Anda di halaman 1dari 120

BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL

DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM


DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO


SKRIPSI


Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam ( S.H.I. )
Program Strata 1 (S1)


Oleh:

Imilda Khotim
NIM 02210109







JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI'AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2007
2
BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL
DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM
DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO

SKRIPSI

Imilda Khotim
NIM 02210109

Telah disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing


Roibin, M.HI
NIP 150294456


Mengetahui:
Dekan Fakultas Syariah



Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag
NIP 150216425

3
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI


Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:

BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL
DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM
DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO

benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain, namun peneliti juga mangakui bahwa dalam
penulisan ini ada beberapa bahasa yang direduksi dari karya orang lain. Jika
dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini semua sama, baik isi, logika maupun
datanya, secara keseluruhan, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh
karenanya secara otomatis batal demi hukum.



Malang, 13 Juli 2007



Penulis,





Imilda Khotim
NIM 02210109




4
PERSETUJUAN PEMBIMBING



Pembimbing penulisan skripsi saudara Imilda Khotim, NIM 02210109,
mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah
membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi,
maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL
DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM
DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO

telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada
majelis dewan penguji.



Malang, 13 Juli 2007

Pembimbing,





Roibin M.HI
NIP 150294456







5
PENGESAHAN SKRIPSI

Dewan penguji skripsi saudara Imilda Khotim, NIM 02210109, mahasiswa Fakultas
Syariah angkatan tahun 2002, dengan judul
BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL
DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM
DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO

telah dinyatakan LULUS dengan Nilai A (Sangat Memuaskan )
Dewan Penguji:

1. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag (_________________________)
NIP 150224886 (Penguji Utama)


2. Fakhruddin, M. HI (_________________________)
NIP 150302236 (Ketua)





3. Roibin, M.HI (_________________________)
NIP 150294456 (Sekretaris)


Malang, 24 Juli 2007
Dekan Fakultas Syariah


Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag
NIP 150216425
6
KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmannirrahim.

Tiada kata yang mampu terucap selain rasa syukur kepada Sang Khaliq yang
senantiasa dan tak pernah lelah memberikan Rahman dan Rahim-Nya kepada penulis,
berkat petunjuk dan pertolongan-Nya jugalah akhirnya penulis bisa merampungkan
karya ilmiah yang berjudul: Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan
Buruh Nelayan Menurut Hukum Islam di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo.
Shalawat dan salam semoga tetap atas proklamator akbar Nabi Muhammad
SAW yang dengan semangatnya beliau merubah dunia ini menjadi dunia lain yaitu
Izzul Islam Wal Muslimin.
Ungkapan terima kasih seiring doa dan harapan Jazakumulla Khaironjaza
penulis haturkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu demi selesainya
penulisan skripsi ini. Ungkapan terima kasih ini penulis haturkan kepada yang
terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang
2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dengan
penuh kesabaran, kebijaksanaan dan kehangatan dalam memajukan Fakultas
Syariah.
3. Bapak Roibin, M.HI. selaku pembimbing penulis dalam penulisan skripsi ini,
dengan ketekunan dan kesabaran, serta banyak meluangkan waktunya untuk
membimbing, mengarahkan hingga berakhirnya penulisan skripsi ini.
4. Bapak M. Juffry dan Ibu Siti Khuzaimah serta Abang dan Mbayu ku yang selalu
memotivasi dan mensupport setiap langkahku dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah khususnya Bapak Drs. Suwandi M.H. selaku
Dosen Wali, atas segala bimbingan dan arahannya. Pak Abu Hasan Azzuhri SE
yang telah banyak membantu serta teman-reman Fakultas Syariah angkatan
2002-2003 dan teman-teman PKLI Kelompok IV.
7
6. Bapak H. Akbar Khores Muhammad selaku Kepala Desa Kalibuntu Kraksaan
Probolinggo beserta stafnya, yang telah memberikan izin untuk mengadakan
penelitian dan membantu dalam mencari data yang penulis perlukan. Dan juga
segenap element masyarakat Kalibuntu yang banyak memberikan informasi
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini
7. Shabat seperjuangan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan
teman-teman UKM Unit Olahraga (UNIOR) khususnya teman-teman Persatuan
Bulutangkis (Badminton).
8. Sahabat terbaik Qu, Ajeng, Ihda, Ziza, Juned, Bibah, Nisa, Piie, Syaiful
Ridwan, Mukhlisin, Nurul Khuzaimah, Umi Tsulasah, Abdullah Yaqien, Aliem,
BaiQ Yulianti, Fahrurrazi, Royhan. (Hafidzah, Lilik Fathani, Aminullah)
9. Konco kost 168A, si kembar-kembir Uya& Inthung, Quman, Markutin, Jablay,
Markentiez, M Hilma, Popona, Megi2, Ika, Yekti, Panjidoor, Rian, Mas Yusuf,
Mas Imam.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis cukup bangga karena
penulis telah berani melakukan sesuatu yang sebelumnya penulis anggap tidak
mungkin. Dan karena dalam penulisan karya ilmiah ini penulis tidak melakukannya
sendiri saja melainkan banyak pihak yang telah membantu, oleh karena itu maka
selayaknyalah jika penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pihak
yang telah berjasa kepada penulis. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif dari
segenap pihak sangat penulis harapkan dan semoga semua yang mereka lakukan
senantiasa dibalas oleh Allah SWT, dan semoga penulisan karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat. Amien Allahumma Amien.

Malang, 13 Juli 2007

Penulis,

Imilda Khotim
8
PERSEMBAHAN

Atas Nama Cinta dan Kasih Sayang Karya Ini Ku
Persembahkan Pada

Ayahku M. Juffry dan Ibuku Siti. Khuzaimah
yang Mengasihiku Setulus Hati, Sebening Cinta Dan
Sesuci Doa.
Bhakti Suci Nanda Haturkan.

Abangku Drs. M. Khatib Al-Juffry & Supriyati yang
telah banyak memberikan kontribusi dalam pendewasaan,
pemikiran dan tindakan untuk mengantar adik tersayangnya
meraih harapan dan kesuksesan.

Mbayuku Qudsiyah Al-Juffry & Asyary yang tak pernah
bosan dengan keluh dan kesahku, menyemagati disaat aku
malas, menegur disaat aku salah dan mengingatkan disaat
aku lupa.

Abangku Drs. H. Syamsul Arifin Juffry, M. Ag. & Dra.
Uswatun Hasanah yang tak pernah menyerah memotivasi dan
memberikan semangat disaat adiknya lelah dan tergoda rasa
keputus-asaan, Abang ternyata perkutut itu masih
menyisakan SIUL untukku.

Mbayuku Yusroh Al-Juffry, S.Pd yang keikhlasannya tak
bertepi dalam membimbing dan mengantar adiknya meraih
kesuksesan.

Ponaan-ponaan-Qu yang lucu n imut-imut, melihat wajah
kalian semangat 45-Qu tumbuh untuk cepat-cepat
menyelesaikan skripsi ini.

Guru Alif-ku dan semua guru tanpa terkecuali yang
mengantarku dalam meraih pelita studi sampai ke gerbang
keberhasilan.

Special thanks to shabat Ainur, kau selalu mensupport &
menanyaiku kapan selesai skripsinya??. Melda tahu kamu
orang yang sibuk kerja, tapi selalu kau luangkan waktumu
saat Melda membutuhkan bantuanmu, dan.... Banyak hal yang
aku tidak tahu dan tak pernah aku mengerti namun kau
telah mengajariku meskipun tanpa kamu sadari.


And the last, I just want to say thanks b4 u my
friends
9
MOTTO


$' %!# #`# #=2' ? 39& 6/ 69$/ ) & 3? gB
#? 3 #=F) ? 3& ) !# %. 3/ $m


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
(QS. An-Nisa: 29)


$% )9 7= #0 7Gf <) _$ ) #V. $=:# 6 9 /
? / ) %!# #`# #= Ms=9# =% $ `# $& G
G`$ / z $.# >$& N


Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu
dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada
kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui
bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya
lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
(QS. Shaad: 24)



10
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
HALAMAN PENGAJUAN.........................................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................................................iii
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................................v
KATA PENGANTAR.................................................................................................vi
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................................viii
HALAMAN MOTTO..................................................................................................ix
DAFTAR ISI.................................................................................................................x
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................xiv
ABSTRAK..................................................................................................................xv

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...... 1
B. Rumusan Masalah ........ 8
C. Definisi Operasional............. 8
D. Tujuan Penelitian ............. 9
E. Kegunaan Penelitian ................................................ 9
F. Sistematika Pembahasan ..........9

BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu...............................11
11
B. Masyarakat Nelayan ...........14
1. Pengertian Masyarakat......16
2. Mata Pencaharian .........18
3. Peralatan dan Perlengkapan Menangkap Ikan..............19
C. Konsep Islam Tentang Bagi Hasil .................22
1. Mudharabah..............................................22
2. Murabahah....................................................28
3. Hiwalah.....................30
4. Syirkah......................33
D. Hak dan Kewajiban Pemilik Perahu Pemilik Modal dan Buruh Nelayan
dalam Sebuah Usaha Bersama........................................................................39
1. Hak dan Kewajiban Pemilik Perahu.........................................................40
2. Hak dan Kewajiban Pemilk Modal...........................................................41
3. Hak dan Kewajiban Buruh Nelayan ........................................................41
E. Syarat-Syarat Dalam Membangun Sebuah Kerjasama ......42

BAB III : METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian...45
B. Pendekatan Penelitian ........46
C. Lokasi Penelitian.........46
D. Sumber Data................46
E. Metode Pengumpulan Data ....47
F. Metode Analisis Data .....49

BAB IV : LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Seting Sosial Desa Kalibuntu..........................................................................51
1. Asal Usul Nama Desa Kalibuntu..............................................................51
2. Kondisi Geografis Desa Kalibuntu. .........................................................52
12
3. Kondisi Demonografi Desa Kalibuntu .....................................................53
4. Pola Hidup Masyarakat Nelayan..............................................................54
a. Kondisi Sosial Budaya Desa Kalibuntu...................................................56
1) Kondisi Kemasyarakatan Desa Kalibuntu.........................................58
2) Kondisi Pendidikan Desa Kalibuntu.................................................59
3) Kondisi Ekonomi Desa Kalibuntu.....................................................62
b. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Kalibuntu............................................67
1) Sistem Kepercayaan Desa Kalibuntu................................................69
2) Sistem Upacara Keagamaan Desa Kalibuntu....................................71
B. Penyajian Hasil Penelitian..............................................................................74
1. Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan Buruh Nelayan di
Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo........................................................74
2. Sistem Kerja Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan Buruh Nelayan di
Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo........................................................86
3. Sistem Pembagian Hasil Yang Tidak Adil...................................................92
4. Solusi Alternatif.............................................................................................96

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................99
B. Saran-Saran ....100

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN



13
DAFTAR TABEL

TABEL I : 4.1 Luas Daerah Desa Kalibuntu..................................................52
TABEL II : 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dan Usia.............54
TABEL III : 4.3 Jumlah Sarana Pendidikan......................................................61
TABEL IV : 4.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Kalibuntu ........................64
TABEL V : 4.5 Jumlah Sarana Peribadatan.....................................................72















14
DAFTAR LAMPIRAN


1. Lembar Konsultasi
2. Daftar Istilah
3. Daftar Informan
4. Draft Interview Kepada Kepada Desa
5. Draft Interview Kepada Pemilik Perahu
6. Draft Interview Kepada Pemilik Modal
7. Draft Interview Kepada Buruh Nelayan
8. Dokumentasi Masyarakat Nelayan Kalibuntu Karaksaan Probolinggo
9. Peta Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo
10. Surat Pengantar Penelitian Bakesbang dan Linmas Kota Probolinggo
11. Surat Keterangan Untuk melakukan Penelitian
12. Surat Keterangan Kepala Desa Kalibuntu kraksaan Probolinggo
















15
Imilda Khotim 02210109, (BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU,
PEMILIK MODAL DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM
DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO), Fakultas Syari'ah
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Dosen Pembimbing : ROIBIN, M.HI

Kata Kunci : Bagi Hasil, Pemilik Perahu, Pemilik Modal, Buruh Nelayan
Sistem bagi hasil dalam sebuah usaha yang melibatkan berbagai komponen,
sangat mempengaruhi tingkat pendapatan yang bukan hanya berakibat pada
kesejahteraan yang berbeda, tapi juga pada rasa keadilan dalam perolehan ekonomi.
Ketidakadilan dalam sistem bagi hasil akan menjadi persoalan yang serius apabila
ternyata berseberangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Persoalan akan menjadi
semakin rumit bila sistem bagi hasil dinilai tidak memenuhi rasa keadilan terlebih
melampaui batas-batas yang dibenarkan oleh syariat Islam, dianggap sesuatu yang
biasa. Keadaan ini terjadi pada masyarakat nelayan Kalibuntu dalam sistem bagi
hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan. Kondisi inilah yang
mendorong penulis ingin mengetahui lebih jauh Pertama: Bagaimana pembagian
hasil usaha yang dilakukan oleh pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan.
Kedua:Bagaimana sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh
nelayan. Ketiga: Apakah terjadi sistem pembagian hasil yang tidak adil bila dilihat
dari perspektif Hukum Islam.
Untuk mengetahui permasalahan tersebut di atas, penulis memakai beberapa
metode yang dinilai relevan untuk menggali data, menganalisis dan menarik sebuah
kesimpulan dari persoalan tersebut. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan
kualitatif dan menggunakan literatur sebagai acuan dalam pembahasan serta
melakukan kunjungan langsung pada obyek yang diteliti, yakni masyarakat nelayan
di Desa Kalibuntu. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Dari kedua data ini penulis berusaha mengumpulkan
data-data yang dibutuhkan dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu
menggambarkan keadaan atau status fenomena. Penulis berusaha memecahkan
persoalan-persoalan yang ada dalam rumusan masalah dan menganalisis data-data
yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan sosiologis.
Dari penelitian yang penulis lakukan ditemukan hal-hal sebagai berikut
Pertama: Sistem bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan
tidak memenuhi asas-asas Syariat Islam, masyarakat nelayan Kalibuntu menganggap
sebagai tradisi sehingga tidak dianggap sebagai persoalan dan merasa tidak perlu
dipersoalkan. Kedua: Sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh
nelayan cenderung bersifat kapitalis yang banyak memihak pada kelompok borjuis
atau para pemodal dan kurang menguntungkan pada kelompok proletar atau nelayan
buruh. Ketiga: Sistem pembagian hasil tidak memenuhi rasa keadilan, baik pemilik
modal maupun pemilik perahu cenderung mengeksploitasi dan menguasai para
nelayan. Kecenderungan untuk menguasai ini menjadi semakin kuat karena ketidak
berdayaan kaum buruh yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan,
rendahnya taraf ekonomi dan pinjaman yang bersifat mengikat, tingkat pengetahuan
hukum (hukum islam dan hukum positif) yang rendah sehingga kehilangan power
terutama dalam memperoleh pembagian hak-haknya sebagai buruh.
16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai bangsa yang memiliki wilayah laut luas dan dataran yang subur
sudah semestinya Indonesia menjadi bangsa yang makmur. Menjadi tidak wajar
manakala kekayaan yang sedemikian besarnya ternyata tidak menyejahterakan.
Krisis moniter dan ekonomi pada tahun 1997 diyakini sebagai puncak gunung es atas
salah kelola negeri ini. Sebuah kehancuran negeri yang kaya adalah jika rakyatnya
miskin, tanahnya subur namun pangan sangat mahal.
1
Kelautan dan perikanan merupakan salah satu contoh bentuk salah kelola
yang ada di negeri ini. Berpuluh-puluh tahun perhatian terhadap sektor kelautan
dikatakan minus, akibat lebih lanjut laut dan ikan yang menjadi kekayaan negeri ini
terbengkalai. Ironisnya hanya dinikmati beberapa orang dan bangsa lain yang lebih
banyak meraup kenikmatan.
Kritik tajam dan arah pembangunan yang berorentasi kedaratan menjadi titik
pacu membangun dunia kelautan. Laut yang selama ini termarginalisasi, hanya di
jadikan tempat buang sampah, limbah mendapat perhatian baru.
2

Masyarakat di daerah perairan laut yang kenyang dengan kemiskinan, derita
keterbelakangan dan kekumuhan lingkungan mendapatkan injeksi untuk kebangkitan

1
Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan Dan Perubahan Sumber Daya Perikanaan
(Yogyakarta: LKiS, 2002), 1.



1
2
Ibid.3.
17
dunia baru. Masalah ini menjadi penting karena nelayan kecil (khususnya buruh)
adalah elemen masyarakat terbawah yang senantiasa menderita dan menjadi korban
dari keserakahan "Bandar besar".
Kegiatan di sektor perikanan tangkap ikan melibatkan banyak pihak
khususnya:
1. Pemilik perahu dan peralatan tangkapnya
2. Awak kapal atau nelayan buruh dan
3. Penyedia modal informal atau pemilik modal yang sekaligus sebagai pedagang
(perantara) ikan.
Tiga kategori sosial ini memainkan peran utama dalam kegiatan ekonomi nelayan.
3
Dalam masyarakat Jawa Timur khususnya di Desa Kalibuntu Kecamatan
Kraksaan Kabupaten Probolinggo, pemilik perahu dan alat tangkapnya disebut
Orenga (juragan), awak perahu atau buruh nelayan disebut Pandhiga, sedangkan
pemilik modal informal atau pedagang perantara disebut Pangambe'.
Pemimpin awak perahu atau buruh nelayan disebut pandhige. Sekalipun
sebagai pemimpin perahu, pandhige termasuk kategori buruh nelayan, hanya karena
memiliki pengetahuan kelautan dan kemampuan pemimpin yang lebih baik di
bandingkan dengan sesama nelayan buruh. Seorang nelayan buruh dapat dipercaya
atau naik statusnya menjadi pandhige, dengan kata lain pandhige adalah nelayan
buruh yang telah mengalami mobilitas vertikal.
Dalam hubungan kerja di perahu Slerek antara orenga dan buruh nelayan di
lingkungan nelayan desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo sebagai kasus. Kedua
pihak atau kategori sosial ini memainkan peran penting dalam kegiatan operasi

3
Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan (Yogyakarta:LKiS,2003), 27.
18
penangkapan. Mereka secara organisatoris terikat satu sama lain untuk melaksanakan
pekerjaan melaut, sebagai sebuah organisasi kerja (maksudnya institusi
penangkapan), hubungan antara keduanya (orenga dan pandhiga) didasarkan pada
norma-norma kolektif yang harus disepakati dan harus dipatuhi bersama.
4
Secara umum rekrutmen pandhiga dalam organisasi penangkapan dilakukan
dengan menggunakan pinjaman ikatan. Pinjaman ikatan ini sejenis dengan "uang
kontrak kerja". Sebagian atau keseluruhan dana pinjaman ikatan diperoleh orenga
dari panganbe', jika pandhiga bermaksud untuk pindah kerja (toron lakoh) ke
pemilik perahu yang lain maka ia harus melunasi terlebih dahulu pinjaman ikatannya
itu. Terjadinya pinjaman ikatan pada pangambe atau pemilik modal ini berawal dari
pemilik perahu atau orenga yang ingin membeli perahu, karena dana yang dimiliki
tidak cukup maka pemilik perahu meminjam uang pada pemilik modal dengan
kompensasi memotong hasil tangkapan sebelum dibagi tiga bagian atau yang biasa
disebut dengan sistem fee.
5
Pengambilan fee oleh pemilik modal ini akan terus
berlanjut hingga hutang-hutang tersebut dilunasi oleh pemilik perahu. Jika hutangnya
sudah lunas maka pengambilan fee diambil alih oleh pemilik perahu, sehingga
pemilik perahu mendapat dua keuntungan sekaligus.
Fenomena seperti inilah yang terjadi pada masyarakat nelayan Kalibuntu.
Kurang lebih sekitar 90% nelayan pemilik perahu dan nelayan buruh memiliki
pinjaman ikatan kepada pemilik modal atau pangambe, dan kompensasi yang
diterima pangambe dari pemberian pinjaman kepada nelayan adalah menjualkan
hasil tangkapan mereka. Dari hasil penjualan ikan per kg, pangambe atau pemilik

4
Bagong Suyatno, Upaya menyejahterakan Nelayan Jawa Timur, Meningkatkan Produktivitas atau
Deversifikasi Usaha? Harian Kompas (23-April-2003), 1.
5
Fee adalah sebuah keuntungan dengan sistem prosentase yang diperoleh dari laba transaksi jual beli
tangkapan ikan dengan jumlah yang sudah ditentukan oleh pemilik modal antara 15-20%.
19
modal mengambil fee sebagai kompensasi atas bunga pinjaman. Besarnya fee sangat
tergantung pada harga ikan di pasar, biasanya pengambilan fee sekitar 15-20 %.
Pangambe' tidak hanya sebagai penyedia modal kontan untuk pemilik perahu
tetapi juga bagi pandhiga, ketika menghadapi kesulitan keuangan karena kebutuhan
hidup yang mendadak. Umumnya pinjaman pandhiga kepada pangambe' digunakan
untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari saja. Pemutusan hubungan kerja di antara
kedua belah pihak bisa dilakukan jika nelayan buruh melunasi hutang-hutangnya
kepada pangambe' tersebut. Pinjaman ikatan seolah-olah menjadi "kewajiban untuk
diterima" oleh seorang pandhiga walaupun misalnya ia tidak membutuhkan
pinjaman, karena pinjaman ikatan itu merupakan jaminan kepastian bekerjanya
mereka terhadap pemilik perahu.
Adapun sistem bagi hasil yang diterapkan nelayan adalah sistem bagi hasil
tiga bagian (telon) setelah dipotong fee oleh pemilik modal, yakni 1 bagian untuk
pemilik perahu, dan 2 bagian untuk buruh nelayan (pandhiga). 2 bagian untuk buruh
nelayan ini masih dibagi lagi sesuai dengan jumlah pandhiga yang bekerja dan
spesifikasi kerja mereka diperahu. Bagian hasil yang diterima nelayan buruh itu
berupa ikan bukan uang.
6

Dengan sistem pembagian hasil tangkapan yang ada, sebenarnya hasil yang
diperoleh nelayan buruh tidaklah besar ditambah lagi dengan kerusakan mesin,
peralatan atau bagian perahu yang lain, biasanya orenga membebankan biaya
perbaikan tersebut pada hasil tangkapan yang diperoleh setelah diambil fee oleh
pangambe sebelum di bagi 3 bagian.

6
Ibid, 33.
20
Ketentuan ini semakin memperkecil nilai bagi hasil atau pendapatan yang
diperoleh buruh nelayan. Secara umum nelayan kurang puas dengan sistem bagi hasil
yang ada namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Jika perahu dalam beberapa hari
beroperasi tidak memperoleh hasil tangkapan maka buruh nelayan tidak
mendapatkan konpensasi upah dari pemilik perahu kecuali penambahan pinjaman
ikatan dan sebagainya.
Ancaman ketidakteraturan pendapatan nelayan buruh sangat besar, berbeda
dengan pekerjaan lain, kegiatan penangkapan merupakan pekerjaan spekulatif sifat
pendapatan yang teratur, walaupun tidak terlalu besar merupakan harapan umum
nelayan buruh.
Allah telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan
manusia didunia, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut Allah telah
mensyariatkan manusia untuk bekerja baik secara perorangan ataupun dengan
bekerja pada orang lain.
Dorongan agar manusia mencari karunia Tuhan (bekerja) dimuka bumi telah
banyak disebutkan dalam Al-quran salah satunya QS. Al-Baqoroh ayat 273.
7

. ) . (
Artinya: (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di
jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.


7
QS. al-Baqoroh (2), 273.
21
Dharb fi al-ardhi yang berarti berusaha di muka bumi memiliki padanan
kata dengan mudharabah yang menjadi salah satu term fiqh dalam sebuah konsep
kerja sama. Sangat mungkin kata mudharabah berasal dari frase dalam Al-quran
tersebut.
Mudharabah dalam terminologi hukum adalah kontrak dimana harta tertentu
atau stok (ras al-mal) diberikan oleh pemilik (rabb al-mal) kepada kelompok lain
untuk membentuk kerja sama bagi hasil dimana kedua kelompok tersebut akan
berbagi hasil keuntungan, kelompok lain berhak terhadap keuntungan sebagai upah
kerja sama karena mengelolah harta (mudharib). Kontrak ini adalah kerja sama bagi
hasil.
8

Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah
akad utama: al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzaraah dan al-
musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan
pertanian oleh beberapa bank Islam. Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara
dua belah pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak lainnya menyedikan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut

8
A.Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syari'ah) (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), 467.
22
akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
Konsep mudharabah sebagai salah satu bentuk kerja sama dalam sistem
perekonomian islam sangat menarik bila konsep ini dijadikan sebagai alat untuk
memotret sistem perekonomian, sistem perekonomian masyarakat khususnya dalam
bagi hasil antara buruh nelayan, pemilik perahu dan alat tangkapnya serta pemilik
modal di desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo.
Persoalan selanjutnya adalah mengapa masyarakat nelayan Kalibuntu yang
notabene keislamannya sangat kuat masih saja terjebak pada praktek-praktek
perekonomian yang tidak islami. Jawaban inilah yang ingin dicari dalam penelitian
ini.
Berdasarkan kenyataan di atas dengan ini disusun suatu rencana penelitian
empiries dengan tema "Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu Pemilik Modal Dan
Buruh Nelayan Menurut Hukum Islam Di Desa Kalibuntu Kraksaan
Probolinggo".


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari data dan fenomena yang secara singkat digambarkan dan
diuraikan dalam latar belakang masalah diatas maka peneliti merumuskannya sebagai
berukut:
1. Bagaimana pembagian hasil usaha yang dilakukan oleh pemilik perahu, pemilik
modal dan buruh nelayan?
23
2. Bagaimana sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh
nelayan?
3. Apakah terjadi sistem pembagian hasil yang tidak adil bila dilihat dari perspektif
Hukum Islam?
C. Definisi Operasional
Pemilik perahu (juragan) :adalah pemilik (orenga) dan pemimpin perahu.
9
Buruh nelayan : buruh adalah orang yang bekerja kepada orang lain atau badan
usaha dengan mendapat upah atau gaji. Nelayan adalah orang
yang mata pencaharian utama dan usaha menangkap ikan
dilaut.
10
Jadi buruh nelayan adalah angkatan kerja yang
menyediakan tenaga dan bekerja sebagai nelayan dengan
menerima upah.
Pemilik modal : adalah orang yang memiliki uang atau benda untuk berniaga
atau melepaskan uang yang dipergunakan untuk
menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaannya.
11

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lebih
jelas tentang:
1. Pelaksanaan bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan.
2. Sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan
3. Pembagian hasil usaha yang tidak adil bila dilihat dari perspektif hukum islam

9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Indonesia. (Jakarta: PT.Balai Pustaka,
1989).370.
10
Ibid.161.
11
Ibid.729
24
E. Kegunaan Penelitian
1. Menambah wawasan keilmuan khususnya dalam menyikapi praktek
perekonomian yang tidak Islami.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bagi hasil menurut hukum
Islam.
3. Sebagai sumbangan pemikiran dan sebagai informasi dalam mengembangkan
rangkaian penelitian lebih lanjut demi pengembangan keilmuan.
F. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini terdiri dari lima bab dan tiap-tiap bab masing-masing diuraikan
aspek-aspek yang berhubungan dengan pokok pembahasan, yaitu bagi hasil antara
pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan menurut hukum Islam di
desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, lebih lanjut tiap-tiap bab diperinci lagi
menjadi bagian-bagian yang lebih khusus dalam bentuk sub-sub, dengan cara ini
diharapkan para pembaca mempunyai gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang
karya tulis ini.
Uraian kelima bab ini merupakan suatu totalitas di mana antara bab yang
satu dengan bab yang lainnya tidak dapat dipisahkan, jika tidak akan mengurangi
isinya.
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, definisi operasional, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II : Kajian Pustaka dalam bab ini terdiri dari sub-sub bab. Diantaranya adalah
Penelitian terdahulu, Masyarakat nelayan, Konsep Islam tentang bagi hasil
dalam Usaha, Hak dan Kewajiban Pemilik Perahu Pemilik Modal dan
25
Buruh Nelayan dalam sebuah usaha bersama dan Syarat-syarat Membangun
Sebuah Kerja Sama.
Bab III : Membahas tentang metode penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi
tentang, metode pendekatan, jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data,
metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab IV : Merupakan pembahasan secara menyeluruh dari laporan penelitian, di sini
penulis akan memberikan laporan hasil penelitian secara lengkap tentang
gambaran umum obyek penelitian, penyajian data dan analisis data.
Bab V : Penutup, dalam bab terakhir ini penulis akan melengkapi laporan penelitian
ini dengan kesimpulan dan saran.
26







BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu
Sejauh yang penulis ketahui, penelitian ini bukan yang pertama, setidaknya
ada dua penelitian yang sudah dilakukan di Kalibuntu, Pertama: oleh Syamsul
Arifin
12
dengan judul Kecenderungan Masyarakat Nelayan dalam Memilih
Pendidikan Dasar Bagi Anak di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, 1993.
Kedua: oleh Yasirah
13
dengan judul Pengaruh Tingkat Pendapatan Masyarakat
Nelayan terhadap Pendidikan Anak di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo,
2002.

12
Syamsul Arifin, Kecenderungan Masyarakat Nelayan dalam Memilih Pendidikan Dasar Bagi Anak
di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel), 1993.
13
Yasirah, Pengaruh Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan terhadap Pendidikan Anak di Desa
Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, (Malang: UIN), 2002




11
27
Pada penelitian pertama sang peneliti lebih menekankan pada persoalan minat
serta kecenderungannya dalam menyekolahkan anak di tingkat sekolah dasar dengan
memperhatikan persoalan betapa pentingnya penentuan lembaga pendidikan dasar
karena hal itu merupakan peletak dasar pendidikan dalam penentuan karakter anak
demikian pula tidak ada jenjang setinggi apapun yang tidak melalui pendidikan dasar
kemudian dikaitkan dengan masalah pembangunan bangsa khususnya pembangunan
pedesaan.
Sedangkan penelitian kedua sang peneliti lebih menekankan pada tingkat
perekonomian orang tua serta dampaknya pada pendidikan anak. Aksentasi
kajiannya pada keterkaitan antara ekonomi dan pendidikan, di mana semakin tinggi
tingkat kesejahteraan orang tua semakin tinggi pula kesempatan untuk memberikan
pendidikan kepada anaknya pada jenjang yang lebih tinggi.
Ada beberapa buku yang juga membahas masalah nelayan. Kusnadi
14

misalnya, dalam bukunya berjudul Polemik Kemiskinan Nelayan, 2003 dalam buku
itu bersifat bunga rampai yang diambil dari berbagai tulisan yang menyoroti nelayan
dari segi ekonomi (kemiskinan) ada perdebatan panjang dalam melihat kemiskinan
nelayan satu pihak nelayan miskin akibat ulah-ulah para tengkulak atau pemilik
modal tapi ada yang membela bahwa tengkulak justru berjasa menggairahkan
ekonomi nelayan karena mereka meminjamkan uangnya ditengah sepinya kucuran
dana baik dari Bank maupun Pemerintah. Kesimpulannya buku tersebut memberikan
kesan bahwa mengentaskan kemiskinan bagi masyarakat nelayan ibarat
menegakkan benang basah dalam air laut yang bergelombang.

14
Kusnadi, Polemik Kemiskinan Nelayan, (Yogyakarta: Lkis2003), 38
28
Buku lain yang membahas masalah nelayan adalah ditulis oleh Mubyarto,
Loekman Soetrisno, dan Michael Dove
15
dengan judul Nelayan dan Kemiskinan,
1984 dalam buku tersebut banyak menyoroti tentang kebijakan pemerintah dalam
masalah pembangunan pedesaan yang kurang memperhatikan masyarakat nelayan
khususnya masalah pertanian dan jarang dikaitkan dengan pembangunan nelayan
yang justru hal itu juga merupakan alternatif lain suksesnya pembangunan desa.
Menurut Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove masyarakat nelayan,
sebuah masyarakat potensial yang sangat memungkinkan untuk di tingkatkan
kesejahteraannya melalui pembangunan masyarakat nelayan.
Buku lain berjudul "Pemberdayaan Masyarakat Nelayan" yang disusun oleh
tim LIPI, Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih dan
Sudiyono
16
dalam buku ini tak jauh berbeda dengan apa yang ditulis oleh Kusnadi
MA hanya saja beliau lebih memfokuskan penelitiannya pada konflik dan akar
kemiskinan nelayan.
Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih dan
Sudiyono merumuskan model pemberdayaan masyarakat nelayan yang berlandaskan
pertimbangan survival strategi, para peneliti ini juga melihat dari bentuk-bentuk
intervensi yang pernah dilakukan pada masyarakat nelayan bahwa, pada suatu
masyarakat sangat sulit untuk keluar dari kemiskinan apabila tanpa ada uluran tangan
dari pihak lain. Ini terjadi karena mereka sudah terjebak dalam lingkaran kemiskinan
yang hanya diterobos melalui bantuan pihak lain.

15
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan (Jakarta:CV.
Rajawali,1984), 3.
16
Tim LIPI, Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih dan Sudiyono
"Pemberdayaan Masyarakat Nelayan" (yogyakarta:L.Kis,2002).36.
29
Solusi alternatif yang ditawarkan oleh buku ini antara lain: langkah-langkah
yang strategis yang harus di tempuh, misalnya dengan mengurangi ketergantungan
nelayan terhadap tengkulak, adanya perlindungan terhadap nelayan lokal, dan
pengelolahan wilayah laut oleh nelayan lokal juga bermanfaat untuk mengamankan
wilayah laut dari peningkatan sumberdaya laut yang bersifat merusak. Langkat-
langkah tersebut dalam penerapannya tentu membutuhkan perlakuan yang mungkin
berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu langkah-langkah
tersebut lebih tepat juga di pahami sebagai guide line dalam upaya pemberdayaan
nelayan.
Baik pada penelitian pertama maupun pada penelitian kedua sama-sama
bicara tentang masyarakat nelayan dan pendidikan tidak ada yang membahas tentang
masyarakat nelayan dalam perspektif hukum. Demikian pula dari ketiga buku yang
membahas tentang masyarakat nelayan ketiganya sama-sama melihat masyarakat
nelayan dalam perspektif pembangunan ekonomi dengan segala derifosinya.
Disinilah letak perbedaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan para
peneliti sebelumnya, bahwa penulis mengkaji tentang pola hidup masyarakat nelayan
dari perspektif hukum Islam dengan pendekatan sosiologis yang memfokuskan
kajiannya pada Sistem Bagi Hasil antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan Buruh
Nelayan Menurut Hukum Islam di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo.
B. Masyarakat Nelayan
Pada umumnya masyarakat desa pesisir lebih merupakan masyarakat
tradisional dengan kondisi strata sosial ekonomi yang sangat rendah.
17
Pendidikan
yang dimiliki masyarakat pesisir secara umum lebih rendah di bandingkan dengan

17
Djoko Pramono, Budaya Bahar (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2005),16-17.
30
pendidikan yang di miliki oleh masyarakat non pesisir, sehingga masyarakat yang
tinggal di daerah pesisir khususnya masyarakat nelayan ini sering di kategorikan
sebagai masyarakat yang biasa bergelut dengan kemiskinan dan keterbelakangan.

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat nelayan rela bertarung
melawan benturan-benturan badai siang dan malam hari, hanya sekedar mencari
sesuap nasi yang bisa menghidupi keluarganya.
18
Permasalahan pokok yang ada pada
masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah pesisir adalah masih rendahnya
tingkat pendidikan, pengetahuan kelautan, pemilikan modal serta manajemen usaha
perikanan yang di punyai.
Lemahnya kondisi kehidupan masyarakat nelayan yang berada di bawah
derajat hidup layak ini menjadi problem sosial dan dapat mengurangi santernya
proses pembangunan nasional. Melihat kondisi semacam ini, pemerintah tidak
tinggal diam dan sengaja mengadakan perbaikan peralatan penangkapan guna
meningkatkat hasil tangkapan agar apa yang seharusnya dicapai oleh nelayan itu bisa
benar-benar tercermin sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3
tentang kesejahteraan sosial yang berbunyi:
19
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

Dan dalam GBHN 1993-1998 juga menyebutkan sebagai berikut:
Pengusahaan potensi kelautan menjadi berbagai kegiatan ekonomi perlu di pacu
melalui peningkatan investasi, khususnya di kawasan timur Indonesia, dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan hidup agar mampu memberikan sumbangan lebih besar pada
upaya pembangunan nasional. Sarana dan prasarana kelautan terus ditingkatkan

18
M.Khalil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa (Surabaya:Usaha Nasional Indonesia,
1984),149.
19
Harun Al-Rasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah Oleh MPR (Jakarta :Universitas
Indonesia Press, 2002),30.
31
agar memenuhi fungsinya sebagai penghubung, pemersatu bangsa, dan lahan
penghidupan rakyat serta lebih berperan dalam aspek kehidupan bangsa

Besarnya perhatian pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan terhadap
masyarakat nelayan ini patut diacungi jempol walaupun hal ini masih jauh dari
harapan, karena sekitar dari 65% masyarakat nelayan Indonesia masih tetap
terbelenggu oleh kemiskinan.
20
Untuk mengetahui gambaran masyarakat nelayan secara lanjut penulis
paparkan sebagai berikut:
1. Pengertian Masyarakat Nelayan
Masyarakat nelayan merupakan paduan dari dua kata masyarakat dan
nelayan, agar lebih jelas penulis akan memberikan pengertian dari masing-masing
kata tersebut kemudian arti secara keseluruhan
a. Pengertian Masyarakat
Pengertian masyarakat yang dalam istilah bahasa Inggris disebut Society
(berasal dari kata latin, socius yang berarti kawan). Masyarakat sendiri berasal dari
akar kata Arab syaraka yang artinya ikut serta atau berperanserta.
21
Jadi masyarakat
adalah kumpulan manusia yang saling berinteraksi satu sama lainnya.
22

Menurut Hasan Sadly M.A. dalam bukunya yang berjudul sosiologi untuk
masyarakat Indonesiamasyarakat adalah suatu golongan besar atau kecil
yang terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya
bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain.
23
Kemudian menurut Prof.M.M. Djojodigoena S.H. masyarakat mempunyai
arti sempit dan arti luas. Arti sempit masyarakat adalah terdiri dari satu
golongan saja, sedang dalam arti luas masyarakat adalah kebulatan dari

20
Op.Cit Kusnadi, 08-09.
21
kata arab masyarakat berarti saling bergaul sedang dalam istilah Bhs Arab untuk masyarakat
adalah mujtam
22
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta:Rineka Cipta, 1996),119-120
23
Hassan Sadly , Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (. Jakarta:PT. Pembangunan,1980),31
24
Khalil Mansyur Op Cit,21
32
semua perhubungan yang mungkin dalam msyarakat dan meliputi semua
golongan.
24
Sejalan dengan pendapat diatas menurut Koentjaraningrat dalam Ilmu sosial
Dasar masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berinteraksi yang
memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya saling keterikatan
untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat adalah tempat kita bisa melihat
dengan jelas proyeksi individu sebagai (input) bagi keluarga, keluarga
sebagai temppat prosesnya, dan masyarakat adalah tempat kita melihat hasil
(output) dari proyeksi tersebut.
25

b. Pengertian Nelayan
Nelayan di dalam Ensiklopedia Indonesia digolongkan sebagai pekerja, yaitu
orang-orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara
langsung maupun tidak langsung sebagai mata pencahariannya.
26
Dalam kamus besar
Indonesia Pengertian nelayan adalah orang yang mata pencaharian utama dan usaha
menangkap ikan dilaut.
27

Sedangkan dalam bukunya yang berjudul sosiologi Masyarakat Kota dan
desa M. Khalil Mansyur mengatakan bahwa masyarakat nelayan dalam hal ini
bukan berarti mereka yang dalam mengatur hidupnya hanya mencari ikan di laut
untuk menghidupi keluarganya akan tetapi juga orang-orang yang integral dalam
lingkungan itu.
28
Dari beberapa definisi masyarakat dan definisi nelayan yang telah disebutkan
diatas dapat di tarik suatu pengertian bahwa:
a. Masyarakat nelayan adalah kelompok manusia yang mempunyai mata pencaharian
menangkap ikan dilaut.

25
Darmansyah dkk, Ilmu Sosial Dasar(Kumpulan Essei (Surabaya:Usaha Nasional,1986), 80
26
Ensiklopedia Indonesia 1983, ichtiar baru-van haevedan Elsevier publishing projects, Jakarta, 133
27
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Indonesia (Jakarta: PT.Balai Pustaka,
1989),612.
28
M.Khalil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa (Surabaya:Usaha Nasional
Indonesia,),148.
33
b. Masyarakat nelayan bukan hanya mereka yang mengatur kehidupannya hanya
bekerja dan mencari di laut, melainkan mereka yang juga tinggal disekitar pantai
walaupun mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam dan berdagang.
Jadi pengertian masyarakat nelayan secara luas adalah sekelompok manusia
yang mempunyai mata pencaharian pokok mencari ikan dilaut dan hidup di daerah
pantai, bukan mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, walaupun tidak menutup
kemungkinan mereka juga mencari ikan di laut karena mereka bukan termasuk
komunitas orang yang memiliki ikatan budaya masyarakat pantai.
2. Mata Pencaharian Nelayan
Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat dan tidak diragukan
lagi, mereka yang menjadi nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan yang lebih
mudah, sesuai kemampuan yang dimiliki. Keterampilan sebagai nelayan bersifat
amat sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari orang tua mereka sejak
mereka masih kanak-kanak. Dan untuk mengikuti perkembangan zaman yang
semakin modern ini masyarakat nelayan dituntut untuk semakin lihai dan cekatan
dalam menagkap ikan, dengan cara memperbaiki peralatan, perahu-perahu dan jaring
yang digunakan. Karena dalam masa-masa yang akan datang perikanan tentu akan
lebih berkembang lagi, sehingga kekayaan laut yang merupakan sumber makanan
manusia yang sampai saat ini masih belum banyak di eksplorasi. Potensi laut
merupakan sumber kekayaan alam yang tidak akan pernah habis bila manusianya
memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan bersih dari angkuh dan keserakahan.
Masyarakat petani yang mata pencaharian pokoknya adalah bercocok tanam
dalam menagkap ikan dilakukan hanya sebagai mata pencaharian tambahan, akan
34
tetapi sebaliknya masyarakat nelayan mencari ikan adalah sebagai mata pencaharian
utama disamping ada juga yang bertani ataupun berladang, dan ada pula yang mata
pencahariannya hanya sebagai buruh nelayan, misalnya membuat ikan asin,
membetulkan jaring atau slerek dan sebagainya, yang mana hal ini lebih dominan
dikerjakan oleh kaum perempuan atau istri dan anak-anak para nelayan itu.
Para nelayan dalam hal operasional kerjanya sangat di tentukan oleh
kecanggihan alat yang mereka miliki, ada yang hanya berlayar dekat menyusuri
pantai dan ada pula yang sampai kelaut lepas bahkan tak jarang mereka melakukan
Andhun.
29
Menurut para ahli lebih dari 50% dari ikan di seluruh dunia dalam
kawanan sampai beribu-ribu jumlahnya pada jarak antara 10-30 km dari pantai.
Sedangkan jam kerja orang-orang nelayan tidak terikat oleh waktu bisa siang, sore,
dan malam hari, dan untuk pemberangkatannya kelaut yang dituju banyak terikat
oleh pasang surutnya air, begitu juga dengan hasil penangkapan atau perolehan ikan
sangat tergantung dengan iklim dan pergantian musim. Namun pada masing-masing
daerah memiliki waktu-waktu tertentu kapan perolehan ikan itu banyak dan para
nelayan sudah tahu serta hapal apa yang disenangi ikan, cuaca serta suhu yang
bagaimana yang banyak di gemari ikan, pengetahuan para nelayan ini tidak
berangkat dari pengetahuan teoritis melainkan dari pengetahuan empiris.
3. Peralatan dan Perlengkapan Menangkap Ikan
Untuk meningkatkan kualitas hidupnya masyarakat nelayan banyak
bergantung pada perkembangan tekhnologi, dalam menangkap ikan para nelayan
tidak hanya membutuhkan alat seperti kail, jala, harpun dan sebagainya akan tetapi

29
Andhun pindah kerja ke tempat lain, karena di tempat itu dikabarkan ada kemurahan laut atau para
nelayan di sana mudah mendapatkan hasil tangkapan ikan. Ketika hasil tangkapan ikan berkurang,
para nelayan itu kembali ke daerah asal, Kalibuntu
35
mereka juga membutuhkan perahu dan segala peralatannya, misalnya seperti kardan
sebagai alat untuk memberi gerak lincah dalam memburu ikan, handytalky untuk
saling kontak dimana ikan berkerumun, kulkas box untuk menyimpan dan
mengawetkan ikan. Jika perahu yang digunakan adalah perahu kecil maka hasil
tangkapannya juga kecil begitu juga sebaliknya.
Di Indonesia, nelayan-nelayan kecil menghadapi kesulitan karena perahu-
perahu mereka sangat kecil, sehingga mereka tidak dapat berlayar jauh kelautan
lepas. Sementara di daerah yang sudah maju mereka mempergunakan peralatan yang
lebih lengkap dan modern, namun tidak semua nelayan memilikinya karena faktor
harga yang tidak bisa dijangkau. Dampak dari ketidakmerataan sarana yang dimiliki
para nelayan ini menjadikan yang kecil semakin tersudut sehingga alternatif yang
mereka ambil adalah menjadi buruh pada perahu yang memiliki peralatan yang lebih
modern. Untuk meringankan beban mereka yang menjadi buruh dibutuhkan pihak
lain untuk menyelesaikannya diantaranya:
a. Peranan KUD
KUD merupakan suatu wadah yang telah dirancang dengan baik untuk
memberi bantuan kepada nelayan di dalam upaya mereka untuk mengembangkan
kegiatannya.
30
Antara lain dalam bentuk kredit peralatan nelayan seperti mesin motor
dan jaring. Akan tetapi dalam kenyataanya program yang demikian belum pernah
terjadi. Keanggotaannya sementara ini hanya terbatas bagi pemilik perahu atau kapal.
Sedangkan buruh nelayan atau nelayan kecil yang merupakan bagian besar dari

30
Mubiyarto, Loekman Soetrisno, Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan (Jakarta:C.V.
Rajawali,1984), 48.
36
nelayan di desa ini tidak mempunyai wadah yang bisa memberikan kemungkinan
meningkatkan taraf hidupnya.
Bagi KUD sendiri mungkin merupakan suatu dilema karena keterbatasan
modal yang mereka miliki. Sehingga syarat-syarat pemberian pinjaman mereka
utamakan berupa kewajiban-kewajiban memberikan jaminan bagi permohonan
kredit. Situasi semacam itu telah menimbulkan perkembangan baru dalam
masyarakat, sehingga bisa dilihat siklus kehidupan mereka selama satu tahun jelas
tampak bahwa uang yang mereka gunakan untuk membeli peralatan rumah tangga
dengan demikian banyak kehilangan arti. Banyak diantara mereka harus menjual
barang-barang itu kembali dengan setengah harga beli sewaktu tekanan ekonomi
menjadi demikian berat pada musim hujan. Ada juga yang menggadaikan, yang
berarti tidak mampu membebaskan diri dari pola hidup yang berat seperti ini.
b. Peranan TPI (tempat pelelangan ikan)
Ada beberapa fungsi beberapa fungsi TPI yang dirasakan berbeda-beda oleh
masing-masing anggota masyarakat. Tujuan untuk mengadakan lembaga tersebut
cukup baik yaitu membantu nelayan dalam memasarkan hasil tangkapan mereka,
namun kenyataannya hal itu tidak memberikan rasa untung bagi semua orang.
Sebagian orang mulai mengeluh bahwa walaupun ikan hasil tangkapan mereka dijual
langsung dijual langsung kepara pedagang, namun kalau diketahui pejabat TPI akan
didatangi dan dimintakan wajib pajak penjualan sebagaimana layaknya bila mereka
menjual melalui TPI. Mereka mengeluh tangkapan mereka itu terlalu sedikit
sehingga keuntungan mereka sangat kecil setelah dipotong retribusi.
31

31
Mubyarto Ibid.49
37
Sungguhpun demikian TPI memegang peranan sangat penting di dalam
membantu pemasaran hasil perikanan. Terutama bila kail ikan terlalu banyak tentu
penjualan lebih teratur dan cepat dibandingkan bila mereka menjual sendiri-sendiri.
Kerugiannya ialah pada saat hasil tangkapan mereka sedang baik seluruhnya, mereka
tidak bisa menetapkan harga sendiri untuk itu. Harga pelelangan tergantung dari
harga pasar dan kerugian juga bisa terjadi bila ada permainan diantara juru lelang dan
para pedagang. Keuntungan lain adalah TPI bisa membantu mengarahkan kehidupan
nelayan dengan kewajiban simpanan (saving) untuk tiap penjualan, hanya saja hal ini
tentu tergantung bagaimana kebijaksanaan TPI untuk mengarahkan agar simpanan
itu bermanfaat lagi bagi para nelayan.
C. Konsep Islam Tentang Bagi Hasil Usaha
1. Pengertian Bagi Hasil
Pengertian bagi hasil dalam syariat islam di tuangkan dengan istilah
diantaranya :
a. Mudharabah
b. Murabahah
c. Hiwalah
d. Syirkah
Untuk lebih jelasnya maka perlu di ketahui dari pengertian istilah tersebut:
1). Mudharabah
Mudharabah adalah salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal dan
seseorang yang ahli dalam berdagang, kata mudharabah berasal dari kata dharb
38
berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.
32

Secara teknis Al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi dalam kesepakatan yang di tuangkan dalam kontrak, apabila terdapat kerugian
dalam perdagangan di tanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian pengelola.
Mahmud Muhammad Bablily mendefinisikan kata mudharabah berasal dari
kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu pergi untuk berdagang sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. Al-Muzammil:20.
33

Sedangkan Ulama Fiqh mendefinisikan mudharabah atau qiradl adalah
pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk di
perdagangkan, dan keuntungan dagang itu di bagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan tersebut, kerugian ini di tanggung
sepenuhnya oleh pemilik modal.
34
Dalam istilah lain Mudharabah bisa di sebut juga sebagai qiradl, muqaradhah,
dan muamalah. Adapun yang di maksud dalam pengertian syarak mudharabah adalah
kesepakatan antara dua belah pihak dalam mengadakan kerja sama perdagangan,
yakni satu pihak menyerahkan sejumlah kekayaan tertentu kepada pihak yang lain
sebagai modal, sedang pihak lain menyerahkan tenaganya sebagai andil. Keuntungan

32
M. Syafii antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktek (Jakarta:Gema Insani Press,2001), 95.
33
Mahmud Muhammad Bablily, Etika Berbisnis Studi Konsep Perekonomian Menurut Al-Quran
Dan As-Sunnah (Solo:CV. Ramadhani,1990),138.
34
Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve,2001),1196-1197
39
dan kerugian bagi keduanya di bagi sesuai atau menurut perjanjian yang dilakukan
pada waktu aqad.
35

Hukum qiradl ini adalah boleh, asal atas dasar rela sama rela antara pemilik
modal dengan si pelaku, dalam pembagian keuntungan separoh, sepertiga, atau
seperempatnya atau kurang dari itu. Sedangkan qiradl yang tidak sah adalah yang
tidak jelas pembagian keuntungannya.
- Landasan syariah
Tidak ada indikasi yang jelas atau tegas dalam Al-Quran maupun sunnah
namun karena mudharabah merupakan kegiatan yang bermanfaat dan
menguntungkan sesuai dengan ajaran pokok syariah maka tetap dipertahankan
dalam ekonomi islam.
36
Mudharabah lebih mencerminkan pada anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini:
i. Al-Quran
QS. Al-Muzammil:20.
37







35
Op.Cit Mahmud Muhammad Bablily,139.
36
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995),394.
37
QS. al-Muzammil (73):20.
40
"Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang)
kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan
(demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah
menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali
tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia memberi keringanan
kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-
orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-
orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang
kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah
sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah
ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS. Al-Muzammil:20).

Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surat al-muzammil:20
adalah adanya kata Yadribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti
melakukan sesuatu perjalanan usaha.
.

Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(QS. Al-Jumuah:10).
38

.
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu Telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'arilharam dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana

QS. al-Jumuah (62):10.
41
yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat. (QS. Al-Baqarah:198).
39

Baik surat Al-Baqarah:198 maupun surat Al-Jumuah:10 sama-sama mendorong
kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha

ii. Hadits
) :

( .
Di riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib
jika memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar
dananya ttidak di bawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau
membeli ternak, jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung
jawab atas dana tersebut. Di sampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah
SAW, dan Rasulullahpun membolehkannya. (HR Thabrani).

)
.(

Dari Shahih bin Shuhaib r.a.bahwa Rasulullah SAW bersabda tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkatan. Jual-beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah
bukan untuk dijual (HR Ibnu Majah)

a). Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
40
- Muhdarabah muthlaqah yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah
bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat
luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.

39
QS. al-Baqarah (2):198.
40
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995),
382

42
Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh sering di contohkan dengan ungkapan
ifal ma syita (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang
memberikan kekuasaan sangat besar.
- Mudharabah muqayyadah atau di sebut juga dengan istilah restricted mudharabah
atau specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah si
mudharib di batasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya
pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal
dalam memasuki jenis dunia usaha.
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mudharabah adalah
suatu bentuk kerja sama dalam bidang perdagangan antara kedua belah pihak, yang
satu pihak menyediakan modal dan pihak lain sebagai pekerja sedang keuntungan
hasil usaha besarnya disesuaikan dengan kesepakatan pada waktu perjanjian.
b). Syarat-Syarat Mudharabah
1. Modal Meliputi
a. modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, jika modal dalam bentuk barang
maka harus di hargakan semasa dalam uang yang sebesar atau sejenis.
b. modal harus berbentuk tunai bukan piutang
c. modal harus diserahkan kepada mudharib untuk memungkinkan melakukan usaha.
2. Keuntungan
a. pembagian keuntungan harus dinyatakan prosentase dari keuntungan yang
mungkin di hasilkan nanti
b. kesepakatan rasio nanti harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam
kontrak.
43
c. pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan
seluruh atau sebagian modal kepada pemilik.
41
3. Mudharabah ini bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana
(pekerja) untuk berdagang di negeri tetangga atau berdagag pada waktu tertentu,
atau bermuamalah pada orang-orang tertentu dengan syarat-syarat lain yang
sejenis.
42
2). Murabahah
Murabahah adalah merupakan bagian dari bentuk jual-beli yang bersifat
amanah, definisi murabahah secara fiqh adalah aqad jual beli atas barang tertentu,
dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang yang akan di beli termasuk harga
pembelian dan keuntungan yang akan diambil.
43
Dalam murabahah ini penjual harus
memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan
sebagai tambahannya.
- Al-Quran
Dalam QS. Al-Baqarah:275. Allah berfirman:
44


.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah

41
Ibid,393
42
Sayyid Sabiq, Tarjamah Fiqih Sunnah XIII (Bandung :Pustaka, 1997),87.
43
Adhiwarman A. Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer (Jakarta:Gema Insani
Press,2001),86.
44
QS. al-Baqarah (2):275.
44
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-
Baqarah:275)
45

a.Syarat-syarat murabahah
Syarat-syarat murabahah menurut antonio adalah:
1. penjual memberi tahu biaya jual kepada nasabah.
2. kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang di tetapkan.
3. kontrak harus bebas dari riba.
4. penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian.
46

5. penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
Secara prinsip jika masyarakat dalam 1,2 atau 5 tidak dipenuhi, maka pembeli
memiliki pilihan:
1. melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
2. kembali kepada penjual dan menyetakan ketidak setujuan atas barang yang
dijual.
3. membatalkan kontrak.
Pada bank syariah murabahah seringkali di lakukan dalam bentuk kredit atau
yang di sebut al-bai bitsaman, beberapa bank menggunakan istilah arbaun sebagai
kata lain uang muka. Dalam yurisprudensi Islam arbaun adalah jumlah uang yang

45
QS. al-Baqarah (2):275.
46
ibid.102
45
dibayar di muka kepada penjual. Dalam prakteknya murabahah dapat dilakukan
langsung oleh si penjual dan si pembeli tanpa melalui pesanan.
Akan tetapi murabahah dapat pula dilakukan dengan cara melakukan
pemesanan terlebih dahulu. Misalnya, barang tersebut belum ada pada saat
pemesanan, maka si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai dengan
spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada si pemesan. Dalam murabahah, melalui
pemesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah uang tanda
jadi ketika ijab qabul. Hal ini sekedar untuk menunjukkan bukti keseriusan si
pembeli.
3). Hiwalah
Al-hawalah adalah suatu cara memindahkan tanggung jawab penyelesaian
utang dari pihak yang berhutang yang tidak sanggup lagi membayarkan hutangnya
kepada orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih, sebagai contoh
A mempunyai utang sebesar 10.000,- kepada B dan C mempunyai hutang pada A.
Karena A pailit maka tanggung jawab penyelesaian hutang A di ambil alih
sepenuhnya oleh C, sehingga hutang piutang tersebut menjadi urusan antara B dan
C.
47

Dalam Fiqih islam di sebutkan bahwa hiwalah adalah memindahkan hutang
dari tanggungan seseorang kepada orang lain. Sabda Rasulullah SAW
orang yang mampu membayar hutang, haram atasnya melalaikan utangnya, maka
apabila salah seorang di antara kami memindahkan utangnya kepada orang lain

47
M. Syafii antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktek (Jakarta:Gema Insani Press,2001),126
46
hendaklah di terima pemindahan itu, asal yang lain itu mampu membayar Riwayat
Ahmad dan Baihaqi.
48
- Landasan Syariah
Hiwalah di bolehkan berdasarkan sunnah dan ijma
- Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
) (
Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika
salah seorang dari kamu diikutkan (di-hiwalah-kan) kepada orang yang
mampu/kaya maka terimalah hiwalah itu

Pada hadits tersebut Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang
kaya/mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih
kepada orang yang di hiwalahkan (muhalalaih). Dengan demikian haknya terpenuhi,
sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hiwalah dalam hadits
tersebut nenunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal)
menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah untuk
menunjukkan sunnah, jadi sunnah hukumnya menerima hiwalah bagi muhal.
Ijma
Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah di bolehkan pada hutang yang
tidak berbentuk barang atau benda karena hiwalah adalah perpindahan hutang. Oleh
karena itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.
49

48
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Jakarta:At-thariyah,1999),298
49
Ibid. 304
47
a. Rukun Hiwalah
1. Muhil (orang yang berutang dan berpiutang)
50
2. Muhtal (orang yang berpiutang)
3. Muhal alaihi (orang yang berutang)
4. Utang muhil kepada muhtal
5. Utang muhal alaihi kepada muhil
6. Sighar (akad)
b. Syarat-syarat hiwalah
Madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafii berpendapat bahwa perbuatan
hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak
pertama, kedua, dan ketiga, serta yang berkaitan dengan hutang itu sendiri. Syarat
yang diperlukan oleh pihak pertama itu sendiri adalah
a. Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliqh dan
berakal. b. Adanya pernyataan persetujuan (rela) jika pihak pertama di paksa untuk
melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.
Syarat yang diperlukan bagi pihak kedua. Yang di perlukan dari pihak kedua
adalah: a. cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baliqh dan berakal, sebagaimana
pihak pertama. b. Madzhab Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki, dan Syafii
mensyaratkan adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang
melakukan hiwalah.
Syarat yang di perlukan oleh pihak ketiga a. Cakap melakukan tindakan
hukum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat pada kedua pihak sebelumnya. b.
Madzhab Hanafi mensyaratkan adanya persetujuan dari pihak ketiga, alasan Hanafi

50
Op. Cit Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 299
48
karena hiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban
kepada pihak ketiga untuk membayar hutang kepada pihak kedua, sedangkan
kewajiban membayar hutang baru dapat di bebankan kepadanya apabila ia sendiri
yang berutang kepada pihak kedua, karena itu kewajiban tersebut hanya dapat
dibebankan kepadanya jika ia menyetujui hiwalah tersebut.
c. Manfaat Hiwalah
Seperti di uraikan diatas, akad hiwalah dapat memberikan banyak sekali
manfaat dan keuntungan diantaranya:
1. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan.
4). Syirkah
Syirkah bisa juga di sebut syarikah, dan secara lughawi sama artinya dengan
ikhthilath. Ikhtilath berarti bercampur, sedangkan menurut istilah berarti
bercampurnya harta seseorang dengan orang lain sehingga tidak dapat di bedakan
antara satu dengan yang lainnya.
51
Menurut ulama Hanafi syirkah adalah akad antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
52
Sedangkan menurut Afzalur Rahman
dalam bukunya Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV mengatakan bahwa, syirkah
menurut arti asalnya merupakan penghubung antara dua tanah atau lebih, di mana
sifat dari dua tanah yang dihubungkan tersebut sulit dibedakan satu dengan lainnya.
Menurut bahasa hukum, kata itu berarti berhubungnya dua orang atau lebih dalam

51
Moh. Zuhri, Dipl, Tafl, Terjemahan Fiqh Empat Madzhab IV (Semarang: CV. As-Syifa,
1994),116
52
Sayyid Syabiq, Tarjamah Fiqih Sunnah XIII( Bandung:Pustaka,1997 ),174
49
satu kepentingan. Namun demikian kata syirkah di perluas penggunaannya dalam
kontrak, karena kontrak itulah yang menyebabkan terjadinya hubungan.
53
Menurut Sudarsono syirkah menurut bahasa adalah bercampur atau bersekutu.
Sedangkan menurut istilah adalah akad perjanjian yang menetapkan adanya hak
milik bersama antara dua orang atau lebih.
54
Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa syirkah itu
merupakan gabungan modal antara dua orang atau lebih untuk membiayai suatu
usaha dan keuntungannya dibagi menurut modal masing-masing dan jika usaha
tersebut mengalami kerugian maka bebannya di tanggung menurut modal masing-
masing.
1. Dasar Hukum Syirkah
Syirkah dalam Islam dilaksanakan berdasarkan Al-Quran, sunnah, ijma, dan
ulama. Berikut ini akan di paparkan beberapa ayat dan hadits yang dijadikan sebagai
dasar melaksanakan syirkah:
Dalam Surat Shaad:24 Allah Berfirman:
55


"Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim
kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat. (QS. Shaad:24)


53
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV(Yogyakarta: Dhana Bhakti Waqaf,1999),364
54
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukukm Islam (Jakarta:Rineka Cipta,1996),444.
55
QS. Shaad (38):24.
50
Manusia mempunyai kepentingan, kepentingan satu dapat terpenuhi secara
individual, dan terkadang harus dikerjakan secara bersama-sama, terutama sekali
dalam hal-hal untuk mencapai tujuan tertentu. Kerja sama ini dilakukan tentunya
dengan orang lain yang mempunyai kepentingan atau tujuan yang sama pula.
Manusia yang mempunyai kepentingan bersama ini secara bersama-sama
memperjuangkan suatu tujuan tertentu secara bersama-sama pula, dalam hubungan
inilah mereka mendirikan serikat usaha, yaitu dengan cara berserikat dalam modal
melalui pemilik saham dari serikat usaha itu. Kemudian hasil dari usaha bersama itu
di bagi sesuai hasil keuntungan dan besarnya modal masing-masing. Begitu juga
sebaliknya jika terdapat kerugian maka hal itu juga di tanggung bersama dengan
perhitungan sesuai modal yang disertakan.
Dengan adanya syirkah dapat membentuk rasa saling tolong-menolong antara
sesama sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah:2.
56



.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah

56
QS. Al-Maidah (5) :2
51
haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.(QS. Al-Maidah:2)

Sebagai makhluk sosial, manusia saling membutuhkan satu dengan yang
lainnya.
Dalam As-Sunnah juga di sebutkan tentang syirkah diantaranya:
) (
Allah yang Maha Agung berfirman:aku (Allah) adalah pihak ketiga dari
dua orang yang berkongsi selama yang satunya tidak menghianati yang lain.
Apabila salah satunya menghianati yang lainnya, aku keluar dari dua orang itu.
(Riwayar Abu Daud).

Pengertian dari hadits diatas adalah Allah memberi berkah dalam harta
syirkah serta memberi barokah terhadap setiap transaksi dari perserikatan tang
dilakukan dengan baik dan benar.
2. Syarat-syarat Syirkah
Dalam syirkah ditentukan syarat-syarat yang harus di penuhi agar syirkah
menjadi sah, syarat tersebut terbagi dalam dua golongan yaitu:
a). Syarat bagi pihak yang mengadakan perjanjian
Orang yang berakal sehat
57

Baliqh

57
Chairun Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta:Sinar Grafika,1994),73
52
Berlaku dengan kehendak sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain
(merdeka)
b). Syarat bagi barang atau modal yang disetorkan dalam syirkah hendaklah
Barang yang dapat dihargai atau dinilai dengan uang lazimnya dinyatakan
dengan bentuk uang.
Modal yang diserahkan oleh masing-masing anggota dijadikan satu menjadi
harta syirkah dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal
tersebut.
58

3. Bentuk-Bentuk Syirkah
Ulama fiqh membagi syirkah dalam dua bentuk yaitu syirkah Amla atau
kerja sama dalam kepemilikan, syirkatul amla adalah suatu barang di miliki lebih
dari satu orang tanpa akad, dan syirkah uqud atau kerjasama dalam kontrak, syirkah
uqud adalah dua orang atau lebih melalukan akad untuk bergabung dalam suatu
kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan atau kerugian akan di tanggung
bersama.
59
Dalam syirkah amla ini tebagi dalam dua bagian yaitu syirkah al-milk
jabariyah (terpaksa) dan syirkah al-milk ikhtiyariyah (sukarela) namun dalam hal ini
tidak akan di bahas lebih lanjut mengenai syirkah amla, karena syirkah tersebut pada
dasarnya adalah kepemilikan bersama sehingga tidak dapat dianggap kerja sama
(partnership) dalam artian yang tegas kerena ini terjadi bukan dengan persetujuan
bersama untuk berbagi hasil dan resiko, akan tetapi akan di bahas lebih jauh
mengenai syirkatul uqud . secara umum para ulama membagi syirkah al-uqud

58
Ibid. 76
59
Sayyid Sabiq, Tarjamah Fiqih Sunnah XIII (Bandung :Pustaka, 1997),176
53
dalam empat jenis yaitu:1. Syirkah al-inan, 2. Syirkah Mufawadah, 3. Syirkah
Abdan, 4. Syirkah Al-Wujuh.
Untuk lebih rincinya penulis akan menjelaskan tentang macam-macam syirkah uqud
antara lain:
a. Syirkah Al-Inan ini adalah bentuk kerja sama bisnis antara dua pihak atau lebih,
dimana keduanya adalah sebagai pemilik modal dan sekaligus sebagai pekerja.
Bentuk kerja sama seperti ini hasil yang diperoleh di bagi sesuai dengan rasio
mutualisti yang disetujui, sebaliknya apabila terdapat kerugian maka hendaknya
mereka sama-sama menerima resiko kerugian.
b. Bentuk kedua dari syirkah adalah syirkah Al-mufawadah yang artinya bersekutu
dua orang atau lebih untuk melakukan kerja sama dalam suatu urusan. Bentuk
kerja sama semacam ini mengharuskan pembagian hasil yang jelas dan harus di
setujui pada saat pertama kali melakukan kesepakatan. Jika terjadi kerugian
maka kerugian tersebut di tanggung oleh pemilik modal sedangkan para pekerja
dan pelaksana hanya menderita kerugian kerja dan waktu.
c. Syirkah Al-Wujuh adalah bentuk kerja sama yang tanpa permodalan, dan yang
ada hanyalah berpegang kepada nama baik mereka dan kepercayaan para
pedagang terhadap mereka dengan catatan keuntungan untuk mereka. Syirkah ini
adalah syirkah tanggung jawab tanpa kerjasama dan modal.
60

d. Syirkah Abdan ialah kerja sama dua orang atau lebih yang didasarkan atas
keahlian dan kerja mereka, baik itu berupa fisik maupun intelektual. Dalam kerja
sama ini tidak ada modal dari kedua belah pihak, dengan kata lain ini adalah
asosiasi para pekerja yang bertujuan untuk menghasilkan produksi bersama,

60
Ibid, 178
54
mereka bekerja sama untuk mendapatkan hasil sesuai dengan kesepakatan yang
dilakukan bersama.
61

Dari keempat syirkah ini dapat disimpulkan bahwa kerja sama yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih baik berupa uang, kerja ataupun bermodal
kepercayaan dan keuntungan dengan dibagi bersama di antara orang-orang yang
melakukan perjanjian, sedang besar kecilnya disesuaikan dengan kesepakatan.
Dari beberapa istilah perjanjian bagi hasil tersebut diatas dapat kita garis
bawahi pada hakekatnya mempunyai pengertian yang sama, karena dari keempat
istilah (mudharabah, murabahah, hiwalah, dan syirkah) tersebut merupakan aqad
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mengerjakan sesuatu yang telah
disepakati bersama. Satu pihak menyerahkan hartanya sebagai modal sedang pihak
lain menyerahkan tenaganya sebagai andil (pekerja) atau persekutuan antara mereka
atau kerja sama. Karena adanya kepercayaan dari kedua belah pihak yang melibatkan
diri dari perjanjian berdasarkan kedua belah pihak.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya bagi hasil adalah suatu kerja
sama antara pemilik modal dan pekerja dengan upah dari sebagian hasil yang di
peroleh. Sedangkan kadar (besar kecilnya) masing-masing pihak di sesuai dengan
kesepakatan mereka ketika mengadakan perjanjian.
D. Hak Dan Kewajiban Pemilik Perahu Pemilik Modal dan Buruh Nelayan
dalam Sebuah Usaha Bersama
Dalam setiap kerjasama antara dua orang atau lebih mempunyai suatu tujuan
yang dimungkinkan akan lebih mudah dicapai apabila dilaksanakan bersama.

61
Mustaq Ahmad, Businnes Ethcnis in Islam di Terjemahkan Oleh Samson Rahman Etika Bisnis
Dalam Islam (Cet I;Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2001 ),121.
55
Kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih itu melibatkan beberapa pihak
seperti penanam modal atau yang disebut dengan investor dan pengelola (buruh
kerja) yang disebut mudharib.
62
Istilah dalam perkongsian tersebut pada masyarakat
nelayan Kalibuntu Kraksaan Probolinggo seperti yang telah disebutkan diatas dalam
kegiatan disektor perikanan tangkap ikan melibatkan banyak pihak khususnya:
1.pemilik perahu (Orenga) dan peralatan tangkapnya 2.pandhiga atau nelayan buruh
dan 3.penyedia modal informal atau pemilik modal disebut Pangambe' yang
sekaligus sebagai pedagang (perantara) ikan.
Kesepakatan dalam pengelolaan dipandang sebagai suatu kerjasama antara
pemilik modal pemilik perahu dan buruh nelayan, kesepakatan-kesepakatan yang
diperlukan adalah kesesuaian dan keadilan, dan yang terpenting dalam sebuah
kerjasama adalah hak dan kewajiban dari masing-masing pihak harus dinyatakan
dengan jelas dalam penyajian kerjasama tersebut. Adapun hak dan kewajiban
masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
1.a. Kewajiban Pemilik Perahu:
a. membayar impres
63
pada petugas Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
b. menyediakan perahu, jaring/payang beserta alat tangkapnya
c. menyediakan bahan bakar minyak, seperti solar, bensin
d. es, kulkas box untuk mengawetkan hasil tangkapan dan
f. setiap satu tahun sekali memberikan tunjangan berupa sarung, beras, dan
sebagainya (biasanya pemberian ini diberikan menjelang hari Raya Idul Fitri)


62
Mudharib adalah sebutan bagi seorang pesero yang menjadi mitra dalam suatu kerjasama.
63
Impres sebuah istilah yang digunakan oleh para nelayan untuk menyebutkan pemumgutan uang dari
sebagian hasil penjualan ikan yang diperuntukkan untuk dana sosial atau pajak penghasilan (semacam
retribusi).
56
1.b. Hak Pemilik Perahu
a. memperoleh keuntungan dari hasil usaha bersama, yang dibagi dalam tiga bagian
(telon) yakni 1 untuk pemilik perahu dan yang dua untuk buruh nelayan.
b. mendapat komisi dari pemilik modal berupa rokok 1 press (kondisional)
2.a. Hak Pemilik Modal
a. mengambil fee 15-20 % sebelum dibagi tiga bagian
b. menentukan, mencari pasar ikan
c. menentukan harga jadi ikan
2.b. Kewajiban Pemilik Perahu
a. penyedia/penyandang modal
b. memberikan pinjaman ikatan pada pemilik perahu dan juga buruh nelayan
c. memberikan tunjangan berupa rokok 1 press pada saat ajuman
64
yang dilakukan
beberapa bulan sekali atau pada saat mereka tidak bekerja karena tidak musim ikan
(paceklik).
d. menutupi atau membayarkan hasil tangkapan hari ini jika tengkulak tidak bisa
membayarnya.
3.a Hak Buruh Nelayan:
a. berhak menerima upah yang berupa ikan bukan uang, yang dibagi dalam tiga
bagian (telon) yakni 1 untuk pemilik perahu dan yang dua untuk buruh nelayan,
yang dua ini masih dibagi lagi sesuai dengan jumlah anggota.
b. mereka harus disediakan akomodasi yang layak dan kesehatan yang efesiensi agar
kerja mereka tidak terganggu.

64
Ajuman anyaman yang dilakukan untuk memperbaiki payang atau jaring yang rusak.
57
c. tidak boleh mempekerjakan mereka melebihi kemampuan fisiknya; jika suatu
waktu ia diberi pekerjan yang lebih berat maka ia harus diberi bantuan dalam
bentuk beras atau modal yang lebih banyak
3.b. Kewajiban Buruh Nelayan
a. bertanggung jawab atas pekerjaanya
b. memberikan hasil terbaik buat mitranya atau majikannya
E. Syarat-Syarat Dalam Membangun Sebuah Kerjasama
Setiap pihak yang bekerjasama mempunyai hak tertentu dan mempunyai
tugas-tugas tersendiri terhadap pihak lain dalam membagi hasil keuntungan. Apabila
dalam keadaan kerjasama terjadi antara dua pihak atau lebih maka keuntungan
merupakan tanggung jawab bersama pihak-pihak yang melakukan kerjasama
tersebut. Bentuk kerjasama perdagangan ini sangat terkenal saat itu, sistem tersebut
dijaga dan dilestarikan oleh Nabi dan sahabat beliau dalam sistem ekonomi islam.
Kerjasama ini tidak hanya terkenal dalam perniagaan dan perdagangan namun juga
dalam pertanian, perkebunan, dan perikanan.
65
Apabila dalam kerjasama tersebut
mendapat keuntungan ataupun kerugian maka akan menjadi tanggungan bersama
pihak-pihak yang bekerjasama.
Adapun syarat-syarat dalam membangun sebuah kerjasama:
1. perjanjian kerjasama adalah suatu kontrak yang mesti diterima oleh kedua pihak.
2. menurut beberapa ahli hukum, kontrak kerjasama hanya sah apabila dilaksanakan
dengan uang tender yang sah.
3. Imam Sarikhsi menjadikan perjanjian tertulis sebagai syarat sahnya perjajian
kerjasama. Beliau menegaskan bahwa perjanjian kerjasama adalah suatu kontrak

65
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam jilid I (Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf,1995),306
58
yang berlangsung selama waktu tertentu. Oleh karena itu perlu adanya suatu
perjanjian tertulis sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian hari maka
dikembalikan kepada perjanjian tertulis yang telah dilakukan seperti yang telah
disebutkan dalam surat Al-Baqarah
66
Ayat 282.







.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika
tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang
demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (QS. Al-Baqarah:282)

66
QS. Al-Baqarah (2):282
59
Selain itu dengan menggunakan surat perjanjian yang telah dibuat terdapat bukti
tentang adanya perjanjian agar dapat mencegah keragu-raguan yang timbul
dikemudian hari. Untuk menguatkannya Imam Sarikhsi mengambil contoh dari
suatu dan suatu amalan Rasulullah saw. Apabila rasul membeli sang hamba maka
beliau minta dituliskan perihal pembelian tersebut. Pernah perjanjian tersebut
dituliskan dengan cara berikut ini adalah surat perjanjian tentang pembelian
budak seorang hamba oleh Muhammad utusan Allah, dari Udud bin Khalid
Hasan seorang yahudi.
4. jumlah modal tiap pihak yang bekerjasama sebaiknya dituliskan dengan jelas,
karena ketika pembagian keuntungan dilakukan harus jelas diketahui tiap pihak
supaya memudahkan dalam pembagian. Jumlah modal tiap pihak dituliskan
dalam perjanjian agar tiap pihak mengetahui dan menghindari berbagai keraguan
yang timbul.
67

5. jumlah keuntungan yang akan diperoleh oleh tiap pihak dituliskan dengan jelas
dan sesuai dengan jumlah modal yang dimiliki.
6. waktu dimulainya perjanjian harus dituliskan, hal ini dilakukan untuk
menghindari keraguan dikemudian hari.
7. perlu juga dituliskan bahwa modal dalam bentuk tunai bukan berupa hutang atau
sesuatu yang tidak jelas wujudnya.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita garis bawahi bahwa dalam
melakukan sebuah kerjasama bagi hasil hendaklah kedua belah pihak tidak hanya
sekedar diucapkan saja melainkan harus tertuang dalam tulisan yang bermaterai hal
ini menjaga kemungkinan agar tidak ada masalah dikemudian hari.

67
ibid.308
60







BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data penelitian dan dibandingkan dengan standart yang telah
ditentukan.
68
Dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa metode penelitian yang
meliputi:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah penelitian yang berusaha menggambarkan dan
menginterpretasikan kondisi hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh,
proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau kecenderungan
yang sedang berkembang.

68
Suharsimi Arikunto, prosedur penelitian suatu pendekatan praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
126-127





45
61
Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menggambarkan dan
menunjukkan tentang pelaksanaan bagi hasil, sistem kerja dan pembagian hasil
keuntungan dengan mengemukakan data dan segala informasi yang telah diperoleh
dari informan.
69
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan
menggunakan literatur sebagai acuan dalam pembahasan. penelitian ini merupakan
penelitian lapangan, karena penulis terjun langsung kelapangan atau obyek penelitian
yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
70
3. Lokasi Penelitian
Obyek penelitian merupakan tempat atau sarana untuk memperoleh data
penelitian yang beralokasi di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo. Lokasi ini di
pilih berdasarkan pengamatan bahwa masyarakat Kalibuntu yang mayoritas
beragama Islam dan bekerja mencari ikan di laut banyak melakukan praktek-praktek
perekonomian yang tidak islami. Hal inilah yang menarik peneliti untuk melakukan
penelitian, di samping itu juga karena pertimbangan waktu biaya dan tenaga.
4. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data adalah subyek dari mana data
diperoleh.
71
Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer atau data dari tangan pertama, adalah data yang di peroleh
langsung dari subyek penelitian.
72
Yakni 2 orang pemilik perahu, 2 oarng pemilik

69
Ibid, 10.
70
Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Fakultas syari'ah :UIN Malang, 2005),11.
71
Setrisno Hadi, Metode Risech II ( Yogyakarta: yayasan penerbit psikologi UGM,1986),144
62
modal, dan 2 orang buruh nelayan. Alasan peneliti mengambil sampel 2 orang
pemilik modal, 2 orang pemilik perahu dan 2 orang buruh nelayan serta 1 pelelang
ikan dianggap dapat mewakili karena penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada
sistem bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan, yang
mana sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan pada
desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo adalah sama. Dalam hal ini penulis terjun
langsung ke lokasi penelitian di desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo dengan
menggunakan observasi, interview dan dokumentasi.
b. Data Sekunder
Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang diperoleh dari
dokumen resmi, buku-buku, majalah dan berbagai literatur yang relefan dengan
pembahasan penelitian ini.
73
5. Metode Pengumpulan Data
Besar harapan penulis untuk memperoleh data yang sesuai dan tepat. Oleh
sebab itu penulis perlu memilih metode pengumpulan data yang relefan dan tepat
sehingga dapat diperoleh data yang outentik dan dapat dipertanggung jawabkan.
Adapun metode yang dipakai dalam pengumpulan data ini adalah:
a. Wawancara (Interview)
Wawancara mendalam indept interview adalah suatu cara pengumpulan
data dengan cara komunikasi langsung antara peneliti dengan obyek peneliti.
74

Wawancara mendalam (indept interview) yang dilakukan secara purposive dengan

72
Saifuddun Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004),91.
73
Ibid,91.
74
Lexy J. Moleong Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002),135.
63
para informan adalah orang-orang yang dianggap banyak mengetahui permasalahan
yang dihadapi masyarakat nelayan.
Para informan itu terdiri dari pemilik modal, pemilik perahu, buruh nelayan,
dan petugas TPI (Tempat Pelelangan Ikan), agar wawancara yang dilakukan dapat
lebih terarah, pelaksanaannya dilakukan dengan pedoman wawancara (intergiude)
yaitu berupa garis besar materi wawancara yang harus dikembangkan lebih lanjut
oleh peneliti dalam melakukan wawancara di lapangan.
Pemilihan informan yang akan di wawancarai disamping di tentukan oleh
peneliti secara purposive juga di lakukan secara snow ball, yaitu melalui informasi
yang di berikan oleh informan yang sudah di wawancarai sebelumnya. Keuntungan
yang diproleh melalui sistem ini adalah peneliti tidak banyak kesulitan untuk
menentukan informan yang akan di wawancarai karena data mengenai siapa saja
orang yang di anggap bisa memberi informasi tentang permasalahan yang di teliti itu
sudah disediakan oleh informan.
b. Observasi
Metode observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki.
75
Dengan demikian observasi ini
dilakukan untuk melihat kondisi lingkungan daerah penelitian, dan dapat melihat
secara langsung kegiatan ke nelayanan yang dilakukan oleh masyarakat, disamping
itu observasi juga dimaksudkan untuk mencocokkan hasil wawancara dengan
kenyataan yang ada, sejauh yang dapat dilihat serta untuk melihat langsung
kenyataan yang tidak bisa diungkapkan melalui wawancara.


75
Setrisno Hadi, Metode Risech II ( Yogyakarta: yayasan penerbit psikologi UGM,1986),136.
64
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi dimaksudkan untuk menela'ah secara sistematis dari
data-data atau dokumen-dokumen tertulis secara langsung yang dapat dipakai
sebagai bukti atau keterangan.
76
Metode dokumentasi yang dimaksud dalam
penelitian ini merupakan suatu upaya untuk mengumpulkan bukti-bukti atau data-
data yang berkisar pada masalah demonografi daerah penelitian baik yang berbentuk
tulisan pribadi seperti buku harian, surat-surat dan dokumen resmi yang bersumber
dari arsip atau catatan.
Dengan metode ini peneliti akan memperoleh data tentang gambaran umum
obyek penelitian yang berhubungan dengan jumlah penduduk, peta desa Kalibuntu
dan sebagainya.
6. Metode Analisis Data
Analisis data menurut Patton (1980:268) yang dikutip oleh Moleong dalam
bukunya adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu
pola, kategori, dan satuan dasar.
77

Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (1975:79) seperti yang dikutip oleh
Koentjaraningrat mendefinisikan analisis data adalah sebagai salah satu proses yang
merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti
yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema
dan ide itu.
78

76
Lexy J. Moleong , Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
2002),161.
77
Ibid., 103
78
Koentjaraningrat Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
2002),269

65
Dalam penelitian ini penulis menganalisa data yang diperoleh dengan cara
deskriptif kualitatif. Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non
hipotesis. Penelitian deskriptif dibedakan menurut sifat-sifat datanya yaitu riset
deskriptif yang bersifat eksploratif dan bersifat developmental.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan deskriptif yang bersifat eksploratif
yaitu dengan menggambarkan keadaan atau status fenomena, penulis berusaha
memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam rumusan masalah dan menganalisa
data-data yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan sosiologis.



66








BAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Seting Sosial Desa Kalibuntu
1. Asal Usul Nama Desa Kalibuntu
Kalibuntu merupakan sebuah desa nelayan yang terletak di daerah bagian utara
Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo. Seiring berjalannya waktu daerah ini
telah menjadi tempat pemukiman penduduk yang senantiasa berkembang, tidak ada
catatan secara resmi tentang asal-usul nama desa Kalibuntu, mungkin semata-mata
didasarkan atas rabaan yang dibuat dari kisah-kisah yang dikemukakan para orang
tua penduduk asli desa yang kini jumlahnya sudah tidak seberapa lagi.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Suparni sesepuh desa Kalibuntu yang
juga pengurus desa menceritakan bahwa:
Asal usul nama desa Kalibuntu diambil dari sebuah peristiwa nyata pada
zaman penjajahan Belanda, yaitu sebuah sungai yang alirannya ke muara laut
ditutup oleh masyarakat sehingga alirannya menjadi buntu. Yang menjadi
motivasi penutupan sungai tersebut karena ada anggapan mitos bahwa, pada
waktu itu banyaknya wabah penyakit dan penutupan sungai tersebut
67
dimaksudkan sebagai penangkal terhadap meluasnya penyakit tersebut,
sayangnya tidak ada yang tahu secara jelas apakah desa itu mempunyai nama
sebelum memiliki nama Kalibuntu.
79

Cerita di atas tersebut tidak banyak memberikan penafsiran tentang riwayat
desa Kalibuntu, namun cukup membantu kita mengetahui asal-usul nama desa itu.
Istilah Kalibuntu berasal dari dua kata yakni Kali (sungai dalam bahasa jawa) dan
Buntu (tertutup) dengan kata lain penutupan atau pembuntuan sungai tersebut.
Paduan dari dua kata tersebut dibakukan dan diabadikan menjadi sebuah nama desa
yang sampai sekarang yakni KALIBUNTU
2. Kondisi Geografis Desa Kalibuntu.
Desa Kalibuntu ini adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Kraksaaan
Kabupaten Probolinggo. Posisi desa ini tepat berada di sebelah utara Kecamatan.
Seperti yang terlihat di peta desa ini dibagian barat dibatasi oleh Desa Asembagus,
sebelah timur dibatasi oleh Desa Kebunagung, sebelah selatan dibatasi oleh Desa
Sidopekso dan sebelah utara dibatasi oleh Selat Madura. Adapun luas desa Kalibuntu
secara keseluruhan adalah 100.010. ha, dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 4.1
Luas Daerah Desa Kalibuntu

NO JENIS TANAH LUAS
1. Tanah sawah tadah hujan 1.000 ha
2. Tanah pekarangan/bangunan 22.288 ha

79
Suparni , Wawancara Aparat Desa ( Kalibuntu, 30 Maret 7007).
68
3. Tanah tambak/kolam 71.000 ha
4. Tanah kuburan 2.222 ha
5. Lain-lain (sungai, jalan) 3.500 ha
Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007
Desa Kalibuntu terdiri dari 5 dusun, terbagi 9 RW dan 14 RT, kecuali itu,
desa ini terdiri dari beberapa Blok, bahkan keberadaan Blok ini lebih dominan
popularitasnya ketimbang RT/RW maupun dusun, adapun Blok-blok itu antara lain
adalah:
1. Blok Landengan
2. Blok Durian
3. Blok Sambilangan I dan II
4. Blok Karang Pandan
5. Blok Bong
6. Blok Panambangan
7. Blok Tambak Rejo
8. Blok Krajan
Adapun blok Bong, Krajan, Panambangan dan Tambakrejo ini dijadikan satu
karena yang bermukin di sana hanya sedikit. Desa kalibuntu walaupun terletak
didaerah pantai akan tetapi masih terdapat tanah yang dipakai untuk pertanian dan
dapat ditanami padi dengan tumbuh subur.
3. Kondisi Demonografi Desa Kalibuntu
Kalibuntu adalah desa yang paling padat penduduknya diantara 18 desa yang
ada di kecamatan Kraksaan, sebab hanya dengan tanah seluas 100.010 ha ini dihuni
69
oleh kurang lebih 8786 jiwa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Untuk
mengetahui secara rinci jumlah masing-masing dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dan Usia
NO JENIS KELAMIN JUMLAH (orang)
1. Laki-laki 4 4 1 8
2. Perempuan 4 3 6 8
JUMLAH 8 7 8 6 jiwa
Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007
Perlu diketahui bahwa penduduk yang sekian jumlahnya tidak seluruhnya asli
desa Kalibuntu, melainkan ada penduduk pendatang dari daerah luar seperti Madura,
Muncar, Jember dan Banyuwangi namun sekarang menjadi penduduk Kalibuntu
karena adanya ikatan tali perkawinan ataupun yang lainnya. Secara geografis desa
Kalibuntu termasuk pulau Jawa namun bahasa yang dipakai sehari-harinya adalah
bahasa Madura karena desa Kalibuntu banyak di domoinasi oleh orang-orang
Madura, oleh sebab itu sosial budayanya tidak jauh berbeda dengan masyarakat
Madura.
4. Pola Hidup Masyarakat Nelayan
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa selalu berhubungan dan
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kecenderungan untuk selalu berhubungan
dan membutuhkan satu dengan yang lainnya ini akan menghasilkan pola pergaulan
yang dinamakan dengan pola interaksi sosial, kelompok sosial dan budaya. Dalam
setiap kelompok sosial selalu ditandai dengan ciri khas tertentu yang menyebabkan
pola prilaku yang berbeda. Adanya perbedaan ini sebenarnya dipengaruhi oleh
70
beberapa faktor di antaranya oleh sistem, adat istiadat, pendidikan, dan ekonomi,
yang melatar belakangi mereka. Akulturasi budaya ini melahirkan dinamika
kehidupan sosial.
Begitu juga dengan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat nelayan,
mereka yang senantiasa selalu hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu
diliputi ketidakpastian, bahkan jarang disentuh informasi. Hal ini bisa mencetak
pribadinya yang keras dan cenderung subyektif. Pendapatan yang penuh teka-teki
yang masih tergantung pada kemurahan laut menuntut adanya kebulatan tekad yang
tinggi dan penuh spekulatif. Di sisi lain masyarakat nelayan harus berinteraksi
dengan manusia lain baik dengan petani, pedagang ataupun pegawai dan yang
lainnya dalam rangka saling melengkapi satu dengan yang lainnya, karena
karakteristik yang khas itulah sering menimbulkan problem sosial. Berinteraksi
ataupun berhubungan dengan orang lain ini sulit untuk dihindari karena sejak lahir
manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yakni; keinginan untuk
selalu menjadi satu dengan yang ada di sekelilingnya (bermasyarakat) dan keinginan
untuk menjadi satu dengan suasana alam di sekelilingnya.
80
Dari dua keinginan pokok seperti yang tersebut di atas manusia memiliki ciri-
ciri kehidupan sendiri dan mereka akan mempertahankannya karena hal itu
merupakan ciri khas mereka baik dari segi kehidupannya, agamanya, kulturnya,
bahkan sampai adat istiadat atau budaya-budaya yang lainnya. Perbedaan tersebut
ada karena masing-masing daerah mempunyai latar belakang sendiri-sendiri,
demikian halnya pada masyarakat nelayan. Secara sederhana masyarakat nelayan
memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat lainnya diantaranya :

80
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:Rajawali,1990),27.
71
1. Masyarakat nelayan memiliki sifat homogen (dalam hal mata pencaharian, nilai
dan kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku).
2. Cenderung berkepribadian keras
3. Memiliki sifat yang toleransi terhadap yang lainnya.
4. Memiliki gairah seksual yang relatif tinggi
5. Hubungan sesama anggota lebih intim dan memiliki rasa tolong-menolong yang
tinggi.
81
6. Dalam berbicara suara cenderung meninggi
Sebenarnya ciri tersebut diatas tidak jauh berbeda dengan masyarakat desa
karena secara geografis daerah pantai termasuk pula daerah pedesaan. Pada porsi
perbedaan inilah dibutuhkan wawasan dan sikap yang fleksibel sehingga perbedaan
kultur tidak menjadi pragmatisme sosial, bahkan melebar menjadi akulturasi budaya
yang melahirkan dinamika sosial. Oleh karena itu pola hidup masyarakat nelayan
perlu mendapat kajian tersendiri sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada sosial
budaya itu sendiri yakni:
a. Kondisi Sosial Budaya Desa Kalibuntu
Dalam perjalanan sejarahnya manusia selalu membentuk kebudayaan, karena
manusia memang makhluk budaya dan kebudayaan itu mengatur masyarakat. Tanpa
masyarakat kebudayaan tidak mungkin terwujud karena ia merupakan wadah dan
pendukung dimana kebudayaan itu diamalkan, tumbuh berkembang dan berubah,
demikian pula sebaliknya masyarakat tanpa kebudayaan tidak akan bisa hidup
bersama dan bekerja sama untuk mempertahankan kelestarian hidup dan melanjutkan

81
Ibid. 34.
72
eksistensinya, karena itu masyarakat sebagai kesatuan sosial berkait ketat dengan
kebudayaan sebagai dua dalam satu atau disebut juga dengan budaya.
Faktor sosial budaya selalu diwarnai dengan unsur kedaerahan, kita bisa lihat
masyarakat yang tinggal di daerah pantai seperti nelayan Kalibuntu misalnya maka
akan berbeda sosial budayanya dengan masyarakat industri atau petani. Hal ini
merupakan satu indikasi bahwa faktor-faktor sosial budaya seringkali berbeda antara
daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, meskipun dalam garis besarnya
terdapat pola-pola keseragaman. Dari berbagai uraian di atas dapat kita pahami
bahwa sosial kebudayaan berbicara tentang manusia yang mana pembentukan dan
pelaksanaan kebudayaan itu berpangkal pada cara hidup bersama dan bekerja sama
dalam kelompok manusia. Hakekat kebersamaan ini adalah hubungan antara sesama
manusia. Hubungan ini didukung oleh kultural universal yaitu:
a). Sosial (hubungan manusia dengan manusia)
b). Ekonomi (hubungan manusia dengan barang)
c). Politik (hubungan manusia dengan kekuasaan)
d). Agama (hubungan manusia dengan Tuhan)
e). Ilmu (hubungan manusia dengan alam)
f). Tekhnik (hubungan manusia dengan kerja)
g). Seni (hubungan manusia dengan sesuatu hal yang indah).
82
Penduduk Desa Kalibuntu mempunyai kebiasaan atau sosial budaya yang
kurang menggembirakan, yaitu pola hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan
masa depan, artinya setiap mendapat rejeki atau memperoleh hasil tangkapan yang

82
Sucipto. S, Aspek Sosial Budaya dalam Perkembangan Pedesaan (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1987),76.
73
lumayan banyak maka pada saat itu pula mereka akan membelanjakannya atau
menghabiskannya. Suatu contoh membeli perhiasan, pakaian, dan sebagainya,
bahkan jiwa saling pamer diri cukup melekat di kalangan penduduk Kalibuntu.
Masyarakat Kalibuntu dalam hal jiwa tolong-menolong sangat tinggi, terlepas
apakah bentuk pertolongannya itu ikhlas atau tanpa pamrih, sedangkan bentuk rumah
mereka banyak berhimpitan dan dibangun di atas tanah yang sempit.
Selain hal yang di atas penduduk Kalibuntu memiliki pola hidup jual beli
barang-barang keramik dan peralatan rumah tangga yang mereka beli pada saat
mereka mendapatkan hasil ikan yang banyak. Jual-beli barang tersebut mereka
lakukan pada saat musim paceklik tiba. Pola hidup yang demikian sering disoroti
oleh daerah lain di sekitar Kalibuntu bahkan gaya hidup yang demikian ini sudah
menjadi tradisi ciri khas budaya Kalibuntu.
1) Kondisi Kemasyarakatan Desa Kalibuntu
Sistem kemasyarakatan kelompok nelayan tidak didasarkan pada daerah
keturunan, melainkan lebih ditekankan pada perasaan senasib dan tempat tinggal
serta mata pencaharian. Kesesuaian ini seperti yang dirumuskan dalam antropologi
sosial bahwa: kesatuan hidup setempat atau komunitas, yaitu suatu kesatuan yang
didasarkan atas adanya ikatan tempat kehidupan dan bukan semata-mata dikarenakan
kekerabatan. Sebagaimna halnya manusia lain, masyarakat Desa Kalibuntu juga
mengenal adanya peraturan dan norma-norma sosial. Norma-norma tersebut
dimaksudkan sebagai patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan di
dalam situasi-situasi tertentu dan memberikan petunjuk tentang standart untuk
bertingkah laku dan untuk menilai tingkah laku.
74
Selain itu masyarakat Kalibuntu juga dikenal sebagai masyarakat yang
memiliki solidaritas yang tinggi, sistem bantu-membantunya ini merupakan cara
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang berat. Kesadaran untuk saling membantu
sesamanya bukan karena suka berbakti sesamanya melainkan karena adanya rasa
saling membutuhkan dalam jiwa kenelayanannya. Timbulnya tolong menolong pada
masyarakat nelayan adalah kerena:
1. Faktor ekonomi yang sangat ditentukan oleh macam pekerjaan.
2. Adanya perasaan satu nasib yang menimbulkan persatuan yang kokoh
3. Beratnya pekerjan yang menuntut mereka bekerja kolektif.
Terlepas dari motivasi yang mendasari sikap tolong-menolong ini, secara
umum individualitas masyarakat desa rural comminity. Rasa kebersamaan itu
sebenarnya potensi yang harus kita tumbuh suburkan. Sehingga alternatif yang
diberikan sebagai bentuk kepedulian sosial itu lebih terarah dan memberikan
ketentraman, kesejahteraan bagi warganya khususnya pada masyarakat nelayan
Kalibuntu.
2) Kondisi Pendidikan Desa Kalibuntu.
Pembangunan di masa sekarang dan masa mendatang sangat dipengaruhi oleh
sektor pendidikan, sebab dengan bantuan pendidikan setiap individu berharap bisa
maju dan berkembang. Lewat pendidikan orang mengharapkan supaya semua bakat,
kemampuan dan kemungkinan yang dimiliki bisa berkembang secara maksimal, agar
orang bisa mandiri (menolong diri sendiri) dalam proses membangun pribadinya,
75
sedang negara bisa maju bila semua warga negaranya berpendidikan, serta
memperoleh kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang layak.
83
Fakta menunjukkan bahwa pendidikan telah merasuki segala sendi
kehidupan dan hampir seluruh sektor kehidupan berbangsa. Oleh sebab itu perlu
diusahakan adanya relasi yang lebih akrab antara sekolah dengan milieu atau
lingkungan sekitar, yang bisa mengarah kepada proses simbiosa saling menghidupi
diantara dunia pendidikan dengan kehidupan nyata di tengah masyarakat. Dengan
pendidikan orang ingin mengangkat martabat diri sendiri dan martabat kaumnya di
tengah masyarakat luas.
Bagi masyarakat nelayan Kalibuntu antara ekonomi dan pendidikan sama-
sama lemahnya, sering dikatakan sebagai lingkaran setan. Seperti yang dilaporkan
Ikatan Bacaan Internasional bahwa negara-negara miskinlah yang paling besar
jumlah prosentase kebutahurufannya.
84
Sedangkan orang yang buta huruf dapat kita
bayangkan status kerja dan pendapatannya. Bagi masyarakat Kalibuntu target
sekolah hanya bisa membaca dan menulis saja bahkan mereka beranggapan bisa
kerja atau mengetahui bukan kerena diajarkan di sekolah tetapi diajarkan oleh kontak
dengan orang dewasa dan lingkungannya. Pandangan yang kurang baik itu dapat
dihilangkan dengan meningkatkan kesadaran bagi masyarakat nelayan dengan
bahasa yang menyentuh dan menghubungkan pelajaran di sekolah lebih erat lagi
dengan penghidupan masyarakat.
Di bidang pendidikannya masyarakat Kalibuntu termasuk desa yang memiliki
rata-rata berpendidikan rendah, kalaupun ada yang memiliki pendidikan sampai pada

83
Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis(Apakah Pendidikan Masih Diperlukan)
,(Jakarta: CV. Mandar Maju, 1992),21.
84
Ibid. 27
76
perguruan tinggi itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang golongan menengah
keatas, atau mereka yang tidak mampu tapi memiliki semangat yang tinggi terhadap
pendidikan. Hanya sedikit yang telah menamatkan sekolah lanjutan atas (SMP).
Sebagian besar hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau tidak bersekolah sama
sekali. Oleh sebab itu jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada maka hal
tersebut relatif rendah dan tidak seimbang. Hal ini sangat memprihatinkan dan
membutuhkan pemikiran serta penanganan secara serius.
Perhatian pemerintah setempat sangat besar dalam mencerdaskan masyarakat
Kalibuntu, hal ini terbukti dengan sarana pendidikan yang dibangun di desa tersebut,
namun masyarakat Kalibuntu kurang memfungsikan sarana ini secara optimal,
terbukti masih ada sekolah (SD) di sana yang jumlah siswanya tidak mencapai target
ideal.
Tabel 4.3
Jumlah Sarana Pendidikan

NO JENIS SEKOLAH JUMLAH
1. Taman kanak-kanak 1
2. Sekolah Dasar Negeri 4
3. Madradah Ibtidaiyah 1
4. Madrasah Tsanawiyah 1
5. Madrasah Aliyah 1
6. Majelis Talim (Diniyah) 1
JUMLAH 9
Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007
77
Sebenarnya masyarakat Kalibuntu memiliki perhatian yang sangat tinggi
terhadap pendidikan agama, akan tetapi lembaga ini perintisnya sangat lambat.
Keberadaan sekolah agama (Madrasah) di Kalibuntu masih relatif muda, sebagai
alternatifnya pendidikan agama diberikan melalui pendidikan non formal, misalnya
di surau, masjid atau majelis talim. Walaupun lembaga pendidikan formal
(Madrasah) sudah ada namun lembaga ini tetap berjalan.
Sebagian masyarakat yang berminat dan mampu menyelesaikan sekolah
lanjutan, mereka dapat bersekolah di luar desa Kalibuntu karena desa ini belum
memiliki lembaga untuk lanjutan pertama (SMP) dan sekolah lanjutan atas (SMA).
3) Kondisi Ekonomi Desa Kalibuntu
Perkembangan keuangan mikro micro banking di wilayah pesisir seperti
yang diusulkan oleh Kusnadi, sebenarnya sudah dirintis oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) sejak tahun 2000 melalui Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP). PEMP menjadi program unggulan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir secara terencana dan terstuktur melalui
pemberdayaan dan pendayagunaan sumberdaya pesisisr dan laut secara optimal dan
berkelanjutan Program PEMP ini bukan merupakan charity (amal) melainkan
emprowerment (pemberdayaan), sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan
menyentuh sebagian masyarakat pesisir.
85
Lanjutnya tak terhitung lagi berapa banyak
program pemberdayaan ekonomi rakyat yang telah digulirkan, tetapi hasilnya hingga
kini masih belum seperti yang diharapkan, atau bahkan gagal meningkatkan
kesejahteraan masyarakat nelayan, program PEMP ini juga dibayangi kekhawatiran

85
Kusnadi, Polemik Kemiskinan Nelayan (Yogyakarta: Pustaka Jogya Mandiri,2004),30.
78
akan bernasib sama dengan program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat
lainnya.
Jika dilihat dari sudut pandang ilmu ekonomi bahwa Negara yang
berpenghasilan rendah adalah Negara yang berpenghasilan perkapitanya US $ 300,-
kurang atau lebih, yang mana Negara seperti ini termasuk Negara dalam taraf ukuran
berkembang dan Indonesia termasuk di dalamnya, yang lebih dikerucutkan lagi
dalam masyarakat pesisir. Selanjutnya sistem ekonomi yang dipakai masyarakat
nelayan berbeda dengan sistem masyarakat petani, pedagang, industri, pegawai dan
sebagainya, yang biasanya para pekerja mendapat gaji atau upah secara tetap namun
bagi masyarakat nelayan gaji atau upah tersebut memakai sistem bagi hasil. Tiap
awak kapal tidak mendapatkan upah berupa sejumlah uang tetap, tetapi mendapat
bagian tertentu dari bagi hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
86
Perekonomian pada masyarakat desa Kalibuntu tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan ekonomi desa beberapa dekade sebelumnya, pertambahan penduduk
dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh pemerintah selama ini. Semua
ini memberikan pengaruh pada irama kehidupan masyarakat setempat pada semua
lapisan masyarakat dengan tingkat yang tentunya berbeda-beda. Dalam proses ini ada
yang meningkat dan ada pula yang bergeser ke bawah, selain itu juga karena nelayan
yang bermukim di wilayah pesisir ini masih rendah dalam pengetahuan kelautan,
pemilikan modal, serta manajeman usaha perikanan yang dipunyai.
Jumlah meraka yang bekerja sebagai nelayan lebih nampak sangat dominan
dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Oleh sebab itu perekonomian secara umum
di desa Kalibuntu banyak dilakukan oleh hasil penangkapan ikan. Karena hasil yang

86
Koentjaraningrat, BeberapaPokok Antropologi Sosial (Jakarta:Dian Rakyat, 1990),161.
79
diperoleh tidak menetap maka pendapatan tiap harinya pun tidak menetap, dampak
dari ketidak merataan hasil pendapatan ini membuat perekonomian keluarga tidak
menentu, hal ini juga dirasakan oleh para pedagang yang besar kecilnya perolehan
dan ditentukan hasil tangkapan ikan para nelayan.
Dan jika pekerjaan sebagai nelayan ini hanya dianggap sebagai salah satu dari
kategori mata pencaharian yang lebih luas, yaitu mata pencaharian di bidang
perikanan, tentunya harus juga memasukkan mereka yang bertani, buruh yang
mempunyai pekerjaan sambilan sebagai nelayan, pegawai atau pensiunan atau
mereka yang berusaha di bidang perikanan sebagai usaha.
Gambaran tentang struktur ekonomi desa ini secara sekilas dapat dilihat dari
tabel mengenai mata pencaharian penduduk.
Tabel 4.4
Mata Pencaharian Penduduk Desa Kalibuntu

NO MATA PENCAHARIAN JUMLAH
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 3
2. Tentara Nasional Indonesia (TNI) 4
3. Buruh Nelayan 6.195
4. Nelayan Pengusaha 6
5. Pedagang 1.236
6. Pensiunan 4
7. Buruh Bangunan 15
8. Buruh Tani 5
80
9. Wiraswasta 23
JUMLAH 7491
Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007
Peranan kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluarganya dipegang
oleh ayah atau suami, yang bekerja langsung sebagai nelayan atau pekerjaan yang
paling langsung di bidang usaha perikanan. Sebagai seorang istri mereka tidak hanya
tinggal diam di dalam rumah, membantu perekonomian keluarga jika keadaan
ekonomi keluarga tidak begitu kuat atau kurang dari kebutuhan keluarga, misalnya
dengan bekerja sebagai pedagang ikan, baik dipasar sebagai pedagang ikan eceran
atau pedagang ikan borongan pada para pedagang besar.
Sedangkan anak laki-laki atau perempuan baik yang masih sekolah atau tidak,
terlebih jika orang tua mereka kurang mampu, mereka mempunyai peranan ekonomis
dalam keluarga. Mereka di sebut alang-alang, yaitu rombongan menguntit nelayan
dan berusaha mendapatkan ikan tanpa harus membeli. Operasi mereka bersamaan
dengan waktu pelelangan, di tempat tersebut mereka akan meminta ikan atau
mengambil ikan yang tercecer sewaktu dibawa oleh para nelayan dari perahu mereka
menuju ke tempat pelelangan. Biasanya mereka pergi secara berkelompok 2 atau
sampai 4 orang.
Adapun perlengkapan atau sarana yang dipergunakan dalam penangkapan
ikan adalah perahu atau kapal yang dilengkapi dengan alat lain seperti mesin temses
(mesin mobil), pajang peles, kardan atau slerek, katrol, mesin kardan untuk menarik
ikan, lampu mercuri dan sebagainya. Kapal adalah istilah yang dipakai untuk perahu
yang berukuran besar, sedang perahu untuk yang ukurannya kecil. Jenis pekerjaan
nelayan dan alat tangkapnya:
81
1) Mayang
Mayang adalah sebutan bagi para nelayan yang mempergunakan jaring
payang atau payang peles. Jaring atau payang peles ini juga dijalankan dengan kapal
yang dilayani oleh 20-25 nelayan. Jaring ini terutama ditujukan untuk mencari ikan
layang dan tongkol atau sejenisnya. Kegiatan mayang ini kadang-kadang
memerlukan waktu lebih dari satu hari, oleh karena itu bekal yang dibawa lebih
banyak atau ada cadangan.
2) Beranjang
Beranjang adalah sebuah alat atau tempat yang terbuat dari bahan bambu dan
dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang berbentuk bujur sangkar.
Dengan tujuan untuk menangkap ikan atau menjaring ikan dari dalam tempat
tersebut dengan cara meletakkan lampu didalamnya agar dikerumuni ikan.
3) Slerek
Slerek ini lebih dikenal oleh penduduk desa Kalibuntu dengan sebutan jaring
besar yang terbuat dari serat goni. Ini sebetulnya baru masuk dan dikenal masyarakat
Kalibuntu sekitar 1985 hampir bersamaan dengan dikenalnya motor tempel. Alat
tersebut merupakan alat modern yang dipergunakan oleh para nelayan Kalibuntu.
Pada mulanya masyarakat masih menolak dengan hadirnya alat tangkap ini karena
harus merubah sistem pembagian pendapatan, akan tetapi karena kecanggihan alat ini
terbukti ahirnya mereka berusaha memilikinya. Alat ini juga dilayani oleh 20-25
orang dengan kapal atau perahu besar yang memakai mesin temses, sehingga lebih
mudah menjangkaunya.


82
4) Mesin Temses/motor
Dalam perahu atau kapal terdapat beberapa mesin yang dipergunakan maka
penulis akan jelaskan penggunaannya: Mesin Temses/motor ini adalah mesin yang
digunakan untuk mengarungi lautan karena jika hanya menggunakan mesin tempel
tidak cukup untuk ukuran kapal besar. Dan mesin kardan adalah untuk menarik ikan,
sedangkan mesin daping adalah mesin yang digunakan untuk lampu guna menyoroti
dimana letak ikan yang banyak.
b. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Kalibuntu
Aspek lain yang tak kalah pentingnya dengan aspek yang lain di atas adalah
aspek agama, sebab pada dasarnya setiap manusia mempunyai keyakinan terhadap
agama atau yang disebut dengan Religie atau godsdienst (Belanda) atau religion
(Inggris). Menurut Sidi Gazalba etimologi religi mungkin sekali berasal dari istilah
relegere atau religare dalam bahasa latin. Istilah agama berasal dari bahasa
sansakerta yang pengertiannya menunjukkan adanya kepercayaan manusia
berdasarkan wahyu Tuhan.
87
Sedangkan bentuk dan jenjang nilai yang berkembang
dalam kehidupan msyarakat manusia umumnya di bedakan dalam enam kategori
yakni:
1. Nilai religius (keagamaan)
2. Nilai ilmiah
3. Nilai ekonomis
4. Nilai politis
5. Nilai estetis

87
Muhammad Tolhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosial Budaya (Jakarta:Galasi Nusantara,
1987).15.
83
6. Nilai humanis (manusia).
Agama itu sendiri dalam pembinaan manusia memiliki beberapa fungsi
diantaranya:
a). Fungsi edukatif
b). Fungsi pengawasan sosial (social kontrol)
c). Fungsi pengawasan
d). Fungsi memupuk persaudaraan dan
f). Fungsi transportasi.
Bagi masyarakat nelayan yang kerjanya sangat memeras tenaga dalam
masalah keagamaan tidak seberapa, dapat di bayangkan bagaimana mereka
mengamalkan ajaran keagamaanya seperti shalat, puasa, dan lainnya di saat mereka
berada di lautan lepas, memang di akui bahwa semua itu tergantung sampai dimana
keyakinan keagamanaan itu meresap ke dalam jiwanya. Meskipun sebagian besar
anggota masyarakat nelayan desa Kalibuntu ini mempunyai aktivitas perekonomian
yang hampir sama (dalam menangkap ikan di laut) namun secara sosiologis
pemahaman keagamaanya sungguh tidak persis sama.
Dalam pembahasan sosial keagamaan masyarakat nelayan ini, penulis
membagi menjadi tiga bagian:
1. Kondisi Mental Spiritual
Keberadaan mental seseorang terbentuk karena pengalaman yang ia terima
dan potensi dasar yang ia bawa, perubahan sikap mental ke arah positif akan terjadi
jika pola mental tersebut mendapat dukungan dari nilai-nilai baru yang lebih kuat.
Bagi masyarakat nelayan khususnya masyarakat nelayan Kalibuntu, dalam sosial
84
keagamaan banyak terikat kepada kepercayaan dan praktek masa lalu, dan mereka
tidak sanggup merubahnya dari generasi-kegenerasi.
Seperti adat agama juga sebagai tradisi, antara agama dan adat merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak bisa dirubah, bukan hanya
terletak pada asas dan prinsipnya melainkan adanya unsur-unsur adat yang melekat
padanya, misalnya yang beragama Islam, sering dicampuri oleh adat yang
berunsurkan kepercayaan asli Ostronesia dan kepercayaan Hindu.
88
Unsur khurofat
dan takhayul itu melalui adat menyusup kedalam amalan agama Islam yang
diadatkan, sehingga kabur batasan mana ajaran islam yang outentik dan mana yang
bidah.
Rahasia alam yang mereka belum ketahui dan tenaga yang bekerja
dibelakang peristiwa-peristiwa, mereka pulangkan kepada alam ghaib. Pada posisi ini
masyarakat nelayan sering tergiring kepada sikap mental yang merusak keutuhan
akidah yang pada gilirannya menyebabkan mereka syirik. Bertolak dari semua itu,
pembinaan mental keagamaan yang sanggup meluruskan pemahaman keagamaan
masyarakat nelayan sesuai dengan porsinya, merupakan kebutuhan yang urgen,
sehingga kesalahan ini tidak menjadi berantai sebagai akibat dosa warisan.
1). Sistem Kepercayaan Desa Kalibuntu
Sebagian besar masyarakat di pedesaaan Indonesia terutama di pulau Jawa
memeluk agama Islam dan sebagian kecil lagi memeluk agama lain seperti Katolik,
Budha, Hindu dan Kristen. Agama-agama tersebut oleh masyarakat desa diyakini

88
YB Mangun Wijaya, Gedong bagus ok dkk, Spiritual Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat,
(Yogyakarta: 1994),243.
ibid. 249
85
kebenarannya, orang-orang pedesaan yang bersifat sangat religius, sifat ini ditandai
dengan barbagai kegiatan keagamaan misalnya tahlilan, arisan dan pengajian rutin.
Pada dasarnya agama mempunyai beberapa unsur diantaranya:
a. Kekuatan Ghaib: manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan
ghaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu manusia merasa harus
mengadakan hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut.
b. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat
tergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan ghaib yang dimaksud,
dengan hilangnya hubungan ghaib tersebut kesejahteraan dan kebahagiaan yang
dicari akan hilang pula.
c. Respon yang bersifat emosional dari manusia, respon itu bisa mengambil bentuk
perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif. Respon itu
dapat membentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
d. Paham adanya kudus (secret) dan suci dalam bentuk kekuatan yang ghaib dalam
bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan dan dalam
bentuk tempat-tempat tertentu.
89
Sistem kepercayaan masyarakat Kalibuntu terhadap ilmu ghaib dan ilmu
dukun ini kemungkinan disebabkan karena mencari ikan merupakan suatu mata
pencaharian yang dinilai sangat berat dan penuh tantangan dibandingkan dengan
mata pencaharian lain seperti bercocok tanam, beternak, berdagang dan sebaginya.
Usaha-usaha tersebut merupakan alternatif dalam menghadapi resiko yang besar
serta upaya meningkatkan hasil pendapatannya. Animo masyarakat yang seperti ini
menjadikan profesi perdukunan tetap lestari, sehingga keberadaan seorang dukun

89
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspek (Jakarta: UI Pers,1985),11.
86
bagi masyarakat nelayan masih dianggap orang yang harus disegani dan ditaati
fatwanya.
2) Sistem Upacara Keagamaan Desa Kalibuntu
Pada masyarakat yang tinggal di desa pantai kegiatan upacara ritual
dilakukan dengan cara palarungan berupa kepala kerbau dan tumpeng serta makanan
berupa jajanan pasar kedalam laut. Upacara-upacara keagamaan atau ritual ini
biasanya dilakukan bersama upacara tradisi leluhur yaitu berupa selamatan bersih
desa, melakukan sesaji untuk ruh penunggu atau roh leluhur yang telah meninggal.
Tiap upacara keagamaan dapat terbagi kedalam empat kompenen yakni:
a. Tempat Upacara
Dalam masyarakat nelayan upacara keagamaan di laksanakan di dua tempat,
didaratan dan dilautan. Kalau didaratan seperti shalat, selamatan kubur, selamatan
desa dan sebagainya, sedang dilautan adalah upacara-upacara yang berhubungan
dengan dewa-dewa laut atau roh-roh yang mendiami laut yang dianggap sebagai
sumberdaya laut, seperti petik laut. Pada masyarakat Kalibuntu upacara petik laut
adalah upacara adat yang hanya diadakan tiap satu tahun sekali. Adapun tempat yang
dipergunakan sebagai upacara ini biasanya sangat dikeramatkan dan tidak boleh
sembarangan orang mendatanginya tanpa kepentingan yang jelas.
b. Saat Upacara
Pada saat upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan
gawat, dan penuh bahaya ghaib. Waktu pelaksanaanya adalah pada pergantian
musim atau waktu mulai menangkap ikan dan pada bulan-bulan yang dianggap
87
istimewa. Saat-saat seperti ini berulang-ulang dan tetap, seiring dengan irama gerak
alam semesta, misalnya shalat, peringatan hari besar agama dan lainnya.
90
c. Orang-Orang Yang Melakukan Dan Memimpin Upacara
Karena upacara ini sangat sakral dan perbuatan yang keramat maka yang
harus menjadi pemimpin upacara ini adalah orang-orang yang dianggap keramat
juga, minimal dalam lingkup daerah tersebut misalnya kiai, dukun, pendeta, pemuka
agama yang memiliki keahlian dalam memimpin upacara keagamaan, profesi ini
biasanya lewat jalur non formal dan kesepakatan yang tidak tertulis.
Di desa Kalibuntu hanya ada satu agama yang dianut yaitu agama Islam,
karena hanya satu-satunya agama yang dianut maka keberadaan agama Islam di desa
tersebut sangat mendapat respon yang positif dari masyarakat setempat. Hal ini bisa
di buktikan dari banyaknya sarana peribadatan yang ada, misalnya Masjid dan
Mushalla serta kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh warga desa
kalibuntu, adapun sarana peribadatan tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 4.5
Jumlah Sarana Peribadatan

NO TEMPAT MASJID MUSHALLA
1. Landengan 1 3
2. Karangpandan 1 4
3. Durian 3
4. Sambilangan I, II 5

90
Darsono Wisadirana, Sosiologi Pedesaan (Malang: UMM Press, 2005),58
88
5. Panembangan 2
6. Krajan 1
7. Bong 1
8. Tambak Rejo 1
JUMLAH 2 20
Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007
Secara kuantitas, jumlah sarana peribadatan sangat menggembirakan, namun
yang tidak kalah pentingnya adalah memfungsikan secara optimal. Di samping
sarana peribatan tersebut diatas, ada kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan
masyarakat Kalibuntu baik dikalangan remaja maupun orang tua, misalnya
mengadakan tahlilan setiap malam jumat, yasinan oleh ibu-ibu muslimatan,
istighasah, dibaiyah dan kegiatan lainnya yang dimotori oleh pemuda dan remaja
yang dihimpun dalam wadah Remaja Masjid hal yang demikian ini membuktikan
betapa besar perhatian masyarakat kalibuntu terhadap keyakinan agamanya.
Persolan agama bagi masyarakat nelayan Kalibuntu merupakn persoalan yang
sangat sensitif, mereka memiliki emosional keagamaan yang sangat tinggi, mereka
berani mengambil resiko jihad jika persoalan agamanya disinggung walaupun
pengalaman ritual keagamaannya perlu dipertanyakan, secara formalitas penduduk
Kalibuntu beragama Islam, meskipun kebanyakan dari mereka tidak menjalan Rukun
Islam.
Masyarakat Kalibuntu dalam sosial keagamaan banyak terikat pada
kepercayaan dan praktek masa lalu, sehingga mereka tidak sanggup merubah warisan
yang diterimanya dari generasi ke generasi. Seperti halnya adat agama juga sebagai
tradisi, antara agama dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
89
dan tidak bisa dirubah, bukan hanya terletak pada asas dan prinsipnya melainkan
adanya unsur-unsur adat yang melekat padanya, misalnya yang beragama Islam,
sering dicampuri oleh adat yang berunsurkan kepercayaan asli Ostronesia dan
kepercayaan Hindu. Unsur khurofat dan takhayul itu melalui adat menyusup kedalam
amalan agama Islam yang diadatkan, sehingga kabur batasan mana ajaran islam yang
outentik dan mana yang bidah.
Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang sangat berat dan tidak
diragukan lagi, mereka yang menjadi nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan
yang lebih mudah, sesuai kemampuan yang dimiliki, oleh karena itu untuk
meningkatkan hasil tangkapannya masyarakat Kalibuntu banyak menempuh jalur
perdukunan, sehingga profesi sebagai dukun tetap lestari. Keberadaan seorang dukun
bagi nelayan Kalibuntu masih dianggap orang yang harus disegani dan ditaati
petuahnya.
Bertolak dari kenyataan diatas, maka pembinaan keagamaan yang sanggup
meluruskan pemahaman keagamaan masyarakat Kalibuntu sesuai dengan porsinya,
merupakan kebutuhan yang urgen, sehingga kesalahan ini tidak menjadi berantai
sebagai akibat dosa warisan. Tentu hal ini membutuhkan metode dan pendekatan
yang sesuai dengan kondisi masyarakat Kalibuntu.

B. Penyajian Hasil Penelitian
1. Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal Dan Buruh Nelayan di
Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo
Untuk memperoleh data mengenai bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik
modal dan buruh nelayan di Desa Kalibuntu, maka peneliti melakukan wawancara
90
kepada beberapa informan antara lain pemilik perahu, pemilik modal dan buruh
nelayan.
Seperti kita ketahui dalam bidang perikanan membutuhkan investasi cukup
besar dan cenderung mengandung resiko yang besar dibandingkan sektor usaha
lainnya. Penanaman investasi yang besar mengandung resiko yang lebih besar pula,
oleh sebab itu para nelayan tidak mau mengambil resiko yang besar maka
kebanyakan dari nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap
yang lebih sederhana, atau hanya menjadi buruh nelayan.
91
Begitu juga yang terjadi
pada masyarakat Kalibuntu, mereka yang menjadi buruh nelayan lebih dominan
dibandingkan pemilik modal dan pemilik perahu hal ini di sebabkan karena
perekonomian secara umum di Kalibuntu banyak dilakukan oleh hasil penangkapan
ikan.
Dalam hubungannya, pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan ini
terlibat dalam suatu pembagian hasil sering tidak menguntungkannya. Yakni lebih
menguntungkan salah satu pihak. Hal yang paling mendasar adalah pemilik modal
yang mengambil fee 15-20% sebagai kompensasi dari peminjaman modal oleh
pemilik perahu. Inilah hasil wawancara peneliti dengan para nelayan yang terikat
kerjasama dalam sebuah hasil usaha.
Bapak Zaini sebagai Orenga atau pemilik perahu Lancar saat peneliti
mewawancarainya menuturkan bahwa:
Terjadinya bagi hasil ini adalah berawal dari saya ingin membeli
perahu sedangkan uang yang ada pada saya kurang, misalnya harga
perahu Rp.150.000.000,- sedangkan uang yang saya punya hanya Rp.
80.000.000,-untuk menutupi kekurangan tersebut saya meminjam uang

91
Bagong Suyatno, Perangkap Kemiskinan:Problem dan Strategi Pengentasannya Dalam
Pembangunan (Yogyakarta:Aditya media,1996.),38.
91
pada pemilik modal, sebenarnya saya mau pinjam di KUD tapi disini
tidak ada, kalau pinjam di Bank terlalu ribet dan saya tidak bisa bayar
bunganya. dan tiap bulannya harus setor sedangkan pendapatan dari
hasil tangkap ikan ini tidak menetap. Sedangkan kalau pinjam pada
pemilik modal tidak ada bunganya tapi kompensasinya akan
mengambil fee 15-20% dari hasil tangkapan sebelum dibagi tiga
bagian.
92

Peneliti tidak hanya menemui Bapak Zaini saja tetapi peneliti juga menemui
Bapak Anshori yang juga sama-sama memiliki profesi yang sama yakni sebagai
pemilik perahu.
Hasil wawancara dengan bapak Anshari sebagai pemilik perahu mengatakan:
Saya melalukan kerjasama bagi hasil ini kurang lebih sudah sekitar 10
tahunan, dan sampai sekarang saya belum bisa melunasi hutang saya
pada ambeen
93
saya. Bagaimana saya bisa membayar hutang saya
yang jumlahnya lumayan besar sedangkan panghasilan yang saya
peroleh dengan buruh saya setiap harinya tidak menetap, untuk
pembayarannya harus tunai jika tidak maka saya akan tetap menjadi
ambean mereka. Awal terjadinya peminjaman ikatan ini karena saya
membeli perahu tapi uang yang saya miliki tidak cukup akhirnya saya
berhutang pada pemilik modal itu dengan konsekwensi pemilik modal
akan mengambil fee dari hasil tangkapan dan ini berjalan selam hutang
belum terlunasi, kalau berhutang pada pemilik modal ada enaknya dan
enggaknya, enaknya ya tidak ada batasnya dan tanpa bunga sedangkan
tidak enaknya pengambilan feenya itu mbak yang menurut saya terlalu
memberatkan. Jika perahu saya bekerja dan memperoleh ikan sebagai
hasil tangkapan maka saya sudah tidak ikut-ikutan karena sudah
menjadi urusan pemilik modal itu, artinya saya hanya menerima uang
hasil penjualan tersebut yang sudah diproses oleh sang pemilik
modal
94

Bagi masyarakat nelayan khususnya Kalibuntu tengkulak merupakan
tumpuan dan tempat hidup dalam situasi apapun, para tengkulak akan berupaya keras
untuk membantu nelayan. Misalnya memberikan pinjaman modal sebesar yang

92
Zaini, Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007)
93
Ambeen sekelompok nelayan yang bekerja dalam satu unit perahu dan hasil tangkapannya menjadi
langganan untuk dijual oleh orang yang memberikan kontribusi modal dalam pemberian perahu
beserta alat tangkapnya.
94
Anshari Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007).
92
dibutuhkan nelayan tanpa batasan minimal dan maksimal kepada nelayan (pemilik
perahu) untuk menutupi kekurangan biaya pembelian sebuah perahu dan peralatan
tangkapnya, tanpa agunan apapun.
Inilah hasil wawancara peneliti dengan Hj. Habibah sebagai pemilik modal
yang bekerjasama dalam membagi hasil keuntungan.sebagai berikut:
Proses peminjaman ini tidak birokratis, tidak berbelit-belit, dan tanpa
agunan, cukup atas dasar kepercayaan dan saling mengerti semata,
sedangkan batas waktu pengembalian uang pinjaman tidak ada
batasnnya, kalau dia mampu membayar dalam satu tahunnya ya saya
terima maka ambeannya beralih pada pemilik parahu itu. Jika dalam
hal operasionalnya juragan itu tidak bisa memberikan keuntungan pada
saya dalam artian sering tidak mendapatkan hasil dan jelas itu
merugikan bagi saya maka hutangnya saya tagih, dan hak saya untuk
menjual perahu dan alat tangkapnya. Misalnya pemilik perahu
meminjam uang sebesar Rp. 20.000.0000,- kemudian usaha
penangkapan ikannya bangkrut/ sering tidak dapat maka saya akan
menjual perahu atau mengambil perahu untuk dibayarkan pada
hutangnya, jika ada sisa maka akan diberikan pada pemilik perahu,
konsekwensi yang harus saya terima dalam bagi hasil ini adalah jika
perahu ambeen saya tenggelam maka pemilik perahu tidak usah
membayar hutangnya. (terhapus dengan sendirinya).
95


Tidak jauh berbeda proses peminjaman ikatan yang diterapkan oleh H.
Fathoni Syukron, namun yang perlu diperhatikan oleh peminjam adalah mengenai
batasan waktu peminjaman dan batas minimal dan maksimal, menurut keterangan
beliau adalah:
Dalam melakukan sebuah kerjasama bagi hasil ini, selain berasaskan
saling percaya, juga terletak pada ketentuan atau persyaratan yang
harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang melakukan kerjasama ini
misalnya, peminjaman minimal Rp.20.000.000,- dan jika peminjaman
diatas Rp.50.000.000,- maka akan dibuatkan surat perjanjian yang
bermaterai. Selain itu juga ada batasan waktu maksimal pembayaran
pinjaman yakni 2 tahun.
96


95
H. Habibah, wawancara Pemilik Modal (Kalibuntu, 07 April 2007).
96
H. Fathoni Syukron, Wawancara Pemilik Modal (Kalibuntu, 07April 2007).
93
Lain pemilik modal lain pula peraturannya, H. Maksum yang memiliki
ambeen kurang lebih 70 perahu mengatakan bahwa:
Pinjaman ikatan ini tidak ada batas waktunya dan tidak ditentukan
minimal maksimalnya. Hanya saja dalam pemberian pinjaman ikatan
ini saya memilah-milah mana yang banyak memberikan keuntungan
terhadap saya dan akan saya pertahankan tetapi sebaliknya, saya tidak
akan memberikan pinjaman pada yang tidak cakap dalam bekerja,
pemilik modal mana yang mau dirugikan jika dalam setahun tidak
menguntungkan bagi pangambenya.
97

Selain peneliti mewawancarai pemilik perahu, pemilik modal dan buruh
nelayan peneliti juga mewawancarai petugas TPI (Tempat Pelelangan Ikan) berikut
hasil wawancaranya:
Bapak H. Hasan Marzuki sebagai Pelelang Ikan menuturkan bahwa:
Pemilik modal selain mengambil fee dari hasil tangkapan, juga
mendapatkan laba dari saya sebagai pelelang ikan. Dan pemilik perahu
tidak tahu tentang masalah ini.
98

Bagi nelayan miskin (buruh nelayan) persoalan yang paling penting dan
urgen adalah bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu yang cepat
meskipun sering mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan
dari hasil kerjasama tersebut.
Hasil wawancara dengan Bapak Junaidi

yang sudah lebih banyak
berpengalaman, beliau bekerja sebagai nelayan buruh kurang lebih selama 25 tahun,
dan kebetulan bapak Junaidi yang peneliti wawancarai paham dengan bahasa
Indonesia walaupun masih dicampur dengan bahasa madura. Sehingga peneliti tidak
merasa kesulitan dalam mewawancarainya.


97
H. Maksum Wawancara Pemilik Modal, (Kalibuntu 07April 2007).
98
H. Hasan Marzuki, wawancara Pelelang Ikan (Kalibuntu, 14 April 2007).
94
Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan beliau tentang bagi hasil:
Saya bekerja keras di laut dengan penuh resiko, hanya mendapat
bagian yang sangat kecil, sedangkan pemilik perahu yang tinggal
didarat walaupun sebagian dari mereka ikut bekerja mendapat bagian
yang lebih besar, belum lagi kerusakan-kerusakan yang harus
dibebankan pada saya dan teman-teman, keadaan sulitpun pernah saya
lalui setelah seharian bekerja saya hanya pulang tanpa membawa hasil
apapun, dalam satu harinya saya kadang hanya mendapat Rp.5000.-,
Yaa pernah juga olle tengga tak olle dherek
99
. sebenarnya saya
sangat dirugikan dengan sistem bagi hasil ini, pernah saya bertanya
tentang pembagian hasil yang menurut saya sangat tidak adil ini pada
juragan saya tapi juragan saya menyuruh saya pindah kerja pada
juragan lain setelah saya melunasi hutang saya padanya. Akhirnya saya
tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menerimanya, mungkin karena
sudah kebiasaan akhirnya saya tidak merasa terbebani dengan sistem
bagi hasil ini, yang penting bagi saya adalah bisa memberi makan anak
dan istri saya. Untuk menutupi kekurangan dalam kebutuhan keluarga
ya dengan cara menambah hutang pada juragan saya.
100

Begitu juga dengan yang dialami oleh bapak Bukhori yang juga berprofesi
sebagai buruh nelayan.
Hasil wawancara dengan beliau adalah:
Sangat berat mbak menjadi nelayan, apalagi cuma jadi buruh banyak
kerjanya tapi sedikit hasilnya, memang pada musim ikan pendapatan
yang saya peroleh bisa mencapai Rp.500.000,- tapi habis pada waktu
itu juga karena uang itu saya belanjakan dan membayar hutang pada
juragan (orenga) jika ada sisanya saya gunakan untuk menutup
kebutuhan keluarga sehari-hari, namun sering tidak mencukupi karena
ketika saya bekerja dalam satu bulan lebih sering tidak mendapat ikan,
di tambah masa penangkapan ikan yang hanya semusim dalam satu
tahun, menyebabkan pendapatan yang saya peroleh sangat kecil. Ya
untungnya saya masih dibantu oleh istri saya berdagang ikan asin, ikan
bakar dan pindang ke daerah-daerah lain (edder)
101
. Jika musim
paceklik tiba (musim angin barat), saya sering menjual barang-barang
yang saya beli sebelumnya. Jika tidak ada barang yang dijual maka

99
olle tengga tak olle dherek para nelayan yang mendapatkan hasil tangkapan ikan yang sangat
banyak tetapi setelah dijual mendapatkan uang yang sedikit karena harga jualnya sangat murah.
100
Junaidi, Wawancara Nelayan buruh (Kalibuntu, 06 April 2007).
101
Edder seseorang atau sekelompok orang yang menjual atau menjajakan hasil tangkapan ikan dari
para nelayan, dari daerah Kalibuntu ke daerah lain dengan sistem door to door (bukan di jual di
pasar) yang dilakukan oleh istri-istri nelayan untuk membantu perekonomian suami dengan sistem
tradisional.
95
saya menambah hutang, khususnya kepada juragan untuk menutupi
kebutuhan hidup keluarga.
102

Bagi hasil merupakan pembagian hasil keuntungan yang diterapkan oleh
lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi secara syraiah. Pada mekanisme
lembaga keuangan syariah pendapatan hasil ini berlaku dalam bentuk kerjasama.
Dalam sistem bagi hasil keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara
proposional antara shohibul maal dengan mudharib yang disepakati sebelumnya dan
secara eksplisit disebutkan dalam awal perjanjian.
103

Jika dalam usaha bersama tersebut mengalami resiko kerugian, maka dalam
konsep bagi hasil kedua belah pihak akan sama-sama menanggung resiko. Disatu
pihak pemilik modal menanggung kerugian modalnya, di pihak lain pelaksana atau
pekerja akan mengalami kerugian atas tenaga atau biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan.
104
Dengan kata lain masing-masing pihak yang melakukan kerjasama
dalam sistem bagi hasil akan berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan.
Sedikit berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Kalibuntu kerjasama
bagi hasil ini melibatkan beberapa pihak yakni ada yang bekerja sebagai pemilik
perahu atau Orenga, pemilik modal sebagai penyandang dana dan buruh nelayan
sebagai pekerja, namun yang berada pada posisi sebagai buruh lebih dominan dari
pada keduanya. Ketiga kategori sosial inilah memainkan peran utama dalam kegiatan
kerjasama bagi hasil.
Pada sistem ekonomi yang dipakai masyarakat nelayan berbeda dengan
sistem masyarakat lain (petani, industri dan pegawai negeri sipil) yang biasanya para

102
Bukhori, Wawancara Nelayan buruh (Kalibuntu, 06 April 2007).
103
Muhammad, Tekhnik Perhitungan Bagi Hasil Dan Bentuk Syariah (Cet II;Yogyakarta:UII Press
,2001),22.
104
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II ( Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995),
266
96
pekerja mendapat gaji atau upah secara tetap, akan tetapi pada masyarakat nelayan
khususnya nelayan Kalibuntu gaji ataupun upah memakai sistem bagi hasil. Cara
penghitungannya adalah sebagai berikut: dari hasil kotor disisihkan untuk pemilik
modal 15-20% dan sisanya dibagi tellon atau tiga bagian, yakni 1 bagian untuk
pemilik perahu dan 2 bagian untuk anggota nelayan. Yang 2 bagian untuk anggota
nelayan ini dibagi lagi sesuai jumlah anggota yang bekerja saat itu. Misalnya, Hasil
perolehan adalah sebagai berikut:
Contoh 1 (pada saat musim ikan)
Harga ikan 1 kg = Rp. 2000,-
Perolehan hasil tangkapan 1 Ton = 1000kg
2000 x 1000 = Rp. 2.000.000,-
Untuk Pemilik Modal 15% = Rp. 300.000,-
Untuk Pemilik Perahu 20% = Rp. 340.000,-
Sisanya untuk buruh nelayan = Rp. 1.360.000 : 30 orang. @= 45. 400
Contoh 2 (pada musim paceklik)
Harga ikan 1 kg = Rp. 5000,-
Perolehan 2 Beranjang = 200kg (1 beranjang berisi 1 kwintal)
5000 x 200 = Rp. 1. 000.000,-
Untuk Pemilik Modal 15% = Rp. 150.000,-
Untuk Pemilik Perahu 20% = Rp. 170.000,-
Sisanya untuk buruh nelayan = Rp. 680.000 : 30 orang. @= 22.700
Bagi para pemilik perahu maupun pemilik modal pendapatan yang diperoleh
akan jauh melebihi buruh nelayan hal ini karena para nelayan hanya menjadi buruh
97
pada perahu mereka sehingga pendapatan yang mereka peroleh lebih sedikit bahkan
kadang tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga mereka,
Dengan pembagian hasil tangkapan yang ada, sebenarnya hasil yang
diperoleh buruh nelayan tidaklah besar belum lagi ditambah kerusakan mesin,
peralatan, biasanya pemilik perahu akan membebankan biaya perbaikan tersebut
pada hasil tangkapan yang diperoleh, sebagai patnership tidak mau tahu dengan
kerusakan yang ada. Ketentuan ini semakin memperkecil nilai bagi hasil atau
pendapatan yang diperoleh buruh nelayan.
Sebagai buruh yang penghasilan utamanya adalah dari hasil menangkap ikan,
tentunya penghasilan yang mereka peroleh adalah bersifat harian dan jumlahnya sulit
ditentukan, berbeda halnya dengan buruh industri yang pendapatan atau gajinya
bersifat tetap. Selain itu, pendapatannya juga sangat bergantung pada musim dan
status nelayan itu sendiri, dalam arti ia sebagai Orenga (nelayan pemilik alat
produksi) atau buruh nelayan.
Dengan pendapatan yang bersifat harian, di tambah pembagian yang menurut
nelayan sangat merugikan, dan sangat tergantung pada musim, mereka (khususnya
nelayan buruh dan nelayan pandhige) sangat sulit dalam merencanakan penggunaan
pendapatan. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk membelanjakan uangnya
segera setelah mendapatkan penghasilan. Impilikasinya, nelayan sulit
mengakumulasi modal ataupun menabung.
Disamping itu tingkat pendidikan yang dimiliki nelayan atau anak-anak
nelayan Kalibuntu Kraksaan Probolinggo pada umumnya sangat rendah. Kondisi
demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain,
selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Sementara itu anak-anak
98
nelayan desa Kalibuntu yang berhasil mencapai pendidikan yang tinggi, maupun para
Sarjana Perikanan enggan berprofesi sebagai nelayan, karena menganggap profesi
nelayan sebagai lambang ketidakmapanan.
Perbedaan kualitas hidup antara juragan orenga dan buruh nelayan pandhige
sudah lumrah dalam usaha sektor kelautan. Penderitaan serta kemiskinan nelayan
tradisional telah merata di semua daerah di Indonesia. Mereka seolah bekerja hanya
untuk menyejahterakan majikan.
Sebagai pedagang perantara,
105
tengkulak (pemilik modal) yang dilingkungan
masyarakat nelayan Kalibuntu lebih dikenal dengan sebutan pangambe. Sekalipun
tengkulak disebut sebagai penyebab kemiskinan, akan tetapi keberadaannya tidak
dapat diabaikan karena tengkulak mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam
memenuhi kebutuhan sosial ekonomi nelayan, sebaliknya lembaga-lembaga
Pemerintah seperti TPI (Tempat Pelelangan Ikan) ataupun KUD (Koperasi Unit
Desa) belum mampu menjamin kebutuhan sosial ekonomi nelayan, khususnya pada
saat musim paceklik tiba.
Jika posisi dan peranan pangambe menguat, hal ini terjadi karena faktor
karakteristik usaha ekonomi perikanan kita, sistem pembagian kerja yang berlaku
dan lemahnya dukungan kelembagaan keuangan formal. Selama ini dunia perbankan
sangat sulit memberikan kredit usaha kepada nelayan, karena dianggap beresiko
tinggi. Seorang pangambe berani memberikan pinjaman modal sebesar yang
dibutuhkan nelayan tanpa batasan minimal dan maksimal kepada nelayan (pemilik
perahu) untuk menutupi kekurangan biaya pembelian sebuah perahu dan peralatan

105
Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan (Yogyakarta: LkiS, 2003),25.

99
tangkapnya, tanpa agunan apapun, selain itu yang membuat betah melakukan
pinjaman ikatan terhadap pemilik modal adalah karena proses peminjaman itu hanya
berasaskan saling percaya walaupun ada sebagian dari pemilik modal yang
memberlakukan syarat-syarat tertentu.
Manajemen tradisional yang tidak modern yang kurang memperhatikan sisi
administrasi dimana proses perjanjian hanya didasarkan saling percaya, padahal tidak
menutup kemungkinan diantara kedua belah pihak berkhianat karena bukan
didasarkan pada sistem manajemen yang modern atau tertib administrasi yang benar.
Dalam membangun kerjasama banyak didasarkan pada pengalaman atau
bukti-bukti hasil kerja nyata, bahkan pada hal-hal yang cenderung berbau mitos.
Misalnya kesadaran seorang pemilik modal untuk memberikan pinjaman modal
kepada pemilik perahu dengan melihat seberapa besar prestasi kerja yang dicapai
selama ini. Jika dalam perjalanan kerjanya sering menunjukkan prestasi kerja yang
bagus seperti perolehan tangkapan ikan maka ini lebih menarik investor untuk ikut
andil kerjasama dengan cara tanam modal.
Salah satu taktik yang di terapkan oleh pemilik modal pada para pemilik
perahu atau juragan yang cakap dan rajin bekerja, beliau akan selalu memberikan
pinjaman ikatan agar mereka tidak berpindah pangambe, caranya bermacam-macam
ada yang menanggung agar pemilik perahu pergi Haji, membangun rumah, membeli
perahu lagi dan lain-lain, namun akadnya tetap sebagai hutang sehingga menambah
jumlah pinjaman Orenga kepada pangambe. Yang lebih parah lagi jika terdengar
kabar bahwa pemilik perahu akan membayarkan hutangnya pemilik modal akan
mengandalkan dukun untuk menggagalkan rencana pembayaran hutang tersebut
100
Dari hasil perjanjian antara pemilik perahu dengan pemilik modal akan
mengambil fee 15-20% per-kilo dari hasil tangkapan yang diperoleh dalam sekali
melaut sebelum dibagi tiga bagian, sedangkan sisanya setelah dikurangi biaya
operasional dibagi pada pemilik perahu satu bagian selebihnya dibagi pada
anggotanya sesuai dengan kedudukannya atau statusnya. Dalam sistem bagi hasil ini
buruh nelayan mendapat bagian yang paling sedikit.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa kerjasama bagi hasil keuntungan
pada masyarakat nelayan di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo sepintas dapat
dikategorikan ke dalam bentuk kerjasama Mudharabah, karena dalam konsep
mudharabah seseorang atau salah satu pihak menyediakan modal dan yang lain
menawarkan jasa atau tenaga, dan keduanya akan membagikan keuntungan
berdasarkan syarat-syarat perjanjian yang dibuat diantara kedua belah pihak, jika
terjadi kerugian maka ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut
bukan disebabkan oleh kelalaian pengelola.
106
Sistem kerjasama ini berbeda dengan sistem Murabahah, Hiwalah dan
Syirkah.
1. Kerjasama murabahah merupakan kerjasama dalam bentuk jual-beli yang
bersifat amanat dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang yang akan
di beli termasuk harga dan keuntungan yang akan diambil.
2. Kerjasama hiwalah adalah suatu cara memindahkan tanggung jawab
penyelesaian utang yang tidak sanggup lagi membayarkan hutangnya kepada
orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih.

106
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I ( Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995),302
101
3. Dan tidak pula dikategorikan kedalam bentuk kerjasama syirkah karena bagi
hasil dalam syirkah perjanjian akadnya menetapkan adanya hak milik
bersama antara dua orang atau lebih, apabila terdapat keuntungan dalam
kerjasama itu maka dibagi menurut modal masing-masing, jika mengalami
kerugian maka ditanggung menurut modal masing-masing.
2. Sistem Kerja Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal Dan Buruh Nelayan
Di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo
Dalam hal operasional kerjanya para nelayan Kalibuntu sangat ditentukan
oleh kecanggihan peralatan yang mereka miliki, ada yang hanya berlayar dekat
menyusuri pantai dan ada pula yang sampai kelautan lepas. Menurut para ahli lebih
dari 50% dari ikan di seluruh dunia dalam kawasan sampai beribu-ribu jumlahnya
pada jarak antara 30-10 km dari pantai. Sedangkan jam kerja orang-orang nelayan
tidak terikat oleh waktu seperti yang dikatakan oleh Bapak Bukhori dan Bapak
Junaidi sebagai buruh nelayan bahwa:
Dari hasil wawancara dengan Bapak Bukhori dan Junaidi sebagai buruh
nelayan mengatakan:
Bekerja mencari ikan itu tidak terikat dengan waktu, bisa siang,
malam dan pagi, tergantung dengan pasang surutnya air laut. Namun
saya dengan teman-teman yang berjumlah 30 orang berangkat kerja
pada jam dua siang dan pulang pada besoknya sekitar jam tujuh pagi
sudah sampai di darat, jika kami tidak andhun
107

Selain itu, mencari ikan di daerah lain (andhun) di lakukan dengan batas
waktu yang tidak terikat tergantung pada kemurahan laut yang berarti daerah itu
akan ditinggalkan dan kembali ke laut Kalibuntu manakala perolehan ikan sedikit.
Sementara hasil tangkapan di jual pada daerah-daerah lain yang dinilai harga pasar

107
Bukhori dan Junaidi wawancara (Kalibuntu, 06-April-2007).
102
ikan lebih menguntungkan, yang menarik bagi peneliti keuntungan yang diperoleh
dari hasil penjualan ikan oleh para anggota (buruh nelayan) dikirimkan pada keluarga
melalui para nelayan lain yang kebetulan pulang, tidak harus menunggu perahu yang
ditumpanginya itu pulang.
Salah satu yang menonjol dalam hubungan kerja antara buruh nelayan dan
pemilik perahu adalah sikap saling percaya. Pemilik kapal dalam hal mengetahui
hasil tangkapan ikan, benar-benar mengandalkan rasa percaya kepada anggotanya
atau buruh nelayan yang membawa kapalnya. Sebagai orang darat, ia tidak akan tahu
dengan persis berapa besar hasil ikan tangkapan anggota-nya, baik yang
menggunakan jaringnya atau alat pancing pribadi.
Untuk menumbuhkan rasa saling percaya tentunya tidak mudah dilakukan
apalagi bila kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik. Oleh karena itu,
para pemilik perahu biasanya merekrut tekong atau nakhoda kapal yang masih
memiliki hubungan keluarga dengannya, agar rasa saling percaya dapat terus terjaga.
Rasa percaya juga dibutuhkan oleh anggota terhadap pemilik kapal. Para buruh
nelayan akan semakin setia bekerja kepada pemilik kapal, bila di luar hubungan kerja
ia selalu mendapat bantuan. Misalnya, seperti yang diungkap oleh beberapa anggota
"LANCAR", bila masa paceklik ikan tiba dan nelayan tidak bisa melaut, mereka bisa
mendapat bantuan dari pemilik. Bantuan itu bisa berbentuk pinjaman ringan dan
pembayarannya langsung dipotong dari hasil tangkapan ikan yang bersangkutan,
setelah masa paceklik berakhir.
Dalam beberapa kasus, para orenga biasanya mencoba memperpendek
jarak/gap dengan para anggota. Hubungan orenga dan anggota yang biasanya
bersifat atasan-bawahan, dalam beberapa hal bisa cair. Seperti yang dilakukan oleh
103
Zaini kepada buruhnya. Saat anggota Lancar pulang melaut, tak segan Zaini
berenang ke tengah laut meghampiri kapal-kapal miliknya yang akan berlabuh.
Tindakan Zaini ini, bagi anggotanya dianggap sebagai tindakan mengakrabkan dan
mendekatkan diri.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Zaini pemilik perahu beliau
mengatakan:
Memang semenjak jadi juragan perahu, saya tidak lagi melaut dan
saya serahkan pada pandhige yang masih ada hubungan famili dengan
saya, hal ini saya lalukan agar silaturrahmi tetap terjaga antara saudara
dan juga kalau dengan keluarga lebih percaya, jadi saya hanya
menunggu didarat dan menunggu hasil penjualan yang dikakukan
pemilik modal
108

Keharmonisan dalam bekerja menjadi modal pokok keutuhan anggota, tidak
ada jaminan dari masing-masing buruh nelayan (anggota) terus berada dalam satu
kelompok. Ketidak cocokan atau cekcok antara sesama anggota bisa menyebabkan
para buruh nelayan pindah pada kelompok yang lain. Ketika jumlah anggota semakin
berkurang maka perahu bisa berhenti bekerja karena tidak cukup tenaga untuk
mengoperasionalkan alat tangkap ikan, hal inilah yang selalu dijaga oleh sang
pemilik perahu untuk terhindar dari kebangkrutan.
Disisi lain masing-masing anggota diikat oleh pinjaman hutang kepada sang
pemilik perahu sehingga aspek ini membuat tidak secara serta merta anggota pindah
pada perahu yang lain manakala belum melunasi hutang sebagai kontrak kerja,
sungguhpun demikian hutang sebagai ikatan kerja bukan menjadi persoalan serius
bagi para anggota karena seandainya anggota tersebut pindah pada perahu lain maka,

108
Zaini, Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007).
104
sang pemilik perahu yang baru sanggup memberikan pinjaman sejumlah pinjaman
yang dipinjamkan oleh pemilik perahu sebelumnya.
Hasil wawancara yang lain sebagai pemilik perahu Bapak Anshari yang
sudah berusia 54 tahun ini menuturkan:
Sejak umur 45 saya sudah tidak ikut bekerja lagi dan digantikan oleh
anak tertua saya, kalau dulu saya ikut bekerja, disamping mengawasi
anak buah juga karena ingin memperoleh hasil yang lebih banyak
karena saya lebih berpengalaman dalam teknis menangkap ikan kecuali
itu, karena di desa saya ikannya sudah habis maka saya dan anak buah
pergi andhun. Yang paling sering ke Puger karena disana banyak
ikannya (kawasan laut yang menjadi daerah operasional msyarakat
nelayan Kalibuntu).
109

Dengan tindakan mengakrabkan dan memperpendek jarak antara orenga dan
buruhnya, setidaknya diperoleh dua keuntungan bagi pemilik kapal. Pertama, para
anggota akan terus jujur dalam melaporkan hasil tangkapannya, karena hubungan
dengan tuannya sangat dekat. Kedua, pemilik dapat terus mengikat para buruhnya
agar tidak berpindah ke pengusaha kapal lain, karena mereka akan semakin percaya
kepadanya. Terbukti, dari pengakuan beberapa anggota Lancar, mereka merasa lebih
baik bergabung dengan Zaini karena ia dapat dipercaya. "Walaupun ngomongnya
ceplas ceplos, kami tetap menghargainya karena tahu sebenarnya ia memiliki hati
nurani yang baik," ujar Junaidi.
Jika sudah sampai di darat pemilik perahu dan pemilik modal sudah
menunggu hasil tangkapan yang kemudian beliau menuju tempat pelelangan ikan.
Ikan yang diperoleh langsung ditimbang bersama; Pemilik modal dan pembeli
(pelelang ikan). Setelah harganya dapat ditaksir, pemilik modal akan mengambil fee
15-20% per-kilo dari hasil tangkapan. Pemilik kapal akan langsung memotong uang

109
Anshari Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007).
105
hasil penjualan ikan tersebut untuk pembayaran solar, biaya makan anggota, dan
lain-lain. Kadang-kadang, pemilik juga melakukan pemotongan untuk biaya
perawatan kapal. Sisa uang akan dihitung sebagai laba bersih yang akan dibagi antara
pemilik kapal dan buruh nelayan. Dari laba bersih itu, pemilik kapal biasanya akan
memperoleh satu bagian, sisanya, dua bagian diberikan kepada anggotanya (buruh
nelayan). Dari jumlah tersebut para nelayan harus membaginya kembali di antara
mereka, bergantung pada jumlah anggota.
Hasil wawancara dengan pemilik modal, beliau mengatakan:
Jika ikan sudah sampai di darat maka itu sudah tugas saya untuk
mencarikan pasar dan Orenga hanya menunggu hasil perolehan
tersebut. Jika pedagang perantara tidak bisa membayar pada saat itu
juga maka tugas saya yang memberikan uang terlebih dahulu pada
pemilik perahu.

Sesuai pembahasan di atas pada pembahasan sistem kerja terdapat tiga
peranan yang berbeda dalam sistem kerja bagi hasil di desa kalibuntu. Pertama,
sebagai pemilik modal ia berfungsi sebagai pemberi pinjaman modal untuk membeli
kekurangan perahu kepada pemilik perahu. Kedua, pemilik perahu berfungsi sebagai
juragan perahu, ia menyediakan perahu bagi buruh yang mau bekerja padanya untuk
mencari ikan. dan yang Ketiga, sebagai buruh nelayan bertugas bekerja menangkap
ikan di laut.
Sistem pembagian tugas antara pemilik modal, pemilik perahu dan buruh
nelayan pada hakikatnya tidak ada peraturan yang pasti atau undang-undang yang
tetap bagi para nelayan, akan tetapi sesuai kultur masyarakat pantai yang telah
mengakar seakan-akan menjadi sebuah kewajiban dan tidak dapat dipungkiri lagi
adanya.
106
Pada umumnya pemilik modal cenderung memiliki peran pada posisi paling
tinggi, yaitu menjadi penguasa bagi pemilik perahu dan buruh nelayan. Ia tidak akan
pernah tahu tentang kondisi bawahannya saat bekerja atau melaut, ia hanya
menerima hasil ikan yang didapat oleh buruh nelayan untuk kemudian dijual.
Pemilik perahu berstatus sebagai tuan kedua setelah pemilik modal.
Terkadang tuan kedua ini juga tidak mau tahu terhadap bawahannya atau buruh
nelayan sebagai buruh atau pekerja di perahunya. Ia hanya duduk manis menunggu
jatah bagi hasil dari ikan yang telah dijual oleh pemilik modal. Akan tetapi ada
sebagian juga dari pemilik perahu yang mengawasi dan memantau terhadap
bawahannya atau buruh nelayan ketika berangkat dan datang melaut untuk
mengetahui kondisi atau keselamatan bawahannya.
Buruh nelayan berstatus sebagai anak buah atau bawahan, ia mempunyai
peran menangkap ikan di laut saja, kemudian menyerahkan ikan tersebut kepada
pemilik modal untuk dijual dan menunggu jatah hasil ikan dari pemilik perahu.
Peranan yang berbeda ini mempengaruhi terhadap pembagian hasil yang
berbeda pula. Pemilik modal mempunyai hak otoritas dalam mengkoordiner dan
menentukan harga ikan serta laba yang diinginkan. Cara jual beli yang menindas ini
lumrah bahkan sudah mentradisi di kalangan pangambe. Sesuai data yang didapat,
pemilik modal menetapkan minimal 15% per-kilo ikan dari harga yang didapat.
Selebihnya diserahkan kepada pemilik perahu dan buruh nelayan. Pihak kedua
(pemilik perahu) mendapat 20% atau 1 bagian dari uang yang didapat dari hasil
penangkapan, dan pihak ketiga (nelayan) mendapat 2 bagian dari dari pemilik
perahu. Dua bagian tersebut dibagi sebanyak buruh nelayan, biasanya terdiri dari 25-
30 orang.
107
3. Sistem Pembagian Hasil Yang Tidak Adil
Dari data yang diperoleh melalui wawancara dapat diketahui bahwa
pembagian hasil kerjasama yang dilakukan oleh pemilik modal, pemilik perahu dan
nelayan di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinngo penulis melihat terdapat
kepincangan, terbukti dari pembagian yang tidak merata antara ketiga element
tersebut. Hal ini bisa dilihat pada hasil wawancara berikut:
Dari hasil wawancara dengan bapak Buhari dan Junaidi sebagai buruh
nelayan mengatakan:
Misalnya, setiap perahu motor mempekerjakan 30 orang. Pendapatan
kotor Rp.1.000.000-, dan bersih dari setiap perahu rata-rata Rp.
750.000-, dari uang itu, sebanyak Rp.250 menjadi jatah majikan dan
Rp.500.000-, sisanya dibagikan kepada 30 orang buruh nelayan,
sehingga setiap orang hanya mendapatkan kurang lebih Rp 17.000-,
mana cukup mbak penghasilan yang seperti ini untuk keluarga,
sementara harga beras dan minyak goreng kian hari kian mahal, belum
lagi biaya sekolahnya anak-anak. Kalau sudah tidak mencukupi ya
hutang lagi pada juragan
110

"Bapak Bukhari menambahkan Bayangkan, kami banting tulang siang
dan malam bertarung menghadapi gelombang laut yang kadang
mengerikan, tapi tiap harinya hanya meraih penghasilan Rp.17.000 per
orang, itu masih lumayan kadang kami hanya pulang dalam keadaan
tangan kosong. Tidak ada bantuan dari pangambe kecuali nambah
hutang atau istri yang bantu bekerja"
111

Sistem bagi hasil yang tidak adil seperti ini menyebabkan kehidupan buruh
nelayan Kalibuntu berada pada kemiskinan struktural yang setia menemani
perjalanan hidup mereka. Menurut hemat penulis ada 2 persoalan serius yang harus
dicermati

110
Bukhori wawancara (Kalibuntu, 06-April-2007).
111
Junaidi wawancara (Kalibuntu, 06-April-2007).
108
Pertama, penerapan sistem bagi hasil yang dilakukan majikan. Dalam sistem ini
ditetapkan pendapatan bersih dari hasil penangkapan ikan pada setiap
perahu dibagi tiga. Sebanyak 1 bagian menjadi milik Pemilik perahu dan
dua bagian dibagi merata kepada semua buruh nelayan dari perahu itu, jika
terjadi kerusakan pada peralatan, pembelian solar dan sebagainya
dibebankan pada nelayan buruh yang diambilkan dari hasil tengkapan.
Sementara itu pemilik modal yang hanya memberikan pinjaman modal
pada pemilik perahu tidak memberikan kontribusi apapun jika terjadi
kerusakan, bahkan mereka tidak mau tahu dengan kondisi yang terjadi.
Kedua, kesulitan nelayan mendapatkan modal usaha karena ketiadaan barang yang
dijadikan sebagai agunan kredit. Hal ini dimaklumi sebab nelayan
tradisional umumnya tidak memiliki tanah atau benda berharga lain yang
bernilai ekonomis tinggi, sehingga bank tak rela mengucurkan kredit
seperti yang diajukan, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, sikap
bank mungkin saja benar. Maklum, dalam dunia perbankan, agunan atau
bunga adalah wajib hukumnya dalam urusan perkreditan.
Ini sangat berbeda dengan kaum pangambe yang mengedepankan prinsip
saling percaya. Tak mengherankan, sekalipun tanpa bunga, tapi diberlakukan fee
sebesar 15-20% per hari, masih tetap saja dikejar rakyat kecil, seperti nelayan
tradisional. Persyaratan kredit modal usaha yang begitu ketat dari perbankan
membuat kehidupan sebagian besar nelayan tradisional jalan di tempat. Bagi mereka,
untuk bisa memiliki perahu sendiri, walaupun hanya dengan mesin 10 PK seharga
sekitar Rp 7,5 juta per unit, merupakan mimpi panjang yang tak berujung.
109
Yang di khawatirkan jika selama ini nelayan seolah-olah menerima begitu
saja peran tengkulak, apakah tidak mungkin hal itu terjadi karena di benak para
nelayan tidak ada pilihan atau alternatif lain sebagai pembanding? Apakah adil,
nelayan yang setiap hari harus menyambung nyawa di laut mencari ikan ternyata
taraf kehidupan mereka relatif tidak pernah beringsut, sementara itu, tengkulak yang
karena berbekal modal lebih besar dan menang posisi bargainingnya, lantas dianggap
sah untuk menikmati keuntungan lebih.
Seperti yang telah dikemukakan diatas, yang pertama bahwa posisi nelayan
yang menawarkan komoditas yang sifatnya rentan waktu, maka dengan sadar atau
tidak sadar mereka akan lebih mudah menjadi obyek eksploitasi pedagang perantara
atau tengkulak. Jadi, persoalannya di sini menurut peneliti, bukan apakah nelayan
merasa berutang budi atau tidak, nelayan merasa dieksploitasi atau tidak, tetapi yang
lebih penting adalah secara obyektif sejauh mana pembagian keuntungan dan risiko
antara pemilik perahu, nelayan buruh dan tengkulak itu sudah proporsional dan adil.
Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip
keadilan dan pelaksanaannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Islam
memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan sebagai pengganti amalan-amalan
tradisional yang amat bertentangan.
112
Kultur yang ada atau tradisi para pemilik modal dan pemilik perahu
cenderung menguasai para nelayan, kecenderungan untuk menguasai ini menjadi hal
yang biasa karena ketidak berdayaan kaum buruh yang disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan dan faktor rendahnya ekonomi yang mereka miliki. Kondisi
semacam ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk memberikan pembagian hasil

112
Ibid.74
110
yang tidak adil yakni cenderung lebih tinggi sehingga kaum buruh semakin terpuruk
dengan sistem bagi hasil ini.
Eksploitasi yang dilakukan pemilik modal membawa dampak terhadap
ketidak merataan pendapatan yang mereka peroleh. Pemilik modal yang hanya
menanamkan modalnya tanpa bekerja mendapatkan laba paling besar, kemudian
pemilik perahu juga tidak bekerja walau sebagian ada yang ikut bekerja mendapat
untung besar. Sedangkan buruh nelayan yang bekerja dan berjuang melawan
benturan-benturan badai berselimut angin dan berbantal ombak hanya mendapatkan
sebagian kecil saja dan terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari dalam keluarga. Hal ini dapat tergambar dengan jelas pembagian hasil
bahwa pemilik modal yang hanya meminjamkan modalnya pada pemilik perahu
mengambil fee 15-20% perkilo dari hasil perolehan.
Faktor ketidak adilan dalam pembagian tugas merupakan implikasi kultur
yang telah mengakar pada masyarakat nelayan. Budaya kapitalisme ini sulit dirubah
karena yang diprioritaskan bagaimana mendapat keuntungan dan tidak akan pernah
memikirkan nasib orang lain.
Budaya kapitalisme bagi masyarakat nelayan timbul karena belum adanya
kesadaran pendidikan bagi masyarakat nelayan. Mayoritas penduduk hanya
mengenyam pendidikan di sekolah dasar, sehingga belum mampu melakukan
perubahan kearah kemajuan dan keadilan seperti yang diidealkan.
Kondisi semacam ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk selalu
mengeksploitasi buruh nelayan dengan memberikan penghasilan yang tidak
sewajarnya. Keuntungan yang besar menjadi miliknya, sedangkan buruh nelayan
yang telah bekerja keras hanya mendapat hasil yang sangat sedikit.
111
Para kyai yang dianggap sebagai figur di Desa Kalibuntu Kraksaan
Probolinggo karena di angap lebih paham dan berwenang terhadap penegakan
hukum Islam tidak peduli dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya telah
melanggar hukum Islam, yaitu terjadi ketidak adilan dan merugikan salah satu pihak
dalam hubungan kerja nelayan. Padahal Islam telah mengajarkan secara gamblang
bagaimana seharusnya umat Islam selalu bersikap adil dan bijaksana terhadap
sesama manusia.
Dengan berbagai faktor tersebut di atas masyarakat di Desa Kalibuntu
Kraksaan Probolinggo sampai saat ini masih tetap dalam kondisi yang tidak dinamis
dan belum tercipta nuansa penanaman nilai yang demokratis seperti yang di idealkan
oleh semua orang khususnya para nelayan sendiri.
4. Solusi Alternatif
Sistem bagi hasil yang cenderung tidak adil dan kurang islami ini
sesungguhnya sudah berjalan puluhan tahun dan tetap eksis hingga hari ini seolah-
olah menjadi sistem yang sudah mapan, yang sudah tidak tersentuh oleh perubahan.
Sejauh pengamatan penulis sistem bagi hasil yang kurang ideal ini terus
bertahan bukan karena sistem ini dinilai sebagai sistem yang baik, tetapi disebabkan
oleh persoalan mendasar:
1. Perlu bimbingan keagamaan secara intensif dan berkesinambungan
Tidak ada penyuluhan secara khusus dan intensif dari pemuka agama atau para
ulama yang memberikan arahan dan bimbingan agar sistem bagi hasil yang
mereka lakukan sesuai dengan syariat Islam.
2. Dibutuhkan kontribusi pemikiran dari para praktisi hukum
112
Belum ada dari para Lawyer atau orang-orang yang berkompeten dalam
persoalan hukum yang memberikan bimbingan sebagai bentuk penyadaran akan
hak-hak kaum buruh sehingga tidak selalu menjadi pihak yang dirugikan.
3. Perlunya membangun kesadaran mental bagi ketiga kompenen pemilik perahu,
pemilik modal dan buruh nelayan
Pemilik modal dan pemilik perahu cenderung menikmati terhadap sistem bagi
hasil seperti tersebut karena memang secara kualitas memberikan keuntungan
yang lebih pada kelompok ini.
4. Pentingnya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan serta wawasan
buruh nelayan
Bagi para nelayan buruh berada pada posisi tidak berdaya karena keterbatasan
ekonomi mereka yang membuat ketergantungan hidup kepada kelompok pemilik
modal dan pemilik perahu. Selain itu, keterbatasan wawasan baik dalam
pemahaman tentang Undang-undang perburuhan maupun sistem syariat Islam,
juga memberikan andil untuk mereka tidak peka terhadap persoalan yang melilit
mereka.
5. Adanya kemauan yang kuat (political will) dari para penguasa untuk
meningkatkan pembangunan, sektor kelautan khususnya masyarakat nelayan.
Pembangunan di Indonesia serta kebijakan-kebijakan dari pemerintah kurang
memihak kepada masyarakat nelayan, pembangunan pedesaan misalnya, sering
dikaitkan dengan pembangunan pertanian dan jarang dikaitkan dengan
pembangunan nelayan yang justru hal ini juga merupakan alternatif lain
suksesnya pembangunan desa. Apalagi, secara geografis Indonesia juga disebut
113
sebagai Negara Maritim yang semestinya sektor kelautan khususnya masalah
kesejahteraan para nelayan mendapat perhatian yang signifikan.


114







BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi dan analisa yang penulis paparkan pada bab-bab
terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sistem Bagi hasil usaha yang dilakukan oleh pemilik perahu, pemilik modal
dan buruh nelayan yakni dari seluruh hasil penjualan diambil 15-20% oleh
pemilik modal atau tengkulak sisanya dibagi 3 bagian, 1 bagian diambil
sang pemilik perahu dan 2 bagian diberikan kepada buruh nelayan. Yang 2
bagian untuk buruh nelayan ini dibagi lagi sesuai jumlah anggota nelayan
yang ikut bekerja saat itu yang jumlahnya berkisar 25-30
2. Sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan adalah
pemilik perahu hanya menyediakan perahu beserta alat tangkapnya, namun
ada juga sebagian dari pemilik perahu yang ikut bekerja. Pemilik modal
selain menyediakan modal juga mencarikan pasar, menentukan harga jual
ikan sesuai harga yang di inginkan. Jika pelelang ikan tidak bisa membayar
115
dari hasil transaksi jual-beli tersebut, maka tugas pemilik modal yang
membayarkan pada nelayan. Sedangkan spesifikasi kerja dari anngota atau
buruh nelayan adalah hanya bekerja dilaut setelah sampai didarat hasil
tangkapan ikan menjadi urusan pemilik modal.
3. Sistem pembagian hasil yang tidak adil bila dilihat dari perspektif Hukum
Islam yakni tidak memenuhi rasa keadilan baik pemilik modal maupun
pemilik perahu yang cenderung mengeksploitasi dan menguasai para
nelayan buruh. Kecenderungan untuk menguasai ini menjadi semakin kuat
karena ketidak berdayaan kaum buruh yang disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan, rendahnya taraf ekonomi dan pinjaman yang bersifat
mengikat, tingkat pengetahuan hukum (hukum Islam dan hukum positif)
yang rendah sehingga kehilangan power terutama dalam memperoleh
pembagian hak-haknya sebagai buruh.
B. Saran-Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai bahan renungan
adalah sebagai berikut:
1. Perlu adanya penyuluhan hukum tentang sistem bagi hasil yang benar
menurut hukum Islam sehingga masyarakat bisa mengetahui sistem ekonomi
yang dibolehkan oleh Syariah (hukum Islam) dan bisa mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari, dan para buruh atau pekerja mendapat upah
yang layak dan semestinya.
2. Perlu adanya rasa keadilan dan penyadaran dari semua pihak terkait dengan
hak-haknya dan perbaikan struktur pembagian hasil tangkap sacara adil dan
merata.
116
3. Perlu adanya organisasi yang menunjang terhadap perkembangan dan
perbaikan sosial masyarakat pantai khususnya pada masyarakat Kalibuntu
Kraksaan Probolinggo.
4. Mengurangi ketergantungan terhadap tengkulak, sifat ketergantungan tersebut
dapat di pangkas dengan jalan memperkecil jumlah pinjaman ikatan baik
kepada pemilik modal maupun pemilik perahu.





117
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim Dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama Ri
Azwar Saifuddin, (2004)Metode Penelitian Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Arikunto Suharsimi, (2002)" Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Jakarta:
Rineka cipta.

Al-Rasid Harun, (2002)Naskah Uud 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah Oleh Mpr
Jakarta :Universitas Indonesia Press.

Ahmad Mustaq, (2001)Businnes Ethcnis In Islam Di Terjemahkan Oleh Samson
Rahman Etika Bisnis Dalam Islam Cet I;Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.

Bablily Mahmud Muhammad,(1990)Etika Berbisnis Studi Konsep Perekonomian
Menurut Al-Quran Dan As-Sunnah Solo:CV. Ramadhani.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1989) Kamus Besar Indonesia. Jakarta:
PT.Balai Pustaka.

Darmansyah, (1986)Ilmu Sosial Dasar (Kumpulan Essei Surabaya:Usaha
Nasional.

Ensiklopedia Indonesia (1983), Ichtiar Baru-Van Haevedan Elsevier Publishing
Projects, Jakarta

Ensiklopedia Hukum Islam, (2001)Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Gedong Bagus Ok Yb Mangun Wijaya, dkk, (1994)Spiritual Baru, Agama Dan
Aspirasi Rakyat,Yogyakarta.

Hadi Sutrisno, (1986)Metode Risech II Yogyakarta: Yayasan Penerbit Psikologi
UGM.

I Doi A.Rahman, (2002)Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari'ah)
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kusnadi, (2002)Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan Dan Perubahan Sumber Daya
Perikanaan Yogyakarta: Lkis.

---------, (2003) Polemik Kemiskinan Nelayan, Yogyakarta: Lkis.
---------, (2003)Akar Kemiskinan Nelayan Yogyakarta:LKis.
Karim Adhiwarman A.,(2001)Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer
Jakarta:Gema Insani Press.

118
Kartono Kartini, (1992)Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis(Apakah Pendidikan
Masih Diperlukan) Jakarta: CV. Mandar Maju.

Koentjaraningrat (2002)Metode-Metode Penelitian Masyarakat Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.

-------------------, (1990)Beberapa Pokok Antropologi Sosial Jakarta:Dian Rakyat.
-------------------, (1996)Pengantar Antropologi Jakarta:Rineka Cipta.
Muhammad, (2001)Tekhnik Perhitungan Bagi Hasil Dan Bentuk Syariah Cet
II;Yogyakarta:UII Press.

M. Syafii Antonio, (2001)Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek Jakarta:Gema
Insani Press.

Mansyur M.Khalil, (1984)Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa Surabaya:Usaha
Nasional Indonesia.

Michael Dove, Mubyarto, Loekman Soetrisno,(1984)Nelayan Dan Kemiskinan
Jakarta:CV. Rajawali.

Moleong Lexy J. (2002)Metode Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.

Nasution Harun, (1985)Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek Jakarta: UI Pers.
Pasaribu Chairun, (1994)Hukum Perjanjian Dalam IslamJakarta:Sinar Grafika.
Pramono Djoko,2005 Budaya Bahar Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Rahman Afzalur,(1995)Doktrin Ekonomi Islam Jilid I Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf.
-------------------,(1995) doktrin Ekonomi Islam Jilid IV Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf.
Rasyid Sulaiman, (1999)Fiqih Islam Jakarta:At-Thariyah.
Suyatno Bagong, (1996)Perangkap Kemiskinan:Problem Dan Strategi
Pengentasannya Dalam PembangunanYogyakarta:Aditya Media.

------------------, (2003)Upaya Menyejahterakan Nelayan Jawa Timur,
Meningkatkan Produktivitas Atau Deversifikasi Usaha? Harian Kompas.

Sabiq Sayyid, (1997)Tarjamah Fiqih Sunnah XIII Bandung :Pustaka.

Sadly hassan,(1980)Sosiologi Untuk Masyarakat IndonesiaJakarta:PT.
Pembangunan.

119
Soekanto Soerjono, (1990)Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta:Rajawali.
Sucipto. S, (1987)Aspek Sosial Budaya Dalam Perkembangan Pedesaan
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sudarsono, (1996)Pokok-Pokok Hukukm Islam Jakarta:Rineka Cipta.
Syamsul Arifin, 1993 Kecenderungan Masyarakat Nelayan Dalam Memilih
Pendidikan Dasar Bagi Anak Di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo
Iain Sunan Ampel Surabaya: Skripsi

Tim Penyusun (2002)Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Fakultas Syari'ah :UIN
Malang.

Tolhah Hasan Muhammad,(1987)Islam Dalam Perspektif Sosial Budaya
Jakarta:Galasi Nusantara.

Tim LIPI, Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih,
Sudiyono(2002)"Pemberdayaan Masyarakat Nelayan" Yogyakarta:Lkis.

Wisadirana Darsono, (2005)Sosiologi Pedesaan Malang: Umm Press.

Yasirah, 2002 Pengaruh Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan Terhadap
Pendidikan Anak Di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo UIN
Malang: Skripsi

Zuhri, Moh. Dipl, Tafl, (1994)Terjemahan Fiqh Empat Madzhab IV Semarang:
CV. As-syifa.

















120

Anda mungkin juga menyukai