Hotel Rugi 1
Hotel Rugi 1
Gorontalo, Koran Internet: Hotel Quality yang merupakan aset daerah Provinsi
Gorontalo, mengalami kerugian milyaran rupiah dalam beberapa tahun terakhir.
Sekda Provinsi Gorontalo, Idris Rahim mengungkapkan pada tahun 2008 hotel
tersebut merugi sebesar Rp.1,2 milyar dan tahun 2009 merugi Rp.2,8 milyar.
"Sedangkan posisi hutang sampai dengan tahun 2010 ke Bank Mandiri 17.2 milyar
dan hutang di pihak ketiga sebesar 6 milyar rupiah," ujarnya, Minggu.
Dalam setiap bulannya, kata dia, Hotel Quality harus menyiapkan dana setoran ke
Bank Mandiri sebesar Rp.339 juta, yang terdiri atas setoran hutang pokok Rp.190
juta, bungan berjalan Rp.140 juta dan denda Rp 9 juta.
"Aset ini harus diselamatkan agar jangan sampai bermasalah dengan hukum,"
ujarnya.
Menurut Sekda, saat ini pemerintah provinsi tengah membicarakan rencana untuk
menjual hotel tersebut, melalui rapat umum pemegang saham.
"Uang pemrov harus kembali dan hutang Quality di bank harus segera dilunasi,"
tambahnya.
Meski demikian, pemprov juga berupaya agar para pegawai hotel tidak mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Suasana eksekusi Hotel Garden di Surabaya.
Artikel Terkait
Eksekusi Lahan di Depok Ricuh
Ratusan Warga Bekasi Tolak Eksekusi Lahan
Eksekusi Rumah Janda Nyaris Ricuh
12/11/2009 14:53
Timur, Kamis (12/11), berlangsung tegang. Eksekusi pengosongan terjadi setelah pemilik Hotel Garden
gagal menyelesaikan utangnya pada tahun 1993, sehingga aset hotel berpindah tangan.
Dalam proses eksekusi itu, ratusan orang tak dikenal yang berdiam di hotel sejak semalam terpaksa
diusir polisi. Ini dilakukan karena polisi berusaha memisahkan antara tamu beserta karyawan hotel
dengan orang-orang tak dikenal yang dicurigai berusaha memprovokasi kekacauan dalam pengosongan
hotel.
Meski sempat ditolak dan dihalang-halangi, akhirnya pengosongan berhasil dilakukan. Hingga kini, nasib
dan pesangon 540 karyawan Hotel Garden juga masih belum jelas. Hal inilah yang membuat karyawan
gelisah dengan pengosongan yang dilakukan hari ini. Sebelumnya, jelang pemilu lalu telah ada rencana
Utang itu berasal dari pinjaman Dewata Royal ke Bank Exim saat membangun Hotel Aston yang
berlokasi di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali pada 1996. Pinjaman pokok sebesar US$14,4 juta ditambah
bunga US$7,5 juta dan denda US$ 250 ribu.
Dalam persidangan, Arifin melanjutkan, Dewata mengaku sudah membayar lebih dari utang pokok, yaitu
Rp 70 miliar. Berdasarkan kurs 1996, utang pokok Dewata setara Rp 33 miliar.
Arifin mengaku tidak mengetahui jumlah utang yang sudah dibayar Dewata. Namun dia memastikan,
"hingga kini pinjaman pokok belum tersentuh pembayaran," katanya.
Perbedaan perhitungan itu akibat Dewata berkeras membayar dengan rupiah. Sementara Mandiri ingin
tetap dibayar dengan dolar Amerika Serikat. "Pinjam dalam dolar, tandatangan dalam dolar, penggunaan
dalam dolar, tentu kembalikan dalam dolar," kata Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowadojo dua
pekan lalu.
Arifin mengatakan, dalam beberapa kali persidangan, hakim mempersilahkan Dewata mengajukan surat
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Namun hingga sesi terakhir sebelum sidang
putusan, 6 November lalu, satu dari lima debitor kakap Mandiri ini tidak kunjung mengajukan permohonan
tersebut.
Alih-alih, mereka mengajukan permohonan pembacaan keputusan oleh hakim dengan alasan sedang
ada pembicaraan penyelesaian utang dengan bank plat merah itu. Arifin yang hadir di sidang itu
menghubungi kantor pusat Bank Mandiri di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. "Tidak ada pembicaraan apa
pun dengan kami," katanya.
"Hakim menyatakan Dewata pailit dengan segala konsekuensi hukum," ujar Arifin, "juga dalam
keadaan insolvency." Insolvensi adalah ketidakmampuan seseorang membayar utang tepat waktu atau
keadaan yang menunjukkan jumlah kewajiban melebihi harta.
Hal itu ditegaskan dua anggota DPRD DKI Jakarta, M. Agoes Darmawan dari Fraksi Partai Amanat
Nasional (F-PAN), dan anggota Komisi D, Tjuk Sudono yang dihubungi SH , Jumat (7/6) siang
“Pemda DKI Jakarta harus segera mencabut izin usaha hotel Mulia yang terletak di Jalan Asia Afrika
Senayan, Jakarta Pusat. Pemda bisa melakukan sanksi administrasi tanpa harus menunggu sanksi
hukum dari pengadilan,” ujar mereka secaraa terpisah.
Mereka menjelaskan, menjadi sangat tidak adil kalau pemda pada akhirnya hanya memperoleh Rp 15
miliar lebih. Padahal, utang hotel tersebut sudah tidak dibayar bertahun-tahun.
“Berapa banyak bunga yang bisa diperoleh kalau Pemda DKI Jakarta mendepositokannya. Pemilik hotel
itu kan mendapat banyak keuntungan dari hasil mengelola 24 lantai lebihnya. Ya paling tidak harus
diperhitungkan berapa yang harus diberikan kepada Pemda DKI Jakarta,” ujar Tjuk Sudono.
Menurut M. Agoes Darmawan, pemda jangan menunggu proses penyitaan yang akan dilakukan
pengadilan. Biarlah tindakan hukum dilaksanakan pengadilan, tetapi secara administrasi, pemda harus
segera mencabut izin usahanya. “Kalau diam-diam saja maka pengelola Hotel Mulia tidak akan segera
membayar utangnya,’’ kata anggota F-PAN itu.
Masih menurut M Agoes Darmawan, Hotel Mulia bukannya tidak mampu membayar utangnya Rp 15
miliar lebih kepada Pemda DKI Jakarta, tetapi pemilik hotel itu memang sengaja tidak mau membayar.
Pengusahanya bandel.
“Tidak mungkin hotel sebesar itu tidak bisa membayar utang Rp 15 miliar,’’ ujar Agoes.
Anggota dari Fraksi PAN ini menambahkan, Pemda DKI Jakarta tidak cukup hanya menagih utang Rp 15
miliar, tetapi juga harus memperhitungkan denda karena tidak bersedia membayar selama ini. “Terlalu
enak bagi pengusaha kalau hanya membayar Rp 15 miliar,’’ katanya.
Sementara Tjuk Sudono menganjurkan supaya Pemda DKI mengambil alih pengelolaan 24 lantai
lebihnya yang dipersengketakan. Jadi tidak cukup hanya membayar utangnya.
“Tindakan ini harus segera dilakukan karena pengelola Hotel Mulia, sudah terlalu banyak mendapat
keuntungan. Di samping itu, pengelola hotel ini boleh dikatakan mengambil hak milik Pemda DKI Jakarta.
Karena itu, pemda tidak boleh main-main lagi. Segera cabut izin usahanya,” tandas Tjuk Sudono.(dre)
asiatravel.com
TERKAIT:
"Sejak awal proses kepailitan terlihat sangat dipaksakan dan majelis hakim yang
diketuai Ali Makki ternyata mengabulkan permohonan kepailitan itu pada 10 November
2009," katanya dalam siaran pers.
Padahal, kata dia, kredit Hotel Aston sendiri tidak macet dan tidak ada tunggakan pajak.
"Jadi jelas tidak layak dipailitkan," katanya menegaskan.
Ia mengemukakan bahwa putusan memailitkan Aston Bali Resort & Spa yang berlokasi
di Tanjung Benoa, Nusa Dua, itu sangat merugikan kliennya. Apalagi kondisi Hotel
Aston sangat sehat, didukung tingkat hunian di atas 95 persen, tidak ada permasalahan
dengan pihak mana pun dan sekitar 360 karyawan mendapat bonus sekitar Rp 2 juta
per bulan.
Menurut dia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) harus turun tangan
untuk memeriksa aliran dana sekitar Rp 42 miliar dari tiga bank milik nasabah
penyimpan yang diduga menguap setelah diblokir. "Polisi dan BI harus memeriksa
masalah ini karena merusak sistem perbankan," kata Agung.
Agung Mattauch juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan
menangani masalah ini karena ada dugaan kerugian negara. "Kami dalam waktu dekat
akan melaporkan masalah tersebut ke KPK," ujarnya.
Sementara itu, ratusan karyawan Hotel Aston sebelumnya berunjuk rasa menolak
proses kepailitan itu.
Humas Hotel Aston Resort & Spa Sam Maulana Akbar mengatakan bahwa para
karyawan Aston berunjuk rasa bukan karena takut PHK, melainkan menolak keras
eksekusi kepailitan oleh kurator.
"Tidak ada niat sedikit pun dari manajemen Hotel Aston Resort & Spa untuk mem-PHK
karyawan karena seluruh operasional dan administrasinya berjalan baik, bahkan
kebutuhan para karyawan terpenuhi dengan baik. Jadi, yang dimaksud pailit itu apa?"
katanya.
Pihaknya berharap agar kasus pailit ini tidak menjadi keresahan berkepanjangan, dan
Mahkamah Agung sudah seyogianya mengambil tindakan tegas untuk menyikapi
bahwa kepailitan ini tidak layak.
Sebelumnya, pihak kurator yang dimotori Swandi Halim memvonis Hotel Aston Tanjung Benoa di Nusa Dua
pailit. Konflik terjadi antara PT DNR selaku pemilik Hotel Aston Tanjung Benoa dan pihak kurator. Kasus
bermula dari utang-piutang kedua pihak.
Pemilik saham Aston mengaku sudah membayar utang. Namun, pihak kurator menempuh jalur hukum.
Pengadilan Niaga Surabaya akhirnya menyatakan Hotel Aston pailit. Namun, putusan itu dibantah para
karyawan. Mereka berdemonstrasi damai untuk menyatakan manajemen hotel baik-baik saja.(IKA)