Anda di halaman 1dari 49

46 MEMBOBOL PENJARA

DOA bulan lamanya, seluruh anggota Him-punan Sangkuriang mengeram diri di


dalam gua Halimun. Selama itu, luka parah raja-raja muda sudah pulih seperti
sediakala. Sedang-kan Sangaji sudah memperoleh pengetahuan luas mengenai
organisasi himpunan serta petunjuk-petunjuk yang berharga lewat mulut Tatang
Sontani.

Selama hidupnya, Sangaji senantiasa ka-gum kepada suatu kecendekiawanan


seseo-rang. Maka diam-diam ia kagum pula kepada Tatang Sontani yang serba
pandai. Pantaslah Tatang Sontani menjadi penasihat Ratu Bagus Boang bagian tata
pemerintahan. Maka Sangaji tidak ragu-ragu melantiknya kembali sebagai
penasihatnya. Malahan dalam hatinya sudah memutuskan hendak diangkat sebagai
wakilnya penuh-penuh.

Pada suatu hari, tiba-tiba Sangaji berkata lantang kepada sekalian raja muda.

"Paman sekalian, sudah cukup lama kita mengeram di dalam tanah. Kini sudah
datang waktunya kita menghirup udara segar."

"Sekarang juga?" Tatang Sontani girang.

"Di sini aku berhadapan dengan paman sekalian, tetapi aku kehilangan seorang
pahlawan tiada taranya di jagat ini. ltulah Aki Tunjungbiru. Sekarang dia tersekap
kompeni entah di mana. Masakan kita akan mem-biarkan rekan kita meringkuk
terlalu lama?"

"Bagus!" seru raja-raja dengan serentak. Dan serunya segera disambung oleh
seluruh pasukan dengan gegap gempita, sehingga suasana menjadi panas.

"Karena itu, mari kita keluar!" kata Sangaji lagi dengan semangat berkobar-kobar.
"Hanya saja, yang belum sembuh lukanya, janganlah ikut bertempur! Pengawal
panji-panji Kuda Semberani, Obor Abadi dan Bunga Mekar un-tuk sementara waktu
menonton saja dari luar gelanggang. Lainnya ikut serta!"

Dan begitu perintah Sangaji diteruskan Tatang Sontani, seketika juga suara sorak
sorai membelah dinding gua Halimun. Segera Sangaji menjebol pintu batu yang
beratnya ratus-an kilo. Setelah pasukan panji-panji Garuda, Keris Sakti dan Bintang
Kejora meruap keluar gua, ia menutupnya kembali.

Semua yang menyaksikan kekuatan Sangaji kagum bukan main. Di antara mereka
terda-patlah seorang laki-laki kuat yang dijuluki si raksasa hitam. la bernama
Dudung Wiramang-gala. la mencoba mengerahkan segenap tena-ganya untuk
mendorong pintu batu tersebut. Tapi jangan lagi berhasil, bergemingpun ti-dak.
Maka diam-diam ia merasa takiuk kepada Pemimpin Besamya sampai kebulu-
bulunya.

"Beliau masih berusia muda, namun keku-atannya bagaikan malaikat," serunya


kagum luar biasa.

Dalam pada itu, Sangaji mendahului lagi dengan melalui pintu batu tersebut. Sekali
mendorong terjebaklah batu raksasa itu. Karena khawatir akan kena terjebak
lawan, ia melesat terbang ke atas sebuah batu panjang yang mencongak di atas
jurang curam. Segera ia menjelajahkan matanya. Di timur Raja Muda Andangkara
sudah mengatur pasukannya. la melewati pintu rahasia sebelah timur. Kemu-dian
dengan berturut-turut, Raja Muda Dwijen-dra dan Ratna Bumi memimpin
pasukannya keluar pula. Mereka bergerak dengan cepat dan tanpa bersuara
sedikitpun.

Tatang Sontani memimpin sisa-sisa pa-sukan pengawal panji-panji Himpunan Sang-


kuriang yang terbagi atas tiga bagian. Walaupun jumlah mereka sudah banyak
berku-rang, namun masih saja nampak keangkeran-nya. Mereka semua
mengenakan pakaian se-ragam hitam, kelabu dan putih. Mereka berge-rak dengan
gesit dan penuh semangat. Gerak-geriknya senantiasa dalam keadaan siaga
bertempur dengan mendadak.

Dadang Wiranata, Tubagus Simuntang dan Walisana berada dibelakang Sangaji


selaku pelindung. Sedangkan Otong Surawijaya ber-gerak mendahului sebagai
pasukan penggem-pur. Tugas ini sesuai dengan wataknya yang berangasan. Namun
ia tak berani meraba da-taran ketinggian, karena belum memperoleh perintah
Sangaji: ltulah sebabnya, dengan tiba-tiba saja mereka berhenti bergerak sehingga
suasana jadi sunyi senyap.

Dengan berbisik, Sangaji membagi tugas. Katanya, "Musuh sudah memasuki


wilayah kekuasaan kita. Karena itu, wajib kita mengha-launya pergi. Hanya saja,
aku tidak menghen-daki terjadinya banyak korban. Manakala tidak terpaksa,
janganlah melakukan suatu pem-bunuhan. Inilah pesanku yang harus kalian
rasukkan ke dalam sanubari. la berhenti mengesankan. Dan Manik Angkeran yang
selalu berada disampingnya sebagai tabib pribadi, memanggut-manggut
menyetujui.

"Sebentar malam, silakan Aki Andangkara memasuki daerah pertempuran dan


sebelah timur! Paman Dadang Wiranata merabu dari tengah. Paman Otong
Surawijaya dan Paman Walisana, silakan memimpin pasukan ma-sing-masing.
Sedangkan untuk pasukan pen-dudukan, aku serahkan kepada kebijaksanaan
Paman Tatang Sontani. Paman Tubagus Simuntang, dan aku sendiri, akan
membantu Paman Ratna Bumi dan Dwijendra manakala sangat perlu," kata Sangaji
dengan tegas.
Semua raja muda membungkuk hormat de-ngan tiada suara. Dan sekali Sangaji
melam-baikan tangannya, segera ia berbisik: "Sau-dara-saudara sekalian,
berangkatlah!"

Segera mereka bergerak menjadi tujuh juru-san, mengurung dataran ketinggian


Gunung Cibugis. Sedangkan Tatang Sontani yang memimpin pasukan pendudukan,
membagi pasukannya menjadi empat bagian.

"Paman Simuntang, marilah kita muncul dari lorong diseberang jurang dan
menyerang dengan mendadak," ajak Sangaji. "Manik Angkeran, tinggallah dahulu
merawat yang luka-luka."

Manik Angkeran membungkuk hormat, sedang Tubagus Simuntang girang bukan


main. ltulah suatu kehormatan besar baginya, bahwa dia merupakan satu-satunya
orang yang mendapat kepercayaan dan ketuanya untuk mendampingi.

Segera mereka berdua kembali memasuki gua Halimun dan menerobos keluar
melalui jalan rahasia yang dikehendaki. Mereka tiba disebuah lapangan terbuka.
Itulah lapangan terbuka yang pernah dilintasi Sangaji tatkala mengejar
Suryakusumah.

Lawan temyata belum meninggalkan datar-an ketinggian. Masih ada sisa beberapa
pasukan yang ditinggalkan. Teranglah bahwa pe-mimpin penyerbuan benar-benar
seorang ahli militer. Maka begitu melihat berkelebatnya sua-tu pasukan yang
bergerak mendekati dataran, segera berteriak sambung menyambung.

Malam perebutan kembali benteng dataran tinggi Gunung Cibugis, terjadi pada
waktu bu-lan purnama. Dan di bawah sinar bulan cerah, berkelebatnya bayangan
manusia lari pon-tang-panting ke sana-kemari dengan ber-teriak-teriak. Sangaji dan
Simuntang bersem-bunyi di balik gugusan dinding. Mereka me-nunggu
perkembangan keadaan.

Tidak lama kemudian, Raja Muda Andang-kara menyerang dari arah timur. Dan
Otong Surawijaya merabu tengah gelanggang. la dibantu sayap kiri dan sayap
kanan yang berada dibawah pimpinan Raja Muda Dwijendra, Ratna Bumi dan
Walisana. Sedangkan Dadang Wiranata dan tatang Sontani yang datang kemudian
menempati daerah pendudukan. Mereka bertempur dengan semangat menya-la-
nyala. Itulah sebabnya, sebentar saja musuh kena dilumpuhkan sama sekali.

Sisa musuh yang menduduki dataran tinggi sebenarnya tidak banyak pula.
Sebagian besar sudah turun gunung, sewaktu melihat semua bangunan hangus
dimakan api. Komandan Kompeni Belanda dengan seluruh pasukannya tiada lagi. la
hanya berpesan agar menjaga daerah yang sudah direbut, sementara pasukannya
sendiri hendak mengadakan pembersihan. Dengan demikian dataran ketinggian
hanya di-jaga oleh laskar gabungan Kerajaan Banten.
Tentu saja di antara mereka masih terdapat jago-jago tua. Namun mereka
merupakan jago tiada artinya dibandingkan dengan keperka-saan para raja muda
Himpunan Sangkuriang yang sudah pulih kembali kesehatannya. Dengan
selintasan, lebih dari separoh kena dibi-nasakan. Dan lainnya hampir tertawan
semua.

Menyaksikan korban mulai jatuh, Sangaji segera tampil ke depan. Lantang ia


berseru:

"Saudara-saudara pendatang. Pada saat ini semua raja muda dan semua jago-jago
dan pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang sudah berkumpul bersatu-padu.
Kalian bukan lawan lagi. Menyerahlah? Kami akan meng-ampuni nyawa kalian."

Sekonyong-konyong muncullah seorang pendeta berusia lanjut. la melesat sambil


membentak, "Hai di sini ada seorang bangsat cilik. Siapa kau?"

"Kurangajar!" maki Tatang Sontani. "Keta-huilah ini ketua kami yang baru. Gusti
Sangaji."

"Apa itu Gusti Sangaji segala. Cuh!" cemooh pendeta itu. "Lihat pedangku!"

Hampir berbareng dengan perkataannya yang penghabisan, sebatang pedang yang


bersinar tajam luar biasa, tahu-tahu sudah mengancam dada Sangaji.

Di bawah sinar bulan yang terang ben-derang, Sangaji yang.bermata tajam


mengenal pedang itu. Benar-benar pedang pusaka Banten: Sangga Buwana, yang
pernah dila-porkan Jajang dan Zakaria. Heran ia minta ke-terangan sambil
mengelak.

"Pedang Sangga Buwana milik Kerajaan Banten yang kemudian berada di tangan
Edoh Permanasari. Mengapa bisa berada di tangan Tuan?"

Pantasnya pendeta itu akan menyahut, tidaklah demikian. Dengan membisu ia


mem-perhebat serangannya yang dilakukan ber-tubi-tubi. Sangaji kenal tajamnya
pedang itu. Karena itu tak berani ia sembrono. Apalagi ge-rak tipu ilmu pedang
pendeta itu, masih asing baginya. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya. Berbareng
dengan mengerahkan tenaga sak-tinya, ia menjepit punggung pedang. Tangan
kirinya kemudian menebas pergelangan tangan.

Di luar dugaan, pendeta itu sangat tangkas. Begitu pedangnya kena terjepit suatu
tenaga raksasa, cepat-cepat ia menghantam dengan tangan kirinya. Bluk! Sangaji
sengaja mem-biarkan dadanya kena pukul. Tenaga saktinya lantas saja bergerak
dengan sendirinya. Dan pendeta itu terpental berjumpalitan dan bergu-lung-gulung
di atas tanah. Begitu bangkit kem-bali, pedang Sangga Buwana ternyatalah masih
tergenggam erat-erat dalam tangannya.
Dadang Wiranata segera menerjang. la bermaksud mencegat larinya pendeta itu
de-ngan sebatang golok. Namun sekali berkele-bat, golok pusakanya kena terjang
pedang Sangga Buwana. Malahan lengannya ham-pir-hampir saja kena terbabat
puntung pula. Cepat ia rhundur, untuk mengulangi suatu se-rangan kembali. Tetapi
pendeta itu sudah ka-bur turun gunung.

Sangaji segera melesat memburu. Ingin ia menawan pendeta itu, apa sebab pedang
pu-saka Sangga Buwana bisa berada di tangan-nya. Pada saat itu, tiba-tiba ia
mendengar sua-ra jerit melengking. Hatinya terkesiap, karena ia mengenal suara
jeritan itu. la menoleh. Di antara berkelebatnya sebatang pedang yang terpental di
udara, nampaklah Manik Ang-keran menerjang maju dengan tangan kosong.

Melihat Manik Angkeran dalam bahaya, tanpa berpikir panjang lagi Sangaji terus
menghampiri. Tiba-tiba ia disambut oleh suatu serangan serentak. Sedikit
mengelak, Sangaji luput dari serangan itu. Tangannya menyam-bar dan dua orang
penyerang kena ditangkap-nya. Setelah dilemparkan ke samping, ia terus memburu
menuruni lereng gunung.

Di balik lereng itu, Manik Angkeran sedang bertempur melawan seorang


berperawakan tinggi besar. Orang itu bersenjata sebatang ka-pak raksasa. Tujuan
serangannya hendak membinasakan seseorang yang jatuh terteng-kurap luka
parah. Namun setiap kali kapak-nya hendak membelah tubuh orang itu, selalu saja
kena dirintangi Manik Angkeran.

Lambat laun orang itu mendorigkol. Ka-paknya terus saja berputar ke arah Manik
Angkeran. Karena Manik Angkeran tidak bersenjata, terpaksalah pemuda itu
bermain mengelak sambil berusaha melindungi orang yang luka parah.

Sekali melompat, Sangaji sudah tiba di depan mereka.

Tangannya mengibas dan kapak raksasa tertahan di udara. "Berhenti!" katanya. .


Orang itu tertegun sejenak. Kemudian kapaknya turun tiba-tiba dengan sangat
deras. Sedikit mengelak Sangaji terluput dari serangan dahsyat. Tangan kirinya
mengibas dan sasaran kapak raksasa meleset menghantam batu pegunungan.
Begitu hebat tenaga orang itu, sampai mata kapaknya meliuk melingkar menjadi
bulat. Sudah barang tentu, orang itu kehilangan keseimbangan. Lengannya terasa
menjadi nyeri luar biasa seakan-akan tena-ganya tidak sanggup mengangkat
kapaknya kembali. Dan kesempatan sebagus itu diper-gunakan Manik Angkeran
sebaik-baiknya, terus saja ia menghantam kening orang itu. Tanpa ampun lagi,
orang itu tewas setelah ber-gulungan menuruni lereng.

"Kau tidak apa-apa, bukan?" Sangaji me-negas.

"Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Manik Angkeran. "Aku terpaksa
mem-bunuhnya, karena dia hendak membunuh saudara kita yang luka oleh pedang
Sangga Buwana."
"Hai! Apakah dia mencoba menghadang larinya pendeta itu?"

"Aku kurang pasti," jawab Manik Angkeran. "Aku hanya melihat ia lari mendaki
dengan membabi buta sambil memanggil-manggil namamu."

"Memanggil-manggil namaku?" Sangaji heran.

"Ya. Dan tiba-tiba ia berlintasan dengan larinya Paman Tatang Manggala."

"Hai, Tatang Manggala?" Sangaji bertambah heran. "Apakah maksudmu pendeta


itu?"

"Ya! Siapa lagi kalau bukan Paman Tatang Manggala? Dialah adik seperguruan
guruku yang mengabdikan diri kepada kerajaan Ban-ten," kata Manik Angkeran
dengan suara segan.

Sangaji tertegun sejenak. Mendadak orang yang tertengkurap itu mengerang


kesakitan. Ia seperti tersadar dan segera melompat meng-hampiri. Begitu
mengenal mukanya, hatinya seperti terpukul. Sebab dialah pendekar Kosim yang
lenyap tatkala ia sedang menghadapi barisan Jala Sutera Indrajaya.

Sesungguhnya setelah dapat mengatasi kaum penyerbu, hendak mengusut tentang


lenyapnya Kosim. Tetapi berhubung keadaan tidak memungkinkan ditambah pula
per-kembangan-perkembangan yang menyangkut dirinya, hampir-hampir pemikiran
itu luput dari perhatiannya. Karuan saja begitu melihat Kosim terluka parah, gugup
ia berkata memerin-tah kepada Manik Angkeran.

"Manik Angkeran! Apakah masih ada hara-pan?"

Semenjak Kosim menyebut-nyebut nama Sangaji, Manik Angkeran sudah menaruh


per-hatian sehingga ia memberanikan diri untuk melindungi. Kini, jangankan sudah
mendapat perintah Sangaji, seumpama tidakpun, ia akan bekerja sedapat mungkin
untuk menolongnya. Maka terus saja ia bertindak cepat memben-dung mengalirnya
darah. Temyata pedang Sangga Buwana hanya memapas pergelangan tangannya.

Dengan terjadinya peristiwa itu, Sangaji gagal memburu Tatang Manggala yang kini
sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Na-mun dengan lenyapnya Tatang
Manggala, lumpuhlah semua perlawanan musuh. Mereka kena dibinasakan atau
tertawan.

"Mana anakku Sangaji? Mana dia?" tiba-tiba terdengar Kosim berseru tinggi.
Rupanya dia te-lah memperoleh kesadarannya. Dan begitu sa-dar, teringatlah dia
kepada pengucapan hatinya.

"Ya, aku Sangaji," sahut Sangaji mendekat-kan diri.

Kosim membuka matanya lebar. Ia ber-bimbang-bimbang. Sejenak kemudian


barulah ia yakin. Terus ia berkata girang, "Anakku... saudaraku Sangaji... Aku
mendengar kabar... kau sudah berhasil... syukurlah... Sekarang tak berani lagi aku
memanggilmu dengan engkau atau saudara. Kau adalah ketua kami... raja kami...
Karena itu, perkenankan aku..." sam-pai di situ, ia berusaha bangkit hendak mela-
kukan sembah.

"Paman Kosim!" Sangaji mencegah cepat-cepat. "Janganlah terlalu memegang


peradatan teguh-teguh. Biarlah aku tetap memanggilmu Paman. Apa sih bedanya
had kemarin dan sekarang."

"Tidak Gusti. Paduka adalah raja hamba." Kosim malah menjadi kukuh.

Entah apa sebabnya, tiba-tiba Sangaji mengnela napas. la seperti orang yang dipak-
sa menempati dunia baru dengan tak dikehen-daki sendiri. Dan dunia baru itu
membuat dirinya seakan-akan kehilangan kebebasan-nya seperti sedia kala. Itulah
disebabkan oleh kesederhanaan dan kemuliaan hatinya yang selamanya tidak
pernah dihinggapi suatu angan-angan besar.

"Gusti!" kata Kosim lagi memaksa diri. "Hamba dahulu tiba-tiba kena disergap
orang tanpa dapat melakukan perlawanan. Hamba dibawa memasuki perkemahan.
Ternyata... ternyata... kepergian Gusti Sangaji selama be-berapa hari, membuat
tunangan paduka gelisah. Ia minta bantuan ayahnya menjejak kepergian paduka...
Bangsat tua yang mem-bawa-bawa pedang itulah... yang menun-jukkan kemana
paduka berada. Katanya, dia pernah mengadu tenaga dengan paduka dise-buah
pertapaan..."

Mendengar keterangan Kosim, hati Sangaji tergetar. Memang ia sudah mempunyai


pra-sangka tentang ikut sertanya kompeni Belan-da mendaki Gunung Cibugis.
Tetapi tidaklah menyangka menyangkut persoalan pribadi-nya. Ia hanya tahu
bahwa kompeni memang mempunyai kepentingan dalam menghan-curkan
Himpunan Sangkuriang. Sekarang ternyata, kompeni datang karena dirinya. lnilah
suatu masalah pelik lagi. Kalau ia sudah berpihak terang-terangan pada kaum
pejuang Jawa Barat, betapa bisa kembali memasuki Jakarta dengan aman
tenteram? Padahal ibu-nya masih berada di sana, tak ubah seorang tahanan yang
dijadikan sandera ) baginya.

"Ah!" sekonyong-konyong Manik Angkeran terkejut. "Sekarang tahulah aku, apa


sebab Paman Tatang Manggala tiba-tiba terlontar ke udara sewaktu hendak
meringkus diriku. Ter-nyata Paduka yang menolong hamba dengan diam-diam..."

"Manik Angkeran! Kau ikut-ikutan pula me-manggilku dengan sebutan paduka


segala?"

"Mengapa tidak? Kalau raja-raja muda yang usianya dua kali lipat daripadaku
memang-gilmu gusti dan paduka seraya membungkuk sembah, apa alasanku untuk
memungkiri? Lagipula Paduka benar-benar patut kusembah dan kupatuhi."
Mendengar ujar Manik Angkeran, sekali lagi Sangaji menghela napas. Makin
dirasakan makin terasa hatinya menjadi risih. Seko-nyong-konyong teringatlah dia
kepada ucapan Titisari di selatan Pekalongan. "Sekiranya? Engkau jadi raja... hm ...
berapa jumlah per-maisurimu?" Waktu itu dia memotong dengan suara tinggi,
"Raja? Raja apa? ..." Dan temya-ta ucapan Titisari mendekati suatu ramalan yang
benar. Sekalipun dalam dirinya tiada ter-betik suatu pengucapan sebagai raja,
tetapi kenyataannya ia kini disembah-sembah dan di sebut sebagai raja juga.

Malam hari itu merupakan hari kemenangan

Himpunan Sangkuriang untuk yang pertama kalinya, setelah memperoleh ketua


yang baru. Maka tidaklah mengherankan, bahwa dalam tiap dada anggota
Himpunan Sangkuriang tim-bullah suatu kepercayaan kokoh bahwasanya ketuanya
yang baru itu membawa lambang kejayaan serta menjanjikan zaman keemasan.

Pada keesokan harinya, mereka memba-ngunkan kembali gedung-gedungnya yang


runtuh secara bergiliran. Tidak mengenal letih dan bersemangat gotong-royong.
Dalam pada itu, para raja muda berkumpul menghadap Sangaji. Tiba-tiba
Andangkara berdiri tegak dan berseru lantang.

"Dengarkanlah hai laskar panji-panji Garuda! Aku adalah pemimpinmu yang meng-
asuh kalian lebih dari dua puluh tahun. Tapi ketahuilah, bahwa panji-panji Garuda
sesung-guhnya diilhami bendera sakti Himpunan Sangkuriang. Karena timbulnya
suatu percek-cokan, aku membawamu memisahkan diri. Kini, Hjmpunan
Sangkuriang sudah memperoleh ketuanya yang baru. ltulah Gusti Sangaji. Maka
sudah sepantasnyalah, kita kembali ber-satu padu. Bersujud dan patuh kepada
ketua kita. Karena itu barang siapa yang menye-butku dengan gusti aku kutuki dia.
Kalau perlu kuhukum dengan tanganku sendiri. Aku hanyamenghendaki seorang
saja yang berhak dise-but gusti. Itulah Gusti Sangaji. Atau sebutlah lebih mudah
lagi, Gusti Aji. Siapa di antara kalian tidak mau menerima anjuran dan ajakanku ini,
silakan pergi dari hadapanku!"

Gcapan Andangkara di terima oleh suara sorak-sorai bergemuruh. Terdengar


kemudian teriakan sambung-menyambung.

"Hidup Gusti Aji! Hidup Gusti Aji!"

"Bagus!" seru Tatang Sontani. "Akupun melarang siapa saja menyebutku dengan
gusti. Sebaliknya aku hanya mengakui seo-rang gusti. Itulah ketua kita yang baru,
hidup Gusti Aji!"

Mendengar ucapan Tatang Sontani, raja muda lainnya tidak mau ketinggalan.
Mereka-pun menganjurkan kepada laskarnya masing-masing agar menyokong
pemyataan kedua raja muda tersebut. Maka suara sorak-sorai bertambah
bergemuruh seumpama membelah angkasa.

Mau tak mau, Sangaji terpaksa menyambut.


"Aku sangat berbahagia, karena seluruh himpunan kini sudah kembali bersatu-padu
seperti sedia kala. Beberapa hari yang lalu, aku menerima jabatan ketua karena
terpaksa. Mengingat kita sedang menghadapi saat-saat genting. Kini musuh sudah
terbasni. Sudah selayaknya, kuserahkan jabatan ketua kem-bali kepada para raja
muda agar memilih ketua baru yang tepat. Di dalam Himpunan Sangkuriang banyak
terdapat ksatria-ksatria gagah perkasa. Sebaliknya usiaku masih sa-ngat muda.
Lagipula aku mempunyai per-soalan pribadi yang sulit untuk dibicarakan di sini.
Dengan sesungguhnya, tak berani aku menduduki jabatan seagung ini."

Raja muda Otong Surawijaya yang sela-manya berbicara tanpa tedeng aling-aling )
terus saja berteriak nyaring.

"Gusti Aji! Setiap orang mempunyai per-soalan pribadi. Hamba percaya, bahwa per-
soalan pribadi Paduka sangat rumit dan pelik. Namun hendaklah Paduka sudi
memikirkan •keselamatan kami. Karena urusan jabatan ketua, kami terpecah-
belah. Kami berantakan serta saling membunuh. Akhirnya, kami semua kini telah
tunduk dan patuh kepada Paduka. Bila Paduka menolak, silakan Paduka memilih
seorang ketua baru sebagai pengganti Paduka. Tetapi hmm tak peduli siapa dia,
hamba Otong Surawijaya yang pertama-tama tak sudi tunduk kepadanya.
Sebaliknya, apabila hamba yang Paduka pili... pastilah raja-raja muda lainnya
betapa sudi tunduk kepada hamba ..."

"Ya, Gusti Aji. Ucapan Otong Surawijaya benar belaka," sambung raja muda
Walisana. "Kalau paduka menolak tugas penting ini, pastilah Himpunan Sangkuriang
akan terpe-cah-belah lagi. Saling bermusuhan dan saling bunuh-membunuh.
Manakala sudah terjadi begitu, apakah kami lalu harus memohon kembali bantuan
Paduka?"

Benar juga, pikir Sangaji. Setiap orang pasti mempunyai persoalan pribadi. Besar
kecilnya persoalan itu, sesungguhnya tergantung kepada kedewasaan hatinya.
Teringat akan persoalan itu berbagai masalah merasuk ke dalam benaknya. Titisari,
Sonny de Hoop, ibunya, kompeni dan kini ditambah masalah Himpunan
Sangkuriang. Dan teringat Titisari, teringatlah dia kepada sumpahnya di hadapan
keris sakti Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Bahwasanya dia akan meng-
amalkan warisan pusaka-pusaka itu untuk kebajikan sesama hidup. Bukan untuk
kepentingan diri sendiri. Dan teringat akan sumpah itu, lantas saja dia memperoleh
ben-tuk keputusan. Katanya kemudian, "Baiklah jika paman sekalian begitu
mempercayai aku, walaupun penghargaan itu sangat ber-lebflvlebihan. Hanya saja
aku mempunyai beberapa syarat. Apabila syarat-syarat yang kuajukan ini dapat
kalian terima, aku akan menerima jabatan ketua ini selama hayat dikandung
badan."

"Jangan lagi beberapa syarat, katakan sera-tus dua ratus syarat sekalipun, kami
akan menerima dengan suara bulat," sahut mereka dengan berbareng. "Silakan
nyatakan syarat itu di hadapan kami."
"Begini," kata Sangaji sejurus kemudian. "Yang pertama, aku masih terlalu muda.
Pengalamanku sangat dangkal. Karena itu, aku tidak menghendaki suatu
perubahan dalam tata pemerintahan. Hari ini aku melan-tik raja muda Tatang
Sontani sebagai wakilku untuk memegang tampuk pemerintahan. Dia seumpama
diriku sendiri. Barang siapa yang membantah kebijaksanaannya, samalah hal-nya
membangkang terhadap diriku."

"Paduka bermaksud kebijaksanaan, bukan?" tungkas Otong Surawijaya. "Baik, aku


menerima."

"Keputusan paduka hamba junjung tinggi," kata raja muda Ratna Bumi yang
selamanya pendiam sebagai bumi. Semua orang tahu, bahwa dialah petugas
pelaksana hukum. Karena itu keputusannya, merupakan keputusan hukum pula.
"Yang kedua," kata Sangaji lagi. "Musuh kita sesungguhnya adalah kompeni
Belanda. Bukan lagi laskar kerajaan. Sebab Ratu Fatimah sudah tiada lagi. Karena
itu, kuharapkan agar selanjutnya kita mengha-puskan dendam yang sudah lampau.
Terhadap pembantu-pembantunya, marilah kita lupakan permusuhan itu."

Mendengar syarat kedua itu, semua yang mendengar menjadi penasaran. Hal itu
dise-babkan, karena di antara mereka banyak yang kena dibinasakan oleh
begundal-begundal Ratu Fatimah. Bukan oleh senjata kompeni Belanda. Sebab,
kompeni Belanda bertempur secara terang-terangan. Sebaliknya laskar kerajaan
dengan begundal-begundalnya banyak yang menyerang secara menggelap. Dan
tak kurang pula yang menggunakan racun. Tetapi setelah sibuk sebentar, akhirnya
Otong Surawijaya berkata minta ketegasan.

"Bagaimana kalau mereka yang mencari permusuhan? Seumpama mereka


menyerang dari belakang atau menggunakan racun seperti biasanya."

"Bila begitu, kita akan mengimbangi kea-daan. Sekiranya mereka memaksa dan
men-desak kita ke pojok, sudahlah semestinya apa-bila kita tidak menyerah dengan
mentah-men-tah," jawab Sangaji.

"Bagus," seru Dwijendra. "Jiwa kami adalah pada yang menyelamatkan. Bagaimana
Paduka menghendaki, kami akan patuh."

"Ya, benar," ujar Dadahg Wiranata. "Memang kalau dipikir-pikir, musuh kita
sesungguhnya adalah kompeni Belanda. Siapa yang tak tahu, bahwa Ratu Fatimah
sebe-narnya hanya merupakan boneka semata? Baiklah, ketua kita tidak
menghendaki penun-tutan dendam terhadap mereka. Kukira, justru kebalikan dan
keutuhan kita. Sebab kalau kita teruskan, memang jadi berlarut-larut. Masing-
masing pihak akan jatuh korban."

Setelah ucapan Dadang Wiranata dire-nungkan, mereka menerima syarat kedua


tersebut. Maka Sangaji meneruskan saratnya yang ketiga. Katanya, "Sewaktu aku
menerima jabatan ketua ini, tidak semua pemimpin-pemimpin himpunan hadir.
Seperti: Ki Tunjungbiru, Diah Kartika, Suryapranata dan Maulana Syafri. Karena itu,
aku menghendaki kehadiran mereka agar aku mendengar kepu-tusannya. Sekarang
tiada lagi penasihat kita almarhum Ki Tapa. Aku mengusulkan Paman Tubagus
Simuntang merangkap jabatan itu. Dia akan dibantu oleh Paman lnu Kertapati dan
Sidi Mantera yang ternyata cakap melakukan tugas hubungan dengan dunia luar."

Setelah syaratnya yang ketiga diterima pula, segera Sangaji berkata lagi. "Aku
hendak memasuki kota Jakarta untuk menyongsong ke-hadiran Ki Tunjungbiru di
tengah-tengah kita. Karena Beliau berada di dalam penjara, siapa-kah yang ikut aku
membobol dinding penjara?"

"Hamba ikut," sahut para raja muda dengan serentak.

"Lawan kita sekarang bukanlah sembarang lawan," kata Sangaji. "Mereka memiliki
senja-ta jarak jauh senapan dan meriam. Kecuali itu memiliki pula daerah
kekuasaan dan laskar yang teratur rapi. ltulah sebabnya, kecuali Aki Andangkara
dan Ratna Bumi semuanya menyertai aku. Aki Andangkara mengatur per-lawanan
seluruh Jawa Barat. Sedangkan Paman Ratna Bumi mengatur tata pemerintahan di
atas dataran ketinggian ini. Paman Tatang Sontani untuk sementara biarlah menjadi
penasihat umum."

"Bagus! Bagus!" seru Otong Surawijaya girang.

"Apanya yang bagus?" tungkas Tubagus Simuntang.

"Kalau Ratna Bumi si pendiam menjaga gunung, kutanggung Gunung Cibugis ini
bertambah seram," sahut Otong Surawijaya sambil tertawa berkakakan.

"Terima kasih," kata Ratna Bumi. "Kuharapkan saja engkau bisa menjaga dirimu
baik-baik. Terutama ketua kita yang baru. Sebab beliaulah jiwa kita."

Dengan terharu Otong Surawijaya menjabat tangan Ratna Bumi. ltulah suatu
peristiwa yang baru terjadi setelah melampaui masa perpeca-han dua puluh tahun
lebih.

Demikianlah Ratna Bumi mengantarkan ketuanya sampai di kaki Gunung Cibugis.


Di sana raja muda Andangkara berpisah untuk melakukan tugas pemusatan.
Sedangkan Ratna Bumi segera mendaki kembali ke dataran tinggi Gunung Cibugis.

Setelah memasuki lembah pegunungan, Sangaji hanya minta diiringkan beberapa


puluh orang saja. Lainnya menempati sebagai pengawal dan sayap perjalanan.

Hebat perjalanan itu. Laskar Himpunan Sangkuriang yang turun dari sarangnya,
seo-lah-olah memenuhi persada bumi Jawa Barat. Andangkara membawa laskarnya
melingkari Gunung Pangrango dengan tujuan memasuki lembah Pegunungan Bukit
Tunggul. Dan dari sana hendak menuju ke Sukamandi. Ia berniat menghimpun
kekuatannya melintasi gunung, sungai dan menyusur pantai. Dan Dwijendra yang
menempati sayap kiri, menembus daerah Jasinga. Dari kota itu, ia hendak men-
dekati kota Jakarta dari arah barat daya. Sedangkan Dadang Wiranata yang berada
di sayap kanan, mengarah ke Kedunghalang lalu ke Cibarusa. Dia hendak menikam
kota Jakarta dari arah selatan.

Setelah rombongan Sangaji melintasi padang belantara kurang lebih seratus kilo
meter panjangnya, mereka beristirahat di ping-gir petak hutan. Sampai malam hari,
tidak ada terjadi sesuatu. Tetapi menjelang larut malam, pendengaran Sangaji yang
tajam luar biasa menangkap suatu bunyi derap kuda. Menilik gemuruhnya, pastilah
berjumlah tidak kurang dari seratus orang. Segera ia berkata kepada Manik
Angkeran yang selalu menyertainya.

"Kau tetaplah di sini. Aku akan menyelidiki."

Baru saja ia hendak melangkah, datanglah Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang
de-ngan berbareng. Mereka berkata, "Gusti Aji! Di tengah malam begini, lewatlah
suatu rom-bongan besar. Pastilah mereka musuh kita."

Bersama dengan Tatang Sontani dan Tuba-gus Simuntang, Sangaji segera


menyelidiki suara itu. Tidak lama kemudian seko-nyong-konyong ia memungut
sebongkah tanah berpasir seraya berkata, "Darah! Hai, darah siapa yang tercecer
sepanjang jalan ini?"

Melihat darah. Sangaji terus memberi perin-tah pengejaran. Dengan matanya yang
tajam dan berpengalaman, Tatang Sontani mene-mukan sebatang golok patah di
atas tanah. la kaget setengah mati, setelah mengenal golok tersebut.

"Bukankah ini golok buatan Muara-binuangeun?"

Ia merenung sejenak. Lalu mengadakan suatu kesimpulan. Katanya lagi, "Kukira,


mereka dijemput oleh rekan-rekannya yang mencemaskan perjalanannya."

"Ah, masakan begitu?" tungkas Tubagus Simuntang. "Kakek tua beserta


rombongan-nya meninggalkan Gunung Cibugis hampir satu bulan yang lampau.
Kalau hari ini mereka masih berkeliaran di sini, bukankah suatu peristiwa yang
menarik? Hai Sontani, bagaimana menurut pendapatmu? Mereka sedang
melakukan apa?"

Sangaji yang mengukur semua pekerti manusia menurut bajunya sendiri, tidak
mengambil tindakan lebih jauh. Ia me-merintahkan kembali ke perkemahan.

Pada hari kedua, perjalanan mulai melintasi lapangan terbuka. Kira-kira empat ratus
meter di depannya, nampaklah suatu rombongan mendatangi. Sangaji yang
bermata tajam luar biasa, segera dapat menangkap jumlah mereka. Mereka terdiri
dari rombongan wanita yang dikawal oleh empat belas laki-laki bersenjata bidik.
Begitu jarak mereka mendekat, seorang wanita yang mengenakan pakaian serba
hijau mendadak berseru nyaring.

"Hai! ltulah panji-panji bangsat Sangkuriang! Siagaa ... !" Dan rombongannya lantas
saja menghunus senjatanya masing-masing.

Melihat pakaian serta gerak-gerik mereka, Sangaji segera mengenalnya. Pastilah


mereka anak-murid Edoh Permanasari. Mengapa mereka datang kembali, setelah
turun mening-galkan Gunung Cibugis? Sayang di antara mereka tiada yang
dikenalnya. Maka terpak-salah ia menegur dengan sopan. "Apakah kalian anak
murid pendekar Edoh Permanasari?"

Seorang wanita berperawakan tipis yang berumur kurang lebih empat puluh tahun,
melompat ke depan sambil membentak. "Kau berhak apa bertanya kepada kami?
Selama-nya kami bermusuhan dengan bangsat Sangkuriang. Hayo, kalian
menyerah atau tidak?"

"Maafkan, apabila kami membuatmu marah. Siapakah Tuan?" Sangaji menegas


dengan suara rendah.

"Kau bangsat cilik begini tak mengenal atu-ran. Siapa kau?" dampratnya.

Tubagus Simuntang bergusar melihat keku-rangajaran perempuan itu. Sekali


melesat, ia menjambret dua laki-laki yang menjadi pe-ngawalnya. Kemudian
dilemparkan ke tanah tak ubah dua bola. Setelah itu kembali ke tem-patnya.
Gerakan itu dilakukannya begitu cepat, sampai semua yang menyaksikan menjadi
tercengang-cengang. Rombongan anak murid Edoh Permanasari memutar pengli-
hatan. Dan mereka melihat kedua rekannya rebah di atas tanah tanpa dapat
berkutik lagi. Pada saat itu terdengarlah suara Tubagus Simuntang penuh
kedongkolan hati.

"Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Orang yang kau sebut bangsat cilik ini adalah
seorang pendekar yang tiada taranya di jagat ini. Jangan lagi kamu kurcaci-kurcaci
picisan, aku sendiri takkan nempil. Dan beliau inilah yang kini memimpin seluruh
anggota Himpunan Sangkuriang. Beliau raja kita. Gusti Sangaji. Kalian dengar? Nah,
tokoh sehebat ini masih sudi bersikap merendah kepadamu, bukankah suatu
penghormatan luar biasa?"

Ucapan Tubagus Simuntang itu, membuat mereka terkejut. Mereka tadi sudah
kagum melihat kecepatan serta kegagahan Tubagus Simuntang. Tapi ternyata dia
mengakui bahwa tokoh di sampingnya jauh lebih tinggi kepan-daiannya daripada
dia sendiri. Melihat kesung-guh-sungguhannya, pastilah dia tidak menjual suatu
omong kosong. Katanya lagi, "Kalian anak murid Edoh Permanasari yang terkenal
karena pedang Sangga Buwana. Tetapi dengan beberapa gebrakan saja, pedang
Sangga Buwana sudah kena terampas ketua kami dari genggaman tangan gurumu.
Nah, kalian mau bilang apa?"
"Kau sendiri siapa?" Perempuan itu mene-gas.

"Aku Tubagus Simuntang, raja muda yang senang berkeliaran di malam hari.
Mengapa?"

Mendengar nama itu, mereka semua meme-kik tertahan. Mereka kenal nama itu
baik dari keterangan gurunya maupun rekan-rekan seperjuangannya, bahwasanya
kebiasaan Tubagus Simuntang tidak pernah mengam-puni lawan yang sudah kena
tangkap. Keruan saja dengan tak dikehendaki sendiri, mereka menoleh ke arah
tubuh dua rekannya yang masih saja rebah tak berkutik.

"Hm, kalian tak usah berkhawatir. Kali ini, aku mengampuni, karena semata-mata
segan terhadap keagungan nama ketua kami Gusti Sangaji," kata Tubagus
Simuntang.

Mereka belum mau percaya. Empat orang segera menghampiri rekannya. Tiba-tiba
ter-dengarlah suara kesiur angin halus lewat di sampingnya. Tahu-tahu dua orang
rekannya sudah bisa bergerak. ltulah kepandaian ilmu sentil Tatang Sontani yang
hampir sejajar tingkatannya dengan Adipati Surengpati.

Meskipun berjumlah lebih sedikit tetapi melihat ilmu kepandaiannya bukan


sembarangan, perempuan itu pandai melihat gelagat. Pikir-jiya, kalau sampai
bergebrak pastilah tidak menguntungkan. Maka dengan menekan ke-angkuhannya,
ia berkata dengan suara rendah.

"Maafkan atas kelancangan mulut hamba. Hamba bernama Dedeh Sumanti, murid
ketu-juh Edoh Permanasari. Hamba datang ke man untuk menyusul guru hamba.
Apakah Paduka dapat memberi keterangan?"

"Tentu saja," tungkas Otong Surawijaya si mulut usil. Semenjak tadi, hatinya
mendongkol menyaksikan perangai Dedeh Sumanti. Se-karang timbullah
kejahilannya hendak mem-balas membuatnya mendongkol. Katanya dengan
setengah tertawa. "Baiklah, kukatakan dengan terus terang saja. Edoh Permanasari
benar-benar tidak tahu diri sampai berani men-coba-coba mendaki Gunung Cibugis
dengan membawa anak-anak kurcacinya. Terpaksalah kita menawannya.
Tunggulah barang de-lapan atau sepuluh tahun lagi, baru dia nanti kubebaskan.
Tapi kalau hatiku masih mendongkol, biarlah kukutungi kedua belah tangannya.
lngin aku tahu, apakah dia masih bisa bermain pedang."

"Kalian jangan percaya omongan rekanku ini," potong Walisana yang tidak senang
ber-gurau. "Dia senang berolok-olok. Ilmu sakti Edoh Permanasari sangat tinggi.
Juga sekalian murid-muridnya tidak tercela. Masakan sampai bisa kita tawan. Mulai
saat ini, antara golongan-mu dan golongan kami tidak lagi bermusuhan. Nah,
pulanglah kembali ke perguruanmu. Pastilah gurumu sudah berada di
perguruanmu."
Mendengar keterangan Walisana yang ber-sungguh-sungguh, masih saja Dedeh
Sumanti berbimbang-bimbang. Karena itu Tubagus Simuntang segera menguatkan
keterangan rekannya. Katanya, "Rekan Otong Surawijaya memang suka berkelakar.
Percayalah kete-ranganku ini. Demi keagungan nama ketua kami, masakan aku
berdusta kepadamu."

"Ah, kalian bangsat Sangkuriang, betapa bisa dipercaya? Kalian sudah biasa hidup
de-ngan tipu muslihat yang licik. Apa yang kalian ucapkan, belum tentu hatinya
begitu," dam-prat Dedeh Sumanti.

Inu Kertapati dan Sidi Mantera menjadi gusar. Sekali mereka memberi tanda, laskar
panji-panji Kuda Semberani dan Bunga Me-nyala terus saja bergerak mengepung
dengan cepat. Dengan suara keras bagaikan guntur, Otong Surawijaya membentak.

"Aku raja muda Otong Surawijaya! Kalau aku tak sanggup lagi mengendalikan diri,
ka-lian anak kemarin sore dapat kuringkus dalam sedetik dua detik. Apakah kalian
ingin aku membuktikan?"

Mendengar suara guntur dan gerakan pe-ngepungan yang begitu cepat dan rapi,
hati anak-murid Edoh Permanasari tergetar. Ger-takan pendekar itu agaknya tidak
bergurau lagi. Tatkala itu terdengarlah suara Sangaji me-lerai.

"Sudahlah, sampaikan salamku kepada gurumu." Setelah berkata demikian, ia men-


dahului berangkat mengarah timur laut. Dan sekalian laskar panji-panji berangkat
pula mengiringkan.

Melihat kepergian mereka yang rapi, cepat dan patuh, sekalian anak murid Edoh
Per-manasari heran bukan main sampai ter-longong-longong. Membayangkan
betapa akan akibatnya apabila tadi benar-benar ben-trok, hati mereka menggeridik
sendiri.

Dalam pada itu, Walisana berkata kepada Sangaji setelah merenung-renung


beberapa jam. Kemudian, "Gusti Aji! Edoh Permanasari sepatutnya, tidak mungkin
terjadi salah jalan dengan anak-anak muridnya. Sebab biasanya, mereka saling
memberi tanda atau sandi-sandi tertentu, meskipun kedudukannya berpencar-an.
Sekarang anak muridnya yang lain ternyata kehilangan jejaknya. Pastilah terjadi
sesuatu yang kurang beres. Bagaimanakah menurut pendapat Paduka?"

Sangaji tidak menjawab dengan segera. Alasan Walisana sangat masuk akal.
Apalagi teringat pada pedang Sangga Buwana yang tergenggam di tangan orang
lain, benar-benar suatu hai yang mengherankan. Tidaklah mungkin terjadi, seorang
pendekar mem-biarkan pedang pusakanya berpindah di tangan orang lain. Apalagi
orang itu adalah seorang laki-laki. Sedangkan, tiap orang tahu, Edoh Permanasari
paling benci kepada semua laki-laki di seluruh dunia, berhubung dengan
riwayatnya. Memikir demikian, teringatlah dia kepada kompeni yang mempunyai
kepenting-an besar dalam hai penghancuran Himpunan Sangkuriang. Dan
kemudian pembasmian pada tiap macam pergerakan di seluruh wi-layah Jawa
Barat. Melihat gelagatnya, mungkin sekali Edoh Permanasari kena tawan kom-peni
Belanda. Tapi dengan cara bagaimana, itulah suatu soal yang masih penuh teka-
teki. Ia tidak enak untuk membicarakan. Itulah di-sebabkan, Sonny de Hoop serta
dirinya sendiri yang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan pihak kompeni
Belanda.

Pada sore harinya, Tubagus Simuntang me-nemukan suatu hai yang aneh. "Benar-
benar aneh!" katanya berulang kali. Ia lari ke sebe-rang jalan dan menyibakkan
gerombol semak belukar. Dengan cepat ia minta sebuah alat penggali tanah.
Kemudian dengan cekatan ia menggali tanah. Sebentar dengan disaksikan oleh
berpuluh-puluh orang anggota Himpunan Sangkuriang, ia menemukan tumpukan
bang-kai manusia. Setelah diperiksa, ternyata mereka semua adalah anak murid
pegunungan Gunung Gembol, Gunung Gilu dan Gunung Kencana. Mereka
mengenali seragam yang di-kenakan. Dan semuanya mati, karena ter-tembus
peluru berondongan.

"Mereka ditanam dengan sembarangan saja. Terang sekali mereka sengaja


dihilangkan jejaknya oleh lawannya," kata Tubagus Simuntang seperti kepada
dirinya sendiri. Setelah itu ia membungkam. Juga lain-lainnya termasuk Tatang
Sontani, Walisana, Inu Kertapati dan

Sidi Mantera. Dan melihat mereka bersikap diam, Sangaji jadi perasa.

Sebaliknya Otong Surawijaya yang bermulut jahil tidak tahan menguasai


monyongnya. Terus saja menyeletuk, "Siapa yang mem-bunuh mereka, masa
bodoh. Memang mereka musuh kita turun-temurun. Kalau saja mereka kini mampus
tidak berkubur, sudahlah se-layaknya. Hanya saja pembunuhan begini ma-cam ini
bisa menyangkut nama baik Himpunan Sangkuriang. Pastilah kita yang dituduh
membunuh dan mengubur mereka dengan se-wenang-wenang."

Tiba-tiba Manik Angkeran yang ikut pula memeriksa mayat-mayat itu berseru
heran.

"Inilah kejadian terkutuk. Rupanya mereka tertembak mati, setelah terkena racun.
Atau paling tidak, mereka dibunuh setelah kehilang-an tenaga."

Mendengar ucapan Manik Angkeran, semua orang terkejut sampai Tatang Sontani
yang tenang berkata minta ketegasan. "Apakah kau pasti."

"Mengapa tidak?" sahut Manik Angkeran yakin. Dan timbullah penyakit angkuhnya.

"Aku murid tabib sakti Maulana Ibrahim, masakan salah lihat?"

"Hm, kalau begitu... kita harus berhati-hati.


Rupanya di belakang punggung kompeni Belanda bersembunyi lawan yang senang
mer-acun dan menikam dari belakang," kata Tubagus Simuntang.

"Ya, kompeni Belanda memang lawan kita. Tetapi mereka tidak pernah
menggunakan racun terhadap kita," sambung Otong Sura-wijaya. Kemudian
menatap Manik Angkeran. Katanya, "Manik Angkeran, apakah kau kenal macam
racunnya?"

Manik Angkeran memiringkan kepalanya. Dahinya berkerinyut. Sejenak kemudian


baru menyahut, "Bahan ramuannya setidak-tidak-nya bercampur dari negeri luar."

Sebenarnya itu bukan suatu jawaban, tetapi Otong Surawijaya tidak mau mendesak
lagi. Ia hanya berkata kepada seluruh anggota.

"Kalau begitu, kita harus selalu berjaga-jaga. Jangan menganggap remeh peristiwa
ini. Juga minum dan makan kita."

Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Hari sudah mendekati petang. Burung-burung


su-dah mulai pulang ke sarangnya masing-masing. Namun mereka masih saja
berjalan dengan tenang. Tiada seorangpun yang memi-kirkan di mana nanti akan
berkemah. Itulah disebabkan oleh besar rasa percaya mereka terhadap ketuanya
yang baru. Mendadak

Manik Angkeran yang berjalan di depan bersama rombongan pendahulu, lari meng-
hadap Sangaji sambil berteriak.

"Dia dilukai ... anaknya mati pula di sam-pingnya. Terang ini suatu perbuatan keji!"

"Siapa?" tungkas Tubagus Simuntang. -

"Ah ya, bukankah aku dahulu datang men-daki Gunung Cibugis hendak mencari
seorang laki-laki yang membawa anaknya perem-puan? Dialah orangnya, tuanku.
Dia berada di bawah jurang."

Tubagus Simuntang tertegun sejenak. Ke-mudian berkata, "Coba, tunjukkan di


mana dia berada."

Di mulutnya ia berkata begitu, tetapi tubuh-nya sudah melesat jauh mendahului.


Dan sebentar kemudian, dia balik kembali meng-hadap Sangaji. Dalam pada itu
berkatalah Manik Angkeran.

"Dia bernama Suhanda. Anaknya Rostika..."

"Suhanda?" potong Sangaji. Hatinya terkejut serasa kena pukul. Dan tanpa
menunggu Manik Angkeran menyelesaikan laporannya, ia sudah melesat
seumpama terbang. Tatang Sontani, Walisana dan Otong Surawijaya me-nyusulnya
dari belakang. Mereka berusaha hendak mengejar, namun makin lama jaraknya
makin jauh. Diam-diam mereka meng-akui, bahwa tenaga sakti pemimpinnya yang
baru itu benar-benar melebihi manusia lain yang "terdapat di kolong jagat ini.

Jurang itu benar-benar bertebing curam. Di antara rerumputan dan semak-belukar,


nam-paklah Inu Kertapati dan Sidi Mantra memeluk seorang laki-laki yang bernapas
kempas-kem-pis. Melihat adegan itu, sekali melesat Sangaji sudah berada di antara
mereka. Cepat ia me-meriksa pernapasan Suhanda dan Atika. Meskipun sangat
lemah, masih bisa mereka bernapas. Segera ia mendukung mereka ber-dua dengan
sekali peluk, lalu melesat menda-ki ke atas. Kemudian dengan hati-hati ia mele-
takkan mereka berdua di atas batu. Dan tanpa menunggu perintah, Manik Angkeran
terus memeriksanya.

"Masih ada harapan, bisiknya. Hanya saja... di tenggorokannya terdapat segumpal


darah yang menyekat pernapasan."

Dengan mengerahkan tenaga beberapa ba-gian, Sangaji menolong mereka berdua,


Atika tersadar terlebih dahulu. Anak perempuan itu terus menangis sambil
melontakkan darah hi-tam. Manik Angkeran menjejali beberapa butir pemunah
racun. Kemudian memeriksa ruas tulang-tulangnya. Ia bersyukur, karena masih
utuh. Hanya terdapat beberapa tulang patah akibat suatu pembantingan. Namun
tidak membahayakan jiwanya. Sebaliknya, tidaklah demikian halnya yang terjadi
pada diri Suhanda. Hampir seluruh tulang sambung pendekar itu, patah berantakan.
Dan sekali teringatlah Sangaji kepada nasib gurunya, Wirapati yang pernah
mengalami aniaya demikian pula. Hatinya menjadi gusar, cemas dan terharu.
Benar-benar keji yang menganiayanya. Siapa-kah orang itu?

Suhanda nampaknya cepat menguasai kesadaran pikirannya. Begitu habis menge-


rang dengan wajah girang ia menatap muka Sangaji karena segera mengenalnya.
Dengan menyemburkan gumpalan darah, ia mencoba berbicara. Tetapi sepertinya
tidak begitu terang dan tersekat-sekat. "Sakit... semua ..."

"Manik Angkeran!" potong Sangaji gugup. "Berilah obat penahan sakit."

Dengan mengangguk kecil, Manik Angkeran merogoh sakunya. Suhanda memaksa


diri untuk menoleh. Melihat Manik Angkeran me-nolong putrinya, ia tertegun
sejenak. Ia me-manggut sebagai tanda ucapan terima kasih. Rupanya dia
mengenali wajah Manik Angkeran, tatkala ia merampas Atika daripadanya oleh
pikirannya yang kusut.

Tatang Sontani segera menolong merasuk-kan obat penahan rasa sakit kepada
Suhanda. Dan sejenak kemudian, benar-benar Suhanda dapat menguasai diri, terus
berkata tersekat-sekat.

"Kerajaan Banten ... di belakang Belanda ... Aku disiksa ... Ratu ... Kenaka ..."

Singkat keterangan itu, tetapi sudahlah cukup terang benderang, sehingga hati
Sangaji terasa terpukul palu godam. Sebab sekaligus ia menghadapi kenyataan
dalam dua hai. Kompeni Belanda dan Ratu Kenaka. Terhadap kompeni, ia tiada
mempunyai permusuhan pribadi. Hanya ia tahu, bahwa kedatangan kompeni
Belanda di tanah airnya ialah dengan maksud menjajah dengan kedok perdagang-
an. Sebaliknya terhadap Ratu Kenaka, ia sudah terlanjur memberi perintah agar
bersikap tidak bermusuhan dengan sesama pendekar yang berpendirian serta
berpaham lain, la mengalihkan perjuangan terhadap kompeni Belanda, karena tidak
menyetujui bermusuhan dengan sesama bangsa. Tetapi kini, ia diha-dapkan oleh
suatu masalah pelik yang tidak bisa dielakkan hanya oleh suatu angan-angan-nya
pribadi."

Dalam pada itu, malam sudah benar-benar tiba. Para anggota Himpunan
Sangkuriang menyalakan perdiangan untuk melawan hawa pegunungan yang
dingin. Mereka sudah biasa hidup di tengah alam terbuka. Karena itu, mereka
dengan cekatan menyediakan makan malam serta minuman hangat. Tetapi Sangaji
tidak mengindahkan semuanya itu. Perasa-annya, ia seperti tidak berada di antara
mereka. Masalah yang dihadapi benar-benar me-musingkan ruang benaknya.
Pemuda seusia itu yang dengan tiba-tiba memegang tampuk pimpinan tertinggi
himpunan perjuangan ke-adilan, menghadapi soal pelik yang datangnya dengan
tiba-tiba pula. Di hadapannya tergelar suatu perjuangan antara persoalan pribadi,
ba-las dendam dan budi. Menghadapi persoalan demikian jangan lagi orang seusia
dia walau-pun seorang yang sudah berpengalaman, pastilah tidak gampang-
gampang mence-tuskan suatu keputusan. Maka tidaklah meng-herankan pula,
bahwa beberapa kali anak muda itu menghela napas panjang.

Aku datang mendaki Gunung Cibugis ha-nyalah semata-mata memenuhi suatu


undang-an, pikirnya di dalam hati. Tak kuduga, aku harus muncul melerai mereka
yang sedang bertarung. Kemudian, terpaksa aku berada di pihak himpunan. Ini
suatu pemilihan terang-terangan yang berarti berhadapan dengan para pendekar
yang berpaham lain di satu pihak dan kompeni Belanda di lain pihak. Lantas
bagaimana persoalanku sendiri? Masih dapatkah aku pulang ke Jakarta menjumpai
lbu dengan aman? Dan bagaimana pula Sonny de Hoop? Sekarang terjadi suatu
kesukaran lagi. Suhanda dilukai demikian rupa oleh Ratu Kenaka. Kalau aku
melarang mengadakan suatu tuntutan keadilan, pastilah Himpunan Sangkuriang
akan terpandang lemah. Ini ber-arti suatu pengkhianatan terhadap pendiri
himpunan, jabatan serta Himpunan Sangkuriang sendiri. Sebaliknya, kalau aku
membiarkan penuntutan keadilan, pastilah akan terjadi suatu bunuh membunuh
lagi yang akan ber-larut-larut entah sampai kapan berakhirnya. Bukankah ini
menggampangkan operasi kompeni Belanda yang memang menghendaki ter-
jadinya demikian?

Benar-benar tidak gampang persoalan yang dihadapi Sangaji. lnilah suatu dunia
yang tidak dikehendaki, tetapi yang harus dimasukinya. Agaknya Sangaji seperti
ditakdirkan untuk memimpin seluruh himpunan perjuangan Jawa Barat, meskipun
tidak dikehendakinya sendiri. Dan ia tidak bisa mengelaki dan seakan-akan dipaksa
oleh keadaan untuk meng-hadapi dan mengatasi. Apakah kesukarankesukaran
lainnya masih pula menunggu di depannya. Teringat akan Sonny de Hoop, ibu-nya
dan Titisari, ia mengeluh. Tak terasa ia mengulangi ucapannya kepada Titisari di
dalam hati, "Aku ini memang anak tolol. Se-olah-olah aku sudah disediakan suatu
jalan yang harus kutempuh dan yang tidak ku-mengerti sendiri apa sebab aku harus
menem-puhnya..."

Tatkala tengah malam tiba dengan diam-diam, tiba-tiba suatu pikiran menusuk ke
ruang benaknya. Di depan matanya se-akan-akan ia melihat dua gadis yang selalu
menggoda kalbunya. Titisari dan Sonny de Hoop. Sonny de Hoop berada di dekat
ibunya. Di belakangnya berbaris kompeni Belanda. Sebaliknya Titisari berdiri tanpa
kawan. Tapi mendadak samar-samar nampaklah suatu barisan penuh. Setelah
diamat-amati, ternyata laskar Himpunan Sangkuriang. Ya, ia terkejut dan ia sendiri
kini, bahkan berada di antara Himpunan Sangkuriang! Sekarang di manakah letak
kesukarannya? Kalau saja ibuku berada di sini, bukankah aku akan gampang meng-
ambil suatu keputusan?

Memperoleh pikiran demikian, suatu kese-garan meraba dirinya sangat nyaman.


Terus saja ia menoleh. Tak jauh dari padanya, raja muda berkumpul dengan
membungkam mu-lut. Di hadapannya tergelar sehelai tikar yang penuh dengan
hidangan malam. Rupanya mereka tak sudi menyentuh makanan itu, karena
pimpinannya tidak hadir. Melihat keadaan demikian, hati Sangaji jadi terharu.
Segera ia mendatanginya. Karena ia sudah memperoleh suatu keputusan, wajahnya
kelihatan segar. Berkata, "Hai, rriengapa mesti menunggu aku? Silakan!"

Para raja muda berdiri membungkuk hor-mat. Terpaksa Sangaji membungkuk mem-
balas hormat, kemudian mendahului duduk di atas tikar. Dengan anggukan kecil,
mulailah hidangan malam ditanggapi.

Begitu santapan malam selesai, Manik Angkeran melaporkan tentang keadaan Su-
handa. Dia masih jauh dari harapan, namun terdapat sebintik keterangan yang
mungkin menyibakkan tirai kegelapan.

Dalam pikiran tak karuan, tiba-tiba ia berada di antara kompeni Belanda yang oleh
seorang wanita kata Manik Angkeran katanya wanita itu pernah dikenalnya. Hanya
siapa dia sebe-narnya, tak sudi ia menerangkan.

"Apa lagi yang dikatakan?" Sangaji terkejut, ia tahu wanita siapa yang
dimaksudkan. Itulah Sonny de Hoop.

"Ia terlibat dalam suatu pertempuran segi tiga. Antara dia, pihak Ratu Kenaka dan
kom-peni Belanda," Manik Angkeran meneruskan. "Tatkala ia kena pukul, wanita
itulah yang menolong anaknya. Kemudian kompeni Be-landa mengampuni. Tetapi
Ratu Kenaka tidak membiarkan dia pergi dengan selamat. Ia kena selomot racun
dan tulang belulangnya dipatah-kan. Benar-benar Ratu Kenaka bergusar, me-nilik
luka yang dideritanya. Apakah di sini terselip suatu dugaan, bahwa ia dikira hendak
berkhianat? Menurut Kak Suhanda, mereka yang menyerbu Gunung Cibugis
sesungguh-nya kena jebak akal licik kompeni dan Kerajaan Banten. Begitu mengira
mereka sudah berhasil melumpuhkan Himpunan Sangkuriang, lantas saja kompeni
dengan laskar Kerajaan Banten bergerak membas-minya. Sungguh sial! Dialah yang
merupakan korban pertama tanpa perlindungan."

"Ya, siapa yang tak tahu, bahwa kompeni dan Kerajaan Banten mempunyai
kepentingan besar dalam hai penggerebegan itu? Itulah si tolol. Kami semua sudah
semenjak lama me-ngetahui hai itu," kata si jahil Otong Surawijaya dengan
bernafsu. "Cuma saja, mereka yang membanggakan diri sebagai pendekar Jawa
Barat, benar-benar tolol setolol kerbau buduk!"

Sangaji menghela napas. Terasa benar, betapa hebat jurang permusuhan itu antara
pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang dan kaum penyerbu. Syukur di antara
laporan Manik Angkeran tadi terselip suatu pendapat baru. Mungkin sekali Ratu
Kenaka ingin mem-buat jasa dengan melukai Suhanda, karena mengira pendekar
itu hendak berkhianat. Namun alasan demikian sangat lemahnya. Seba-liknya
apabila apa yang dikatakan Suhanda benar, terdapat suatu hai yang meresahkan
hatinya. Dia berkata, bahwa Sonny de Hoop menolongnya. Tapi kenapa Atika kena
siska pula? Apakah Sonny de Hoop dalam keadaan berbahaya pula? Memperoleh
pikiran demikian, lantas saja ia berkata: "Paman sekalian, pada fajar hari nanti aku
hendak mendahului memasuki Kota Jakarta untuk menyelidiki persoalan ini. Aku
hanya minta bantuannya Paman Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang.
Sementara itu, Paman Walisana dan Otong Surawijaya membawa para anggota
menyusul kami secara berturut-turut."

Raja muda Walisana dan Otong Surawijaya segera membungkuk mengemban


perintah. Karena hari sudah larut malam, mereka lalu bersiap-siap. Sangaji sendiri
tidak menghen-daki beristirahat. Ia nampak bergelisah. Itulah sebabnya tidaklah
mengherankan, bahwa sebelum fajar hari tiba ia sudah mengajak pendekar Tatang
Sontani dan Tubagus Simuntang berangkat.

Tubagus Simuntang adalah seorang pen-dekar yang mempunyai kecepatan


bergerak tiada bandingnya dalam dunia ini. Meskipun demikian, ia tak dapat
menjajari Sangaji. Padahal ia sudah mengerahkan segenap tena-ga dan
kepandaiannya. Sedangkan Tatang Sontani yang berkaki gesit dan cepatpun kalah
beberapa tingkat dalam hai mengadu kegesit-an. Maka diam-diam mereka berdua
benar-benar merasa takluk kepada pemimpinnya yang baru itu.

Mereka berlari-Iari terus hampir sepanjang hari. Menjelang petang, sampailah


mereka di batas kota Jakarta. Kini, tak berani mereka bergerak terlalu cepat agar
tidak menarik per-hatian orang. Dan ternyata pada hari itu, tidak terjadi sesuatu.

Tatkala mereka memasuki jalanan kota, segera mereka berpapasan dengan bangsa
kulit putih yang mengenakan pakaian seragam dan preman. Sebenarnya hai itu
tidaklah mengherankan, karena pada dewasa itu hampir seluruh Jawa sudah
dikuasai kompeni Belanda, namun begitu dibandingkan dengan dua bulan yang lalu
terdapat suatu perubahan yang agak menyolok. Mereka nampak sibuk dan bersikap
rahasia, sehingga hai itu menarik perhatian Sangaji.

Sampai di barat kota, mereka singgah di sebuah rumah makan Tionghoa. Tatang
Son-tani sengaja berlagak pemurah seperti seorang pedagang besar yang baru saja
memperoleh keuntungan di luar dugaannya sendiri. Tentu saja pelayan-pelayan
rumah makan tersebut berebut menghambakan diri. Mereka semua bersikap
hormat sekali. Dan Tatang Sontani berpura-pura minta penjelasan tentang keadaan
kota, tempat-tempat bertamasya dan yang bersejarah.

"Rupanya kompeni sedang bekerja keras untuk suatu pesta," kata Tatang Sontani
asal berbicara saja. Tapi di luar dugaan, ucapannya ternyata tepat mengenai
sasaran, sampai pelayan yang diajaknya berbicara terheran se-jenak.

"Benar Tuan," kata pelayan itu. "Menurut kabar, itulah peristiwa penggantian
pemerin-tahan."

"Penggantian pemerintahan bagaimana? Kau maksudkan seorang Kepala


Pemerintah baru?"

"Bukan, bukan," sahut pelayan itu dengan cepat. "Agaknya Tuan-tuan bukan
penduduk kota sampai tidak mendengar berita ini."

"Mengapa?" Tatang Sontani menegas de-ngan sikap acuh tak acuh.

"Buktinya Tuan tidak tahu," kata pelayan itu dengan tertawa. "Di negeri seberang
terjadi suatu perubahan. Kabarnya Inggris hendak menggantikan pemerintahan di
sini. Nah, bu-kankah suatu peristiwa yang penting. lnilah . saat yang kebetulan
sekali bagi Tuan-tuan. Kalau Tuan-tuan belum memperoleh tempat penginapan,
cepat-cepatlah mencari agar ti-dak kehabisan tempat."

Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang adalah dua raja muda Himpunan
Sangkuriang terkemuka yang sudah bertahun-tahun memimpin perjuangan. Tentu
saja mereka me-ngetahui belaka tentang perubahan-perubah-an yang terjadi dan
yang bakal terjadi menurut perhitungan politik. Sedangkan Sangaji pernah
mendengar hai itu dari keterangan kakak angkatnya Willem Erbefeld tentang
terjadinya suatu peperangan besar di daratan Eropa..

Timbulnya kekuasaan Napoleon Bonaparte, pastilah akan menggoncangkan


kedudukan pemerintah Belanda di Indonesia. Waktu itu, sama sekali ia tidak tertarik
pada soal-soal politik. Tapi kini ia berkesan lain berhubung dengan kedudukannya
sebagai ketua him-punan. Apalagi ia mempunyai kepentingan langsung perihal
pembebasan Ki Tunjungbiru.

"Hai, bagaimana menurut pendapatmu?" kata Tubagus Simuntang seperti minta


pertim-bangan. "Apakah kita turut menyatakan suatu kegembiraan atau tidak?"
Pertanyaan demikian, benar-benar tidak ter-duga oleh para pelayan. Karena tak
tahu bagaimana harus menjawabnya, mereka tertawa melebar dengan pandang
bingung. Mereka tak pernah memikirkan hai itu. Tetapi begitu men-dengar bunyi
pertanyaan itu, tiba-tiba saja te-rasa betapa sulitnya untuk menentukan sikap.
Kalau tidak menyatakan bergembira, ia bisa bernasib buruk pada pemerintahan
yang men-datang. Fitnah begini bukan mustahil akan ter-jadi, karena pastilah mulai
kini akan terjadi, karena pastilah mulai kini akan banyak ber-keliaran orang-orang
tertentu yang mengambil hati kepada Inggris yang bakal berkuasa. Se-baliknya
apabila ikut menyatakan bergembira, pemerintah Belanda pada waktu itu masih
berkuasa. Sekali kena tuduh seolah-olah pro Inggris, ia bisa diamankan di dalam
penjara dengan segala akibatnya.

Melihat mereka kebingungan, Tubagus Simuntang tertawa terbahak-bahak. Dasar


wataknya masih liar, ingin ia menggodanya lagi, sekonyong-konyong
pendengarannya yang tajam menangkap bunyi derap kuda mendatang. Segera ia
melemparkan pandang ke jalan besar.

Sembilan orang berkuda dengan cepat. Mereka berdandan sebagai pemburu


menyan-dang senapan panjang dan panah. Gerak-geriknya tangkas berwibawa.
Seorang di antaranya, mengenakan pakaian merah de-ngan kain leher putih.
Tatkala Sangaji meng-amat-amati, hampir saja dia melompat me-negur.

"Hai! Benarkah dia Titisari?" hatinya me-mukul. Dan jantungnya berdegupan.


Namun pada saat itu juga, suatu sanggahan yang tak kurang hebatnya terjadi di
dalam dadanya. Ah, tidak mungkin ia berada di sini. Dan ia jadi ter-mangu-mangu.

Karena penglihatan itu datangnya dengan tiba-tiba dan kesan yang terjadi di dalam
dirinya timbal balik serta saling bertentangan, tubuhnya bergemetaran. Dan hai itu
tidak lu-put dari pengamatan kedua pengikutnya.

"Apakah Paduka melihat sesuatu?" bisik Tatang Sontani.

Sangaji berbimbang-bimbang sebentar. Kemudian memutuskan, "Biarlah kulihat


lebih terang." Setelah berkata demikian, segera ia keluar halaman rumah makan.
Tetapi sayang, ia tak berani berjalan terlalu cepat. Meskipun keadaan jalan sunyi
lengang, namun ia harus berjaga-jaga terhadap penglihatan orang. Itulah sebabnya,
ia hanya bisa mengikuti dari kejauhan.

Beberapa saat kemudian, ia sudah kehilang-an pengamatan. Hatinya mengeluh.


Mau ia berbalik ke rumah makan, tiba-tiba saja Tatang Sontani dan Tubagus
Simuntang sudah berada di belakangnya. Sebagai tokoh-tokoh perjuangan yang
sudah mempunyai penga-laman, segera mereka mengetahui kesukaran
pemimpinnya. Teringat, bahwa pemimpin ber-asal dari kota itu, mereka sudah
dapat me-nebak sembilan bagian.
"Paduka segan berlari-lari kencang di dalam kota ini. Tapi hamba tidak," kata
Tubagus Simuntang. Begitu habis ia berkata, tubuhnya sudah melesat dua puluh
langkah jauhnya. Dia adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu lari tiada
bandingnya di jagat ini. Gerak-gerik-nya gesit dan cekatan. Maka tidak menghe-
rankan, bahwa sebentar saja tubuhnya lenyap ditelan keremangan petang hari.

Melihat Tubagus Simuntang berani bergerak begitu merdeka, timbullah suatu


kenekatan di dalam hati Sangaji. Pikirnya di dalam hati, aku segan, karena
mengingat kedudukanku. Tapi... mengingat perkembangan-perkembangan yang
sudah terjadi, agaknya kompeni sudah tahu di pihak mana aku berada. Meskipun
aku kini berlagak seperti penduduk kota yang manis, pastilah kompeni sudah
mengetahui diriku kini. Kalau begitu...."

Sehabis berpikir demikian, mendadak saja ia melesat bagaikan terbang. Terkejut


adalah Tatang Sontani. Ia tak mengetahui perubahan sikap yang terjadi di dalam
hati pemimpinnya. Maka begitu melihat pemimpinnya lari ken-cang segera ia
tancap gas. Walaupun tidak dapat mengejar, namun penglihatannya tidak
kehilangan bayangan tubuh pemimpinnya.

Gntunglah, pada dewasa itu rumah pen-duduk kota Jakarta belumlah sepadat seka-
rang. Kelompok rumah masih merupakan per-kampungan-perkampungan terpisah.
Jalan-jalan tiada penerangan. Karena itu, penduduk kota segan keluar rumah
menjelang malam tiba. Dengan demikian mereka bisa bergerak bebas.

Kira-kira satu jam kemudian, Tubagus Simuntang sudah berbalik. Segera ia bertemu
dengan Sangaji. Terus lapor, "Mereka mema-suki Gedung Tionghoa berhalaman
luas...."

Sangaji mengangguk, namun kakinya ma-sih saja melayang terbang. Cepat sekali ia
melesatnya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di bawah pagar tembok, la tak
berani berlaku gegabah, walau hatinya berderum berguruh. Hati-hati ia melompat
dan bersemayam di balik mahkota pepohonan. Segera ia menem-bakkan
penglihatannya. Dalam gedung sunyi lengang. Ia jadi keheranan. Pikirnya, masakan
Tubagus Simuntang bisa salah lihat? Pastilah mereka berada di dalam gedung ini.
Tetapi di manakah kuda-kuda mereka?

la menunggu hampir satu jam di atas pohon itu. Tetap saja tiada terjadi suatu
perubahan. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk di dalam benaknya. "Benar-benar aku
ini tolol. Titisari adalah seorang gadis yang pintar luar biasa. Kalau dia tidak mau
kutemui, masakan aku akan berhasil? Sebaliknya, pastilah dia sudah mengetahui
beradaku semenjak lama. Dan diam-diam ia mentertawakan ketololanku ini..."

Teringatlah dia dahulu, tatkala ia sedang mencari jejak Pangeran Bumi Gede. Mula-
mula ubek-ubekan mencarinya. Kemudian oleh akal Titisari, ia diajak bersembunyi.
Itulah akal yang paling baik untuk mencari orang yang sedang bersembunyi.
Tegasnya bersembunyi dilawan dengan bersembunyi. Dan akal itu ternyata
berhasil. Teringat akan hai itu, tidaklah mustahil bahwa Titisari sekarang mungkin
sedang bersembunyi pula mengintai dirinya.

Dengan pikiran demikian, Sangaji meloncat turun. Hatinya setengah mendongkol,


sete-ngah kecewa, pedih dan geli. la segera me-manggil kedua pengikutnya.
Katanya, "Pa-man! Mari ingin aku berbicara ..."

Setelah berkata demikian; ia lari menda-hului. Waktu itu hari sudah benar-benar
gelap. la tidak perlu khawatir lagi akan bertemu dengan orang. Larinya mengarah
ke timur. Ternyata ia berhenti di dekat tanggul batu Rababa Tapa.

"Paman!" katanya mulai. "Bukankah Gusti Ratu Bagus Boang yang mendirikan batu
peringatan ini?"

Kedua panglima Himpunan Sangkuriang se-menjak tadi penuh teka-teki. Mereka


ber-segan-segan mendekati batu peringatan itu. Sikap mereka menghormat.
Namun mende-ngar suara pemimpinnya yang baru, mereka segera mendekati.

"Benar," sahut Tatang Sontani. "Tepatnya kami semua yang mendirikan sebagai
suatu peringatan terakhir."

"Dan di sinilah mula-mula aku mendengar nama Gusti Amat dari mulut dua orang
ang-gota kita," kata Sangaji. "Mereka kemudian menyerahkan tiga pusaka Jawa
Barat ke-padaku sebagai tanda ikatan persahabatan. Kotak berisikan segandeng
buah Dewa Ratna, kalung beriian dan pedang Sokayana. Mereka berbicara atas
nama Gusti Amat dan datang padaku atas nama Gusti Amat pula." la ber-henti
mengesankan. Kemudian menegas. "Paman! Sesungguhnya ilham itu datang dari
mana? Bukankah Paman menerangkan, bahwa nama Gusti Amat sesungguhnya
merupakan suatu perbuatan yang sudah disetujui oleh para Dewan Penasihat?"

Mendengar pertanyaan Sangaji, Tatang Sontani tertegun sejenak. Sebentar ia


meman-dang Tubagus Simuntang, lalu menyahut dengan takzim.

"Benar perintah atas nama Gusti Amat itu, memang kami ketahui. Hanya darimana
datangnya ilham itu, hamba masih belum memperoleh keterangan yang pasti."

"Ketiga pusaka Jawa Barat atau katakan saja ketiga pusaka Gusti Ratu Bagus Boang
itu dahulu disimpan oleh penasihat Maulana Syafri dan Suryapranata dengan ditilik
lang-sung oleh penasihat Ki Tunjungbiru," sambung

Tubagus Simuntang. "Maka besar dugaan hamba, bahwa ilham itu datang dari
mereka bertiga."

Sangaji berdiam beberapa saat lamanya. Ia mendongak ke atas seolah-olah sedang


menentukan suatu kebulatan tekat. "Apakah Paman sekalian sudah bertemu atau
berbicara dengan Beliau berdua?"
"Mereka berdua seperti Ki Tunjungbiru. Sudah lebih dari sepuluh tahun tidak pernah
berjumpa," mereka menyahut dengan ber-bareng.

Mendengar keterangan kedua panglima itu, Sangaji mengernyitkan dahi. Dan


kembali ia berdiam diri, beberapa saat lamanya. Kemu-dian dengan perlahan-lahan
pandang matanya ke muka mereka.

"Apakah Paman berdua pernah mendengar nama Titisari?" katanya. Suaranya


terdengar menggeletar suatu tanda hatinya terguncang hebat.

Dengan hati-hati Tatang Sontani menatap wajah Sangaji. Ia memperoleh kesan


hebat yang terjadi dalam diri pemimpinnya yang berusia muda itu. Tapi apa itu, ia
tak dapat me-nebak. la mencoba menggerayangi. Karena itu ia menoleh kepada
Tubagus Simuntang untuk minta bantuan rekannya itupun tak beda dengan
sikapnya. Maka akhirnya ia memberani-kan diri. Didahului dengan membungkuk
hormat, ia berkata: "Hamba memang seorang manusia yang tiada guna. Semenjak
Himpunan Sangkuriang terpecah belah, hampir setiap saat hamba berada di
dataran ketinggian Gunung Cibugis. Mungkin rekan Tubagus Simuntang pernah
mendengar nama itu karena tugasnya sebagai penghubung ke luar dan ke dalam."

Mendengar perkataan Tatang Sontani, se-cara wajar Sangaji mengalihkan pandang


kepada Tubagus Simuntang. Pendekar itu lan-tas berkata tegas. "Tentang maksud
meng-haturkan ketiga pusaka Gusti Ratu Bagus Boang kepada Paduka, hamba
mengetahui dengan jelas. Tetapi dengan sesungguhnya hamba menyatakan, bahwa
nama itu belum pernah hamba dengan"

Sangaji percaya kepada pernyataan mereka. Dan ia jadi yakin, bahwa Titisari
meme-gang salah satu peranan penting. Tetapi pe-ranan bagaimana itulah suatu
soal yang sulit untuk diterangkan. Sebaliknya apabila hai itu hanya merupakan
suatu dugaannya belaka peristiwa rangkaian terjadinya penyerahan ketiga pusaka
Ratu Bagus Boang, benar-benar aneh dan mencurigakan. la merasakan sesuatu.
Dan rasa itu berkelebatan seperti tumpuan bayangan dalam benaknya. Tapi apa itu,
tak bisa ia menangkapnya. Dasar ia tak pandai mengungkap isi hatinya, maka
mulut-nya membungkam dengan pikiran kabur.

"Sayang, aku tadi tak dapat melihatnya de-ngan lebih tegas sehingga tak dapat
kubuat pegangan," kata Sangaji seperti kepada dirinya sendiri.

Sebagai pendekar-pendekar yang sudah kenyang makan garam, Tatang Sontani


dan Tubagus Simuntang sudah dapat menebak delapan bagian. Pastilah gadis tadi
yang bernama Titisari. Tetapi siapa Titisari dan apa pula hubungannya dalam
persoalan ketiga pusaka Ratu Bagus Boang inilah soal yang masih gelap. Menuruti
deru hati, ingin mereka memperoleh keterangan lebih jelas. Namun mereka tak
berani mendesak.
Berkelebatnya bayangan Titisari tadi, me-mang benar-benar mengguncangkan hati
Sangaji. Hal itu tidaklah mengherankan, kare-na peranan Titisari hampir memenuhi
seluruh lubuk hatinya.

"Ah, mungkin aku yang sudah menjadi ling-lung." Sangaji menghibur diri. "Masakan
Titisari berada di Jakarta. Untuk apa? Dan siapa pula mereka tadi yang
mengenakanpakaian berburu? Apakah Titisari mengalami peristiwa seperti dia pula
menjadi Ratu tak bermahkota dengan tiba-tiba?" Memikir demikian Sangaji menjadi
geli. Kemudian memutuskan, "Ah di dunia ini bukankah terda-pat banyak orang
yang sama rupa?"

Oleh keputusan itu, hatinya jadi berlega. Terus saja ia berkata kepada Tatang
Sontani dan Tubagus Simuntang.

"Paman! Sewaktu aku meninggalkan Jakar-ta, ibuku sama sekali tak mengetahui.
Apakah kita masih mempunyai waktu untuk bersing-gah sebentar?"

"Mengapa tidak?" sahut Tubagus Simuntang cepat.

"Hamba kira laskar kita baru tiba menjelang fajar hari," kata Tatang Sontani.

Mereka berjalan perlahan-lahan seperti penduduk kota yang sedang ke luar mencari
angin. Aneh adalah Sangaji. Pemuda itu, se-menjak kakinya meraba batas kota
Jakarta, ingin sekali menengok ibunya dengan segera. Hanya oleh rasa segan saja
ia menahan diri. Tetapi kini, ia seperti ogah-ogahan ). ltulah disebabkan oleh
kesannya melihat bayangan Titisari. Dan pikirannya jadi penuh, sehingga seringkali
ia terlongong-longong. CIntunglah, waktu itu malam hari. Dengan demikian, kesan
mukanya tidak nampak oleh kedua panglimanya.

Tatkala sampai di rumahnya, ia kaget. De-lapan serdadu menjaga rumahnya


dengan me-nyandang senjata. Apakah artinya ini?

Ia berhenti sebentar. Kemudian setelah memberi isyarat kepada dua panglimanya,


ia memasuki halaman rumahnya seorang diri. Tatang Sontani dan Tubagus
Simuntang tak perlu mencemaskannya. Mereka kenal ke-tinggian ilmu sakti
pemimpinnya. Apabila de-lapan serdadu itu sampai berani main gila, mereka semua
bukan tandingnya. Sebaliknya pemimpinnya bisa merampungi mereka de-ngan
gampang. Dengan pikiran demikian, me-reka berdua tinggal di luar rumah sambil
berja-ga-jaga terhadap kemungkinan yang terjadi di luar perhitungan.

Dalam pada itu, Sangaji telah memasuki rumahnya. Dari seorang Kopral ia memper-
oleh keterangan, bahwa atas perintah Mayor de Hoop, ibunya dipindah di sebuah
bangunan baru dekat lapangan kota.

Sangaji memeriksa isi rumahnya. Benar-benar kosong. Hatinya memukul, tatkala


kamar penyimpan pusaka-pusakanya kosong pula. Tapi percaya, bahwa kompeni
tidakbakal mengganggu semua pusakanya karena tidak mengerti, hatinya tenteram
kembali. Dan segera ia meninggalkan rumahnya, setelah memperoleh keterangan
lebih jelas lagi tentang letak lapangan kota yang dimaksudkan.

Ternyata rumah itu merupakan sebuah ba-ngunan baru, dengan pendapa luas
perkasa dan mentereng. Tapi terlalu mentereng untuk tempat tinggal seorang
janda seperti ibunya. Mungkin rumah itu dimaksudkan sebagai ha-diah
perkawinannya dengan Sonny kelak.

"Paman! Apakah Paman melihat sesuatu?" la minta pertimbangan kepada Tatang


Sontani.

"Rumah itu jauh lebih bagus dari tempat kediaman semula. Tepat sekali untuk
kedia-man Paduka. Hanya saja letaknya begitu men-curigakan. Kecuali berada di
tengah lapangan, letaknya berdekatan pula dengan tangsi kavaleri. Mudah-
mudahan saja, kompeni bermaksud baik."

"Kalau begitu, biarlah aku pergi dahulu," tiba-tiba Tubagus Simuntang memotong.
Sebagai teman perjuangan yang sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya,
ia me-ngerti ke mana arah perkataan Tatang Sontani. Maka dengan membungkuk
hormat itu berkata pula kepada Sangaji. "Izinkan hamba mengatur teman-teman
dahulu."

Sebenamya Sangaji sudah merasakan sesu-atu yang kurang beres, Dan biasanya ia
senan-tiasa lambat dalam hai mengambil suatu kepu-tusan. Tapi begitu mendengar
ujar Tubagus Simuntang, ia seperti sudah dapat menebak seluruhnya. Maka ia
mengangguk.

"Kalau hamba boleh berkata dengan sebe-namya, bangunan ini lebih tepat apabila
dibu-at sebagai rumah tahanan," kata Tatang Sontani sejenak kemudian, setelah
rekannya pergi melakukan tugasnya. "Paling tidak, apa-bila seorang tawanan
bermaksud melarikan diri, ia baru sanggup melintasi lapangan ter-buka terlebih
dahulu."

Sangaji tersenyum pahit. Bukannya ia tidak dapat menebak maksud Mayor de Hoop
sesungguhnya, tapi teringat akan diri sendiri yang sebenarnya sudah semenjak
lama men-jadi tawanannya, ia jadi tergugah begitu men-dengar ujar Tatang
Sontani. Seketika itu juga, timbullah sifat kejantanannya. Terus saja ia berkata
kepada Tatang Sontani.

"Paman! Dalam segala hai Paman lebih pandai dari padaku."

"Hamba tidak berani menerima pujian Paduka," potong Tatang Sontani dengan
cepat.

"Dalam segala hai, Paduka pasti sudah dapat menggerayangi maksud pemindahan
ini ter-lebih dahulu daripada hamba. Soalnya, Paduka terlalu mulia serta agung
budi, sehingga tak sampai menyatakan hai tersebut."
"Tetapi dengan sesungguhnya, kali ini aku mohon pertolongan Paman."

"Silakan meskipun Paduka memerintahkan hamba memasuki lautan api atau


menyebe-rang lautan golok, hamba tidak akan mundur."

"Bukan itu," kata Sangaji agak segan.

"Aku mohon bantuan Paman untuk melihat-lihat gedung yang kita masuki petang
hari tadi. Mudah-mudahan Paman dapat membantu aku memperoleh pegangan
kuat."

Bukan main girang hati Tatang Sontani memperoleh kepercayaan itu. Memang apa-
bila menuruti hati serta kebiasaannya ia takkan meninggalkan gedung Tionghoa
tadi sebelum memperoleh keyakinan pasti. Tapi karena mengingat ketuanya yang
baru itu ter-lalu sangat teguh memegang tata santun sehingga membatalkan
niatnya sendiri, ia ter-paksa mau mengalah. Kini, ia justru mendapat perintah. Maka
begitu habis membungkuk hormat, segera ia melesat terbang seperti ba-yangan.

Sangaji sendiri lantas saja meneruskan per-jalanannya. Dengan kebulatan tekat, ia


me-nyeberang lapangan terbuka, kemudian men-jenguk pintu samping. Sekali
pandang, ia melihat ibunya duduk menghadap meja panjang yang penuh dengan
benda-benda gemerlapan. Namun ibunya nampak bersikap dingin. Perhatiannya
lebih tertarik kepada sebuah benda yang selalu dipangku dan diusap-usap-nya.
Itulah mata tombak karatan warisan almarhum ayahnya yang diterimanya dahulu
dari gurunya Wirapati. Karena kesibukan hati-nya, ia sampai lupa menyampaikan
kepada ibunya. Dan ia jadi menyesali diri atas kelalai-annya.

Sonny de Hoop juga berada di situ. Terang, ia bermaksud menemani ibunya.


Teringat la-poran Suhanda tentang beradanya gadis itu di sekitar lembah Gunung
Cibugis,, suatu per-tanyaan besar merumun dalam benaknya.

Biarlah aku menemuinya, katanya di dalam hati. Kalau ia merubah sikap apa boleh
buat aku akan membawa Ibu pergi.

Dengan langkah tenang ia memasuki ru-mahnya yang baru dari pintu.depan. Begitu
muncul di ambang pintu, Sonny de Hoop bangkit dengan serentak dari tempat
duduk-nya. Kemudian menyambut dengan terse-nyum manis.

"Ibu," kata gadis itu. "Lihat! Dia akhirnya toh datang juga." Kemudian kepada
Sangaji, "Hm... selamanya engkau membuat hatiku bi-ngung saja. Mengapa kau
pergi tanpa pamit?"

Seperti biasanya Sangaji tak pandai ber-bicara di depan Sonny. Ia hanya


tersenyum, kemudian menghampiri ibunya yang meman-dangnya seolah-olah
pertemuan itu terjadi dalam suatu mimpi buruk.
"Biarlah aku pergi dahulu. Setelah kau mandi, aku akan kembali," kata Sonny de
Hoop. Ia tak menunggu jawaban Sangaji. Dan sebentar saja, langkahnya sudah tak
terdengar lagi.

"Ibu! Darimana saja datangnya barang-barang ini?" Sangaji minta keterangan.

"Mayor de Hoop berkata, bahwa engkau se-karang sudah menjadi seorang yang
penting. Karena engkau sudah membuat jasa besar terhadap pemerintah, maka
beliau mengumpul-kan hadiah untukmu," sahut Rukmini. Kemudian meneruskan
dengan menghela napas. "Hm sebenamya, kita sudah biasa hidup dengan
sederhana. Barang semahal ini, tidaklah penting ..."

Sangaji mengerenyitkan dahi. Keterangan ibunya tentang ucapan Mayor de Hoop


benar-benar mengandung duri tajam luar biasa. Ia sudah membuat jasa terhadap
pemerintah Belanda? Inilah pemyataan yang aneh dan lucu. Dan segera ia dapat
menebak maksud Mayor de Hoop sesungguhnya. Paling tidak delapan bagian.

Tanpa disadari sendiri, ia menjelajahkan pandangnya. Benar-benar hebat


perubahan-nya. Baik hiasan dinding maupun perabot rumahnya serba baru dan
serba mahal. Bah-kan penghuni rumah kini bertambah dengan sembilan orang
pelayan, terdiri empat laki-laki dan lima perempuan.

"Menurut Mayor de Hoop, engkau kini sudah menjadi pemimpin tertinggi seluruh
Jawa Barat. Karena itu, sudah sepatutnya kita men-diami rumah ini," katanya. "Aji,
Ibu benar-benar menjadi bingung. Apakah artinya ini, anakku?" Katanya pula,
"Mayor de Hoop akan berbicara denganmu dalam beberapa hari lagi..."

Sangaji tercengang mendengar perkataan ibunya sebanyak itu. Maklumlah, Rukmini


se-orang pendiam. Jarang sekali ia berbicara ber-kepanjangan. Meskipun Sangaji
bukan Titisari yang memiliki otak tajam luar biasa, namun hatinya sibuk menduga-
duga. Pastilah terjadi suatu peristiwa luar biasa, yang menggun-cangkan
kesederhanaan hati ibunya. Maka segera ia hendak memberi penjelasan, namun
ibunya menyuruhnya mandi dahulu.

"Non Sonny akan datang kembali, setelah engkau mandi, Nah, mandilah dahulu.
Pastilah kisahmu akan memakan waktu panjang," katanya.

Sehabis mandi, Sangaji mengabarkan peng-alamannya mulai dari pertemuannya


dengan Sidi Mantera sampai kepada peristiwa di dataran tinggi Gunung Cibugis.

Rukmini menghela napas mendengar pe-ristiwa yang mengherankan itu. Katanya


perla-han, "Itu semua adalah jasa dari kedua gurumu dahulu. Coba sekiranya
engkau tak memperoleh bimbingannya, masakan engkau dapat melawan
kegagahan mereka."

Sudah barang tentu Rukmini tak tahu, bahwa kesaktian Sangaji sesungguhnya
diperolehnya dari guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram.
Kepan-daian Sangaji kini apabila dibandingkan dengan kesaktian kedua gurunya,
jauh berada di atasnya.

"Tetapi anakku..." kata Rukmini lagi sambil mengusap-usap tombak almarhum


suaminya. "Kita sudah dipaksa nasib untuk tinggal di sini lima belas tahun lamanya.
Jauh dari kampung halaman. Jauh dari sanak keluarga, pun Mayor de Hoop
memperlakukan kita begini baik, sesungguhnya ingin aku pulang ke kampung
halaman. Aku tahu kau bukannya seorang yang beranganrangan besar hendak
menjadi seorang raja atau seorang jenderal kompeni. Pastilah kau akan senang
bertempat tinggal di kampung halaman sendiri, walaupun sunyi sepi. Hanya urusan
Nona Sonny, kurasa akan membuatmu sulit... Bukankah begitu?"

Bukan main terkejut hati Sangaji mendengar ucapan-ucapan ibunya itu. la tak
mengerti hatinya sendiri, apakah girang, terharu, curiga atau bersangsi. Yang
terang, hatinya memukul. Itulah masalah pelik yang selalu merumun ketenangan
hatinya. Kini ibunya sudah me-nunjukkan wama kartu, bukankah menjadi
gampang? Terus saja ia berkata, "lbu! Ibu! Me-ngapa lbu tak berkata semenjak aku
datang dahulu?"

Setelah berkata demikian, ia memeluk ibu-nya erat-erat. Dan Rukmini membiarkan


diriya dipeluk sampai anaknya puas. Kemudian berkata sambil mengusap-usap
tombak karatan yang selalu dipangkunya.

"Warisan ayahmu inilah yang membuka mataku. Kau lupa memberi kepadaku.
Suatu hari, karena hatiku pepat memikirkan dirimu kulihat tombak ini. Oleh
pertolongan seorang serdadu dari Jawa, ternyata terdapat tulisan gurumu Wirapati."

"Tulisan Guru?" Sangaji heran.

"Sebuah pesan," Rukmini menegaskan. "Bacalah! Bukankah ini suatu peringatan


yang jujur?"

Untung, berkat ketekunannya menyelami Ilmu sakti Kyai Kesambi dahulu (Suradira
Lebur Dening Pangastuti) Sangaji telah pandai membaca huruf Jawa. Maka begitu
membaca tulisan Wirapati yang tergurat pada tombak karatan itu, hatinya tergetar.

Ayah Sangaji mati untuk apa? Sekedar membuktikan kepada anaknya, bahwa dia
termasuk seorang laki-laki tulen. Dan aku mengharapkan, agar anakku, anak
didikku mati pula sebagai laki-laki. Biarlah dia hidup satu hari asal hidup sebagai
harimau. Hidup satu tahun sebagai kambing, apakah senangnya?

Wirapati

Benar, bisik Sangaji di dalam hati. Bukankah hidupku kini tak ubah seekor kambing
yang kena dituntun ke sana ke mari? Ya, di mana aku sekarang ini?
Tak terasa ia membayangkan gurunya

Wirapati yang gagah perkasa. Dan secara wajar teringatlah dia pula kepada ucapan
gurunya Jaga Saradenta: "... karena itu, engkau harus belajar mempunyai
keputusan cepat, tegas dan tepat. Itulah senjatamu satu-satunya untuk mengarungi
dunia yang lebar ini. Keputusannya ... keputusanmu... keputusanmu..."

"Cobalah renungkan!" kata Rukmini. "Bunyi tulisan itu seolah-olah dialamatkan


kepadaku, agar aku selalu menjagamu. Sungguh menye-sal, ternyata aku tak
pandai menjagamu. Semua pusakamu kecuali kalung berlian dan buah sakti itu
terbawa oleh Mayor de Hoop tatkala aku dipindahkan ke mari."

Mendengar warta itu, Sangaji terkejut. Namun ia berusaha hendak menghibur hati
ibunya. Belum lagi membuka mulut, ibunya berkata lagi. "lbu seorang bodoh,
anakku. Tetapi menyaksikan perampasan itu, tahulah lbu bahwa engkau berada
dalam kesulitan-. Kemudian selama beberapa hari ini, ia bersikap luar biasa
terhadap lbu. Lihatlah emas, perak dan permata. Inilah hadiahnya. Benar ia
berkata, bahwa semuanya ini demi' eratnya hubungan keluarga kita di kemudian
hari, tetapi lbu berada di dekatnya hampir tiga tahun lamanya. Dan mengenal dia
lebih dari tujuh tahun. Ibu rasa cukup mengenal baik sifatnya. Ibu rasa, pastilah ada
sebab utama-nya yang beralasan. Cobalah jawab pertanyaan Ibu dengan setulus
hatimu, apakah engkau senang manakala kuajak pulang ke kampung halaman?"

"Tentu! Tentu! Mengapa tidak?" Sangaji me-nyahut cepat.

"Tetapi Nona Sonny! Bukankah akan menyulitkan dirimu?"

Sangaji tertegun sebentar. Tiba-tiba timbul-lah keputusannya. Katanya di dalam


hati, dengan sebenamya aku menganggap Sonny tidak lebih dari seorang saudara.
Sebaliknya dengan Titisari, aku mempunyai kisah sendiri. Biarlah kukatakan kepada
Ibu, agar Ibu sendiri yang memutuskan. Setelah memperoleh keputusan demikian,
segera ia menceritakan riwayat pertemuan dengan Titisari sampai ter-pisahnya
kembali di perbatasan Cirebon.

"Aji! Mengapa engkau tak pernah menceri-takan gadis pilihanmu itu," kata Rukmini
setelah mendengarkan penuturan anaknya.

"Semenjak datang di Jakarta, ada saja per-soalan yang harus kuhadapi sehingga
belum memperoleh waktu yang baik. Selain itu, sesungguhnya aku takut membuat
Ibu sedih."

"Mengapa?" Rukmini menegas.

"Mayor de Hoop bersikap sangat baik ter-hadap kita. Kita berdua dilindungi
semenjak lama. Sonny pun bersedia pula menjadi isteri-ku. Masakan aku tak
mengenal budi itu?"
Rukmini menghela napas. Sejenak kemudi-an berkata, "Kita memang berutang budi
kepadanya. Tetapi menurut tutur katamu, jasa Titisari tidak dapat ditebus dengan
harta benda maupun semboyan-semboyan luhur belaka. Bukankah dia telah
merebut jiwamu kembali, tatkala engkau luka parah. di benteng batu? Coba
seumpama tiada Titisari, bukankah per-jodohanmu dengan Nona Sonny sia-sia
belaka?" ia berhenti mengesankan.. Berkata lagi, "Dengan keluarga Mayor de Hoop,
kita memang berutang budi. Tapi kepada Titisari, kita berutang jiwa. Ingat-ingatlah
hai itu!"

"Yang berutang jiwa hanya aku seorang. Bukan Ibu," bantah Sangaji.

Rukmini tersenyum getir. Katanya, "Hm ... seumpama engkau tewas, masakan Ibu
sudi hidup lama-lama lagi? Karena itu, ibupun ikut berutang jiwa pula."

Sangaji hendak menghela napas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar


se-orang menarik napas dari luar dinding. Tak ragu lagi, itulah napas Sonny de
Hoop. Mau ia bergerak, tapi ibunya berkata lagi. "Aji! Mendiang kakekmu dahulu
pernah berkata kepada lbu begini tatkala lbu mendapat lamaran ayahmu:
'Perkawinan memang suatu tataran yang baik, tetapi apabila bakal membuatmu
sengsara, apa perlu kaumasuki?' Aku tahu kini, apa sebab kakekmu berkata begitu
terhadap lbu. Sebenarnya, kakekmu agak menyangsikan ke-setiaan ayahmu.
Maklumlah, ayahmu seorang berasal dari Pulau Bali. Sedangkan lbu seorang gadis
Jawa. Kakekmu mengira, bahwa perkawinan itu akan berakibat buruk untukku.
Ontunglah, prasangka kakekmu itu tidak ter-bukti. Ayahmu ternyata seorang laki-
laki sejati."

Sampai di sini, Rukmini sukar menuntaskan perkataannya. Tangannya,


menggenggam tombak karatan itu, erat-erat. Tahulah Sangaji hati ibunya sedang
terisi kenangan ayahnya. Maka ia tak mau mengganggunya.

Sejenak kemudian Rukmini berkata, "Seka-rang, aku mau meminjam ucapan


mendiang kakekmu itu untukmu. lngatlah Aji, engkau anakku seorang. lbu tahu,
hatimu jauh berada di Jawa Tengah. Apabila hatimu senantiasa pepat, masakan lbu
bisa tidur nyenyak dan makan enak?"

Bukan main terguncang hati Sangaji. la seperti kehilangan diri sendiri, sehingga tak
tahu apa lagi yang harus dilakukan.

"lbu!" akhimya ia berkata seperti linglung. "Sepanjang perjalanan, aku seperti


melihat bayangan Titisari. Mungkin sekali ia berada di sekitarku. Hanya saja, ia tak
mau memper-lihatkan diri."

"Kau berkata, Titisari berada di dekatmu?" Rukmini menegas.

Sangaji berbimbang-bimbang. Namun ia menyahut juga, "Titisari seorang gadis


pintar luar biasa. Semua yang tersembunyi, bagi-nya sangat cerah." Tetapi setelah
berkata demikian, ia menyangsikan ucapannya sen-diri. Tak dikehendaki sendiri, ia
kelihatan ter-mangu-mangu.

"Kalau Titisari benar-benar berada di sekitar-mu seperti dugaanmu... hm... engkau


benar-benar dalam suatu kesulitan besar," Rukmini mengeluh. "Nona Sonny
mungkin dapat kau buat mengerti. Tapi ayahnya... inilah lain."

"Mengapa begitu?"

"Mungkin sekali, ia akan tersinggung kehor-matannya," sahut Rukmini. "Prajurit


terlatih menjaga kehormatan kesatuannya. Karena itu, prajurit lekas saja
tersinggung kehormatannya. Bukankah kakakmu Williem pernah berkata demikian
berulang kali kepadamu. Lihatlah, sampai ibumu sebodoh ini masih sanggup
menghafal."

Sangaji adalah anak tunggal Rukmini. Tak mengherankan, bahwa ia


menganggapnya sebagai hidupnya sendiri. Dahulu tatkala ia mendengar kabar
pertunangan Sangaji dan Sonny de Hoop sudahlah timbul kesangsian-nya. Sebagai
seorang wanita suku Jawa, sudah barang tentu ia mengharapkan agar memperoleh
menantu berasal dari Jawa pula. Tetapi mengingat, bahwa Sangaji masih mem-
butuhkan perlindungan, ia tak memperlihatkan suatu sanggahan. Teringat dirinya
sendiri menerima cinta kasih seorang putera dari Pulau Bali, dia bersedia menerima
pula ke-nyataan itu. Tetapi diam-diam ia mengetahui betapa sikap dingin Sangaji
terhadap Sonny de Hoop. Terasa dalam naluri keibuannya Sangaji tak lebih seorang
tawanan yang mencoba mengatasi rasa kalahnya.

Sonny de Hoop seorang gadis tiada cela. Malahan lambat-laun tertanamlah benih
kasih-nya. Tapi melihat anaknya bersikap dingin, mau tak mau ia jadi perasa pula.
Maka ia mencoba menduga-duga. Dan begitu mendengar cerita anaknya yang
menyebut-nyebut seorang gadis yang bemama Titisari dengan bersemangat,
hilanglah sudah rasa sangsinya. Apalagi Titisari ternyata seorang gadis yang pernah
merebut jiwa Sangaji.

"Mayor de Hoop tidak hanya mempunyai kekuasaan kompeni, tapi ia menguasai


kita berdua pula. Belum-belum ia sudah merampas pusaka milikmu. Aku khawatir,
engkau kelak kena dirampas pula... Marilah kita pulang saja ke kampung halaman.
Lihat, inilah warisan tombak ayahmu..."

Belum lagi ia menyelesaikan perkataannya, Sonny de Hoop terdengar tiba di


serambi de-pan. Maka cepat-cepat ia berkata lagi, "Temui-lah dia dan berbicaralah
baik-baik. Bilang, bahwa engkau ingin menghadap ayahnya. Mudah-mudahan
ayahnya memperkenankan kita pulang ke kampung halaman dengan aman
damai..."
Dengan membulatkan tekat, Sangaji berdiri dari tempat duduknya. Hatinya terasa
ringan. Maka dengan langkah tetap ia berjalan ke se-rambi depan menyambut
kedatangan Sonny de Hoop.

Ternyata Sonny de Hoop datang dengan di-kawal oleh seorang sersan berusia tua.
Sersan itu berkumis tebal. Matanya tajam berlindung di bawah alisnya yang tebal
pula. Sekali pandang tahulah Sangaji, bahwa ser-san itu bukan orang sembarangan.
Memper-oleh kesan demikian, diam-diam ia berjaga-jaga diri.

"Taruhlah di meja!" perintah Sonny de Hoop.

Dengan sikap hormat, sersan itu meletakkan bebannya di atas meja. Heran Sangaji,
karena beban itu ternyata pusaka sakti Kyai Tunggul-manik, Bende Mataram dan
pedang Sokayana yang tadi menyibukkan pikirannya.

"Ayah kini tidak menganggapmu lagi se-bagai seorang pemuda tolol. Namun karena
menjaga hal-hal yang tidak kauinginkan, Ayah perlu menyimpan semua pusakamu
ini. Malam ini kami kembalikan dengan utuh. Periksa-lah dahulu barangkali engkau
mengira Ayah memalsukan," kata Sonny de Hoop.

Untuk mengenal ketiga pusaka sakti itu, Sangaji tidak membutuhkan waktu lama.
De-ngan pandang, ia sudah mengenalnya. Hati-nya penuh syukur dan hampir saja
menyata-kan rasa terima kasih. (Jntung waktu itu, Sonny de Hoop berkata lagi
sambil menghela napas. "Selamanya engkau membuatku tidak mengerti.
Sebenarnya bagaimana bisa terjadi begitu?"

Mereka kemudian duduk di ruang depan. Setelah pembantu rumah menghantarkan


minuman ringan, mulailah Sangaji mengum-pulkan semangat. Dengan
mendengarkan kata-kata Sonny de Hoop tahulah dia sudah, bahwa beradanya di
dataran ketinggian

Gunung Cibugis bukan merupakan suatu raha-sia lagi. Teringat helaan napas Sonny
yang tadi didengarnya di luar dinding tatkala ibunya se-dang memperbincangkan
rencana pulang ke kampung halaman, timbullah sikap jantannya. Dasar ia seorang
yang jujur dan berjiwa ksatria sejati, lantas saja berkata dengan tenang.

"Sebenarnya tadinya aku hanya bermaksud memenuhi suatu undangan belaka.


Kemudian aku menyaksikan mereka saling membunuh. Bukankah sayang?
Alangkah baiknya, apabila mereka hidup rukun dan damai sebagai kawan senasib
dan sebangsa ..."

Sederhana sekali kata-kata Sangaji. Ontung, Sonny de Hoop sudah mengetahui


persoalan-nya dan laporan-laporan militer yang didengarnya. Dengan demikian, ia
dapat menang-kap keterangan Sangaji. Katanya kemudian, "Kau selamanya lambat
dalam segala hai tidak pandai berbicara banyak. Tapi kali ini, engkau jadi luar biasa.
Apakah kedudukanmu yang merubah dirimu?"
Pertanyaan itu sama sekali tak terduga, se-hingga Sangaji jadi terbungkam. Sonny
de Hoop sendiri agaknya tak bermaksud mem-peroleh jawaban. la meruntuhkan
pandang ke alas meja, lalu berkata memerintah kepada Sersan yang tetap berdiri
tegak di dekatnya.

"Bawalah pusaka Tuan muda ini ke dalam!"

Sersan itu mengangguk, kemudian mem-bawa ketiga pusaka sakti ke dalam.


Setelah diserahkan kepada Rukmini, ia kembali ke se-rambi depan di sudut ruang
samping.

"Aji! Betapa alasan Ayah, hatimu pasti sakit sewaktu mendengar kabar hilangnya
ketiga pusaka itu, bukan? Pastilah engkau sudah menuduh Kompeni merampas
milikmu. Agak-nya benar juga," ujar Sonny de Hoop lembut. "Tiap prajurit selalu
menyatakan diri, bahwa dia adalah penjaga dan pengatur keamanan. Padahal
dialah sesungguhnya perusak keamanan. Kau percaya, tidak? Lihatlah dengan
alasan demi menjaga dan mengatur keamanan, kerapkali dia perlu membunuh
yang lain. Setidak-tidaknya membuat rugi yang lain. Nah, bukankah dia justru
menjadi perusak keamanan? Maka teringatlah aku kepada ucapan seorang filsof
Yunani kuna yang berkata begini: Kau tahu apakah sesungguhnya organisasi militer
itu? Mereka tak lebih dari organisasi pembunuh yang dilindungi undang-undang.
Kau percaya, tidak?"

Sonny de Hoop tertawa lembut. Dan Sangaji bertambah berwaspada. Katanya di


dalam hati, dia berkata, militer adalah organisasi pembunuh yang dilindungi
undang-undang?

Benarkah hatinya berkata begitu juga? Jangan-jangan ia hendak memancing aku...

Teringatlah dia akan sepak-terjang prajurit-prajurit kompeni laskar Pangeran Bumi


Gede maupun laskar Pangeran Ontowiryo. Semua-semuanya membunuh. Juga
mereka yang menamakan diri golongan pendekar di seluruh jagat ini. Maka
terasalah betapa pernyataan Sonny de Hoop tepat mengenai sasarannya. Namun,
tak berani ia berlaku semberono. Hati-hati ia menatap wajah Sonny de Hoop. Siapa
tahu, semua ucapannya mengandung duri.

Sonny de Hoop meruntuhkan pandang. Lalu memandang wajah Sangaji.

"Aji! Maafkan ayahku. Dengan sesungguh-nya, ia bermaksud baik sekali. Lihatlah


semua pusaka milikmu dikembalikan dengan utuh."

"Sonny! Ayahmu baik sekali." Dan selama-nya dia baik sekali terhadapku dan Ibu,
masakan aku berani menuduh yang bukan-bukan?" sahut Sangaji.

Terhadap Sangaji, Sonny de Hoop tiada per-nah menyangsikan semua ucapannya.


Maka dengan penuh perasaan dia berkata, "Aku tahu dan aku percaya padamu.
Semuanya itu terjadi, karena kemuliaan hatimu. Kau berkata tadi, bahwa
kedatanganmu di dataran tinggi Gunung Cibugis semata-mata hendak
mendamaikan semua pihak yang sedang ber-tengkar. Sebab hatimu yang mulia
ingin melihat semua insan hidup damai. Kau ingin melihat ..." ia berhenti. Hatinya
pilu dan pedih. Terasa sudah, bahwa antara dia dan Sangaji kini seperti telah terjadi
suatu jurang pemisah. Suatu hai yang tidak dikehendakinya sendiri. Katanya lagi,
"Kompeni sekarang memang bertugas untuk mengamankan seluruh daerah Jawa
Barat. Kau sekarang sudah menjadi pe-mimpin tertinggi Himpunan Sangkuriang.
Tiap patah katamu akan didengar dan dilakukan dengan patuh. Cobalah bujuk
mereka agar hidup berdamai dengan kompeni. Dengan begitu jalan yang akan kita
lalui menjadi rata seperti semula."

"Tidak mungkin!" sahut Sangaji cepat. "Mereka bercita-cita justru hendak mengusir
pemerintah Belanda dari bumi Jawa."

Mendengar ucapan Sangaji, wajah Sonny de Hoop berubah hebat sampai pucat.
Tanpa di-sadari sendiri, ia bangkit dari tempat duduknya sambil berkata dengan
nada tinggi.

"Kenapa kau mengucapkan kata-kata begi-tu? Kau bisa dianggap sebagai


pemberontak."

"Sonny! Mereka memang berkata dan ber-cita-cita begitu. Lalu aku harus berkata
bagai-mana? Apakah aku harus memperkosa ucap-annya?" sahut Sangaji. "Mereka
mempercayai aku. Meskipun hatiku enggan, tetapi aku tak menolak pula. Apakah
menurut pendapatmu aku harus mengkhianati mereka?"

Lama sekali Sonny de Hoop menatap wajah Sangaji. la nampak terkejut, gusar,
kecewa dan pilu. Juga sersan yang duduk di sudut ruang depan. Akhirnya perlahan-
lahan Sonny de Hoop duduk kembali dengan pandang lembut. Dan sersan itu
terdengar melepaskan napas lega pula. Perlahan Sonny de Hoop berkata, "Semula
aku tak percaya kepada semua kabar yang kudengar. Kemudian aku minta izin
Ayah hendak membuktikan sendiri. Sekarang aku mendengar pula dari mulutmu
sendiri. Apakah aku bisa mengingkari kesulitan ini?"

Setelah berkata demikian, gadis itu nampak berduka dengan hati pilu. la
melemparkan pandang jauh di sana. Kepada tiang-tiang pen-dapa, kepada wajah
sersan yang menunduk, kemudian pada kegelapan malam. Namun penglihatan itu
tidak merasuk dalam rasanya. Akhirnya setelah lama berdiam diri ia merun-tuhkan
pandang ke bawah seraya berkata dengan berbisik.

"Waktu engkau diketemukan Ayah di dalam medan perang dahulu, Ayah sudah
bercuriga. Tetapi ia mendengarkan kata-kataku. Kemu-dian untuk kedua kalinya,
engkau berada di perkemahan. Juga Ayah tidak mengusut lebih lanjut. Tetapi
sekarang semua orang mende-ngar kabarmu. Sulitlah untuk meniadakan semuanya
itu." la berhenti sebentar menghela napas. Sekonyong-konyong pandang mataya
berkilatan,"Benarlah kata pepatah: Kalau suamimu menjadi raja, kau akan menjadi
se-orang permaisuri yang muda. Tetapi bila suamimu menjadi setan, kaupun akan
menjadi iblis. Nah, biarlah aku menjadi iblis." .

Mendengar ucapan Sonny de Hoop, hati Sangaji terharu bukan main. Dasar hatinya
lemah, lagi pula tidak terdapat suatu kesalahan pada diri Sonny, maka berkatalah
dia dengan penuh perasaan:

"Sonny...! Aku ini memang seorang yang tidak hanya tolol, tapi juga tidak tahu
berterima kasih. Sekarang biarlah aku patuh kepada kehendakmu... " Tetapi setelah
berkata demikian, suatu bayangan berkelebat dalam otak-nya. Segera ia dapat
menguasai diri. Lalu berkata lagi, "Terhadapmu memang aku dapat berkata begini.
Tetapi bagaimana dengan ayahmu yang memegang kekuasaan militer? Pastilah
dengan alasan dinasnya, Beliau lebih mencintai kedudukannya daripada kepadamu
atau kepadaku ..."

"Ya benar," sahut Sonny dengan mengeluh. "ltulah sebabnya, aku dahulu tidak
senang engkau menjadi semacam jagoan. Kau tahu sebabnya?" Sonny berhenti
mengesankan. "Inilah jadinya. Karena demi mengabdi kepada apa yang dinamakan
kehormatan diri dan cita-cita, kau dan aku mungkin berdiri di seberang
menyeberang."

"Janganlah berkata begitu, Sonny. Aku me-mang bersalah terhadapmu, tapi ayahmu
bukan seorang jagoan. Beliau tidak mempe-rebutkan apa yang dinamakan suatu
kehormatan diri."

"Kau berkata apa?" potong Sonny de Hoop sengit. Berbareng dengan senyumnya
pahit, ia meneruskan. "Kau berkata dia bukan terma-suk golongan jagoan? Kau
salah, aku justru berkata begitu. Dialah termasuk pula seorang jagoan yang
kebetulan mengenakan pakaian seragam."

Sangaji menatap wajah Sonny de Hoop, lngin ia menangkap sasaran ucapannya,


namun sebagai biasanya ia lambat dalam hai menebak maksud seseorang. Maka ia
minta ketegasan, "Kau berkata Beliau seorang jagoan kebetulan mengenakan
pakaian seragam?"

"Ya, bukankah sudah terang?" sahut Sonny. "Seorang jagoan adalah seorang yang
mengabdikan diri kepada kehormatan dan nama yang kosong. Dalam hidupnya ia
hanya mendengarkan hatinya sendiri."

"Ah, belum tentu. Seorang yang berbudi luhur..."

"Mengapa belum tentu?" potong Sonny. "Seorang prajurit dididik untuk menang.
Karena itu betapa dia mau mengalah? Kalau dia mau mengalah, dialah bukan
seorang pra-jurit."

Selamanya Sangaji tak pandai berdebat. Meskipun pada waktu itu ia sudah
memper-oleh kemajuan yang lumayan, namun masih saja ia tak mampu mengatasi
bentuk pem-bicaraan yang bersifat cepat. Maka mulutnya membungkam dengan
mendadak. Dan seperti dahulu, ia lantas menjadi tokoh pendengarnya.

Dalam suatu pertarungan seorang jagoan harus membunuh lawannya bilamana


mau selamat. Seorang prajuritpun demikian. Cuma bedanya, seorang prajurit
dilindungi undang-undang. Sebaliknya seorang jagoan tidak. Dia justru akan dikejar
penuntutan balas dendam dan hamba undang-undang. Tapi pada hakikatnya setali
tiga uang.

Sangaji berdeham. Ingin ia memberi pan-dangan lain namun mulutnya memang


tidak kuasa mengungkap rasa hatinya. la hanya berkata, "Tetapi Sonny... semuanya
tergantung kepada pribadinya masing-masing. Seorang prajurit meskipun
membunuh tetapi demi untuk keamanan umum. Sedangkan seorang jagoan hanya
mengabdi kepada kepentingan diri sendiri... Inilah bedanya."

Sonny de Hoop tertawa lembut. Katanya, "Ah, benar-benar engkau sudah berubah.
Kau sekarang sudah pandai berbicara. Maka benarlah kata Ayah, bahwa engkau
bukan se-orang pemuda tolol lagi..."

Itulah suatu sindiran tajam. Kalau bukan Sangaji pastilah akan melahirkan suatu
rente-tan perdebatan. Tapi Sangaji yang berhati damai, segera mengalihkan
pembicaraan.

"Sonny! Apakah engkau berhasil mem-bicarakan keluarga Mulawir kepada ayahmu?


Kalau berhasil alangkah senang hatiku."

"Benarkah hatimu senang?" Sonny de Hoop mencoba.

"Tentu! Aku akan memaksamu untuk me-nerima rasa terima kasihku."

"O, Sangaji... semenjak dahulu aku berkata, bahwa aku akan ikut senang hati
manakala hatimu senang pula. Keluarga Mulawir sudah dibebaskan. Tetapi ayah
tidak dapat membe-baskan Ki Tunjungbiru, meskipun hatinya sangat menyesal."

"Mengapa?"

"Perkaranya sudah terlanjur dilaporkan kepada atasan. Maka penyelesaiannya


harus lewat saluran hukum pula."

"Ya, aku tahu," sahut Sangaji dengan kepala kosong. Sejurus kemudian berkata,
"Sonny! Apakah engkau mengerti di mana dia dise-kap?"

"Penjara Glodok."

Sangaji nampak prihatin. Mencoba, "Pastilah engkau dapat mengetahui keadaan


penjara dengan jelas. Setidak-tidaknya melebihi pe-ngetahuanku, berhubung
kedudukan ayah-mu.
Senang dan bersyukur hati Sonny de Hoop mendengar bunyi kata-kata Sangaji.
Sebagai anak seorang komandan, sering ia mendengar dan mengenal cara bergaul
pembesar-pembe-sar militer. Makin tinggi pangkat dan jabatan-nya, makin mereka
berhati-hati dalam setiap pembicaraannya. Itulah disebabkan karena kedudukan,
tugas, jabatan serta kehormatan diri. Namun sikap hidup demikian tidak terdapat
dalam diri Sangaji. Pemuda itu kini menjadi pemimpin tertinggi seluruh laskar
perjuangan barat dan merupakan momok yang ditakuti kompeni. Sekalipun
demikian, kata-katanya tidak berbeda tatkala ia baru mengenalnya. Itulah suatu
tanda, bahwa hatinya tidak berubah terhadapnya. Maka terus saja gadis itu berkata
menyahut, "Kau selamanya membuat hatiku bingung. Baiklah aku akan
membantumu sebisa-bisaku. Kau pasti akan berusaha meno-long Ki Tunjungbiru.
Selama dia masih di dalam penjara pastilah hatimu tidak tenang. Hanya saja,
sudahkah engkau mempunyai da-ya upaya untuk mengatasi kemarahan Ayah?"
Sangaji mengangguk.

"Aku akan menghadap ayahmu. Aku tahu, ayahmu pasti akan menyatakan
bermusuhan dengan tugasku. Karena itu aku akan minta ijin padanya untuk pulang
bersama lbu ke kampung halaman."

Mendengar kata-kata Sangaji, Sonny de Hoop tertegun. Wajahnya pucat. Tapi


sebentar kemudian, berubah menjadi lembut. Dengan tersenyum ia berkata,
"Memang kadang-kadang pernah aku berpikir tentang diriku sendiri. Andaikata aku
ini bukan bangsa Belanda, juga bukan anak seorang Komandan Kompeni Belanda
yang kebetulan bermusuhan dengan kedudukanmu sekarang alangkah senang dan
gampang jadinya. Aku akan me-nyertaimu di mana saja kau berada. Sekarang,
ternyata engkau akan pergi benar-benar. Dan aku akan menyertaimu juga, di mana
engkau berada. Biar aku menjadi setan demi untuk-mu ...

Bukan main terharu rasa hati Sangaji. Itulah suatu ucapan cinta kasih setulus-
tulusnya. Kenyataan demikian tak dapat diabaikan dengan begitu saja. Selagi ia
berpikir demikian, terdengar Sonny de Hoop berkata lagi, "Kau tadi minta
keterangan tentang keadaan penjara, bukan?"

Sangaji mengangguk.

"Biasa saja," kata Sonny de Hoop. "Penjara di mana-mana saja dipimpin oleh
seorang Ke-pala Penjara yang dibantu dengan pegawai-pegawai bawahannya.
Hanya saja karena penjara Glodok dianggap sangat penting, penja-ganya diperkuat
dengan serdadu-serdadu Kompeni yang dibantu pula oleh tamping-tampingnya
yang sudah mendapat keper-cayaannya."

"Tamping? Apakah itu?"

"Orang yang terhukum untuk selama hidup dan sesudah mendapat kepercayaan
diangkat oleh Kepala Penjara sebagai pembantu meng-urus tata tertib."
Sangaji diam merenung. Penjara Glodok sudah sering dilihatnya. Kesannya seram
dan menakutkan. Menurut kabar, tidak gampang seseorang mencoba mendekati
dindingnya tanpa diketahui penjaganya. Sekiranya me-maksa diri menjebol
pintunya, pastilah akan menimbulkan suatu perjuangan sengit. Memi-kir demikian,
ia jadi gelisah. Bukankah laskar Himpunan Sangkuriang kini sedang dalam
perjalanan mendekati penjara itu?

Selagi berpikir demikian, sekonyong-ko-nyong nampaklah sinar api menyala tinggi


di luar rumah. Kemudian terdengarlah suara hiruk-pikuk disusul pula dengan bunyi
tanda bahaya.

Cepat Sonny de Hoop keluar pendapa. Tiba-tiba ia berseru kaget, "Hai! Bukankah
itu penjara Glodok? Sersan!"

Ia menoleh ke serambi. Tetapi sersan yang tadi duduk di sudut ruang, tiada nampak
batang hidungnya. Kapan ia meninggalkan ruang itu, berada di luar
pengamatannya. Segera ia menyerunya. Namun meskipun di-ulanginya beberapa
kali, tetap sersan itu tidak muncul. Setelah berbimbang-bimbang sejenak, cepat
Sonny masuk ke dalam. Ia mencoba minta keterangan Rukmini. Tapi Rukmini tak
dapat memberi keterangan. Juga semua pelayan yang berada di sekitar rumah.

Sangaji kala itu tiada sabar lagi melihat nyalanya api yang hampak membumbung
tinggi di udara. Teringatlah dia kepada Ki Tunjungbiru dan sekalian laskarnya.
Apakah mereka sudah tiba di dalam kota dan terus menyerbu penjara?"

Karena dirumun berbagai soal, Sangaji lan-tas berdiri tegak. Tatkala melihat Sonny
kembali ke serambi depan, ia berkata cepat: "Sonny, maafkan aku ingin melihat."
Dan berbareng dengan kalimatnya yang pengha-bisan, sekali melesat bayangannya
sudah lenyap dari penglihatan.

"Hai, hai! Tunggu dahulu!" teriak Sonny de Hoop, "Biarlah kita berangkat bersama."

Mendengar teriak Sonny de Hoop yang ber-kesan gupuh, Rukmini lari ke serambi
depan. Tetapi pada saat itu, baik Sangaji maupun Sonny de Hoop sudah tiada lagi.

Pada saat itu Sangaji sudah berada di jalan. Ia melesat bagaikan terbang. Belum
lagi memasuki daerah perkampungan Cina yang berada di depan, matanya yang
tajam me-nangkap berkelebatnya sesosok bayangan yang menyongsong padanya.
Melihat gerakan bayangan itu, pastilah bayangan seorang yang berkepandaian
tinggi. Tiba-tiba pada detik itu terdengar bayangan tadi berseru, "Gusti Aji!"

Sangaji berhenti dengan mendadak. Ia menoleh. Ternyata bayangan itu Tubagus


Simuntang. Entah apa sebabnya hati Sangaji menjadi besar dan berbangga. Terus
saja ia menyahut. "Paman!"

"Ada kejadian ajaib," kata Tubagus Simun-tang setelah membungkuk hormat.


"Maksud Paman penjara terbakar?"

"Tidak hanya itu. Tetapi yang menyerbu bukan laskar kita," sahut Tubagus
Simuntang. Seperti diketahui, Tubagus Simuntang minta ijin kepada Sangaji hendak
melakukan tugas-nya. Semenjak zaman Ratu Bagus Boang, Tubagus Simuntang
menduduki jabatan peng-hubung. Dalam melakukan tugasnya hendak
menghubungi Dadang Wiranata, Dwijendra, Andangkara dan Otong Surawijaya
pada malam itu, ia menjumpai suatu peristiwa yang menarik perhatiannya. Segera
ia mengikuti perkembangan peristiwa itu. Begitu memperoleh kepastian, segera ia
lari sekencang-kencangnya, hendak memberi laporan kepada ketuanya. Katanya
kemudian setidak-tidaknya enam pendekar datang menyerbu penjara.

"Untuk Ki Tunjungbiru?" potong Sangajj.

"Terang sekali tidak. Mereka datang untuk membebaskan anak-anak muridnya yang
lenyap tiada bekasnya setelah turun dari dataran ketinggian Gunung Cibugis."

"Ah, apakah mereka kena tawan kompeni?" Sangaji heran.

"Benar," sahut Tubagus Simuntang. "Dalam suatu pertarungan, rupanya masing-


masing perguruan ada yang dapat meloloskan diri sehingga dapat memberi laporan
kepada gurunya masing-masing. Nah, sekarang mere-ka semua datang dengan
serempak. Hamba kira paling tidak enam pendekar turun tangan dengan
berbareng. Ah, hebat! Pastilah akan merupakan suatu tontonan yang menarik."

Benar juga. Waktu tiba di depan penjara, mereka berdua melihat berkelebatnya
bebera-pa bayangan yang bergerak sangat cepat dan berani. Dengan berlompatan,
bayangan itu menikam penjaga-penjaga yang sedang mengisi senapan bermesin
bubuk.

Penjara Glodok pada zaman itu, tidaklah seperti sekarang. Penjara tersebut
dibangun untuk tempat mengurung penentang-penen-tang pemerintahan Belanda
yang disegani. Itulah sebabnya, penduduk menyebutnya sebagai kandang negara.
Seratus tahun yang lalu, pahlawan Ontung Surapati pernah dise-kap di dalam salah
sebuah kamarnya yang berada di bawah tanah. Ternyata dia masih dapat
membebaskan diri. Bahkan membawa lari pula 120 hukuman yang kemudian
mengadakan perlawanan di luar kota Jakarta. Betapa tinggi kepandaian Ontung
Surapati dapat dibuktikan dengan kenyataan terse-but.

Oleh pengalaman itu, pemerintah Belanda memperbaiki bangunan Glodok.


Sekarang ter-dapat sebuah menara tinggi yang terbuat dari balok-balok batu
pegunungan. Tingginya kurang lebih 20 meter. Mempunyai kamar sel sebanyak 47
buah. Kamar-karhar tersebut yang disusun meninggi, khusus disediakan bagi
musuh-musuh negara berkepandaian tinggi. Karena letak kamar-kamar itu
bersusun tinggi, maka penglihatan itu lebih mirip sebuah menara penghias kota.
Bagian dinding luar terbuat dari besi tebal berlapis baja putih. Apabila kena sinar
mata-hari memantulkan cahaya yang menyilaukan. Sedangkan tangga yang
menghubungkan kamar teratas, selalu bergerak. Kamar itupun merupakan sebuah
kamar yang diperlengkapi dengan alat penggerak rahasia. Manakala di-gerakkan,
dengan suara bergerit berputar dan turun ke dalam tanah.

Kamar tersebut dinamakan kamar maut, karena tiada lubang angin sama sekali.
Barangsiapa kena ditahan di dalam kamar tersebut, tiada harapan untuk bisa
membe-baskan diri. Kecuali apabila mampu menjebol dinding besinya yang tebal
luar biasa.

Penjagaan berada di luar menara. Di atas gardu-gardu pengawas dengan dilindungi


alat penerangan dan terali besi. Penjaganya diper-lengkapi dengan senapan
bermesiu bubuk, panah, golok dan pedang.

Malam itu selagi para penjaga berada di atas gardunya masing-masing, tiba-tiba
nampaklah tujuh bayangan melesat melompati tembok luar. Terang sekali, mereka
bukan orang sem-barangan. Dan baru saja para penjaga hendak mengadakan suatu
reaksi, mereka telah me-nyergapnya tanpa berbimbang-bimbang lagi.

Melihat robohnya semua penjaga yang bera-da di atas gardu penjagaan, Kepala
Jaga lantas saja memukul lonceng tanda bahaya. Pem-bantunya melepaskan panah
berapi di udara. Itulah sinar yang tadi terlihat oleh Sangaji dan Sonny de Hoop. Dan
sebentar kemudian, bunyi sangkakala melengking di tengah malam.

Tamping-tamping yang merupakan urat nadi, muncul dari lorong samping. Baru
saja mereka mencongkakkan diri, terdengarlah angin tajam meniup semua lentera.

"Ini bukan manusia. Siluman!" Mereka ber-teriak terkejut. Berbareng dengan


teriakan mereka, suara gemerincing memekakkan telinga.

Itulah suara rantasnya gerendel-gerendel dan terali sel. Dan muncullah orang-orang
tahanan yang tersekap di dalam kamar menara. Ternyata mereka adalah para
pendekar yang pernah menyerbu dataran ketinggian Gunung Cibugis.

Melihat munculnya mereka, hati Sangaji ter-getar. Berbagai pertanyaan


berkelebatan dalam benaknya. Sekonyong-konyong dua bayangan berkelebat
mendekati. Mereka datang dari arah yang bertentangan. Yang lain, sersan yang tadi
mengawal Sonny de Hoop.

Sangaji sudah menduga, bahwa sersan itu bukan sembarang orang. Namun tiada
mengi-ra, bahwa ia memiliki kegesitan demikian, sehingga mampu menandingi
Tatang Sontani.

Sersan itu melambaikan tangatinya. Kemu-dian berjalan dengan cepat menuju ke


selatan. Karena Sangaji menduga ada suatu berita ra-hasia yang akan disampaikan
Sonny de Hoop lewat sersan itu, segera ia mengikuti. Otaknya memang lagi penuh
dengan berbagai pertanyaan, maka kedatangan sersan itu diharap-kan akan
membawa suatu kecerahan.

Dengan gesit, sersan itu berjalan membeloki lorong-lorong kecil. Setelah kurang
lebih lima kilometer berada di luar kota, ia berhenti me-mutar tubuh.

Sangaji melayangkan penglihatan. Lapangan di depannya penuh dengan batu-batu


ber-serakan. Dua bukit batu berdiri tegak di bela-kangnya. Melihat sersan itu
memutar tubuh, Sangaji memberi tanda kepada Tatang Sontani dan Tubagus
Simuntang agar mundur. Dalam pada itu, sersan tersebut membungkuk hormat.

Sambil membalas hormat, diam-diam Sangaji menebak-nebak dalam hati, apakah


maksud orang ini? Apakah bermaksud hendak menjebak. Di sini tiada
pembantunya. Kalau dia harus menghadapi tiga orang, terang sekali dia akan kalah.
Tetapi melihat sikapnya, agaknya tiada bermaksud jahat.

Selagi Sangaji sibuk menduga-duga, tiba-tiba sersan itu menggeram. Kedua


tangannya terbuka bagalkan cakar lalu menubruk. Hebat serangannya. Jari tangan
kirinya mirip ceng-keraman harimau, sedangkan yang kanan tak ubah cakar seekor
garuda. Kesepuluh kuku-nya nampak tajam dan berbentuk meleng-kung. Kecuali
daya serangannya bertenaga hebat, cengkeramannya dapat mengambil jiwa
dengan mudah.

Cepat Sangaji menangkis dengan tangan kiri sambil berseru, "Apakah maksud Tuan
sersan? Jelaskanlah dahulu. Masakan terus saja menyerang tanpa alasan?"

Ternyata sersan itu tiada menggubris seruan Sangaji. Begitu tangan kirinya kena
tangkis, tangannya yang kanan dengan cepat men-garah lambung. Hebat
gerakannya sampai angin berkesiur tajam.

"Apakah Tuan sersan benar-benar meng-ajak berkelahi," Sangaji menegas.

Ontuk yang kedua kalinya, sersan itu tidak mendengarkan seruan Sangaji. Bahkan
gerakannya tambah menghebat. Kedua jari tangannya, menyerang saling
menyusul. Yang satu mencakar yang lain mencengkeram berbareng mengait.
Kemudian memagut dan menghantam. Dengan satu kali gerakan saja, sudah terjadi
enam gaya serangan kilat.

Melihat serangan itu, Sangaji tak berani berayal lagi. Dengan mengibaskSn tangan,
ia bertahan dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi, Suradira lebur dening
pangastuti. Tenaga yang digunakan ialah ilmu Pancawara. Hebat tekanan
tenaganya. Namun ilmu silat sersan itu, sangat ajaib dan aneh. Semua tipu
muslihatnya sangat keji dan bercampur aduk. Ia memiliki ilmu sakti suci bersih dan
kotor. Nyata sekali, bahwa dia mempunyai penge-tahuan luas dan mahir luar biasa.
Sangaji tetap melayaninya dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi. Sampai sembilan
puluh jurus, tiba-tiba cengkeraman sersan itu berubah menjadi suatu tinju. Lalu
dengan deras menghantam dada Sangaji dari depan.

Diserang secara mendadak, tetap saja Sangaji melayani dengan ilmu Kyai Kasan
Kesambi. Ia menangkis dengan mengibaskan tangan. Sekaligus, ilmu sakti
Pancawara menahan daya serangan. Kemudian dengan menggunakan tipu muslihat
Mayangga Seta, tangan kiri Sangaji membelok. Dengan suatu lingkaran cepat,
tangannya sudah menggablok punggung lawannya. Tetapi ia tidak menggunakan
tenaga sakti. Karena itu, serangannya hanya menempel pada punggung.

Sersan itu terhenyak sejenak. Wajahnya heran berbareng terkejut. Tahulah dia,
bahwa Sangaji tidak bermaksud mencelakai. Malahan mengampuni jiwanya.
Memperoleh pertim-bangan demikian, ia meloncat ke samping sambil menatap
wajah Sangaji. Sekonyong-konyong ia memberi isyarat kepada Tatang Sontani,
meminjam pedang.

Ternyata Tatang Sontani tidak menolak. Dengan menanggalkan pedangnya, ia


datang menghampiri. Kemudian dengan hormat ia mengangsurkan dengan kedua
tangannya.

Menyaksikan Tatang Sontani bersikap hor-mat terhadap sersan itu, Sangaji heran
bukan main. Apalagi Tatang Sontani meminjamkan pedangnya tanpa mengadakan
sesuatu pem-bangkangan.

Dalam pada itu pedang Tatang Sontani sudah terlolos dari sarungnya. Itulah suatu
isyarat, bahwa serangan akan dimulai. Sersan itu mem-ben tanda, agar Sangaji
meminjam pula sebilah pedang dari Tubagus Simuntang. Tapi Sangaji
menggelengkan kepala. Ia hanya mengambil sarung pedang dari tangan sersan itu
dan hendak digunakan sebagai senjata pelawan pedangnya. Kemudian dengan
tenangnya ia melintangkan sarung pedang itu di depan dada-nya suatu tanda
bahwa serangan boleh dimulai.

Tanpa segan-segan lagi, sersan itu me-nusukkan pedangnya dengan cepat.


Menyak-sikan betapa tepat dan cepat tusukannya, tahulah Sangaji bahwa lawannya
memiliki ilmu pedang sangat tinggi. Maka sedikitpun tak berani ia berkhayal atau
merendahkan lawan. Ternyata dugaannya tepat. Ilmu pedang sersan itu, jauh lebih
tinggi daripada ilmu pedang Edoh Permanasari. Bahkan keperkasaannya sejajar
dengan ilmu golok gabungan Kakek Begog dan Sianyer.

Bagus! ia memuji dalam hati. Dan segera ia melayani dengan ilmu pedang guratan
rahasia keris Kyai Tunggulmanik.

Serangan sersan itu kadang-kadang cepat, lalu lambat dengan tiba-tiba. Tenaga
tekanan-nya teratur rapi. Bila cepat, serangannya deras bagaikan badai. Manakala
berubah lambat, tiba-tiba punah. Tetapi bahayanya jauh lebih dahsyat daripada
serangan badai. Sebab tenaga gempurannya dipergunakan untuk meng-kait lawan
tak ubah arus berputaran. Sese-orang takkan dapat menguasai ilmu sakti demikian,
apabila tenaganya tidak sempurna. Mengingat hai ini diam-diam Sangaji sayang
akan kepandaiannya.

la melayani dengan hati-hati sambil berpikir di dalam hati, "Kalau setengah tahun
yang lalu aku bertemu dengan dia, aku bukan tanding-annya. Ilmu pedang Eyang
Guru selama ini belum memperoleh tandingnya. Tapi menghadapi ilmu pedangnya,
meskipun menggu-nakan ilmu sakti Mayangga Seta belum tentu bisa mengatasi."

Ontung, Sangaji kini memiliki ilmu sakti Kyai Tunggulmanik. Maka setiap kali, ia
dapat me-matahkan semua serangan lawan.

Makin lama, Sangaji makin kagum dan sayang akan kepandaian sersan itu.
Timbullah keputusan dalam hatinya ia tak mau menga-lahkan dengan serangan
pedang pula. Ia me-nunggu serangan lawan sekali lagi. Kemudian dengan jitu ia
memutar sarung pedangnya berbalik. Lalu ditimpukkan dan tepat menyer-gap
ujung pedang. Sebelum sersan itu sadar akan inti serangan Sangaji, tahu-tahu
pedangnya telah masuk ke dalam sarung dengan tepat dan jitu. Dan berbareng
dengan itu, tangan Sangaji menyambar tangannya. Kemudian dengan tersenyum
Sangaji melompat ke samping sambil melepaskan tangkapannya.

Apabila dikehendaki, dengan sedikit tenaga saja, pastilah pedang sersan itu dapat
direbut-nya. Tetapi ia tidak menghendaki demikian. Ia bahkan berani mengambil
risiko bahaya, Tipu demikian, sangat bahayanya. Apalagi ber-hadapan dengan
seorang ahli pedang. Sedikit kurang cepat dan tepat, pergelangannya pasti akan
terkutung sekaligus.

Tak terduga, bahwa sersan itu ternyata tak mengenal terima kasih. Belum lagi kaki
Sangaji mendarat di atas tanah, tiba-tiba ser-san itu membuang pedangnya.
Kemudian menghantam dengan dahsyat. Hebat hanta-man itu. Suatu kesiur angin
dahsyat datang bergulungan.

Namun Sangaji tidak gugup. la bahkan ingin mencoba tenaga lawan. Dengan
telapak tangan kanan, ia menyambut hantaman itu. Sedang telapak tangan kirinya
mendorongkan tenaga sakti. Dan setelah itu kedua kakinya menginjak tanah
dengan manis sekali.

Dalam sekejap saja, tenaga pukulan sersan itu membanjir tak ubah air bah. Sangaji
tidak menangkisnya. Dengan menggunakan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik guratan
yang kedua belas, ia menampung semua tenaga pukulan lawan. Kemudian dengan
tiba-tiba ia meng-hentak. Tenaga lawan yang sudah ditimbun-nya, dilontarkan
kembali. Hebat daya tolakan itu. Tak ubah gelombang pasang, tenaga himpunan
sersan itu ditolak balik. Itu berarti, tenaga sakti sersan itu yang sudah berjumlah
puluhan lipat. Betapa hebat daya tekanannya, tiada seorang di jagat ini yang
memiliki tenaga sebesar demikian. Kalau tenaga tolakan kembali itu sampai
menghantam suatu sasaran, meskipun seekor gajahpun akan hancur tulang-
belulangnya.

Benar-benar jiwa sersan itu berada di ujung maut. Sebab telapakan tangannya
masih melekat pada tangannya Sangaji. Gntunglah, tangan kiri Sangaji masih
terbebas. Cepat, ia melontarkan sersan itu tinggi ke udara. Dan baru ia melepaskan
tenaga timbunannya.

Sersan itu terlontar ke udara seperti bola ten-dang. Sedangkan tenaga himpunan
terus menghantam batu raksasa yang berada di kaki bukit. Maka terdengarlah
suatu gemuruh bagaikan guntur hendak menggugurkan gunung. Batu raksasa yang
kena bidik tenaga timbunan itu, sumpyur berantakan menjadi kerikil-kerikil tajam.

Menyaksikan kejadian itu, baik Tatang Sontani maupun Tubagus Simuntang


memekik kaget. Tadinya mereka mengira, bahwa adu kepandaian antara sersan itu
dan ketuanya akan membutuhkan waktu yang lama. Tak tahunya, baru dalam
beberapa saat saja sudah nampak siapa yang lebih unggul. Mereka terkejut sampai
wajahnya berubah. Selama hidupnya, baru kali itu mereka menyaksikan suatu
tenaga sakti demikian dahsyat. Tak mengherankan setelah habis rasa kagetnya
mereka berdiri terlongong-longong oleh rasa tercengang. Dengan mulut terbuka,
mereka mengawaskan tubuh sersan itu yang jungkir balik di tengah udara pada
detik-detik kemat-ian. Baru setelah sersan itu mendarat dengan selamat di atas
tanah mereka tersadar kembali.

Begitu menginjak tanah, sersan itu men-gangkat kedua tangannya di tengah dada
membuat suatu sembah. Itulah suatu sembah keseragarhan anggota Himpunan
Sangkuriang terhadap ketuanya. Kemudian berkata dengan suara rendah, "Hamba
Maulana Syafri duta urusan luar, dengan ini menghaturkan sembah bakti ke
hadapan Paduka. Terima kasih atas budi Gusti Sangaji. Meskipun hambamu begini
kurang ajar berani mencoba-coba kesaktian Gusti Sangaji, namun Paduka masih
mengam-puni jiwa hamba. Hamba mohon maaf sebesar-besarnya."

Mendengar ucapan sersan itu, Sangaji terkejut. la berpaling kepada Tatang Sontani.
Kemudian kepada Tubagus Simuntang. Keduanya tersenyum. Melihat senyum
mereka cepat Sangaji menghampiri Maulana Syafri lalu menjabat tangannya.

Sebenarnya setelah Maulana Syafri mulai dengan serangannya, baik Tatang Sontani
maupun Tubagus Simuntang terus saja me-ngenalnya. Itulah ilmu silat; milik khas
rekan-nya, yang hilang sepuluh t^hun lebih. Mereka hanya mengenal namanya,
namun orangnya tidak pernah menampakkan diri. Di mana dia berada selama itu,
sama sekali tiada kabarnya. Tak tahunya, dia malah menyamarkan diri dengan
menjadi seorang sersan kompeni. Mereka tahu, bahwa hai itu dilakukan demi tujuan
perjuangan Himpunan Sangkuriang hendak mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang, cepat memburu maju dan menggenggam
kedua tangan rekannya erat-erat. Sambil mengamat-amati wajah rekannya yang
kini nampak menjadi lebih tua, Tatang Sontani berkata: "Kak Maulana! Sungguh!
Adikmu sangat merindukan dirimu."

Dengan mesra Maulana Syafri memeluk Ta-tang Sontani sambil menyahut, "Adikku!
Berkat perlindungan yang Maha Esa. Himpunan Sangkuriang kita diberkahi seorang
pemimpin sepandai ini. Dan akhimya kita semua bisa ber-kumpul dan bersatu
kembali seperti semula."

"Kau hebat Kak Maulana," sambung Tuba-gus Simuntang. "Aku si tua bangka ini
merasa takluk."

"Hm ... di jagat ini siapa dapat menandingi kecepatan gerakmu, kecuali ketua kita
yang baru?" memuji Maulana Syafri.

Tubagus Simuntang beradat tak mau merasa kalah terhadap siapa saja. Tetapi
melihat ilmu silat yang baru diperlihatkan Maulana Syafri tadi, diam-diam ia merasa
takluk.

"Kak Maulana dengan sesungguhnya ku-nyatakan kini sampai hari ini barulah aku
Tubagus Simuntang benar-benar takluk kepa-damu," katanya. Setelah itu ia
membungkuk hormat.

Cepat-cepat Maulana Syafri membalas hor-mat seraya menyahut, "Engkau berlebih-


lebihan, adikku. Sebentar tadi, aku hanya memperlihatkan ilmu cakar ayam tak
keruan juntrungnya. Coba sekiranya junjungan kita tidak berbudi luhur aku sudah
terjengkang tak bemyawa lagi."

"Bagus! Bagus!" sambung Tatang Sontani. "Tempat ini terletak tak jauh dari kota.
Marilah kita mendaki bukit. Di sana jauh lebih aman."

"Bagus!" sahut Tubagus Simuntang dan Maulana Syafri dengan berbareng.

Mereka bertiga merupakan teman seper-juangan sehidup semati, semenjak puluhan


tahun yang lalu. Seringkali mereka menghadapi saat-saat genting untuk
menentukan hidup matinya. Maka tidaklah mengherankan, bahwa setelah berpisah
lama pertemuan itu sangat mengharukan hati masing-masing. Segera mereka
hendak bergerak, tiba-tiba ter-dengar Sangaji berkata, "Silakan Paman mendaki
bukit. Aku hendak menjenguk Aki Tunjungbiru dahulu."

Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang ter-sadar. Baru mereka hendak membuka
mulut, Maulana Syafri mendahului berkata, "Tentang Ki Tunjungbiru, Paduka tak
usah meresahkan. Pada saat ini, dia sudah berada di luar penjara."

"Di luar penjara? Bebas maksudmu?" Sangaji heran.

Maulana Syafri mengangguk. "Bagaimana mungkin? Apakah ..." Sangaji menegas.


Dengan membungkuk hormat, Maulana Syafri menyahut: "Di samping hamba,
masih ada seorang duta Himpunan Sangkuriang ber-nama Suryapranata. Dialah
yang mengurus kebebasan rekan Ki Tunjungbiru."

Maulana Syafri adalah duta kepercayaan Himpunan Sangkuriang. Semua kata-


katanya bukan bergurau. Maka Sangaji percaya kete-rangan itu. Hanya saja kurang
jelas.

"Kabar ini memang membutuhkan kete-rangan yang lebih luas," kata Maulana
Syafri yang sudah dapat menebak hati pemimpin-nya. "Kejadian ini bersangkut-paut
sangat eratnya dengan seorang gadis yang paling pin-tar dalam zaman ini."

"Seorang gadis yang pandai?" wajah Sangaji berubah hebat.

Maulana Syafri membungkuk hormat seraya bersenyum.

"Kau maksudkan... seorang gadis yang bernama..." Sangaji beragu.

"Benar," sahut Maulana Syafri. "Menurut Ki Tunjungbiru, dia bernama Titisari dan
ber-sangkut-paut sangat erat dengan Paduka."

Kalau orang disambar geledek, tidaklah se-kaget hati Sangaji pada waktu itu.
Sekujur tubuhnya sampai nampak bergemetar. Melihat pemimpinnya demikian,
Tubagus Simuntang yang berwatak berangasan menduga jelek. Terus saja ia
melompat menerkam kain leher Maulana Syafri. Seperti diketahui, kegesitan
Tubagus Simuntang tiada lawannya di seluruh jagat. Maka sekali bergerak, Maulana
Syafri mati kutu.

"Tiap orang mempunyai persoalan pribadi," bentak Tubagus Simuntang. "Mengapa


engkau membuat pemimpin kita bergusar. Meskipun ilmuku kalah jauh denganmu,
tapi aku masih sanggup bergerak seharian penuh melawan dirimu."

Menyaksikan salah paham itu, Sangaji segera melerai. Katanya gugup, "Paman
Tuba-gus Simuntang! Paman Maulana Syafri justru membuat hatiku terharu."

Mendengar ujar Sangaji, Tubagus Simun-tang tercengang. la menatap wajah


pemimpin-nya untuk mencari ketegasan.

"Baiklah mari kita mendaki bukit itu," kata Sangaji. "Paman Maulana! Berjanjilah,
bahwa Paman akan mengabarkan semuanya. Sekali Paman menyembunyikan
sepatah kata saja, aku tidak akan puas."

Mereka berempat segera berlari-larian men-

daki bukit. Sekeliling bukit merupakan lapangan terbuka. Sejauh mata memandang,
hanya berkesan sunyi senyap. Seumpama ada orang mengintai pasti akan
ketahuan. Maka itulah tempat seaman-amannya untuk saling mem-buka hati.

Anda mungkin juga menyukai