Perjuangan Bukittinggi)
Angkatan I
Angkatan Kedua
Bagindo Tan Labih, berasal dari Kurai Taji, Pariaman, adalah orang semenda
dari Tuanku Imam Bonjol yang kawin dengan kemenakannya. Sekali gus, ia juga
menjadi dubalang yang sekaligus pengawal Tuanku Imam Bonjol. Isteri Bagindo Tan
Labih dipanggil Kak Uwo Raya oleh Naali Sutan Caniago, anak kandung Tuanku
Imam. Mereka sama-sama dibuang ke Cianjur, Ambon, dan terakhir di Manado.
Selesai berunding, Sutan Caniago, Bagindo Tan Labih dan Sutan Saidi diantar
Jaksa sampai ke Palupuh. Dengan hati-hati mereka sampai ke Bukit Gadang, tempat
pengungsian Tuanku Imam pukul lima petang.
Malam harinya, terjadi perpisahan Tuanku Imam dengan Sutan Caniago, karena
ia akan tinggal bersama kaum keluarganya. Setelah sembahyang subuh, Tuanku
Imam berangkat bersama Durahap, Sutan Saidi, Bagindo Tan Labih, semenda dan
dubalang, dan si Galito, tukang meriam, bekas pasukan Sentot Prawirodirjo. Sikap
dan ketelitian Bagindo Tan Labih sebagai dubalang Tuanku Imam terlihat ketika
rombongan tiba di Kampung Ateh. Seorang datang mendekat kepada mereka, segera
ditanya oleh Bagindo Tan Labih,
"Siapa itu?"
"Simarasuk"
Sikap ketelitian Bagindo Tan Labih untuk keselamatan dan keamanan Tuanku
Imam Bonjol sendiri.
Pada tahun 1840, Tuanku Imam, bersama H. Muhammad Amin, Bagindo Tan
Labih dan Galito dibuang ke Manado dan ditempatkan di Komba, kemudian ke Koka
dan terakhir di Lotak Pineleng, 9 km dari Manado. Dari tunjangannya yang diterima
Tuanku Imam Bonjol disisihkannya sehingga dapat membeli sebidang tanah di
Koka, 3 km dari Manado, dari Tuan Agisir seharga 168 gulden 80 kepeng. Bagindo
Tan Labih kawin dengan seorang gadis Minahasa yang bernama Watok Pantow.
Tanah itu diberikan Tuanku Imam Bonjol sebagai mahar perkawinan Bagindo Tan
Labih dengan Watak Pantow. Tanah ini menjadi semacam tanah pusaka (kalakeran)
bagi keturunan Bagindo Tan Labih yang disebut tana'ni Pangeran, dan seluruh
keturunan Bagindo Tan Labih memakai nama faam Bagindo yang menyebutnya tete
baginda. Tana'ni Pangeran yang luasnya satu hektar itu sampai saat ini menjadi tanah
pusaka, tanah kalakeran keluarga baginda yang mereka sebut tanah milik berbanyak
orang dari satu famili, semacam tanah pusaka di Minangkabau. Tanah itu sebagai tali
pemikat bagi keturunan Bagindo Tan Labih di Koka.
Pada saat ini 60% dari penduduk Koka adalah keluarga Bagindo dan beragama
Kristen. Yang pindah ke Pineleng, Malalayang dan kampung Banjar tetap memeluk
agama Islam. Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia di Lotak, 6 November 1854
(berdasarkan laporan Residen Manado kepada Gubernur Jendral 13 November 1854
No. 1847). Setelah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia, maka tunjangannya
dibagikan kepada:
1) Sutan Sidi sebesar f. 20 dan 40 pond beras
Dengan ketentuan, kepada Sutan Saidi dan Abdul Wahab diizinkan pulang ke
Sumatra Barat atas biaya pemerintah Belanda, sedangkan Bagindo Tan Labih tetap
tinggal di Minahasa, keresidenan Manado.
Bagindo Tan Labih meninggal tahun 1888 dan meninggalkan seorang isteri dan 7
orang anak, tiga orang laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka memakai nama
faam (keluarga ) Bagindo, yaitu Mahmud Baginda, Ibrahim Baginda, Maryam
Baginda, Aminah Baginda, Latifah Baginda dan Yusuf Baginda. Lima orang yang
melanjutkan faam (keturunan) Baginda sampai beribu-ribu orang yang tersebar di
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Ambon.
Tak heran, jika seorang penulis yang mengatakan sejarah perjuangan Tuanku
Imam Bonjol berakhir di Lotak Pineleng. Dengan kehadiran Bagindo Tan Labih di
Koka, Manado, meninggalkan belahannya di Koka berupa keluarga baginda, silat
baginda dan sebidang tanah pusaka (kalakeran) sebagai alat pemersatu keluarga
Baginda di tanah Minahasa, dan sebagai bukti adanya hubungan dengan tanah
leluhur Minangkabau akibat kontak dua subkultur kebudayaan.
Sumber: Sjafnir Aboe Nain, drs, Naskah Naali Sutan Caniago- Naskah Tuianku Imam Bonjol, alih tulis,
Padang, 1992
------, Laporan Studi Perbandingan, Lotak Pineleng Makam Tuanku Imam Bonjol di Sulawesi Utara,
Padang 1983
J.P. Thoy, Menyingkap Sejarah Masyarakat Islam di desa Pineleng, tesis Sarjana Pendidikan
FKPS-IKIP Manado, 1968