Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Malaria merupakan masalah kesehatan dibanyak negara diseluruh dunia. Tiga ratus
juta penduduk diserang setiap tahunnya dan 2-4 juta meninggal dunia 1. Indonesia
merupakan daerah endemis malaria, walaupun telah dilakukan program pelaksanaan
dan pemberantasan penyakit malaria sejak tahun 1959, namun hingga saat ini
angka kesakitan dan kematian masih cukup tinggi 2.
Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus plasmodium yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Malaria dapat juga ditularkan secara
langsung melalui transfusi darah, jarum suntik serta dari ibu hamil kepada bayinya
3,4
. Pada manusia terdapat 4 spesis Plasmodium yaitu falciparum, vivax, malariae
dan ovale. 1,3
Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia, trombositopeni,
dan splenomegali. Berat ringannya manifestasi malaria tergantung jenis plasmodium
yang menyebabkan infeksi dan imunitas penderita5.
Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada gejala
klinis, penemuan fisik diagnostik, laboratorium darah, uji imunoserologis dan
ditemukannya parasit (plasmodium) di dalam darah tepi penderita sebagai gold
standard6,7,
Akibat dari perpindahan penduduk dan arus transportasi yang cepat penderita
malaria bisa dijumpai di daerah yang tidak ada penularan malaria, tidak jarang
ditemukan penderita malaria sampai meninggal karena tidak pasti diagnosanya,
terlambat di diagnosa atau salah pengobatan 10,11.
Berikut ini kami laporkan data penderita malaria di Medan, baik rawat inap maupun
rawat jalan di beberapa RS Pemerintah maupun Swasta di kota Medan. Dilihat aspek
klinis, pengobatan, komplikasi, serta kendala-kendala yang ditemukan.
Penelitian dilakukan secara retrospektif dari bulan Oktober 2001 sampai dengan
Januari 2003. Dibuat lembar kwesioner berisi data pribadi pasien, keluhan utama,
tanda dan gejala klinis, laboratorium, diagnosa, problema diagnostik dan terapi serta
komplikasi penderita malaria rawat inap dan rawat jalan. Lembar kwesioner ini
disebarkan kepada para sejawat dokter yang pernah merawat pasien malaria baik di
Rumah sakit Pemerintah / Swasta maupun di tempat praktek di Medan. Diagnosa
malaria ditegakkan secara mikroskopis dengan ditemukkannnya parasit plasmodium
di dalam darah tepi. Data yang terkumpul kemudian ditabulasi lalu dilakukan analisa
deskriptif.
HASIL
Dalam kurun waktu Januari 2001 – Oktober 2002 tercatat dari lembar kwesioner
yang kembali sebanyak 47 kasus malaria dibeberapa Rumah Sakit dan praktek
dokter di kota Medan. Sepuluh pasien rawat jalan dan 37 pasien rawat inap. 14
orang bukan penduduk asli Medan, 10 orang mempunyai riwayat berasal atau
pernah berpergian kedaerah endemik malaria. Selebihnya (33 orang) penduduk
Medan yang tidak mempunyai riwayat berpergian ke daerah endemik malaria.
Menurut jenis kelamin didapatkan pria lebih banyak dari pada wanita yaitu 27 orang
pria (57,4 %) dan 20 orang wanita (42,6 %) dengan umur antara 15 – 70 tahun,
dengan umur rata-rata 29,45 tahun.
Infeksi P. falciparum merupakan penyebab terbanyak yaitu 25 (53,2 %) dan 22
(46,8 %) infeksi P. vivax. (tabel 1)
Gambaran klinis terbanyak yang dijumpai adalah demam, namun tidak pada semua
kasus dijumpai demam yaitu sebanyak 42 orang (tabel 2).
Tabel 2. Gambaran Klinis Penderita Malaria di Medan Tahun 2001 – 2002
Pada tabel 4 dapat kita lihat bahwasanya kecurigaan terhadap malaria oleh dokter
yang merawat yang terbanyak adalah berdasar atas demam yang tidak turun-turun
setelah pemberian terapi sebelumnya sebanyak 20 orang (42,5 %), dan diagnosa
secara kebetulan pada pemeriksaan darah tepi pada 2 kasus (4,3 %).
Klorokuin masih merupakan obat yang paling banyak digunakan oleh dokteryang
merawat untuk pengobatan malaria, diberikan pada 33 orang (70,2 %), Sulfadoksin-
Pirimetamin 9 orang (19,1 %), Kina 7 orang (14,9 %) dan Primaquin 2 orang
(4,2 %). 4 pasien malaria berat mendapat terapi kombinasi Kloroquin dengan
Sulfadoxin-Pirimetamin dikarenakan sulitnya memperoleh kina injeksi. Pada 7 pasien
setelah diterapi kloroquin tunggal ternyata tidak ada perbaikan secara klinis maupun
laboratoris, sehingga terapi dilanjutkan dengan Sulfadoxin-Pirimetamin pada 3
pasien, dan kina pada 4 pasien. Pada 3 pasien yang diterapi dengan Sulfadoxin-
Pirimetamin sebanyak 2 pasien tidak respon secara klinis maupun laboratoris
sehingga terapi dilanjutkan dengan kina.
Tabel 5. Terapi malaria pertama yang diberikan pada penderita malaria di Medan
Tahun 2001 – 2002
Tabel 6. Komplikasi malaria pada penderita malaria di Medan Tahun 2001 – 2002
Komplikasi Jumlah %
Malaria cerebral 8 50
Anemia berat (Hb < 7gr %) 8 50
Ikterus (Bil.total > 3 mg/dl) 11 68,8
Gagal ginjal (kreatinin > 3 mg/dl) 10 62,5
DISKUSI
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat terkena
malaria. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya
berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa perempuan mempunyai respon imun yang lebih kuat dibanding laki-laki 4.
Di Indonesia malaria tersebar diseluruh pulau dengan derajat endemisitas yang
berbeda-beda. Spesies yang terbanyak dijumpai adalah P.falciparum dan P.vivax 12.
Pada penelitian ini didapatkan penderita pria lebih banyak dibanding wanita dengan
penyebab infeksi P.falsiparum dan P.vivax.
Selama ini kota Medan diketahui bukan merupakan daerah endemik malaria. Dengan
ditemukannya 33 penderita malaria penduduk Medan yang tidak pernah berpergian
ke daerah endemik malaria, maka saat ini kota Medan diduga sudah merupakan
daerah endemik malaria. Untuk itu diperlukan penelitian mengenai vektor nyamuk
anopheles di Medan.
Gejala awal dari malaria biasanya tidak spesifik mulai dari sakit kepala, mudah lelah,
perasaan tidak enak pada perut dan sakit otot, kemudian diikuti dengan demam 3,13.
Pada penelitian ini umumnya pasien datang dengan keluhan demam (89,4 %) diikuti
menggigil, sakit kepala, mual/muntah, anemia, ikterus, hepatosplenomegali dan
kesadaran menurun.
Manifestasi klinis demam malaria sering kali tidak khas dan menyerupai penyakit
infeksi lain (Demam Dengue, Demam Tifoid) sehingga tidak jarang para klinisi tidak
memikirkan diagnosa malaria dalam membuat diagnosa banding dengan
mengandalkan pengamatan manifestasi klinis saja. Untuk itu perlu dipikirkan
diagnosa banding malaria pada penderita dengan gejala klinis demam yang
ditemukan di Medan dan perlunya pemeriksaan malaria darah tepi dijadikan
pemeriksaan rutin pada penderita demam sehingga diagnosa malaria dapat
ditegakkan sedini mungkin. 7
Hanya 20 penderita di diagnosa dengan malaria pada saat masuk rumah sakit pada
penelitian ini.
Gold standard untuk diagnosa malaria adalah menemukan parasit plasmodium
dengan pemeriksaan darah secara mikroskopis. Pemeriksaan ini seharusnya
dilakukan secara rutin, tidak saja didaerah endemik malaria tetapi juga didaerah non
endemik malaria, apapun gejala dan diagnosanya. Alasannya, karena gambaran
klinis malaria dapat sangat bervariasi. Dapat saja orang mengandung parasit malaria
dalam darahnya tetapi gejala yang membuat dia pergi ke dokter mungkin
disebabkan oleh penyakit lain 1.
Hanya 11 orang (23,4 %) di diagnosa malaria berdasarkan gejala klinis, kebanyakan
kecurigaan disebabkan demam yang tidak turun-turun pada 20 orang (42,5 %),
Obat malaria yang tersedia di Indonesia hanya terbatas pada Klorokuin, Sulfadoxin-
Pirimetamin, Kina dan Primaquin. Kloroquin adalah obat anti malaria yang paling luas
pemakaiannya karena mudah diperoleh, efek samping yang minimal, disamping itu
harganya murah 14. Dalam rangka pemberantasan malaria falciparum tanpa
komplikasi di Indonesia, pemerintah telah menetapkan sebagai pilihan pertama
adalah Klorokuin. Bila seseorang atau daerah tersebut telah dinyatakan resisten
Klorokuin maka dapat diganti dengan Sulfadoksin-Pirimetamin 15. Kina merupakan
obat anti malaria alternatif untuk pengobatan radikal malaria falsiparum tanpa
komplikasi yang resisten terhadap Klorokuin dan Sulfadoksin-Pirimetamin dan
merupakan obat anti malaria darurat untuk pengobatan malaria berat atau malaria
dengan komplikasi 9.
Kami menemukan Klorokuin masih merupakan obat yang paling banyak digunakan
pada 33 kasus (70,2 %), sedang injeksi kina dipakai pada kasus malaria berat.
Tetapi obat ini tidak didapati lagi di apotik di Medan, mungkin sudah tidak diproduksi
lagi, sehingga alternatif dipakai kombinasi Klorokuin Sulfadoxin-Pirimetamin. Pada 7
kasus terapi Klorokuin tidak memberi respon secara klinis maupun laboratoris.
Sehingga dilanjutkan dengan kina ataupun Sulfadoxin-Pirimetamin. Hal ini
menunjukkan keadaan resistensi Klorokuin yang memerlukan penelitian lebih lanjut.
Didaerah endemik malaria kabupaten Madina Sumatera Utara ditemukan kasus
malaria falciparum resistensi terhadap Klorokuin 47,5% dan 53,7% terhadap
Sulfadoxin-Pirimetamin.16
Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi plasmodium falciparum yang
disertai gangguan multi sistem, WHO menetapkan kriteria diagnosa malaria berat
yaitu adanya satu atau lebih komplikasi sebagai berikut : hiperparasitemia, malaria
cerebral, anemia berat, ikterus, gangguan asam basa. dan elektrolit, gagal ginjal,
hipertermia, edema paru, hipoglikemia pada penderita dengan bentuk aseksual
plasmodium falciparum 16. Komplikasi yang kami temukan ikterus, gagal ginjal
akut, anemia dan malaria otak.
KESIMPULAN
1. Kasus malaria cukup berarti jumlahnya di Medan, termasuk malaria berat dengan
angka kematian yang cukup tinggi. Jumlah kasus malaria sebenarnya tentunya
lebih banyak dari laporan ini. Hal ini disebabkan tidak semua dokter yang
menemukan kasus malaria di Medan dapat di ketahui. Tidak ada rumah sakit
yang melaporkan angka kejadian malaria ke Dinas Kesehatan. Oleh karena itu
perlu adanya koordinasi terpadu antara rumah sakit, Dinas Kesehatan dan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi untuk melakukan survailans malaria di Medan.
Berdasar data yang didapat kota Medan diduga kuat sebagai daerah endemik
malaria.
2. Perlunya pemeriksaan malaria darah tepi menjadi pemeriksaan rutin disetiap
laboratorium klinik di Medan.
3. Klorokuin masih merupakan obat yang banyak digunakan, diperlukan
pengembangan obat alternatif antimalaria yang lain mengingat kasus resistensi
terhadap klorokuin yang cukup tinggi. Untuk ini diperlukan penelitian lanjutan
yang lebih terpadu.