Anda di halaman 1dari 11

MODAL SOSIAL1: UNSUR-UNSUR PEMBENTUK

Oleh:
Agus Supriono , Dance J. Flassy3, Sasli Rais4
2

ABSTRAK

Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem
bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi, Hal ini dapat
terjadi karena modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-
norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam
spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan secara
bersama-sama. Unsur terpenting dan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary
condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu
masyarakat adalah kepercayaan (trust). Adapun unsur-unsur yang dapat dipandang sebagai
syarat kecukupan (sufficiency condition) dari terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal
sosial di suatu masyarakat adalah: (a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation
and social net work), (b) saling tukar kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm),
(d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan yang proaktif.

PENDAHULUAN

Pelopor mazab ekonomi klasik, Adam Smith, menggambarkan bahwa motivasi


ekonomi sebagai sesuatu yang sangat kompleks dan tertancap dalam kebiasaan-kebiasaan
serta aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat (atau bangsa). Oleh karenannya aktivitas
ekonomi merepresentasikan bagian yang krusial dari kehidupan sosial dan diikat bersama
oleh varietas yang luas dari norma-norma, aturan-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan
kebiasaan-kebiasaan lain yang bersama-sama membentuk masyarakat.
Suatu kenyatan yang tidak dapat ditolak bahwa bagaimanapun kehidupan ekonomi itu
dipengaruhi oleh perilaku (behavior) manusia sebagai pelaku kehidupan ekonomi itu sendiri.
Sedangkan perilaku manusia ini banyak dipengaruhi oleh faktor budaya (kultur) yang melekat
pada masyarakat. Oleh karena itu pada dasarnya, faktor budaya memiliki pengaruh terhadap
perilaku manusia (behavior) sebagai pelaku kehidupan ekonomi itu sendiri. Perilaku yang
dapat menjadi kekuatan (pendorong) yang dapat dipergunakan menjadi sumber energi positif
guna membangun perekonomian ini disebut sebagai modal sosial (social capital). Dimana
faktor modal sosial ini melekat pada kehidupan budaya setiap masyarakat (atau bangsa).
Modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma
yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum
yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota
masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-
mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama (2000).

1
Artikel Bagian-2.
2
Staf Pengajar Sosial Ekonomi Pertanian – Fakultas Pertanian – Universitas Jember;
Mahasiswa S3, Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta .
3
Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Barat, Mahasiswa S3
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) – Universitas Indonesia.
4
Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen - Jakarta, Tim Teknis Project
Management Unit – Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Daerah Tertinggal dan
Khusus – Bappenas.

1
Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa
diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial
memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas masyarakat dan
dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran,
dan dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum,
dimana merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor yang penting bagi kesehatan
ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar kutural (Fukyama,1995). Modal
sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama
dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi bagi masyarakat (atau
bangsa) tersebut (Durkheim, 1973).
Artikel ini disusun dengan tujuan untuk menjelaskan secara komperehsif apa
sebenarnya unsur-unsur yang membentuk dan terbangunnya modal sosial tersebut. Harapan
penulis semoga altikel ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan pada diskusi-diskusi dan
kajian-kajian ilmiah lebih lanjut terkait dengan keberadaan potensi dan peran penting modal
sosial di dalam sistem perekonomian ataupun sistem sosial dan budaya masyarakat.

PEMBAHASAN

Secara umum modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan
norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat
dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan
anggota masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Unsur utama dan terpenting dari modal
sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai
syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang
kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat.
Pada masyarakat memiliki kapabilitas trust yang tinggi (high trust), atau memiliki
spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat.
Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas trust yang rendah (low trust), atau
memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial
yang lemah.

Unsur Pokok M odal Sosial

Syarat Perlu/ Keharusan Syarat Kecukupan


(Necessary Condition) (Sufficiency Condition )

Partisipasi dalam Jaringan


Trust dalam M asyarakat
Saling Tukar K ebaikan (Resiprocity)

Selain unsur pebentuk utama tersebut juga Norm ada a-Norm


unsur apembentuk
Sosial (Social lain dari modal
Norms)
sosial yang juga tidak kalah penting peranannya. Unsur-unsur ini dapat dikatakan sebagai
Nilai-N ilai Sosial
syarat kecukupan (sufficiency
Low Trust condition)
High Trust dari terbentuk atau terbangunnya kekuatan modal
sosial di suatu masyarakat. Adapun unsur-unsur yang Tindakan
dimaksudkan Proaktifadalah (Hasbullah, 2006):

Spectrum of Spectrum of Am bivalen Am bivalen


Trust Sempit Trust Lebar Positif Negatif

Gambar 1
2
Unsur-Usur Pembentuk Modal Sosial
(a) partisipasi dalam jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar
kebaikan (resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e)
tindakan yang proaktif.

6 Trust atau Rasa Saling Percaya


(a) Kontekstual dan Definisi
Trust memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran
sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas atau bangsa (Putman, 1993).
Oleh karena itu Fukuyama (1995) menyatakan, trust sebagai sesuatu yang amat besar dan
sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan ekonomi unggul. Digambarkannya trust sebagai
harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perililaku kooperatif yang muncul dari
dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma5 yang dianut bersama-sama oleh
anggota komunitas itu.
Putman (1992) mendefinisikan, trust sebagai bentuk keinginan untuk mengambil
risiko dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan ’yakin’, bahwa yang lain
akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu
pola tindakan saling mendukung6. Adapun Brehm dan Rahn (1997) yang mengembangkan
pemikiran Fukuyama (1995) mendefinisikan, trust sebagai penghargaan yang muncul dalam
sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, bersadasarkan norma-
norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu.
Woolcok (1998) mendefiniskan, trust sebagai rasa saling mempercayai antar individu
dan antar kelompok di dalam suatu masyarakat (atau bangsa) yang dibangun oleh norma-
norma nilai-nilai luhur yang melekat pada budaya masyarakat (atau bangsa) tersebut7. Adapun
Dasgupta (2002) dengan lebih tegas mendefinisikan, trust sebagai daya atau semangat
kemanusiaan yang jujur (altruism), berupa keinginan masyarakat untuk saling menghormati,
mencintai, dan memperhatikan antar sesama manusia8.
Melalui trust orang-orang dapat bekerjama secara lebih efektif, oleh karena ada
kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan
individu9 (Fukuyama, 1995). Oleh karena itu Woolcok (1998) meyakini, trust merupakan
sumber energi kolektif suatu masyarakat (atau bangsa) untuk membangun institusi-institusi di
dalamnya guna mencapai kemajuan dan mempengaruhi semangat dan kemampuan
berkompetisi secara sehat di tengah masyarakat (atau bangsa).
5
Norma-norma tersebut dapat berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada niai-nilai luhur,
seperti hakekat Tuhan atau keadilan, ataupun norma-norma sekuler seperti standar profesional dan
kode etik perilaku (Fukuyama, 1995). Adapun yang dimaksudkan sebagai standar-standar profesional
dan aturan-aturan perilaku (atau kode etik perilaku) adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam
pepatah: ”Kita yakin bahwa dokter tidak akan menyakiti kita secara sengaja. Keyajinan muncul karena
kita percaya bahwa dokter bekerja dengan kode etik kedokteran dan standar-standar profesional
medis.”
6
Paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putman, 1992).
7
Di dalamnya memiliki unsur-unsur kekuatan untuk mempengaruhi prinsip-prinsip yang
melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu masyarakat (atau
bangsa) tersebut (Woolcok, 1998).
8
Dijelaskan oleh Dasgupta (2002), di dalamnya terdapat kemauan dan semangat
keimbalbalikan untuk saling tolong-menolong tanpa mengharapkan imbalan seketika (social
reciprocity), kemauan dan semangat untuk tidak merugikan orang lain (homo ets homo homini).
9
Kesemuanya ini melekat pada budaya pada suatu entitas sosial dan menjadi energi luar biasa
guna mengembangkan institusi-institusi dan kemampuan berkompetisi secara sehat, guna memperoleh
kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi bersama-sama bagi entitas sosial yang menyandangnya
(Fukyama, 1995).

3
Berbagai tidakan kolektif yang didasari rasa saling mempercayai yang tinggi (high
trust), sebagaimana diungkapkan Putman (1993), akan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi, terutama dalam konteks membangun bersama.
Sebaliknya, kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang berbagai
problematik sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling
mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang
mengancam, sehingga lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi (high cost) bagi
pembangunan.
Fukuyama (1995) meyakini, bahwa trust sangat bermanfaat bagi penciptaan tatatan
ekonomi unggul, oleh karena trust dapat diandalkan untuk mengurangi biaya (cost) dan waktu
(time)10. Oleh karena itu menurut Putman (1993), trust memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi
yang dicapai oleh suatu komunitas (bangsa).
Gambetta (2000) yang mengembangkan pemikiran Fukyama (1995) menyatakan,
bahwa rasa saling percaya dan mempercayai (trust) menentukan kemampuan suatu bangsa
untuk membangun masyarakat dan institusi-institusi di dalamnya guna mencapai kemajuan.
Rasa saling mempercayai ini juga akan mempengaruhi semangat dan kemampuan
berkompetisi secara sehat di tengah masyarakat. Rasa saling percaya ini tumbuh dan berakar
dari niai-nilai yang melekat pada budaya kelompok.
Mengikuti Quinhong Fu (2004) dalam Hasbullah (2006), pada dasarnya trust dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (a) tingkatan individual, (b) tingkatan relasi sosial,
dan (c) tingkatan sistem sosial. Pendapat ini merujuk pada beberapa pandangan sosiolog.
Trust pada tingkatan individual merupakan kekayaan batin, norma, dan nilai individual yang
merupakan variabel personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu11. Trust di dalam
tingkatan relasi sosial, merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok
yang didasari oleh semangat altruism, social resiprocity, dan homo ets homo homini12. Trust
pada tingkatan sistem sosial, merupakan nilai publik komunitas, atau masyarakat, atau
bangsa, yang perkembangnya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada, dimana sistem sosial
tersebut didasari pada nilai-nilai budaya unggul13.

(b) Rentang/Radius Trust


Adapun kekuatan dan kelemahan trust di dalam suatu komunitas (masyarakat atau
bangsa) ditentukan oleh rentang rasa mempercayai (the radius of trust) diantara anggota

10
Di dalam bisnis, trust bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang
mungkin terjadi dalam sebuah perumusan kontrak perjanjian, mengurangi keinginan menghindari
situasi yang tidak terduga, mencegah pertikaian dan sengketa, dan meminimalisasi keharusan akan
proses hukum (Fukyama, 1995).
11
Merujuk Nahapiet dan Ghosal (1998), pada tingkatan individual trust bersumber dari nilai-
nilai, diantaranya dari: (a) agama atau kepercayaan yang dianut, (b) kompetensi seseorang, dan
(c) keterbukaan, yang telah menjadi norma di masyarakat dan diyakini oleh seseorang.
12
Mengikuti Coleman (1999) dan Wolfe (1989), pada tingkatan relasi sosial sumber trust
berasal dari norma sosial yang memang telah melekat pada stuktur sosial komunitas
(masyarakat/bangsa) yang diikat dengan nilai-nilai budaya. Hal ini terutama berkaitan dengan
kepatuhan anggota komunitas terhadap berbagai kewajiban bersama yang telah menjadi kesepakatan
tidak tertulis pada komintas tersebut.
13
Mengikuti Hasbullah (2006) dengan memijam pendapat Putman (1993), di tingkat sistem
sosial trust bersumber dari karakteristik sistem sosial tersebut yang memberi nilai tinggi pada tanggung
jawab sosial setiap anggota komunitas (masyarakat/bangsa).

4
komunitas tersebut (Coleman, 1999). Pada komunitas yang berorientasi inward looking
cenderung memiliki the radius of trust yang pendek (sempit). Sedangkan pada komunitas
yang berorientasi outward looking cenderung memiliki the radius of trust yang panjang
(luas).
Komunitas atau masyarakat yang berorientasi inward looking akan lebih menunjukan
kepada ego kelompok dan berpandangan negatif tentang dunia di luar kelompoknya, atau
negative externality. Kebanyakan komunitas masyarakat tradisional pada umumnya
berorientasi inward looking demikian ini. Menurut Woolcock dan Narayan (2000), pada
dasarnya di tengah-tengah masyarakat tradisional kohesifitas kelompok cukup tinggi,
hubungan antar individu dalam komunitas cenderung kohesif dan solidaritas pun terbangun
dari nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama, akan tetapi miliki radius of trust yang
pendek14.
Dapat dipetik pemahaman di sini, bahwa kekuatan trust salah satu diantaranya akan
terbentuk dari kekuatan kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi di dalam suatu
komunitas (masyarakat). Kekuatan kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi tersebut,
terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama. Akan tetapi tidak
semua bentuk kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi di dalam komunitas dapat menjadi
investasi serta sekaligus membawa kemajuan dan kekayaan ide bagi seluruh kelompok dan
individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal demikian hanya dapat tumbuh pada
komunitas yang memiliki karakteritik rentang rasa percaya (radius of trust) yang panjang
(luas).
Radius of trust yang panjang (luas) hanya dapat dijumpai pada komunitas yang
memiliki kohesifitas dan solidaritas sosial yang tinggi dan memiliki pandangan outward
looking. Yaitu terbuka terhadap harapan-harapan kemajuan dan semangat berkompetisi secara
sehat yang dilandasi nilai universal altruism, social reciprocity, dan homo ets homo homini.

Resources:
•Agama & kepercayaan Resources:
•Kompetensi individu •Norma sosial yang melekat Resources:
•Keterbukaan pada struktur sosial. •Karakteristik sistem sosial.

Tingkatan Tingkatan Tingkatan


Individual Relasi Sosial Sistim Sosial

Contextual Variables:
•Dignity
•Altruism
•Social reciprocity
Collective Action •Trustworthiness Collective Action
14 •Homo est homo hommini
Menangkap yang dimaksudkan Woolcock dan Narayan (2000), bahwa pada dasarnya ego
•Network
kelompok (komunitas) yang berkembang pada kebanyakan komunitas masyarakat tradisional memang
•Institution
pada gilirannya akan dapat membentuk (memupuk) rasa kohesifitas sosial (social cohesivity) dan
solidaritas sosial (social solidarity) yang kuat berdasarkan nilai-nilai yang diakui dan dipercayai
bersama. Akan tetapi nilai-nilai yang diakui dan dipercayai Trust bersama tersebut pada kenyataanya justru
membelenggu, atau menjadi faktor pembatas (constrain) bagi komunitas (kelompok) tersebut untuk
berpandanganRadiuspositif dan
of trust lebih(lebar)
panjang luas terhadap dunia di luar komunitasnya (positive
Radius externality).
of trust pendek (sempit) Senada
dengan hal ini Fukyama (2000) menyatakan, hampir semua bentuk budaya tradisional dengan
Outward looking, No-bonding, No-tight Inward looking, Bonding, Tight group,
masyarakatnya yang tertutup,
group, No-exclusive seperti
networking, No- halnya suku-suku primitif, suku yangnetworking,
Exclusive masih Strong
kuat menganut
budaya klan dan feodal, pada umumnya hidup dan perilaku mereka distinction
strong distinction between insiders and didasarkan oleh
between norma
insiders and bersama
outsiders, dan No-single answer focus outsiders, dan Single answer focus
yang inward looking. Masyarakat yang demikian memang memiliki tingkat kehesifitas dan solidaritas
kelompok yang tinggi, akan tetapi tidak dapat menjadi investasi serta sekaligus membawa kemajuan
dan kekayaan ide bagi seluruh kelompok dan individu Gambar 2 ada dalam masyarakat tersebut.
yang
Performen Trust: Resource, Contextual Variables, dan Radius of Trust

5
Komunitas atau masyarakat yang menyandarkan dinamika kelompok pada group
solidarity atau ethnic solidarity adalah bentuk komunitas yang memiliki radius of trust yang
pendek (sempit). Nilai-nilai yang diakui dan dipercayai bersama yang kemudian menjadi
pengikat kohesifitas dan solidaritas antar anggotanya, adalah bersifat inward looking15. Secara
empirik Fukuyama (1995, 2000) memberikan contoh tentang masyarakat yang memiliki
radius of trust yang pendek (sempit), yaitu masyarakat di negara-negara Amerika Latin16.
Menurut Gambetta (2000), kecenderungan masyarakat yang memiliki radius of trust
yang pendek atau sempit (sebagaimana masyarakat di negara-negara Amerika Latin), adalah
karakteristik dasar pola pergaulan masyarakat yang hidup dalam suasana pengelompokkan
yang terikat (bonding group). Hasbullah (2006) menyatakan, ciri perilaku dan pola interaksi
kelompok masyarakat yang demikian ini adalah kekentalan kelompok (tight group) dengan
jaringan yang eksklusif (exclusive networking), memiliki sikap pembelaan yang kuat antara
orang dalam dan orang luar (strong distinction between insiders and outsiders), serta dalam
hal berbagai urusan biasanya hanya memiliki satu jenis jawaban dari suatu proses
penyelesaian masalah (single answer focus).
Gambaran seperti ini juga masih mewarnai kehidupan banyak komunitas masyarakat
tradisional dan kelompok suku yang ada di Indonesia, dimana nilai yang berasal dari
pengalaman kultural kelompok yang bersifat doxa (sejenis pengalaman budaya dimana norma
dan nilai yang selama ini dianut tanpa perlu dipertanyakan dan senantiasa dianggap sebagai
kebenaran multak), bersifat inward looking dengan radius of trust yang pendek (sempit)17.
Koherensi dan kohesifitas sosial yang terjadi dalam suatu entitas sempit. Jaringan-jaringan
sosial pun tercipta dalam batas-batas lingkaran primordial dan ditujukan terutama hanya

15
Hal demikian akan membatasi kemampuan anggotanya untuk bekerjasama dengan
masyarakat lain dan individu di luar radius kelompoknya. Sikap keseharian terkadang justru diwarnai
oleh semangat kuatnya ego kelompok dan berpandangan negatif tentang dunia di luar lingkup (radius)
komunitasnya.
16
Hasil temuan dari studi yang dilakukannya menyimpulkan bahwa trust yang tumbuh terbatas
di dalam keluarga, sesama keluarga besar mereka, atau dalam lingkaran kecil pertemanan yang bersifat
sangat personal. Apa yang menjadi kebiasaan yang turun-temurun adalah adanya kesulitan bagi
anggota masyarakat untuk saling mempercayai atau memiliki keyakinan bahwa orang-orang yang
berada di luar kelompoknya patut dipercayai dan patut menjadi partner di dalam berbagai urusan.
Orang di luar keluarganya, di luar kelompoknya, atau di luar sukunya, dianggap orang asing yang
memiliki cara hidup kurang dibandingkan dengan cara hidup keluarga, kelompok, atau sukunya. Cara
dan perlaku budaya orang lain, kelompok lain, atau suku lain, dianggap sebagai tidak pada tempatnya
atau kurang pantas. Mereka cenderung memberikan bobot yang rendah terhadap orang lain, kelompok
lain, atau suku lain. Trust yang terbangun cenderung ke arah group solidarity atau ethnic solidarity dan
cenderung kuat menganut budaya klan dan feodal.
17
Masing-masing suku hidup dalam suatu entitas yang inward looking, bonding, tight group,
exclusive networking, strong distinction between insiders and outsiders, dan single answer focus, yang
sekaligus menjadi ciri dari pola budaya sacred society. Pada setiap setting budaya tertanam kuat dan
dipatuhi nilai-nilai formalitas yang berkaitan dengan status sosial dan hierarki sosial. Seorang Ketua
Adat lebih dihormati karena label Ketua Adatnya. Bukannya dihormati karena apa yang telah
dikerjakan oleh seorang Ketua Adat untuk memakmurkan dan menyelamatkan anggota masyarakat
dalam lingkup rentang adat yang dia pimpin.

6
untuk kepentingan ritual dan pelestarian kebiasaan. Bukan ditunjukkan sebagai sesuatu yang
dapat dipandang sebagai aset sosial guna mengembangkan diri untuk mencapai kesejahteraan
bersama.
Setiap kelompok suku dari suatu entitas sosial, perkembangan ide, interpretasi dan
alternatif, selalu terhalangi oleh kelompok elit masyarakat yang memaksakan kepatuhan pada
suatu nilai dan norma yang sebetulnya hanya menguntungan sepktrum sosial atas (kind of
symbolic violence to force people into line)18. Di dalam konteks demikian, pada masyarakat
atau kelompok sosial yang dibentuk memang akan terjadi kohesifitas sosial yang harmonis.
Akan tetapi pada kenyataanya, dengan memijam istilah Hasbullah (2006), hanyalah
merupakan kohesifitas dan harmoni bayang-bayang (semu).
Hasbullah (2006) menyatakan, di dalam konteks Indonesia gerakan socially inward
looking dengan radius of trust yang pendek (sempit) demikian ini tidak hanya berkembang di
sebagian suku-suku di luar Jawa (yang selama ini mengidentifikasikan diri sebagai kelompok
yang teraniaya), melainkan di suku yang memiliki kuantitas anggota yang sangat besar (di
Jawa maupun di luar Jawa). Hal ini mungkin sejalan dengan yang dituliskan oleh Mahatir
Mohamad (mantan PM Malaysia) di dalam bukunya ‘Malay Dilemma’, bahwa apa yang baik
bagi orang Melayu adalah what is proper not what is pleasant19.

6 Partisipasi dalam Suatu Jaringan


Kemampuan anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola
hubungan yang sinergis, akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat atau
tidaknya modal sosial yang terbentuk/terbangun (Hasbullah, 2006). Kemampuan tersebut
adalah kemampuan untuk ikut berpartisipasi guna membangun sejumlah asosiasi berikut
membangun jaringannya melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan
dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesaamaan (equality), kebebasan (freedom),
dan keadaban (civility).
Partisipasi dan jaringan hubungan sosial yang terbentuk biasanya akan diwarnai oleh
suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok
masyarakat tradsional biasanya partisipasi dan jaringan hubungan sosial yang terbentuk
didasarkan pada kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun-
temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada demensi religius
(religious beliefs).
Sebaliknya pada kelompok masyarakat yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi
dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat
partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang luas. Pada tipologi
kelompok masyarakat yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri

18
Konsep baik, terutama kapan seorang disebut baik, bukan terletak pada perilaku orang
tersebut yang sejalan dengan nilai-nilai universal, melainkan apakah orang atau individu tersebut
memiliki atau menunjukkan perilaku yang sesuai atau tidak dengan tuntutan adat. Nilai-nilai universal
tersebut diantaranya adalah harkat diri (dignity), semangat kemanusian yang jujur (altruism), semangat
saling membantu (social reciprocity), semangat yang amanah (trustworthiness), dan semangat untuk
tidak menzolimi orang lain (homo est homo hommini), terasa kelihatan sangat tipis. Pola ini berlanjut
ke kehidupan yang lebih modern, dimana asosiasi, kelompok, organisasi yang berorientasi pada
penguatan kesejahteraan sekalipun, pada gilirannya memiliki setting koherensi dan kohesifitas sosial
yang bersifat emosional identitas (bonding).
19
Pandangan yang cenderung inert telah menjadi pandangan kolektif masyarakat, yang
menjadikan mereka semakin sulit keluar dari lingkungan budaya yang terkungkung. Semakin sulit
untuk merangsang tumbuhnya budaya kelompok yang menyatukan ide dan pemikiran untuk
memperkaya kehidupan sosial, emosional dan kesejahteraan sosial.

7
pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan lebih banyak menghadirkan dampak positif
bagi kemajuan kelompok masyarakat tersebut maupun kontribusinya dalam pembangunan
masyarakat secara luas20.

6 Saling Tukar Kebaikan (Resiprocity)


Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan
(reiprocity) antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri di dalam
masyarakat (Hasbullah, 2006). Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara
seketika seperti halnya proses jual-beli, akan tetapi merupakan suatu kombinasi jangka
pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan
mementingkan kepentingan orang lain). Di dalam konsep religius keagaamaan (Islam),
semangat semacam ini disebut sebagai ’keikhlasan’ (ikhlas).
Pada masyarakat atau pada kelompok sosial yang terbentuk yang didalamnya
memiliki bobot resiprositas kuat, akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat
modal sosial tinggi (kuat). Hal ini juga akan terefleksikan dengan tingkat kepedulian sosial
yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. Pada masyarakat yang demikian ini
berbagai problem sosial akan dapat diminimalkan dan masyarakat akan lebih mudah
membangun diri, kelompok, lingkungan sosial serta fisik mereka secara mengagumkan.
Akan tetapi pada suatu kelompok masyarakat yang memiliki tingkat resiprositas yang
kuat, belum tentu dapat memiliki dampak positif yang cukup besar bagi kelompok masyarakat
lainnya. Hal ini akan tergantung pada sifat-sifat dan orientasi nilai yang berkembang di dalam
masyarakat tersebut. Pada tipologi masyarakat yang relatif relatif tertutup, resiprositas yang
kuat akan bernilai positif untuk lingkungan sosial setempat (lingkungan sosialnya sendiri),
akan tetapi belum tentu menghasilkan nilai positif bagi kelompok masyarakat yang lain.
Sebaliknya pada tipologi masyarakat yang memiliki yang relatif terbuka, resiprositas yang
kuat akan memberikan dampak positif yang lebih luas, baik untuk lingkungan sosial setempat
(lingkungan sosialnya sendiri) dan juga untuk kelompok masyarakat yang lain.

6 Norma-Norma Sosial (Social Norms)


Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku
yang tumbuh dalam masyarakat. Menurut Hasbullah (2006), pengertian norma itu sendiri
adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada
suatu entitas (kelompok) tertentu. Norma-norma ini terinstusionalisasi dan mengandung
sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan
yang berlaku di masyarakat. Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, akan tetapi
dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang
diharapkan dalam konteks hubungan sosial. Aturan-aturan kolektif itu misalnya menghormati
pendapat orang lain, tidak mencurangi orang lain, kebersamaan dan lainnya.
Apabila di dalam suatu komunitas masyarakat, asosiasi, group, atau kelompok,
norma-norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat, maka akan memperkuat masyarakat
itu sendiri. Inilah alasan mengapa norma-norma sosial merupakan salah satu unsur modal
sosial yang akan merangsang keberlangsungan kohesifitas sosial yang hidup dan kuat. Akan
tetapi juga harus dipahami bahwa norma-norma sosial ini senantiasa memiliki implikasi yang
ambivelen. Sebagai contoh, norma formality yang dianut kuat di dalam masyarakat Melayu

20
Hal yang sebaliknya biasanya akan terjadi pada tipologi kelompok masyarakat tradisonal
yang partisipasi dan jaringan hubungan sosial yang terbentuk didasarkan pada kesamaan garis
keturunan, pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun, dan kesamaan kepercayaan pada demensi
religius.

8
pada umumnya, memang dapat menciptakan suasana khidmat dalam hubungan sosial antar
anggota kelompok atau sesama anggota masyarakat, akan tetapi di sisi lain cenderung tidak
merangsang munculnya ide-ide baru21.

6 Nilai-Nilai Sosial (Social Value)


Nilai sosial adalah suatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting
oleh anggota kelompok masyarakat (Hasbullah, 2006). Misalnya nilai ’harmoni’, ’prestasi’,
’kerja keras’, ’kompetisi’ dan lainnya adalah merupakan contoh-contoh nilai yang sangat
umum dikenal di dalam kehidupan masyarakat. Nilai sosial senantiasa juga memiliki
kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmoni misalnya, yang oleh banyak pihak
dianggap sebagai pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang tercipta, akan tetapi
di sisi lain dipercaya pula senantiasa menghasilkan suatu kenyataan yang menghalangi
kompetisi dan produktivitas.
Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmoni biasanya akan
senantiasa ditandai oleh suatu suasana yang rukun, akan tetapi terutama dalam kaitannya
dengan diskusi pemecahan masalah misalnya, akan tidak produktif. Modal sosial yang kuat
juga ditentukan oleh nilai sosial yang tercipta dari suatu kelompok masyarakat demikian ini.
Apabila suatu kelompok masyarakat memberikan bobot yang tinggi pada nilai-nilai:
kompetisi, pencapaian, keterus-terangan, dan kejujuran, maka kelompok masyarakat tersebut
cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan pada kelompok masyarakat
yang senantiasa menghindari keterus-terangan, kompetisi, dan pencapaian22.

KESIMPULAN

Berdasarkarkan paparan sebelumnya dapat diambil beberapa poin simpulan antara


lain:
(1) Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust), atau dapat
dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition)
dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu
masyarakat (atau bangsa).
(2) Trust dapat didefinisikan sebagai rasa saling mempercayai antar individu dan antar
kelompok di dalam suatu masyarakat (atau bangsa) yang dibangun oleh norma-norma
nilai-nilai luhur yang melekat pada budaya masyarakat (atau bangsa) tersebut.

21
Hal tersebut dapat terjadi karena semua bentuk hubungan lebih mengutamakan kulit luar,
yaitu suatu label ketimbang pada demensi substansi isinya. Seorang Kepala Pemerintahan misalnya,
akan dipandang sebagai penguasa dan secara formal lebih menonjolkan label penguasanya bukan pada
muatan tanggung jawab pemerintahan dan sosial yang disandangnya. Oleh karena itu konfigurasi
norma yang tumbuh di tengah masyarakat juga akan menentukan apakah norma tersebut akan
memperkuat keeratan hubungan antar individu dan memberikan dampak positif bagi perkembangan
masyarakat tersebut.
22
Pada setiap kebudayaan, biasanya terdapat nilai-nilai sosial tertentu yang mendominasi ide
yang berkembang. Dominasi ide tertentu dalam mayarakat akan membentuk dan mengurangi aturan-
aturan bertindak masyarakatnya (the rules of conducts) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of
behaviors) yang sama-sama menurut istilah para sosiolog membentuk pola-pola kultural (cultural
patten). Nilai-nilai individualistik, kecurigaan, dan konflik yang berkembang di masyarakat dapat
mereduksi potensi modal sosial yang berkembang di masyarakat tersebut. Sedangkan nilai
kebersamaan, tenggang rasa, dan penghormatan yang berkembang dimasyarakat akan dapat
menguatkan potensi modal sosial yang ada di masyarakat tersebut.

9
(3) Kekuatan dan kelemahan trust di dalam suatu masyarakat (atau bangsa) ditentukan oleh
rentang rasa mempercayai (the radius of trust) diantara anggotanya, dimana pada
komunitas yang berorientasi inward looking cenderung memiliki the radius of trust
yang pendek (sempit), sedangkan pada komunitas yang berorientasi outward looking
cenderung memiliki the radius of trust yang panjang (luas).
(4) Unsur-unsur yang juga tidak kalah pentingnya dalam membentuk terbentuk atau
terbangunnya kekuatan modal sosial di suatu masyarakat (atau bangsa), atau dapat
dikatakan sebagai syarat kecukupan (sufficiency condition) adalah: (a) partisipasi dalam
jaringan sosial (participation and social net work), (b) saling tukar kebaikan
(resiprocity), (c) norma sosial (social norm), (d) nilai-nilai sosial, dan (e) tindakan
yang proaktif.

DAFTAR PUSTAKA

Brehm, J., W. Rahm. 1997. Individual-Level Evidence for the Causes and Consequences of
Social Capital. American Journal of Political Sciences, 41(3), July, 999-103. In
Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Coleman, J., 1999. Social Capital in the Creation of Human Capital. Cambridge Mass:
Harvard University Press.
Dasgupta, P. 2002. Social Capital and Economic Performance: Analytics, 1-31 (Revised and
abridged version of: Partha Dasgupta 2000). In Elinor Ostrom and T.K. Ahn.
2003. Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing
Limited.
Durkheim, E. 1973. Moral Education: Study in the Theory and Application of the Sociology
of Education. New York: Free Press.
Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York:
Free Press.
---------------. 1995. Social Capital and The Global Economy. Foreign Affairs, 74(5), 89-103.
In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
--------------. 2000. Social Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working
Paper, WP/00/74, 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of
Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Gambetta, D. 2000. Trust: Making and Breaking Cooperative Relations. Electronic Edition.
Chapter 13. Oxford: Department Sociology, University of Oxford, 213-37. In
Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
---------------. 2000. Can We Trust Trust ?. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation
of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta:
MR-United Press.
Nahapiet.J., Ghosal S. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and The Organization
Advantage. The Academy of Management Review, 23(2): 242-276.
Putnam, R.D. 1992. The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. American
Prospect, 13, Spring, 35- 42. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003.
Foundation of Social Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing
Limited.

10
--------------. 1993. Making Democracy Work: Civil Tradition in Modern Italy. Princeton:
Princeton University Press.
Quinhong Fu. 2004. Trust, Social Capital, and Organizational Effectiveness. Blacksburg, VA,
April 2004.
Woolcock, M. 1998. Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical
Synthesis and Policy Framework. Theory and Society, 27 (1),151-208. In
Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.
----------------, D. Narayan. 2000. Social Capital: Implication for Development Theory,
Research, and Policy. World Bank Research Observer, 15(2), August, 225-49.
In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital.
Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

11

Anda mungkin juga menyukai