Oleh:
Agus Supriono , Dance J. Flassy3, Sasli Rais4
2
ABSTRAK
Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem
bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi, Hal ini dapat
terjadi karena modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-
norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam
spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan secara
bersama-sama. Unsur terpenting dan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary
condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu
masyarakat adalah kepercayaan (trust). Adapun unsur-unsur yang dapat dipandang sebagai
syarat kecukupan (sufficiency condition) dari terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal
sosial di suatu masyarakat adalah: (a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation
and social net work), (b) saling tukar kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm),
(d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan yang proaktif.
PENDAHULUAN
1
Artikel Bagian-2.
2
Staf Pengajar Sosial Ekonomi Pertanian – Fakultas Pertanian – Universitas Jember;
Mahasiswa S3, Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta .
3
Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Barat, Mahasiswa S3
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) – Universitas Indonesia.
4
Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen - Jakarta, Tim Teknis Project
Management Unit – Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Daerah Tertinggal dan
Khusus – Bappenas.
1
Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa
diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial
memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas masyarakat dan
dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran,
dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum,
dimana merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor yang penting bagi kesehatan
ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar kutural (Fukyama,1995). Modal
sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama
dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi bagi masyarakat (atau
bangsa) tersebut (Durkheim, 1973).
Artikel ini disusun dengan tujuan untuk menjelaskan secara komperehsif apa
sebenarnya unsur-unsur yang membentuk dan terbangunnya modal sosial tersebut. Harapan
penulis semoga altikel ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan pada diskusi-diskusi dan
kajian-kajian ilmiah lebih lanjut terkait dengan keberadaan potensi dan peran penting modal
sosial di dalam sistem perekonomian ataupun sistem sosial dan budaya masyarakat.
PEMBAHASAN
Secara umum modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan
norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat
dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan
anggota masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Unsur utama dan terpenting dari modal
sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai
syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang
kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat.
Pada masyarakat memiliki kapabilitas trust yang tinggi (high trust), atau memiliki
spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat.
Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas trust yang rendah (low trust), atau
memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial
yang lemah.
Gambar 1
2
Unsur-Usur Pembentuk Modal Sosial
(a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar
kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e)
tindakan yang proaktif.
3
Berbagai tidakan kolektif yang didasari rasa saling mempercayai yang tinggi (high
trust), sebagaimana diungkapkan Putman (1993), akan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi, terutama dalam konteks membangun bersama.
Sebaliknya, kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang berbagai
problematik sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling
mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang
mengancam, sehingga lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi (high cost) bagi
pembangunan.
Fukuyama (1995) meyakini, bahwa trust sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan
ekonomi unggul, oleh karena trust dapat diandalkan untuk mengurangi biaya (cost) dan waktu
(time)10. Oleh karena itu menurut Putman (1993), trust memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi
yang dicapai oleh suatu komunitas (bangsa).
Gambetta (2000) yang mengembangkan pemikiran Fukyama (1995) menyatakan,
bahwa rasa saling percaya dan mempercayai (trust) menentukan kemampuan suatu bangsa
untuk membangun masyarakat dan institusi-institusi di dalamnya guna mencapai kemajuan.
Rasa saling mempercayai ini juga akan mempengaruhi semangat dan kemampuan
berkompetisi secara sehat di tengah masyarakat. Rasa saling percaya ini tumbuh dan berakar
dari niai-nilai yang melekat pada budaya kelompok.
Mengikuti Quinhong Fu (2004) dalam Hasbullah (2006), pada dasarnya trust dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (a) tingkatan individual, (b) tingkatan relasi sosial,
dan (c) tingkatan sistem sosial. Pendapat ini merujuk pada beberapa pandangan sosiolog.
Trust pada tingkatan individual merupakan kekayaan batin, norma, dan nilai individual yang
merupakan variabel personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu11. Trust di dalam
tingkatan relasi sosial, merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok
yang didasari oleh semangat altruism, social resiprocity, dan homo ets homo homini12. Trust
pada tingkatan sistem sosial, merupakan nilai publik komunitas, atau masyarakat, atau
bangsa, yang perkembangnya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada, dimana sistem sosial
tersebut didasari pada nilai-nilai budaya unggul13.
10
Di dalam bisnis, trust bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang
mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kontrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari
situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan meminimalisasi keharusan akan
proses hukum (Fukyama, 1995).
11
Merujuk Nahapiet dan Ghosal (1998), pada tingkatan individual trust bersumber dari nilai-
nilai, diantaranya dari: (a) agama atau kepercayaan yang dianut, (b) kompetensi seseorang, dan
(c) keterbukaan, yang telah menjadi norma di masyarakat dan diyakini oleh seseorang.
12
Mengikuti Coleman (1999) dan Wolfe (1989), pada tingkatan relasi sosial sumber trust
berasal dari norma sosial yang memang telah melekat pada stuktur sosial komunitas
(masyarakat/bangsa) yang diikat dengan nilai-nilai budaya. Hal ini terutama berkaitan dengan
kepatuhan anggota komunitas terhadap berbagai kewajiban bersama yang telah menjadi kesepakatan
tidak tertulis pada komintas tersebut.
13
Mengikuti Hasbullah (2006) dengan memijam pendapat Putman (1993), di tingkat sistem
sosial trust bersumber dari karakteristik sistem sosial tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung
jawab sosial setiap anggota komunitas (masyarakat/bangsa).
4
komunitas tersebut (Coleman, 1999). Pada komunitas yang berorientasi inward looking
cenderung memiliki the radius of trust yang pendek (sempit). Sedangkan pada komunitas
yang berorientasi outward looking cenderung memiliki the radius of trust yang panjang
(luas).
Komunitas atau masyarakat yang berorientasi inward looking akan lebih menunjukan
kepada ego kelompok dan berpandangan negatif tentang dunia di luar kelompoknya, atau
negative externality. Kebanyakan komunitas masyarakat tradisional pada umumnya
berorientasi inward looking demikian ini. Menurut Woolcock dan Narayan (2000), pada
dasarnya di tengah-tengah masyarakat tradisional kohesifitas kelompok cukup tinggi,
hubungan antar individu dalam komunitas cenderung kohesif dan solidaritas pun terbangun
dari nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama, akan tetapi miliki radius of trust yang
pendek14.
Dapat dipetik pemahaman di sini, bahwa kekuatan trust salah satu diantaranya akan
terbentuk dari kekuatan kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi di dalam suatu
komunitas (masyarakat). Kekuatan kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi tersebut,
terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama. Akan tetapi tidak
semua bentuk kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi di dalam komunitas dapat menjadi
investasi serta sekaligus membawa kemajuan dan kekayaan ide bagi seluruh kelompok dan
individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal demikian hanya dapat tumbuh pada
komunitas yang memiliki karakteritik rentang rasa percaya (radius of trust) yang panjang
(luas).
Radius of trust yang panjang (luas) hanya dapat dijumpai pada komunitas yang
memiliki kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi dan memiliki pandangan outward
looking. Yaitu terbuka terhadap harapan-harapan kemajuan dan semangat berkompetisi secara
sehat yang dilandasi nilai universal altruism, social reciprocity, dan homo ets homo homini.
Resources:
•Agama & kepercayaan Resources:
•Kompetensi individu •Norma sosial yang melekat Resources:
•Keterbukaan pada struktur sosial. •Karakteristik sistem sosial.
Contextual Variables:
•Dignity
•Altruism
•Social reciprocity
Collective Action •Trustworthiness Collective Action
14 •Homo est homo hommini
Menangkap yang dimaksudkan Woolcock dan Narayan (2000), bahwa pada dasarnya ego
•Network
kelompok (komunitas) yang berkembang pada kebanyakan komunitas masyarakat tradisional memang
•Institution
pada gilirannya akan dapat membentuk (memupuk) rasa kohesifitas sosial (social cohesivity) dan
solidaritas sosial (social solidarity) yang kuat berdasarkan nilai-nilai yang diakui dan dipercayai
bersama. Akan tetapi nilai-nilai yang diakui dan dipercayai Trust bersama tersebut pada kenyataanya justru
membelenggu, atau menjadi faktor pembatas (constrain) bagi komunitas (kelompok) tersebut untuk
berpandanganRadiuspositif dan
of trust lebih(lebar)
panjang luas terhadap dunia di luar komunitasnya (positive
Radius externality).
of trust pendek (sempit) Senada
dengan hal ini Fukyama (2000) menyatakan, hampir semua bentuk budaya tradisional dengan
Outward looking, No-bonding, No-tight Inward looking, Bonding, Tight group,
masyarakatnya yang tertutup,
group, No-exclusive seperti
networking, No- halnya suku-suku primitif, suku yangnetworking,
Exclusive masih Strong
kuat menganut
budaya klan dan feodal, pada umumnya hidup dan perilaku mereka distinction
strong distinction between insiders and didasarkan oleh
between norma
insiders and bersama
outsiders, dan No-single answer focus outsiders, dan Single answer focus
yang inward looking. Masyarakat yang demikian memang memiliki tingkat kehesifitas dan solidaritas
kelompok yang tinggi, akan tetapi tidak dapat menjadi investasi serta sekaligus membawa kemajuan
dan kekayaan ide bagi seluruh kelompok dan individu Gambar 2 ada dalam masyarakat tersebut.
yang
Performen Trust: Resource, Contextual Variables, dan Radius of Trust
5
Komunitas atau masyarakat yang menyandarkan dinamika kelompok pada group
solidarity atau ethnic solidarity adalah bentuk komunitas yang memiliki radius of trust yang
pendek (sempit). Nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama yang kemudian menjadi
pengikat kohesifitas dan solidaritas antar anggotanya, adalah bersifat inward looking15. Secara
empirik Fukuyama (1995, 2000) memberikan contoh tentang masyarakat yang memiliki
radius of trust yang pendek (sempit), yaitu masyarakat di negara-negara Amerika Latin16.
Menurut Gambetta (2000), kecenderungan masyarakat yang memiliki radius of trust
yang pendek atau sempit (sebagaimana masyarakat di negara-negara Amerika Latin), adalah
karakteristik dasar pola pergaulan masyarakat yang hidup dalam suasana pengelompokkan
yang terikat (bonding group). Hasbullah (2006) menyatakan, ciri perilaku dan pola interaksi
kelompok masyarakat yang demikian ini adalah kekentalan kelompok (tight group) dengan
jaringan yang eksklusif (exclusive networking), memiliki sikap pembelaan yang kuat antara
orang dalam dan orang luar (strong distinction between insiders and outsiders), serta dalam
hal berbagai urusan biasanya hanya memiliki satu jenis jawaban dari suatu proses
penyelesaian masalah (single answer focus).
Gambaran seperti ini juga masih mewarnai kehidupan banyak komunitas masyarakat
tradisional dan kelompok suku yang ada di Indonesia, dimana nilai yang berasal dari
pengalaman kultural kelompok yang bersifat doxa (sejenis pengalaman budaya dimana norma
dan nilai yang selama ini dianut tanpa perlu dipertanyakan dan senantiasa dianggap sebagai
kebenaran multak), bersifat inward looking dengan radius of trust yang pendek (sempit)17.
Koherensi dan kohesifitas sosial yang terjadi dalam suatu entitas sempit. Jaringan-jaringan
sosial pun tercipta dalam batas-batas lingkaran primordial dan ditujukan terutama hanya
15
Hal demikian akan membatasi kemampuan anggotanya untuk bekerjasama dengan
masyarakat lain dan individu di luar radius kelompoknya. Sikap keseharian terkadang justru diwarnai
oleh semangat kuatnya ego kelompok dan berpandangan negatif tentang dunia di luar lingkup (radius)
komunitasnya.
16
Hasil temuan dari studi yang dilakukannya menyimpulkan bahwa trust yang tumbuh terbatas
di dalam keluarga, sesama keluarga besar mereka, atau dalam lingkaran kecil pertemanan yang bersifat
sangat personal. Apa yang menjadi kebiasaan yang turun-temurun adalah adanya kesulitan bagi
anggota masyarakat untuk saling mempercayai atau memiliki keyakinan bahwa orang-orang yang
berada di luar kelompoknya patut dipercayai dan patut menjadi partner di dalam berbagai urusan.
Orang di luar keluarganya, di luar kelompoknya, atau di luar sukunya, dianggap orang asing yang
memiliki cara hidup kurang dibandingkan dengan cara hidup keluarga, kelompok, atau sukunya. Cara
dan perlaku budaya orang lain, kelompok lain, atau suku lain, dianggap sebagai tidak pada tempatnya
atau kurang pantas. Mereka cenderung memberikan bobot yang rendah terhadap orang lain, kelompok
lain, atau suku lain. Trust yang terbangun cenderung ke arah group solidarity atau ethnic solidarity dan
cenderung kuat menganut budaya klan dan feodal.
17
Masing-masing suku hidup dalam suatu entitas yang inward looking, bonding, tight group,
exclusive networking, strong distinction between insiders and outsiders, dan single answer focus, yang
sekaligus menjadi ciri dari pola budaya sacred society. Pada setiap setting budaya tertanam kuat dan
dipatuhi nilai-nilai formalitas yang berkaitan dengan status sosial dan hierarki sosial. Seorang Ketua
Adat lebih dihormati karena label Ketua Adatnya. Bukannya dihormati karena apa yang telah
dikerjakan oleh seorang Ketua Adat untuk memakmurkan dan menyelamatkan anggota masyarakat
dalam lingkup rentang adat yang dia pimpin.
6
untuk kepentingan ritual dan pelestarian kebiasaan. Bukan ditunjukkan sebagai sesuatu yang
dapat dipandang sebagai aset sosial guna mengembangkan diri untuk mencapai kesejahteraan
bersama.
Setiap kelompok suku dari suatu entitas sosial, perkembangan ide, interpretasi dan
alternatif, selalu terhalangi oleh kelompok elit masyarakat yang memaksakan kepatuhan pada
suatu nilai dan norma yang sebetulnya hanya menguntungan sepktrum sosial atas (kind of
symbolic violence to force people into line)18. Di dalam konteks demikian, pada masyarakat
atau kelompok sosial yang dibentuk memang akan terjadi kohesifitas sosial yang harmonis.
Akan tetapi pada kenyataanya, dengan memijam istilah Hasbullah (2006), hanyalah
merupakan kohesifitas dan harmoni bayang-bayang (semu).
Hasbullah (2006) menyatakan, di dalam konteks Indonesia gerakan socially inward
looking dengan radius of trust yang pendek (sempit) demikian ini tidak hanya berkembang di
sebagian suku-suku di luar Jawa (yang selama ini mengidentifikasikan diri sebagai kelompok
yang teraniaya), melainkan di suku yang memiliki kuantitas anggota yang sangat besar (di
Jawa maupun di luar Jawa). Hal ini mungkin sejalan dengan yang dituliskan oleh Mahatir
Mohamad (mantan PM Malaysia) di dalam bukunya ‘Malay Dilemma’, bahwa apa yang baik
bagi orang Melayu adalah what is proper not what is pleasant19.
18
Konsep baik, terutama kapan seorang disebut baik, bukan terletak pada perilaku orang
tersebut yang sejalan dengan nilai-nilai universal, melainkan apakah orang atau individu tersebut
memiliki atau menunjukkan perilaku yang sesuai atau tidak dengan tuntutan adat. Nilai-nilai universal
tersebut diantaranya adalah harkat diri (dignity), semangat kemanusian yang jujur (altruism), semangat
saling membantu (social reciprocity), semangat yang amanah (trustworthiness), dan semangat untuk
tidak menzolimi orang lain (homo est homo hommini), terasa kelihatan sangat tipis. Pola ini berlanjut
ke kehidupan yang lebih modern, dimana asosiasi, kelompok, organisasi yang berorientasi pada
penguatan kesejahteraan sekalipun, pada gilirannya memiliki setting koherensi dan kohesifitas sosial
yang bersifat emosional identitas (bonding).
19
Pandangan yang cenderung inert telah menjadi pandangan kolektif masyarakat, yang
menjadikan mereka semakin sulit keluar dari lingkungan budaya yang terkungkung. Semakin sulit
untuk merangsang tumbuhnya budaya kelompok yang menyatukan ide dan pemikiran untuk
memperkaya kehidupan sosial, emosional dan kesejahteraan sosial.
7
pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan lebih banyak menghadirkan dampak positif
bagi kemajuan kelompok masyarakat tersebut maupun kontribusinya dalam pembangunan
masyarakat secara luas20.
20
Hal yang sebaliknya biasanya akan terjadi pada tipologi kelompok masyarakat tradisonal
yang partisipasi dan jaringan hubungan sosial yang terbentuk didasarkan pada kesamaan garis
keturunan, pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun, dan kesamaan kepercayaan pada demensi
religius.
8
pada umumnya, memang dapat menciptakan suasana khidmat dalam hubungan sosial antar
anggota kelompok atau sesama anggota masyarakat, akan tetapi di sisi lain cenderung tidak
merangsang munculnya ide-ide baru21.
KESIMPULAN
21
Hal tersebut dapat terjadi karena semua bentuk hubungan lebih mengutamakan kulit luar,
yaitu suatu label ketimbang pada demensi substansi isinya. Seorang Kepala Pemerintahan misalnya,
akan dipandang sebagai penguasa dan secara formal lebih menonjolkan label penguasanya bukan pada
muatan tanggung jawab pemerintahan dan sosial yang disandangnya. Oleh karena itu konfigurasi
norma yang tumbuh di tengah masyarakat juga akan menentukan apakah norma tersebut akan
memperkuat keeratan hubungan antar individu dan memberikan dampak positif bagi perkembangan
masyarakat tersebut.
22
Pada setiap kebudayaan, biasanya terdapat nilai-nilai sosial tertentu yang mendominasi ide
yang berkembang. Dominasi ide tertentu dalam mayarakat akan membentuk dan mengurangi aturan-
aturan bertindak masyarakatnya (the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of
behaviors) yang sama-sama menurut istilah para sosiolog membentuk pola-pola kultural (cultural
patten). Nilai-nilai individualistik, kecurigaan, dan konflik yang berkembang di masyarakat dapat
mereduksi potensi modal sosial yang berkembang di masyarakat tersebut. Sedangkan nilai
kebersamaan, tenggang rasa, dan penghormatan yang berkembang dimasyarakat akan dapat
menguatkan potensi modal sosial yang ada di masyarakat tersebut.
9
(3) Kekuatan dan kelemahan trust di dalam suatu masyarakat (atau bangsa) ditentukan oleh
rentang rasa mempercayai (the radius of trust) diantara anggotanya, dimana pada
komunitas yang berorientasi inward looking cenderung memiliki the radius of trust
yang pendek (sempit), sedangkan pada komunitas yang berorientasi outward looking
cenderung memiliki the radius of trust yang panjang (luas).
(4) Unsur-unsur yang juga tidak kalah pentingnya dalam membentuk terbentuk atau
terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu masyarakat (atau bangsa), atau dapat
dikatakan sebagai syarat kecukupan (sufficiency condition) adalah: (a) partisipasi dalam
jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar kebaikan
(resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan
yang proaktif.
DAFTAR PUSTAKA
Brehm, J., W. Rahm. 1997. Individual-Level Evidence for the Causes and Consequences of
Social Capital. American Journal of Political Sciences, 41(3), July, 999-103. In
Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Coleman, J., 1999. Social Capital in the Creation of Human Capital. Cambridge Mass:
Harvard University Press.
Dasgupta, P. 2002. Social Capital and Economic Performance: Analytics, 1-31 (Revised and
abridged version of: Partha Dasgupta 2000). In Elinor Ostrom and T.K. Ahn.
2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing
Limited.
Durkheim, E. 1973. Moral Education: Study in the Theory and Application of the Sociology
of Education. New York: Free Press.
Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York:
Free Press.
---------------. 1995. Social Capital and The Global Economy. Foreign Affairs, 74(5), 89-103.
In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
--------------. 2000. Social Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working
Paper, WP/00/74, 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of
Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Gambetta, D. 2000. Trust: Making and Breaking Cooperative Relations. Electronic Edition.
Chapter 13. Oxford: Department Sociology, University of Oxford, 213-37. In
Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
---------------. 2000. Can We Trust Trust ?. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation
of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta:
MR-United Press.
Nahapiet.J., Ghosal S. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and The Organization
Advantage. The Academy of Management Review, 23(2): 242-276.
Putnam, R.D. 1992. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. American
Prospect, 13, Spring, 35- 42. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003.
Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing
Limited.
10
--------------. 1993. Making Democracy Work: Civil Tradition in Modern Italy. Princeton:
Princeton University Press.
Quinhong Fu. 2004. Trust, Social Capital, and Organizational Effectiveness. Blacksburg, VA,
April 2004.
Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical
Synthesis and Policy Framework. Theory and Society, 27 (1),151-208. In
Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
----------------, D. Narayan. 2000. Social Capital: Implication for Development Theory,
Research, and Policy. World Bank Research Observer, 15(2), August, 225-49.
In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
11