DIMANAKAH letak Gunung Cibugis? Inilah suatu hal yang tak pernah terpikirkan
dalam otak Sangaji. Dan sekarang, setelah pemuda itu bersiap-siap hendak
berangkat jadilah suatu masalah yang pelik.
Dahulu tatkala dia belajar di sekolah kom-peni ilmu bumi merupakan salah satu
mata pelajaran yang penting. Maklumlah, sekolah tempat ia belajar adalah sebuah
sekolah yang didirikan kompeni dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak
kompeni. Karena ilmu bumi berhubungan erat dengan tugas hidup se-orang militer,
maka ilmu itu merupakan mata pelajaran yang penting. Hampir nama seluruh kota
sampai ke pelosok-pelosok desa terma-suk sungai dan gunungnya dijejalkan penuh-
penuh dalam benak murid-murid. Itulah sebabnya, ia tidak menaruh perhatian
khusus terhadap nama gunung tersebut. Pikirnya ia akan dapat menemukan nama
gunung itu dengan mudah di dalam peta bumi. Tetapi setelah membuka-buka peta
Jawa Barat, nama gunung itu tiada.
Kala itu rembang petang telah tiba dengan diam-diam. Segera ia berkemas-kemas.
Ia sudah mengambil keputusan tidak membawa serta si Willem, agar tidak
menimbulkan ke-curigaan orang. Juga senjata apa pun tidak dibawanya. Ia yakin
kepada kesanggupan diri-nya. Tanpa senjata dan tiada berkuda, jauh lebih leluasa
dan jauh lebih cepat. Teringatlah dia, gurunya Gagak Seta, Kebo Bangah dan
Adipati Surengpati dahulu pernah beradu lari semalam suntuk dalam jarak yang
tidak dekat. Mereka tetap sehat walafiat tak kurang suatu apa. Ia belum pernah
mencoba tenaga saktinya untuk berlari-lari kencang dalam jarak panjang. Tapi
mengingat kesanggupan dirinya kini sudah melebihi kesaktian mereka, pastilah hal
itu bukan merupakan suatu masalah yang tidak mungkin. Maka dengan berbekal
keyakinan itu, berangkatlah dia meninggalkan kota Jakarta mengarah barat daya.
Ia mengambil simpang-simpang jalan untuk menghindari penglihatan orang. Mula-
mula hanya berlari-larian kecil. Setelah berada di luar kota, segera ia mengerahkan
tenaganya dan melesat dengan mengerahkan ilmu sak-tinya yang tinggi.
Meskipun boleh dikatakan hampir tak per-nah berlatih, tapi ilmu lari Sangaji kala itu
sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Tatkala hampir tepat tengah malam, ia
sudah melalui jarak tiga ratus kilometer lebih.
Kira-kira satu jam kemudian, hujan turun rintik-rintik. Segera ia berlindung di bawah
pohon dan beristirahat di atas batu besar. Di atas, awan tebal menutupi udara.
Tiada sebuah bin-tangpun nampak mencongakkan diri:
Nampaknya malam ini tiada harapan untuk melihat udara cerah. Kalau aku
membiarkan diri menunggu perubahan udara, bukankah akan membuang-buang
waktu saja? pikirnya. Dan memikir demikian, segera ia mengumpul-kan
semangatnya. Kemudian berlari-lari lagi sambil menjelajahkan matanya yang
sangat tajam.
Seberang menyeberang jalan sunyi senyap. Angin dingin basah meniup keras.
Kadang-kadang ia melihat kejapan pelita di kejauhan. Itulah kelompok-kelompok
desa yang tertebar di tempat-tempat tertentu. Namun untuk berharap bertemu
dengan seseorang di tengah malam begitu dingin, tidaklah mungkin terjadi.
Jawa Tengah berlaku pula di Jawa Barat sini entah tidak, pikirnya.
Ia membiak-biak gerumbul semak dan memeriksa batang pohon. Benar saja. Pada
sebuah batu besar ia menemukan gambar pe-dang silang dengan sebuah obor. Ia
girang, karena tanda itu sesuai dengan tanda pengenal pendekar Kosim yang
diterimanya dari Suhan-da.
Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus membelok ke selatan. Pada fajar hari, ia tiba di
sebelah utara Rangkasbitung. Sesudah mengisi perut, ia meneruskan perjalanannya
lagi. Di tempat simpang tiga Kali Ci Ujung, Ci Simeut dan Ci Berang, diketemukan
sebuah gambar obor menyala pula. Ia bertambah girang dan mera-sa pasti bahwa
arah perjalanannya tidak salah. Maka dengan semangat penuh, ia menyusur
lembah Kali Ci Berang. Dan tepat menjelang pagi hari, muncullah Gunung Endut di
depan matanya.
Gunung Endut ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah gunung yang mempunyai
arti. Apa sebab sepagi ini ada serombongan orang berkuda mendaki lerengnya?
pikirnya, la bercuriga, dan membatalkan niatnya hendak bersemadi. Kemudian ia
melesat ke belakang onggok batu menjenguk ke jalan.
Cepat sekali larinya rombongan berkuda itu. Mereka memasuki petak hutan dan
sebentar saja lenyap dari penglihatan. Sanga-ji segera menguntitnya dari jarak
tertentu. Bagi dia yang sudah memiliki ilmu sakti tertinggi di dunia, tidaklah perlu
khawatir akan ketahuan.
Ternyata mereka menuju ke sebuah perta-paan yang terlindung oleh semak semak
belukar. Lantas terdengar seorang di antara mereka berseru.
Seruan itu melengking keras luar biasa. Suatu tanda bahwa tenaga sakti orang itu
tak boleh diabaikan. Namun beberapa saat ia menunggu, tiada juga memperoleh
jawaban yang dikehendaki.
"Tuanku Maulana Ibrahim! Kami berempat menderita luka parah. Masakan tuanku
akan membiarkan kami mati tiada liang kubur?" orang itu berseru lantang lagi.
"Tuanku Maulana Ibrahim!" serunya lagi. Tapi kali ini bernada minta belas-kasih.
"Benar-benarkan tuanku sampai hati mem-biarkan kami mati begini hina?"
Terang sekali maksud orang itu. Dia hendak mengambil hati. Tetapi pemuda di
hadapan-nya tampak bersikap dingin. Dengan suara angkuh dia menyahut.
"Panembahan Maulana Ibrahim lagi berolah tapa untuk waktu yang tak dapat
ditentukan. Pintu biliknya terkunci rapat. Itulah suatu tanda bahwa dia tak dapat
diganggu. Karena itu, carilah orang tua lain yang dapat membantu menyembuhkan
luka kalian."
Mendengar ujar pemuda itu, mereka berempat menghela napas dengan wajah
muram. Sejurus kemudian orang tadi masih mencoba berkata, "Siapakah nama
Tuan yang mulia?"
"Kami. Hamid, Syarif, Surian dan Brata. Bi-langkan saja kepada tuanku Maulana
Ibra-him, kami berempat, murid-murid Tatang Manggala."
Sangaji yang bersembunyi tak jauh dari mereka, mengernyitkan dahinya. Dalam
benaknya timbul suatu teka-teki yang mena-rik. Siapakah yang disebut
Panembahan Maulana Ibrahim itu? Nampaknya, dia bukan orang sembarangan.
Kalau saja tidak memiliki ketenaran nama semenjak lama, tidak bakal pertapaannya
dikunjungi tamu dari jauh.
Dalam pada itu, pemuda yang bernama Manik Angkeran menghampiri mereka
dengan pandang acuh tak acuh. Tiada nampak gopoh atau menaruh suatu
perhatian yang berlebih-lebihan sehingga kesannya seperti seorang dokter perang
yang sudah mempunyai pengalaman maha dahsyat. Katanya nyaring.
"Kalian luka berat. Hayo, panggillah aku dahulu, paman yang baik budi! Dan aku
akan menolong meringankan."
Mendengar ucapan Manik Angkeran, Sangaji tersenyum. Pikirnya dalam hati, Adik
cilik ini, keterlaluan. Sudah terang mereka dalam keadaan runyam, mengapa masih
perlu mengolok-oloknya lagi.
Teringatlah dia, sewaktu menderita luka berat di benteng batu dahulu. Titisari
dalam keadaan bingung. Namun Fatimah tak memedulikan. Bahkan gadis angin-
anginan itu memaksa Titisari agar memanggilnya bibi dahulu, sebelum bersedia
membantu dengan segenap hati. Meskipun mendongkol Titisari memaksa diri untuk
membuat senang gadis angin-anginan itu. Kemudian, semuanya jadi lancar. Dan
teringat akan Fatimah, tanpa di-sadari sendiri ia jadi menaruh perhatian kepada
pemuda Manik Angkeran.
Gerak-gerik Manik Angkeran makin lama makin aneh juga. Meskipun tidak seliar
Fatimah, tetapi paling tidak bisa dijajarkan. Melihat mereka tiada tanda-tanda
meng-indahkan permintaannya, lantas saja memutar badannya sambil berkata:
"Baik! Kalau tak mau memanggilku paman yang baik budi. Terserah kalian akan
mati atau tidak." Setelah berkata demikian, ia masuk ke gubuk pertapaan. Pintu
ditutupnya rapat seumpama seekor lalatpun tak sanggup masuk.
Celakalah mereka yang sedang menderita luka. Demi luka yang dideritanya,
sesungguh-nya mereka bersedia untuk membuat senang si pemuda. Tetapi
keputusan pemuda itu terlalu cepat. Mereka belum bisa mengadakan tanggapan
secepat orang sehat, sehingga tak keburu mencegah rasa cemberutnya pemuda
itu. Dengan demikian terasalah sudah, bahwa kesulitan yang mereka hadapi
menjadi berganda.
Hampir berbareng dengan kejadian itu, pintu gubuk pertapaan terbuka kembali.
Manik Angkeran muncul dengan diikuti seorang cantrik ) memanggul sebatang
cangkul pengaduk tanah. Melihat Hamid menggelepar di atas tanah, ia
menghampiri. Tangannya bergerak-gerak dan tahu-tahu Hamid sudah dapat duduk
kembali dengan tegak, darahnya yang tadi meruap dari mulutnya berhenti dengan
mendadak.
"O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Aku hanya khawatir
kau akan mati di depan pintu. Ini membuat susahku belaka. Sebab aku terpaksa
harus menguburmu," sahut Manik Angkeran.
"Tapi tuanku menolong juga. Buktinya, dadaku terasa menjadi ringan," Hamid tak
bersakit hati.
"O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Kau menyebutku
seba-gai tuanku, apa sih keuntungannya. Coba kau mau memanggil aku sebagai
paman, aku takkan menolongmu separuh-paruh."
"Siapa yang kesudian menjadi pamanmu? Aku hanya minta kau memanggilku
paman yang baik budi."
Kembali lagi Hamid terhenyak sejenak. Lalu berkata cepat, "Ya, ya Paman yang baik
budi. Tolonglah aku."
Sangat gesit dan tangkas gerakannya. Hamid, Syarif, Suria dan Brata terus saja bisa
duduk kembali dengan tenang. Meskipun dalam hati mereka mendongkol, namun
diam-diam me-reka kagum akan kepandaian pemuda cilik itu.
"Hai, Paman yang baik budi!" seru Suria. Ia seorang yang berbadan pendek,
berkepala botak. Suaranya kasar melengking menusuk pendengaran. "Lihat!
Senjata apa ini nama-nya?" Ia mengeluarkan sebatang baja, berben-tuk bintang
bersegi tiga. Sekali menggerakkan jari-jarinya, baja berbintang itu melesat dan
menancap pada tiang gubuk dengan suara mengaum.
"Hai, anak yang manis!" seru Manik Ang-keran. "Kau bukan anak yang lemah. Apa
sebab kau sampai terluka? Siapa yang melukaimu?"
"Cabut dan perlihatkan senjata itu kepada gurumu. Katakan, bahwa kami berempat
kena dilukai pemilik senjata itu," sahut Suria dengan suara kasar. "Tak lama lagi
pemilik senjata itu akan datang ke mari. Apabila gurumu mau mengobati kami,
kami berempat pasti bersedia membantu melawannya."
"Apa sih hubungannya dengan guruku sampai aku kau haruskan menyebut nama
gurumu?"
"Karena Tatang Manggala dan gurumu adalah sesama pembantu Ratu Fatimah."
"Kau bilang apa? Fatimah?" Manik Angker-an terkejut. Parasnya lantas berubah.
Belum lagi jelas apa sebabnya, sekonyong-konyong ia melesat dan menyerang
mereka berempat dengan berbareng. Krak, krak, krak! Lengan mereka masing-
masing kena dipatahkan. Setelah itu dengan sekali menjejak tanah, ia menyambar
senjata bidik yang tertancap di tiang. Kemudian menghilang di balik pintu.
Hamid, Syarif, Suria dan Brata bukan orang lemah. Namun mereka sedang
menderita luka. Tenaganya rusak delapan bagian. Karena itu lengan mereka kena
dipatahkan oleh si bocah sangat mudah.
Seseorang yang kena dipatahkan lengannya demikian rupa, pasti akan mengerang.
Dan hal itu adalah wajar. Tapi mereka tak berani mengerang, karena takut akan
mempunyai akibat sendiri terhadap si pemuda yang ber-watak angin-anginan.
"Suria! Biar bagaimanapun juga, berusahalah membuat senang bocah cilik itu!"
Hamid menyesali. "Tuanku Maulana Ibrahim tak mungkin dapat diganggu-gugat.
Dan satu-satunya bintang penolong kita, hanyalah bocah itu."
"Ya, ya, ya, aku tahu. Tapi aku telah menga-pakan dia?" Suria membela diri.
Memang mereka semua tahu, Suria sama sekali tidak mengusiknya. Masing-masing
sadar, bahwa mereka harus pandai membawa diri kalau masih mengharapkan
pertolongan-nya. Soalnya, karena watak pemuda itu demi-kian aneh. Apa yang
menyebabkan seko-nyong-konyong dia seperti kemasukan setan, hanya setan
sendiri yang tahu. Maka terpak-salah mereka menahan rasa nyerinya. Meski-pun
mereka bukan tokoh sembarangan, tak urung keringat dingin merembes keluar
berbu-tir-butir.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk ke dalam benak Hamid. Terus saja ia mengarah
kepada si Badai dan berkata hati-hati.
"Jang! Pastilah engkau sudah lama me-ngenal dia. Kami bersalah apa terhadapnya
sampai dia mematahkan lengan kami?"
"Aku menyebut nama Ratu Fatimah," kata Suria. "Dia murid tuanku Maulana
Ibrahim. Guru kami dan tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu Ratu Fatimah.
Dengan begitu, kami termasuk keluarga sendiri. Apakah, apakah dia musuh Ratu
Fatimah?"
"O, bukan, bukan. Kalau dia musuh Ratu Fatimah, masakan sudi berguru kepada
tuanku Maulana Ibrahim," tungkas badai itu. "Dia berasal dari Jawa Tengah. Siapa
Ratu Fatimah itu, dia tak mengerti."
"Karena Tuan menyebut nama Fatimah. Justru Fatimah adalah nama kekasihnya.
Tuan sekarang menyebutnya dengan ratu. Bukankah berarti memperolok-oloknya?"
"Ah," mereka baru sadar. Kemudian Suria buru-buru berkata, "Kalau begitu,
memang nasib kamilah yang lagi sial. Siapa tahu, bahwa kekasihnya bernama
Fatimah. Seka-rang dia menyakiti kami Apakah ... apakah ..."
"Dia boleh meremukkan tulang-tulang Tuan. Tapi kalau Tuan pandai mengambil
hatinya, Tuan akan bisa dipulihkan kembali. Tuan percaya, tidak? Sebab dialah
murid satu-satunya tuanku Maulana Ibrahim," ujar si badai.
"Kami bertiga berasal dari Rancabali. Ra-tusan kilometer telah kami lalui untuk
datang menghadap tuanku tabib sakti. Tenaga kami sudah terkuras habis. Lagi pula
sekiranya di dunia ini ada tabib sesakti tuanku Maulana Ibrahim, masakan kami
sampai datang ke mari."
Menyaksikan keadaan mereka timbullah rasa iba dalam hati Manik Angkeran. Ia
hendak segera memeriksa, sewaktu tiba-tiba terdengar suara langkah dan derap
kuda berbondong-bondong memasuki lembah pertapaan. Dari jauh, mereka sudah
berseru beramai-ramai. "Tuanku Maulana Ibrahim ... mohon menghadap."
Manik Angkeran mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggerutu. "Hampir empat
tahun aku berada di sini. Selamanya lembah ini sunyi sepi. Tapi hari ini, kenapa
mereka datang begini berbondong-bondong?" Setelah menggerutu demikian,
berkatalah dia, lantang: "Kalian datang ke mari beramai-ramai. Apakah ada yang
menyuruh?"
Jumlah mereka dua belas orang. Terdiri dari berbagai-bagai golongan. Ada yang
berpakaian saudagar, kepala kampung dan pegawai kerajaan. Semuanya menderita
luka parah. Dan tatkala mendengar seru Manik Angkeran, dengan serentak
memperlihatkan sebatang baja berbintang tiga pada tangannya masing-masing.
"Senjata bidik ini bernama, kembang cacah bintang," sahut seorang berperawakan
pendek tipis. "Pemiliknya seorang nenek-nenek bernama Karumbi. Dialah yang kita
kenal dengan sebutan si bongkok dari Pegunungan Karumbi."
"Tanyakanlah kepada tuanku Maulana Ibrahim. Kami dilukai tanpa perkara. Lantas
kami digebah, agar datang ke mari. Katanya dia minta tanggung jawab atas
kematian pen-dekar Kamarudin anggota Himpunan Sang-kuriang."
"Selamanya guruku tak pernah berurusan dengan perkara luar. Mengapa nenek itu
minta tanggungjawabnya," tungkas Manik Angkeran.
"Tanyakanlah kepada gurumu!" jawab orang berperawakan pendek tipis itu. Setelah
berkata demikian, terus rebah tak berkutik.
Mendengar Hamid masih menyebutnya sebagai paman yang baik budi, Manik
Angkeran tersenyum puas. Katanya ringan, "Kalian dilukai oleh nenek itu. Rupanya
dia lebih kuat daripada kalian. Kalau saja berniat hendak membunuh kalian,
nampaknya mu-dah sekali. Tapi kalian dibiarkan hidup untuk beberapa hari agar
bisa datang ke mari. Apa maksudnya?"
"Justru itu, bangunkan guru paman yang baik budi. Kukira hanya tuanku Maulana
Ibrahim sendiri yang dapat menebak teka-teki ini."
"Sayang anak-anak yang manis. Pada saat ini, biarpun bumi berguguran tak berani
aku mengganggunya."
Selagi berbicara demikian, telah datang berturut-turut enam orang lagi. Mereka
memohon bertemu dengan Maulana Ibrahim yang disebutnya sebagai tabib dewa.
Caranya meminta bertemu bermacam-macam. Ada yang berbicara dengan sopan,
bernada memerintah, merintih dan membisu.
Semuanya ditolak oleh Manik Angkeran de-ngan kata-kata yang sama. Namun
mereka tak mau pergi. Maka terpaksalah Manik Angkeran memberi perintah kepada
dua orang badai agar menyediakan makanan sekadarnya.
"He e," sahut Atika. Dan anak itu lantas melorot dari dukungan.
"Bagus," kata Rostika dengan suara bersyukur. Ia seperti kehilangan suatu beban
berat. Kemudian dengan suara setengah ber-putus asa, "Sekarang mudah-mudahan
tabib sakti Maulana Ibrahim berada di rumah ..."
Mendengar suara Rostika, hati Sangaji tergetar. Ingin dia menghampiri dan hendak
menolongnya. Meskipun sama sekali tiada memiliki ilmu ketabiban, tetapi ia
percaya akan tenaga saktinya. Sekonyong-konyong ia mendengar seru Manik
Angkeran nyaring. "Kak Rostika! Benarkah Kak Rostika?"
"Ah ... Manik Angkeran! Bagus kau berada di sini." Dan setelah berkata demikian, ia
mendatangi dengan mempercepat langkahnya.
"Bukankah aku dahulu berkata hendak mencari seorang guru tersakti di dunia?"
ujar Manik Angkeran seraya menyongsong.
"Kau ... kau ... kena dilukai nenek tua?" Manik Angkeran terkejut. "Siapakah nenek
itu yang berbuat sewenang-wenang terhadap-mu?"
Gugup, Manik Angkeran memajang pundak Rostika sambil berkata: "Kak Rostika,
marilah masuk ke dalam ... Bukankah ini keme-nakanku Atika?"
"Pundak dan lengan kirimu terluka berat ... Ah, selama dalam perjalanan engkau
meng-gendong Atika dengan lengan kananmu, bu-kan? Hai, mengapa engkau
disiksanya pula?"
Rostika tak dapat menjelaskan. Ia terus berbatuk-batuk tiada hentinya. Dengan ber-
jalan pelahan-Iahan ia dibawa masuk ke dalam gubuk.
"Kak Rostika. Rupanya tatkala engkau mengadu pukulan, musuh telah melukaimu
sebelum engkau bergerak."
Setelah berkata demikian, tangannya ber-gerak dengan tiba-tiba. Sangat cepat dan
me-ngagumkan. Tahu-tahu darah yang meruap dari mulut Rostika berhenti dan
rasa batuknya lenyap dari rongga dada. Kemudian ia memeriksa pundak dan lengan
Rostika. Tiga batang baja berbintang segi tiga menancap pada sambungan tulang.
Cepat ia mencabutnya. Ternyata tulang lengan Rostika patah tiga tempat. Dan
tulang pundak remuk seperti tergilas. Benar-benar suatu luka yang mustahil untuk
dipulihkan kembali.
Tapi Manik Angkeran adalah seorang murid tunggal tabib sakti Maulana Ibrahim.
Setelah memberi resep obat sambung tulang kepada dua orang badai, segera ia
menyambung tu-lang-tulang yang patah pada beberapa tempat.
"Manik Angkeran! Kau benar-benar menjadi orang lain," seru Rostika kagum.
"Sesungguh-nya aku datang ke mari untuk mohon perto- longan Eyang
Panembahan Maulana Ibrahim. Tapi ternyata kau sudah dapat menolong aku."
"Kepandaian ini bukankah berasal dari Kak Rostika?" tungkas Manik Angkeran.
"Coba kalau Kak Rostika dahulu tidak menunjukkan jalan baik, takkan mungkin aku
datang ke mari untuk berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim."
"Dan mereka bagaimana? Kulihat tadi, mereka menderita luka pula. Apakah mereka
belum bertemu dengan gurumu?"
"Mereka datang terlebih dahulu daripadaku. Apa sebab aku engkau dahulukan?"
"Ah, adikku yang baik. Periksalah mereka dahulu sebelum gurumu turun dari
semadinya."
Waktu itu rembang petang telah lewat. Beberapa badai telah memasang pelita.
Manik Angkeran mengatur tempat tidur untuk Rostika dan Atika. Setelah mengantar
mereka ke bilik dan menyediakan makan malam, ia keluar ke serambi dengan
membawa obor. Segera ia memeriksa luka mereka.
Luka yang mereka derita, masing-masing berbeda. Cara melukainya sangat aneh
pula. Selama berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim belum pernah ia
mendengar jenis luka semacam itu. Ada yang terluka jantungnya, tanpa merusak
kulit dan urat penyambung. Ada pula yang menderita luka parah pada tiap urat dan
nadinya. Terang sekali bahwa Nenek Karumbi mengenal ilmu ketabiban. Cara dia
melukai mangsanya diatur demikian rupa, sehingga benar-benar menyulitkan cara
pengobatannya.
Ada lagi yang terserang paru-parunya de-ngan empat batang paku, sehingga
menye-babkan dia terbatuk-batuk tiada henti dengan memuntahkan darah.
Seorang lain, rusak tulang iga-iganya sampai berkeping-keping. Meskipun jantung
dan paru-parunya utuh, tetapi betapa mungkin dapat disembuhkan kembali. Ada
pula yang rusak bagian tubuh-nya yang penting tanpa menderita luka dan seorang
lagi terus-menerus mencakari gundulnya tanpa dikehendaki sendiri.
Manik Angkeran benar-benar terpaksa me-ngerutkan kening. Pikirnya dalam hati,
biarpun aku disuruh memilih, tak mampu aku mengobati salah seorang di
antaranya. Siapakah Nenek Karumbi itu? Mengapa dia begini jahat dan ganas? '
Memikir demikian, segera ia memasuki bilik Rostika sambil berkata, "Kak Rostika!
Apakah engkau sudah tidur?"
Dengan menarik tempat duduk, Manik Ang-keran terus berkata gopoh. "Kak
Rostika, aku terpaksa membuat engkau kecewa. Dengan sebenarnya aku tak
sanggup menolong mereka."
"Adikku yang baik, mengapa? Kau tadi dapat menolong aku. Mereka terluka parah
oleh tangan yang sama."
"Ah ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Aku hanya memikirkan kepentingan sendiri.
Mari!"
"Tapi ... tapi ... dilukai demikian rupa samalah halnya dengan dibunuh sekali mati,"
potong Manik Angkeran bernafsu. "Penyiksaan ini bahkan lebih berat daripada
pembunuhan. Sebab, luka itu sendiri tak mungkin dapat disembuhkan kembali."
"Tidak, adikku. Benar engkau adalah murid tuanku Maulana Ibrahim, tapi aku yakin
engkau belum mengenal kesaktian dan kemampuan gurumu benar-benar. Nenek
itu sesungguhnya hanya membuat gurumu sibuk. Dia yakin, gurumu pasti dapat
menyembuhkan kembali. Kalau tidak, masakan kita digebahnya agar datang ke
mari?"
"Memang aneh," pikirnya dalam hati. Dan tak terasa terloncatlah perkataannya, "Ya
memang aneh. Hamid tadi berkata, bahwa nenek itu minta pertanggunganjawab
guruku. Nampaknya peristiwa ini mempunyai latar belakang yang belum kita
ketahui."
"Guru? Apakah ... apakah," Manik Angkeran terkejut. Terus saja ia meloncat dari
tempat duduk sambil berkata kepada Rostika. "Kak Rostika tak biasanya guru turun
dari persema-dian begini cepat ... Kau mengasolah dahulu! Esok pagi masih ada
waktu. Sudahkah kau minum obat pulasmu?"
Rostika mengangguk. Katanya, "Rasa sakit-ku sudah banyak berkurang. Kalau kau
mem-butuhkan aku, engkau boleh masuk ke kamar pada sembarang waktu ..."
"Kurang lebih dua puluh orang datang berturut-turut ke mari semenjak pagi tadi.
Sudah kuberitahukan bahwa guru tak bersedia menerima tamu, namun mereka tak
mau pergi. Mereka menderita luka parah."
"Tak peduli siapa mereka atau apa yang dideritanya, aku tak mau diganggu."
"Ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Tetapi luka mereka sesungguhnya sangat
aneh."
Dengan demikian kurang lebih dua jam la-manya, ia mondar-mandir sampai selesai
memberi laporan terakhir. Dan berulang kali, ia mendengar gurunya menghela
napas. Rupanya benar-benar gurunya memeras otak untuk menentukan gejala-
gejalanya dengan tepat.
"Tuan Maulana Ibrahim! Kau disebut se-orang tabib sakti yang saleh. Selain itu
terkenal sebagai seorang pertapa yang tinggi-budi. Kalau kau sekarang menolak
suatu tugas suci yang diberikan Tuhan, tiada gunanya engkau hidup sebagai tabib
sakti."
Yang berkata demikian adalah Suria. Ia tak sabar melihat mondar-mandirnya Manik
Angkeran dan tak tahan menanggung luka parahnya yang makin lama makin terasa
menjadi runyam, sehingga mengikuti Manik Angkeran masuk ke dalam gubuk
dengan diam-diam.
"Kau siapa sampai berani berbicara begitu terhadapku?" bentak Maulanan Ibrahim.
"Hm ... biarpun kau murid dewa sekalipun, apakah peduliku? Kau mampus atau
tidak bukan urusanku. Pulanglah cepat-cepat. Barangkali masih sempat engkau
bertemu dengan anak isterimu."
"Tuanku Ibrahim! Kau diancam seseorang. Diapun hendak datang ke mari. Kalau
kau sudi mengobati aku sampai sembuh, bukankah aku dapat membantumu?"
"Hm ... sekiranya benar, kau bisa menga-pakan dia? Kau akan mampus sebelum
dapat bergerak."
Suria mengeluh. Ia kini mulai merintih. Tatkala Maulana Ibrahim masih saja bersikap
dingin, habislah sudah kesabarannya. Terus saja ia membentak sambil mengancam.
"Baik, baik! Memang aku mau mampus. Tapi sebelum mampus, biarlah aku
menikam ulu hatimu dahulu!"
Pada saat itu, masuklah Hamid dengan ter-tatih-tatih. Mendengar kekasaran Suria,
ia menghunus goloknya dan menuding dengan gemetaran. Bentaknya. "Kau bilang
apa? Kau berani berkurangajar terhadap tuanku Maulana Ibrahim? Aku Hamid,
meskipun tunggal seperguruan akan membunuhmu sebelum kau bergerak
menghampiri pintu. Hayo cobalah! Cobalah, kalau mau merasakan tikamanku ..."
"Muridku itu bernama Manik Angkeran. Berasal dari Jawa Tengah. Sedangkan aku
datang dari Kerajaan Banten. Antara aku dan dia sesungguhnya tiada hubungan
apa-apa juga, selain hubungan sebagai guru dan murid. Meskipun dia sudah
mendekam di sini kurang lebih tiga tahun lamanya, tapi janganlah mengharap
bahwa dia mampu mengobati luka kalian. Kalau tak percaya, tanyakanlah sendiri!"
Seketika itu juga kepala Hamid dan Suria seperti terguyur air dingin. Semula
mereka berharap penuh akan kemampuan bocah itu sampai mau memanggilnya
sebagai paman baik budi. Tadi mereka menyaksikan sendiri, betapa bocah itu dapat
menolong luka Rostika. Mereka tak tahu, bahwa luka yang diderita Rostika jauh
berlainan daripada luka yang dideritanya.
Hamid hampir berputus asa tatkala tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Ia
merogoh sakunya dan mengeluarkan batang baja berbintang segitiga. Kemudian
dilemparkan ke dalam kamar Maulana Ibrahim.
"Orang yang memiliki senjata inilah yang melukai kami. Diapun menggebah kami
agar datang ke mari. Dia berkata pula hendak datang meminta pertanggungjawab
tuanku."
Baja berbintang segi tiga itu jatuh ber-kelontangan di dalam kamar. Lantas sepi
tiada suara. Lama sekali dan baru terdengar Maulana Ibrahim menghela napas.
"Manik Angkeran! Sudah kau periksa se-muanya yang luka?" sejenak kemudian
Maulana Ibrahim menegas.
"Sudah."
"Karena ... karena ... aku tak sudi melihat mereka mati di depan pertapaan guru,"
sahut Manik Angkeran sulit.
"Benar," sahut Manik Angkeran gugup. "Dia seorang wanita yang menderita
penganiayaan pula."
"Muridmu telah mengobatinya. Dan perem-puan itu kini bisa tidur nyenyak."
"Manik Angkeran! Kau sudah pilih kasih. Maka kau boleh coba yang lain. Kalau
sudah, suruhlah pergi. Juga perempuan itu! Aku tak menghendaki siapa saja berada
di sini. Kau dengar? Nah, kerjakan. Lalu datanglah kau ke mari!"
"Huh!" dengus Manik Angkeran. "Terhadap wanita itu aku hanya menolong
meringankan penderitaannya. Bukan mengobati dan me-nyembuhkan. Lagipula
luka yang dideritanya tidaklah semacam yang kau derita. Kau jauh lebih parah.
Entah aku berhasil menolongmu, tergantung kepada nasib baikmu belaka."
Setelah berkata demikian, ia keluar ke se-rambi depan. Dua orang badai membantu
menyalakan beberapa obor, sehingga halaman cukup diterangi. Berkatalah dia lagi:
"Tuan-tuan! Aku masih muda dan pengala-manku masih sangat hijau. Luka tuan
aneh luar biasa. Apakah aku mampu mengobati, tak tahulah aku. Sama sekali aku
tak mempunyai pegangan. Mati dan hidup tuan tergantung kepada takdir."
"Hai! Janganlah kau cerewet tak karuan. Lekas obati aku!" tungkas Hamid.
"Kau?" Manik Angkeran mendongkol. "Be-lum lagi kau sembuh sudah lupa kepada
paman yang baik budi. Kau kuobati atau tidak, bukankah terserah padaku?"
"Ooo ... bukan begitu maksudku ... eh pa-man yang baik budi. Soalnya, karena aku
sudah tak tahan lagi..."
Memang pada saat itu, mereka semua sudah tak tahan menanggung
penderitaannya. Seluruh tubuhnya terasa menjadi gatal, pegal, nyeri dan panas-
dingin hampir berbareng mereka merintih-rintih.
"Anak manis! Aku hanya menjanjikan me-ngurangi rasa sakit. Bukan untuk
menyem-buhkan," seru Manik Angkeran.
"Baiklah. Kau mau mengobati sampai sem-buh? Itulah urusanmu. Tapi kau saksinya,
bahwa sama sekali aku tak menyentuh mere-ka biar seorangpun," kata Maulana
Ibrahim memutuskan.
Kalau saja Fatimah bisa menyaksikan kepandaian tunangannya, alangkah akan lain
kesannya, pikir Sangaji senang. Dahulu dia berkata, tunangannya banyak
kekasihnya dan berlagak seorang raja. Tentu saja. Sebagai seorang tabib pastilah
dia dikerumuni orang, tak beda dengan seorang raja.
Selagi memikir demikian, matanya yang tajam luar biasa melihat sesosok bayangan
berkelebat dalam kegelapan. Bayangan itu berperawakan seorang laki-laki. Gerak-
gerik-nya gesit. Segera ia menajamkan penglihatan. Dan oleh ilmu saktinya yang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan, dengan tenang ia melihat bahwa laki-laki
itu berkumis lebat dan berjenggot panjang.
"Mereka tadi membicarakan seorang nenek yang bertangan ganas dan keji. Tapi
bayangan ini, terang seorang laki-laki. Siapakah dia?" Sangaji menduga-duga.
"Benar-benar aku tak mengerti," Manik Angkeran berkata kepada dirinya sendiri.
"Terang sekali, keadaan mereka tadi sudah menjadi baik. Kenapa lukanya kini
tambah parah? Lihat! Bukankah ini tanda-tanda bintul baru?"
Dua orang badai di sampingnya segera menerangi dengan obornya. Mereka meng-
iakan sambil memanggut-manggut.
Cepat Manik Angkeran memeriksanya, la jadi tambah tak mengerti. Akhirnya terio-
ngong-longong kebingungan.
Melihat kebingungan Manik Angkeran, hati Sangaji yang mulai tergerak. Teringat
gerakan bayangan tadi, ia sudah bisa menebak dela-pan bagian. Timbullah
keputusannya hendak mengkisiki. Segera ia menginjak dahan ke-ring. Kemudian
berkelebat lewat dinding sam-ping.
Melihat kenyataan itu, tak berani ia mengu-ber. Jantungnya berdegupan. Dan tiba-
tiba saja timbullah darah kesatrianya.
"Kalau guru sampai mengusik Kak Rostika, meskipun tiada tenaga akan kulawan dia
sampai ajalku tiba," katanya di dalam hati.
Rostika adalah murid Edoh Permanasari. Menurut pantas jangan lagi sampai
dipanggil demikian nyaring, baru mendengar suara gemeresak yang mencurigakan
pasti akan ter-bangun dengan sendirinya. Tetapi sudah sekian lama Manik
Angkeran memanggilnya, tetap saja tiada jawaban.
Dengan hati berdebar-debar, Manik Ang-keran memasuki bilik Rostika yang masih
saja tidur dengan nyenyak di samping anaknya.
Obat pulas memang menolong menyenyak-kan tidur. Tetapi tidaklah sehebat ini,
pikir Manik Angkeran. la menajamkan penciuman. Dilongoknya mangkok bekas obat
pulas. Ia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Maka hati-hati ia menyelidiki
pernapasan Rostika dan Atika.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera lari mencari ramuan-ramuan obat tertentu.
Kemudian dicekokkan ke dalam mulut Rostika. Sejenak ia menggoyang-goyangkan
tubuh Rostika sambil memanggil namanya.
"Ssst! Aku Manik Angkeran. Mari kita ke luar," sahut Manik Angkeran dengan suara
tertahan.
Mendengar suara Manik Angkeran yang berkesan gawat, Rostika segera bangkit de-
ngan hati-hati. Setelah menyelimuti anaknya, ia mengikuti Manik Angkeran ke luar
rumah.
"Kak Rostika!" bisik Manik Angkeran setelah berada di tepi halaman pertapaan.
"Kau tadi kena racun tidur yang dimasukkan ke dalam tubuhmu lewat urat.
Sebenarnya engkau mempunyai permusuhan apa dengan guruku Panembahan
Maulana Ibrahim?"
"Kalau saja aku tidak menjengukmu, pasti-lah aku dan Atika akan kehilangan
engkau untuk selama-lamanya..."
"Sekiranya aku bermusuhan dengan guru-mu, masakan aku akan datang ke mari?
Gurumu adalah angkatan tua. Kedudukannya sejajar dengan kakek guruku, Ratu
Fatimah."
"Ya ... Ratu Fatimah. Bukan Fatimahmu. Di dunia ini ribuan orang yang bernama
Fatimah. Dan Ratu Fatimah itu adalah permaisuri dan penguasa tunggal Kerajaan
Banten."
Rostika sudah lama tahu, bahwa Fatimah adalah tunangannya Manik Angkeran.
Pemuda itu dahulu sering membicarakan. Seumpama saat itu tidak dalam
ketegangan, pastilah akan menjadi suatu pembicaraan yang menarik dan
menggelikan.
"Selama hidupku, belum pernah aku berhadapan muka dengan gurumu," Rostika
malanjutkan. "Aku hanya mendengar kebe-saran namanya. Itulah yang dahulu
kuanjurkan kepadamu, agar engkau berguru kepadanya, karena aku melihat
bakatmu sangat bagus. Kau kini berhasil diterima menjadi muridnya. Hatiku
bersyukur... sekarang kau berkata bahwa aku tadi diracunnya. Kalau benar, aku jadi
tak mengerti... Apakah, apakah ..."
"Kak Rostika! Percayalah, aku berkata de-ngan sesungguhnya. Sebab aku melihat
bayangannya keluar dari bilikmu. Setelah aku memeriksa tubuhmu, kudapati racun
menge-ram dalam dirimu." Manik Angkeran meya-kinkan. "Apakah engkau mau
memberi ke-terangan dengan sebenarnya?"
"Mengapa tidak? Kau telah menolong jiwaku. Masakan aku akan berdusta padamu?"
"Kak Rostika. Kau sudah bersedia hendak memberi keterangan dengan sejujur-
jujurnya. Benar, bukan?"
"Tentu, tentu. O, adikku. Hampir empat tahun aku hidup bersuami-istri dengan
kakakmu Suhanda. Dari luar nampaknya aman ten-tram, tapi sesungguhnya
tidaklah demikian. Kami berdua selamanya merasa terancam bahaya pada tiap-tiap
detik. Ini disebabkan, karena aku berasal dari keluarga Ratu Fatimah, sedangkan
kakakmu adalah seorang anggota Himpunan Sangkuriang. Justru dua golongan itu
merupakan musuh keturunan. Perkawinanku dengan kakakmu Suhanda, tidak
dikehendaki oleh golonganku. Demikian pula sebaliknya. Kami berdua terpaksa
memencilkan diri ..." Sampai di sini Rostika berhenti. Ia seperti tak sanggup
meneruskan.
"Apakah peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan masalah perkawinanmu?" Manik
Angkeran menegas.
"Kak Rostika! Aku mungkin bisa cepat mengerti mengenai hal-hal ketabiban. Tapi
dalam urusan luar, otakku tumpul."
Rostika tersenyum.
"Kalau begitu, biarlah aku bercerita yang urut agar engkau mengerti persoalan ini
de-ngan jelas."
Ratu Fatimah sudah lama wafat ... Eh, kau senang tidak mendengar sejarah orang-
orang tua ini?"
"Bagus!" Rostika bersemangat. "Ratu Fatimah mempunyai seorang murid yang kini
menjadi penggantinya. Dialah guruku. Nama-nya Edoh Permanasari. Dan nenek dari
pegu-nungan Karumbi mempunyai seorang anak laki-laki bernama Kamarudin.
Antara guruku dan pendekar Kamarudin terjadi suatu jalinan cinta-kasih semasa
mudanya."
Rostika berhenti lagi. Wajahnya merah dan ia menundukkan kepala. Dalam hati,
segan ia membicarakan riwayat gurunya. Tapi karena sudah berjanji, ia
menguatkan hati untuk melanjutkan. Katanya tak lancar,
"Tapi agaknya, Tuhan tidak merestui per-hubungan itu. Entah apa sebabnya ... atau
entah siapa di antara mereka berdua yang salah ... mereka berpisah dan saling
berden-dam. Guruku waktu itu belum mencapai pun-cak ilmu perguruannya. Oleh
dendam hati, ia bertekun sampai dua puluh tahun lamanya. Kemudian mulailah dia
melampiaskan den-damnya. Dia membunuh dan mencelakai semua orang yang
hidup terlalu rukun dalam keluarganya. Sebab guruku tak sudi melihat sepasang
suami-isteri yang terlalu mesra atau sepasang muda-mudi yang berbahagia. Itulah
sebabnya, semua murid-murid guruku tak diperkenankan hidup berkeluarga."
"Ah tahulah aku kini, apa sebab engkau selalu merasa diri terancam. Karena
engkau hidup berbahagia dengan kak Suhanda, bukan?"
"Tidak hanya itu saja. Kakakmu Suhanda adalah anggauta Himpunan Sangkuriang."
"Baik. Tapi apa sangkut-pautnya dengan nenek dari pegunungan Karumbi itu."
"Manik Angkeran! Meskipun semenjak aku menjadi isteri kakakmu Suhanda tidak
tahu menahu lagi tentang urusan perguruanku, namun dalam hatiku tetap
menghormati guruku Edoh Permanasari. Guruku boleh kejam dan berbuat
sewenenang-wenang ter-hadap siapa saja, namun aku adalah muridnya. Betapapun
juga, dia adalah mustika hatiku. Tapi ... tapi ... mendadak dalam bulan ini terjadilah
suatu malapetaka yang menyedihkan. Oleh dendamnya yang sangat besar, guru
jadi mata gelap. Keluarga Kamarudin dihabisi nyawanya sampai ke itik dan ayam-
ayamnya."
"Tidak hanya itu saja, rumahnya dibakar. Isteri dan anak-anak pendekar Kamarudin
setelah dibunuhnya, dirusak tubuhnya dan dilemparkan ke unggun api sehingga tak
beda dengan binatang terpanggang," Rostika ter-engah-engah.
"Sudahlah wajar, bahwa ibu pendekar Kamarudin turun dari pegunungan untuk
membuat pembalasan. Meskipun demikian ... menghadapi aku murid Edoh
Permanasari, dia tidak berlaku ganas seperti guruku tatkala menghancurkan anak
isteri pendekar Kamarudin. Aku hanya dilukai sedangkan Atika sama sekali tak
disentuhnya. Entahlah bila dia menghadapi gurumu kaum se-angkatannya.
Rupanya dia minta pertang-gunganjawab gurumu. Sebab gurumu adalah penasihat
dan pembantu almarhum Ratu Fatimah. Sedangkan guruku adalah murid Ratu
Fatimah."
Mendengar keterangan sejelas itu, Manik Angkeran jadi sibuk. Samar-samar ia
seperti dapat menebak maksud gurunya apa sebab mereka yang sudah diobatinya
dilukai kem-bali. Katanya perlahan.
"Tahulah aku kini ... Aku hanya diizinkan untuk sekedar meringankan penderitaan
mereka. Tapi aku berusaha keras hendak menyembuhkan. Guru tidak menolak,
meng-ingat dasar tujuan hidup seorang tabib yang harus menolong sesama hidup
sesuai dengan pengetahuannya. Tapi karena tidak menghen-daki akan terjadi
sesuatu ketegangan, dia merusak kembali apa yang sudah kukerjakan dengan
sebaik-baiknya. Rupanya guru segan dan menghormati nenek dari pegunungan
Karumbi, berbareng mengulurkan rasa kasih sayang terhadapku. Bukankah yang
penting di sini adalah ilmu cara mengobati luka yang aneh itu dan bukan siapa yang
kuobati? Meskipun demikian andaikata Kak Rostika sampai tewas, selama hidupku
aku akan menyesalinya."
"Adikku ... engkau memang seorang anak yang luhur budi. Pantaslah engkau
mewarisi ilmu ketabiban Panembahan Maulana Ibrahim yang kelak harus
kauamalkan," kata Rostika dengan terharu.
Senang Manik Angkeran mendengar pujian itu. Hatinya jadi puas. Setelah
menikmati rasa puasnya, sejenak kemudian dia menegas,
"Satu hal yang masih mengherankan aku, apa sebab kau dilukai bersama-sama
mereka. Apakah Kak Rostika berada di antara mere-ka?" .
"Secara kebetulan dan secara aneh sekali" jawab Rostika. "Betul mereka termasuk
go-longan penentang-penentang Himpunan Sangkuriang, namun mereka terdiri dari
alir-an-aliran bermacam-macam. Pengawal raja, pamong praja, polisi kerajaan,
kepala kam-pung, pedagang, pendekar-pendekar bayaran dan pemilik-pemilik
tanah kerajaan. Masing-masing mempunyai cara hidup dan kata-kata sandi sendiri
yang sangat dirahasiakan. Namun mereka kena tergiring juga ... Baiklah
kuceritakan mulai diriku sendiri."
"Ya ingin aku tahu, bagaimana cara nenek dari Karumbi itu melukai dirimu,"
tungkas Manik Angkeran.
"Malam ini, sebenarnya aku harus berada pada suatu tempat bersama-sama
kakakmu Suhanda."
"Di mana?"
"Sst! Ini adalah suatu rahasia besar. Dan janganlah aku kau desak untuk
menyebutkan nama tempat itu. Engkaupun tiada kepenting-annya."
"Baiklah"
"Tempat itu adalah pusat markas besar Himpunan Sangkuriang. Malam ini kami
harus datang dan berkumpul di sana. Kami sudah berkemas-kemas. Mendadak di
atas tempat tidurku aku menemukan tanda sandi perguruanku. Gambar mahkota
dengan perkataan: Kurnia. Itulah suatu perintah agar aku menghadap guru di
Jasinga. Melihat per-intah itu, hatiku sedih bukan main. Dua hari yang lalu kakakku
Suhanda terpaksa bertem-pur melawan sesama golongannya sema-ta-mata
mengenai diriku. Aku dituduh teman segolongannya sebagai ular berkepala dua.
Meskipun tidak seluruhnya benar, namun tidak salah pula. Tadi kuterangkan, bahwa
hati kecilku tak dapat meniadakan guruku Edoh Permanasari. Hutang budiku sangat
besar kepadanya."
"Lantas?"
"Dengan dalih hendak menitipkan Atika kepada bibiku yang bertempat tinggal di
Tanggerang, aku berhasil membujuk kakakmu Suhanda agar berangkat terlebih
dahulu. Aku berjanji padanya akan menyusul secepat mungkin dan tepat pada
malam yang ditentukan. Hem ... tak kukira, bahwa aku akan menemui halangan
ini," Rostika mengeluh.
"Meskipun kami tidak saling membuka hati, tapi kami tahu bahwa alasan kami
keluar dari rumah semata-mata berhubungan dengan adanya musyawarah
Himpunan Sangkuriang yang dimulai pada malam hari ini. Demi hal itu, mereka
termasuk aku yang mempunyai kepentingan langsung, berani menghadapi bahaya.
Ternyata pada malam hari itu, kami semua sudah kena dikelabuhi lawan. Sudah
barang tentu, mereka mencak-mencak karena gusar. Tetapi sesudah berpikir
panjang, mere-ka jadi bergeridik semua. Itulah disebaban pe-rihal tanda sandi.
Kalau saja lawan yang main gila itu bukan seseorang dari angkatan tua, yang tahu
seluk beluk golongan dan aliran kami, tidaklah mungkin dapat mengetahui tanda-
tanda sandi masing-masing."
"Selagi mereka sibuk berbicara, aku mendengar suara orang terbatuk-batuk di luar,
pikirku apakah diapun termasuk seorang yang kena digiring ke rumah kosong itu?
Aku sendiri waktu itu sudah memutuskan hendak segera berangkat."
Melihat nenek itu, aku mengurungkan niatku hendak segera berangkat. Ia kuberi
jalan masuk dahulu. Sekarang kulihat, ia menggenggam sebuah tongkat dari baja
putih pada tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya membawa serenteng
kalung baja berbintang tiga.
"Hai! Jadi dialah nenek dari pegunungan Karumbi?" potong Manik Angkeran dengan
suara tegang.
"Ya. la mengenakan pakaian kasar. Kesan-nya seorang yang miskin. Tapi anak laki-
laki di sampingnya mengenakan pakaian bersih dan rapi. Kukira dialah anak
pertama pendekar Kamarudin yang dikabarkan semenjak kecil dirawat neneknya. Di
antara keluarga pendekar Kamarudin hanya dia seorang yang selamat dari
malapetaka."
"Dalam pada itu, nenek berbongkok tadi sudah masuk ke dalam ruang rumah."
Rostika melanjutkan, "la terus terbatuk-batuk tiada hentinya. Tatkala melihat orang-
orang yang berada di dalam rumah ia bergumam seorang diri: "Hanya dua puluh
tiga orang. Coba tanyakan, apakah ada di antara mereka yang bernama Edoh
Permanasari?" Si anak kecil kemudian berkata lantang. "Hai! Apakah di antara
kalian ada yang bernama Edoh Permanasari?"
"Mendengar seruan itu, hatiku bergidik bukan karena takut. Tapi ngeri menyaksikan
betapa anak laki-laki seumur itu mengesankan suatu kumandang suara yang
bernada dendam kesumat. Dendam kesumat oleh perbuatan.guruku."
Tatkala nenek itu memasuki rumah, kecuali aku tiada yang menaruh perhatian.
Sebab masing-masing sibuk dengan teka-teki yang sedang dihadapi. Tapi begitu
mendengar suara anak laki-laki itu, mereka segera sadar.
"Nenekku bilang, apakah ada di antara kalian yang bernama Edoh Permanasari?"
"Meskipun aku kena pukulan, namun pi-kiranku masih bekerja. Aku dibingungkan
oleh suatu peristiwa yang terjadi derlgan tiba-tiba dan di luar dugaan. Dalam pada
itu kulihat nenek bongkok tadi melesat ke sana ke mari dengan menghantam
serabutan. Luar biasa cepat gerakannya. Baik caranya menyerang, gerakan
tubuhnya dan tenaga pukulannya. Dua puluh dua orang yang terdiri dari pendekar-
pendekar kelas utama pada zaman ini, kena dirobohkan tanpa bisa mengadakan
perlawanan sedikitpun. Mereka baru sadar setelah kena pukulan."
Setelah ke-22 orang itu roboh tak berkutik, nenek bongkok itu kemudian
menaburkan renceng baja berbintang tiga. Masing-masing mendapat bagiannya.
Lenganku kebagian pula tiga batang baja.
"Mahmud! Biarlah lengannya yang sebelah utuh seperti sediakala. Sebab Edoh
Permanasari hanya memiliki separoh tubuh-nya ..."
"Guru!" Ia memekik terkejut bercampur heran. Tapi belum habis ia menjenak napas
dadanya kena terpukul sehingga ia jatuh ter-jongkok.
Rostika menerjang sambil melontarkan pukulan. Tetapi pendekar wanita itu dalam
keadaan luka. Lengan kirinya tak dapat digu-nakan. Begitu kena serangan balasan
tak dapat ia menangkis. Dalam satu gebrakan ia jatuh terkulai dan tak dapat
berkutik lagi.
Waktu itu fajar hari hampir tiba. Suasana alam lebih terang daripada bulan
purnama. Dengan jelas Manik Angkeran mengenal siapa penyerangnya. Benar-
benar gurunya. Kumis-nya yang tebal serta jenggotnya yang panjang tak dapat
disembunyikan dalam keremangan alam.
Seketika itu juga, beratus ribu tanda tanya berkelebatan dalam benak pemuda
Manik Angkeran. la melihat gurunya menghampiri Rostika yang sudah tak dapat
berkutik. Dagu Rostika dipenyetnya sampai mulutnya yang mungil terpaksa
terbuka. Kemudian gurunya mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya.
Rostika sendiri kala itu sudah tak berdaya. Dia hanya bisa melihat gerak-gerik
lawan tanpa dapat mengadakan suatu perlawanan. Tatkala orang itu mengeluarkan
sebuah botol dan membuka tutupnya, hidungnya mencium suatu bau ramuan racun
yang sangat jahat. Seketika itu juga, kepalanya terasa menjadi pusing. Dadanya
sesak dan ingin melontak. Ingin ia bergerak. Tapi benar-benar sudah kehilangan
tenaga.
"Manakala racun dalam botol itu sudah ter-tuang di dalam mulutku, habislah sudah
riwayatku. Kasihan Atika."
Teringat Atika yang bakal menjadi anak yatim, hatinya menjadi pilu. Tapi dasar dia
se-orang pendekar maka dalam keadaan terjepit masih sempat ia menyerahkan diri
kepada takdir. Hatinya lantas saja menjadi tabah.
Di luar dugaan, tatkala racun itu hampir dicekokkan ke dalam mulutnya, mendadak
Manik Angkeran nampak meloncat bangun. Seperti kerasukan setan, pemuda itu
melom-pat menubruk sejadi-jadinya.
Orang itu terkejut. Dalam gugupnya ia melemparkan botol racunnya. Lalu bergerak
hendak menangkis berbareng mendahului menyerang. Tetapi lompatan serta
serangan Manik Angkeran terlalu sangat cepat dan bertenaga luar biasa besar.
Tahu-tahu ia ter-lempar dengan berjungkir balik.
Manik Angkeran sendiri kaget luar biasa atas tenaganya sendiri, la bertambah kaget
dan heran sewaktu melihat korbannya. Ternyata orang itu berkumis dan berjenggot
palsu.
"Hai! Si ... sia ... siapa kau?" seru Manik Angkeran gugup.
Tanpa mengeluarkan suara, orang itu terus lari tunggang-langgang turun gunung.
Melihat kaburnya orang itu Manik Angkeran terpaku sejenak. Lalu menghampiri
Rostika dan segera memeriksa lukanya.
"Tidaklah sesakit kau kira. Aku baik-baik saja," sahut Rostika dengan suara lega.
"Hanya saja ... tak kukira engkau memiliki ilmu sakti jauh lebih tinggi daripadaku.
Tenaga lontaranmu benar-benar dahsyat seperti seorang pendekar kelas wahid."
"Ya, ya, ya ... sebenarnya ... sebenarnya aku sendiri tak mengerti. Aku justru
merasa seperti terlontarkan oleh suatu tenaga dorong dari belakang," ujar Manik
Angkeran bingung.
"Kak Rostika! Kurasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi dalam pertapaan. Jangan-
jangan orang itu telah mencelakai guruku pula," ujar Manik Angkeran gugup. "Kau
tengoklah Atika. Aku sendiri akan menjenguk guru."
Sehabis berkata demikian, seperti kera-sukan setan Manik Angkeran lari ke gubuk.
Tiba di halaman, dia bertambah curiga. Dua badai yang tadi menyalakan obor, tak
nampak batang hidungnya. Ia mencoba memanggil-manggil yang lain. Merekapun
sepi. Pertapaan terasa menjadi kosong. Oleh kesan itu, tergopoh-gopoh ia
melompat masuk ke gubuk langsung menuju ke kamar gurunya.
Sangaji yang selalu berada tak jauh dari-padanya, terus menguntit dari belakang.
Karena hari hampir terang, ia melesat ke atas atap. Dari sana ia mengikuti gerak-
gerik Manik Angkeran sambil bersiaga.
"Guru! Guru!" Manik Angkeran terus menerobos masuk ke dalam kamar. Hatinya
mence-los tatkala, melihat gurunya terbaring di atas lantai tak berkutik lagi. Cepat
ia melompat menghampiri dan segera memeriksa pemapasannya. Napas gurunya
berjalan sangat lembut dan nadinya berdenyut lemah. Sekilas harapan melintas
pada lubuk hati pemuda itu.
Segera ia membuat ramuan obat tertentu dan terus dimasukkan ke dalam mulut
gurunya. Pikirnya: "Benar-benar aneh! Guru teracun pula seperti kak Rostika. Aih,
sungguh aku anak goblok. Pertapaan sudah kerasukan pengacau, semenjak tadi
namun aku belum sadar."
"Hai, apakah semuanya sudah terjadi? Alhamdulilah, akhirnya bencana dapat kita
lampaui dengan bagus. Tepat pada rencana kita."
"Hai! Hai! Kenapa justru kau yang menolong aku?" Mendengar ucapan gurunya ini,
Manik Angkeran bertambah bingung.
"Ah ..." Manik Angkeran kaget, sepintas lalu ia seperti sudah dapat menebak
beberapa bagian. Tapi... tapi... ia tergagap gagap.
"Tapi bagaimana?"
"Dia tadi memukul aku... lalu akan mence-koki mulut Kak Rostika dengan racun.
Karena itu dia kuserang dari belakang punggung. Dia jatuh. Topengnya terbuka...
lalu... lalu lari turun gunung ..."
"Anak tolol!" bentak Maulana Ibrahim. Ber-bareng dengan ucapannya, orang tua itu
melompat berdiri dan menggampar pipi Manik Angkeran pulang balik sampai
menjadi be-ngap.
Tamparan itu benar-benar tidak terduga. Manik Angkeran tak bisa mengelak. Tak
mengherankan, bahwa matanya menjadi berkunang-kunang dan serasa ia hampir
jatuh pingsan.
Dialah Rostika yang muncul di belakang Manik Angkeran dengan membawa pedang
terhunus.
Sambil meraba kedua pipinya yang panas pedas, Manik Angkeran mengawaskan
guru-nya. Hati dan benaknya jadi sibuk tak keruan.
"Guru!" Akhirnya dia memberanikan diri untuk berbicara. "Benar-benar aku tak me-
ngerti apa yang sudah terjadi."
"Kau memang anak tolol dan sembrono. Justru kesemberonoanmu inilah yang me-
rusak rencana kita berdua dengan sekaligus," Maulana Ibrahim menggerutu. Ia
menghela napas dalam. Akhirnya setelah berdiam seje-nak, ia kemudian berkata
agak sabar: "Baiklah ... apa boleh jadi. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesalpun
tiada guna lagi," setelah berkata demikian mendadak pandangnya berubah menjadi
lembut. Ia mengamat-amati kedua pipi Manik Angkeran dan berkata penuh
perasaan, "Sakitkah kedua pipimu?"
Sebenarnya, Manik Angkeran rnasih merasakan panas dan pedas, namun melihat
perubahan gurunya dari bergusar menjadi sabar diam-diam ia bersyukur dalam
hati. Maka sahutnya ringan: "Tak apalah guru menampar kedua pipiku. Muridmu
yang tolol yang sudah merusak rencana kerja guru, patut menerima hukuman lebih
berat lagi."
"Tidak! Tidak! Akupun akan berbuat seperti engkau juga, sekiranya menghadapi
soal ini," ujar Maulana Ibrahim di luar dugaan. "Du-duklah! Mana tadi yang kau
sebut kakak?"
Manik Angkeran tahu, dialah Rostika. Dengan mata ia memberi isyarat agar Rostika
datang menghampiri.
Rostika tak segera menjawab. Hatinya ma-sih penuh teka-teki. Namun demikian, ia
me-nyarungkan pedangnya sambil mengangguk.
"Kau dilukai pula oleh seorang nenek dari pegunungan Karumbi, bukan? Dialah adik
seperguruanku. Semasa mudanya, dia berna-ma Diah Kartika. Seorang wanita
cantik jelita tak ubah bintang kejora."
Meskipun dari angkatan muda, sedikit banyak Rostika sudah mendengar hal itu dari
keterangan gurunya. Itulah sebabnya ia tidak menunjukkan suatu perubahan.
Sebaliknya tidaklah demikian halnya dengan Maulana Ibrahim. Begitu menyebut
nama Diah Kartika, mulutnya menyungging senyum manis dibarengi dengan nyala
mata berseri. Tapi hanya sekejap. Setelah itu meredup kembali.
"Kami bertiga mewarisi kepandaian guru yang dapat diandalkan. Aku mewarisi ilmu
ketabiban. Tatang mewarisi ilmu tata pemerintahan. Dan Diah Kartika ilmu sakti
tata berkelahi. Kami bertiga berjanji akan saling membahagiakan serta tidak
mencampuri urusan kami masing-masing. Sekarang murid Ratu Fatimah merusak
keluarga Diah Kartika. Itulah Edoh Permanasari. Sudah barang tentu tidaklah salah
bila Diah Kartika menuntut dendam kepada kami berdua. Sebab kami berdua
adalah penasihat-penasihat serta pembantu almarhum Ratu Fatimah."
Mendengar kata-kata Maulana Ibrahim, tak terasa Rostika mengeluh dalam hati.
Sepak terjang gurunya memang agak keterlaluan. Itulah gara-gara cerita asmara
saja.
"Bagus!" ujar Maulana Ibrahim cepat. "Sebenarnya bagus rencana itu. Buktinya kau
tak pernah melihat pamanmu."
"Maka terpaksalah aku berlaku adil. Kukisiki engkau bagaimana caramu menolong
mereka. Setelah itu semalam aku merusaknya lagi. Rupanya Tatang Manggala
minta keadilanku. Dengan menyamar sebagai diriku, diapun lantas meracun anak
murid Edoh Permanasari. Tapi ... tapi ... engkau telah menolongnya kembali.
Dengan demikian, timbullah amarah Tatang Manggala. Aku disuruh memilih:
engkau kubunuh atau dia membunuh anak murid Edoh. Aku tak dapat memberi
keputu-san dengan segera. Sebab kulihat antaramu dan anak-murid Edoh agaknya
pernah terjadi suatu perhubungan mirip satu keluarga. Akhirnya setelah berjam-jam
merenungkan hal itu, aku menemukan suatu jalan. Aku memberinya semacam
racun yang dapat membius seseorang sampai lima jam lamanya. Waktu lima jam
cukuplah sudah untuk mengelabui Diah Kartika. Sebab dia akan tiba tepat
menjelang cerahnya matahari. Apabila dia melihat aku telah mati membunuh diri,
pastilah hatinya sudah menjadi puas. Terlebih-Iebih apabila dia melihat pula mayat
Tatang Manggala, murid-muridnya, orang-orang yang dilukai, anak-murid Edoh
Permanasari dan engkau sendiri. Adikku seperguruan Diah Kartika memang aneh
wataknya. Dia tidaklah bisa dipersamakan dengan manusia umum. Manusia
berbuat begini, dia berbuat begitu. Manusia berpikir begini, dia berpikir begitu.
Sekali dia memberi ancaman, takkan mau sudah, sebelum yang diancamnya mati
ketakutan sendiri."
"Apakah maksud guru, bibi tak pernah membunuh orang?" Manik Angkeran mene-
gas.
"Selamanya belum pernah ia membunuh orang. Tapi sering mengadakan
pembunuh-an," sahut Maulana Ibrahim cepat.
"Tidak hanya itu. Yang terpenting, ia memaksa korbannya mati karena ketakutan
sendiri."
"Dan mati demikian lebih tersiksa daripada dibunuhnya. Kami berdua tidak takut
mati. Tapi hati kami benar-benar terharu, apabila maut kami datang dari tangan
adikku seper-guruan yang kami sayangi semenjak masa mudanya."
Diam-diam Manik Angkeran dan Rostika merasakan keharuan itu. Memang terasa
sa-ngat menyedihkan, apabila orang tua itu ter-paksa harus mati oleh tangan adik
seperguru-annya sendiri.
"Apakah hal ini tidak dapat diterangkan?" Rostika mencoba. "Sebab terjadinya
peristiwa ini bukankah akibat perbuatan guruku yang memang agak keterlaluan?"
"Hm," dengus Maulana Ibrahim. "Kalau saja Diah Kartika adalah manusia lumrah
yang bisa diajak berbicara, masakan kami berdua tidak mempunyai pikiran
demikian?"
"Sekarang belum lagi terang tanah," kata Manik Angkeran. la seperti menemukan
suatu jalan sehingga suaranya jadi bersemangat. "Biarlah guru mengulangi minum
obat racun pembius itu. Aku yang nanti akan menyem-buhkan kembali."
"Macam ramuan racun tersebut belum per-nah kuajarkan kepadamu. Tetapi aku
mem-punyai catatannya. Kelak engkau dapat mem-buat sendiri. Sekarang tak
sempat lagi. Se-dangkan racun itu terbawa kabur paman gurumu. Bukankah engkau
yang membuat paman gurumu kabur turun gunung?"
Sangaji yang berada di atas atap tahu akan kesulitan itu. Ia menyesali diri apa
sebab bertindak hanya menuruti luapan hati saja. Tapi siapa mengira, bahwa di
dunia ini banyak terjadi suatu peristiwa yang sangat berbelit dan berada di luar
kewajaran. Sangaji adalah seorang ksatria tulen. Semua gerak-geriknya, sepak-
terjang serta pengu-capan hatinya selamanya berterus-terang. Gamblang terang
tiada berbelit-belit. Karena itu ia mengukur semuanya dengan bajunya sendiri.
"Aku ini memang anak tolol," pikirnya da-lam hati. "Baiklah mulai detik ini aku
bersikap akan menonton sampai semuanya selesai."
Memikir demikian, ia berjanji sepenuhnya. Janji bagi Sangaji tak ubah seperti suatu
sumpah. Dan ia akan menepati janji itu, biar Manik Angkeran menjadi perasa kini. la
se-olah-olah merasa diri menjadi pangkal akan terjadinya bencana. Selagi
berenung-renung terdengarlah suara batuk di kejauhan, la melihat Rostika kaget
sampai wajahnya menjadi pucat. Tatkala melemparkan pandang kepada gurunya,
orang tua itu terus berkata:
"Apa yang terjadi dengan diriku, kau tak usah memikir berkepanjangan, Manik Ang-
keran! Kau adalah muridku satu-satunya. Aku hanya bisa mewarisi segebung buku
catatan ilmu ketabiban dan racun. Ambillah nanti. Kusimpan di bawah tiang kanan
tempat tidurku. Gali! Kelak amalkan."
"Dengarkan! Sekarang tak ada tempo lagi. Lihat! Di tanganku ada sebuah pil. Inilah
pil perguruan kami yang berisi racun tiada duanya di dalam dunia. Selama hidupku
aku mencoba menyelidiki cara mengatasinya, tapi tak berhasil juga guru dahulu
bersabda, siapa di antara kami bertiga merupakan sebab mu-sabab terjadinya
suatu kesalahan, harus me-nelan pil ini..."
"Bagus! Nah telanlah!" Terdengar suara menungkas. Dialah Nenek Karumbi. Diah
Kar-tika. Batuknya tadi masih terdengar jauh. Tapi dengan tiba-tiba saja sudah
berada di belakang punggung Manik Angkeran. Bisa dibayangkan betapa cepat
gerakannya.
Dengan tersenyum pahit, Maulana Ibrahim menelan pil itu tanpa berbicara meski
sepatah katapun.
"Diah! Kau masih seperti dahulu juga. Masih mau menang sendiri," sahut Maulana
Ibrahim. "Bukankah aku dan Tatang sudah merasa takluk semenjak dahulu?"
"Di antara kita bertiga, engkaulah yang me-warisi ilmu sakti guru. Sebab engkaulah
satu-satunya murid perempuan," kata Maulana Ibrahim lagi. 'Tapi pernahkah
engkau mendengar pesan guru?"
"Guru rupanya kenal benar akan watakmu. Ramalannya ternyata tepat. Kita berdua
dila-rang keras untuk melawan meskipun hanya melawan berbicara. Guru berkata
kepada kita berdua begini: Dalam hal ilmu sakti tata berkelahi kamu berdua takkan
nempil melawan Diah. Juga dalam hal menggunakan racun serta menolak racun.
Sekiranya di kemudian hari ia berbuat kelewat batas terhadap kamu berdua
wakililah tangan gurumu. Telan pil ini. Meskipun kamu berdua bakal mati, namun
nama perguruan kita akan tetap bersemarak. Kau tak percaya kehebatan dari
ramuan racun pil yang kutelan ini? Hayo cobalah atasi! Kalau kau mampu Diah, aku
akan menyembahmu seperti guru sendiri."
Inilah suatu kejadian di luar dugaan Diah Kartika. Sebagai murid, ia kenal akan pil
itu. Namun tak pernah mengira, bahwa pil itu sesungguhnya disediakan gurunya
untuk menghadapinya. Dengan terbatuk-batuk, ia mengamat-amati wajah Maulana
Ibrahim. Ta-hulah dia, Maulana Ibrahim benar-benar telah keracunan hebat.
Sepanjang pengetahuannya, tak dapat ia mengatasi. Maka di dalam hatinya ia
merasa sudah kalah. Ia boleh hebat dalam bidangnya, ia boleh sakti. Namun belum
boleh dikatakan sebagai ahli waris ilmu gurunya penuh-penuh. Mau tak mau ia
harus mengakui, pentingnya kerjasama antara saudara sesama perguruan. Samar-
samar ia seperti dapat menangkap maksud gurunya sesungguhnya. Dia, Maulana
Ibrahim dan Tatang Manggala akan terpecah dan berpi-sahan berhubung dengan
keahlian masing-masing yang berbeda. Namun tidak berarti dapat berdiri sendiri
mewakili pamor perguruannya.
Sebagai seorang ahli racun tahulah dia, bahwa Maulana Ibrahim sudah keracunan
hebat dan tak mungkin dapat tertolong. Maka dalam hati kecilnya ia mengakui,
bahwa ilmu kepandaian gurunya berada di atas kepan-daiannya sendiri meskipun
semenjak keluar dari rumah perguruan sudah mencoba me-ngembangkan dengan
caranya sendiri sesuai dengan bakatnya.
Tatkala itu kedua kaki Maulana Ibrahim mulai bergerak-gerak. Sebentar saja dia
jatuh pingsan. Melihat keadaan gurunya, Manik Angkeran menangis menjerit-jerit.
"Manik Angkeran!" Rostika berkata. "Tadi kudengar, kau tak boleh memikirkan
keadaan gurumu dengan berkepanjangan. Kau diharuskan mengamalkan ilmu sakti
gurumu. Cobalah tengok, macam buku apa yang diwariskan gurumu kepadamu."
"Apakah tiada keterangan cara mengatasi racun yang ditelan gurumu tadi?" Rostika
me-negas.
Manik Angkeran segera memeriksa urat nadi, jantung dan pernapasan. Semuanya
berjalan sangat lemah. Hidup gurunya tinggal menunggu beberapa detik saja.
Melihat ke-nyataan itu hati Manik Angkeran sedih bukan main. Kembali ia menangis
menjerit-jerit sambil memeluk tubuh gurunya. Sekonyong-konyong, terdengar
Rostika berkata tinggi.
"Kak Rostika! Benar!" seru Manik Angkeran girang. "Guru rupanya sudah berhasil
mene-mukan pemunah racun perguruannya sendiri. Ini berarti, bahwa
sesungguhnya dialah yang berhak mewakili pamor perguruannya. Dia lebih menang
daripada Bibi Diah Kartika atau Paman Guru Tatang Manggala."
"Bagus!" Rostika bersorak girang pula. "Sudah kukira tadi sewaktu beliau menelan
pil racun dengan mengulum senyum. Sekarang, lekaslah kaukerjakan! Aku sendiri
akan segera berangkat."
Teringat bahwa nenek dari pegunungan Karumbi itu bisa pergi datang seperti iblis,
hati Manik Angkeran bergidik juga. Segera ia menyetujui keberangkatannya
Rostika. Kemudian ia memapah gurunya ke dalam kamar.
Benar saja. Baru saja ia rampung menelan-kan ramuan obat pemunah ke dalam
mulut gurunya, Diah Kartika sudah terbatuk-batuk di belakang punggungnya.
"Kau hebat bocah!" katanya kering. "Semua anak murid Tatang Manggala tiada
berguna. Mereka pantas mati muda. Tapi kau agaknya kau bisa menolong gurumu.
Itulah suatu nasib bagus bagi gurumu. Tapi semenjak ini, kau harus ikut aku
mendaki pegunungan Karumbi."
Pada saat itu, berbagai pikiran berkelebat dalam benak Manik Angkeran.
Teringatlah dia kata-kata pesan gurunya: Tujuh jam terbangun kembali. Tak
membutuhkan pengamatan istimewa. Lantas pergi jauh, amalkan kebajikan,
"Apa sebab? Lihat cucuku ini tidak mem-punyai teman. Diapun tiada gurunya,
seumpama berteman dengan salah seorang murid pamanmu Tatang Manggala
yang ternyata tak berguna sama sekali."
"Hm," dengus Manik Angkeran. Ia segera dapat menebak maksud bibi gurunya.
Teringat bahwa anak itu adalah anak pendekar Kamarudin, timbullah pikirannya:
Dia pasti bermaksud hendak mewariskan, seluruh ilmu saktinya, Melihat suatu
kenyataan bahwa ilmu ketabiban guru tidak boleh diremehkan, maka timbullah
niatnya hendak menawan aku. Dia bisa memaksa aku agar mewariskan ilmu guruku
kepada bocah ini. Sebaliknya belum tentu, dia mengizinkan aku mempelajari ilmu
saktinya. Memperoleh pikiran demikian dia membentak, "Bibi bukan orang baik-
baik. Tak sudi aku ikut."
"Di atas pegunungan segala yang kau sukai akan kusediakan dengan lengkap.
Makan, mi-num, perlengkapan-perlengkapan ilmu keta-biban dan semuanya,"
tungkas Diah Kartika. "Marilah, kau ikut bibimu. Kutanggung engkau takkan
terlantar hidupmu."
"Bocah! Namamu siapa? Hayolah ikut aku! Dengan pertolonganmu, ilmu perguruan
kita akan manunggal seperti kakak guruku dahulu. Dan tidak terbagi-bagi menjadi
tiga bagian," kata Diah Kartika membujuk. "Pamanmu Tatang Manggala, biarlah
berada di luar. Tak perlu Mahmud belajar tata pemerintahan segala. Toh akhirnya
cuma menjadi begundal boneka kompeni Belanda."
Dihadang demikian, timbullah rasa gemas dalam hati Manik Angkeran. Terus saja ia
mengayunkan tinju. Nenek dari pegunungan Karumbi tidak menangkis atau
mencoba me-ngelak. Ia hanya meniup. Tapi akibatnya hebat luar biasa.
Pergelangan tangan Manik Angkeran seperti kena tersambar besi. la kaget
setengah mati. Tak dikehendaki sendiri, ia memekik kesakitan sambil meloncat
mundur.
"Tak berguna kau berusaha akan menjauhi aku," kata Diah Kartika. "Gurumu
sendiri, ti-dak mampu. Kalau aku mau memaksa, guru-mu bisa kubawa ke
pegunungan. Tapi melihat engkau mewarisi seluruh ilmu ketabiban gurumu,
bukankah sudah cukup membawa dirimu saja. Lagipula kau lebih sesuai dengan
umur cucuku. Dan gurumu ... biarlah menikmati sisa hidupnya. Aku berjanji takkan
mengusik-usiknya lagi. Juga paman gurumu. Nah, bukankah beradamu di atas
pegunungan Karumbi berarti membuat jasa besar terhadap guru dan paman
gurumu?"
"Bibi benar-benar bukan orang baik. Tak sudi aku ikut!" Jerit Manik Angkeran. Sekali
lagi ia menghantamkan tinjunya. Tapi lagi-lagi ia kena tiup sampai terpaksa
menjerit-jerit kesakitan.
Dengan memutar tubuh, Diah Kartika memelototi Rostika dengan kelopak matanya
yang keriputan.
"Aha, kiranya kau masih belum mati? Kau anak murid bangsat Edoh Permanasari
sudah kubiarkan hidup, bukankah suatu karunia? Mengapa kini malah ikut
mencampuri uru-sanku? Mari... mari ingin kumengerti apa sebab sampai hari ini kau
masih bisa hidup bernapas."
"Adikku Manik Angkeran! Kalau aku sampai mati, bawalah Atika ke mana saja kau
pergi. Kau berjanji?"
Tepat pada saat Manik Angkeran mengang-guk, terdengar suara Diah Kartika
menggun-tur.
"Kurangajar! Kau anggap apa aku ini? Masakan aku akan membiarkan buyungmu
tinggal hidup untuk kaubiarkan mengganggu ketenteraman kita? Mana bisa?"
Terkejut dan girang rasa hati Rostika. Sebab ia segera mengenal suara itu. Terus
saja dia berseru."Guru!"
Tadi sewaktu berbicara jaraknya masih jauh. Tapi begitu lenyap kumandang
suaranya, orangnya sudah berada di halaman pertapaan. Betapa cepat gerakannya
Edoh Permanasari, diam-diam Diah Kartika menaruh perhatian juga.
Dua puluh tahun yang lalu, nama Edoh Permanasari tidaklah setenar sekarang. Hal
itu disebabkan karena dia belum muncul dalam gelanggang percaturan. Tetapi
setelah membuat suatu kegemparan dengan membunuh tiap orang yang tidak
berkenan di hatinya, barulah namanya disebut orang. Dia lantas terkenal sebagai
seorang iblis wanita dari Banten.
Rostika segera berlutut di depan gurunya. Berkata takzim, "Guru masih nampak
segar bugar."
"Ya, tentu. Paling tidak, gurumu takkan mati oleh perbuatanmu yang tak senonoh."
"Rostika!" kata Edoh Permanasari. "Nenek bongkok tadi bertanya padamu, apa
sebab kau masih bisa hidup bernapas. Nah hampiri-Iah dia! Bilang, dia mau apa?"
Tanpa beragu sedikitpun, Rostika terus memutar menghadap Diah Kartika. Tadi
memang ia sudah mengambil keputusan hen-dak melawan nenek itu sedapat-
dapatnya. Kini di belakang berdiri gurunya. Keruan saja, hatinya bertambah tabah.
Maka dengan lang-kah tenang ia menghampiri Diah Kartika.
Nenek dari pegunungan Karumbi itu ber-batuk-batuk beberapa kali. Suatu tanda
bahwa hatinya bergusar. Sekali mengerling ia berkata nyaring kepada Edoh
Permanasari.
"Hm... jadi kaulah pewaris Ratu Fatimah? Jadi kaulah pembunuh keluarga anakku.
Bagus. Aku sudah menghajar muridmu. Lan-tas kau sekarang mau apa?"
"Bagus sekali hajaranmu, sampai pundak dan lengannya belum pulih seperti
sediakala," sahut Edoh Permanasari tajam. "Kau hajarlah sekali lagi sampai
mampus. Itupun bukan urusanku."
"Gurul" Rostika mengeluh dalam hati. Dia sangat sedih dan pepat. Benar-benar
gurunya hendak menghukum dirinya, karena perka-winannya dengan Suhanda
seorang anggota Himpunan Sangkuriang. Tak terasa air matanya bercucuran.
"Aku tak bermusuhan langsung dengan dia. Sebaliknya kalau kau menyatakan
takluk pula kepadaku, perkara ini kuhabisi sampai di sini saja," kata Diah Kartika.
"Mahmud! Lihatlah yang betul! Dialah musuh keluargamu."
Salah seorang murid yang berdiri di belakang Edoh Permanasari melesat maju
sambil menarik pedangnya, la tak tahan mendengar gurunya direndahkan oleh
seorang nenek keriputan..
Bukan main terkejutnya lda Kusuma. Di dalam perguruannya, dialah murid tertua.
Ilmu saktinya hanya dua tingkat di bawah gurunya. Tapi menghadapi seorang
nenek reyot, ternyata sama sekali tak berdaya. Entah ilmunya tiada harganya atau
entah ilmu sakti nenek itulah yang terlalu hebat.
"Anakku sudah kau bunuh mati. Cucuku sudah kauhabisi sampai ludes. Tinggal se-
orang ini," Diah Kartika tertawa terkekeh. "Anakku Kamarudin mungkin sekali
enggan berlawanan denganmu. Hari ini terpaksa aku mengambil tindakan. Sayang
kau bukan menantuku ..."
Suatu hal yang paling dibenci oleh Edoh Permanasari ialah, apabila seseorang
meng-ungkat-ungkat kembali peristiwa asmaranya dengan Kamarudin. Kini bahkan
ibu Kamarudin sendiri yang berkata demikian. Keruan saja, ia terus membentak:
"Keluarkan senjatamu!"
"Edoh! Kau murid Ratu Fatimah yang ter-masyhur memiliki pedang pusaka Banten
— Sangga Buwana—hayo keluarkan! Ingin kuli-hat, tinggal berapa bagian ilmu sakti
Ratu Cabul itu!"
Ratu Fatimah pada masa remajanya, adalah isteri seorang letnan VOC. ) Kemudian
dengan caranya sendiri berhasil memikat hati. Sultan Banten, sehingga bisa
diangkat menjadi permaisuri. Dalam akhir hidupnya, diapun berhasil menggeser
isteri calon raja (putera mahkota). Bahkan lantas menjadi permaisuri raja baru
bekas anaknya. Karena itu, tidak mengherankan bahwa namanya sangat buruk di
mata rakyat. Kalau ia kini dijuluki ratu cabul oleh Diah Kartika, sesungguhnya
tidaklah terlalu salah. Namun sudah barang tentu, murid Ratu Fatimah tidak bisa
menerima penghinaan itu. Apalagi Edoh Permanasari adalah seorang wanita yang
benci kepada macam cerita asmara. Seketika itu juga, ia menggerung ber-gusar.
"Sekalipun aku belum mewarisi seluruh ilmu kepandaian guru, namun cukup buat
menyumpal mulutmu yang kotor. Kau percaya, tidak?"
"Pedang macam begitu bisa mengapakan aku? Mana pedang Ratu Fatimah?"
Dengan mata tak berkedip, Diah Kartika mengawasi ujung pedang, Sekonyong-
konyong tongkat bajanya menyodok ujung pedang. Berbareng dengan itu, ia
melesat ke samping.
Keduanya sama-sama tokoh pendekar wanita tingkatan atas pada zaman itu.
Setelah lewat empat lima jurus, masing-masing mengagumi lawannya.
Diah Kartika sadar akan tingkatan dirinya. Dia tak mau menggunakan kesempatan
itu untuk mendesak Edoh Permanasari agar mengaku kalah. Ia tahu meskipun Edoh
"Sudah kukatakan tadi, bahwa engkau ha-rus mengeluarkan pedang pusaka Sangga
Buwana. Pedang karatan semacam tadi bisa berdaya apa terhadapku?" katanya
tenang-tenang.
"Benar. Tak kukira bahwa hantaman tenagamu sangat kuat. Pantaslah engkau
disegani orang semenjak dahulu. Bukankah engkau yang terkenal dengan sebutan
nenek bongkok dari pegunungan Karumbi murid sang perwira Sadewata?"
"Guru," sahut Rostika terputus-putus. "Aku seorang murid yang ... aku seorang
murid ..."
Mendengar panggilan gurunya, Ida Kusuma datang dengan langkah tenang. Dia
seorang murid tertua. Perawakan tubuhnya bagus tiada cela. Matanya tajam beralis
lentik. Parasnya lembut seperti Rostika. Hanya warna kulitnya lebih putih seakan-
akan dia mempunyai darah Tionghoa ).
"Adikmu ini mempunyai kesukaran untuk berbicara dengan terus terang. Cobalah
bujuk agar dia bisa berbicara baik," kata Edoh Permanasari.
"Cobalah kau berkata sebenarnya, apa sebab sampai kawin dengan seorang
musuh," desak Ida Kusuma.
"Guru! Rostika memang seorang murid yang tak tahan kena godaan sampai
akhirnya berumah tangga dengan seseorang yang kebetulan menjadi anggota
lawan. Namun selama ini, belum pernah Rostika mengkhia-nati perguruan. Juga
suamiku tak pernah menyinggung-nyinggung hal itu. Bahkan dari fihak suamiku,
seringkali kami memperoleh gangguan."
"Hm" dengus Edoh Permanasari. "Kaupun kini merasa pula kami ganggu, bukan?"
"Tidak! Aku justru mengharapkan bahwa pada suatu kali Guru akan mengampuni
aku."
Mendengar ujar gurunya yang tak terduga itu, pandang mata Rostika berseri-seri.
Pada saat itu pikirannya melayang kepada suaminya. Pikirnya dalam hati, kak
Suhanda mencintai aku tak pernah dia mengganggu gugat asal diriku. Bahkan
selalu siap melawan gangguan dari golongannya sendiri. Kalau aku diterima
kembali sebagai murid, aku akan dipersenjatai pedang mustika Sangga Buwana
yang tak ada taranya. Dengan begitu, bukankah aku bisa menjaga diri tanpa
bantuan siapapun juga? Memikir demikian terus saja ia menyahut, "Guru! Tak ada
suatu kebahagiaan lain daripada bisa diterima sebagai murid guru kembali."
"Biarpun diperintah Guru untuk menye-berangi lautan api Rostika takkan mundur."
"Guru boleh mencincang badanku sampai mati. Atau membunuh aku dengan
siksaan macam apa saja," Rostika meyakinkan.
Sangaji yang selama itu berada tak jauh dari mereka berdua, menghadapi suatu
kesukaran. Tak dapat lagi ia mendekati mereka berdua. Kecuali mereka berada di
atas sebuah ketinggian di tengah lapangan terbuka, juga matahari sudah
memancarkan sinarnya penuh-penuh. Lagi pula sekitar lapangan itu, berdiri
beberapa murid-murid Edoh Permanasari yang dengan sendirinya menebarkan
matanya.
Edoh Permanasari ini seorang iblis perem-puan. Dia bisa membunuh tanpa
mengedipkan mata, pikir Sangaji dalam hati. Teringatlah dia betapa iblis itu dengan
serta merta membakar kampung berikut penghuninya tanpa memandang bulu. Tapi
Rostika adalah muridnya. Pastilah dia bisa berpikir lain. Tadi dia menggandeng
mesra. Betapa besar kesalahan Rostika menurut penglihatannya, masakan seekor
macan betina akan sampai hati mengganyang anaknya sendiri.
Pada saat itu, terbayanglah ketiga gurunya dalam benaknya Wirapati, Jaga
Saradenta dan Gagak Seta. Mereka bertiga memperlakukan dirinya dengan penuh
kasih sayang. Dahulu pernah ia hampir melakukan suatu kesalahan besar terhadap
Jaga Saradenta dan Wirapati. Itulah perkara Pringgasakti. Meskipun hanya suatu
salah-sangka belaka, namun betapa besar cinta kasih gurunya dapat dilihat
sewaktu hendak menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Memperoleh
pertimbangan demikian, hatinya jadi tenteram.
"Kau bunuhlah suamimu! Dan kau boleh pulang kembali ke perguruan seperti sedia-
kala," kata Edoh Permanasari dengan suara angker.
Sekali lagi Rostika menggelengkan kepala. Pada saat itu Edoh Permanasari
mengangkat tangannya. Terang maksudnya, ia hendak menggablok kepala Rostika.
Dan kalau sampai tangannya menggablok kepala Rostika, hilanglah nyawa murid
itu. Tetapi tangan itu tidak bergerak juga. Tangan itu seperti me-nunggu. Rupanya
masih memberi kesempatan kepada Rostika untuk mengambil keputusan.
"Kau berkata tidak akan membangkang atau menolak perintahku. Manakah
sekarang buktinya?" bentak Edoh Permanasari.
"Guru," sahut Rostika setengah menangis. "Mereka berdua sudah menjadi darah da-
gingku. Darah daging muridmu ..."
"Baik. Sekarang begini saja. Malam nanti kau berada di samping suamimu di
Gunung Cibugis, bukan?"
Rostika mengangguk.
"Bagus! Kubatalkan perintahku membunuh suami dan anakmu. Kau senang tidak?"
kata Edoh Permanasari.
"Baik, kau tak menjawab," Edoh Perma-nasari memutuskan. "Tapi kau masih mau
melakukan perintahku, bukan?"
"Eh, darimana kau memperoleh kotbah perkara kemanusiaan segala?" bentak Edoh
Permanasari. Ia paling benci terhadap istilah itu seperti yang pernah dinyatakan
kepada Inu Kertapati dan Sidi Mantera. Berkata meneruskan, "Baiklah ... itu
urusanmu. Sekarang berangkatlah ke Gunung Cibugis. Bawalah tiga buah alat
peledak. Pasang di antara mereka dan ledakkan."
Mendengar perintah itu, paras Rostika berubah hebat. Memang perintah itu lebih
ringan daripada melakukan perintah mem-bunuh suami dan anak kandungnya
sendiri. Tetapi apabila hal itu dilaksanakan samalah artinya dengan membunuh hari
kemudian suaminya. Maka terasalah kini dalam lubuk hatinya, bahwa dia kini bukan
lagi Rostika pada zaman gadisnya. Ternyata tak di-sadarinya ia sudah menjadi
sebagian hidup suaminya yang dicintainya.
Rostika menggelengkan kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan Edoh Permanasari
turun dengan deras. Dan tubuh Rostika terkulai di atas tanah.
Kaget bukan kepalang adalah Sangaji. Mau ia mengira, itulah suatu sandiwara
belaka. Suatu sandiwara di hadapan murid-muridnya agar mengesankan sikap
keadilan seorang guru. Ia bersangsi tatkala mendengar suara seram Edoh
Permanasari, "Ida! Berangkat!"
Paras muka Ida Kusuma berubah hebat. Dengan pandang bertanya-tanya ia segera
meneruskan perintah gurunya kepada adik-adik seperguruannya. Kemudian berkata
mencoba, "Guru! Terhadap seorang murid yang melanggar angger-angger
perguruan memang sudah sepantasnya guru mengambil tindakan tegas."
"Hm," dengus Edoh Permanasari. "Aku tidak memberi perintah padamu untuk
membasmi keturunannya sekali, bukankah sudah pantas?"
"Tentu, Guru. Tentu. Bahkan suatu karunia besar bagi Rostika. Di alam baka,
Rostika pasti tahu berterima "kasih," sahut Ida Kusuma dengan suara menggeletar.
"Ibu! Ibu!"
Oleh seman itu, Manik Angkeran baru ter-sadar. Terus saja ia berlari cepat
menghampiri tubuh Rostika yang sudah tak berkutik lagi. Melihat keadaan Rostika,
ia memeluk Atika bertambah erat. Sesudah terpaku beberapa saat lamanya, Atika
meronta turun dari gendongannya. Lalu menubruk ibunya sambil berteriak
memanggil-manggil.
Manik Angkeran segera memeriksa keadaan Rostika. Napas Rostika berjalan sangat
lambat dan lemah sekali. Kepalanya remuk kena gablokan Edoh Permanasari.
Tahulah dia, bahwa harapan untuk hidup kembali seperti sediakala tidaklah
mungkin lagi. Maka dengan menggunakan seluruh kepandaiannya, ia menyadarkan
Rostika. Tidakiah sia-sia ia menjadi murid satu-satunya tabib sakti Maulana
Cepat Manik Angkeran memijat urat nadi penghubung ruas kepala untuk
menghilang-kan rasa sakit. Benar juga, Rostika terdengar berkata lemah, "Adikku...
bawalah Atika kepa-da ayahnya... Ini ambil..."
Tersadarlah Manik Angkeran. Kak Rostika mengharap aku membawa Atika kepada
ayahnya. Tangannya tadi seperti bergerak mencari sesuatu di atas dadanya,
katanya dalam hati. Ia melihat sebuah kalung emas berleontin sebutir intan. Terus
saja ia melepas kalung itu dari leher Rostika. Kemudian entah apa sebabnya tanpa
berbicara lagi, ia menggendong Atika. Ia turun dari gundukan tanah terkutuk itu.
Mula-mula berjalan seperti seorang linglung. Mendadak linglung benar. Ternyata ia
berlari-lari kencang menubras-nubras semak belukar tanpa tujuan tertentu.
Tetapi dia bukan termasuk golongan manu-sia seperti Gagak Seta atau Ki Hajar
Karang-pandan yang sewaktu-waktu bisa bersepak-terjang ugal-ugalan ). Dalam
tubuhnya mengalir jiwa ksatria penuh-penuh. Pengucapan hatinya sangat jujur dan
mulia. Ia mau menghadapi dunia dengan kewajarannya. Terang-terangan dan tak
sudi dengan jalan berbelit-belit. Karena itu di dalam hal mengadu kecerdikan dan
kelicinan, dia bukan tandingan manusia semacam Titisari, Sanjaya atau Edoh
Permanasari.
Tatkala itu pendengarannya yang tajam luar biasa mendengar suatu derap kuda di
kejauhan. Tanpa berpikir panjang lagi, ia melesat mendekati. Sekonyong-konyong ia
melihat beberapa bayangan berkelebat dan bersembunyi di belakang onggok batu.
Cepat ia berhenti melayangkan pandangnya. Ternyata di tanah lapang seluas
beberapa hektar sudah penuh dengan orang yang pada mendekam di atas tanah.