Anda di halaman 1dari 11

Laskar Pelangi

Novel “Laskar pelangi” ,Ini kisah nyata tentang sepuluh anak kampung di Pulau Belitong,
Sumatera. Mereka bersekolah di sebuah SD yang bangunannya nyaris
rubuh dan kalau malam jadi kandang ternak. Sekolah itu nyaris ditutup
karena muridnya tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal.

“Laskar Pelangi” Pada hari pendaftaran murid baru, kepala sekolah dan ibu guru satu-
satunya yang mengajar di SD itu tegang. Sebab sampai siang jumlah
murid baru sembilan. Kepala sekolah bahkan sudah menyiapkan naskah
pidato penutupan SD tersebut. Namun pada saat kritis, seorang ibu
mendaftarkan anaknya yang mengalami keterbelakangan mental. ”Mohon
agar anak saya bisa diterima. Sebab Sekolah Luar Biasa hanya ada di
Bangka,” mohon sang ibu. Semua gembira. Harun, nama anak itu,
menyelamatkan SD tersebut. Sekolah pun tak jadi ditutup walau
sepanjang beroperasi muridnya cuma sebelas.

“Laskar Pelangi” Kisah luar biasa tentang anak-anak Pulau Belitong itu diangkat dalam
novel dengan judul ‘Laskar Pelangi’ oleh Andrea Hirata, salah satu
dari sepuluh anak itu. Di buku tersebut Andrea mengangkat cerita
bagaimana semangat anak-anak kampung miskin itu belajar dalam segala
keterbatasan. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing,
atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang
hingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama.

Laskar Pelangi

Kisah yang tadinya bukan untuk diterbitkan itu ternyata mampu


menginspirasi banyak orang. Seorang ibu di Bandung, misalnya,
mengirim surat ke Kick Andy. Isinya minta agar kisah tersebut
diangkat di Kick Andy karena anaknya yang membaca buku “Laskar Pelangi”
kini bertobat dan keluar dari jerat narkoba. ”Setiap malam saya
mendengar suara tangis dari kamar Niko anak saya. Setelah saya intip,
dia sedang membaca sebuah novel. Setelah itu, Niko berubah. Dia jadi
semangat untuk ikut rehabilitasi. Kini Niko berhasil berhenti sebagai
pecandu narkoba setelah membaca buku “Laskar Pelangi” ungkap
Windarti Kosasih, sang ibu.
Sementara Sisca yang hadir di Kick Andy mengaku setelah membaca novel
itu, terdorong untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ayah yang
selama ini rusak. Begitu juga Febi, salah satu pembaca, langsung
terinspirasi untuk membantu menyumbangkan buku untuk sekolah-sekolah
miskin di beberapa tempat. ”Saya kagum karena anak-anak yang
diceritakan di buku itu penuh semangat walau fasilitas di sekolah itu
jauh dari memadai,” ujar Febi yang juga datang ke Kick Andy untuk
bersaksi.

Andrea Hirata sendiri mengaku novel “Laskar Pelangi” awalnya hanya merupakan catatan
kenangannya terhadap masa kecilnya di Belitong. Dia selalu teringat
sahabat-sahabatnya di masa kecil, terutama Lintang. Sebab tokoh
Lintang merupakan murid yang cerdas dan penuh semangat walau hidup
dalam kemiskinan. Setiap hari Lintang harus mengayuh sepeda tua yang
saering putus rantainya ke sekolah. Pulang pergi sejauh 80 km. Bahkan
harus melewati sungai yang banyak buayanya.

Bisa jadi hari ini menjadi hari yang bersejarah dalam hidup saya kaitannya dengan dunia
sastra khususnya perubahan perspektif saya terhadap novel sebagai sebuah karya sastra. Ironi
memang, latar belakang pendidikan di fakultas sastra tidak lantas otomatis menjadikan saya
suka membaca karya fiksi khususnya novel. Malah antagonis sekali, saya menjadi seseorang
yang sama sekali tidak ada minat sekalipun membaca novel. Entah mengapa, yang jelas saya
tidak tertarik untuk tahu imaginasi2 orang lain yang dituangkan dalam novel fiksi. Saya
sering heran sendiri kenapa orang sampai rela membaca novel fiksi yang tebalnya terkadang
terlihat mengerikan.

Sampai hari ini ketika secara tidak sengaja saya ‘berkenalan’ dengan sesuatu yang bernama
novel. Gara2nya saluran TV kabel di apartemen mengalami kerusakan sehingga baca2 buku
menjadi sebuah alternatif. Saya penasaran melihat istri yang membaca sebuah novel. Sang
Pemimpi judulnya, sebuah novel karya Andrea Hirata. Novel keduanya yang merupakan
rangkaian tetralogi Laskar Pelangi. Pertama lihat saya sudah apriori dan bergumam dalam
hati, buang2 waktu saja. Pastilah penuh bualan2 imaginasi, fikir saya.
Ternyata novel tersebut sama sekali lain dari asumsi saya yang cenderung negatif. Sungguh
luar biasa, saya yang sedari dulu sangat anti membaca novel, sekarang menjadi tertarik untuk
membaca novel Sang Pemimpi. Bab demi bab (mosaic) saya baca dengan penuh antusias dan
saya seakan larut dengan jalan cerita novel tersebut. Penyajian dan pilihan kata2nya menarik
sekali. Terkadang saya tertawa terbahak2 dan terkadang menjadi sedih. Novel tersebut
berkisah tentang perjalanan hidup (masa SMA) tiga orang sahabat (Ikal, Arai dan Jimbron)
yang hidup di sebuah kampung miskin dalam mengejar impian mereka, sekolah ke Perancis
dan menjelajah Eropa sampai Afrika.

Novel tersebut ternyata tidak berisi bualan2 imaginasi semata tetapi penuh inspirasi dan juga
pesan moral tentang kehidupan, nilai2 sosial yang menggugah semangat dan juga satire2
terhadap pemimpin2 bangsa yang dibungkus dengan scene2 komedi yang apik. Kekuatan
karakter ketiga tokoh sangat terasa sekali. Pada titik tertentu, membaca novel ini seakan
membaca sebuah buku motivasi yang disajikan dengan sangat cerdas tanpa dipenuhi dengan
bahasa2 tipikal buku pendorong motivasi. Ekstremnya so to speak, sehabis membaca novel
ini, kepala saya kok menjadi ‘ringan’ seakan seperti mendapat sesuatu yang besar dari novel
tersebut. Beberapa quote2 dari novel tersebut bisa membakar semangat dan menuntun kita ke
arah tingkat ‘kesadaran’ yang lebih tinggi.

Pun novel ini ada sedikit kekurangan menurut saya. Di awal2 cerita, penggambaran
tokoh2nya detail sekali. Tentang masa2 sulit yang dialami ketiga tokoh tersebut. Alur cerita
bergerak lambat dan membuat saya menjadi ‘frustasi’ tentang what is next. Kontradiksinya
adalah pada pertengahan cerita sampai akhir, alur cerita seakan dibuat begitu cepat.
Pengarang terkesan cepat2 ingin mengakhiri cerita. Saat tokoh2 itu ke Jakarta, dapat kerja,
bisa kuliah dan dapat beasiswa. Semuanya digambarkan begitu ‘lurus-lurus’ saja dan
terburu2. Serba cepat, serba indah dan banyak faktor2 bermunculan yang semuanya
mengarah ke satu hal yang sama: happy ending. Rasanya tidak seimbang dengan alur cerita
pada bab2 awal. Terlepas dari alur yang tidak seimbang itu, novel Sang Pemimpi menjadi
bahan bacaan yang penuh inspirasi, menggugah semangat dan gilanya lagi, novel itu bisa
menjadi ‘terapi’ atas beberapa potongan2 kecil dalam perjalanan hidup saya.

Ebook Edensor Lengkap (Full Version)


May 8, 2008 · Posted in Ebooks 
WOW ! MUDAH SEKALI CUKUP GABUNG DAPAT PASSIVE
MENDAPATKAN 1,5 JUTA DALAM 1 INCOME
HR
TANPA BUAT WEB SUKSES DI MUDAH DIJALANKAN DAn COCOK
iNTERNEt Untuk Pemula
WOW ! MUDAH SEKALI
MENDAPATKAN 1,5 JUTA DALAM 1
HR
Dg HANPHONE hasilkan Jutaan Rupiah SAYA MENGHASILKAN UANG
Rp.5.115.206 DALAM 1 HARI
CUkup Dengan 1 langkah hasil jutaan
Rupiah
Solusi Pasti Raih Bebas Finansial
ANEKA APLIKASI FULL VERSION !!
KumpulBlogger.com

Guys… Satu lagi ebook dari koleksi tetralogi Laskar Pelangi


karya om Andrea Hirata sudah bisa kamu download dan baca sampe tamat. Ebook ini
adalah Lanjutan dari Ebook Laskar Pelangi dan Ebook Sang Pemimpi. Yups that’s right.
Ini adalah ebook Edensor. Seri ketiga dari empat buku tetralogi Laskar Pelangi.

Setting cerita Edensor sangat berbeda dengan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Kali ini
om Andrea Hirata mengambil setting di luar negeri saat tokoh-tokoh utama dari Tetralogi
Laskar Pelangi, yaitu Ikal dan Arai, mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Inggris dan
Prancis.

Dalam novel Edensor ini, om Andrea Hirata semakin menunjukkan ciri khasnya yang
mapan dalam mengelola kisah sedih berupa ironi menjadi parodi yang jenaka namun pasti
akan menggugah para pembaca. Om Andrea Hirata berusaha mengajak pembaca
menertawakan kesedihan yang masih terus berlanjut namun diiringi dengan pandangan-
pandangan yang smart ketika kedua tokoh utama dari novel Tetralogi Laskar Pelangi,
yaitu Ikal dan Arai yang berasal dari pedalaman Melayu di Pulau Belitong “gelagapan”
karena tiba-tiba berada di Paris.

Sedikit petikan cerita dalam novel edensor ini yang cukup mengesankan bagiku adalah
kutipan dibawah ini. Kata-kata dalam kutipan inilah yang memacu semangat mereka hingga
bisa mendapatkan beasiswa dan “nyasar” ke negeri orang:

“AKU ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda
marabahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa
pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat
disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu
sama lain seperti benturan molekul uranium: Meletup tidak terduga-duga, menyerap,
mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan.”

“Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing.
Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin
mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam
angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh
dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!”

Read more… Download the ebook

Ayat ayat cinta adalah sebuah novel 411 halaman yang ditulis oleh seorang novelis muda
Indonesia kelahiran 30 September 1976 yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Ia
adalah seorang sarjana lulusan Mesir dan sekarang sudah kembali ke tanah air.

Sepintas lalu, novel Ayat ayat cinta seperti novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba
menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata
novel Ayat ayat cinta merupakan gabungan dari novel Islami, budaya dan juga novel cinta
yang banyak disukai anak muda. Dengan kata lain, novel Ayat ayat cinta merupakan sarana
yang tepat sebagai media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih
banyak tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi penerus
bangsa.

Habiburrahman El Shirazy, penulis novel Ayat ayat cinta, berhasil menggambarkan latar
(setting) sosial-budaya Timur Tengah dengan sangat hidup tanpa harus memakai istilah-
istilah Arab. Bahasanya yang mengalir, karakterisasi tokoh-tokohnya yang begitu kuat, dan
gambaran latarnya yang begitu hidup, membuat kisah dalam novel Ayat ayat cinta terasa
benar-benar terjadi. Ini contoh novel karya penulis muda yang sangat bagus!

Ayat Ayat Cinta membawa gw ke ke masa-masa kuliah, saat gw


berkomentar bahwa seorang Fahri itu too good to be true, yang kemudian berlanjut ke
khayalan “Kapan ya bisa kayak Fahri?”.

Terlepas dari kejanggalan seringnya penggunaan bahasa Indonesia di film itu -yang gw
maafkan dengan berasumsi filmnya menggunakan tahu penterjemah Doraemon-, film Ayat-
Ayat Cinta itu TE-O-PE-BE-GE-TE Baik dari segi cerita, sinematografi, dan penataan
musiknya. Gw merinding pada adegan Aisha membuka cadar di depan Fahri pada saat taaruf
dengan diiringi denting gitar Ayat Ayat Cinta. Kumandang suara Uje dan Emha juga kerap
bikin bulu kuduk meremang. Ini nonton horor apa drama si?

Setelah menonton film Ayat ayat cinta, beberapa orang merasa ingin menikah. Sementara
gw lebih merasa ingin tobat! Pertanyaan di bangku kuliah itu muncul lagi. Tapi kali ini gw ga
merasa Fahri itu sosok sempurna. Setiap orang bisa koq kayak dia. Masalahnya gw yang
ngerasa kadar keimanan gw tidak berubah banyak 2 tahun ini, justru agak-agak menurun.
Kalau denger gosip asrama lantai 5 ada hantunya, Alhamdulillah penghuni kamar kami tidak
diganggu. Mungkin karena embahnya hantu ada di kamar itu, huehehehehee..

Bagi gw, masih jauh banget jalannya jadi orang sekualitas Fahri dan mungkin gw ga bakal
bisa -gw ga bisa untuk menatap wanita cantik beberapa detik saja, dan lantas mengucapkan
Astaghfirullah hihihihi-. Tapi setidaknya, tokoh Fahri dan film Ayat Ayat Cinta mencambuk
sisi spiritualitas gw. Bahwa ada cinta yang lebih terasa sempurna, jika kita sabar, ikhlas, dan
mengikuti aturanNya.

RUSTAM A. SANI
(Rustam bin Abdullah Sani)

LAHIR : 11 Ogos 1944 di Ipoh, Perak Darul Ridzuan.


ALAMAT : 7519, Jalan Bukit Lela, Gombak, 53100 Kuala Lumpur.

RUSTAM banyak menghasilkan  puisi dan juga memberikan sumbangan yang besar dalam kesusasteraan Melayu dari segi terjemahan.  Selain
menterjemahkan Sastera Baru Indonesia, beliau juga menterjemahkan karya-karya kreatif dari negara-negara asing.  Usaha-usaha ini tidak syak
lagi memberi faedah kepada pembaca yang kurang pengetahuan dalam bahasa Inggeris untuk menikmati dan mengetahui karya-karya bermutu
dari luar negara.

Rustam menerima pendidikan dasar di Sekolah Kebangsaan Behrang Hulu, Tanjong Malim (1951-1955) dan menengah Inggeris di Methodist
English School, Tanjong Malim (1956-1963) dan di Victoria Institution, Kuala Lumpur (1963-1964), sebelum melanjutkan pengajiannya di
Universiti Malaya, Kuala Lumpur, dengan memperoleh ijazah Sarjana Muda Sastera (1970).  Selepas itu, beliau melanjutkan pengajian bagi
mendapatkan Diploma Sosiologi di Universiti Reading, England (1973) dan seterusnya menamatkan pengajian sarjananya dalam Pengajian Asia
Tenggara di Universiti Kent, England (1975).  Pada tahun 1978, beliau berangkat ke Amerika untuk meneruskan pengajiannya di Universiti Yale,
dan memperoleh ijazah Sarjana sastera (1981) dan Sarjana Falsafah (1982) dalam bidang Sosiologi Politik.  Pada tahun 1991, beliau menjadi
peserta dalam Program Kajian Antarabangsa tentang Penyelesaian Konflik di Universiti Uppsala, Sweden.

Rustam pernah bertugas sebagai editor di Oxford University Press, Kuala Lumpur (1970-1971) dan sebagai Penolong Pendaftar (Akademik dan
Rekod) Universiti Malaya.  Beliau juga pernah menjadi pensyarah (penterjemahan) di Pusat Bahasa, Universiti Malaya sebelum bertugas sebagai
pensyarah di Universiti Kebangsaan Malaysia.  Mulai tahun 1984, beliau menjadi Ketua Jabatan Antropologi dan Sosiologi dan kemudiannya
menjadi Profesor Madya di Jabatan Sains Politik di universiti yang sama.  Setelah itu, beliau memegang jawatan Fellow Kanan, Pengarah
Penerbitan dan Ketua Editor di Institut Kajian Strategik dan Antarabangsa (ISIS) Malaysia.

Sumbangan Rustam yang penting selain puisi adalah dalam bidang terjemahan.  Beliau menguasai kedua-dua bahasa Melayu dan Inggeris
dengan baik, dan beliau telah berjaya meningkatkan usaha penterjemahan karya sastera secara lebih profesional dan bertanggungjawab.  Hasil
terjemahannya seperti Gasper Ruiz, Istana Impian dan beberapa buah cerpen dalam Shoji, telah berjaya mendekatkan pembaca kepada karya-
karya terpilih dari luar negara.

Walaupun Rustam pernah menulis cerpen dan memenangi hadiah RM100.00 peraduan mengarang mingguan anjuran Berita Harian, namun
Rustam lebih berminat dan memperlihatkan kebolehannya dalam bidang puisi.  Rustam mula menulis puisi sejak tahun 1961 dan sehingga tahun
1974, beliau telah menghasilkan tidak kurang daripada 40 buah puisi yang kemudiannya dimuatkan dalam Riak-riak Kecil, kumpulan puisi yang
kemudiannya dimuatkan dalam Riak-riak Kecil, kumpulan puisinya yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1977.

Riak-riak Kecil yang mengandungi 39 buah puisi, merupakan tanggapan, kesan dan pengalaman Rustam terhadap manusia dan kemanusiaannya,
sama ada yang berpura-pura atau jujur.  Walaupun kumpulan ini bukan terdiri daripada puisi-puisi protes terhadap gejala-gejala yang tidak
disenangi oleh Rustam di dalam masyarakatnya, namun puisi-puisi itu mengandungi nada protes, yakni salah satu unsur yang terdapat dalam
puisi-puisi seangkatannya.  Puisi-puisi ini telah ditulisnya semasa berada di Eropah dan di tanah air.

Sebagai seorang tokoh yang berkecimpung dalam bidang penyelidikan dan pengajian tinggi, Rustam banyak melibatkan diri dalam bidang sosial
dan pendidikan.  Sumbangan pemikirannya terhadap pergolakan yang berlaku dalam dunia pendidikan banyak disalurkannya melalui rencana dan
kertas-kertas kerja yang dikemukakan dalam pertemuan-pertemuan, seminar, kongres dan sebagainya.  Beliau sering diundang untuk
membentangkan kertas-kertas kerja terutamanya yang berhubung dengan masalah pendidikan.  Dalam Seminar Pendidikan Umum Kurikulum
Baru Sekolah Menengah yang berlangsung pada tahun 1985, beliau telah mengeluarkan kertas kerja bertajuk “Literasi Sains Sosial dalam
Kurikulum Baru Sekolah Menengah: Satu Pandangan Umum”.  Sebelum itu, dalam Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu ke-IV yang
berlangsung di Kuala Lumpur pada bulan Disember 1984, Rustam telah membentangkan kertas kerjanya bertajuk “Dewan bahasa dan Pustaka:
Matlamat Asalnya dan Perkembangannya Masa Kini”.  Selain dua kertas kerja tersebut, kertas kerjanya yang lain banyak menimbulkan
perbincangan dan reaksi di kalangan para peserta.  Dalam Majlis Konvokesyen Universiti Kebangsaan Malaysia yang ke-13 pada tahun 1985,
Rustam telah menyampaikan Pidato Umum Penganugerahan Ijazah Kehormat Doktor Persuratan yang diterima oleh Kassim Ahmad.  Beliau juga
menjadi pemidato untuk menulis penganugerahan Ijazah Kehormat Doktor Persuratan yang diterima oleh Kassim Ahmad.  Beliau juga menjadi
pemidato untuk majlis penganugerahan gelar Tokoh Pembaca kepada Anwar Ibrahim anjuran Majlis Kemajuan Buku Malaysia pada tahun 1988.

Rustam pernah menerima beberapa anugerah dan biasiswa.  Dalam tahun 1966, misalnya, beliau menerima Oxford University Press Meritorious
Service Award dan selepas itu pihak OUP telah menghulurkan biasiswa kepada beliau untuk melanjutkan pengajiannya di Universiti Malaya (1967-
1970).  Beliau juga telah terpilih untuk menerima zamalah Fulbright-Hays untuk pengajian siswazahnya di Universiti Yale, Amerika Syarikat
(1978-1981).  Beliau merupakan penerima Hadiah Sastera Malaysia dalam Kategori “Esei dan Kritik” untuk tahun 1988-1989.

Rustam banyak memberikan sumbangan sebagai penulis kolum dan penulis rencana tentang pelbagai isu sosial, politik, dan ekonomi, di akhbar-
akhbar.  Beliau pernah menulis tetap dalam bahasa Inggeris dalam majalah The Edge dan dalam bahasa Melayu dalam Dewan Masyarakat, dan
sejak beberapa tahun lalu beliau menjadi penulis kolum mingguan dalam Utusan Malaysia. Selain itu, beliau menyumbang rencana dalam bahasa
Inggeris dan Melayu kepada penerbitan-penerbitan seperti New Straits Times, Business Times (Singapura), Berita Harian, dan ISEAS Trends
(Singapura).

Beliau mempunyai pengalaman luas mengedit jurnal-jurnal akademik seperti Akademika, Jurnal Antropologi dan Sosiologi, dan Dewan
Masyarakat.  Beliau juga menjadi Editor Perunding, jurnal akademik tiga bulanan, Pemikiran yang diterbitkan oleh Utusan Melayu Berhad.  Beliau
juga telah banyak mengedit buku-buku dalam bidang sains sosial.

Rustam A. Sani banyak terlibat dalam kegiatan dan pertubuhan-pertubuhan yang bercorak akademik mahupun yang berhubung dengan kegiatan
sastera dan penerbitan.  Beliau adalah salah seorang Wakil Senat, Jawatankuasa Persidangan UKM (1985-1986), panel hakim Anugerah Buku
Majlis Kemajuan Buku Malaysia (1982 dan 1984), panel Hadiah Sastera Malaysia 1983/84. Ketua Editor Akademika, UKM (1976-1978), editor
Jurnal Antropologi dan Sosiologi, UKM (1982 dan 1985), editor ilmu Masyarakat, Jurnal persatuan Sains Sosial Malaysia.  Pada tahun 1998, beliau
terpilih menjadi Timbalan Presiden, Persatuan Sains Sosial Malaysia, di samping memegang beberapa jawatan lain dalam pelbagai jawatankuasa,
di Malaysia dan di luar negara.

KARYA
Puisi 
Kuala Lumpur (antologi bersama), Kuala Lumpur: GAPENA, 1975, 57 hlm.

Riak-riak Kecil, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,  1977, 41 hlm,

Puisi-puisi Nusantara (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981, 294 hlm.

Tinta Pena (antologi bersama), Kuala Lumpur: PENA, 1981, 631 hlm.

Lagu Kehidupan (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983, 302 hlm.

Bintang Mengerdip (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, 75 hlm.

Kumpulan Puisi Malaysia/Malaysian Poetry 1975 – 1985 (antologi bersama), Kuala Lumpur:  Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 167 hlm.

Puisi Baharu Melayu 1961-1986 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 941 hlm.

Malaysia dalam Puisi (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, 316 hlm.
Suara Rasa/Voice From Within (antologi bersama), Kuala Lumpur: Maybank, 1993, 228 hlm.
Terjemahan
Shoji, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1961, 149 hlm.

Gaspar Ruiz, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1967, 111 hlm.

Ikhtisar Sejarah Islam/M.A. Rauf, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1967, 139 hlm.

Istana Impian, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1967, 227 hlm.

Sastera Baru Indonesia/A. Teeuw (bersama Asraf), Kuala Lumpur: Penerbitan Universiti Malaya, 1970, 292 hlm.

Pengantar Asas Statistik/Freeman Elzey (bersama Muhammad Hj. Yusof), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983, 76 hlm.

Umum
Pendidikan Tatarakyat Baru Dewan untuk Tingkatan Empat (bersama A. Rahman Arshad, Asraf dan Awang Sariyan), Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1977, 123 hlm.
Pendidikan Tatarakyat Baru Dewan untuk Tingkatan Lima (bersama A. Rahman Arshad,, Asraf dan Awang Sariyan), Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1978, 125 hlm.
Antropologi Sosiologi di Indonesia dan Malaysia: Teori, Pengembangan dan Penerapan (diedit bersama Judistira K. Garna), Bangi: Beberapa
Persoalan Sosiobudaya, Kuala Lumpur: ISIS Malaysia, 1992, 15 hlm.
Politik dan Polemik Bahasa Melayu, Kuala Lumpur: UPED Sdn. Bhd., 1993, 151 hlm.

Melayu Baru dan Bangsa Malaysia: Tradisi Cendekia dan Krisis Budaya, Kuala Lumpur: UPED Sdn. Bhd., 1993, 121 hlm

Perceiving `National Security’ (bersama beberapa sarjana Australia dan Jepun), Sydney: Academy of Social Science, Australia, 1994, 36 hlm.

  Dikemaskini pada 25 Nov 2008


KOLEKSI KARYA TERAKHIR RUSTAM A. SANI

Tajuk: Ketemu di Alur Zaman


Penulis: Rustam A. Sani
Penerbit: Media Icon Sdn Bhd
Tahun Terbit: 2009
Halaman: 77 halaman

KEMATIAN seorang pengarang atau ilmuan tidak bererti pengakhiran segala bagi dirinya. Seperti
kata pepatah harimau mati meninggalkan belang dan seorang pengarang atau ilmuan pula pastilah
akan meninggalkan karyanya.

Apa lagi bagi seorang tokoh seperti Allahyarham Rustam A. Sani, yang tidak sekadar tersohor
namanya sebagai penulis, tetapi sekaligus juga terkenal sebagai seorang tokoh politik dan sosiologis.

Memang pun sebagai seorang politikus Rustam tidak banyak meraih kejayaan dan ini ada hubungkait
dengan pilihannya untuk berada di pihak oposisi. Namun hasil tulisannya tetap dan telah meninggal
gema yang panjang, lama setelah beliau meninggalkan dunia yang fana ini.

Sebagai tanda penghargaan dan kenangan terhadap sumbangan pemikiran, begitu diakui penerbit
Media Icon Sdn Bhd dalam pengantar Dari Penerbit, sejumlah karya terakhir Allahyarham Rustam ini
dikumpul dan diterbitkan dalam bentuk buku.

Buku berjudul “Ketemu di Akhir Zaman” ini memuatkan tulisan beliau yang membicarakan 11 tokoh
dan sebuah sorotan beliau mengenai pasukan impian dalam kepimpinan politik Melayu.

Tulisan yang diterbitkan kembali di dalam buku ini merupakan tulisan terakhir Rustam yang
sebelumnya pernah diterbitkan sebagai kolum beliau di pelbagai akhbar dan penerbitan alternatif.
11 tulisan Rustam mengenai sejumlah tokoh ini memperlihatkan bagaimana Allahyarham menyorot
pemikiran, sikap, karakter dan mungkin juga keganjilan tokoh-tokoh yang dialami serta mungkin
sangat dikenalnya secara langsung sebelumnya. Ulasan beliau terasa agak berimbang dan lebih
banyak memberikan fokus kepada sepak terajang di dalam politik tokoh-tokoh yang dibicarakannya.

Kalau pun terkecuali dan tidak terlalu disinggung sebagai makhluk politik di dalam kumpulan tulisan
beliau di dalam buku ini hanyalah H.M Dahlan dan Usman Awang.

H.M Dahlan atau Dahlan Haji Aman disorot Rustam sebagai tokoh akademik yang mengetuai Jabatan
Antropologi dan Sosiologi, Universiti Kebangsaan Malaysia ketika beliau mulai menyertainya pada
tahun 1976 sebagai seorang Pensyarah.

Tidak hanya itu, H.M Dahlan juga dilihat Rustam sebagai seorang yang memperlihatkan
kemampuannya untuk bersikap kreatif tetapi sekaligus juga realistik. Bagi Rustam, peranan penting
yang telah dimainkan oleh H.M Dahlan ialah sebagai seorang penggiat dan pemikir (bidang cendekia)
bidang antropologi dan sosiologi pada tahap awal pertumbuhannya di Universiti Kebangsaan
Malaysia.

Rustam mengaku di dalam tulisannya “Ahmad Boestamam, Ayahku” meski beliau merupakan anak
lelaki tunggal tokoh politik pemimpin Angkatan Pemuda Insaf (API) ini namun tidak mengenalnya
secara peribadi.

Bagi Rustam, pengetahuannya mengenai Ahmad Boestamam lebih berupa hasil kajian dan
renungannya sebagia seorang pelajar ilmu politik dan sejarah politik Malaysia Moden, khususnya
nasionalisme dan gerakan politik radikal Melayu.

Nama Zainuddin Maidin terpacul dalam tulisan Rustam mengenai Lee Kuan Yew di halaman 17. Bagi
Rustam, kemenangan Lee Kuan Yew yang juga dikenali di sebagai salah seorang penindas media dan
kebebasan yang paling ganas di dunia menerima bayaran pampasan ganti rugi berjumlah berjuta
dollar dari sebuah syarikat media antarabangsa, sesungguhnya merupakan kemenangan Zainuddin
Maidin juga, yang waktu itu merupakan seorang Menteri Penerangan Malaysia.

Syed Husin Ali bagi Rustam telah merancang “kerjaya” politiknya berdasarkan pendekatan
“perjuangan” beberapa tokoh pemimpin politik rakyat lama yang kiblatnya adalah perjuangan untuk
rakyat serta komitmen terhadap keyakinan dan ideologi politiknya. Sayangnya, kerana kerana dia
hidup dalam zaman yang lain, kejayaannnya sentiasa diukur berdasarkan ukuran kerjaya politik
orang-orang zaman ini yang didasarkan kepada mencapai jawatan dan kemewahan yang diimpikan.

Tulisan belasungkawa Rustam mengenai Pengerusi Parti Keadilan Rakyat Johor, Abdul Razak Ahmad
disarati pujian Rustam. Bagi Rustam, Abdul Razak dilihatnya sebagai seorang yang tidak pernah
berusaha menonjolkan diri dengan gelagat yang bersifat kewira-wiraan atau bermegah-megah.
Tegas Rustam, perjuangan Abdul Razak untuk rakyat berlangsung secara berterusan di sepanjgang
hayatnya.

Kassim Ahmad bagi Rustam pula adalah seorang sarjana dan intelektual yang secara cekal dan berani
telah turut terlibat dalam memikirkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya.

Sumbangan bakti hasil pemikirannya itu dipersembahkan melalui kegiatan yang pelbagai: sebagai
penulis sastera kreatif, ahli teori dan kritik sastera, penulis esei falsafat dan politik, juga secara
langusng terlibat sebagai aktivis politik.

Tulisan Rustam mengenai Johan Jaafar yang dimuatkan di bab tujuh buku ini merupakan reaksi
Rustam terhadap wawancara Datuk Johan Jaafar dengan majalah Off The Edge (September 2006)
“1998: A Newspaper Editor’s Story”.

Selain menyentuh kedudukan Johan Jaafar setelah Anwar Ibrahim dibebaskan di dalam tulisannya
ini, Rustam turut mengambil kesempatan membuat pengakuan betapa berbeza daripada Johan, dia
tidak dapat menyatakan bahawa dia telah diterima kepangkuan sesiapa, kerana mungkin dia
memang tidak pernah berusaha untuk kembali ke pangkuan sesiapa.

Pemergian tokoh bernama Ezam Mohd Nor dari PKR bagi Rustam tidaklah dapat dianggap sebagai
suatu tamparan maut dan memungkin parti ini runtuh dan berkubur. Tulisan Rustam di bab lapan ini
turut kembali menghimbau betapa sebelum ini, dua tokoh dari parti ini, dahulunya PKN, seperti Dr.
Chandra Muzaffar dan A. Rahman Othman telah pun terlebih dahulu meninggalkan parti ini, namun
parti ini tetap bertahan dan meneruskan hayatnya.

Peranan yang dimainkan Khairy Jamaluddin selaku menjawat Timbalan Ketua Pergerakan Pemuda
Umno disorot Rustam melalui tulisannya di bab 9. Di bawah Khairy Jamaluddin, pergerakan ini
digambarkan Rustam sebagai lebih menonjol citranya sebagai pergerakan yang bersifat agresif dari
segi fisikalnya tetapi amat muram dari segi kecedekiawanannya.

Menyorot isu seputar kritikan terhadap perlantikan Zainuddin Maidin selaku Menteri Penerangan
Malaysia, Rustam berpendapat betapa dengan latar belakang anti-kebebasan media dan anti
kebebasan bersuaranya yang begitu jelas, maka tidak mustahillah perlantikan Zainuddin Maidin itu
tidak disambut dengan begitu ghairah oleh kalangan komuniti dan fraterniti kewartawanan sendiri.

Mengenai Usman Awang, yang ditulis Rustam sebagai sebuah tulisan belasungkawa, diakui Rustam
betapa Usman Awang bukan hanya seorang penyair tetapi sekaligus juga pelopor yang memberikan
bentuk dan struktur kepada bahasa Melayu moden, menjadikannya pengucapan politik,
kewartawanan dan wacana moden yang berkesan atau efisien.

Tulisan terakhir Rustam di bab 12 buku ini yang antara lain mempertanyakan kewujudan “pasukan
impian” dalam kepimpinan politik Melayu diakhir dengan kesimpulan yang wajar dan molek menjadi
bahan renungan kita bersama.

Bagi Rustam, keghairahan sebahagian pihak tentang kemungkinan mencambahkan pemikiran ke


arah pembentukan sebuah “dream team” adalah tidak wajar. Malah ditegaskan Rustam betapa itu
ada kemungkinannya sebagai: “... sekadar merupakan mimpi ngeri mereka yang sebenarnya sedang
mengigau pada waktu siang hari.”
Sebagai kesimpulan, koleksi 12 tulisan di dalam buku ini memang dengan jelas memaparkan sosok
pemikiran dan analisis seorang Rustam A. Sani terhadap sesuatu isu dan tokoh. Sebagai seorang
bekas sarjana bidang antropologi dan sosiologi, analisis Rustam memang menukik, dan pada
bahagian tertentu di dalam tulisannya, nadanya lantang dan tidak berselindung.

Meski ada bahagian-bahagian di dalam tulisannya yang terasa agak pahit untuk ditelan dan diterima,
namun setidaknya kita wajar sekejap bercermin darinya.

Anda mungkin juga menyukai