikan tanpa menyebut nama, mungkin termasuk yang sangat pedas. Dalam
jurnal Zenit (No 3, th 1951) ia mengkritik lirik lagu Rayuan Kelapa. Menurut Manik,
meski lagu itu mengambil inspirasi dari keindahan Tanah Air. Tetapi penggubahnya
hanya sampai pada keindahan saja. Penggubah lagu tersebut masih berpikir dalam
alam "Lief Indie", padahal itu alam pikiran yang menguntungkan penjajah di masa
silam. Syairnya memang menggunakan perkataan yang bisa menimbulkan rasa
kebangsaan dan kejayaan, suci dan luhur, tetapi lagunya lemah merayu, dengan
konsepsi lagu yang dangkal. Jadi, meski lagu Rayuan Pulau Kelapa sukses dan
banyak dinyanyikan, sebagai lagu Tanah Air dalam masa kebangunan bangsa, ia
lemah. Memang, di tengah komunitas yang sebagian berpendidikan Eropa, dengan
bekal disiplin musik klasik, sempat muncul penilaian, bahwa apa yang diciptakan
Ismail berkategori "picisan", hanya cocok untuk selera orang kampung yang dianggap
bukan golongan "intelektual". Musik memang sering dikaitkan dengan kata muse,
atau muzen. Tetapi, apa yang dihasilkan Ismail disebut muizen atau tikus, malah
blinde muizen atau tikus buta. Seperti dijelaskan oleh Firdaus Burhan yang menyusun
karangan tentang Ismail Marzuki untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
tahun 1983/1984, buta di sini untuk melukiskan Ismail yang tidak pernah sekolah di
sebuah konservatorium di Amsterdam, tidak punya ijazah komponis, ijazah harmoni,
kontrapunk, bel canto, dan sebagainya, tetapi berani membuat musik. Untunglah kritik
yang dimuat di pers Belanda ini dapat ditahan oleh Ismail. Yang ironis, selanjutnya, di
negeri yang sejumlah warganya pernah mengejek Ismail Marzuki, malah karya-karya
putra Betawi ini terus dikenang. Pada bulan Mei seperti sekarang, lagu-lagu Ismail
sering diperdengarkan di negara bekas penjajah itu. Kini, pada era reformasi
demokratis, kritik terhadap karya Ismail Marzuki mungkin lepas dari masalah melodi
atau musik pada umumnya. Yang dikritik adalah glorifikasi Ismail pada perjuangan
fisik, pada pertempuran. Padahal, perjuangan Indonesia bukankah juga mencakup
perjuangan diplomasi. Selain urusan puja-memuja Tanah Air-itu sendiri sebenarnya
tidak buruk, apalagi dalam konteks masa sekarang ini, dimana orang banyak tak
peduli urusan dan kepentingan bangsa-Ismail juga banyak mengangkat masalah
sosial-kemasyarakatan yang hangat pada masanya. Dalam lagu Seruan Teruni,
misalnya, Ismail sebel dengan seorang pria yang mengaku datang dari perjuangan,
gagah-gagahan dengan uangnya, dan dengan itu seolah bisa berbuat apa saja.
Mungkin saja di era sadar jender sekarang ini, ada yang tidak suka dengan lirik Sabda
Alam. Tetapi, selain itu Ismail juga memotret hal lain yang mendalam. Lagu Tukang
Becak Bang Samiun yang karena satu insiden marah-marah tapi dapat ditenangkan
oleh saudara sebangsa yang cinta persatuan. Berterima kasih Indonesia beruntung
punya sederet komponis besar seperti C Simandjuntak, Kusbini, Gesang, Iskandar,
Sjaiful Bahri, Binsar Sitompoel, WR Supratman, L Manik, dan H Mutahar. Tetapi,
Indonesia juga sangat beruntung memiliki seorang Ismail Marzuki. Tentu saja, Ismail
Marzuki tidak bisa dianggap "seniman legendaris tak tertandingi", atau sebutan
"terbesar" dan sejenisnya, karena, seperti pernah disampaikan oleh pemusik Suka
Harjana, "dalam dunia seniman tidak ada yang paling besar." Sewajarnyalah
demikian. Ismail Marzuki dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai komponis yang
hidup pada zaman perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Wacana
bangsa Indonesia kini telah beranjak jauh dari apa yang sezaman dengan Ismail
Marzuki. Kalaupun karya-karyanya masih terus hidup, itu karena ada pertalian sejarah
dan perasaan kebangsaan antara warga RI, baik yang hidup pada zaman itu maupun
yang hidup pada zaman sekarang. Di luar kritik dan perkembangan sejarah, satu hal
yang Ismail tidak keliru adalah penuturannya tentang "kesediaan untuk berkorban
jiwa raga", sesuatu yang pasti makin langka di tengah gelombang materialisme
dewasa ini. *
Penghargaan :
- Meraih Piala Citra 1973 dalam film Intan Berduri (Turino Djunaidi, 1972) bersama
Rima Melati
- Meraih Piala Citra 1975 dalam film Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975)
Rano Karno
Rano Karno (lahir di Jakarta, 8 Oktober 1960; umur 48 tahun) adalah seorang aktor
Indonesia yang terkenal sebagai "Si Doel" dalam film sinetron Si Doel Anak
Sekolahan. Ayahnya adalah seorang aktor kawakan, Soekarno M. Noer. Selain itu
dia juga mempunyai saudara kandung yang juga turut bermain film seperti Tino
Karno dan Suti Karno. Ia pernah diwacanakan menjadi pendamping Fauzi Bowo
sebagai wakil gubernur dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2007. Pada
Maret 2008, ia menjadi Wakil Bupati Tangerang untuk periode 2008-2013.
Sejak umur sembilan tahun, Rano sudah diajak ayahnya membintangi film Lewat
Tengah Malam, memerankan tokoh anak. Namanya mulai dikenal lewat film Si Doel
Anak Betawi (1972) karya Sjuman Djaja yang diangkat dari cerita Aman Datoek
Madjoindo. Dalam film itu, putra ketiga dari enam bersaudara pasangan Soekarno M.
Noer (Minang) dan Istiarti M Noer (Jawa) berperan sebagai pemeran utama. Sejak itu,
prestasinya pun mulai kelihatan. Lewat film Rio Anakku (1973), Rano memperoleh
penghargaan Aktor Harapan I PWI Jaya (1974). Kemudian, dalam Festifal Film Asia
1974 di Taipei, Taiwan, ia meraih hadiah The Best Child Actor. Selanjutnya ia
mendapat peranan-peranan dewasa lewat film Wajah Tiga Perempuan (1976), Suci
Sang Primadona (1977), Gita Cinta dari SMA (1979). Untuk mendukung niatnya
terjun ke dunia film, Rano pun belajar akting di East West Player, Amerika Serikat.
Ketika industri film Indonesia 'pingsan', Rano beralih ke sinetron. Si Doel Anak
Sekolahan adalah sinetron paling monumental yang digarapnya bersama saudara-
saudaranya dalam Karno's Film. Dalam sinetron itu, di samping menjadi sutradara,
penulis cerita dan skenario, Rano juga ikut main menjadi Si Doel. Selain serial Si
Doel Anak Sekolahan 1-6, PT Karnos Film juga menghasilkan sinetron Kembang
Ilalang dan Usaha Gawat Darurat.
Rano juga pernah terjun ke dunia tarik suara. Album perdananya, Yang Sangat
Kusayang terhitung cukup laku di pasaran.[1]
Di awal tahun 2007, Rano pernah berpamitan kepada insan film nasional, untuk lebih
berkonsentrasi dalam 'karir baru'-nya sebagai Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI
Jakarta.[2] Namun pertengahan 2007, muncul iklan keluarga Si Doel yang mendukung
Fauzi Bowo. Hal ini semapt memunculkan rumor bahwa Rano mundur dari kancah
Pilkada DKI setelah menerima uang miliaran rupiah dari Fauzi Bowo. Meski hal itu
akhirnya ditepis oleh kedua pihak.[3]
Rano menikah dengan Dewi Indriati pada 8 Februari 1988 dan dikaruniai 2 orang
anak, Raka Widyarma dan Deanti Rakasiwi. Sebelumnya Rano pernah menikah dan
berakhir dengan perceraian setelah 2 tahun.
Rano Karno pernah diangkat sebagai duta khusus Indonesia dalam bidang pendidikan
oleh UNICEF, sebuah badan di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) yang bergerak
dalam bidang pendidikan. Rano bisa menjadi duta UNICEF dari Indonesia, setelah
direkomendasikan oleh Prof Dr Emil Salim, Mantan Menteri Kesehatan (alm) Prof.
Dr. Adhyatma, Ibu Prof. Singgih, Ibu Prof Murprawoto.[5]
[sunting] Filmografi
Malin Kundang (1971)
Lingkaran Setan (1972 )
Tabah Sampai Akhir (1973)
Si Doel Anak Betawi (1973)
Yatim (1973)
Rio Anakku (1973)
Di Mana Kau Ibu (1973)
Si Rano (1973)
Romi dan Juli (1974)
Jangan Biarkan Mereka Lapar (1974)
Perawan Malam (1974)
Anak Bintang (1974)
Ratapan Si Miskin (1974)
Senyum Dipagi Bulan September (1974)
Senyum dan Tangis (1974)
Sebelum Usia 17 (1975)
Tragedi Tante Sex (1976)
Wajah Tiga Perempuan (1976)
Semau Gue (1977)
Suci Sang Primadona (1977)
Musim Bercinta (1978)
Pelajaran Cinta (1979)
Anak-Anak Buangan (1979)
Buah Terlarang (1979)
Gita Cinta dari SMA (1979)
Remaja di Lampu Merah (1979)
Puspa Indah Taman Hati (1979)
Remaja-Remaja (1979)
Nikmatnya Cinta (1980)
Roman Picisan (1980)
Selamat Tinggal Masa Remaja (1980)
Selamat Tinggal Duka (1980)
Kembang Semusim (1980)
Nostalgia di SMA (1980)
Tempatmu di Sisiku (1980)
Yang Kembali Bersemi (1980)
Kisah Cinta Tommi dan Jerri (1980)
Kau Tercipta Untukku (1980)
Aladin dan Lampu Wasiat (1980)
Senyummu Adalah Tangisku (1980)
Bunga Cinta Kasih (1981)
Mawar Cinta Berduri Duka (1981)
Detik-Detik Cinta Menyentuh (1981)
Dalam Lingkaran Cinta (1981)
Yang (1984)
Asmara Di Balik Pintu (1984)
Untukmu Kuserahkan Segalanya (1984)
Ranjau-Ranjau Cinta (1985)
Tak Ingin Sendiri (1985)
Kidung Cinta (1985)
Yang Masih di Bawah Umur (1985)
Pertunangan (1985)
Anak-Anak Malam (1986)
Merangkul Langit (1986)
Di Dadaku Ada Cinta (1986)
Opera Jakarta (1986)
Blauw Bloed (1986)
Bilur-Bilur Penyesalan (1987)
Arini, Masih Ada Kereta Yang Lewat (1987)
Macan Kampus (1987)
Dia Bukan Bayiku (1988)
Arini II (1988)
Sumpah Keramat (1988)
Adikku Kekasiku (1989)
Taksi (1990)
Perasaan Perempuan (1990)
Suamiku Sayang (1990)
Sejak Cinta Diciptakan (1990)
Pagar Ayu (1990)
Taksi Juga (1991)
Bernafas Dalam Lumpur (1991)
Perawan Metropolitan (1991)
Sekretaris (1991)
Kuberikan Segalanya (1992)
Selembut Wajah Anggun (1992)
Kembali Lagi (1993)
Si Jago Merah (2008)
Shift (2009)
[sunting] Sinetron
Si Doel Anak Sekolahan 1-6
Si Doel Anak Gedongan
Gita Cinta Dari SMA
Puspa Indah Taman Hati
Pelangi Di Hatiku
Maha Kasih (episode Putus Asa Itu Dosa)
Jomblo
Fauzi Bowo
Dr.-Ing. H. Fauzi Bowo (lahir di Jakarta, 10 April 1948; umur 61 tahun) adalah
Gubernur Jakarta Periode 2007 - 2012 setelah sebelumnya menjadi Wakil Gubernur
Jakarta. Pada pilkada DKI Jakarta 2007, Fauzi Bowo bersama Prijanto sebagai
wakilnya mengungguli pasangan Adang Daradjatun dan Dani Anwar.
Riwayat hidup
Putra pasangan Djohari Bowo dan Nuraini binti Abdul Manaf ini menamatkan
pendidikan tingkat sekolah dasar di SD St. Bellarminus. Kemudian beliau
melanjutkan jenjang pendidikan tingkat menengah dan atas di Kolese Kanisius
Jakarta. Setelah menamatkan pendidikan SMA, beliau mengambil studi Arsitektur
bidang Perencanaan Kota dan Wilayah dari Technische Universitat Braunschweig
Jerman dan tamat 1976 sebagai Diplome-Ingenieur. Program Doktor-Ingenieur dari
Universitas Kaiserlautern bidang perencanaan diselesaikannya pada tahun 2000.
Fauzi Bowo memulai karirnya dengan mengajar di Fakultas Teknik UI. Ia bekerja
sebagai pegawai negeri sejak tahun 1977. Beberapa posisi yang pernah dijabatnya
antara lain adalah sebagai Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional dan
Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Sebagai birokrat, Fauzi telah menempuh Sepadya (1987), Sespanas (1989), dan
Lemhannas KSA VIII (2000). Ia adalah wakil gubernur Jakarta di masa
kepemimpinan Gubernur Sutiyoso.
Fauzi Bowo menikah dengan Hj. Sri Hartati pada tanggal 10 April 1974. Hj. Sri
Hartati adalah putri dari Sudjono Humardani, kelahiran Semarang, 29 Agustus 1953.
Dari pernikahan ini, pasangan Fauzi Bowo dan Sri Hartati dikaruniai 3 orang anak:
Humar Ambiya (Tanggal lahir: 20 Juli 1976, Esti Amanda (Tanggal lahir: 5 April
1979) dan Dyah Namira (Tanggal lahir: 1 Februari 1983).
Fauzi Bowo mengungguli Agum Gumelar dan Mahfud Djailani dalam penjaringan
calon gubernur oleh PPP DKI Jakarta dengan 14 suara. Agum meraih lima suara,
sedang Djailani mendapat dua suara. Dua suara lain menyatakan abstain.
Namun, dalam skoring terhadap enam kandidat calon gubernur yang mengajukan diri
ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia menempati urutan paling terakhir.
Dalam skoring itu, ia meraih 80 suara. Sedang, urutan teratas ditempati oleh Sarwono
Kusumaatmadja.
Fauzi Bowo dan Gubernur Sutiyoso dianggap sebagai orang yang paling bertanggung
jawab atas terjadinya Banjir besar di Jakarta di hampir seluruh wilayah ibukota DKI
Jakarta, dan mempengaruhi popularitas nama Fauzi Bowo.
Pada 22 Januari 2007, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyampaikan hasil jajak
pendapat terhadap 700 responden pada minggu ketiga Desember 2006 dengan cara
tatap muka. Hasil jajak pendapat LSI untuk calon Gubernur DKI adalah Fauzi Bowo,
Rano Karno, Agum Gumelar, Sarwono Kusumaatmadja, Adang Daradjatun, dan Bibit
Waluyo.
Pada tanggal 16 Agustus 2007, pasangan Fauzi Bowo - Prijanto unggul dalam pilkada
pertama langsung di Jakarta ini dengan 57,87% suara pemilih[1]. Fauzi Bowo
menggantikan Sutiyoso sebagai Gubernur Jakarta periode 2007 - 2012 pada tanggal 7
Oktober 2007[2].
SI PITUNG
Kisah ini diyakini nyata keberadaannya oleh para tokoh masyarakat Betawi terutama
di daerah Kampung Marunda di mana terdapat Rumah dan Masjid lama.
Beliau lahir di petunduan palmerah pada tahun 1874 dan wafat pada tahun 1903 di
bandenagan utara kecamatan penjaringan-JAKARTA,Beliau termasuk pahlawan
BETAWI dalam melakukan perlawanan terhadap tuan-tuan tanah Cina dan Belanda.
di riwayatkan di tanah-tanah partikulir itu penindasan kaum tani lebih kasar dan keji
dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa. Particuliere landerijen adalah tanah-
tanah milik pribadi nyang sangat luas yang pemilik-pemiliknya dapat disebut tuan-
tuan tanah yang mempunyai hak feodal para penyewa tanah mereka, termasuk hak
istimewa untuk memungut pajak-pajak pribadi dan tugas-tugas kerja paksa yang
berat. Pemerintah jajahan jarang campur tangan dalam urusan intern tanah-tanah milik
itu, jadi memperbolehkan penyalahgunaan nyang melampaui batas untuk terus
berlangsung tanpa ada usaha perbaikan.