Pada suatu hari, tiba-tiba Sangaji berkata lantang kepada sekalian raja muda.
"Paman sekalian, sudah cukup lama kita mengeram di dalam tanah. Kini sudah
datang waktunya kita menghirup udara segar."
"Di sini aku berhadapan dengan paman sekalian, tetapi aku kehilangan seorang
pahlawan tiada taranya di jagat ini. ltulah Aki Tunjungbiru. Sekarang dia tersekap
kompeni entah di mana. Masakan kita akan mem-biarkan rekan kita meringkuk
terlalu lama?"
"Bagus!" seru raja-raja dengan serentak. Dan serunya segera disambung oleh
seluruh pasukan dengan gegap gempita, sehingga suasana menjadi panas.
"Karena itu, mari kita keluar!" kata Sangaji lagi dengan semangat berkobar-kobar.
"Hanya saja, yang belum sembuh lukanya, janganlah ikut bertempur! Pengawal
panji-panji Kuda Semberani, Obor Abadi dan Bunga Mekar un-tuk sementara waktu
menonton saja dari luar gelanggang. Lainnya ikut serta!"
Dan begitu perintah Sangaji diteruskan Tatang Sontani, seketika juga suara sorak
sorai membelah dinding gua Halimun. Segera Sangaji menjebol pintu batu yang
beratnya ratus-an kilo. Setelah pasukan panji-panji Garuda, Keris Sakti dan Bintang
Kejora meruap keluar gua, ia menutupnya kembali.
Semua yang menyaksikan kekuatan Sangaji kagum bukan main. Di antara mereka
terda-patlah seorang laki-laki kuat yang dijuluki si raksasa hitam. la bernama
Dudung Wiramang-gala. la mencoba mengerahkan segenap tena-ganya untuk
mendorong pintu batu tersebut. Tapi jangan lagi berhasil, bergemingpun ti-dak.
Maka diam-diam ia merasa takiuk kepada Pemimpin Besamya sampai kebulu-
bulunya.
Dalam pada itu, Sangaji mendahului lagi dengan melalui pintu batu tersebut. Sekali
mendorong terjebaklah batu raksasa itu. Karena khawatir akan kena terjebak
lawan, ia melesat terbang ke atas sebuah batu panjang yang mencongak di atas
jurang curam. Segera ia menjelajahkan matanya. Di timur Raja Muda Andangkara
sudah mengatur pasukannya. la melewati pintu rahasia sebelah timur. Kemu-dian
dengan berturut-turut, Raja Muda Dwijen-dra dan Ratna Bumi memimpin
pasukannya keluar pula. Mereka bergerak dengan cepat dan tanpa bersuara
sedikitpun.
"Paman Simuntang, marilah kita muncul dari lorong diseberang jurang dan
menyerang dengan mendadak," ajak Sangaji. "Manik Angkeran, tinggallah dahulu
merawat yang luka-luka."
Segera mereka berdua kembali memasuki gua Halimun dan menerobos keluar
melalui jalan rahasia yang dikehendaki. Mereka tiba disebuah lapangan terbuka.
Itulah lapangan terbuka yang pernah dilintasi Sangaji tatkala mengejar
Suryakusumah.
Lawan temyata belum meninggalkan datar-an ketinggian. Masih ada sisa beberapa
pasukan yang ditinggalkan. Teranglah bahwa pe-mimpin penyerbuan benar-benar
seorang ahli militer. Maka begitu melihat berkelebatnya sua-tu pasukan yang
bergerak mendekati dataran, segera berteriak sambung menyambung.
Malam perebutan kembali benteng dataran tinggi Gunung Cibugis, terjadi pada
waktu bu-lan purnama. Dan di bawah sinar bulan cerah, berkelebatnya bayangan
manusia lari pon-tang-panting ke sana-kemari dengan ber-teriak-teriak. Sangaji dan
Simuntang bersem-bunyi di balik gugusan dinding. Mereka me-nunggu
perkembangan keadaan.
Tidak lama kemudian, Raja Muda Andang-kara menyerang dari arah timur. Dan
Otong Surawijaya merabu tengah gelanggang. la dibantu sayap kiri dan sayap
kanan yang berada dibawah pimpinan Raja Muda Dwijendra, Ratna Bumi dan
Walisana. Sedangkan Dadang Wiranata dan tatang Sontani yang datang kemudian
menempati daerah pendudukan. Mereka bertempur dengan semangat menya-la-
nyala. Itulah sebabnya, sebentar saja musuh kena dilumpuhkan sama sekali.
Sisa musuh yang menduduki dataran tinggi sebenarnya tidak banyak pula.
Sebagian besar sudah turun gunung, sewaktu melihat semua bangunan hangus
dimakan api. Komandan Kompeni Belanda dengan seluruh pasukannya tiada lagi. la
hanya berpesan agar menjaga daerah yang sudah direbut, sementara pasukannya
sendiri hendak mengadakan pembersihan. Dengan demikian dataran ketinggian
hanya di-jaga oleh laskar gabungan Kerajaan Banten.
Tentu saja di antara mereka masih terdapat jago-jago tua. Namun mereka
merupakan jago tiada artinya dibandingkan dengan keperka-saan para raja muda
Himpunan Sangkuriang yang sudah pulih kembali kesehatannya. Dengan
selintasan, lebih dari separoh kena dibi-nasakan. Dan lainnya hampir tertawan
semua.
"Saudara-saudara pendatang. Pada saat ini semua raja muda dan semua jago-jago
dan pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang sudah berkumpul bersatu-padu.
Kalian bukan lawan lagi. Menyerahlah? Kami akan meng-ampuni nyawa kalian."
"Kurangajar!" maki Tatang Sontani. "Keta-huilah ini ketua kami yang baru. Gusti
Sangaji."
"Apa itu Gusti Sangaji segala. Cuh!" cemooh pendeta itu. "Lihat pedangku!"
"Pedang Sangga Buwana milik Kerajaan Banten yang kemudian berada di tangan
Edoh Permanasari. Mengapa bisa berada di tangan Tuan?"
Di luar dugaan, pendeta itu sangat tangkas. Begitu pedangnya kena terjepit suatu
tenaga raksasa, cepat-cepat ia menghantam dengan tangan kirinya. Bluk! Sangaji
sengaja mem-biarkan dadanya kena pukul. Tenaga saktinya lantas saja bergerak
dengan sendirinya. Dan pendeta itu terpental berjumpalitan dan bergu-lung-gulung
di atas tanah. Begitu bangkit kem-bali, pedang Sangga Buwana ternyatalah masih
tergenggam erat-erat dalam tangannya.
Dadang Wiranata segera menerjang. la bermaksud mencegat larinya pendeta itu
de-ngan sebatang golok. Namun sekali berkele-bat, golok pusakanya kena terjang
pedang Sangga Buwana. Malahan lengannya ham-pir-hampir saja kena terbabat
puntung pula. Cepat ia rhundur, untuk mengulangi suatu se-rangan kembali. Tetapi
pendeta itu sudah ka-bur turun gunung.
Sangaji segera melesat memburu. Ingin ia menawan pendeta itu, apa sebab pedang
pu-saka Sangga Buwana bisa berada di tangan-nya. Pada saat itu, tiba-tiba ia
mendengar sua-ra jerit melengking. Hatinya terkesiap, karena ia mengenal suara
jeritan itu. la menoleh. Di antara berkelebatnya sebatang pedang yang terpental di
udara, nampaklah Manik Ang-keran menerjang maju dengan tangan kosong.
Melihat Manik Angkeran dalam bahaya, tanpa berpikir panjang lagi Sangaji terus
menghampiri. Tiba-tiba ia disambut oleh suatu serangan serentak. Sedikit
mengelak, Sangaji luput dari serangan itu. Tangannya menyam-bar dan dua orang
penyerang kena ditangkap-nya. Setelah dilemparkan ke samping, ia terus memburu
menuruni lereng gunung.
Lambat laun orang itu mendorigkol. Ka-paknya terus saja berputar ke arah Manik
Angkeran. Karena Manik Angkeran tidak bersenjata, terpaksalah pemuda itu
bermain mengelak sambil berusaha melindungi orang yang luka parah.
"Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Manik Angkeran. "Aku terpaksa
mem-bunuhnya, karena dia hendak membunuh saudara kita yang luka oleh pedang
Sangga Buwana."
"Hai! Apakah dia mencoba menghadang larinya pendeta itu?"
"Aku kurang pasti," jawab Manik Angkeran. "Aku hanya melihat ia lari mendaki
dengan membabi buta sambil memanggil-manggil namamu."
"Ya! Siapa lagi kalau bukan Paman Tatang Manggala? Dialah adik seperguruan
guruku yang mengabdikan diri kepada kerajaan Ban-ten," kata Manik Angkeran
dengan suara segan.
Dengan terjadinya peristiwa itu, Sangaji gagal memburu Tatang Manggala yang kini
sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Na-mun dengan lenyapnya Tatang
Manggala, lumpuhlah semua perlawanan musuh. Mereka kena dibinasakan atau
tertawan.
"Mana anakku Sangaji? Mana dia?" tiba-tiba terdengar Kosim berseru tinggi.
Rupanya dia te-lah memperoleh kesadarannya. Dan begitu sa-dar, teringatlah dia
kepada pengucapan hatinya.
"Tidak Gusti. Paduka adalah raja hamba." Kosim malah menjadi kukuh.
Entah apa sebabnya, tiba-tiba Sangaji mengnela napas. la seperti orang yang dipak-
sa menempati dunia baru dengan tak dikehen-daki sendiri. Dan dunia baru itu
membuat dirinya seakan-akan kehilangan kebebasan-nya seperti sedia kala. Itulah
disebabkan oleh kesederhanaan dan kemuliaan hatinya yang selamanya tidak
pernah dihinggapi suatu angan-angan besar.
"Gusti!" kata Kosim lagi memaksa diri. "Hamba dahulu tiba-tiba kena disergap
orang tanpa dapat melakukan perlawanan. Hamba dibawa memasuki perkemahan.
Ternyata... ternyata... kepergian Gusti Sangaji selama be-berapa hari, membuat
tunangan paduka gelisah. Ia minta bantuan ayahnya menjejak kepergian paduka...
Bangsat tua yang mem-bawa-bawa pedang itulah... yang menun-jukkan kemana
paduka berada. Katanya, dia pernah mengadu tenaga dengan paduka dise-buah
pertapaan..."
"Mengapa tidak? Kalau raja-raja muda yang usianya dua kali lipat daripadaku
memang-gilmu gusti dan paduka seraya membungkuk sembah, apa alasanku untuk
memungkiri? Lagipula Paduka benar-benar patut kusembah dan kupatuhi."
Mendengar ujar Manik Angkeran, sekali lagi Sangaji menghela napas. Makin
dirasakan makin terasa hatinya menjadi risih. Seko-nyong-konyong teringatlah dia
kepada ucapan Titisari di selatan Pekalongan. "Sekiranya? Engkau jadi raja... hm ...
berapa jumlah per-maisurimu?" Waktu itu dia memotong dengan suara tinggi,
"Raja? Raja apa? ..." Dan temya-ta ucapan Titisari mendekati suatu ramalan yang
benar. Sekalipun dalam dirinya tiada ter-betik suatu pengucapan sebagai raja,
tetapi kenyataannya ia kini disembah-sembah dan di sebut sebagai raja juga.
"Dengarkanlah hai laskar panji-panji Garuda! Aku adalah pemimpinmu yang meng-
asuh kalian lebih dari dua puluh tahun. Tapi ketahuilah, bahwa panji-panji Garuda
sesung-guhnya diilhami bendera sakti Himpunan Sangkuriang. Karena timbulnya
suatu percek-cokan, aku membawamu memisahkan diri. Kini, Hjmpunan
Sangkuriang sudah memperoleh ketuanya yang baru. ltulah Gusti Sangaji. Maka
sudah sepantasnyalah, kita kembali ber-satu padu. Bersujud dan patuh kepada
ketua kita. Karena itu barang siapa yang menye-butku dengan gusti aku kutuki dia.
Kalau perlu kuhukum dengan tanganku sendiri. Aku hanyamenghendaki seorang
saja yang berhak dise-but gusti. Itulah Gusti Sangaji. Atau sebutlah lebih mudah
lagi, Gusti Aji. Siapa di antara kalian tidak mau menerima anjuran dan ajakanku ini,
silakan pergi dari hadapanku!"
"Bagus!" seru Tatang Sontani. "Akupun melarang siapa saja menyebutku dengan
gusti. Sebaliknya aku hanya mengakui seo-rang gusti. Itulah ketua kita yang baru,
hidup Gusti Aji!"
Mendengar ucapan Tatang Sontani, raja muda lainnya tidak mau ketinggalan.
Mereka-pun menganjurkan kepada laskarnya masing-masing agar menyokong
pemyataan kedua raja muda tersebut. Maka suara sorak-sorai bertambah
bergemuruh seumpama membelah angkasa.
Raja muda Otong Surawijaya yang sela-manya berbicara tanpa tedeng aling-aling )
terus saja berteriak nyaring.
"Gusti Aji! Setiap orang mempunyai per-soalan pribadi. Hamba percaya, bahwa per-
soalan pribadi Paduka sangat rumit dan pelik. Namun hendaklah Paduka sudi
memikirkan •keselamatan kami. Karena urusan jabatan ketua, kami terpecah-
belah. Kami berantakan serta saling membunuh. Akhirnya, kami semua kini telah
tunduk dan patuh kepada Paduka. Bila Paduka menolak, silakan Paduka memilih
seorang ketua baru sebagai pengganti Paduka. Tetapi hmm tak peduli siapa dia,
hamba Otong Surawijaya yang pertama-tama tak sudi tunduk kepadanya.
Sebaliknya, apabila hamba yang Paduka pili... pastilah raja-raja muda lainnya
betapa sudi tunduk kepada hamba ..."
"Ya, Gusti Aji. Ucapan Otong Surawijaya benar belaka," sambung raja muda
Walisana. "Kalau paduka menolak tugas penting ini, pastilah Himpunan Sangkuriang
akan terpe-cah-belah lagi. Saling bermusuhan dan saling bunuh-membunuh.
Manakala sudah terjadi begitu, apakah kami lalu harus memohon kembali bantuan
Paduka?"
Benar juga, pikir Sangaji. Setiap orang pasti mempunyai persoalan pribadi. Besar
kecilnya persoalan itu, sesungguhnya tergantung kepada kedewasaan hatinya.
Teringat akan persoalan itu berbagai masalah merasuk ke dalam benaknya. Titisari,
Sonny de Hoop, ibunya, kompeni dan kini ditambah masalah Himpunan
Sangkuriang. Dan teringat Titisari, teringatlah dia kepada sumpahnya di hadapan
keris sakti Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Bahwasanya dia akan meng-
amalkan warisan pusaka-pusaka itu untuk kebajikan sesama hidup. Bukan untuk
kepentingan diri sendiri. Dan teringat akan sumpah itu, lantas saja dia memperoleh
ben-tuk keputusan. Katanya kemudian, "Baiklah jika paman sekalian begitu
mempercayai aku, walaupun penghargaan itu sangat ber-lebflvlebihan. Hanya saja
aku mempunyai beberapa syarat. Apabila syarat-syarat yang kuajukan ini dapat
kalian terima, aku akan menerima jabatan ketua ini selama hayat dikandung
badan."
"Jangan lagi beberapa syarat, katakan sera-tus dua ratus syarat sekalipun, kami
akan menerima dengan suara bulat," sahut mereka dengan berbareng. "Silakan
nyatakan syarat itu di hadapan kami."
"Begini," kata Sangaji sejurus kemudian. "Yang pertama, aku masih terlalu muda.
Pengalamanku sangat dangkal. Karena itu, aku tidak menghendaki suatu
perubahan dalam tata pemerintahan. Hari ini aku melan-tik raja muda Tatang
Sontani sebagai wakilku untuk memegang tampuk pemerintahan. Dia seumpama
diriku sendiri. Barang siapa yang membantah kebijaksanaannya, samalah hal-nya
membangkang terhadap diriku."
"Keputusan paduka hamba junjung tinggi," kata raja muda Ratna Bumi yang
selamanya pendiam sebagai bumi. Semua orang tahu, bahwa dialah petugas
pelaksana hukum. Karena itu keputusannya, merupakan keputusan hukum pula.
"Yang kedua," kata Sangaji lagi. "Musuh kita sesungguhnya adalah kompeni
Belanda. Bukan lagi laskar kerajaan. Sebab Ratu Fatimah sudah tiada lagi. Karena
itu, kuharapkan agar selanjutnya kita mengha-puskan dendam yang sudah lampau.
Terhadap pembantu-pembantunya, marilah kita lupakan permusuhan itu."
Mendengar syarat kedua itu, semua yang mendengar menjadi penasaran. Hal itu
dise-babkan, karena di antara mereka banyak yang kena dibinasakan oleh
begundal-begundal Ratu Fatimah. Bukan oleh senjata kompeni Belanda. Sebab,
kompeni Belanda bertempur secara terang-terangan. Sebaliknya laskar kerajaan
dengan begundal-begundalnya banyak yang menyerang secara menggelap. Dan
tak kurang pula yang menggunakan racun. Tetapi setelah sibuk sebentar, akhirnya
Otong Surawijaya berkata minta ketegasan.
"Bila begitu, kita akan mengimbangi kea-daan. Sekiranya mereka memaksa dan
men-desak kita ke pojok, sudahlah semestinya apa-bila kita tidak menyerah dengan
mentah-men-tah," jawab Sangaji.
"Bagus," seru Dwijendra. "Jiwa kami adalah pada yang menyelamatkan. Bagaimana
Paduka menghendaki, kami akan patuh."
"Ya, benar," ujar Dadahg Wiranata. "Memang kalau dipikir-pikir, musuh kita
sesungguhnya adalah kompeni Belanda. Siapa yang tak tahu, bahwa Ratu Fatimah
sebe-narnya hanya merupakan boneka semata? Baiklah, ketua kita tidak
menghendaki penun-tutan dendam terhadap mereka. Kukira, justru kebalikan dan
keutuhan kita. Sebab kalau kita teruskan, memang jadi berlarut-larut. Masing-
masing pihak akan jatuh korban."
Setelah syaratnya yang ketiga diterima pula, segera Sangaji berkata lagi. "Aku
hendak memasuki kota Jakarta untuk menyongsong ke-hadiran Ki Tunjungbiru di
tengah-tengah kita. Karena Beliau berada di dalam penjara, siapa-kah yang ikut aku
membobol dinding penjara?"
"Lawan kita sekarang bukanlah sembarang lawan," kata Sangaji. "Mereka memiliki
senja-ta jarak jauh senapan dan meriam. Kecuali itu memiliki pula daerah
kekuasaan dan laskar yang teratur rapi. ltulah sebabnya, kecuali Aki Andangkara
dan Ratna Bumi semuanya menyertai aku. Aki Andangkara mengatur per-lawanan
seluruh Jawa Barat. Sedangkan Paman Ratna Bumi mengatur tata pemerintahan di
atas dataran ketinggian ini. Paman Tatang Sontani untuk sementara biarlah menjadi
penasihat umum."
"Kalau Ratna Bumi si pendiam menjaga gunung, kutanggung Gunung Cibugis ini
bertambah seram," sahut Otong Surawijaya sambil tertawa berkakakan.
"Terima kasih," kata Ratna Bumi. "Kuharapkan saja engkau bisa menjaga dirimu
baik-baik. Terutama ketua kita yang baru. Sebab beliaulah jiwa kita."
Dengan terharu Otong Surawijaya menjabat tangan Ratna Bumi. ltulah suatu
peristiwa yang baru terjadi setelah melampaui masa perpeca-han dua puluh tahun
lebih.
Hebat perjalanan itu. Laskar Himpunan Sangkuriang yang turun dari sarangnya,
seo-lah-olah memenuhi persada bumi Jawa Barat. Andangkara membawa laskarnya
melingkari Gunung Pangrango dengan tujuan memasuki lembah Pegunungan Bukit
Tunggul. Dan dari sana hendak menuju ke Sukamandi. Ia berniat menghimpun
kekuatannya melintasi gunung, sungai dan menyusur pantai. Dan Dwijendra yang
menempati sayap kiri, menembus daerah Jasinga. Dari kota itu, ia hendak men-
dekati kota Jakarta dari arah barat daya. Sedangkan Dadang Wiranata yang berada
di sayap kanan, mengarah ke Kedunghalang lalu ke Cibarusa. Dia hendak menikam
kota Jakarta dari arah selatan.
Setelah rombongan Sangaji melintasi padang belantara kurang lebih seratus kilo
meter panjangnya, mereka beristirahat di ping-gir petak hutan. Sampai malam hari,
tidak ada terjadi sesuatu. Tetapi menjelang larut malam, pendengaran Sangaji yang
tajam luar biasa menangkap suatu bunyi derap kuda. Menilik gemuruhnya, pastilah
berjumlah tidak kurang dari seratus orang. Segera ia berkata kepada Manik
Angkeran yang selalu menyertainya.
Baru saja ia hendak melangkah, datanglah Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang
de-ngan berbareng. Mereka berkata, "Gusti Aji! Di tengah malam begini, lewatlah
suatu rom-bongan besar. Pastilah mereka musuh kita."
Melihat darah. Sangaji terus memberi perin-tah pengejaran. Dengan matanya yang
tajam dan berpengalaman, Tatang Sontani mene-mukan sebatang golok patah di
atas tanah. la kaget setengah mati, setelah mengenal golok tersebut.
Sangaji yang mengukur semua pekerti manusia menurut bajunya sendiri, tidak
mengambil tindakan lebih jauh. Ia me-merintahkan kembali ke perkemahan.
Pada hari kedua, perjalanan mulai melintasi lapangan terbuka. Kira-kira empat ratus
meter di depannya, nampaklah suatu rombongan mendatangi. Sangaji yang
bermata tajam luar biasa, segera dapat menangkap jumlah mereka. Mereka terdiri
dari rombongan wanita yang dikawal oleh empat belas laki-laki bersenjata bidik.
Begitu jarak mereka mendekat, seorang wanita yang mengenakan pakaian serba
hijau mendadak berseru nyaring.
"Hai! ltulah panji-panji bangsat Sangkuriang! Siagaa ... !" Dan rombongannya lantas
saja menghunus senjatanya masing-masing.
Seorang wanita berperawakan tipis yang berumur kurang lebih empat puluh tahun,
melompat ke depan sambil membentak. "Kau berhak apa bertanya kepada kami?
Selama-nya kami bermusuhan dengan bangsat Sangkuriang. Hayo, kalian
menyerah atau tidak?"
"Kau bangsat cilik begini tak mengenal atu-ran. Siapa kau?" dampratnya.
"Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Orang yang kau sebut bangsat cilik ini adalah
seorang pendekar yang tiada taranya di jagat ini. Jangan lagi kamu kurcaci-kurcaci
picisan, aku sendiri takkan nempil. Dan beliau inilah yang kini memimpin seluruh
anggota Himpunan Sangkuriang. Beliau raja kita. Gusti Sangaji. Kalian dengar? Nah,
tokoh sehebat ini masih sudi bersikap merendah kepadamu, bukankah suatu
penghormatan luar biasa?"
Ucapan Tubagus Simuntang itu, membuat mereka terkejut. Mereka tadi sudah
kagum melihat kecepatan serta kegagahan Tubagus Simuntang. Tapi ternyata dia
mengakui bahwa tokoh di sampingnya jauh lebih tinggi kepan-daiannya daripada
dia sendiri. Melihat kesung-guh-sungguhannya, pastilah dia tidak menjual suatu
omong kosong. Katanya lagi, "Kalian anak murid Edoh Permanasari yang terkenal
karena pedang Sangga Buwana. Tetapi dengan beberapa gebrakan saja, pedang
Sangga Buwana sudah kena terampas ketua kami dari genggaman tangan gurumu.
Nah, kalian mau bilang apa?"
"Kau sendiri siapa?" Perempuan itu mene-gas.
"Aku Tubagus Simuntang, raja muda yang senang berkeliaran di malam hari.
Mengapa?"
Mendengar nama itu, mereka semua meme-kik tertahan. Mereka kenal nama itu
baik dari keterangan gurunya maupun rekan-rekan seperjuangannya, bahwasanya
kebiasaan Tubagus Simuntang tidak pernah mengam-puni lawan yang sudah kena
tangkap. Keruan saja dengan tak dikehendaki sendiri, mereka menoleh ke arah
tubuh dua rekannya yang masih saja rebah tak berkutik.
"Hm, kalian tak usah berkhawatir. Kali ini, aku mengampuni, karena semata-mata
segan terhadap keagungan nama ketua kami Gusti Sangaji," kata Tubagus
Simuntang.
Mereka belum mau percaya. Empat orang segera menghampiri rekannya. Tiba-tiba
ter-dengarlah suara kesiur angin halus lewat di sampingnya. Tahu-tahu dua orang
rekannya sudah bisa bergerak. ltulah kepandaian ilmu sentil Tatang Sontani yang
hampir sejajar tingkatannya dengan Adipati Surengpati.
"Maafkan atas kelancangan mulut hamba. Hamba bernama Dedeh Sumanti, murid
ketu-juh Edoh Permanasari. Hamba datang ke man untuk menyusul guru hamba.
Apakah Paduka dapat memberi keterangan?"
"Tentu saja," tungkas Otong Surawijaya si mulut usil. Semenjak tadi, hatinya
mendongkol menyaksikan perangai Dedeh Sumanti. Se-karang timbullah
kejahilannya hendak mem-balas membuatnya mendongkol. Katanya dengan
setengah tertawa. "Baiklah, kukatakan dengan terus terang saja. Edoh Permanasari
benar-benar tidak tahu diri sampai berani men-coba-coba mendaki Gunung Cibugis
dengan membawa anak-anak kurcacinya. Terpaksalah kita menawannya.
Tunggulah barang de-lapan atau sepuluh tahun lagi, baru dia nanti kubebaskan.
Tapi kalau hatiku masih mendongkol, biarlah kukutungi kedua belah tangannya.
lngin aku tahu, apakah dia masih bisa bermain pedang."
"Kalian jangan percaya omongan rekanku ini," potong Walisana yang tidak senang
ber-gurau. "Dia senang berolok-olok. Ilmu sakti Edoh Permanasari sangat tinggi.
Juga sekalian murid-muridnya tidak tercela. Masakan sampai bisa kita tawan. Mulai
saat ini, antara golongan-mu dan golongan kami tidak lagi bermusuhan. Nah,
pulanglah kembali ke perguruanmu. Pastilah gurumu sudah berada di
perguruanmu."
Mendengar keterangan Walisana yang ber-sungguh-sungguh, masih saja Dedeh
Sumanti berbimbang-bimbang. Karena itu Tubagus Simuntang segera menguatkan
keterangan rekannya. Katanya, "Rekan Otong Surawijaya memang suka berkelakar.
Percayalah kete-ranganku ini. Demi keagungan nama ketua kami, masakan aku
berdusta kepadamu."
"Ah, kalian bangsat Sangkuriang, betapa bisa dipercaya? Kalian sudah biasa hidup
de-ngan tipu muslihat yang licik. Apa yang kalian ucapkan, belum tentu hatinya
begitu," dam-prat Dedeh Sumanti.
Inu Kertapati dan Sidi Mantera menjadi gusar. Sekali mereka memberi tanda, laskar
panji-panji Kuda Semberani dan Bunga Me-nyala terus saja bergerak mengepung
dengan cepat. Dengan suara keras bagaikan guntur, Otong Surawijaya membentak.
"Aku raja muda Otong Surawijaya! Kalau aku tak sanggup lagi mengendalikan diri,
ka-lian anak kemarin sore dapat kuringkus dalam sedetik dua detik. Apakah kalian
ingin aku membuktikan?"
Mendengar suara guntur dan gerakan pe-ngepungan yang begitu cepat dan rapi,
hati anak-murid Edoh Permanasari tergetar. Ger-takan pendekar itu agaknya tidak
bergurau lagi. Tatkala itu terdengarlah suara Sangaji me-lerai.
Melihat kepergian mereka yang rapi, cepat dan patuh, sekalian anak murid Edoh
Per-manasari heran bukan main sampai ter-longong-longong. Membayangkan
betapa akan akibatnya apabila tadi benar-benar ben-trok, hati mereka menggeridik
sendiri.
Sangaji tidak menjawab dengan segera. Alasan Walisana sangat masuk akal.
Apalagi teringat pada pedang Sangga Buwana yang tergenggam di tangan orang
lain, benar-benar suatu hai yang mengherankan. Tidaklah mungkin terjadi, seorang
pendekar mem-biarkan pedang pusakanya berpindah di tangan orang lain. Apalagi
orang itu adalah seorang laki-laki. Sedangkan, tiap orang tahu, Edoh Permanasari
paling benci kepada semua laki-laki di seluruh dunia, berhubung dengan
riwayatnya. Memikir demikian, teringatlah dia kepada kompeni yang mempunyai
kepenting-an besar dalam hai penghancuran Himpunan Sangkuriang. Dan
kemudian pembasmian pada tiap macam pergerakan di seluruh wi-layah Jawa
Barat. Melihat gelagatnya, mungkin sekali Edoh Permanasari kena tawan kom-peni
Belanda. Tapi dengan cara bagaimana, itulah suatu soal yang masih penuh teka-
teki. Ia tidak enak untuk membicarakan. Itulah di-sebabkan, Sonny de Hoop serta
dirinya sendiri yang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan pihak kompeni
Belanda.
Pada sore harinya, Tubagus Simuntang me-nemukan suatu hai yang aneh. "Benar-
benar aneh!" katanya berulang kali. Ia lari ke sebe-rang jalan dan menyibakkan
gerombol semak belukar. Dengan cepat ia minta sebuah alat penggali tanah.
Kemudian dengan cekatan ia menggali tanah. Sebentar dengan disaksikan oleh
berpuluh-puluh orang anggota Himpunan Sangkuriang, ia menemukan tumpukan
bang-kai manusia. Setelah diperiksa, ternyata mereka semua adalah anak murid
pegunungan Gunung Gembol, Gunung Gilu dan Gunung Kencana. Mereka
mengenali seragam yang di-kenakan. Dan semuanya mati, karena ter-tembus
peluru berondongan.
Sidi Mantera. Dan melihat mereka bersikap diam, Sangaji jadi perasa.
Tiba-tiba Manik Angkeran yang ikut pula memeriksa mayat-mayat itu berseru
heran.
"Inilah kejadian terkutuk. Rupanya mereka tertembak mati, setelah terkena racun.
Atau paling tidak, mereka dibunuh setelah kehilang-an tenaga."
Mendengar ucapan Manik Angkeran, semua orang terkejut sampai Tatang Sontani
yang tenang berkata minta ketegasan. "Apakah kau pasti."
"Mengapa tidak?" sahut Manik Angkeran yakin. Dan timbullah penyakit angkuhnya.
"Ya, kompeni Belanda memang lawan kita. Tetapi mereka tidak pernah
menggunakan racun terhadap kita," sambung Otong Sura-wijaya. Kemudian
menatap Manik Angkeran. Katanya, "Manik Angkeran, apakah kau kenal macam
racunnya?"
Sebenarnya itu bukan suatu jawaban, tetapi Otong Surawijaya tidak mau mendesak
lagi. Ia hanya berkata kepada seluruh anggota.
"Kalau begitu, kita harus selalu berjaga-jaga. Jangan menganggap remeh peristiwa
ini. Juga minum dan makan kita."
Manik Angkeran yang berjalan di depan bersama rombongan pendahulu, lari meng-
hadap Sangaji sambil berteriak.
"Dia dilukai ... anaknya mati pula di sam-pingnya. Terang ini suatu perbuatan keji!"
"Ah ya, bukankah aku dahulu datang men-daki Gunung Cibugis hendak mencari
seorang laki-laki yang membawa anaknya perem-puan? Dialah orangnya, tuanku.
Dia berada di bawah jurang."
"Suhanda?" potong Sangaji. Hatinya terkejut serasa kena pukul. Dan tanpa
menunggu Manik Angkeran menyelesaikan laporannya, ia sudah melesat
seumpama terbang. Tatang Sontani, Walisana dan Otong Surawijaya me-nyusulnya
dari belakang. Mereka berusaha hendak mengejar, namun makin lama jaraknya
makin jauh. Diam-diam mereka meng-akui, bahwa tenaga sakti pemimpinnya yang
baru itu benar-benar melebihi manusia lain yang "terdapat di kolong jagat ini.
Tatang Sontani segera menolong merasuk-kan obat penahan rasa sakit kepada
Suhanda. Dan sejenak kemudian, benar-benar Suhanda dapat menguasai diri, terus
berkata tersekat-sekat.
"Kerajaan Banten ... di belakang Belanda ... Aku disiksa ... Ratu ... Kenaka ..."
Singkat keterangan itu, tetapi sudahlah cukup terang benderang, sehingga hati
Sangaji terasa terpukul palu godam. Sebab sekaligus ia menghadapi kenyataan
dalam dua hai. Kompeni Belanda dan Ratu Kenaka. Terhadap kompeni, ia tiada
mempunyai permusuhan pribadi. Hanya ia tahu, bahwa kedatangan kompeni
Belanda di tanah airnya ialah dengan maksud menjajah dengan kedok perdagang-
an. Sebaliknya terhadap Ratu Kenaka, ia sudah terlanjur memberi perintah agar
bersikap tidak bermusuhan dengan sesama pendekar yang berpendirian serta
berpaham lain, la mengalihkan perjuangan terhadap kompeni Belanda, karena tidak
menyetujui bermusuhan dengan sesama bangsa. Tetapi kini, ia diha-dapkan oleh
suatu masalah pelik yang tidak bisa dielakkan hanya oleh suatu angan-angan-nya
pribadi."
Dalam pada itu, malam sudah benar-benar tiba. Para anggota Himpunan
Sangkuriang menyalakan perdiangan untuk melawan hawa pegunungan yang
dingin. Mereka sudah biasa hidup di tengah alam terbuka. Karena itu, mereka
dengan cekatan menyediakan makan malam serta minuman hangat. Tetapi Sangaji
tidak mengindahkan semuanya itu. Perasa-annya, ia seperti tidak berada di antara
mereka. Masalah yang dihadapi benar-benar me-musingkan ruang benaknya.
Pemuda seusia itu yang dengan tiba-tiba memegang tampuk pimpinan tertinggi
himpunan perjuangan ke-adilan, menghadapi soal pelik yang datangnya dengan
tiba-tiba pula. Di hadapannya tergelar suatu perjuangan antara persoalan pribadi,
ba-las dendam dan budi. Menghadapi persoalan demikian jangan lagi orang seusia
dia walau-pun seorang yang sudah berpengalaman, pastilah tidak gampang-
gampang mence-tuskan suatu keputusan. Maka tidaklah meng-herankan pula,
bahwa beberapa kali anak muda itu menghela napas panjang.
Benar-benar tidak gampang persoalan yang dihadapi Sangaji. lnilah suatu dunia
yang tidak dikehendaki, tetapi yang harus dimasukinya. Agaknya Sangaji seperti
ditakdirkan untuk memimpin seluruh himpunan perjuangan Jawa Barat, meskipun
tidak dikehendakinya sendiri. Dan ia tidak bisa mengelaki dan seakan-akan dipaksa
oleh keadaan untuk meng-hadapi dan mengatasi. Apakah kesukarankesukaran
lainnya masih pula menunggu di depannya. Teringat akan Sonny de Hoop, ibu-nya
dan Titisari, ia mengeluh. Tak terasa ia mengulangi ucapannya kepada Titisari di
dalam hati, "Aku ini memang anak tolol. Se-olah-olah aku sudah disediakan suatu
jalan yang harus kutempuh dan yang tidak ku-mengerti sendiri apa sebab aku harus
menem-puhnya..."
Tatkala tengah malam tiba dengan diam-diam, tiba-tiba suatu pikiran menusuk ke
ruang benaknya. Di depan matanya se-akan-akan ia melihat dua gadis yang selalu
menggoda kalbunya. Titisari dan Sonny de Hoop. Sonny de Hoop berada di dekat
ibunya. Di belakangnya berbaris kompeni Belanda. Sebaliknya Titisari berdiri tanpa
kawan. Tapi mendadak samar-samar nampaklah suatu barisan penuh. Setelah
diamat-amati, ternyata laskar Himpunan Sangkuriang. Ya, ia terkejut dan ia sendiri
kini, bahkan berada di antara Himpunan Sangkuriang! Sekarang di manakah letak
kesukarannya? Kalau saja ibuku berada di sini, bukankah aku akan gampang meng-
ambil suatu keputusan?
Para raja muda berdiri membungkuk hor-mat. Terpaksa Sangaji membungkuk mem-
balas hormat, kemudian mendahului duduk di atas tikar. Dengan anggukan kecil,
mulailah hidangan malam ditanggapi.
Begitu santapan malam selesai, Manik Angkeran melaporkan tentang keadaan Su-
handa. Dia masih jauh dari harapan, namun terdapat sebintik keterangan yang
mungkin menyibakkan tirai kegelapan.
Dalam pikiran tak karuan, tiba-tiba ia berada di antara kompeni Belanda yang oleh
seorang wanita kata Manik Angkeran katanya wanita itu pernah dikenalnya. Hanya
siapa dia sebe-narnya, tak sudi ia menerangkan.
"Apa lagi yang dikatakan?" Sangaji terkejut, ia tahu wanita siapa yang
dimaksudkan. Itulah Sonny de Hoop.
"Ia terlibat dalam suatu pertempuran segi tiga. Antara dia, pihak Ratu Kenaka dan
kom-peni Belanda," Manik Angkeran meneruskan. "Tatkala ia kena pukul, wanita
itulah yang menolong anaknya. Kemudian kompeni Be-landa mengampuni. Tetapi
Ratu Kenaka tidak membiarkan dia pergi dengan selamat. Ia kena selomot racun
dan tulang belulangnya dipatah-kan. Benar-benar Ratu Kenaka bergusar, me-nilik
luka yang dideritanya. Apakah di sini terselip suatu dugaan, bahwa ia dikira hendak
berkhianat? Menurut Kak Suhanda, mereka yang menyerbu Gunung Cibugis
sesungguh-nya kena jebak akal licik kompeni dan Kerajaan Banten. Begitu mengira
mereka sudah berhasil melumpuhkan Himpunan Sangkuriang, lantas saja kompeni
dengan laskar Kerajaan Banten bergerak membas-minya. Sungguh sial! Dialah yang
merupakan korban pertama tanpa perlindungan."
"Ya, siapa yang tak tahu, bahwa kompeni dan Kerajaan Banten mempunyai
kepentingan besar dalam hai penggerebegan itu? Itulah si tolol. Kami semua sudah
semenjak lama me-ngetahui hai itu," kata si jahil Otong Surawijaya dengan
bernafsu. "Cuma saja, mereka yang membanggakan diri sebagai pendekar Jawa
Barat, benar-benar tolol setolol kerbau buduk!"
Sangaji menghela napas. Terasa benar, betapa hebat jurang permusuhan itu antara
pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang dan kaum penyerbu. Syukur di antara
laporan Manik Angkeran tadi terselip suatu pendapat baru. Mungkin sekali Ratu
Kenaka ingin mem-buat jasa dengan melukai Suhanda, karena mengira pendekar
itu hendak berkhianat. Namun alasan demikian sangat lemahnya. Seba-liknya
apabila apa yang dikatakan Suhanda benar, terdapat suatu hai yang meresahkan
hatinya. Dia berkata, bahwa Sonny de Hoop menolongnya. Tapi kenapa Atika kena
siska pula? Apakah Sonny de Hoop dalam keadaan berbahaya pula? Memperoleh
pikiran demikian, lantas saja ia berkata: "Paman sekalian, pada fajar hari nanti aku
hendak mendahului memasuki Kota Jakarta untuk menyelidiki persoalan ini. Aku
hanya minta bantuannya Paman Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang.
Sementara itu, Paman Walisana dan Otong Surawijaya membawa para anggota
menyusul kami secara berturut-turut."
Tatkala mereka memasuki jalanan kota, segera mereka berpapasan dengan bangsa
kulit putih yang mengenakan pakaian seragam dan preman. Sebenarnya hai itu
tidaklah mengherankan, karena pada dewasa itu hampir seluruh Jawa sudah
dikuasai kompeni Belanda, namun begitu dibandingkan dengan dua bulan yang lalu
terdapat suatu perubahan yang agak menyolok. Mereka nampak sibuk dan bersikap
rahasia, sehingga hai itu menarik perhatian Sangaji.
Sampai di barat kota, mereka singgah di sebuah rumah makan Tionghoa. Tatang
Son-tani sengaja berlagak pemurah seperti seorang pedagang besar yang baru saja
memperoleh keuntungan di luar dugaannya sendiri. Tentu saja pelayan-pelayan
rumah makan tersebut berebut menghambakan diri. Mereka semua bersikap
hormat sekali. Dan Tatang Sontani berpura-pura minta penjelasan tentang keadaan
kota, tempat-tempat bertamasya dan yang bersejarah.
"Rupanya kompeni sedang bekerja keras untuk suatu pesta," kata Tatang Sontani
asal berbicara saja. Tapi di luar dugaan, ucapannya ternyata tepat mengenai
sasaran, sampai pelayan yang diajaknya berbicara terheran se-jenak.
"Benar Tuan," kata pelayan itu. "Menurut kabar, itulah peristiwa penggantian
pemerin-tahan."
"Bukan, bukan," sahut pelayan itu dengan cepat. "Agaknya Tuan-tuan bukan
penduduk kota sampai tidak mendengar berita ini."
"Buktinya Tuan tidak tahu," kata pelayan itu dengan tertawa. "Di negeri seberang
terjadi suatu perubahan. Kabarnya Inggris hendak menggantikan pemerintahan di
sini. Nah, bu-kankah suatu peristiwa yang penting. lnilah . saat yang kebetulan
sekali bagi Tuan-tuan. Kalau Tuan-tuan belum memperoleh tempat penginapan,
cepat-cepatlah mencari agar ti-dak kehabisan tempat."
Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang adalah dua raja muda Himpunan
Sangkuriang terkemuka yang sudah bertahun-tahun memimpin perjuangan. Tentu
saja mereka me-ngetahui belaka tentang perubahan-perubah-an yang terjadi dan
yang bakal terjadi menurut perhitungan politik. Sedangkan Sangaji pernah
mendengar hai itu dari keterangan kakak angkatnya Willem Erbefeld tentang
terjadinya suatu peperangan besar di daratan Eropa..
Karena penglihatan itu datangnya dengan tiba-tiba dan kesan yang terjadi di dalam
dirinya timbal balik serta saling bertentangan, tubuhnya bergemetaran. Dan hai itu
tidak lu-put dari pengamatan kedua pengikutnya.
Gntunglah, pada dewasa itu rumah pen-duduk kota Jakarta belumlah sepadat seka-
rang. Kelompok rumah masih merupakan per-kampungan-perkampungan terpisah.
Jalan-jalan tiada penerangan. Karena itu, penduduk kota segan keluar rumah
menjelang malam tiba. Dengan demikian mereka bisa bergerak bebas.
Kira-kira satu jam kemudian, Tubagus Simuntang sudah berbalik. Segera ia bertemu
dengan Sangaji. Terus lapor, "Mereka mema-suki Gedung Tionghoa berhalaman
luas...."
Sangaji mengangguk, namun kakinya ma-sih saja melayang terbang. Cepat sekali ia
melesatnya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di bawah pagar tembok, la tak
berani berlaku gegabah, walau hatinya berderum berguruh. Hati-hati ia melompat
dan bersemayam di balik mahkota pepohonan. Segera ia menem-bakkan
penglihatannya. Dalam gedung sunyi lengang. Ia jadi keheranan. Pikirnya, masakan
Tubagus Simuntang bisa salah lihat? Pastilah mereka berada di dalam gedung ini.
Tetapi di manakah kuda-kuda mereka?
la menunggu hampir satu jam di atas pohon itu. Tetap saja tiada terjadi suatu
perubahan. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk di dalam benaknya. "Benar-benar aku
ini tolol. Titisari adalah seorang gadis yang pintar luar biasa. Kalau dia tidak mau
kutemui, masakan aku akan berhasil? Sebaliknya, pastilah dia sudah mengetahui
beradaku semenjak lama. Dan diam-diam ia mentertawakan ketololanku ini..."
Teringatlah dia dahulu, tatkala ia sedang mencari jejak Pangeran Bumi Gede. Mula-
mula ubek-ubekan mencarinya. Kemudian oleh akal Titisari, ia diajak bersembunyi.
Itulah akal yang paling baik untuk mencari orang yang sedang bersembunyi.
Tegasnya bersembunyi dilawan dengan bersembunyi. Dan akal itu ternyata
berhasil. Teringat akan hai itu, tidaklah mustahil bahwa Titisari sekarang mungkin
sedang bersembunyi pula mengintai dirinya.
Setelah berkata demikian; ia lari menda-hului. Waktu itu hari sudah benar-benar
gelap. la tidak perlu khawatir lagi akan bertemu dengan orang. Larinya mengarah
ke timur. Ternyata ia berhenti di dekat tanggul batu Rababa Tapa.
"Paman!" katanya mulai. "Bukankah Gusti Ratu Bagus Boang yang mendirikan batu
peringatan ini?"
"Benar," sahut Tatang Sontani. "Tepatnya kami semua yang mendirikan sebagai
suatu peringatan terakhir."
"Dan di sinilah mula-mula aku mendengar nama Gusti Amat dari mulut dua orang
ang-gota kita," kata Sangaji. "Mereka kemudian menyerahkan tiga pusaka Jawa
Barat ke-padaku sebagai tanda ikatan persahabatan. Kotak berisikan segandeng
buah Dewa Ratna, kalung beriian dan pedang Sokayana. Mereka berbicara atas
nama Gusti Amat dan datang padaku atas nama Gusti Amat pula." la ber-henti
mengesankan. Kemudian menegas. "Paman! Sesungguhnya ilham itu datang dari
mana? Bukankah Paman menerangkan, bahwa nama Gusti Amat sesungguhnya
merupakan suatu perbuatan yang sudah disetujui oleh para Dewan Penasihat?"
"Benar perintah atas nama Gusti Amat itu, memang kami ketahui. Hanya darimana
datangnya ilham itu, hamba masih belum memperoleh keterangan yang pasti."
"Ketiga pusaka Jawa Barat atau katakan saja ketiga pusaka Gusti Ratu Bagus Boang
itu dahulu disimpan oleh penasihat Maulana Syafri dan Suryapranata dengan ditilik
lang-sung oleh penasihat Ki Tunjungbiru," sambung
Tubagus Simuntang. "Maka besar dugaan hamba, bahwa ilham itu datang dari
mereka bertiga."
Sangaji percaya kepada pernyataan mereka. Dan ia jadi yakin, bahwa Titisari
meme-gang salah satu peranan penting. Tetapi pe-ranan bagaimana itulah suatu
soal yang sulit untuk diterangkan. Sebaliknya apabila hai itu hanya merupakan
suatu dugaannya belaka peristiwa rangkaian terjadinya penyerahan ketiga pusaka
Ratu Bagus Boang, benar-benar aneh dan mencurigakan. la merasakan sesuatu.
Dan rasa itu berkelebatan seperti tumpuan bayangan dalam benaknya. Tapi apa itu,
tak bisa ia menangkapnya. Dasar ia tak pandai mengungkap isi hatinya, maka
mulut-nya membungkam dengan pikiran kabur.
"Sayang, aku tadi tak dapat melihatnya de-ngan lebih tegas sehingga tak dapat
kubuat pegangan," kata Sangaji seperti kepada dirinya sendiri.
"Ah, mungkin aku yang sudah menjadi ling-lung." Sangaji menghibur diri. "Masakan
Titisari berada di Jakarta. Untuk apa? Dan siapa pula mereka tadi yang
mengenakanpakaian berburu? Apakah Titisari mengalami peristiwa seperti dia pula
menjadi Ratu tak bermahkota dengan tiba-tiba?" Memikir demikian Sangaji menjadi
geli. Kemudian memutuskan, "Ah di dunia ini bukankah terda-pat banyak orang
yang sama rupa?"
Oleh keputusan itu, hatinya jadi berlega. Terus saja ia berkata kepada Tatang
Sontani dan Tubagus Simuntang.
"Paman! Sewaktu aku meninggalkan Jakar-ta, ibuku sama sekali tak mengetahui.
Apakah kita masih mempunyai waktu untuk bersing-gah sebentar?"
"Hamba kira laskar kita baru tiba menjelang fajar hari," kata Tatang Sontani.
Mereka berjalan perlahan-lahan seperti penduduk kota yang sedang ke luar mencari
angin. Aneh adalah Sangaji. Pemuda itu, se-menjak kakinya meraba batas kota
Jakarta, ingin sekali menengok ibunya dengan segera. Hanya oleh rasa segan saja
ia menahan diri. Tetapi kini, ia seperti ogah-ogahan ). ltulah disebabkan oleh
kesannya melihat bayangan Titisari. Dan pikirannya jadi penuh, sehingga seringkali
ia terlongong-longong. CIntunglah, waktu itu malam hari. Dengan demikian, kesan
mukanya tidak nampak oleh kedua panglimanya.
Dalam pada itu, Sangaji telah memasuki rumahnya. Dari seorang Kopral ia memper-
oleh keterangan, bahwa atas perintah Mayor de Hoop, ibunya dipindah di sebuah
bangunan baru dekat lapangan kota.
Ternyata rumah itu merupakan sebuah ba-ngunan baru, dengan pendapa luas
perkasa dan mentereng. Tapi terlalu mentereng untuk tempat tinggal seorang
janda seperti ibunya. Mungkin rumah itu dimaksudkan sebagai ha-diah
perkawinannya dengan Sonny kelak.
"Rumah itu jauh lebih bagus dari tempat kediaman semula. Tepat sekali untuk
kedia-man Paduka. Hanya saja letaknya begitu men-curigakan. Kecuali berada di
tengah lapangan, letaknya berdekatan pula dengan tangsi kavaleri. Mudah-
mudahan saja, kompeni bermaksud baik."
"Kalau begitu, biarlah aku pergi dahulu," tiba-tiba Tubagus Simuntang memotong.
Sebagai teman perjuangan yang sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya,
ia me-ngerti ke mana arah perkataan Tatang Sontani. Maka dengan membungkuk
hormat itu berkata pula kepada Sangaji. "Izinkan hamba mengatur teman-teman
dahulu."
Sebenamya Sangaji sudah merasakan sesu-atu yang kurang beres, Dan biasanya ia
senan-tiasa lambat dalam hai mengambil suatu kepu-tusan. Tapi begitu mendengar
ujar Tubagus Simuntang, ia seperti sudah dapat menebak seluruhnya. Maka ia
mengangguk.
"Kalau hamba boleh berkata dengan sebe-namya, bangunan ini lebih tepat apabila
dibu-at sebagai rumah tahanan," kata Tatang Sontani sejenak kemudian, setelah
rekannya pergi melakukan tugasnya. "Paling tidak, apa-bila seorang tawanan
bermaksud melarikan diri, ia baru sanggup melintasi lapangan ter-buka terlebih
dahulu."
Sangaji tersenyum pahit. Bukannya ia tidak dapat menebak maksud Mayor de Hoop
sesungguhnya, tapi teringat akan diri sendiri yang sebenarnya sudah semenjak
lama men-jadi tawanannya, ia jadi tergugah begitu men-dengar ujar Tatang
Sontani. Seketika itu juga, timbullah sifat kejantanannya. Terus saja ia berkata
kepada Tatang Sontani.
"Hamba tidak berani menerima pujian Paduka," potong Tatang Sontani dengan
cepat.
"Dalam segala hai, Paduka pasti sudah dapat menggerayangi maksud pemindahan
ini ter-lebih dahulu daripada hamba. Soalnya, Paduka terlalu mulia serta agung
budi, sehingga tak sampai menyatakan hai tersebut."
"Tetapi dengan sesungguhnya, kali ini aku mohon pertolongan Paman."
"Aku mohon bantuan Paman untuk melihat-lihat gedung yang kita masuki petang
hari tadi. Mudah-mudahan Paman dapat membantu aku memperoleh pegangan
kuat."
Bukan main girang hati Tatang Sontani memperoleh kepercayaan itu. Memang apa-
bila menuruti hati serta kebiasaannya ia takkan meninggalkan gedung Tionghoa
tadi sebelum memperoleh keyakinan pasti. Tapi karena mengingat ketuanya yang
baru itu ter-lalu sangat teguh memegang tata santun sehingga membatalkan
niatnya sendiri, ia ter-paksa mau mengalah. Kini, ia justru mendapat perintah. Maka
begitu habis membungkuk hormat, segera ia melesat terbang seperti ba-yangan.
Biarlah aku menemuinya, katanya di dalam hati. Kalau ia merubah sikap apa boleh
buat aku akan membawa Ibu pergi.
Dengan langkah tenang ia memasuki ru-mahnya yang baru dari pintu.depan. Begitu
muncul di ambang pintu, Sonny de Hoop bangkit dengan serentak dari tempat
duduk-nya. Kemudian menyambut dengan terse-nyum manis.
"Ibu," kata gadis itu. "Lihat! Dia akhirnya toh datang juga." Kemudian kepada
Sangaji, "Hm... selamanya engkau membuat hatiku bi-ngung saja. Mengapa kau
pergi tanpa pamit?"
"Mayor de Hoop berkata, bahwa engkau se-karang sudah menjadi seorang yang
penting. Karena engkau sudah membuat jasa besar terhadap pemerintah, maka
beliau mengumpul-kan hadiah untukmu," sahut Rukmini. Kemudian meneruskan
dengan menghela napas. "Hm sebenamya, kita sudah biasa hidup dengan
sederhana. Barang semahal ini, tidaklah penting ..."
"Menurut Mayor de Hoop, engkau kini sudah menjadi pemimpin tertinggi seluruh
Jawa Barat. Karena itu, sudah sepatutnya kita men-diami rumah ini," katanya. "Aji,
Ibu benar-benar menjadi bingung. Apakah artinya ini, anakku?" Katanya pula,
"Mayor de Hoop akan berbicara denganmu dalam beberapa hari lagi..."
"Non Sonny akan datang kembali, setelah engkau mandi, Nah, mandilah dahulu.
Pastilah kisahmu akan memakan waktu panjang," katanya.
Sudah barang tentu Rukmini tak tahu, bahwa kesaktian Sangaji sesungguhnya
diperolehnya dari guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram.
Kepan-daian Sangaji kini apabila dibandingkan dengan kesaktian kedua gurunya,
jauh berada di atasnya.
Bukan main terkejut hati Sangaji mendengar ucapan-ucapan ibunya itu. la tak
mengerti hatinya sendiri, apakah girang, terharu, curiga atau bersangsi. Yang
terang, hatinya memukul. Itulah masalah pelik yang selalu merumun ketenangan
hatinya. Kini ibunya sudah me-nunjukkan wama kartu, bukankah menjadi
gampang? Terus saja ia berkata, "lbu! Ibu! Me-ngapa lbu tak berkata semenjak aku
datang dahulu?"
"Warisan ayahmu inilah yang membuka mataku. Kau lupa memberi kepadaku.
Suatu hari, karena hatiku pepat memikirkan dirimu kulihat tombak ini. Oleh
pertolongan seorang serdadu dari Jawa, ternyata terdapat tulisan gurumu Wirapati."
Untung, berkat ketekunannya menyelami Ilmu sakti Kyai Kesambi dahulu (Suradira
Lebur Dening Pangastuti) Sangaji telah pandai membaca huruf Jawa. Maka begitu
membaca tulisan Wirapati yang tergurat pada tombak karatan itu, hatinya tergetar.
Ayah Sangaji mati untuk apa? Sekedar membuktikan kepada anaknya, bahwa dia
termasuk seorang laki-laki tulen. Dan aku mengharapkan, agar anakku, anak
didikku mati pula sebagai laki-laki. Biarlah dia hidup satu hari asal hidup sebagai
harimau. Hidup satu tahun sebagai kambing, apakah senangnya?
Wirapati
Benar, bisik Sangaji di dalam hati. Bukankah hidupku kini tak ubah seekor kambing
yang kena dituntun ke sana ke mari? Ya, di mana aku sekarang ini?
Tak terasa ia membayangkan gurunya
Wirapati yang gagah perkasa. Dan secara wajar teringatlah dia pula kepada ucapan
gurunya Jaga Saradenta: "... karena itu, engkau harus belajar mempunyai
keputusan cepat, tegas dan tepat. Itulah senjatamu satu-satunya untuk mengarungi
dunia yang lebar ini. Keputusannya ... keputusanmu... keputusanmu..."
Mendengar warta itu, Sangaji terkejut. Namun ia berusaha hendak menghibur hati
ibunya. Belum lagi membuka mulut, ibunya berkata lagi. "lbu seorang bodoh,
anakku. Tetapi menyaksikan perampasan itu, tahulah lbu bahwa engkau berada
dalam kesulitan-. Kemudian selama beberapa hari ini, ia bersikap luar biasa
terhadap lbu. Lihatlah emas, perak dan permata. Inilah hadiahnya. Benar ia
berkata, bahwa semuanya ini demi' eratnya hubungan keluarga kita di kemudian
hari, tetapi lbu berada di dekatnya hampir tiga tahun lamanya. Dan mengenal dia
lebih dari tujuh tahun. Ibu rasa cukup mengenal baik sifatnya. Ibu rasa, pastilah ada
sebab utama-nya yang beralasan. Cobalah jawab pertanyaan Ibu dengan setulus
hatimu, apakah engkau senang manakala kuajak pulang ke kampung halaman?"
"Aji! Mengapa engkau tak pernah menceri-takan gadis pilihanmu itu," kata Rukmini
setelah mendengarkan penuturan anaknya.
"Semenjak datang di Jakarta, ada saja per-soalan yang harus kuhadapi sehingga
belum memperoleh waktu yang baik. Selain itu, sesungguhnya aku takut membuat
Ibu sedih."
"Mayor de Hoop bersikap sangat baik ter-hadap kita. Kita berdua dilindungi
semenjak lama. Sonny pun bersedia pula menjadi isteri-ku. Masakan aku tak
mengenal budi itu?"
Rukmini menghela napas. Sejenak kemudi-an berkata, "Kita memang berutang budi
kepadanya. Tetapi menurut tutur katamu, jasa Titisari tidak dapat ditebus dengan
harta benda maupun semboyan-semboyan luhur belaka. Bukankah dia telah
merebut jiwamu kembali, tatkala engkau luka parah. di benteng batu? Coba
seumpama tiada Titisari, bukankah per-jodohanmu dengan Nona Sonny sia-sia
belaka?" ia berhenti mengesankan.. Berkata lagi, "Dengan keluarga Mayor de Hoop,
kita memang berutang budi. Tapi kepada Titisari, kita berutang jiwa. Ingat-ingatlah
hai itu!"
"Yang berutang jiwa hanya aku seorang. Bukan Ibu," bantah Sangaji.
Rukmini tersenyum getir. Katanya, "Hm ... seumpama engkau tewas, masakan Ibu
sudi hidup lama-lama lagi? Karena itu, ibupun ikut berutang jiwa pula."
Bukan main terguncang hati Sangaji. la seperti kehilangan diri sendiri, sehingga tak
tahu apa lagi yang harus dilakukan.
"Mengapa begitu?"
Sonny de Hoop seorang gadis tiada cela. Malahan lambat-laun tertanamlah benih
kasih-nya. Tapi melihat anaknya bersikap dingin, mau tak mau ia jadi perasa pula.
Maka ia mencoba menduga-duga. Dan begitu mendengar cerita anaknya yang
menyebut-nyebut seorang gadis yang bemama Titisari dengan bersemangat,
hilanglah sudah rasa sangsinya. Apalagi Titisari ternyata seorang gadis yang pernah
merebut jiwa Sangaji.
Ternyata Sonny de Hoop datang dengan di-kawal oleh seorang sersan berusia tua.
Sersan itu berkumis tebal. Matanya tajam berlindung di bawah alisnya yang tebal
pula. Sekali pandang tahulah Sangaji, bahwa ser-san itu bukan orang sembarangan.
Memper-oleh kesan demikian, diam-diam ia berjaga-jaga diri.
Dengan sikap hormat, sersan itu meletakkan bebannya di atas meja. Heran Sangaji,
karena beban itu ternyata pusaka sakti Kyai Tunggul-manik, Bende Mataram dan
pedang Sokayana yang tadi menyibukkan pikirannya.
"Ayah kini tidak menganggapmu lagi se-bagai seorang pemuda tolol. Namun karena
menjaga hal-hal yang tidak kauinginkan, Ayah perlu menyimpan semua pusakamu
ini. Malam ini kami kembalikan dengan utuh. Periksa-lah dahulu barangkali engkau
mengira Ayah memalsukan," kata Sonny de Hoop.
Untuk mengenal ketiga pusaka sakti itu, Sangaji tidak membutuhkan waktu lama.
De-ngan pandang, ia sudah mengenalnya. Hati-nya penuh syukur dan hampir saja
menyata-kan rasa terima kasih. (Jntung waktu itu, Sonny de Hoop berkata lagi
sambil menghela napas. "Selamanya engkau membuatku tidak mengerti.
Sebenarnya bagaimana bisa terjadi begitu?"
Gunung Cibugis bukan merupakan suatu raha-sia lagi. Teringat helaan napas Sonny
yang tadi didengarnya di luar dinding tatkala ibunya se-dang memperbincangkan
rencana pulang ke kampung halaman, timbullah sikap jantannya. Dasar ia seorang
yang jujur dan berjiwa ksatria sejati, lantas saja berkata dengan tenang.
"Aji! Betapa alasan Ayah, hatimu pasti sakit sewaktu mendengar kabar hilangnya
ketiga pusaka itu, bukan? Pastilah engkau sudah menuduh Kompeni merampas
milikmu. Agak-nya benar juga," ujar Sonny de Hoop lembut. "Tiap prajurit selalu
menyatakan diri, bahwa dia adalah penjaga dan pengatur keamanan. Padahal
dialah sesungguhnya perusak keamanan. Kau percaya, tidak? Lihatlah dengan
alasan demi menjaga dan mengatur keamanan, kerapkali dia perlu membunuh
yang lain. Setidak-tidaknya membuat rugi yang lain. Nah, bukankah dia justru
menjadi perusak keamanan? Maka teringatlah aku kepada ucapan seorang filsof
Yunani kuna yang berkata begini: Kau tahu apakah sesungguhnya organisasi militer
itu? Mereka tak lebih dari organisasi pembunuh yang dilindungi undang-undang.
Kau percaya, tidak?"
"Sonny! Ayahmu baik sekali." Dan selama-nya dia baik sekali terhadapku dan Ibu,
masakan aku berani menuduh yang bukan-bukan?" sahut Sangaji.
"Tidak mungkin!" sahut Sangaji cepat. "Mereka bercita-cita justru hendak mengusir
pemerintah Belanda dari bumi Jawa."
Mendengar ucapan Sangaji, wajah Sonny de Hoop berubah hebat sampai pucat.
Tanpa di-sadari sendiri, ia bangkit dari tempat duduknya sambil berkata dengan
nada tinggi.
"Sonny! Mereka memang berkata dan ber-cita-cita begitu. Lalu aku harus berkata
bagai-mana? Apakah aku harus memperkosa ucap-annya?" sahut Sangaji. "Mereka
mempercayai aku. Meskipun hatiku enggan, tetapi aku tak menolak pula. Apakah
menurut pendapatmu aku harus mengkhianati mereka?"
Lama sekali Sonny de Hoop menatap wajah Sangaji. la nampak terkejut, gusar,
kecewa dan pilu. Juga sersan yang duduk di sudut ruang depan. Akhirnya perlahan-
lahan Sonny de Hoop duduk kembali dengan pandang lembut. Dan sersan itu
terdengar melepaskan napas lega pula. Perlahan Sonny de Hoop berkata, "Semula
aku tak percaya kepada semua kabar yang kudengar. Kemudian aku minta izin
Ayah hendak membuktikan sendiri. Sekarang aku mendengar pula dari mulutmu
sendiri. Apakah aku bisa mengingkari kesulitan ini?"
Setelah berkata demikian, gadis itu nampak berduka dengan hati pilu. la
melemparkan pandang jauh di sana. Kepada tiang-tiang pen-dapa, kepada wajah
sersan yang menunduk, kemudian pada kegelapan malam. Namun penglihatan itu
tidak merasuk dalam rasanya. Akhirnya setelah lama berdiam diri ia merun-tuhkan
pandang ke bawah seraya berkata dengan berbisik.
"Waktu engkau diketemukan Ayah di dalam medan perang dahulu, Ayah sudah
bercuriga. Tetapi ia mendengarkan kata-kataku. Kemu-dian untuk kedua kalinya,
engkau berada di perkemahan. Juga Ayah tidak mengusut lebih lanjut. Tetapi
sekarang semua orang mende-ngar kabarmu. Sulitlah untuk meniadakan semuanya
itu." la berhenti sebentar menghela napas. Sekonyong-konyong pandang mataya
berkilatan,"Benarlah kata pepatah: Kalau suamimu menjadi raja, kau akan menjadi
se-orang permaisuri yang muda. Tetapi bila suamimu menjadi setan, kaupun akan
menjadi iblis. Nah, biarlah aku menjadi iblis." .
Mendengar ucapan Sonny de Hoop, hati Sangaji terharu bukan main. Dasar hatinya
lemah, lagi pula tidak terdapat suatu kesalahan pada diri Sonny, maka berkatalah
dia dengan penuh perasaan:
"Sonny...! Aku ini memang seorang yang tidak hanya tolol, tapi juga tidak tahu
berterima kasih. Sekarang biarlah aku patuh kepada kehendakmu... " Tetapi setelah
berkata demikian, suatu bayangan berkelebat dalam otak-nya. Segera ia dapat
menguasai diri. Lalu berkata lagi, "Terhadapmu memang aku dapat berkata begini.
Tetapi bagaimana dengan ayahmu yang memegang kekuasaan militer? Pastilah
dengan alasan dinasnya, Beliau lebih mencintai kedudukannya daripada kepadamu
atau kepadaku ..."
"Ya benar," sahut Sonny dengan mengeluh. "ltulah sebabnya, aku dahulu tidak
senang engkau menjadi semacam jagoan. Kau tahu sebabnya?" Sonny berhenti
mengesankan. "Inilah jadinya. Karena demi mengabdi kepada apa yang dinamakan
kehormatan diri dan cita-cita, kau dan aku mungkin berdiri di seberang
menyeberang."
"Janganlah berkata begitu, Sonny. Aku me-mang bersalah terhadapmu, tapi ayahmu
bukan seorang jagoan. Beliau tidak mempe-rebutkan apa yang dinamakan suatu
kehormatan diri."
"Kau berkata apa?" potong Sonny de Hoop sengit. Berbareng dengan senyumnya
pahit, ia meneruskan. "Kau berkata dia bukan terma-suk golongan jagoan? Kau
salah, aku justru berkata begitu. Dialah termasuk pula seorang jagoan yang
kebetulan mengenakan pakaian seragam."
"Ya, bukankah sudah terang?" sahut Sonny. "Seorang jagoan adalah seorang yang
mengabdikan diri kepada kehormatan dan nama yang kosong. Dalam hidupnya ia
hanya mendengarkan hatinya sendiri."
"Mengapa belum tentu?" potong Sonny. "Seorang prajurit dididik untuk menang.
Karena itu betapa dia mau mengalah? Kalau dia mau mengalah, dialah bukan
seorang pra-jurit."
Selamanya Sangaji tak pandai berdebat. Meskipun pada waktu itu ia sudah
memper-oleh kemajuan yang lumayan, namun masih saja ia tak mampu mengatasi
bentuk pem-bicaraan yang bersifat cepat. Maka mulutnya membungkam dengan
mendadak. Dan seperti dahulu, ia lantas menjadi tokoh pendengarnya.
Sonny de Hoop tertawa lembut. Katanya, "Ah, benar-benar engkau sudah berubah.
Kau sekarang sudah pandai berbicara. Maka benarlah kata Ayah, bahwa engkau
bukan se-orang pemuda tolol lagi..."
Itulah suatu sindiran tajam. Kalau bukan Sangaji pastilah akan melahirkan suatu
rente-tan perdebatan. Tapi Sangaji yang berhati damai, segera mengalihkan
pembicaraan.
"O, Sangaji... semenjak dahulu aku berkata, bahwa aku akan ikut senang hati
manakala hatimu senang pula. Keluarga Mulawir sudah dibebaskan. Tetapi ayah
tidak dapat membe-baskan Ki Tunjungbiru, meskipun hatinya sangat menyesal."
"Mengapa?"
"Ya, aku tahu," sahut Sangaji dengan kepala kosong. Sejurus kemudian berkata,
"Sonny! Apakah engkau mengerti di mana dia dise-kap?"
"Penjara Glodok."
"Aku akan menghadap ayahmu. Aku tahu, ayahmu pasti akan menyatakan
bermusuhan dengan tugasku. Karena itu aku akan minta ijin padanya untuk pulang
bersama lbu ke kampung halaman."
Bukan main terharu rasa hati Sangaji. Itulah suatu ucapan cinta kasih setulus-
tulusnya. Kenyataan demikian tak dapat diabaikan dengan begitu saja. Selagi ia
berpikir demikian, terdengar Sonny de Hoop berkata lagi, "Kau tadi minta
keterangan tentang keadaan penjara, bukan?"
Sangaji mengangguk.
"Biasa saja," kata Sonny de Hoop. "Penjara di mana-mana saja dipimpin oleh
seorang Ke-pala Penjara yang dibantu dengan pegawai-pegawai bawahannya.
Hanya saja karena penjara Glodok dianggap sangat penting, penja-ganya diperkuat
dengan serdadu-serdadu Kompeni yang dibantu pula oleh tamping-tampingnya
yang sudah mendapat keper-cayaannya."
"Orang yang terhukum untuk selama hidup dan sesudah mendapat kepercayaan
diangkat oleh Kepala Penjara sebagai pembantu meng-urus tata tertib."
Sangaji diam merenung. Penjara Glodok sudah sering dilihatnya. Kesannya seram
dan menakutkan. Menurut kabar, tidak gampang seseorang mencoba mendekati
dindingnya tanpa diketahui penjaganya. Sekiranya me-maksa diri menjebol
pintunya, pastilah akan menimbulkan suatu perjuangan sengit. Memi-kir demikian,
ia jadi gelisah. Bukankah laskar Himpunan Sangkuriang kini sedang dalam
perjalanan mendekati penjara itu?
Cepat Sonny de Hoop keluar pendapa. Tiba-tiba ia berseru kaget, "Hai! Bukankah
itu penjara Glodok? Sersan!"
Ia menoleh ke serambi. Tetapi sersan yang tadi duduk di sudut ruang, tiada nampak
batang hidungnya. Kapan ia meninggalkan ruang itu, berada di luar
pengamatannya. Segera ia menyerunya. Namun meskipun di-ulanginya beberapa
kali, tetap sersan itu tidak muncul. Setelah berbimbang-bimbang sejenak, cepat
Sonny masuk ke dalam. Ia mencoba minta keterangan Rukmini. Tapi Rukmini tak
dapat memberi keterangan. Juga semua pelayan yang berada di sekitar rumah.
Sangaji kala itu tiada sabar lagi melihat nyalanya api yang hampak membumbung
tinggi di udara. Teringatlah dia kepada Ki Tunjungbiru dan sekalian laskarnya.
Apakah mereka sudah tiba di dalam kota dan terus menyerbu penjara?"
Karena dirumun berbagai soal, Sangaji lan-tas berdiri tegak. Tatkala melihat Sonny
kembali ke serambi depan, ia berkata cepat: "Sonny, maafkan aku ingin melihat."
Dan berbareng dengan kalimatnya yang pengha-bisan, sekali melesat bayangannya
sudah lenyap dari penglihatan.
"Hai, hai! Tunggu dahulu!" teriak Sonny de Hoop, "Biarlah kita berangkat bersama."
Mendengar teriak Sonny de Hoop yang ber-kesan gupuh, Rukmini lari ke serambi
depan. Tetapi pada saat itu, baik Sangaji maupun Sonny de Hoop sudah tiada lagi.
Pada saat itu Sangaji sudah berada di jalan. Ia melesat bagaikan terbang. Belum
lagi memasuki daerah perkampungan Cina yang berada di depan, matanya yang
tajam me-nangkap berkelebatnya sesosok bayangan yang menyongsong padanya.
Melihat gerakan bayangan itu, pastilah bayangan seorang yang berkepandaian
tinggi. Tiba-tiba pada detik itu terdengar bayangan tadi berseru, "Gusti Aji!"
"Tidak hanya itu. Tetapi yang menyerbu bukan laskar kita," sahut Tubagus
Simuntang. Seperti diketahui, Tubagus Simuntang minta ijin kepada Sangaji hendak
melakukan tugas-nya. Semenjak zaman Ratu Bagus Boang, Tubagus Simuntang
menduduki jabatan peng-hubung. Dalam melakukan tugasnya hendak
menghubungi Dadang Wiranata, Dwijendra, Andangkara dan Otong Surawijaya
pada malam itu, ia menjumpai suatu peristiwa yang menarik perhatiannya. Segera
ia mengikuti perkembangan peristiwa itu. Begitu memperoleh kepastian, segera ia
lari sekencang-kencangnya, hendak memberi laporan kepada ketuanya. Katanya
kemudian setidak-tidaknya enam pendekar datang menyerbu penjara.
"Terang sekali tidak. Mereka datang untuk membebaskan anak-anak muridnya yang
lenyap tiada bekasnya setelah turun dari dataran ketinggian Gunung Cibugis."
Benar juga. Waktu tiba di depan penjara, mereka berdua melihat berkelebatnya
bebera-pa bayangan yang bergerak sangat cepat dan berani. Dengan berlompatan,
bayangan itu menikam penjaga-penjaga yang sedang mengisi senapan bermesin
bubuk.
Penjara Glodok pada zaman itu, tidaklah seperti sekarang. Penjara tersebut
dibangun untuk tempat mengurung penentang-penen-tang pemerintahan Belanda
yang disegani. Itulah sebabnya, penduduk menyebutnya sebagai kandang negara.
Seratus tahun yang lalu, pahlawan Ontung Surapati pernah dise-kap di dalam salah
sebuah kamarnya yang berada di bawah tanah. Ternyata dia masih dapat
membebaskan diri. Bahkan membawa lari pula 120 hukuman yang kemudian
mengadakan perlawanan di luar kota Jakarta. Betapa tinggi kepandaian Ontung
Surapati dapat dibuktikan dengan kenyataan terse-but.
Kamar tersebut dinamakan kamar maut, karena tiada lubang angin sama sekali.
Barangsiapa kena ditahan di dalam kamar tersebut, tiada harapan untuk bisa
membe-baskan diri. Kecuali apabila mampu menjebol dinding besinya yang tebal
luar biasa.
Malam itu selagi para penjaga berada di atas gardunya masing-masing, tiba-tiba
nampaklah tujuh bayangan melesat melompati tembok luar. Terang sekali, mereka
bukan orang sem-barangan. Dan baru saja para penjaga hendak mengadakan suatu
reaksi, mereka telah me-nyergapnya tanpa berbimbang-bimbang lagi.
Melihat robohnya semua penjaga yang bera-da di atas gardu penjagaan, Kepala
Jaga lantas saja memukul lonceng tanda bahaya. Pem-bantunya melepaskan panah
berapi di udara. Itulah sinar yang tadi terlihat oleh Sangaji dan Sonny de Hoop. Dan
sebentar kemudian, bunyi sangkakala melengking di tengah malam.
Tamping-tamping yang merupakan urat nadi, muncul dari lorong samping. Baru
saja mereka mencongkakkan diri, terdengarlah angin tajam meniup semua lentera.
Itulah suara rantasnya gerendel-gerendel dan terali sel. Dan muncullah orang-orang
tahanan yang tersekap di dalam kamar menara. Ternyata mereka adalah para
pendekar yang pernah menyerbu dataran ketinggian Gunung Cibugis.
Sangaji sudah menduga, bahwa sersan itu bukan sembarang orang. Namun tiada
mengi-ra, bahwa ia memiliki kegesitan demikian, sehingga mampu menandingi
Tatang Sontani.
Dengan gesit, sersan itu berjalan membeloki lorong-lorong kecil. Setelah kurang
lebih lima kilometer berada di luar kota, ia berhenti me-mutar tubuh.
Cepat Sangaji menangkis dengan tangan kiri sambil berseru, "Apakah maksud Tuan
sersan? Jelaskanlah dahulu. Masakan terus saja menyerang tanpa alasan?"
Ternyata sersan itu tiada menggubris seruan Sangaji. Begitu tangan kirinya kena
tangkis, tangannya yang kanan dengan cepat men-garah lambung. Hebat
gerakannya sampai angin berkesiur tajam.
Ontuk yang kedua kalinya, sersan itu tidak mendengarkan seruan Sangaji. Bahkan
gerakannya tambah menghebat. Kedua jari tangannya, menyerang saling
menyusul. Yang satu mencakar yang lain mencengkeram berbareng mengait.
Kemudian memagut dan menghantam. Dengan satu kali gerakan saja, sudah terjadi
enam gaya serangan kilat.
Melihat serangan itu, Sangaji tak berani berayal lagi. Dengan mengibaskSn tangan,
ia bertahan dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi, Suradira lebur dening
pangastuti. Tenaga yang digunakan ialah ilmu Pancawara. Hebat tekanan
tenaganya. Namun ilmu silat sersan itu, sangat ajaib dan aneh. Semua tipu
muslihatnya sangat keji dan bercampur aduk. Ia memiliki ilmu sakti suci bersih dan
kotor. Nyata sekali, bahwa dia mempunyai penge-tahuan luas dan mahir luar biasa.
Sangaji tetap melayaninya dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi. Sampai sembilan
puluh jurus, tiba-tiba cengkeraman sersan itu berubah menjadi suatu tinju. Lalu
dengan deras menghantam dada Sangaji dari depan.
Diserang secara mendadak, tetap saja Sangaji melayani dengan ilmu Kyai Kasan
Kesambi. Ia menangkis dengan mengibaskan tangan. Sekaligus, ilmu sakti
Pancawara menahan daya serangan. Kemudian dengan menggunakan tipu muslihat
Mayangga Seta, tangan kiri Sangaji membelok. Dengan suatu lingkaran cepat,
tangannya sudah menggablok punggung lawannya. Tetapi ia tidak menggunakan
tenaga sakti. Karena itu, serangannya hanya menempel pada punggung.
Sersan itu terhenyak sejenak. Wajahnya heran berbareng terkejut. Tahulah dia,
bahwa Sangaji tidak bermaksud mencelakai. Malahan mengampuni jiwanya.
Memperoleh pertim-bangan demikian, ia meloncat ke samping sambil menatap
wajah Sangaji. Sekonyong-konyong ia memberi isyarat kepada Tatang Sontani,
meminjam pedang.
Menyaksikan Tatang Sontani bersikap hor-mat terhadap sersan itu, Sangaji heran
bukan main. Apalagi Tatang Sontani meminjamkan pedangnya tanpa mengadakan
sesuatu pem-bangkangan.
Dalam pada itu pedang Tatang Sontani sudah terlolos dari sarungnya. Itulah suatu
isyarat, bahwa serangan akan dimulai. Sersan itu mem-ben tanda, agar Sangaji
meminjam pula sebilah pedang dari Tubagus Simuntang. Tapi Sangaji
menggelengkan kepala. Ia hanya mengambil sarung pedang dari tangan sersan itu
dan hendak digunakan sebagai senjata pelawan pedangnya. Kemudian dengan
tenangnya ia melintangkan sarung pedang itu di depan dada-nya suatu tanda
bahwa serangan boleh dimulai.
Bagus! ia memuji dalam hati. Dan segera ia melayani dengan ilmu pedang guratan
rahasia keris Kyai Tunggulmanik.
Serangan sersan itu kadang-kadang cepat, lalu lambat dengan tiba-tiba. Tenaga
tekanan-nya teratur rapi. Bila cepat, serangannya deras bagaikan badai. Manakala
berubah lambat, tiba-tiba punah. Tetapi bahayanya jauh lebih dahsyat daripada
serangan badai. Sebab tenaga gempurannya dipergunakan untuk meng-kait lawan
tak ubah arus berputaran. Sese-orang takkan dapat menguasai ilmu sakti demikian,
apabila tenaganya tidak sempurna. Mengingat hai ini diam-diam Sangaji sayang
akan kepandaiannya.
la melayani dengan hati-hati sambil berpikir di dalam hati, "Kalau setengah tahun
yang lalu aku bertemu dengan dia, aku bukan tanding-annya. Ilmu pedang Eyang
Guru selama ini belum memperoleh tandingnya. Tapi menghadapi ilmu pedangnya,
meskipun menggu-nakan ilmu sakti Mayangga Seta belum tentu bisa mengatasi."
Ontung, Sangaji kini memiliki ilmu sakti Kyai Tunggulmanik. Maka setiap kali, ia
dapat me-matahkan semua serangan lawan.
Makin lama, Sangaji makin kagum dan sayang akan kepandaian sersan itu.
Timbullah keputusan dalam hatinya ia tak mau menga-lahkan dengan serangan
pedang pula. Ia me-nunggu serangan lawan sekali lagi. Kemudian dengan jitu ia
memutar sarung pedangnya berbalik. Lalu ditimpukkan dan tepat menyer-gap
ujung pedang. Sebelum sersan itu sadar akan inti serangan Sangaji, tahu-tahu
pedangnya telah masuk ke dalam sarung dengan tepat dan jitu. Dan berbareng
dengan itu, tangan Sangaji menyambar tangannya. Kemudian dengan tersenyum
Sangaji melompat ke samping sambil melepaskan tangkapannya.
Apabila dikehendaki, dengan sedikit tenaga saja, pastilah pedang sersan itu dapat
direbut-nya. Tetapi ia tidak menghendaki demikian. Ia bahkan berani mengambil
risiko bahaya, Tipu demikian, sangat bahayanya. Apalagi ber-hadapan dengan
seorang ahli pedang. Sedikit kurang cepat dan tepat, pergelangannya pasti akan
terkutung sekaligus.
Tak terduga, bahwa sersan itu ternyata tak mengenal terima kasih. Belum lagi kaki
Sangaji mendarat di atas tanah, tiba-tiba ser-san itu membuang pedangnya.
Kemudian menghantam dengan dahsyat. Hebat hanta-man itu. Suatu kesiur angin
dahsyat datang bergulungan.
Namun Sangaji tidak gugup. la bahkan ingin mencoba tenaga lawan. Dengan
telapak tangan kanan, ia menyambut hantaman itu. Sedang telapak tangan kirinya
mendorongkan tenaga sakti. Dan setelah itu kedua kakinya menginjak tanah
dengan manis sekali.
Dalam sekejap saja, tenaga pukulan sersan itu membanjir tak ubah air bah. Sangaji
tidak menangkisnya. Dengan menggunakan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik guratan
yang kedua belas, ia menampung semua tenaga pukulan lawan. Kemudian dengan
tiba-tiba ia meng-hentak. Tenaga lawan yang sudah ditimbun-nya, dilontarkan
kembali. Hebat daya tolakan itu. Tak ubah gelombang pasang, tenaga himpunan
sersan itu ditolak balik. Itu berarti, tenaga sakti sersan itu yang sudah berjumlah
puluhan lipat. Betapa hebat daya tekanannya, tiada seorang di jagat ini yang
memiliki tenaga sebesar demikian. Kalau tenaga tolakan kembali itu sampai
menghantam suatu sasaran, meskipun seekor gajahpun akan hancur tulang-
belulangnya.
Benar-benar jiwa sersan itu berada di ujung maut. Sebab telapakan tangannya
masih melekat pada tangannya Sangaji. Gntunglah, tangan kiri Sangaji masih
terbebas. Cepat, ia melontarkan sersan itu tinggi ke udara. Dan baru ia melepaskan
tenaga timbunannya.
Sersan itu terlontar ke udara seperti bola ten-dang. Sedangkan tenaga himpunan
terus menghantam batu raksasa yang berada di kaki bukit. Maka terdengarlah
suatu gemuruh bagaikan guntur hendak menggugurkan gunung. Batu raksasa yang
kena bidik tenaga timbunan itu, sumpyur berantakan menjadi kerikil-kerikil tajam.
Begitu menginjak tanah, sersan itu men-gangkat kedua tangannya di tengah dada
membuat suatu sembah. Itulah suatu sembah keseragarhan anggota Himpunan
Sangkuriang terhadap ketuanya. Kemudian berkata dengan suara rendah, "Hamba
Maulana Syafri duta urusan luar, dengan ini menghaturkan sembah bakti ke
hadapan Paduka. Terima kasih atas budi Gusti Sangaji. Meskipun hambamu begini
kurang ajar berani mencoba-coba kesaktian Gusti Sangaji, namun Paduka masih
mengam-puni jiwa hamba. Hamba mohon maaf sebesar-besarnya."
Mendengar ucapan sersan itu, Sangaji terkejut. la berpaling kepada Tatang Sontani.
Kemudian kepada Tubagus Simuntang. Keduanya tersenyum. Melihat senyum
mereka cepat Sangaji menghampiri Maulana Syafri lalu menjabat tangannya.
Sebenarnya setelah Maulana Syafri mulai dengan serangannya, baik Tatang Sontani
maupun Tubagus Simuntang terus saja me-ngenalnya. Itulah ilmu silat; milik khas
rekan-nya, yang hilang sepuluh t^hun lebih. Mereka hanya mengenal namanya,
namun orangnya tidak pernah menampakkan diri. Di mana dia berada selama itu,
sama sekali tiada kabarnya. Tak tahunya, dia malah menyamarkan diri dengan
menjadi seorang sersan kompeni. Mereka tahu, bahwa hai itu dilakukan demi tujuan
perjuangan Himpunan Sangkuriang hendak mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang, cepat memburu maju dan menggenggam
kedua tangan rekannya erat-erat. Sambil mengamat-amati wajah rekannya yang
kini nampak menjadi lebih tua, Tatang Sontani berkata: "Kak Maulana! Sungguh!
Adikmu sangat merindukan dirimu."
Dengan mesra Maulana Syafri memeluk Ta-tang Sontani sambil menyahut, "Adikku!
Berkat perlindungan yang Maha Esa. Himpunan Sangkuriang kita diberkahi seorang
pemimpin sepandai ini. Dan akhimya kita semua bisa ber-kumpul dan bersatu
kembali seperti semula."
"Kau hebat Kak Maulana," sambung Tuba-gus Simuntang. "Aku si tua bangka ini
merasa takluk."
"Hm ... di jagat ini siapa dapat menandingi kecepatan gerakmu, kecuali ketua kita
yang baru?" memuji Maulana Syafri.
Tubagus Simuntang beradat tak mau merasa kalah terhadap siapa saja. Tetapi
melihat ilmu silat yang baru diperlihatkan Maulana Syafri tadi, diam-diam ia merasa
takluk.
"Kak Maulana dengan sesungguhnya ku-nyatakan kini sampai hari ini barulah aku
Tubagus Simuntang benar-benar takluk kepa-damu," katanya. Setelah itu ia
membungkuk hormat.
"Bagus! Bagus!" sambung Tatang Sontani. "Tempat ini terletak tak jauh dari kota.
Marilah kita mendaki bukit. Di sana jauh lebih aman."
Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang ter-sadar. Baru mereka hendak membuka
mulut, Maulana Syafri mendahului berkata, "Tentang Ki Tunjungbiru, Paduka tak
usah meresahkan. Pada saat ini, dia sudah berada di luar penjara."
"Kabar ini memang membutuhkan kete-rangan yang lebih luas," kata Maulana
Syafri yang sudah dapat menebak hati pemimpin-nya. "Kejadian ini bersangkut-paut
sangat eratnya dengan seorang gadis yang paling pin-tar dalam zaman ini."
"Benar," sahut Maulana Syafri. "Menurut Ki Tunjungbiru, dia bernama Titisari dan
ber-sangkut-paut sangat erat dengan Paduka."
Kalau orang disambar geledek, tidaklah se-kaget hati Sangaji pada waktu itu.
Sekujur tubuhnya sampai nampak bergemetar. Melihat pemimpinnya demikian,
Tubagus Simuntang yang berwatak berangasan menduga jelek. Terus saja ia
melompat menerkam kain leher Maulana Syafri. Seperti diketahui, kegesitan
Tubagus Simuntang tiada lawannya di seluruh jagat. Maka sekali bergerak, Maulana
Syafri mati kutu.
Menyaksikan salah paham itu, Sangaji segera melerai. Katanya gugup, "Paman
Tuba-gus Simuntang! Paman Maulana Syafri justru membuat hatiku terharu."
"Baiklah mari kita mendaki bukit itu," kata Sangaji. "Paman Maulana! Berjanjilah,
bahwa Paman akan mengabarkan semuanya. Sekali Paman menyembunyikan
sepatah kata saja, aku tidak akan puas."
daki bukit. Sekeliling bukit merupakan lapangan terbuka. Sejauh mata memandang,
hanya berkesan sunyi senyap. Seumpama ada orang mengintai pasti akan
ketahuan. Maka itulah tempat seaman-amannya untuk saling mem-buka hati.