Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam ( S.H.I. ) Program Strata 1 (S1)
Oleh:
Imilda Khotim NIM 02210109
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI'AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2007 2 BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO
SKRIPSI
Imilda Khotim NIM 02210109
Telah disetujui Oleh: Dosen Pembimbing
Roibin, M.HI NIP 150294456
Mengetahui: Dekan Fakultas Syariah
Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag NIP 150216425
3 PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain, namun peneliti juga mangakui bahwa dalam penulisan ini ada beberapa bahasa yang direduksi dari karya orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini semua sama, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 13 Juli 2007
Penulis,
Imilda Khotim NIM 02210109
4 PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Imilda Khotim, NIM 02210109, mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul: BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 13 Juli 2007
Pembimbing,
Roibin M.HI NIP 150294456
5 PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Imilda Khotim, NIM 02210109, mahasiswa Fakultas Syariah angkatan tahun 2002, dengan judul BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO
telah dinyatakan LULUS dengan Nilai A (Sangat Memuaskan ) Dewan Penguji:
Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag NIP 150216425 6 KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmannirrahim.
Tiada kata yang mampu terucap selain rasa syukur kepada Sang Khaliq yang senantiasa dan tak pernah lelah memberikan Rahman dan Rahim-Nya kepada penulis, berkat petunjuk dan pertolongan-Nya jugalah akhirnya penulis bisa merampungkan karya ilmiah yang berjudul: Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan Buruh Nelayan Menurut Hukum Islam di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo. Shalawat dan salam semoga tetap atas proklamator akbar Nabi Muhammad SAW yang dengan semangatnya beliau merubah dunia ini menjadi dunia lain yaitu Izzul Islam Wal Muslimin. Ungkapan terima kasih seiring doa dan harapan Jazakumulla Khaironjaza penulis haturkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu demi selesainya penulisan skripsi ini. Ungkapan terima kasih ini penulis haturkan kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang 2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan dan kehangatan dalam memajukan Fakultas Syariah. 3. Bapak Roibin, M.HI. selaku pembimbing penulis dalam penulisan skripsi ini, dengan ketekunan dan kesabaran, serta banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan hingga berakhirnya penulisan skripsi ini. 4. Bapak M. Juffry dan Ibu Siti Khuzaimah serta Abang dan Mbayu ku yang selalu memotivasi dan mensupport setiap langkahku dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap Dosen Fakultas Syariah khususnya Bapak Drs. Suwandi M.H. selaku Dosen Wali, atas segala bimbingan dan arahannya. Pak Abu Hasan Azzuhri SE yang telah banyak membantu serta teman-reman Fakultas Syariah angkatan 2002-2003 dan teman-teman PKLI Kelompok IV. 7 6. Bapak H. Akbar Khores Muhammad selaku Kepala Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo beserta stafnya, yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian dan membantu dalam mencari data yang penulis perlukan. Dan juga segenap element masyarakat Kalibuntu yang banyak memberikan informasi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini 7. Shabat seperjuangan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan teman-teman UKM Unit Olahraga (UNIOR) khususnya teman-teman Persatuan Bulutangkis (Badminton). 8. Sahabat terbaik Qu, Ajeng, Ihda, Ziza, Juned, Bibah, Nisa, Piie, Syaiful Ridwan, Mukhlisin, Nurul Khuzaimah, Umi Tsulasah, Abdullah Yaqien, Aliem, BaiQ Yulianti, Fahrurrazi, Royhan. (Hafidzah, Lilik Fathani, Aminullah) 9. Konco kost 168A, si kembar-kembir Uya& Inthung, Quman, Markutin, Jablay, Markentiez, M Hilma, Popona, Megi2, Ika, Yekti, Panjidoor, Rian, Mas Yusuf, Mas Imam. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis cukup bangga karena penulis telah berani melakukan sesuatu yang sebelumnya penulis anggap tidak mungkin. Dan karena dalam penulisan karya ilmiah ini penulis tidak melakukannya sendiri saja melainkan banyak pihak yang telah membantu, oleh karena itu maka selayaknyalah jika penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah berjasa kepada penulis. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif dari segenap pihak sangat penulis harapkan dan semoga semua yang mereka lakukan senantiasa dibalas oleh Allah SWT, dan semoga penulisan karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat. Amien Allahumma Amien.
Malang, 13 Juli 2007
Penulis,
Imilda Khotim 8 PERSEMBAHAN
Atas Nama Cinta dan Kasih Sayang Karya Ini Ku Persembahkan Pada
Ayahku M. Juffry dan Ibuku Siti. Khuzaimah yang Mengasihiku Setulus Hati, Sebening Cinta Dan Sesuci Doa. Bhakti Suci Nanda Haturkan.
Abangku Drs. M. Khatib Al-Juffry & Supriyati yang telah banyak memberikan kontribusi dalam pendewasaan, pemikiran dan tindakan untuk mengantar adik tersayangnya meraih harapan dan kesuksesan.
Mbayuku Qudsiyah Al-Juffry & Asyary yang tak pernah bosan dengan keluh dan kesahku, menyemagati disaat aku malas, menegur disaat aku salah dan mengingatkan disaat aku lupa.
Abangku Drs. H. Syamsul Arifin Juffry, M. Ag. & Dra. Uswatun Hasanah yang tak pernah menyerah memotivasi dan memberikan semangat disaat adiknya lelah dan tergoda rasa keputus-asaan, Abang ternyata perkutut itu masih menyisakan SIUL untukku.
Mbayuku Yusroh Al-Juffry, S.Pd yang keikhlasannya tak bertepi dalam membimbing dan mengantar adiknya meraih kesuksesan.
Ponaan-ponaan-Qu yang lucu n imut-imut, melihat wajah kalian semangat 45-Qu tumbuh untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini.
Guru Alif-ku dan semua guru tanpa terkecuali yang mengantarku dalam meraih pelita studi sampai ke gerbang keberhasilan.
Special thanks to shabat Ainur, kau selalu mensupport & menanyaiku kapan selesai skripsinya??. Melda tahu kamu orang yang sibuk kerja, tapi selalu kau luangkan waktumu saat Melda membutuhkan bantuanmu, dan.... Banyak hal yang aku tidak tahu dan tak pernah aku mengerti namun kau telah mengajariku meskipun tanpa kamu sadari.
And the last, I just want to say thanks b4 u my friends 9 MOTTO
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)
Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Shaad: 24)
10 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i HALAMAN PENGAJUAN.........................................................................................ii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................................................iii HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................................iv HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................................v KATA PENGANTAR.................................................................................................vi HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................................viii HALAMAN MOTTO..................................................................................................ix DAFTAR ISI.................................................................................................................x DAFTAR TABEL.................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................xiv ABSTRAK..................................................................................................................xv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Rumusan Masalah ........ 8 C. Definisi Operasional............. 8 D. Tujuan Penelitian ............. 9 E. Kegunaan Penelitian ................................................ 9 F. Sistematika Pembahasan ..........9
BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu...............................11 11 B. Masyarakat Nelayan ...........14 1. Pengertian Masyarakat......16 2. Mata Pencaharian .........18 3. Peralatan dan Perlengkapan Menangkap Ikan..............19 C. Konsep Islam Tentang Bagi Hasil .................22 1. Mudharabah..............................................22 2. Murabahah....................................................28 3. Hiwalah.....................30 4. Syirkah......................33 D. Hak dan Kewajiban Pemilik Perahu Pemilik Modal dan Buruh Nelayan dalam Sebuah Usaha Bersama........................................................................39 1. Hak dan Kewajiban Pemilik Perahu.........................................................40 2. Hak dan Kewajiban Pemilk Modal...........................................................41 3. Hak dan Kewajiban Buruh Nelayan ........................................................41 E. Syarat-Syarat Dalam Membangun Sebuah Kerjasama ......42
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian...45 B. Pendekatan Penelitian ........46 C. Lokasi Penelitian.........46 D. Sumber Data................46 E. Metode Pengumpulan Data ....47 F. Metode Analisis Data .....49
BAB IV : LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Seting Sosial Desa Kalibuntu..........................................................................51 1. Asal Usul Nama Desa Kalibuntu..............................................................51 2. Kondisi Geografis Desa Kalibuntu. .........................................................52 12 3. Kondisi Demonografi Desa Kalibuntu .....................................................53 4. Pola Hidup Masyarakat Nelayan..............................................................54 a. Kondisi Sosial Budaya Desa Kalibuntu...................................................56 1) Kondisi Kemasyarakatan Desa Kalibuntu.........................................58 2) Kondisi Pendidikan Desa Kalibuntu.................................................59 3) Kondisi Ekonomi Desa Kalibuntu.....................................................62 b. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Kalibuntu............................................67 1) Sistem Kepercayaan Desa Kalibuntu................................................69 2) Sistem Upacara Keagamaan Desa Kalibuntu....................................71 B. Penyajian Hasil Penelitian..............................................................................74 1. Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan Buruh Nelayan di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo........................................................74 2. Sistem Kerja Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan Buruh Nelayan di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo........................................................86 3. Sistem Pembagian Hasil Yang Tidak Adil...................................................92 4. Solusi Alternatif.............................................................................................96
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan...............................................................................................99 B. Saran-Saran ....100
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
13 DAFTAR TABEL
TABEL I : 4.1 Luas Daerah Desa Kalibuntu..................................................52 TABEL II : 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dan Usia.............54 TABEL III : 4.3 Jumlah Sarana Pendidikan......................................................61 TABEL IV : 4.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Kalibuntu ........................64 TABEL V : 4.5 Jumlah Sarana Peribadatan.....................................................72
14 DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Konsultasi 2. Daftar Istilah 3. Daftar Informan 4. Draft Interview Kepada Kepada Desa 5. Draft Interview Kepada Pemilik Perahu 6. Draft Interview Kepada Pemilik Modal 7. Draft Interview Kepada Buruh Nelayan 8. Dokumentasi Masyarakat Nelayan Kalibuntu Karaksaan Probolinggo 9. Peta Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo 10. Surat Pengantar Penelitian Bakesbang dan Linmas Kota Probolinggo 11. Surat Keterangan Untuk melakukan Penelitian 12. Surat Keterangan Kepala Desa Kalibuntu kraksaan Probolinggo
15 Imilda Khotim 02210109, (BAGI HASIL ANTARA PEMILIK PERAHU, PEMILIK MODAL DAN BURUH NELAYAN MENURUT HUKUM ISLAM DI DESA KALIBUNTU KRAKSAAN PROBOLINGGO), Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Dosen Pembimbing : ROIBIN, M.HI
Kata Kunci : Bagi Hasil, Pemilik Perahu, Pemilik Modal, Buruh Nelayan Sistem bagi hasil dalam sebuah usaha yang melibatkan berbagai komponen, sangat mempengaruhi tingkat pendapatan yang bukan hanya berakibat pada kesejahteraan yang berbeda, tapi juga pada rasa keadilan dalam perolehan ekonomi. Ketidakadilan dalam sistem bagi hasil akan menjadi persoalan yang serius apabila ternyata berseberangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Persoalan akan menjadi semakin rumit bila sistem bagi hasil dinilai tidak memenuhi rasa keadilan terlebih melampaui batas-batas yang dibenarkan oleh syariat Islam, dianggap sesuatu yang biasa. Keadaan ini terjadi pada masyarakat nelayan Kalibuntu dalam sistem bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan. Kondisi inilah yang mendorong penulis ingin mengetahui lebih jauh Pertama: Bagaimana pembagian hasil usaha yang dilakukan oleh pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan. Kedua:Bagaimana sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan. Ketiga: Apakah terjadi sistem pembagian hasil yang tidak adil bila dilihat dari perspektif Hukum Islam. Untuk mengetahui permasalahan tersebut di atas, penulis memakai beberapa metode yang dinilai relevan untuk menggali data, menganalisis dan menarik sebuah kesimpulan dari persoalan tersebut. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kualitatif dan menggunakan literatur sebagai acuan dalam pembahasan serta melakukan kunjungan langsung pada obyek yang diteliti, yakni masyarakat nelayan di Desa Kalibuntu. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Dari kedua data ini penulis berusaha mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu menggambarkan keadaan atau status fenomena. Penulis berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam rumusan masalah dan menganalisis data-data yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Dari penelitian yang penulis lakukan ditemukan hal-hal sebagai berikut Pertama: Sistem bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan tidak memenuhi asas-asas Syariat Islam, masyarakat nelayan Kalibuntu menganggap sebagai tradisi sehingga tidak dianggap sebagai persoalan dan merasa tidak perlu dipersoalkan. Kedua: Sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan cenderung bersifat kapitalis yang banyak memihak pada kelompok borjuis atau para pemodal dan kurang menguntungkan pada kelompok proletar atau nelayan buruh. Ketiga: Sistem pembagian hasil tidak memenuhi rasa keadilan, baik pemilik modal maupun pemilik perahu cenderung mengeksploitasi dan menguasai para nelayan. Kecenderungan untuk menguasai ini menjadi semakin kuat karena ketidak berdayaan kaum buruh yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya taraf ekonomi dan pinjaman yang bersifat mengikat, tingkat pengetahuan hukum (hukum islam dan hukum positif) yang rendah sehingga kehilangan power terutama dalam memperoleh pembagian hak-haknya sebagai buruh. 16 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagai bangsa yang memiliki wilayah laut luas dan dataran yang subur sudah semestinya Indonesia menjadi bangsa yang makmur. Menjadi tidak wajar manakala kekayaan yang sedemikian besarnya ternyata tidak menyejahterakan. Krisis moniter dan ekonomi pada tahun 1997 diyakini sebagai puncak gunung es atas salah kelola negeri ini. Sebuah kehancuran negeri yang kaya adalah jika rakyatnya miskin, tanahnya subur namun pangan sangat mahal. 1 Kelautan dan perikanan merupakan salah satu contoh bentuk salah kelola yang ada di negeri ini. Berpuluh-puluh tahun perhatian terhadap sektor kelautan dikatakan minus, akibat lebih lanjut laut dan ikan yang menjadi kekayaan negeri ini terbengkalai. Ironisnya hanya dinikmati beberapa orang dan bangsa lain yang lebih banyak meraup kenikmatan. Kritik tajam dan arah pembangunan yang berorentasi kedaratan menjadi titik pacu membangun dunia kelautan. Laut yang selama ini termarginalisasi, hanya di jadikan tempat buang sampah, limbah mendapat perhatian baru. 2
Masyarakat di daerah perairan laut yang kenyang dengan kemiskinan, derita keterbelakangan dan kekumuhan lingkungan mendapatkan injeksi untuk kebangkitan
1 Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan Dan Perubahan Sumber Daya Perikanaan (Yogyakarta: LKiS, 2002), 1.
1 2 Ibid.3. 17 dunia baru. Masalah ini menjadi penting karena nelayan kecil (khususnya buruh) adalah elemen masyarakat terbawah yang senantiasa menderita dan menjadi korban dari keserakahan "Bandar besar". Kegiatan di sektor perikanan tangkap ikan melibatkan banyak pihak khususnya: 1. Pemilik perahu dan peralatan tangkapnya 2. Awak kapal atau nelayan buruh dan 3. Penyedia modal informal atau pemilik modal yang sekaligus sebagai pedagang (perantara) ikan. Tiga kategori sosial ini memainkan peran utama dalam kegiatan ekonomi nelayan. 3 Dalam masyarakat Jawa Timur khususnya di Desa Kalibuntu Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo, pemilik perahu dan alat tangkapnya disebut Orenga (juragan), awak perahu atau buruh nelayan disebut Pandhiga, sedangkan pemilik modal informal atau pedagang perantara disebut Pangambe'. Pemimpin awak perahu atau buruh nelayan disebut pandhige. Sekalipun sebagai pemimpin perahu, pandhige termasuk kategori buruh nelayan, hanya karena memiliki pengetahuan kelautan dan kemampuan pemimpin yang lebih baik di bandingkan dengan sesama nelayan buruh. Seorang nelayan buruh dapat dipercaya atau naik statusnya menjadi pandhige, dengan kata lain pandhige adalah nelayan buruh yang telah mengalami mobilitas vertikal. Dalam hubungan kerja di perahu Slerek antara orenga dan buruh nelayan di lingkungan nelayan desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo sebagai kasus. Kedua pihak atau kategori sosial ini memainkan peran penting dalam kegiatan operasi
3 Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan (Yogyakarta:LKiS,2003), 27. 18 penangkapan. Mereka secara organisatoris terikat satu sama lain untuk melaksanakan pekerjaan melaut, sebagai sebuah organisasi kerja (maksudnya institusi penangkapan), hubungan antara keduanya (orenga dan pandhiga) didasarkan pada norma-norma kolektif yang harus disepakati dan harus dipatuhi bersama. 4 Secara umum rekrutmen pandhiga dalam organisasi penangkapan dilakukan dengan menggunakan pinjaman ikatan. Pinjaman ikatan ini sejenis dengan "uang kontrak kerja". Sebagian atau keseluruhan dana pinjaman ikatan diperoleh orenga dari panganbe', jika pandhiga bermaksud untuk pindah kerja (toron lakoh) ke pemilik perahu yang lain maka ia harus melunasi terlebih dahulu pinjaman ikatannya itu. Terjadinya pinjaman ikatan pada pangambe atau pemilik modal ini berawal dari pemilik perahu atau orenga yang ingin membeli perahu, karena dana yang dimiliki tidak cukup maka pemilik perahu meminjam uang pada pemilik modal dengan kompensasi memotong hasil tangkapan sebelum dibagi tiga bagian atau yang biasa disebut dengan sistem fee. 5 Pengambilan fee oleh pemilik modal ini akan terus berlanjut hingga hutang-hutang tersebut dilunasi oleh pemilik perahu. Jika hutangnya sudah lunas maka pengambilan fee diambil alih oleh pemilik perahu, sehingga pemilik perahu mendapat dua keuntungan sekaligus. Fenomena seperti inilah yang terjadi pada masyarakat nelayan Kalibuntu. Kurang lebih sekitar 90% nelayan pemilik perahu dan nelayan buruh memiliki pinjaman ikatan kepada pemilik modal atau pangambe, dan kompensasi yang diterima pangambe dari pemberian pinjaman kepada nelayan adalah menjualkan hasil tangkapan mereka. Dari hasil penjualan ikan per kg, pangambe atau pemilik
4 Bagong Suyatno, Upaya menyejahterakan Nelayan Jawa Timur, Meningkatkan Produktivitas atau Deversifikasi Usaha? Harian Kompas (23-April-2003), 1. 5 Fee adalah sebuah keuntungan dengan sistem prosentase yang diperoleh dari laba transaksi jual beli tangkapan ikan dengan jumlah yang sudah ditentukan oleh pemilik modal antara 15-20%. 19 modal mengambil fee sebagai kompensasi atas bunga pinjaman. Besarnya fee sangat tergantung pada harga ikan di pasar, biasanya pengambilan fee sekitar 15-20 %. Pangambe' tidak hanya sebagai penyedia modal kontan untuk pemilik perahu tetapi juga bagi pandhiga, ketika menghadapi kesulitan keuangan karena kebutuhan hidup yang mendadak. Umumnya pinjaman pandhiga kepada pangambe' digunakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari saja. Pemutusan hubungan kerja di antara kedua belah pihak bisa dilakukan jika nelayan buruh melunasi hutang-hutangnya kepada pangambe' tersebut. Pinjaman ikatan seolah-olah menjadi "kewajiban untuk diterima" oleh seorang pandhiga walaupun misalnya ia tidak membutuhkan pinjaman, karena pinjaman ikatan itu merupakan jaminan kepastian bekerjanya mereka terhadap pemilik perahu. Adapun sistem bagi hasil yang diterapkan nelayan adalah sistem bagi hasil tiga bagian (telon) setelah dipotong fee oleh pemilik modal, yakni 1 bagian untuk pemilik perahu, dan 2 bagian untuk buruh nelayan (pandhiga). 2 bagian untuk buruh nelayan ini masih dibagi lagi sesuai dengan jumlah pandhiga yang bekerja dan spesifikasi kerja mereka diperahu. Bagian hasil yang diterima nelayan buruh itu berupa ikan bukan uang. 6
Dengan sistem pembagian hasil tangkapan yang ada, sebenarnya hasil yang diperoleh nelayan buruh tidaklah besar ditambah lagi dengan kerusakan mesin, peralatan atau bagian perahu yang lain, biasanya orenga membebankan biaya perbaikan tersebut pada hasil tangkapan yang diperoleh setelah diambil fee oleh pangambe sebelum di bagi 3 bagian.
6 Ibid, 33. 20 Ketentuan ini semakin memperkecil nilai bagi hasil atau pendapatan yang diperoleh buruh nelayan. Secara umum nelayan kurang puas dengan sistem bagi hasil yang ada namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Jika perahu dalam beberapa hari beroperasi tidak memperoleh hasil tangkapan maka buruh nelayan tidak mendapatkan konpensasi upah dari pemilik perahu kecuali penambahan pinjaman ikatan dan sebagainya. Ancaman ketidakteraturan pendapatan nelayan buruh sangat besar, berbeda dengan pekerjaan lain, kegiatan penangkapan merupakan pekerjaan spekulatif sifat pendapatan yang teratur, walaupun tidak terlalu besar merupakan harapan umum nelayan buruh. Allah telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia didunia, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut Allah telah mensyariatkan manusia untuk bekerja baik secara perorangan ataupun dengan bekerja pada orang lain. Dorongan agar manusia mencari karunia Tuhan (bekerja) dimuka bumi telah banyak disebutkan dalam Al-quran salah satunya QS. Al-Baqoroh ayat 273. 7
. ) . ( Artinya: (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
7 QS. al-Baqoroh (2), 273. 21 Dharb fi al-ardhi yang berarti berusaha di muka bumi memiliki padanan kata dengan mudharabah yang menjadi salah satu term fiqh dalam sebuah konsep kerja sama. Sangat mungkin kata mudharabah berasal dari frase dalam Al-quran tersebut. Mudharabah dalam terminologi hukum adalah kontrak dimana harta tertentu atau stok (ras al-mal) diberikan oleh pemilik (rabb al-mal) kepada kelompok lain untuk membentuk kerja sama bagi hasil dimana kedua kelompok tersebut akan berbagi hasil keuntungan, kelompok lain berhak terhadap keuntungan sebagai upah kerja sama karena mengelolah harta (mudharib). Kontrak ini adalah kerja sama bagi hasil. 8
Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah akad utama: al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzaraah dan al- musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak lainnya menyedikan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut
8 A.Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syari'ah) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 467. 22 akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Konsep mudharabah sebagai salah satu bentuk kerja sama dalam sistem perekonomian islam sangat menarik bila konsep ini dijadikan sebagai alat untuk memotret sistem perekonomian, sistem perekonomian masyarakat khususnya dalam bagi hasil antara buruh nelayan, pemilik perahu dan alat tangkapnya serta pemilik modal di desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo. Persoalan selanjutnya adalah mengapa masyarakat nelayan Kalibuntu yang notabene keislamannya sangat kuat masih saja terjebak pada praktek-praktek perekonomian yang tidak islami. Jawaban inilah yang ingin dicari dalam penelitian ini. Berdasarkan kenyataan di atas dengan ini disusun suatu rencana penelitian empiries dengan tema "Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu Pemilik Modal Dan Buruh Nelayan Menurut Hukum Islam Di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo".
B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari data dan fenomena yang secara singkat digambarkan dan diuraikan dalam latar belakang masalah diatas maka peneliti merumuskannya sebagai berukut: 1. Bagaimana pembagian hasil usaha yang dilakukan oleh pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan? 23 2. Bagaimana sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan? 3. Apakah terjadi sistem pembagian hasil yang tidak adil bila dilihat dari perspektif Hukum Islam? C. Definisi Operasional Pemilik perahu (juragan) :adalah pemilik (orenga) dan pemimpin perahu. 9 Buruh nelayan : buruh adalah orang yang bekerja kepada orang lain atau badan usaha dengan mendapat upah atau gaji. Nelayan adalah orang yang mata pencaharian utama dan usaha menangkap ikan dilaut. 10 Jadi buruh nelayan adalah angkatan kerja yang menyediakan tenaga dan bekerja sebagai nelayan dengan menerima upah. Pemilik modal : adalah orang yang memiliki uang atau benda untuk berniaga atau melepaskan uang yang dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaannya. 11
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang: 1. Pelaksanaan bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan. 2. Sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan 3. Pembagian hasil usaha yang tidak adil bila dilihat dari perspektif hukum islam
9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Indonesia. (Jakarta: PT.Balai Pustaka, 1989).370. 10 Ibid.161. 11 Ibid.729 24 E. Kegunaan Penelitian 1. Menambah wawasan keilmuan khususnya dalam menyikapi praktek perekonomian yang tidak Islami. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bagi hasil menurut hukum Islam. 3. Sebagai sumbangan pemikiran dan sebagai informasi dalam mengembangkan rangkaian penelitian lebih lanjut demi pengembangan keilmuan. F. Sistematika Pembahasan Skripsi ini terdiri dari lima bab dan tiap-tiap bab masing-masing diuraikan aspek-aspek yang berhubungan dengan pokok pembahasan, yaitu bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan menurut hukum Islam di desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, lebih lanjut tiap-tiap bab diperinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus dalam bentuk sub-sub, dengan cara ini diharapkan para pembaca mempunyai gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang karya tulis ini. Uraian kelima bab ini merupakan suatu totalitas di mana antara bab yang satu dengan bab yang lainnya tidak dapat dipisahkan, jika tidak akan mengurangi isinya. Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, definisi operasional, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II : Kajian Pustaka dalam bab ini terdiri dari sub-sub bab. Diantaranya adalah Penelitian terdahulu, Masyarakat nelayan, Konsep Islam tentang bagi hasil dalam Usaha, Hak dan Kewajiban Pemilik Perahu Pemilik Modal dan 25 Buruh Nelayan dalam sebuah usaha bersama dan Syarat-syarat Membangun Sebuah Kerja Sama. Bab III : Membahas tentang metode penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi tentang, metode pendekatan, jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV : Merupakan pembahasan secara menyeluruh dari laporan penelitian, di sini penulis akan memberikan laporan hasil penelitian secara lengkap tentang gambaran umum obyek penelitian, penyajian data dan analisis data. Bab V : Penutup, dalam bab terakhir ini penulis akan melengkapi laporan penelitian ini dengan kesimpulan dan saran. 26
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Sejauh yang penulis ketahui, penelitian ini bukan yang pertama, setidaknya ada dua penelitian yang sudah dilakukan di Kalibuntu, Pertama: oleh Syamsul Arifin 12 dengan judul Kecenderungan Masyarakat Nelayan dalam Memilih Pendidikan Dasar Bagi Anak di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, 1993. Kedua: oleh Yasirah 13 dengan judul Pengaruh Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan terhadap Pendidikan Anak di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, 2002.
12 Syamsul Arifin, Kecenderungan Masyarakat Nelayan dalam Memilih Pendidikan Dasar Bagi Anak di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel), 1993. 13 Yasirah, Pengaruh Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan terhadap Pendidikan Anak di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo, (Malang: UIN), 2002
11 27 Pada penelitian pertama sang peneliti lebih menekankan pada persoalan minat serta kecenderungannya dalam menyekolahkan anak di tingkat sekolah dasar dengan memperhatikan persoalan betapa pentingnya penentuan lembaga pendidikan dasar karena hal itu merupakan peletak dasar pendidikan dalam penentuan karakter anak demikian pula tidak ada jenjang setinggi apapun yang tidak melalui pendidikan dasar kemudian dikaitkan dengan masalah pembangunan bangsa khususnya pembangunan pedesaan. Sedangkan penelitian kedua sang peneliti lebih menekankan pada tingkat perekonomian orang tua serta dampaknya pada pendidikan anak. Aksentasi kajiannya pada keterkaitan antara ekonomi dan pendidikan, di mana semakin tinggi tingkat kesejahteraan orang tua semakin tinggi pula kesempatan untuk memberikan pendidikan kepada anaknya pada jenjang yang lebih tinggi. Ada beberapa buku yang juga membahas masalah nelayan. Kusnadi 14
misalnya, dalam bukunya berjudul Polemik Kemiskinan Nelayan, 2003 dalam buku itu bersifat bunga rampai yang diambil dari berbagai tulisan yang menyoroti nelayan dari segi ekonomi (kemiskinan) ada perdebatan panjang dalam melihat kemiskinan nelayan satu pihak nelayan miskin akibat ulah-ulah para tengkulak atau pemilik modal tapi ada yang membela bahwa tengkulak justru berjasa menggairahkan ekonomi nelayan karena mereka meminjamkan uangnya ditengah sepinya kucuran dana baik dari Bank maupun Pemerintah. Kesimpulannya buku tersebut memberikan kesan bahwa mengentaskan kemiskinan bagi masyarakat nelayan ibarat menegakkan benang basah dalam air laut yang bergelombang.
14 Kusnadi, Polemik Kemiskinan Nelayan, (Yogyakarta: Lkis2003), 38 28 Buku lain yang membahas masalah nelayan adalah ditulis oleh Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove 15 dengan judul Nelayan dan Kemiskinan, 1984 dalam buku tersebut banyak menyoroti tentang kebijakan pemerintah dalam masalah pembangunan pedesaan yang kurang memperhatikan masyarakat nelayan khususnya masalah pertanian dan jarang dikaitkan dengan pembangunan nelayan yang justru hal itu juga merupakan alternatif lain suksesnya pembangunan desa. Menurut Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove masyarakat nelayan, sebuah masyarakat potensial yang sangat memungkinkan untuk di tingkatkan kesejahteraannya melalui pembangunan masyarakat nelayan. Buku lain berjudul "Pemberdayaan Masyarakat Nelayan" yang disusun oleh tim LIPI, Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih dan Sudiyono 16 dalam buku ini tak jauh berbeda dengan apa yang ditulis oleh Kusnadi MA hanya saja beliau lebih memfokuskan penelitiannya pada konflik dan akar kemiskinan nelayan. Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih dan Sudiyono merumuskan model pemberdayaan masyarakat nelayan yang berlandaskan pertimbangan survival strategi, para peneliti ini juga melihat dari bentuk-bentuk intervensi yang pernah dilakukan pada masyarakat nelayan bahwa, pada suatu masyarakat sangat sulit untuk keluar dari kemiskinan apabila tanpa ada uluran tangan dari pihak lain. Ini terjadi karena mereka sudah terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang hanya diterobos melalui bantuan pihak lain.
15 Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan (Jakarta:CV. Rajawali,1984), 3. 16 Tim LIPI, Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih dan Sudiyono "Pemberdayaan Masyarakat Nelayan" (yogyakarta:L.Kis,2002).36. 29 Solusi alternatif yang ditawarkan oleh buku ini antara lain: langkah-langkah yang strategis yang harus di tempuh, misalnya dengan mengurangi ketergantungan nelayan terhadap tengkulak, adanya perlindungan terhadap nelayan lokal, dan pengelolahan wilayah laut oleh nelayan lokal juga bermanfaat untuk mengamankan wilayah laut dari peningkatan sumberdaya laut yang bersifat merusak. Langkat- langkah tersebut dalam penerapannya tentu membutuhkan perlakuan yang mungkin berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu langkah-langkah tersebut lebih tepat juga di pahami sebagai guide line dalam upaya pemberdayaan nelayan. Baik pada penelitian pertama maupun pada penelitian kedua sama-sama bicara tentang masyarakat nelayan dan pendidikan tidak ada yang membahas tentang masyarakat nelayan dalam perspektif hukum. Demikian pula dari ketiga buku yang membahas tentang masyarakat nelayan ketiganya sama-sama melihat masyarakat nelayan dalam perspektif pembangunan ekonomi dengan segala derifosinya. Disinilah letak perbedaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan para peneliti sebelumnya, bahwa penulis mengkaji tentang pola hidup masyarakat nelayan dari perspektif hukum Islam dengan pendekatan sosiologis yang memfokuskan kajiannya pada Sistem Bagi Hasil antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal dan Buruh Nelayan Menurut Hukum Islam di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo. B. Masyarakat Nelayan Pada umumnya masyarakat desa pesisir lebih merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi strata sosial ekonomi yang sangat rendah. 17 Pendidikan yang dimiliki masyarakat pesisir secara umum lebih rendah di bandingkan dengan
17 Djoko Pramono, Budaya Bahar (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2005),16-17. 30 pendidikan yang di miliki oleh masyarakat non pesisir, sehingga masyarakat yang tinggal di daerah pesisir khususnya masyarakat nelayan ini sering di kategorikan sebagai masyarakat yang biasa bergelut dengan kemiskinan dan keterbelakangan.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat nelayan rela bertarung melawan benturan-benturan badai siang dan malam hari, hanya sekedar mencari sesuap nasi yang bisa menghidupi keluarganya. 18 Permasalahan pokok yang ada pada masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah pesisir adalah masih rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan kelautan, pemilikan modal serta manajemen usaha perikanan yang di punyai. Lemahnya kondisi kehidupan masyarakat nelayan yang berada di bawah derajat hidup layak ini menjadi problem sosial dan dapat mengurangi santernya proses pembangunan nasional. Melihat kondisi semacam ini, pemerintah tidak tinggal diam dan sengaja mengadakan perbaikan peralatan penangkapan guna meningkatkat hasil tangkapan agar apa yang seharusnya dicapai oleh nelayan itu bisa benar-benar tercermin sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3 tentang kesejahteraan sosial yang berbunyi: 19 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
Dan dalam GBHN 1993-1998 juga menyebutkan sebagai berikut: Pengusahaan potensi kelautan menjadi berbagai kegiatan ekonomi perlu di pacu melalui peningkatan investasi, khususnya di kawasan timur Indonesia, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup agar mampu memberikan sumbangan lebih besar pada upaya pembangunan nasional. Sarana dan prasarana kelautan terus ditingkatkan
18 M.Khalil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa (Surabaya:Usaha Nasional Indonesia, 1984),149. 19 Harun Al-Rasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah Oleh MPR (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 2002),30. 31 agar memenuhi fungsinya sebagai penghubung, pemersatu bangsa, dan lahan penghidupan rakyat serta lebih berperan dalam aspek kehidupan bangsa
Besarnya perhatian pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan terhadap masyarakat nelayan ini patut diacungi jempol walaupun hal ini masih jauh dari harapan, karena sekitar dari 65% masyarakat nelayan Indonesia masih tetap terbelenggu oleh kemiskinan. 20 Untuk mengetahui gambaran masyarakat nelayan secara lanjut penulis paparkan sebagai berikut: 1. Pengertian Masyarakat Nelayan Masyarakat nelayan merupakan paduan dari dua kata masyarakat dan nelayan, agar lebih jelas penulis akan memberikan pengertian dari masing-masing kata tersebut kemudian arti secara keseluruhan a. Pengertian Masyarakat Pengertian masyarakat yang dalam istilah bahasa Inggris disebut Society (berasal dari kata latin, socius yang berarti kawan). Masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang artinya ikut serta atau berperanserta. 21 Jadi masyarakat adalah kumpulan manusia yang saling berinteraksi satu sama lainnya. 22
Menurut Hasan Sadly M.A. dalam bukunya yang berjudul sosiologi untuk masyarakat Indonesiamasyarakat adalah suatu golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. 23 Kemudian menurut Prof.M.M. Djojodigoena S.H. masyarakat mempunyai arti sempit dan arti luas. Arti sempit masyarakat adalah terdiri dari satu golongan saja, sedang dalam arti luas masyarakat adalah kebulatan dari
20 Op.Cit Kusnadi, 08-09. 21 kata arab masyarakat berarti saling bergaul sedang dalam istilah Bhs Arab untuk masyarakat adalah mujtam 22 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta:Rineka Cipta, 1996),119-120 23 Hassan Sadly , Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia (. Jakarta:PT. Pembangunan,1980),31 24 Khalil Mansyur Op Cit,21 32 semua perhubungan yang mungkin dalam msyarakat dan meliputi semua golongan. 24 Sejalan dengan pendapat diatas menurut Koentjaraningrat dalam Ilmu sosial Dasar masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berinteraksi yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya saling keterikatan untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat adalah tempat kita bisa melihat dengan jelas proyeksi individu sebagai (input) bagi keluarga, keluarga sebagai temppat prosesnya, dan masyarakat adalah tempat kita melihat hasil (output) dari proyeksi tersebut. 25
b. Pengertian Nelayan Nelayan di dalam Ensiklopedia Indonesia digolongkan sebagai pekerja, yaitu orang-orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai mata pencahariannya. 26 Dalam kamus besar Indonesia Pengertian nelayan adalah orang yang mata pencaharian utama dan usaha menangkap ikan dilaut. 27
Sedangkan dalam bukunya yang berjudul sosiologi Masyarakat Kota dan desa M. Khalil Mansyur mengatakan bahwa masyarakat nelayan dalam hal ini bukan berarti mereka yang dalam mengatur hidupnya hanya mencari ikan di laut untuk menghidupi keluarganya akan tetapi juga orang-orang yang integral dalam lingkungan itu. 28 Dari beberapa definisi masyarakat dan definisi nelayan yang telah disebutkan diatas dapat di tarik suatu pengertian bahwa: a. Masyarakat nelayan adalah kelompok manusia yang mempunyai mata pencaharian menangkap ikan dilaut.
25 Darmansyah dkk, Ilmu Sosial Dasar(Kumpulan Essei (Surabaya:Usaha Nasional,1986), 80 26 Ensiklopedia Indonesia 1983, ichtiar baru-van haevedan Elsevier publishing projects, Jakarta, 133 27 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kamus Besar Indonesia (Jakarta: PT.Balai Pustaka, 1989),612. 28 M.Khalil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa (Surabaya:Usaha Nasional Indonesia,),148. 33 b. Masyarakat nelayan bukan hanya mereka yang mengatur kehidupannya hanya bekerja dan mencari di laut, melainkan mereka yang juga tinggal disekitar pantai walaupun mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam dan berdagang. Jadi pengertian masyarakat nelayan secara luas adalah sekelompok manusia yang mempunyai mata pencaharian pokok mencari ikan dilaut dan hidup di daerah pantai, bukan mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, walaupun tidak menutup kemungkinan mereka juga mencari ikan di laut karena mereka bukan termasuk komunitas orang yang memiliki ikatan budaya masyarakat pantai. 2. Mata Pencaharian Nelayan Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat dan tidak diragukan lagi, mereka yang menjadi nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan yang lebih mudah, sesuai kemampuan yang dimiliki. Keterampilan sebagai nelayan bersifat amat sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari orang tua mereka sejak mereka masih kanak-kanak. Dan untuk mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern ini masyarakat nelayan dituntut untuk semakin lihai dan cekatan dalam menagkap ikan, dengan cara memperbaiki peralatan, perahu-perahu dan jaring yang digunakan. Karena dalam masa-masa yang akan datang perikanan tentu akan lebih berkembang lagi, sehingga kekayaan laut yang merupakan sumber makanan manusia yang sampai saat ini masih belum banyak di eksplorasi. Potensi laut merupakan sumber kekayaan alam yang tidak akan pernah habis bila manusianya memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan bersih dari angkuh dan keserakahan. Masyarakat petani yang mata pencaharian pokoknya adalah bercocok tanam dalam menagkap ikan dilakukan hanya sebagai mata pencaharian tambahan, akan 34 tetapi sebaliknya masyarakat nelayan mencari ikan adalah sebagai mata pencaharian utama disamping ada juga yang bertani ataupun berladang, dan ada pula yang mata pencahariannya hanya sebagai buruh nelayan, misalnya membuat ikan asin, membetulkan jaring atau slerek dan sebagainya, yang mana hal ini lebih dominan dikerjakan oleh kaum perempuan atau istri dan anak-anak para nelayan itu. Para nelayan dalam hal operasional kerjanya sangat di tentukan oleh kecanggihan alat yang mereka miliki, ada yang hanya berlayar dekat menyusuri pantai dan ada pula yang sampai kelaut lepas bahkan tak jarang mereka melakukan Andhun. 29 Menurut para ahli lebih dari 50% dari ikan di seluruh dunia dalam kawanan sampai beribu-ribu jumlahnya pada jarak antara 10-30 km dari pantai. Sedangkan jam kerja orang-orang nelayan tidak terikat oleh waktu bisa siang, sore, dan malam hari, dan untuk pemberangkatannya kelaut yang dituju banyak terikat oleh pasang surutnya air, begitu juga dengan hasil penangkapan atau perolehan ikan sangat tergantung dengan iklim dan pergantian musim. Namun pada masing-masing daerah memiliki waktu-waktu tertentu kapan perolehan ikan itu banyak dan para nelayan sudah tahu serta hapal apa yang disenangi ikan, cuaca serta suhu yang bagaimana yang banyak di gemari ikan, pengetahuan para nelayan ini tidak berangkat dari pengetahuan teoritis melainkan dari pengetahuan empiris. 3. Peralatan dan Perlengkapan Menangkap Ikan Untuk meningkatkan kualitas hidupnya masyarakat nelayan banyak bergantung pada perkembangan tekhnologi, dalam menangkap ikan para nelayan tidak hanya membutuhkan alat seperti kail, jala, harpun dan sebagainya akan tetapi
29 Andhun pindah kerja ke tempat lain, karena di tempat itu dikabarkan ada kemurahan laut atau para nelayan di sana mudah mendapatkan hasil tangkapan ikan. Ketika hasil tangkapan ikan berkurang, para nelayan itu kembali ke daerah asal, Kalibuntu 35 mereka juga membutuhkan perahu dan segala peralatannya, misalnya seperti kardan sebagai alat untuk memberi gerak lincah dalam memburu ikan, handytalky untuk saling kontak dimana ikan berkerumun, kulkas box untuk menyimpan dan mengawetkan ikan. Jika perahu yang digunakan adalah perahu kecil maka hasil tangkapannya juga kecil begitu juga sebaliknya. Di Indonesia, nelayan-nelayan kecil menghadapi kesulitan karena perahu- perahu mereka sangat kecil, sehingga mereka tidak dapat berlayar jauh kelautan lepas. Sementara di daerah yang sudah maju mereka mempergunakan peralatan yang lebih lengkap dan modern, namun tidak semua nelayan memilikinya karena faktor harga yang tidak bisa dijangkau. Dampak dari ketidakmerataan sarana yang dimiliki para nelayan ini menjadikan yang kecil semakin tersudut sehingga alternatif yang mereka ambil adalah menjadi buruh pada perahu yang memiliki peralatan yang lebih modern. Untuk meringankan beban mereka yang menjadi buruh dibutuhkan pihak lain untuk menyelesaikannya diantaranya: a. Peranan KUD KUD merupakan suatu wadah yang telah dirancang dengan baik untuk memberi bantuan kepada nelayan di dalam upaya mereka untuk mengembangkan kegiatannya. 30 Antara lain dalam bentuk kredit peralatan nelayan seperti mesin motor dan jaring. Akan tetapi dalam kenyataanya program yang demikian belum pernah terjadi. Keanggotaannya sementara ini hanya terbatas bagi pemilik perahu atau kapal. Sedangkan buruh nelayan atau nelayan kecil yang merupakan bagian besar dari
30 Mubiyarto, Loekman Soetrisno, Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan (Jakarta:C.V. Rajawali,1984), 48. 36 nelayan di desa ini tidak mempunyai wadah yang bisa memberikan kemungkinan meningkatkan taraf hidupnya. Bagi KUD sendiri mungkin merupakan suatu dilema karena keterbatasan modal yang mereka miliki. Sehingga syarat-syarat pemberian pinjaman mereka utamakan berupa kewajiban-kewajiban memberikan jaminan bagi permohonan kredit. Situasi semacam itu telah menimbulkan perkembangan baru dalam masyarakat, sehingga bisa dilihat siklus kehidupan mereka selama satu tahun jelas tampak bahwa uang yang mereka gunakan untuk membeli peralatan rumah tangga dengan demikian banyak kehilangan arti. Banyak diantara mereka harus menjual barang-barang itu kembali dengan setengah harga beli sewaktu tekanan ekonomi menjadi demikian berat pada musim hujan. Ada juga yang menggadaikan, yang berarti tidak mampu membebaskan diri dari pola hidup yang berat seperti ini. b. Peranan TPI (tempat pelelangan ikan) Ada beberapa fungsi beberapa fungsi TPI yang dirasakan berbeda-beda oleh masing-masing anggota masyarakat. Tujuan untuk mengadakan lembaga tersebut cukup baik yaitu membantu nelayan dalam memasarkan hasil tangkapan mereka, namun kenyataannya hal itu tidak memberikan rasa untung bagi semua orang. Sebagian orang mulai mengeluh bahwa walaupun ikan hasil tangkapan mereka dijual langsung dijual langsung kepara pedagang, namun kalau diketahui pejabat TPI akan didatangi dan dimintakan wajib pajak penjualan sebagaimana layaknya bila mereka menjual melalui TPI. Mereka mengeluh tangkapan mereka itu terlalu sedikit sehingga keuntungan mereka sangat kecil setelah dipotong retribusi. 31
31 Mubyarto Ibid.49 37 Sungguhpun demikian TPI memegang peranan sangat penting di dalam membantu pemasaran hasil perikanan. Terutama bila kail ikan terlalu banyak tentu penjualan lebih teratur dan cepat dibandingkan bila mereka menjual sendiri-sendiri. Kerugiannya ialah pada saat hasil tangkapan mereka sedang baik seluruhnya, mereka tidak bisa menetapkan harga sendiri untuk itu. Harga pelelangan tergantung dari harga pasar dan kerugian juga bisa terjadi bila ada permainan diantara juru lelang dan para pedagang. Keuntungan lain adalah TPI bisa membantu mengarahkan kehidupan nelayan dengan kewajiban simpanan (saving) untuk tiap penjualan, hanya saja hal ini tentu tergantung bagaimana kebijaksanaan TPI untuk mengarahkan agar simpanan itu bermanfaat lagi bagi para nelayan. C. Konsep Islam Tentang Bagi Hasil Usaha 1. Pengertian Bagi Hasil Pengertian bagi hasil dalam syariat islam di tuangkan dengan istilah diantaranya : a. Mudharabah b. Murabahah c. Hiwalah d. Syirkah Untuk lebih jelasnya maka perlu di ketahui dari pengertian istilah tersebut: 1). Mudharabah Mudharabah adalah salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal dan seseorang yang ahli dalam berdagang, kata mudharabah berasal dari kata dharb 38 berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. 32
Secara teknis Al-Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi dalam kesepakatan yang di tuangkan dalam kontrak, apabila terdapat kerugian dalam perdagangan di tanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Mahmud Muhammad Bablily mendefinisikan kata mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu pergi untuk berdagang sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Muzammil:20. 33
Sedangkan Ulama Fiqh mendefinisikan mudharabah atau qiradl adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk di perdagangkan, dan keuntungan dagang itu di bagi menurut kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan tersebut, kerugian ini di tanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. 34 Dalam istilah lain Mudharabah bisa di sebut juga sebagai qiradl, muqaradhah, dan muamalah. Adapun yang di maksud dalam pengertian syarak mudharabah adalah kesepakatan antara dua belah pihak dalam mengadakan kerja sama perdagangan, yakni satu pihak menyerahkan sejumlah kekayaan tertentu kepada pihak yang lain sebagai modal, sedang pihak lain menyerahkan tenaganya sebagai andil. Keuntungan
32 M. Syafii antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktek (Jakarta:Gema Insani Press,2001), 95. 33 Mahmud Muhammad Bablily, Etika Berbisnis Studi Konsep Perekonomian Menurut Al-Quran Dan As-Sunnah (Solo:CV. Ramadhani,1990),138. 34 Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve,2001),1196-1197 39 dan kerugian bagi keduanya di bagi sesuai atau menurut perjanjian yang dilakukan pada waktu aqad. 35
Hukum qiradl ini adalah boleh, asal atas dasar rela sama rela antara pemilik modal dengan si pelaku, dalam pembagian keuntungan separoh, sepertiga, atau seperempatnya atau kurang dari itu. Sedangkan qiradl yang tidak sah adalah yang tidak jelas pembagian keuntungannya. - Landasan syariah Tidak ada indikasi yang jelas atau tegas dalam Al-Quran maupun sunnah namun karena mudharabah merupakan kegiatan yang bermanfaat dan menguntungkan sesuai dengan ajaran pokok syariah maka tetap dipertahankan dalam ekonomi islam. 36 Mudharabah lebih mencerminkan pada anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini: i. Al-Quran QS. Al-Muzammil:20. 37
35 Op.Cit Mahmud Muhammad Bablily,139. 36 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995),394. 37 QS. al-Muzammil (73):20. 40 "Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia memberi keringanan kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang- orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang- orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Muzammil:20).
Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surat al-muzammil:20 adalah adanya kata Yadribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan sesuatu perjalanan usaha. .
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumuah:10). 38
. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu Telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana
QS. al-Jumuah (62):10. 41 yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (QS. Al-Baqarah:198). 39
Baik surat Al-Baqarah:198 maupun surat Al-Jumuah:10 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha
ii. Hadits ) :
( . Di riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib jika memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya ttidak di bawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak, jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Di sampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullahpun membolehkannya. (HR Thabrani).
) .(
Dari Shahih bin Shuhaib r.a.bahwa Rasulullah SAW bersabda tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan. Jual-beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual (HR Ibnu Majah)
a). Jenis-Jenis Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. 40 - Muhdarabah muthlaqah yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
39 QS. al-Baqarah (2):198. 40 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 382
42 Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh sering di contohkan dengan ungkapan ifal ma syita (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberikan kekuasaan sangat besar. - Mudharabah muqayyadah atau di sebut juga dengan istilah restricted mudharabah atau specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah si mudharib di batasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama dalam bidang perdagangan antara kedua belah pihak, yang satu pihak menyediakan modal dan pihak lain sebagai pekerja sedang keuntungan hasil usaha besarnya disesuaikan dengan kesepakatan pada waktu perjanjian. b). Syarat-Syarat Mudharabah 1. Modal Meliputi a. modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, jika modal dalam bentuk barang maka harus di hargakan semasa dalam uang yang sebesar atau sejenis. b. modal harus berbentuk tunai bukan piutang c. modal harus diserahkan kepada mudharib untuk memungkinkan melakukan usaha. 2. Keuntungan a. pembagian keuntungan harus dinyatakan prosentase dari keuntungan yang mungkin di hasilkan nanti b. kesepakatan rasio nanti harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak. 43 c. pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada pemilik. 41 3. Mudharabah ini bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana (pekerja) untuk berdagang di negeri tetangga atau berdagag pada waktu tertentu, atau bermuamalah pada orang-orang tertentu dengan syarat-syarat lain yang sejenis. 42 2). Murabahah Murabahah adalah merupakan bagian dari bentuk jual-beli yang bersifat amanah, definisi murabahah secara fiqh adalah aqad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang yang akan di beli termasuk harga pembelian dan keuntungan yang akan diambil. 43 Dalam murabahah ini penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. - Al-Quran Dalam QS. Al-Baqarah:275. Allah berfirman: 44
. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
41 Ibid,393 42 Sayyid Sabiq, Tarjamah Fiqih Sunnah XIII (Bandung :Pustaka, 1997),87. 43 Adhiwarman A. Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer (Jakarta:Gema Insani Press,2001),86. 44 QS. al-Baqarah (2):275. 44 menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al- Baqarah:275) 45
a.Syarat-syarat murabahah Syarat-syarat murabahah menurut antonio adalah: 1. penjual memberi tahu biaya jual kepada nasabah. 2. kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang di tetapkan. 3. kontrak harus bebas dari riba. 4. penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. 46
5. penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. Secara prinsip jika masyarakat dalam 1,2 atau 5 tidak dipenuhi, maka pembeli memiliki pilihan: 1. melanjutkan pembelian seperti apa adanya. 2. kembali kepada penjual dan menyetakan ketidak setujuan atas barang yang dijual. 3. membatalkan kontrak. Pada bank syariah murabahah seringkali di lakukan dalam bentuk kredit atau yang di sebut al-bai bitsaman, beberapa bank menggunakan istilah arbaun sebagai kata lain uang muka. Dalam yurisprudensi Islam arbaun adalah jumlah uang yang
45 QS. al-Baqarah (2):275. 46 ibid.102 45 dibayar di muka kepada penjual. Dalam prakteknya murabahah dapat dilakukan langsung oleh si penjual dan si pembeli tanpa melalui pesanan. Akan tetapi murabahah dapat pula dilakukan dengan cara melakukan pemesanan terlebih dahulu. Misalnya, barang tersebut belum ada pada saat pemesanan, maka si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada si pemesan. Dalam murabahah, melalui pemesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah uang tanda jadi ketika ijab qabul. Hal ini sekedar untuk menunjukkan bukti keseriusan si pembeli. 3). Hiwalah Al-hawalah adalah suatu cara memindahkan tanggung jawab penyelesaian utang dari pihak yang berhutang yang tidak sanggup lagi membayarkan hutangnya kepada orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih, sebagai contoh A mempunyai utang sebesar 10.000,- kepada B dan C mempunyai hutang pada A. Karena A pailit maka tanggung jawab penyelesaian hutang A di ambil alih sepenuhnya oleh C, sehingga hutang piutang tersebut menjadi urusan antara B dan C. 47
Dalam Fiqih islam di sebutkan bahwa hiwalah adalah memindahkan hutang dari tanggungan seseorang kepada orang lain. Sabda Rasulullah SAW orang yang mampu membayar hutang, haram atasnya melalaikan utangnya, maka apabila salah seorang di antara kami memindahkan utangnya kepada orang lain
47 M. Syafii antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktek (Jakarta:Gema Insani Press,2001),126 46 hendaklah di terima pemindahan itu, asal yang lain itu mampu membayar Riwayat Ahmad dan Baihaqi. 48 - Landasan Syariah Hiwalah di bolehkan berdasarkan sunnah dan ijma - Sunnah Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ) ( Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hiwalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya maka terimalah hiwalah itu
Pada hadits tersebut Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang di hiwalahkan (muhalalaih). Dengan demikian haknya terpenuhi, sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hiwalah dalam hadits tersebut nenunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah untuk menunjukkan sunnah, jadi sunnah hukumnya menerima hiwalah bagi muhal. Ijma Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah di bolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang atau benda karena hiwalah adalah perpindahan hutang. Oleh karena itu, harus pada uang atau kewajiban finansial. 49
48 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Jakarta:At-thariyah,1999),298 49 Ibid. 304 47 a. Rukun Hiwalah 1. Muhil (orang yang berutang dan berpiutang) 50 2. Muhtal (orang yang berpiutang) 3. Muhal alaihi (orang yang berutang) 4. Utang muhil kepada muhtal 5. Utang muhal alaihi kepada muhil 6. Sighar (akad) b. Syarat-syarat hiwalah Madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafii berpendapat bahwa perbuatan hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua, dan ketiga, serta yang berkaitan dengan hutang itu sendiri. Syarat yang diperlukan oleh pihak pertama itu sendiri adalah a. Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliqh dan berakal. b. Adanya pernyataan persetujuan (rela) jika pihak pertama di paksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah. Syarat yang diperlukan bagi pihak kedua. Yang di perlukan dari pihak kedua adalah: a. cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baliqh dan berakal, sebagaimana pihak pertama. b. Madzhab Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki, dan Syafii mensyaratkan adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah. Syarat yang di perlukan oleh pihak ketiga a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat pada kedua pihak sebelumnya. b. Madzhab Hanafi mensyaratkan adanya persetujuan dari pihak ketiga, alasan Hanafi
50 Op. Cit Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 299 48 karena hiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga untuk membayar hutang kepada pihak kedua, sedangkan kewajiban membayar hutang baru dapat di bebankan kepadanya apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua, karena itu kewajiban tersebut hanya dapat dibebankan kepadanya jika ia menyetujui hiwalah tersebut. c. Manfaat Hiwalah Seperti di uraikan diatas, akad hiwalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan diantaranya: 1. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan. 2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan. 3. Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan. 4). Syirkah Syirkah bisa juga di sebut syarikah, dan secara lughawi sama artinya dengan ikhthilath. Ikhtilath berarti bercampur, sedangkan menurut istilah berarti bercampurnya harta seseorang dengan orang lain sehingga tidak dapat di bedakan antara satu dengan yang lainnya. 51 Menurut ulama Hanafi syirkah adalah akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. 52 Sedangkan menurut Afzalur Rahman dalam bukunya Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV mengatakan bahwa, syirkah menurut arti asalnya merupakan penghubung antara dua tanah atau lebih, di mana sifat dari dua tanah yang dihubungkan tersebut sulit dibedakan satu dengan lainnya. Menurut bahasa hukum, kata itu berarti berhubungnya dua orang atau lebih dalam
51 Moh. Zuhri, Dipl, Tafl, Terjemahan Fiqh Empat Madzhab IV (Semarang: CV. As-Syifa, 1994),116 52 Sayyid Syabiq, Tarjamah Fiqih Sunnah XIII( Bandung:Pustaka,1997 ),174 49 satu kepentingan. Namun demikian kata syirkah di perluas penggunaannya dalam kontrak, karena kontrak itulah yang menyebabkan terjadinya hubungan. 53 Menurut Sudarsono syirkah menurut bahasa adalah bercampur atau bersekutu. Sedangkan menurut istilah adalah akad perjanjian yang menetapkan adanya hak milik bersama antara dua orang atau lebih. 54 Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa syirkah itu merupakan gabungan modal antara dua orang atau lebih untuk membiayai suatu usaha dan keuntungannya dibagi menurut modal masing-masing dan jika usaha tersebut mengalami kerugian maka bebannya di tanggung menurut modal masing- masing. 1. Dasar Hukum Syirkah Syirkah dalam Islam dilaksanakan berdasarkan Al-Quran, sunnah, ijma, dan ulama. Berikut ini akan di paparkan beberapa ayat dan hadits yang dijadikan sebagai dasar melaksanakan syirkah: Dalam Surat Shaad:24 Allah Berfirman: 55
"Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Shaad:24)
53 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV(Yogyakarta: Dhana Bhakti Waqaf,1999),364 54 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukukm Islam (Jakarta:Rineka Cipta,1996),444. 55 QS. Shaad (38):24. 50 Manusia mempunyai kepentingan, kepentingan satu dapat terpenuhi secara individual, dan terkadang harus dikerjakan secara bersama-sama, terutama sekali dalam hal-hal untuk mencapai tujuan tertentu. Kerja sama ini dilakukan tentunya dengan orang lain yang mempunyai kepentingan atau tujuan yang sama pula. Manusia yang mempunyai kepentingan bersama ini secara bersama-sama memperjuangkan suatu tujuan tertentu secara bersama-sama pula, dalam hubungan inilah mereka mendirikan serikat usaha, yaitu dengan cara berserikat dalam modal melalui pemilik saham dari serikat usaha itu. Kemudian hasil dari usaha bersama itu di bagi sesuai hasil keuntungan dan besarnya modal masing-masing. Begitu juga sebaliknya jika terdapat kerugian maka hal itu juga di tanggung bersama dengan perhitungan sesuai modal yang disertakan. Dengan adanya syirkah dapat membentuk rasa saling tolong-menolong antara sesama sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah:2. 56
. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah
56 QS. Al-Maidah (5) :2 51 haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(QS. Al-Maidah:2)
Sebagai makhluk sosial, manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dalam As-Sunnah juga di sebutkan tentang syirkah diantaranya: ) ( Allah yang Maha Agung berfirman:aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berkongsi selama yang satunya tidak menghianati yang lain. Apabila salah satunya menghianati yang lainnya, aku keluar dari dua orang itu. (Riwayar Abu Daud).
Pengertian dari hadits diatas adalah Allah memberi berkah dalam harta syirkah serta memberi barokah terhadap setiap transaksi dari perserikatan tang dilakukan dengan baik dan benar. 2. Syarat-syarat Syirkah Dalam syirkah ditentukan syarat-syarat yang harus di penuhi agar syirkah menjadi sah, syarat tersebut terbagi dalam dua golongan yaitu: a). Syarat bagi pihak yang mengadakan perjanjian Orang yang berakal sehat 57
Baliqh
57 Chairun Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta:Sinar Grafika,1994),73 52 Berlaku dengan kehendak sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain (merdeka) b). Syarat bagi barang atau modal yang disetorkan dalam syirkah hendaklah Barang yang dapat dihargai atau dinilai dengan uang lazimnya dinyatakan dengan bentuk uang. Modal yang diserahkan oleh masing-masing anggota dijadikan satu menjadi harta syirkah dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal tersebut. 58
3. Bentuk-Bentuk Syirkah Ulama fiqh membagi syirkah dalam dua bentuk yaitu syirkah Amla atau kerja sama dalam kepemilikan, syirkatul amla adalah suatu barang di miliki lebih dari satu orang tanpa akad, dan syirkah uqud atau kerjasama dalam kontrak, syirkah uqud adalah dua orang atau lebih melalukan akad untuk bergabung dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya berupa keuntungan atau kerugian akan di tanggung bersama. 59 Dalam syirkah amla ini tebagi dalam dua bagian yaitu syirkah al-milk jabariyah (terpaksa) dan syirkah al-milk ikhtiyariyah (sukarela) namun dalam hal ini tidak akan di bahas lebih lanjut mengenai syirkah amla, karena syirkah tersebut pada dasarnya adalah kepemilikan bersama sehingga tidak dapat dianggap kerja sama (partnership) dalam artian yang tegas kerena ini terjadi bukan dengan persetujuan bersama untuk berbagi hasil dan resiko, akan tetapi akan di bahas lebih jauh mengenai syirkatul uqud . secara umum para ulama membagi syirkah al-uqud
58 Ibid. 76 59 Sayyid Sabiq, Tarjamah Fiqih Sunnah XIII (Bandung :Pustaka, 1997),176 53 dalam empat jenis yaitu:1. Syirkah al-inan, 2. Syirkah Mufawadah, 3. Syirkah Abdan, 4. Syirkah Al-Wujuh. Untuk lebih rincinya penulis akan menjelaskan tentang macam-macam syirkah uqud antara lain: a. Syirkah Al-Inan ini adalah bentuk kerja sama bisnis antara dua pihak atau lebih, dimana keduanya adalah sebagai pemilik modal dan sekaligus sebagai pekerja. Bentuk kerja sama seperti ini hasil yang diperoleh di bagi sesuai dengan rasio mutualisti yang disetujui, sebaliknya apabila terdapat kerugian maka hendaknya mereka sama-sama menerima resiko kerugian. b. Bentuk kedua dari syirkah adalah syirkah Al-mufawadah yang artinya bersekutu dua orang atau lebih untuk melakukan kerja sama dalam suatu urusan. Bentuk kerja sama semacam ini mengharuskan pembagian hasil yang jelas dan harus di setujui pada saat pertama kali melakukan kesepakatan. Jika terjadi kerugian maka kerugian tersebut di tanggung oleh pemilik modal sedangkan para pekerja dan pelaksana hanya menderita kerugian kerja dan waktu. c. Syirkah Al-Wujuh adalah bentuk kerja sama yang tanpa permodalan, dan yang ada hanyalah berpegang kepada nama baik mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka dengan catatan keuntungan untuk mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab tanpa kerjasama dan modal. 60
d. Syirkah Abdan ialah kerja sama dua orang atau lebih yang didasarkan atas keahlian dan kerja mereka, baik itu berupa fisik maupun intelektual. Dalam kerja sama ini tidak ada modal dari kedua belah pihak, dengan kata lain ini adalah asosiasi para pekerja yang bertujuan untuk menghasilkan produksi bersama,
60 Ibid, 178 54 mereka bekerja sama untuk mendapatkan hasil sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan bersama. 61
Dari keempat syirkah ini dapat disimpulkan bahwa kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih baik berupa uang, kerja ataupun bermodal kepercayaan dan keuntungan dengan dibagi bersama di antara orang-orang yang melakukan perjanjian, sedang besar kecilnya disesuaikan dengan kesepakatan. Dari beberapa istilah perjanjian bagi hasil tersebut diatas dapat kita garis bawahi pada hakekatnya mempunyai pengertian yang sama, karena dari keempat istilah (mudharabah, murabahah, hiwalah, dan syirkah) tersebut merupakan aqad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mengerjakan sesuatu yang telah disepakati bersama. Satu pihak menyerahkan hartanya sebagai modal sedang pihak lain menyerahkan tenaganya sebagai andil (pekerja) atau persekutuan antara mereka atau kerja sama. Karena adanya kepercayaan dari kedua belah pihak yang melibatkan diri dari perjanjian berdasarkan kedua belah pihak. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya bagi hasil adalah suatu kerja sama antara pemilik modal dan pekerja dengan upah dari sebagian hasil yang di peroleh. Sedangkan kadar (besar kecilnya) masing-masing pihak di sesuai dengan kesepakatan mereka ketika mengadakan perjanjian. D. Hak Dan Kewajiban Pemilik Perahu Pemilik Modal dan Buruh Nelayan dalam Sebuah Usaha Bersama Dalam setiap kerjasama antara dua orang atau lebih mempunyai suatu tujuan yang dimungkinkan akan lebih mudah dicapai apabila dilaksanakan bersama.
61 Mustaq Ahmad, Businnes Ethcnis in Islam di Terjemahkan Oleh Samson Rahman Etika Bisnis Dalam Islam (Cet I;Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2001 ),121. 55 Kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih itu melibatkan beberapa pihak seperti penanam modal atau yang disebut dengan investor dan pengelola (buruh kerja) yang disebut mudharib. 62 Istilah dalam perkongsian tersebut pada masyarakat nelayan Kalibuntu Kraksaan Probolinggo seperti yang telah disebutkan diatas dalam kegiatan disektor perikanan tangkap ikan melibatkan banyak pihak khususnya: 1.pemilik perahu (Orenga) dan peralatan tangkapnya 2.pandhiga atau nelayan buruh dan 3.penyedia modal informal atau pemilik modal disebut Pangambe' yang sekaligus sebagai pedagang (perantara) ikan. Kesepakatan dalam pengelolaan dipandang sebagai suatu kerjasama antara pemilik modal pemilik perahu dan buruh nelayan, kesepakatan-kesepakatan yang diperlukan adalah kesesuaian dan keadilan, dan yang terpenting dalam sebuah kerjasama adalah hak dan kewajiban dari masing-masing pihak harus dinyatakan dengan jelas dalam penyajian kerjasama tersebut. Adapun hak dan kewajiban masing-masing pihak adalah sebagai berikut: 1.a. Kewajiban Pemilik Perahu: a. membayar impres 63 pada petugas Tempat Pelelangan Ikan (TPI) b. menyediakan perahu, jaring/payang beserta alat tangkapnya c. menyediakan bahan bakar minyak, seperti solar, bensin d. es, kulkas box untuk mengawetkan hasil tangkapan dan f. setiap satu tahun sekali memberikan tunjangan berupa sarung, beras, dan sebagainya (biasanya pemberian ini diberikan menjelang hari Raya Idul Fitri)
62 Mudharib adalah sebutan bagi seorang pesero yang menjadi mitra dalam suatu kerjasama. 63 Impres sebuah istilah yang digunakan oleh para nelayan untuk menyebutkan pemumgutan uang dari sebagian hasil penjualan ikan yang diperuntukkan untuk dana sosial atau pajak penghasilan (semacam retribusi). 56 1.b. Hak Pemilik Perahu a. memperoleh keuntungan dari hasil usaha bersama, yang dibagi dalam tiga bagian (telon) yakni 1 untuk pemilik perahu dan yang dua untuk buruh nelayan. b. mendapat komisi dari pemilik modal berupa rokok 1 press (kondisional) 2.a. Hak Pemilik Modal a. mengambil fee 15-20 % sebelum dibagi tiga bagian b. menentukan, mencari pasar ikan c. menentukan harga jadi ikan 2.b. Kewajiban Pemilik Perahu a. penyedia/penyandang modal b. memberikan pinjaman ikatan pada pemilik perahu dan juga buruh nelayan c. memberikan tunjangan berupa rokok 1 press pada saat ajuman 64 yang dilakukan beberapa bulan sekali atau pada saat mereka tidak bekerja karena tidak musim ikan (paceklik). d. menutupi atau membayarkan hasil tangkapan hari ini jika tengkulak tidak bisa membayarnya. 3.a Hak Buruh Nelayan: a. berhak menerima upah yang berupa ikan bukan uang, yang dibagi dalam tiga bagian (telon) yakni 1 untuk pemilik perahu dan yang dua untuk buruh nelayan, yang dua ini masih dibagi lagi sesuai dengan jumlah anggota. b. mereka harus disediakan akomodasi yang layak dan kesehatan yang efesiensi agar kerja mereka tidak terganggu.
64 Ajuman anyaman yang dilakukan untuk memperbaiki payang atau jaring yang rusak. 57 c. tidak boleh mempekerjakan mereka melebihi kemampuan fisiknya; jika suatu waktu ia diberi pekerjan yang lebih berat maka ia harus diberi bantuan dalam bentuk beras atau modal yang lebih banyak 3.b. Kewajiban Buruh Nelayan a. bertanggung jawab atas pekerjaanya b. memberikan hasil terbaik buat mitranya atau majikannya E. Syarat-Syarat Dalam Membangun Sebuah Kerjasama Setiap pihak yang bekerjasama mempunyai hak tertentu dan mempunyai tugas-tugas tersendiri terhadap pihak lain dalam membagi hasil keuntungan. Apabila dalam keadaan kerjasama terjadi antara dua pihak atau lebih maka keuntungan merupakan tanggung jawab bersama pihak-pihak yang melakukan kerjasama tersebut. Bentuk kerjasama perdagangan ini sangat terkenal saat itu, sistem tersebut dijaga dan dilestarikan oleh Nabi dan sahabat beliau dalam sistem ekonomi islam. Kerjasama ini tidak hanya terkenal dalam perniagaan dan perdagangan namun juga dalam pertanian, perkebunan, dan perikanan. 65 Apabila dalam kerjasama tersebut mendapat keuntungan ataupun kerugian maka akan menjadi tanggungan bersama pihak-pihak yang bekerjasama. Adapun syarat-syarat dalam membangun sebuah kerjasama: 1. perjanjian kerjasama adalah suatu kontrak yang mesti diterima oleh kedua pihak. 2. menurut beberapa ahli hukum, kontrak kerjasama hanya sah apabila dilaksanakan dengan uang tender yang sah. 3. Imam Sarikhsi menjadikan perjanjian tertulis sebagai syarat sahnya perjajian kerjasama. Beliau menegaskan bahwa perjanjian kerjasama adalah suatu kontrak
65 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam jilid I (Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf,1995),306 58 yang berlangsung selama waktu tertentu. Oleh karena itu perlu adanya suatu perjanjian tertulis sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian hari maka dikembalikan kepada perjanjian tertulis yang telah dilakukan seperti yang telah disebutkan dalam surat Al-Baqarah 66 Ayat 282.
. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah:282)
66 QS. Al-Baqarah (2):282 59 Selain itu dengan menggunakan surat perjanjian yang telah dibuat terdapat bukti tentang adanya perjanjian agar dapat mencegah keragu-raguan yang timbul dikemudian hari. Untuk menguatkannya Imam Sarikhsi mengambil contoh dari suatu dan suatu amalan Rasulullah saw. Apabila rasul membeli sang hamba maka beliau minta dituliskan perihal pembelian tersebut. Pernah perjanjian tersebut dituliskan dengan cara berikut ini adalah surat perjanjian tentang pembelian budak seorang hamba oleh Muhammad utusan Allah, dari Udud bin Khalid Hasan seorang yahudi. 4. jumlah modal tiap pihak yang bekerjasama sebaiknya dituliskan dengan jelas, karena ketika pembagian keuntungan dilakukan harus jelas diketahui tiap pihak supaya memudahkan dalam pembagian. Jumlah modal tiap pihak dituliskan dalam perjanjian agar tiap pihak mengetahui dan menghindari berbagai keraguan yang timbul. 67
5. jumlah keuntungan yang akan diperoleh oleh tiap pihak dituliskan dengan jelas dan sesuai dengan jumlah modal yang dimiliki. 6. waktu dimulainya perjanjian harus dituliskan, hal ini dilakukan untuk menghindari keraguan dikemudian hari. 7. perlu juga dituliskan bahwa modal dalam bentuk tunai bukan berupa hutang atau sesuatu yang tidak jelas wujudnya. Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita garis bawahi bahwa dalam melakukan sebuah kerjasama bagi hasil hendaklah kedua belah pihak tidak hanya sekedar diucapkan saja melainkan harus tertuang dalam tulisan yang bermaterai hal ini menjaga kemungkinan agar tidak ada masalah dikemudian hari.
67 ibid.308 60
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data penelitian dan dibandingkan dengan standart yang telah ditentukan. 68 Dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa metode penelitian yang meliputi: 1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau kecenderungan yang sedang berkembang.
45 61 Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menggambarkan dan menunjukkan tentang pelaksanaan bagi hasil, sistem kerja dan pembagian hasil keuntungan dengan mengemukakan data dan segala informasi yang telah diperoleh dari informan. 69 2. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan literatur sebagai acuan dalam pembahasan. penelitian ini merupakan penelitian lapangan, karena penulis terjun langsung kelapangan atau obyek penelitian yang langsung berhubungan dengan masyarakat. 70 3. Lokasi Penelitian Obyek penelitian merupakan tempat atau sarana untuk memperoleh data penelitian yang beralokasi di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo. Lokasi ini di pilih berdasarkan pengamatan bahwa masyarakat Kalibuntu yang mayoritas beragama Islam dan bekerja mencari ikan di laut banyak melakukan praktek-praktek perekonomian yang tidak islami. Hal inilah yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian, di samping itu juga karena pertimbangan waktu biaya dan tenaga. 4. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh. 71 Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer Data primer atau data dari tangan pertama, adalah data yang di peroleh langsung dari subyek penelitian. 72 Yakni 2 orang pemilik perahu, 2 oarng pemilik
69 Ibid, 10. 70 Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Fakultas syari'ah :UIN Malang, 2005),11. 71 Setrisno Hadi, Metode Risech II ( Yogyakarta: yayasan penerbit psikologi UGM,1986),144 62 modal, dan 2 orang buruh nelayan. Alasan peneliti mengambil sampel 2 orang pemilik modal, 2 orang pemilik perahu dan 2 orang buruh nelayan serta 1 pelelang ikan dianggap dapat mewakili karena penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada sistem bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan, yang mana sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan pada desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo adalah sama. Dalam hal ini penulis terjun langsung ke lokasi penelitian di desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo dengan menggunakan observasi, interview dan dokumentasi. b. Data Sekunder Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang diperoleh dari dokumen resmi, buku-buku, majalah dan berbagai literatur yang relefan dengan pembahasan penelitian ini. 73 5. Metode Pengumpulan Data Besar harapan penulis untuk memperoleh data yang sesuai dan tepat. Oleh sebab itu penulis perlu memilih metode pengumpulan data yang relefan dan tepat sehingga dapat diperoleh data yang outentik dan dapat dipertanggung jawabkan. Adapun metode yang dipakai dalam pengumpulan data ini adalah: a. Wawancara (Interview) Wawancara mendalam indept interview adalah suatu cara pengumpulan data dengan cara komunikasi langsung antara peneliti dengan obyek peneliti. 74
Wawancara mendalam (indept interview) yang dilakukan secara purposive dengan
72 Saifuddun Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004),91. 73 Ibid,91. 74 Lexy J. Moleong Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002),135. 63 para informan adalah orang-orang yang dianggap banyak mengetahui permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan. Para informan itu terdiri dari pemilik modal, pemilik perahu, buruh nelayan, dan petugas TPI (Tempat Pelelangan Ikan), agar wawancara yang dilakukan dapat lebih terarah, pelaksanaannya dilakukan dengan pedoman wawancara (intergiude) yaitu berupa garis besar materi wawancara yang harus dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti dalam melakukan wawancara di lapangan. Pemilihan informan yang akan di wawancarai disamping di tentukan oleh peneliti secara purposive juga di lakukan secara snow ball, yaitu melalui informasi yang di berikan oleh informan yang sudah di wawancarai sebelumnya. Keuntungan yang diproleh melalui sistem ini adalah peneliti tidak banyak kesulitan untuk menentukan informan yang akan di wawancarai karena data mengenai siapa saja orang yang di anggap bisa memberi informasi tentang permasalahan yang di teliti itu sudah disediakan oleh informan. b. Observasi Metode observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. 75 Dengan demikian observasi ini dilakukan untuk melihat kondisi lingkungan daerah penelitian, dan dapat melihat secara langsung kegiatan ke nelayanan yang dilakukan oleh masyarakat, disamping itu observasi juga dimaksudkan untuk mencocokkan hasil wawancara dengan kenyataan yang ada, sejauh yang dapat dilihat serta untuk melihat langsung kenyataan yang tidak bisa diungkapkan melalui wawancara.
75 Setrisno Hadi, Metode Risech II ( Yogyakarta: yayasan penerbit psikologi UGM,1986),136. 64 c. Dokumentasi Metode dokumentasi dimaksudkan untuk menela'ah secara sistematis dari data-data atau dokumen-dokumen tertulis secara langsung yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan. 76 Metode dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu upaya untuk mengumpulkan bukti-bukti atau data- data yang berkisar pada masalah demonografi daerah penelitian baik yang berbentuk tulisan pribadi seperti buku harian, surat-surat dan dokumen resmi yang bersumber dari arsip atau catatan. Dengan metode ini peneliti akan memperoleh data tentang gambaran umum obyek penelitian yang berhubungan dengan jumlah penduduk, peta desa Kalibuntu dan sebagainya. 6. Metode Analisis Data Analisis data menurut Patton (1980:268) yang dikutip oleh Moleong dalam bukunya adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan dasar. 77
Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (1975:79) seperti yang dikutip oleh Koentjaraningrat mendefinisikan analisis data adalah sebagai salah satu proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu. 78
76 Lexy J. Moleong , Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002),161. 77 Ibid., 103 78 Koentjaraningrat Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2002),269
65 Dalam penelitian ini penulis menganalisa data yang diperoleh dengan cara deskriptif kualitatif. Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Penelitian deskriptif dibedakan menurut sifat-sifat datanya yaitu riset deskriptif yang bersifat eksploratif dan bersifat developmental. Dalam penelitian ini penulis menggunakan deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu dengan menggambarkan keadaan atau status fenomena, penulis berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam rumusan masalah dan menganalisa data-data yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan sosiologis.
66
BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Seting Sosial Desa Kalibuntu 1. Asal Usul Nama Desa Kalibuntu Kalibuntu merupakan sebuah desa nelayan yang terletak di daerah bagian utara Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo. Seiring berjalannya waktu daerah ini telah menjadi tempat pemukiman penduduk yang senantiasa berkembang, tidak ada catatan secara resmi tentang asal-usul nama desa Kalibuntu, mungkin semata-mata didasarkan atas rabaan yang dibuat dari kisah-kisah yang dikemukakan para orang tua penduduk asli desa yang kini jumlahnya sudah tidak seberapa lagi. Dari hasil wawancara dengan Bapak Suparni sesepuh desa Kalibuntu yang juga pengurus desa menceritakan bahwa: Asal usul nama desa Kalibuntu diambil dari sebuah peristiwa nyata pada zaman penjajahan Belanda, yaitu sebuah sungai yang alirannya ke muara laut ditutup oleh masyarakat sehingga alirannya menjadi buntu. Yang menjadi motivasi penutupan sungai tersebut karena ada anggapan mitos bahwa, pada waktu itu banyaknya wabah penyakit dan penutupan sungai tersebut 67 dimaksudkan sebagai penangkal terhadap meluasnya penyakit tersebut, sayangnya tidak ada yang tahu secara jelas apakah desa itu mempunyai nama sebelum memiliki nama Kalibuntu. 79
Cerita di atas tersebut tidak banyak memberikan penafsiran tentang riwayat desa Kalibuntu, namun cukup membantu kita mengetahui asal-usul nama desa itu. Istilah Kalibuntu berasal dari dua kata yakni Kali (sungai dalam bahasa jawa) dan Buntu (tertutup) dengan kata lain penutupan atau pembuntuan sungai tersebut. Paduan dari dua kata tersebut dibakukan dan diabadikan menjadi sebuah nama desa yang sampai sekarang yakni KALIBUNTU 2. Kondisi Geografis Desa Kalibuntu. Desa Kalibuntu ini adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Kraksaaan Kabupaten Probolinggo. Posisi desa ini tepat berada di sebelah utara Kecamatan. Seperti yang terlihat di peta desa ini dibagian barat dibatasi oleh Desa Asembagus, sebelah timur dibatasi oleh Desa Kebunagung, sebelah selatan dibatasi oleh Desa Sidopekso dan sebelah utara dibatasi oleh Selat Madura. Adapun luas desa Kalibuntu secara keseluruhan adalah 100.010. ha, dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 4.1 Luas Daerah Desa Kalibuntu
NO JENIS TANAH LUAS 1. Tanah sawah tadah hujan 1.000 ha 2. Tanah pekarangan/bangunan 22.288 ha
79 Suparni , Wawancara Aparat Desa ( Kalibuntu, 30 Maret 7007). 68 3. Tanah tambak/kolam 71.000 ha 4. Tanah kuburan 2.222 ha 5. Lain-lain (sungai, jalan) 3.500 ha Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007 Desa Kalibuntu terdiri dari 5 dusun, terbagi 9 RW dan 14 RT, kecuali itu, desa ini terdiri dari beberapa Blok, bahkan keberadaan Blok ini lebih dominan popularitasnya ketimbang RT/RW maupun dusun, adapun Blok-blok itu antara lain adalah: 1. Blok Landengan 2. Blok Durian 3. Blok Sambilangan I dan II 4. Blok Karang Pandan 5. Blok Bong 6. Blok Panambangan 7. Blok Tambak Rejo 8. Blok Krajan Adapun blok Bong, Krajan, Panambangan dan Tambakrejo ini dijadikan satu karena yang bermukin di sana hanya sedikit. Desa kalibuntu walaupun terletak didaerah pantai akan tetapi masih terdapat tanah yang dipakai untuk pertanian dan dapat ditanami padi dengan tumbuh subur. 3. Kondisi Demonografi Desa Kalibuntu Kalibuntu adalah desa yang paling padat penduduknya diantara 18 desa yang ada di kecamatan Kraksaan, sebab hanya dengan tanah seluas 100.010 ha ini dihuni 69 oleh kurang lebih 8786 jiwa yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Untuk mengetahui secara rinci jumlah masing-masing dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dan Usia NO JENIS KELAMIN JUMLAH (orang) 1. Laki-laki 4 4 1 8 2. Perempuan 4 3 6 8 JUMLAH 8 7 8 6 jiwa Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007 Perlu diketahui bahwa penduduk yang sekian jumlahnya tidak seluruhnya asli desa Kalibuntu, melainkan ada penduduk pendatang dari daerah luar seperti Madura, Muncar, Jember dan Banyuwangi namun sekarang menjadi penduduk Kalibuntu karena adanya ikatan tali perkawinan ataupun yang lainnya. Secara geografis desa Kalibuntu termasuk pulau Jawa namun bahasa yang dipakai sehari-harinya adalah bahasa Madura karena desa Kalibuntu banyak di domoinasi oleh orang-orang Madura, oleh sebab itu sosial budayanya tidak jauh berbeda dengan masyarakat Madura. 4. Pola Hidup Masyarakat Nelayan Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa selalu berhubungan dan membutuhkan satu dengan yang lainnya. Kecenderungan untuk selalu berhubungan dan membutuhkan satu dengan yang lainnya ini akan menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan dengan pola interaksi sosial, kelompok sosial dan budaya. Dalam setiap kelompok sosial selalu ditandai dengan ciri khas tertentu yang menyebabkan pola prilaku yang berbeda. Adanya perbedaan ini sebenarnya dipengaruhi oleh 70 beberapa faktor di antaranya oleh sistem, adat istiadat, pendidikan, dan ekonomi, yang melatar belakangi mereka. Akulturasi budaya ini melahirkan dinamika kehidupan sosial. Begitu juga dengan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat nelayan, mereka yang senantiasa selalu hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian, bahkan jarang disentuh informasi. Hal ini bisa mencetak pribadinya yang keras dan cenderung subyektif. Pendapatan yang penuh teka-teki yang masih tergantung pada kemurahan laut menuntut adanya kebulatan tekad yang tinggi dan penuh spekulatif. Di sisi lain masyarakat nelayan harus berinteraksi dengan manusia lain baik dengan petani, pedagang ataupun pegawai dan yang lainnya dalam rangka saling melengkapi satu dengan yang lainnya, karena karakteristik yang khas itulah sering menimbulkan problem sosial. Berinteraksi ataupun berhubungan dengan orang lain ini sulit untuk dihindari karena sejak lahir manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yakni; keinginan untuk selalu menjadi satu dengan yang ada di sekelilingnya (bermasyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam di sekelilingnya. 80 Dari dua keinginan pokok seperti yang tersebut di atas manusia memiliki ciri- ciri kehidupan sendiri dan mereka akan mempertahankannya karena hal itu merupakan ciri khas mereka baik dari segi kehidupannya, agamanya, kulturnya, bahkan sampai adat istiadat atau budaya-budaya yang lainnya. Perbedaan tersebut ada karena masing-masing daerah mempunyai latar belakang sendiri-sendiri, demikian halnya pada masyarakat nelayan. Secara sederhana masyarakat nelayan memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat lainnya diantaranya :
80 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:Rajawali,1990),27. 71 1. Masyarakat nelayan memiliki sifat homogen (dalam hal mata pencaharian, nilai dan kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku). 2. Cenderung berkepribadian keras 3. Memiliki sifat yang toleransi terhadap yang lainnya. 4. Memiliki gairah seksual yang relatif tinggi 5. Hubungan sesama anggota lebih intim dan memiliki rasa tolong-menolong yang tinggi. 81 6. Dalam berbicara suara cenderung meninggi Sebenarnya ciri tersebut diatas tidak jauh berbeda dengan masyarakat desa karena secara geografis daerah pantai termasuk pula daerah pedesaan. Pada porsi perbedaan inilah dibutuhkan wawasan dan sikap yang fleksibel sehingga perbedaan kultur tidak menjadi pragmatisme sosial, bahkan melebar menjadi akulturasi budaya yang melahirkan dinamika sosial. Oleh karena itu pola hidup masyarakat nelayan perlu mendapat kajian tersendiri sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada sosial budaya itu sendiri yakni: a. Kondisi Sosial Budaya Desa Kalibuntu Dalam perjalanan sejarahnya manusia selalu membentuk kebudayaan, karena manusia memang makhluk budaya dan kebudayaan itu mengatur masyarakat. Tanpa masyarakat kebudayaan tidak mungkin terwujud karena ia merupakan wadah dan pendukung dimana kebudayaan itu diamalkan, tumbuh berkembang dan berubah, demikian pula sebaliknya masyarakat tanpa kebudayaan tidak akan bisa hidup bersama dan bekerja sama untuk mempertahankan kelestarian hidup dan melanjutkan
81 Ibid. 34. 72 eksistensinya, karena itu masyarakat sebagai kesatuan sosial berkait ketat dengan kebudayaan sebagai dua dalam satu atau disebut juga dengan budaya. Faktor sosial budaya selalu diwarnai dengan unsur kedaerahan, kita bisa lihat masyarakat yang tinggal di daerah pantai seperti nelayan Kalibuntu misalnya maka akan berbeda sosial budayanya dengan masyarakat industri atau petani. Hal ini merupakan satu indikasi bahwa faktor-faktor sosial budaya seringkali berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, meskipun dalam garis besarnya terdapat pola-pola keseragaman. Dari berbagai uraian di atas dapat kita pahami bahwa sosial kebudayaan berbicara tentang manusia yang mana pembentukan dan pelaksanaan kebudayaan itu berpangkal pada cara hidup bersama dan bekerja sama dalam kelompok manusia. Hakekat kebersamaan ini adalah hubungan antara sesama manusia. Hubungan ini didukung oleh kultural universal yaitu: a). Sosial (hubungan manusia dengan manusia) b). Ekonomi (hubungan manusia dengan barang) c). Politik (hubungan manusia dengan kekuasaan) d). Agama (hubungan manusia dengan Tuhan) e). Ilmu (hubungan manusia dengan alam) f). Tekhnik (hubungan manusia dengan kerja) g). Seni (hubungan manusia dengan sesuatu hal yang indah). 82 Penduduk Desa Kalibuntu mempunyai kebiasaan atau sosial budaya yang kurang menggembirakan, yaitu pola hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan masa depan, artinya setiap mendapat rejeki atau memperoleh hasil tangkapan yang
82 Sucipto. S, Aspek Sosial Budaya dalam Perkembangan Pedesaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987),76. 73 lumayan banyak maka pada saat itu pula mereka akan membelanjakannya atau menghabiskannya. Suatu contoh membeli perhiasan, pakaian, dan sebagainya, bahkan jiwa saling pamer diri cukup melekat di kalangan penduduk Kalibuntu. Masyarakat Kalibuntu dalam hal jiwa tolong-menolong sangat tinggi, terlepas apakah bentuk pertolongannya itu ikhlas atau tanpa pamrih, sedangkan bentuk rumah mereka banyak berhimpitan dan dibangun di atas tanah yang sempit. Selain hal yang di atas penduduk Kalibuntu memiliki pola hidup jual beli barang-barang keramik dan peralatan rumah tangga yang mereka beli pada saat mereka mendapatkan hasil ikan yang banyak. Jual-beli barang tersebut mereka lakukan pada saat musim paceklik tiba. Pola hidup yang demikian sering disoroti oleh daerah lain di sekitar Kalibuntu bahkan gaya hidup yang demikian ini sudah menjadi tradisi ciri khas budaya Kalibuntu. 1) Kondisi Kemasyarakatan Desa Kalibuntu Sistem kemasyarakatan kelompok nelayan tidak didasarkan pada daerah keturunan, melainkan lebih ditekankan pada perasaan senasib dan tempat tinggal serta mata pencaharian. Kesesuaian ini seperti yang dirumuskan dalam antropologi sosial bahwa: kesatuan hidup setempat atau komunitas, yaitu suatu kesatuan yang didasarkan atas adanya ikatan tempat kehidupan dan bukan semata-mata dikarenakan kekerabatan. Sebagaimna halnya manusia lain, masyarakat Desa Kalibuntu juga mengenal adanya peraturan dan norma-norma sosial. Norma-norma tersebut dimaksudkan sebagai patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu dan memberikan petunjuk tentang standart untuk bertingkah laku dan untuk menilai tingkah laku. 74 Selain itu masyarakat Kalibuntu juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas yang tinggi, sistem bantu-membantunya ini merupakan cara untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang berat. Kesadaran untuk saling membantu sesamanya bukan karena suka berbakti sesamanya melainkan karena adanya rasa saling membutuhkan dalam jiwa kenelayanannya. Timbulnya tolong menolong pada masyarakat nelayan adalah kerena: 1. Faktor ekonomi yang sangat ditentukan oleh macam pekerjaan. 2. Adanya perasaan satu nasib yang menimbulkan persatuan yang kokoh 3. Beratnya pekerjan yang menuntut mereka bekerja kolektif. Terlepas dari motivasi yang mendasari sikap tolong-menolong ini, secara umum individualitas masyarakat desa rural comminity. Rasa kebersamaan itu sebenarnya potensi yang harus kita tumbuh suburkan. Sehingga alternatif yang diberikan sebagai bentuk kepedulian sosial itu lebih terarah dan memberikan ketentraman, kesejahteraan bagi warganya khususnya pada masyarakat nelayan Kalibuntu. 2) Kondisi Pendidikan Desa Kalibuntu. Pembangunan di masa sekarang dan masa mendatang sangat dipengaruhi oleh sektor pendidikan, sebab dengan bantuan pendidikan setiap individu berharap bisa maju dan berkembang. Lewat pendidikan orang mengharapkan supaya semua bakat, kemampuan dan kemungkinan yang dimiliki bisa berkembang secara maksimal, agar orang bisa mandiri (menolong diri sendiri) dalam proses membangun pribadinya, 75 sedang negara bisa maju bila semua warga negaranya berpendidikan, serta memperoleh kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang layak. 83 Fakta menunjukkan bahwa pendidikan telah merasuki segala sendi kehidupan dan hampir seluruh sektor kehidupan berbangsa. Oleh sebab itu perlu diusahakan adanya relasi yang lebih akrab antara sekolah dengan milieu atau lingkungan sekitar, yang bisa mengarah kepada proses simbiosa saling menghidupi diantara dunia pendidikan dengan kehidupan nyata di tengah masyarakat. Dengan pendidikan orang ingin mengangkat martabat diri sendiri dan martabat kaumnya di tengah masyarakat luas. Bagi masyarakat nelayan Kalibuntu antara ekonomi dan pendidikan sama- sama lemahnya, sering dikatakan sebagai lingkaran setan. Seperti yang dilaporkan Ikatan Bacaan Internasional bahwa negara-negara miskinlah yang paling besar jumlah prosentase kebutahurufannya. 84 Sedangkan orang yang buta huruf dapat kita bayangkan status kerja dan pendapatannya. Bagi masyarakat Kalibuntu target sekolah hanya bisa membaca dan menulis saja bahkan mereka beranggapan bisa kerja atau mengetahui bukan kerena diajarkan di sekolah tetapi diajarkan oleh kontak dengan orang dewasa dan lingkungannya. Pandangan yang kurang baik itu dapat dihilangkan dengan meningkatkan kesadaran bagi masyarakat nelayan dengan bahasa yang menyentuh dan menghubungkan pelajaran di sekolah lebih erat lagi dengan penghidupan masyarakat. Di bidang pendidikannya masyarakat Kalibuntu termasuk desa yang memiliki rata-rata berpendidikan rendah, kalaupun ada yang memiliki pendidikan sampai pada
83 Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis(Apakah Pendidikan Masih Diperlukan) ,(Jakarta: CV. Mandar Maju, 1992),21. 84 Ibid. 27 76 perguruan tinggi itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang golongan menengah keatas, atau mereka yang tidak mampu tapi memiliki semangat yang tinggi terhadap pendidikan. Hanya sedikit yang telah menamatkan sekolah lanjutan atas (SMP). Sebagian besar hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau tidak bersekolah sama sekali. Oleh sebab itu jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada maka hal tersebut relatif rendah dan tidak seimbang. Hal ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan pemikiran serta penanganan secara serius. Perhatian pemerintah setempat sangat besar dalam mencerdaskan masyarakat Kalibuntu, hal ini terbukti dengan sarana pendidikan yang dibangun di desa tersebut, namun masyarakat Kalibuntu kurang memfungsikan sarana ini secara optimal, terbukti masih ada sekolah (SD) di sana yang jumlah siswanya tidak mencapai target ideal. Tabel 4.3 Jumlah Sarana Pendidikan
NO JENIS SEKOLAH JUMLAH 1. Taman kanak-kanak 1 2. Sekolah Dasar Negeri 4 3. Madradah Ibtidaiyah 1 4. Madrasah Tsanawiyah 1 5. Madrasah Aliyah 1 6. Majelis Talim (Diniyah) 1 JUMLAH 9 Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007 77 Sebenarnya masyarakat Kalibuntu memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan agama, akan tetapi lembaga ini perintisnya sangat lambat. Keberadaan sekolah agama (Madrasah) di Kalibuntu masih relatif muda, sebagai alternatifnya pendidikan agama diberikan melalui pendidikan non formal, misalnya di surau, masjid atau majelis talim. Walaupun lembaga pendidikan formal (Madrasah) sudah ada namun lembaga ini tetap berjalan. Sebagian masyarakat yang berminat dan mampu menyelesaikan sekolah lanjutan, mereka dapat bersekolah di luar desa Kalibuntu karena desa ini belum memiliki lembaga untuk lanjutan pertama (SMP) dan sekolah lanjutan atas (SMA). 3) Kondisi Ekonomi Desa Kalibuntu Perkembangan keuangan mikro micro banking di wilayah pesisir seperti yang diusulkan oleh Kusnadi, sebenarnya sudah dirintis oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak tahun 2000 melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). PEMP menjadi program unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara terencana dan terstuktur melalui pemberdayaan dan pendayagunaan sumberdaya pesisisr dan laut secara optimal dan berkelanjutan Program PEMP ini bukan merupakan charity (amal) melainkan emprowerment (pemberdayaan), sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian masyarakat pesisir. 85 Lanjutnya tak terhitung lagi berapa banyak program pemberdayaan ekonomi rakyat yang telah digulirkan, tetapi hasilnya hingga kini masih belum seperti yang diharapkan, atau bahkan gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, program PEMP ini juga dibayangi kekhawatiran
85 Kusnadi, Polemik Kemiskinan Nelayan (Yogyakarta: Pustaka Jogya Mandiri,2004),30. 78 akan bernasib sama dengan program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat lainnya. Jika dilihat dari sudut pandang ilmu ekonomi bahwa Negara yang berpenghasilan rendah adalah Negara yang berpenghasilan perkapitanya US $ 300,- kurang atau lebih, yang mana Negara seperti ini termasuk Negara dalam taraf ukuran berkembang dan Indonesia termasuk di dalamnya, yang lebih dikerucutkan lagi dalam masyarakat pesisir. Selanjutnya sistem ekonomi yang dipakai masyarakat nelayan berbeda dengan sistem masyarakat petani, pedagang, industri, pegawai dan sebagainya, yang biasanya para pekerja mendapat gaji atau upah secara tetap namun bagi masyarakat nelayan gaji atau upah tersebut memakai sistem bagi hasil. Tiap awak kapal tidak mendapatkan upah berupa sejumlah uang tetap, tetapi mendapat bagian tertentu dari bagi hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu. 86 Perekonomian pada masyarakat desa Kalibuntu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi desa beberapa dekade sebelumnya, pertambahan penduduk dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh pemerintah selama ini. Semua ini memberikan pengaruh pada irama kehidupan masyarakat setempat pada semua lapisan masyarakat dengan tingkat yang tentunya berbeda-beda. Dalam proses ini ada yang meningkat dan ada pula yang bergeser ke bawah, selain itu juga karena nelayan yang bermukim di wilayah pesisir ini masih rendah dalam pengetahuan kelautan, pemilikan modal, serta manajeman usaha perikanan yang dipunyai. Jumlah meraka yang bekerja sebagai nelayan lebih nampak sangat dominan dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Oleh sebab itu perekonomian secara umum di desa Kalibuntu banyak dilakukan oleh hasil penangkapan ikan. Karena hasil yang
86 Koentjaraningrat, BeberapaPokok Antropologi Sosial (Jakarta:Dian Rakyat, 1990),161. 79 diperoleh tidak menetap maka pendapatan tiap harinya pun tidak menetap, dampak dari ketidak merataan hasil pendapatan ini membuat perekonomian keluarga tidak menentu, hal ini juga dirasakan oleh para pedagang yang besar kecilnya perolehan dan ditentukan hasil tangkapan ikan para nelayan. Dan jika pekerjaan sebagai nelayan ini hanya dianggap sebagai salah satu dari kategori mata pencaharian yang lebih luas, yaitu mata pencaharian di bidang perikanan, tentunya harus juga memasukkan mereka yang bertani, buruh yang mempunyai pekerjaan sambilan sebagai nelayan, pegawai atau pensiunan atau mereka yang berusaha di bidang perikanan sebagai usaha. Gambaran tentang struktur ekonomi desa ini secara sekilas dapat dilihat dari tabel mengenai mata pencaharian penduduk. Tabel 4.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Kalibuntu
NO MATA PENCAHARIAN JUMLAH 1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 3 2. Tentara Nasional Indonesia (TNI) 4 3. Buruh Nelayan 6.195 4. Nelayan Pengusaha 6 5. Pedagang 1.236 6. Pensiunan 4 7. Buruh Bangunan 15 8. Buruh Tani 5 80 9. Wiraswasta 23 JUMLAH 7491 Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007 Peranan kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluarganya dipegang oleh ayah atau suami, yang bekerja langsung sebagai nelayan atau pekerjaan yang paling langsung di bidang usaha perikanan. Sebagai seorang istri mereka tidak hanya tinggal diam di dalam rumah, membantu perekonomian keluarga jika keadaan ekonomi keluarga tidak begitu kuat atau kurang dari kebutuhan keluarga, misalnya dengan bekerja sebagai pedagang ikan, baik dipasar sebagai pedagang ikan eceran atau pedagang ikan borongan pada para pedagang besar. Sedangkan anak laki-laki atau perempuan baik yang masih sekolah atau tidak, terlebih jika orang tua mereka kurang mampu, mereka mempunyai peranan ekonomis dalam keluarga. Mereka di sebut alang-alang, yaitu rombongan menguntit nelayan dan berusaha mendapatkan ikan tanpa harus membeli. Operasi mereka bersamaan dengan waktu pelelangan, di tempat tersebut mereka akan meminta ikan atau mengambil ikan yang tercecer sewaktu dibawa oleh para nelayan dari perahu mereka menuju ke tempat pelelangan. Biasanya mereka pergi secara berkelompok 2 atau sampai 4 orang. Adapun perlengkapan atau sarana yang dipergunakan dalam penangkapan ikan adalah perahu atau kapal yang dilengkapi dengan alat lain seperti mesin temses (mesin mobil), pajang peles, kardan atau slerek, katrol, mesin kardan untuk menarik ikan, lampu mercuri dan sebagainya. Kapal adalah istilah yang dipakai untuk perahu yang berukuran besar, sedang perahu untuk yang ukurannya kecil. Jenis pekerjaan nelayan dan alat tangkapnya: 81 1) Mayang Mayang adalah sebutan bagi para nelayan yang mempergunakan jaring payang atau payang peles. Jaring atau payang peles ini juga dijalankan dengan kapal yang dilayani oleh 20-25 nelayan. Jaring ini terutama ditujukan untuk mencari ikan layang dan tongkol atau sejenisnya. Kegiatan mayang ini kadang-kadang memerlukan waktu lebih dari satu hari, oleh karena itu bekal yang dibawa lebih banyak atau ada cadangan. 2) Beranjang Beranjang adalah sebuah alat atau tempat yang terbuat dari bahan bambu dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi tempat yang berbentuk bujur sangkar. Dengan tujuan untuk menangkap ikan atau menjaring ikan dari dalam tempat tersebut dengan cara meletakkan lampu didalamnya agar dikerumuni ikan. 3) Slerek Slerek ini lebih dikenal oleh penduduk desa Kalibuntu dengan sebutan jaring besar yang terbuat dari serat goni. Ini sebetulnya baru masuk dan dikenal masyarakat Kalibuntu sekitar 1985 hampir bersamaan dengan dikenalnya motor tempel. Alat tersebut merupakan alat modern yang dipergunakan oleh para nelayan Kalibuntu. Pada mulanya masyarakat masih menolak dengan hadirnya alat tangkap ini karena harus merubah sistem pembagian pendapatan, akan tetapi karena kecanggihan alat ini terbukti ahirnya mereka berusaha memilikinya. Alat ini juga dilayani oleh 20-25 orang dengan kapal atau perahu besar yang memakai mesin temses, sehingga lebih mudah menjangkaunya.
82 4) Mesin Temses/motor Dalam perahu atau kapal terdapat beberapa mesin yang dipergunakan maka penulis akan jelaskan penggunaannya: Mesin Temses/motor ini adalah mesin yang digunakan untuk mengarungi lautan karena jika hanya menggunakan mesin tempel tidak cukup untuk ukuran kapal besar. Dan mesin kardan adalah untuk menarik ikan, sedangkan mesin daping adalah mesin yang digunakan untuk lampu guna menyoroti dimana letak ikan yang banyak. b. Kondisi Sosial Keagamaan Desa Kalibuntu Aspek lain yang tak kalah pentingnya dengan aspek yang lain di atas adalah aspek agama, sebab pada dasarnya setiap manusia mempunyai keyakinan terhadap agama atau yang disebut dengan Religie atau godsdienst (Belanda) atau religion (Inggris). Menurut Sidi Gazalba etimologi religi mungkin sekali berasal dari istilah relegere atau religare dalam bahasa latin. Istilah agama berasal dari bahasa sansakerta yang pengertiannya menunjukkan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan. 87 Sedangkan bentuk dan jenjang nilai yang berkembang dalam kehidupan msyarakat manusia umumnya di bedakan dalam enam kategori yakni: 1. Nilai religius (keagamaan) 2. Nilai ilmiah 3. Nilai ekonomis 4. Nilai politis 5. Nilai estetis
87 Muhammad Tolhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosial Budaya (Jakarta:Galasi Nusantara, 1987).15. 83 6. Nilai humanis (manusia). Agama itu sendiri dalam pembinaan manusia memiliki beberapa fungsi diantaranya: a). Fungsi edukatif b). Fungsi pengawasan sosial (social kontrol) c). Fungsi pengawasan d). Fungsi memupuk persaudaraan dan f). Fungsi transportasi. Bagi masyarakat nelayan yang kerjanya sangat memeras tenaga dalam masalah keagamaan tidak seberapa, dapat di bayangkan bagaimana mereka mengamalkan ajaran keagamaanya seperti shalat, puasa, dan lainnya di saat mereka berada di lautan lepas, memang di akui bahwa semua itu tergantung sampai dimana keyakinan keagamanaan itu meresap ke dalam jiwanya. Meskipun sebagian besar anggota masyarakat nelayan desa Kalibuntu ini mempunyai aktivitas perekonomian yang hampir sama (dalam menangkap ikan di laut) namun secara sosiologis pemahaman keagamaanya sungguh tidak persis sama. Dalam pembahasan sosial keagamaan masyarakat nelayan ini, penulis membagi menjadi tiga bagian: 1. Kondisi Mental Spiritual Keberadaan mental seseorang terbentuk karena pengalaman yang ia terima dan potensi dasar yang ia bawa, perubahan sikap mental ke arah positif akan terjadi jika pola mental tersebut mendapat dukungan dari nilai-nilai baru yang lebih kuat. Bagi masyarakat nelayan khususnya masyarakat nelayan Kalibuntu, dalam sosial 84 keagamaan banyak terikat kepada kepercayaan dan praktek masa lalu, dan mereka tidak sanggup merubahnya dari generasi-kegenerasi. Seperti adat agama juga sebagai tradisi, antara agama dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak bisa dirubah, bukan hanya terletak pada asas dan prinsipnya melainkan adanya unsur-unsur adat yang melekat padanya, misalnya yang beragama Islam, sering dicampuri oleh adat yang berunsurkan kepercayaan asli Ostronesia dan kepercayaan Hindu. 88 Unsur khurofat dan takhayul itu melalui adat menyusup kedalam amalan agama Islam yang diadatkan, sehingga kabur batasan mana ajaran islam yang outentik dan mana yang bidah. Rahasia alam yang mereka belum ketahui dan tenaga yang bekerja dibelakang peristiwa-peristiwa, mereka pulangkan kepada alam ghaib. Pada posisi ini masyarakat nelayan sering tergiring kepada sikap mental yang merusak keutuhan akidah yang pada gilirannya menyebabkan mereka syirik. Bertolak dari semua itu, pembinaan mental keagamaan yang sanggup meluruskan pemahaman keagamaan masyarakat nelayan sesuai dengan porsinya, merupakan kebutuhan yang urgen, sehingga kesalahan ini tidak menjadi berantai sebagai akibat dosa warisan. 1). Sistem Kepercayaan Desa Kalibuntu Sebagian besar masyarakat di pedesaaan Indonesia terutama di pulau Jawa memeluk agama Islam dan sebagian kecil lagi memeluk agama lain seperti Katolik, Budha, Hindu dan Kristen. Agama-agama tersebut oleh masyarakat desa diyakini
88 YB Mangun Wijaya, Gedong bagus ok dkk, Spiritual Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta: 1994),243. ibid. 249 85 kebenarannya, orang-orang pedesaan yang bersifat sangat religius, sifat ini ditandai dengan barbagai kegiatan keagamaan misalnya tahlilan, arisan dan pengajian rutin. Pada dasarnya agama mempunyai beberapa unsur diantaranya: a. Kekuatan Ghaib: manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan ghaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. b. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat tergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan ghaib yang dimaksud, dengan hilangnya hubungan ghaib tersebut kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. c. Respon yang bersifat emosional dari manusia, respon itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif. Respon itu dapat membentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. d. Paham adanya kudus (secret) dan suci dalam bentuk kekuatan yang ghaib dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu. 89 Sistem kepercayaan masyarakat Kalibuntu terhadap ilmu ghaib dan ilmu dukun ini kemungkinan disebabkan karena mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian yang dinilai sangat berat dan penuh tantangan dibandingkan dengan mata pencaharian lain seperti bercocok tanam, beternak, berdagang dan sebaginya. Usaha-usaha tersebut merupakan alternatif dalam menghadapi resiko yang besar serta upaya meningkatkan hasil pendapatannya. Animo masyarakat yang seperti ini menjadikan profesi perdukunan tetap lestari, sehingga keberadaan seorang dukun
89 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspek (Jakarta: UI Pers,1985),11. 86 bagi masyarakat nelayan masih dianggap orang yang harus disegani dan ditaati fatwanya. 2) Sistem Upacara Keagamaan Desa Kalibuntu Pada masyarakat yang tinggal di desa pantai kegiatan upacara ritual dilakukan dengan cara palarungan berupa kepala kerbau dan tumpeng serta makanan berupa jajanan pasar kedalam laut. Upacara-upacara keagamaan atau ritual ini biasanya dilakukan bersama upacara tradisi leluhur yaitu berupa selamatan bersih desa, melakukan sesaji untuk ruh penunggu atau roh leluhur yang telah meninggal. Tiap upacara keagamaan dapat terbagi kedalam empat kompenen yakni: a. Tempat Upacara Dalam masyarakat nelayan upacara keagamaan di laksanakan di dua tempat, didaratan dan dilautan. Kalau didaratan seperti shalat, selamatan kubur, selamatan desa dan sebagainya, sedang dilautan adalah upacara-upacara yang berhubungan dengan dewa-dewa laut atau roh-roh yang mendiami laut yang dianggap sebagai sumberdaya laut, seperti petik laut. Pada masyarakat Kalibuntu upacara petik laut adalah upacara adat yang hanya diadakan tiap satu tahun sekali. Adapun tempat yang dipergunakan sebagai upacara ini biasanya sangat dikeramatkan dan tidak boleh sembarangan orang mendatanginya tanpa kepentingan yang jelas. b. Saat Upacara Pada saat upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan gawat, dan penuh bahaya ghaib. Waktu pelaksanaanya adalah pada pergantian musim atau waktu mulai menangkap ikan dan pada bulan-bulan yang dianggap 87 istimewa. Saat-saat seperti ini berulang-ulang dan tetap, seiring dengan irama gerak alam semesta, misalnya shalat, peringatan hari besar agama dan lainnya. 90 c. Orang-Orang Yang Melakukan Dan Memimpin Upacara Karena upacara ini sangat sakral dan perbuatan yang keramat maka yang harus menjadi pemimpin upacara ini adalah orang-orang yang dianggap keramat juga, minimal dalam lingkup daerah tersebut misalnya kiai, dukun, pendeta, pemuka agama yang memiliki keahlian dalam memimpin upacara keagamaan, profesi ini biasanya lewat jalur non formal dan kesepakatan yang tidak tertulis. Di desa Kalibuntu hanya ada satu agama yang dianut yaitu agama Islam, karena hanya satu-satunya agama yang dianut maka keberadaan agama Islam di desa tersebut sangat mendapat respon yang positif dari masyarakat setempat. Hal ini bisa di buktikan dari banyaknya sarana peribadatan yang ada, misalnya Masjid dan Mushalla serta kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh warga desa kalibuntu, adapun sarana peribadatan tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut: Tabel 4.5 Jumlah Sarana Peribadatan
NO TEMPAT MASJID MUSHALLA 1. Landengan 1 3 2. Karangpandan 1 4 3. Durian 3 4. Sambilangan I, II 5
90 Darsono Wisadirana, Sosiologi Pedesaan (Malang: UMM Press, 2005),58 88 5. Panembangan 2 6. Krajan 1 7. Bong 1 8. Tambak Rejo 1 JUMLAH 2 20 Sumber Data: Dokumen Kantor Desa 2007 Secara kuantitas, jumlah sarana peribadatan sangat menggembirakan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah memfungsikan secara optimal. Di samping sarana peribatan tersebut diatas, ada kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan masyarakat Kalibuntu baik dikalangan remaja maupun orang tua, misalnya mengadakan tahlilan setiap malam jumat, yasinan oleh ibu-ibu muslimatan, istighasah, dibaiyah dan kegiatan lainnya yang dimotori oleh pemuda dan remaja yang dihimpun dalam wadah Remaja Masjid hal yang demikian ini membuktikan betapa besar perhatian masyarakat kalibuntu terhadap keyakinan agamanya. Persolan agama bagi masyarakat nelayan Kalibuntu merupakn persoalan yang sangat sensitif, mereka memiliki emosional keagamaan yang sangat tinggi, mereka berani mengambil resiko jihad jika persoalan agamanya disinggung walaupun pengalaman ritual keagamaannya perlu dipertanyakan, secara formalitas penduduk Kalibuntu beragama Islam, meskipun kebanyakan dari mereka tidak menjalan Rukun Islam. Masyarakat Kalibuntu dalam sosial keagamaan banyak terikat pada kepercayaan dan praktek masa lalu, sehingga mereka tidak sanggup merubah warisan yang diterimanya dari generasi ke generasi. Seperti halnya adat agama juga sebagai tradisi, antara agama dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan 89 dan tidak bisa dirubah, bukan hanya terletak pada asas dan prinsipnya melainkan adanya unsur-unsur adat yang melekat padanya, misalnya yang beragama Islam, sering dicampuri oleh adat yang berunsurkan kepercayaan asli Ostronesia dan kepercayaan Hindu. Unsur khurofat dan takhayul itu melalui adat menyusup kedalam amalan agama Islam yang diadatkan, sehingga kabur batasan mana ajaran islam yang outentik dan mana yang bidah. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang sangat berat dan tidak diragukan lagi, mereka yang menjadi nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan yang lebih mudah, sesuai kemampuan yang dimiliki, oleh karena itu untuk meningkatkan hasil tangkapannya masyarakat Kalibuntu banyak menempuh jalur perdukunan, sehingga profesi sebagai dukun tetap lestari. Keberadaan seorang dukun bagi nelayan Kalibuntu masih dianggap orang yang harus disegani dan ditaati petuahnya. Bertolak dari kenyataan diatas, maka pembinaan keagamaan yang sanggup meluruskan pemahaman keagamaan masyarakat Kalibuntu sesuai dengan porsinya, merupakan kebutuhan yang urgen, sehingga kesalahan ini tidak menjadi berantai sebagai akibat dosa warisan. Tentu hal ini membutuhkan metode dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi masyarakat Kalibuntu.
B. Penyajian Hasil Penelitian 1. Bagi Hasil Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal Dan Buruh Nelayan di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo Untuk memperoleh data mengenai bagi hasil antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan di Desa Kalibuntu, maka peneliti melakukan wawancara 90 kepada beberapa informan antara lain pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan. Seperti kita ketahui dalam bidang perikanan membutuhkan investasi cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang besar dibandingkan sektor usaha lainnya. Penanaman investasi yang besar mengandung resiko yang lebih besar pula, oleh sebab itu para nelayan tidak mau mengambil resiko yang besar maka kebanyakan dari nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang lebih sederhana, atau hanya menjadi buruh nelayan. 91 Begitu juga yang terjadi pada masyarakat Kalibuntu, mereka yang menjadi buruh nelayan lebih dominan dibandingkan pemilik modal dan pemilik perahu hal ini di sebabkan karena perekonomian secara umum di Kalibuntu banyak dilakukan oleh hasil penangkapan ikan. Dalam hubungannya, pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan ini terlibat dalam suatu pembagian hasil sering tidak menguntungkannya. Yakni lebih menguntungkan salah satu pihak. Hal yang paling mendasar adalah pemilik modal yang mengambil fee 15-20% sebagai kompensasi dari peminjaman modal oleh pemilik perahu. Inilah hasil wawancara peneliti dengan para nelayan yang terikat kerjasama dalam sebuah hasil usaha. Bapak Zaini sebagai Orenga atau pemilik perahu Lancar saat peneliti mewawancarainya menuturkan bahwa: Terjadinya bagi hasil ini adalah berawal dari saya ingin membeli perahu sedangkan uang yang ada pada saya kurang, misalnya harga perahu Rp.150.000.000,- sedangkan uang yang saya punya hanya Rp. 80.000.000,-untuk menutupi kekurangan tersebut saya meminjam uang
91 Bagong Suyatno, Perangkap Kemiskinan:Problem dan Strategi Pengentasannya Dalam Pembangunan (Yogyakarta:Aditya media,1996.),38. 91 pada pemilik modal, sebenarnya saya mau pinjam di KUD tapi disini tidak ada, kalau pinjam di Bank terlalu ribet dan saya tidak bisa bayar bunganya. dan tiap bulannya harus setor sedangkan pendapatan dari hasil tangkap ikan ini tidak menetap. Sedangkan kalau pinjam pada pemilik modal tidak ada bunganya tapi kompensasinya akan mengambil fee 15-20% dari hasil tangkapan sebelum dibagi tiga bagian. 92
Peneliti tidak hanya menemui Bapak Zaini saja tetapi peneliti juga menemui Bapak Anshori yang juga sama-sama memiliki profesi yang sama yakni sebagai pemilik perahu. Hasil wawancara dengan bapak Anshari sebagai pemilik perahu mengatakan: Saya melalukan kerjasama bagi hasil ini kurang lebih sudah sekitar 10 tahunan, dan sampai sekarang saya belum bisa melunasi hutang saya pada ambeen 93 saya. Bagaimana saya bisa membayar hutang saya yang jumlahnya lumayan besar sedangkan panghasilan yang saya peroleh dengan buruh saya setiap harinya tidak menetap, untuk pembayarannya harus tunai jika tidak maka saya akan tetap menjadi ambean mereka. Awal terjadinya peminjaman ikatan ini karena saya membeli perahu tapi uang yang saya miliki tidak cukup akhirnya saya berhutang pada pemilik modal itu dengan konsekwensi pemilik modal akan mengambil fee dari hasil tangkapan dan ini berjalan selam hutang belum terlunasi, kalau berhutang pada pemilik modal ada enaknya dan enggaknya, enaknya ya tidak ada batasnya dan tanpa bunga sedangkan tidak enaknya pengambilan feenya itu mbak yang menurut saya terlalu memberatkan. Jika perahu saya bekerja dan memperoleh ikan sebagai hasil tangkapan maka saya sudah tidak ikut-ikutan karena sudah menjadi urusan pemilik modal itu, artinya saya hanya menerima uang hasil penjualan tersebut yang sudah diproses oleh sang pemilik modal 94
Bagi masyarakat nelayan khususnya Kalibuntu tengkulak merupakan tumpuan dan tempat hidup dalam situasi apapun, para tengkulak akan berupaya keras untuk membantu nelayan. Misalnya memberikan pinjaman modal sebesar yang
92 Zaini, Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007) 93 Ambeen sekelompok nelayan yang bekerja dalam satu unit perahu dan hasil tangkapannya menjadi langganan untuk dijual oleh orang yang memberikan kontribusi modal dalam pemberian perahu beserta alat tangkapnya. 94 Anshari Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007). 92 dibutuhkan nelayan tanpa batasan minimal dan maksimal kepada nelayan (pemilik perahu) untuk menutupi kekurangan biaya pembelian sebuah perahu dan peralatan tangkapnya, tanpa agunan apapun. Inilah hasil wawancara peneliti dengan Hj. Habibah sebagai pemilik modal yang bekerjasama dalam membagi hasil keuntungan.sebagai berikut: Proses peminjaman ini tidak birokratis, tidak berbelit-belit, dan tanpa agunan, cukup atas dasar kepercayaan dan saling mengerti semata, sedangkan batas waktu pengembalian uang pinjaman tidak ada batasnnya, kalau dia mampu membayar dalam satu tahunnya ya saya terima maka ambeannya beralih pada pemilik parahu itu. Jika dalam hal operasionalnya juragan itu tidak bisa memberikan keuntungan pada saya dalam artian sering tidak mendapatkan hasil dan jelas itu merugikan bagi saya maka hutangnya saya tagih, dan hak saya untuk menjual perahu dan alat tangkapnya. Misalnya pemilik perahu meminjam uang sebesar Rp. 20.000.0000,- kemudian usaha penangkapan ikannya bangkrut/ sering tidak dapat maka saya akan menjual perahu atau mengambil perahu untuk dibayarkan pada hutangnya, jika ada sisa maka akan diberikan pada pemilik perahu, konsekwensi yang harus saya terima dalam bagi hasil ini adalah jika perahu ambeen saya tenggelam maka pemilik perahu tidak usah membayar hutangnya. (terhapus dengan sendirinya). 95
Tidak jauh berbeda proses peminjaman ikatan yang diterapkan oleh H. Fathoni Syukron, namun yang perlu diperhatikan oleh peminjam adalah mengenai batasan waktu peminjaman dan batas minimal dan maksimal, menurut keterangan beliau adalah: Dalam melakukan sebuah kerjasama bagi hasil ini, selain berasaskan saling percaya, juga terletak pada ketentuan atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang melakukan kerjasama ini misalnya, peminjaman minimal Rp.20.000.000,- dan jika peminjaman diatas Rp.50.000.000,- maka akan dibuatkan surat perjanjian yang bermaterai. Selain itu juga ada batasan waktu maksimal pembayaran pinjaman yakni 2 tahun. 96
95 H. Habibah, wawancara Pemilik Modal (Kalibuntu, 07 April 2007). 96 H. Fathoni Syukron, Wawancara Pemilik Modal (Kalibuntu, 07April 2007). 93 Lain pemilik modal lain pula peraturannya, H. Maksum yang memiliki ambeen kurang lebih 70 perahu mengatakan bahwa: Pinjaman ikatan ini tidak ada batas waktunya dan tidak ditentukan minimal maksimalnya. Hanya saja dalam pemberian pinjaman ikatan ini saya memilah-milah mana yang banyak memberikan keuntungan terhadap saya dan akan saya pertahankan tetapi sebaliknya, saya tidak akan memberikan pinjaman pada yang tidak cakap dalam bekerja, pemilik modal mana yang mau dirugikan jika dalam setahun tidak menguntungkan bagi pangambenya. 97
Selain peneliti mewawancarai pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan peneliti juga mewawancarai petugas TPI (Tempat Pelelangan Ikan) berikut hasil wawancaranya: Bapak H. Hasan Marzuki sebagai Pelelang Ikan menuturkan bahwa: Pemilik modal selain mengambil fee dari hasil tangkapan, juga mendapatkan laba dari saya sebagai pelelang ikan. Dan pemilik perahu tidak tahu tentang masalah ini. 98
Bagi nelayan miskin (buruh nelayan) persoalan yang paling penting dan urgen adalah bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu yang cepat meskipun sering mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari hasil kerjasama tersebut. Hasil wawancara dengan Bapak Junaidi
yang sudah lebih banyak berpengalaman, beliau bekerja sebagai nelayan buruh kurang lebih selama 25 tahun, dan kebetulan bapak Junaidi yang peneliti wawancarai paham dengan bahasa Indonesia walaupun masih dicampur dengan bahasa madura. Sehingga peneliti tidak merasa kesulitan dalam mewawancarainya.
97 H. Maksum Wawancara Pemilik Modal, (Kalibuntu 07April 2007). 98 H. Hasan Marzuki, wawancara Pelelang Ikan (Kalibuntu, 14 April 2007). 94 Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan beliau tentang bagi hasil: Saya bekerja keras di laut dengan penuh resiko, hanya mendapat bagian yang sangat kecil, sedangkan pemilik perahu yang tinggal didarat walaupun sebagian dari mereka ikut bekerja mendapat bagian yang lebih besar, belum lagi kerusakan-kerusakan yang harus dibebankan pada saya dan teman-teman, keadaan sulitpun pernah saya lalui setelah seharian bekerja saya hanya pulang tanpa membawa hasil apapun, dalam satu harinya saya kadang hanya mendapat Rp.5000.-, Yaa pernah juga olle tengga tak olle dherek 99 . sebenarnya saya sangat dirugikan dengan sistem bagi hasil ini, pernah saya bertanya tentang pembagian hasil yang menurut saya sangat tidak adil ini pada juragan saya tapi juragan saya menyuruh saya pindah kerja pada juragan lain setelah saya melunasi hutang saya padanya. Akhirnya saya tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menerimanya, mungkin karena sudah kebiasaan akhirnya saya tidak merasa terbebani dengan sistem bagi hasil ini, yang penting bagi saya adalah bisa memberi makan anak dan istri saya. Untuk menutupi kekurangan dalam kebutuhan keluarga ya dengan cara menambah hutang pada juragan saya. 100
Begitu juga dengan yang dialami oleh bapak Bukhori yang juga berprofesi sebagai buruh nelayan. Hasil wawancara dengan beliau adalah: Sangat berat mbak menjadi nelayan, apalagi cuma jadi buruh banyak kerjanya tapi sedikit hasilnya, memang pada musim ikan pendapatan yang saya peroleh bisa mencapai Rp.500.000,- tapi habis pada waktu itu juga karena uang itu saya belanjakan dan membayar hutang pada juragan (orenga) jika ada sisanya saya gunakan untuk menutup kebutuhan keluarga sehari-hari, namun sering tidak mencukupi karena ketika saya bekerja dalam satu bulan lebih sering tidak mendapat ikan, di tambah masa penangkapan ikan yang hanya semusim dalam satu tahun, menyebabkan pendapatan yang saya peroleh sangat kecil. Ya untungnya saya masih dibantu oleh istri saya berdagang ikan asin, ikan bakar dan pindang ke daerah-daerah lain (edder) 101 . Jika musim paceklik tiba (musim angin barat), saya sering menjual barang-barang yang saya beli sebelumnya. Jika tidak ada barang yang dijual maka
99 olle tengga tak olle dherek para nelayan yang mendapatkan hasil tangkapan ikan yang sangat banyak tetapi setelah dijual mendapatkan uang yang sedikit karena harga jualnya sangat murah. 100 Junaidi, Wawancara Nelayan buruh (Kalibuntu, 06 April 2007). 101 Edder seseorang atau sekelompok orang yang menjual atau menjajakan hasil tangkapan ikan dari para nelayan, dari daerah Kalibuntu ke daerah lain dengan sistem door to door (bukan di jual di pasar) yang dilakukan oleh istri-istri nelayan untuk membantu perekonomian suami dengan sistem tradisional. 95 saya menambah hutang, khususnya kepada juragan untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga. 102
Bagi hasil merupakan pembagian hasil keuntungan yang diterapkan oleh lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi secara syraiah. Pada mekanisme lembaga keuangan syariah pendapatan hasil ini berlaku dalam bentuk kerjasama. Dalam sistem bagi hasil keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proposional antara shohibul maal dengan mudharib yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam awal perjanjian. 103
Jika dalam usaha bersama tersebut mengalami resiko kerugian, maka dalam konsep bagi hasil kedua belah pihak akan sama-sama menanggung resiko. Disatu pihak pemilik modal menanggung kerugian modalnya, di pihak lain pelaksana atau pekerja akan mengalami kerugian atas tenaga atau biaya tenaga kerja yang dikeluarkan. 104 Dengan kata lain masing-masing pihak yang melakukan kerjasama dalam sistem bagi hasil akan berpartisipasi dalam kerugian dan keuntungan. Sedikit berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Kalibuntu kerjasama bagi hasil ini melibatkan beberapa pihak yakni ada yang bekerja sebagai pemilik perahu atau Orenga, pemilik modal sebagai penyandang dana dan buruh nelayan sebagai pekerja, namun yang berada pada posisi sebagai buruh lebih dominan dari pada keduanya. Ketiga kategori sosial inilah memainkan peran utama dalam kegiatan kerjasama bagi hasil. Pada sistem ekonomi yang dipakai masyarakat nelayan berbeda dengan sistem masyarakat lain (petani, industri dan pegawai negeri sipil) yang biasanya para
102 Bukhori, Wawancara Nelayan buruh (Kalibuntu, 06 April 2007). 103 Muhammad, Tekhnik Perhitungan Bagi Hasil Dan Bentuk Syariah (Cet II;Yogyakarta:UII Press ,2001),22. 104 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid II ( Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 266 96 pekerja mendapat gaji atau upah secara tetap, akan tetapi pada masyarakat nelayan khususnya nelayan Kalibuntu gaji ataupun upah memakai sistem bagi hasil. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut: dari hasil kotor disisihkan untuk pemilik modal 15-20% dan sisanya dibagi tellon atau tiga bagian, yakni 1 bagian untuk pemilik perahu dan 2 bagian untuk anggota nelayan. Yang 2 bagian untuk anggota nelayan ini dibagi lagi sesuai jumlah anggota yang bekerja saat itu. Misalnya, Hasil perolehan adalah sebagai berikut: Contoh 1 (pada saat musim ikan) Harga ikan 1 kg = Rp. 2000,- Perolehan hasil tangkapan 1 Ton = 1000kg 2000 x 1000 = Rp. 2.000.000,- Untuk Pemilik Modal 15% = Rp. 300.000,- Untuk Pemilik Perahu 20% = Rp. 340.000,- Sisanya untuk buruh nelayan = Rp. 1.360.000 : 30 orang. @= 45. 400 Contoh 2 (pada musim paceklik) Harga ikan 1 kg = Rp. 5000,- Perolehan 2 Beranjang = 200kg (1 beranjang berisi 1 kwintal) 5000 x 200 = Rp. 1. 000.000,- Untuk Pemilik Modal 15% = Rp. 150.000,- Untuk Pemilik Perahu 20% = Rp. 170.000,- Sisanya untuk buruh nelayan = Rp. 680.000 : 30 orang. @= 22.700 Bagi para pemilik perahu maupun pemilik modal pendapatan yang diperoleh akan jauh melebihi buruh nelayan hal ini karena para nelayan hanya menjadi buruh 97 pada perahu mereka sehingga pendapatan yang mereka peroleh lebih sedikit bahkan kadang tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga mereka, Dengan pembagian hasil tangkapan yang ada, sebenarnya hasil yang diperoleh buruh nelayan tidaklah besar belum lagi ditambah kerusakan mesin, peralatan, biasanya pemilik perahu akan membebankan biaya perbaikan tersebut pada hasil tangkapan yang diperoleh, sebagai patnership tidak mau tahu dengan kerusakan yang ada. Ketentuan ini semakin memperkecil nilai bagi hasil atau pendapatan yang diperoleh buruh nelayan. Sebagai buruh yang penghasilan utamanya adalah dari hasil menangkap ikan, tentunya penghasilan yang mereka peroleh adalah bersifat harian dan jumlahnya sulit ditentukan, berbeda halnya dengan buruh industri yang pendapatan atau gajinya bersifat tetap. Selain itu, pendapatannya juga sangat bergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti ia sebagai Orenga (nelayan pemilik alat produksi) atau buruh nelayan. Dengan pendapatan yang bersifat harian, di tambah pembagian yang menurut nelayan sangat merugikan, dan sangat tergantung pada musim, mereka (khususnya nelayan buruh dan nelayan pandhige) sangat sulit dalam merencanakan penggunaan pendapatan. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Impilikasinya, nelayan sulit mengakumulasi modal ataupun menabung. Disamping itu tingkat pendidikan yang dimiliki nelayan atau anak-anak nelayan Kalibuntu Kraksaan Probolinggo pada umumnya sangat rendah. Kondisi demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Sementara itu anak-anak 98 nelayan desa Kalibuntu yang berhasil mencapai pendidikan yang tinggi, maupun para Sarjana Perikanan enggan berprofesi sebagai nelayan, karena menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmapanan. Perbedaan kualitas hidup antara juragan orenga dan buruh nelayan pandhige sudah lumrah dalam usaha sektor kelautan. Penderitaan serta kemiskinan nelayan tradisional telah merata di semua daerah di Indonesia. Mereka seolah bekerja hanya untuk menyejahterakan majikan. Sebagai pedagang perantara, 105 tengkulak (pemilik modal) yang dilingkungan masyarakat nelayan Kalibuntu lebih dikenal dengan sebutan pangambe. Sekalipun tengkulak disebut sebagai penyebab kemiskinan, akan tetapi keberadaannya tidak dapat diabaikan karena tengkulak mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi nelayan, sebaliknya lembaga-lembaga Pemerintah seperti TPI (Tempat Pelelangan Ikan) ataupun KUD (Koperasi Unit Desa) belum mampu menjamin kebutuhan sosial ekonomi nelayan, khususnya pada saat musim paceklik tiba. Jika posisi dan peranan pangambe menguat, hal ini terjadi karena faktor karakteristik usaha ekonomi perikanan kita, sistem pembagian kerja yang berlaku dan lemahnya dukungan kelembagaan keuangan formal. Selama ini dunia perbankan sangat sulit memberikan kredit usaha kepada nelayan, karena dianggap beresiko tinggi. Seorang pangambe berani memberikan pinjaman modal sebesar yang dibutuhkan nelayan tanpa batasan minimal dan maksimal kepada nelayan (pemilik perahu) untuk menutupi kekurangan biaya pembelian sebuah perahu dan peralatan
105 Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan (Yogyakarta: LkiS, 2003),25.
99 tangkapnya, tanpa agunan apapun, selain itu yang membuat betah melakukan pinjaman ikatan terhadap pemilik modal adalah karena proses peminjaman itu hanya berasaskan saling percaya walaupun ada sebagian dari pemilik modal yang memberlakukan syarat-syarat tertentu. Manajemen tradisional yang tidak modern yang kurang memperhatikan sisi administrasi dimana proses perjanjian hanya didasarkan saling percaya, padahal tidak menutup kemungkinan diantara kedua belah pihak berkhianat karena bukan didasarkan pada sistem manajemen yang modern atau tertib administrasi yang benar. Dalam membangun kerjasama banyak didasarkan pada pengalaman atau bukti-bukti hasil kerja nyata, bahkan pada hal-hal yang cenderung berbau mitos. Misalnya kesadaran seorang pemilik modal untuk memberikan pinjaman modal kepada pemilik perahu dengan melihat seberapa besar prestasi kerja yang dicapai selama ini. Jika dalam perjalanan kerjanya sering menunjukkan prestasi kerja yang bagus seperti perolehan tangkapan ikan maka ini lebih menarik investor untuk ikut andil kerjasama dengan cara tanam modal. Salah satu taktik yang di terapkan oleh pemilik modal pada para pemilik perahu atau juragan yang cakap dan rajin bekerja, beliau akan selalu memberikan pinjaman ikatan agar mereka tidak berpindah pangambe, caranya bermacam-macam ada yang menanggung agar pemilik perahu pergi Haji, membangun rumah, membeli perahu lagi dan lain-lain, namun akadnya tetap sebagai hutang sehingga menambah jumlah pinjaman Orenga kepada pangambe. Yang lebih parah lagi jika terdengar kabar bahwa pemilik perahu akan membayarkan hutangnya pemilik modal akan mengandalkan dukun untuk menggagalkan rencana pembayaran hutang tersebut 100 Dari hasil perjanjian antara pemilik perahu dengan pemilik modal akan mengambil fee 15-20% per-kilo dari hasil tangkapan yang diperoleh dalam sekali melaut sebelum dibagi tiga bagian, sedangkan sisanya setelah dikurangi biaya operasional dibagi pada pemilik perahu satu bagian selebihnya dibagi pada anggotanya sesuai dengan kedudukannya atau statusnya. Dalam sistem bagi hasil ini buruh nelayan mendapat bagian yang paling sedikit. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kerjasama bagi hasil keuntungan pada masyarakat nelayan di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo sepintas dapat dikategorikan ke dalam bentuk kerjasama Mudharabah, karena dalam konsep mudharabah seseorang atau salah satu pihak menyediakan modal dan yang lain menawarkan jasa atau tenaga, dan keduanya akan membagikan keuntungan berdasarkan syarat-syarat perjanjian yang dibuat diantara kedua belah pihak, jika terjadi kerugian maka ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian pengelola. 106 Sistem kerjasama ini berbeda dengan sistem Murabahah, Hiwalah dan Syirkah. 1. Kerjasama murabahah merupakan kerjasama dalam bentuk jual-beli yang bersifat amanat dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang yang akan di beli termasuk harga dan keuntungan yang akan diambil. 2. Kerjasama hiwalah adalah suatu cara memindahkan tanggung jawab penyelesaian utang yang tidak sanggup lagi membayarkan hutangnya kepada orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih.
106 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I ( Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995),302 101 3. Dan tidak pula dikategorikan kedalam bentuk kerjasama syirkah karena bagi hasil dalam syirkah perjanjian akadnya menetapkan adanya hak milik bersama antara dua orang atau lebih, apabila terdapat keuntungan dalam kerjasama itu maka dibagi menurut modal masing-masing, jika mengalami kerugian maka ditanggung menurut modal masing-masing. 2. Sistem Kerja Antara Pemilik Perahu, Pemilik Modal Dan Buruh Nelayan Di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo Dalam hal operasional kerjanya para nelayan Kalibuntu sangat ditentukan oleh kecanggihan peralatan yang mereka miliki, ada yang hanya berlayar dekat menyusuri pantai dan ada pula yang sampai kelautan lepas. Menurut para ahli lebih dari 50% dari ikan di seluruh dunia dalam kawasan sampai beribu-ribu jumlahnya pada jarak antara 30-10 km dari pantai. Sedangkan jam kerja orang-orang nelayan tidak terikat oleh waktu seperti yang dikatakan oleh Bapak Bukhori dan Bapak Junaidi sebagai buruh nelayan bahwa: Dari hasil wawancara dengan Bapak Bukhori dan Junaidi sebagai buruh nelayan mengatakan: Bekerja mencari ikan itu tidak terikat dengan waktu, bisa siang, malam dan pagi, tergantung dengan pasang surutnya air laut. Namun saya dengan teman-teman yang berjumlah 30 orang berangkat kerja pada jam dua siang dan pulang pada besoknya sekitar jam tujuh pagi sudah sampai di darat, jika kami tidak andhun 107
Selain itu, mencari ikan di daerah lain (andhun) di lakukan dengan batas waktu yang tidak terikat tergantung pada kemurahan laut yang berarti daerah itu akan ditinggalkan dan kembali ke laut Kalibuntu manakala perolehan ikan sedikit. Sementara hasil tangkapan di jual pada daerah-daerah lain yang dinilai harga pasar
107 Bukhori dan Junaidi wawancara (Kalibuntu, 06-April-2007). 102 ikan lebih menguntungkan, yang menarik bagi peneliti keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan ikan oleh para anggota (buruh nelayan) dikirimkan pada keluarga melalui para nelayan lain yang kebetulan pulang, tidak harus menunggu perahu yang ditumpanginya itu pulang. Salah satu yang menonjol dalam hubungan kerja antara buruh nelayan dan pemilik perahu adalah sikap saling percaya. Pemilik kapal dalam hal mengetahui hasil tangkapan ikan, benar-benar mengandalkan rasa percaya kepada anggotanya atau buruh nelayan yang membawa kapalnya. Sebagai orang darat, ia tidak akan tahu dengan persis berapa besar hasil ikan tangkapan anggota-nya, baik yang menggunakan jaringnya atau alat pancing pribadi. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya tentunya tidak mudah dilakukan apalagi bila kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik. Oleh karena itu, para pemilik perahu biasanya merekrut tekong atau nakhoda kapal yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya, agar rasa saling percaya dapat terus terjaga. Rasa percaya juga dibutuhkan oleh anggota terhadap pemilik kapal. Para buruh nelayan akan semakin setia bekerja kepada pemilik kapal, bila di luar hubungan kerja ia selalu mendapat bantuan. Misalnya, seperti yang diungkap oleh beberapa anggota "LANCAR", bila masa paceklik ikan tiba dan nelayan tidak bisa melaut, mereka bisa mendapat bantuan dari pemilik. Bantuan itu bisa berbentuk pinjaman ringan dan pembayarannya langsung dipotong dari hasil tangkapan ikan yang bersangkutan, setelah masa paceklik berakhir. Dalam beberapa kasus, para orenga biasanya mencoba memperpendek jarak/gap dengan para anggota. Hubungan orenga dan anggota yang biasanya bersifat atasan-bawahan, dalam beberapa hal bisa cair. Seperti yang dilakukan oleh 103 Zaini kepada buruhnya. Saat anggota Lancar pulang melaut, tak segan Zaini berenang ke tengah laut meghampiri kapal-kapal miliknya yang akan berlabuh. Tindakan Zaini ini, bagi anggotanya dianggap sebagai tindakan mengakrabkan dan mendekatkan diri. Dari hasil wawancara dengan Bapak Zaini pemilik perahu beliau mengatakan: Memang semenjak jadi juragan perahu, saya tidak lagi melaut dan saya serahkan pada pandhige yang masih ada hubungan famili dengan saya, hal ini saya lalukan agar silaturrahmi tetap terjaga antara saudara dan juga kalau dengan keluarga lebih percaya, jadi saya hanya menunggu didarat dan menunggu hasil penjualan yang dikakukan pemilik modal 108
Keharmonisan dalam bekerja menjadi modal pokok keutuhan anggota, tidak ada jaminan dari masing-masing buruh nelayan (anggota) terus berada dalam satu kelompok. Ketidak cocokan atau cekcok antara sesama anggota bisa menyebabkan para buruh nelayan pindah pada kelompok yang lain. Ketika jumlah anggota semakin berkurang maka perahu bisa berhenti bekerja karena tidak cukup tenaga untuk mengoperasionalkan alat tangkap ikan, hal inilah yang selalu dijaga oleh sang pemilik perahu untuk terhindar dari kebangkrutan. Disisi lain masing-masing anggota diikat oleh pinjaman hutang kepada sang pemilik perahu sehingga aspek ini membuat tidak secara serta merta anggota pindah pada perahu yang lain manakala belum melunasi hutang sebagai kontrak kerja, sungguhpun demikian hutang sebagai ikatan kerja bukan menjadi persoalan serius bagi para anggota karena seandainya anggota tersebut pindah pada perahu lain maka,
108 Zaini, Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007). 104 sang pemilik perahu yang baru sanggup memberikan pinjaman sejumlah pinjaman yang dipinjamkan oleh pemilik perahu sebelumnya. Hasil wawancara yang lain sebagai pemilik perahu Bapak Anshari yang sudah berusia 54 tahun ini menuturkan: Sejak umur 45 saya sudah tidak ikut bekerja lagi dan digantikan oleh anak tertua saya, kalau dulu saya ikut bekerja, disamping mengawasi anak buah juga karena ingin memperoleh hasil yang lebih banyak karena saya lebih berpengalaman dalam teknis menangkap ikan kecuali itu, karena di desa saya ikannya sudah habis maka saya dan anak buah pergi andhun. Yang paling sering ke Puger karena disana banyak ikannya (kawasan laut yang menjadi daerah operasional msyarakat nelayan Kalibuntu). 109
Dengan tindakan mengakrabkan dan memperpendek jarak antara orenga dan buruhnya, setidaknya diperoleh dua keuntungan bagi pemilik kapal. Pertama, para anggota akan terus jujur dalam melaporkan hasil tangkapannya, karena hubungan dengan tuannya sangat dekat. Kedua, pemilik dapat terus mengikat para buruhnya agar tidak berpindah ke pengusaha kapal lain, karena mereka akan semakin percaya kepadanya. Terbukti, dari pengakuan beberapa anggota Lancar, mereka merasa lebih baik bergabung dengan Zaini karena ia dapat dipercaya. "Walaupun ngomongnya ceplas ceplos, kami tetap menghargainya karena tahu sebenarnya ia memiliki hati nurani yang baik," ujar Junaidi. Jika sudah sampai di darat pemilik perahu dan pemilik modal sudah menunggu hasil tangkapan yang kemudian beliau menuju tempat pelelangan ikan. Ikan yang diperoleh langsung ditimbang bersama; Pemilik modal dan pembeli (pelelang ikan). Setelah harganya dapat ditaksir, pemilik modal akan mengambil fee 15-20% per-kilo dari hasil tangkapan. Pemilik kapal akan langsung memotong uang
109 Anshari Wawancara Pemilik Perahu (Kalibuntu, 05 April 2007). 105 hasil penjualan ikan tersebut untuk pembayaran solar, biaya makan anggota, dan lain-lain. Kadang-kadang, pemilik juga melakukan pemotongan untuk biaya perawatan kapal. Sisa uang akan dihitung sebagai laba bersih yang akan dibagi antara pemilik kapal dan buruh nelayan. Dari laba bersih itu, pemilik kapal biasanya akan memperoleh satu bagian, sisanya, dua bagian diberikan kepada anggotanya (buruh nelayan). Dari jumlah tersebut para nelayan harus membaginya kembali di antara mereka, bergantung pada jumlah anggota. Hasil wawancara dengan pemilik modal, beliau mengatakan: Jika ikan sudah sampai di darat maka itu sudah tugas saya untuk mencarikan pasar dan Orenga hanya menunggu hasil perolehan tersebut. Jika pedagang perantara tidak bisa membayar pada saat itu juga maka tugas saya yang memberikan uang terlebih dahulu pada pemilik perahu.
Sesuai pembahasan di atas pada pembahasan sistem kerja terdapat tiga peranan yang berbeda dalam sistem kerja bagi hasil di desa kalibuntu. Pertama, sebagai pemilik modal ia berfungsi sebagai pemberi pinjaman modal untuk membeli kekurangan perahu kepada pemilik perahu. Kedua, pemilik perahu berfungsi sebagai juragan perahu, ia menyediakan perahu bagi buruh yang mau bekerja padanya untuk mencari ikan. dan yang Ketiga, sebagai buruh nelayan bertugas bekerja menangkap ikan di laut. Sistem pembagian tugas antara pemilik modal, pemilik perahu dan buruh nelayan pada hakikatnya tidak ada peraturan yang pasti atau undang-undang yang tetap bagi para nelayan, akan tetapi sesuai kultur masyarakat pantai yang telah mengakar seakan-akan menjadi sebuah kewajiban dan tidak dapat dipungkiri lagi adanya. 106 Pada umumnya pemilik modal cenderung memiliki peran pada posisi paling tinggi, yaitu menjadi penguasa bagi pemilik perahu dan buruh nelayan. Ia tidak akan pernah tahu tentang kondisi bawahannya saat bekerja atau melaut, ia hanya menerima hasil ikan yang didapat oleh buruh nelayan untuk kemudian dijual. Pemilik perahu berstatus sebagai tuan kedua setelah pemilik modal. Terkadang tuan kedua ini juga tidak mau tahu terhadap bawahannya atau buruh nelayan sebagai buruh atau pekerja di perahunya. Ia hanya duduk manis menunggu jatah bagi hasil dari ikan yang telah dijual oleh pemilik modal. Akan tetapi ada sebagian juga dari pemilik perahu yang mengawasi dan memantau terhadap bawahannya atau buruh nelayan ketika berangkat dan datang melaut untuk mengetahui kondisi atau keselamatan bawahannya. Buruh nelayan berstatus sebagai anak buah atau bawahan, ia mempunyai peran menangkap ikan di laut saja, kemudian menyerahkan ikan tersebut kepada pemilik modal untuk dijual dan menunggu jatah hasil ikan dari pemilik perahu. Peranan yang berbeda ini mempengaruhi terhadap pembagian hasil yang berbeda pula. Pemilik modal mempunyai hak otoritas dalam mengkoordiner dan menentukan harga ikan serta laba yang diinginkan. Cara jual beli yang menindas ini lumrah bahkan sudah mentradisi di kalangan pangambe. Sesuai data yang didapat, pemilik modal menetapkan minimal 15% per-kilo ikan dari harga yang didapat. Selebihnya diserahkan kepada pemilik perahu dan buruh nelayan. Pihak kedua (pemilik perahu) mendapat 20% atau 1 bagian dari uang yang didapat dari hasil penangkapan, dan pihak ketiga (nelayan) mendapat 2 bagian dari dari pemilik perahu. Dua bagian tersebut dibagi sebanyak buruh nelayan, biasanya terdiri dari 25- 30 orang. 107 3. Sistem Pembagian Hasil Yang Tidak Adil Dari data yang diperoleh melalui wawancara dapat diketahui bahwa pembagian hasil kerjasama yang dilakukan oleh pemilik modal, pemilik perahu dan nelayan di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinngo penulis melihat terdapat kepincangan, terbukti dari pembagian yang tidak merata antara ketiga element tersebut. Hal ini bisa dilihat pada hasil wawancara berikut: Dari hasil wawancara dengan bapak Buhari dan Junaidi sebagai buruh nelayan mengatakan: Misalnya, setiap perahu motor mempekerjakan 30 orang. Pendapatan kotor Rp.1.000.000-, dan bersih dari setiap perahu rata-rata Rp. 750.000-, dari uang itu, sebanyak Rp.250 menjadi jatah majikan dan Rp.500.000-, sisanya dibagikan kepada 30 orang buruh nelayan, sehingga setiap orang hanya mendapatkan kurang lebih Rp 17.000-, mana cukup mbak penghasilan yang seperti ini untuk keluarga, sementara harga beras dan minyak goreng kian hari kian mahal, belum lagi biaya sekolahnya anak-anak. Kalau sudah tidak mencukupi ya hutang lagi pada juragan 110
"Bapak Bukhari menambahkan Bayangkan, kami banting tulang siang dan malam bertarung menghadapi gelombang laut yang kadang mengerikan, tapi tiap harinya hanya meraih penghasilan Rp.17.000 per orang, itu masih lumayan kadang kami hanya pulang dalam keadaan tangan kosong. Tidak ada bantuan dari pangambe kecuali nambah hutang atau istri yang bantu bekerja" 111
Sistem bagi hasil yang tidak adil seperti ini menyebabkan kehidupan buruh nelayan Kalibuntu berada pada kemiskinan struktural yang setia menemani perjalanan hidup mereka. Menurut hemat penulis ada 2 persoalan serius yang harus dicermati
110 Bukhori wawancara (Kalibuntu, 06-April-2007). 111 Junaidi wawancara (Kalibuntu, 06-April-2007). 108 Pertama, penerapan sistem bagi hasil yang dilakukan majikan. Dalam sistem ini ditetapkan pendapatan bersih dari hasil penangkapan ikan pada setiap perahu dibagi tiga. Sebanyak 1 bagian menjadi milik Pemilik perahu dan dua bagian dibagi merata kepada semua buruh nelayan dari perahu itu, jika terjadi kerusakan pada peralatan, pembelian solar dan sebagainya dibebankan pada nelayan buruh yang diambilkan dari hasil tengkapan. Sementara itu pemilik modal yang hanya memberikan pinjaman modal pada pemilik perahu tidak memberikan kontribusi apapun jika terjadi kerusakan, bahkan mereka tidak mau tahu dengan kondisi yang terjadi. Kedua, kesulitan nelayan mendapatkan modal usaha karena ketiadaan barang yang dijadikan sebagai agunan kredit. Hal ini dimaklumi sebab nelayan tradisional umumnya tidak memiliki tanah atau benda berharga lain yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga bank tak rela mengucurkan kredit seperti yang diajukan, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, sikap bank mungkin saja benar. Maklum, dalam dunia perbankan, agunan atau bunga adalah wajib hukumnya dalam urusan perkreditan. Ini sangat berbeda dengan kaum pangambe yang mengedepankan prinsip saling percaya. Tak mengherankan, sekalipun tanpa bunga, tapi diberlakukan fee sebesar 15-20% per hari, masih tetap saja dikejar rakyat kecil, seperti nelayan tradisional. Persyaratan kredit modal usaha yang begitu ketat dari perbankan membuat kehidupan sebagian besar nelayan tradisional jalan di tempat. Bagi mereka, untuk bisa memiliki perahu sendiri, walaupun hanya dengan mesin 10 PK seharga sekitar Rp 7,5 juta per unit, merupakan mimpi panjang yang tak berujung. 109 Yang di khawatirkan jika selama ini nelayan seolah-olah menerima begitu saja peran tengkulak, apakah tidak mungkin hal itu terjadi karena di benak para nelayan tidak ada pilihan atau alternatif lain sebagai pembanding? Apakah adil, nelayan yang setiap hari harus menyambung nyawa di laut mencari ikan ternyata taraf kehidupan mereka relatif tidak pernah beringsut, sementara itu, tengkulak yang karena berbekal modal lebih besar dan menang posisi bargainingnya, lantas dianggap sah untuk menikmati keuntungan lebih. Seperti yang telah dikemukakan diatas, yang pertama bahwa posisi nelayan yang menawarkan komoditas yang sifatnya rentan waktu, maka dengan sadar atau tidak sadar mereka akan lebih mudah menjadi obyek eksploitasi pedagang perantara atau tengkulak. Jadi, persoalannya di sini menurut peneliti, bukan apakah nelayan merasa berutang budi atau tidak, nelayan merasa dieksploitasi atau tidak, tetapi yang lebih penting adalah secara obyektif sejauh mana pembagian keuntungan dan risiko antara pemilik perahu, nelayan buruh dan tengkulak itu sudah proporsional dan adil. Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan dan pelaksanaannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Islam memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan sebagai pengganti amalan-amalan tradisional yang amat bertentangan. 112 Kultur yang ada atau tradisi para pemilik modal dan pemilik perahu cenderung menguasai para nelayan, kecenderungan untuk menguasai ini menjadi hal yang biasa karena ketidak berdayaan kaum buruh yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan faktor rendahnya ekonomi yang mereka miliki. Kondisi semacam ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk memberikan pembagian hasil
112 Ibid.74 110 yang tidak adil yakni cenderung lebih tinggi sehingga kaum buruh semakin terpuruk dengan sistem bagi hasil ini. Eksploitasi yang dilakukan pemilik modal membawa dampak terhadap ketidak merataan pendapatan yang mereka peroleh. Pemilik modal yang hanya menanamkan modalnya tanpa bekerja mendapatkan laba paling besar, kemudian pemilik perahu juga tidak bekerja walau sebagian ada yang ikut bekerja mendapat untung besar. Sedangkan buruh nelayan yang bekerja dan berjuang melawan benturan-benturan badai berselimut angin dan berbantal ombak hanya mendapatkan sebagian kecil saja dan terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dalam keluarga. Hal ini dapat tergambar dengan jelas pembagian hasil bahwa pemilik modal yang hanya meminjamkan modalnya pada pemilik perahu mengambil fee 15-20% perkilo dari hasil perolehan. Faktor ketidak adilan dalam pembagian tugas merupakan implikasi kultur yang telah mengakar pada masyarakat nelayan. Budaya kapitalisme ini sulit dirubah karena yang diprioritaskan bagaimana mendapat keuntungan dan tidak akan pernah memikirkan nasib orang lain. Budaya kapitalisme bagi masyarakat nelayan timbul karena belum adanya kesadaran pendidikan bagi masyarakat nelayan. Mayoritas penduduk hanya mengenyam pendidikan di sekolah dasar, sehingga belum mampu melakukan perubahan kearah kemajuan dan keadilan seperti yang diidealkan. Kondisi semacam ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk selalu mengeksploitasi buruh nelayan dengan memberikan penghasilan yang tidak sewajarnya. Keuntungan yang besar menjadi miliknya, sedangkan buruh nelayan yang telah bekerja keras hanya mendapat hasil yang sangat sedikit. 111 Para kyai yang dianggap sebagai figur di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo karena di angap lebih paham dan berwenang terhadap penegakan hukum Islam tidak peduli dengan kondisi masyarakat yang sesungguhnya telah melanggar hukum Islam, yaitu terjadi ketidak adilan dan merugikan salah satu pihak dalam hubungan kerja nelayan. Padahal Islam telah mengajarkan secara gamblang bagaimana seharusnya umat Islam selalu bersikap adil dan bijaksana terhadap sesama manusia. Dengan berbagai faktor tersebut di atas masyarakat di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo sampai saat ini masih tetap dalam kondisi yang tidak dinamis dan belum tercipta nuansa penanaman nilai yang demokratis seperti yang di idealkan oleh semua orang khususnya para nelayan sendiri. 4. Solusi Alternatif Sistem bagi hasil yang cenderung tidak adil dan kurang islami ini sesungguhnya sudah berjalan puluhan tahun dan tetap eksis hingga hari ini seolah- olah menjadi sistem yang sudah mapan, yang sudah tidak tersentuh oleh perubahan. Sejauh pengamatan penulis sistem bagi hasil yang kurang ideal ini terus bertahan bukan karena sistem ini dinilai sebagai sistem yang baik, tetapi disebabkan oleh persoalan mendasar: 1. Perlu bimbingan keagamaan secara intensif dan berkesinambungan Tidak ada penyuluhan secara khusus dan intensif dari pemuka agama atau para ulama yang memberikan arahan dan bimbingan agar sistem bagi hasil yang mereka lakukan sesuai dengan syariat Islam. 2. Dibutuhkan kontribusi pemikiran dari para praktisi hukum 112 Belum ada dari para Lawyer atau orang-orang yang berkompeten dalam persoalan hukum yang memberikan bimbingan sebagai bentuk penyadaran akan hak-hak kaum buruh sehingga tidak selalu menjadi pihak yang dirugikan. 3. Perlunya membangun kesadaran mental bagi ketiga kompenen pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan Pemilik modal dan pemilik perahu cenderung menikmati terhadap sistem bagi hasil seperti tersebut karena memang secara kualitas memberikan keuntungan yang lebih pada kelompok ini. 4. Pentingnya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan serta wawasan buruh nelayan Bagi para nelayan buruh berada pada posisi tidak berdaya karena keterbatasan ekonomi mereka yang membuat ketergantungan hidup kepada kelompok pemilik modal dan pemilik perahu. Selain itu, keterbatasan wawasan baik dalam pemahaman tentang Undang-undang perburuhan maupun sistem syariat Islam, juga memberikan andil untuk mereka tidak peka terhadap persoalan yang melilit mereka. 5. Adanya kemauan yang kuat (political will) dari para penguasa untuk meningkatkan pembangunan, sektor kelautan khususnya masyarakat nelayan. Pembangunan di Indonesia serta kebijakan-kebijakan dari pemerintah kurang memihak kepada masyarakat nelayan, pembangunan pedesaan misalnya, sering dikaitkan dengan pembangunan pertanian dan jarang dikaitkan dengan pembangunan nelayan yang justru hal ini juga merupakan alternatif lain suksesnya pembangunan desa. Apalagi, secara geografis Indonesia juga disebut 113 sebagai Negara Maritim yang semestinya sektor kelautan khususnya masalah kesejahteraan para nelayan mendapat perhatian yang signifikan.
114
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan deskripsi dan analisa yang penulis paparkan pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sistem Bagi hasil usaha yang dilakukan oleh pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan yakni dari seluruh hasil penjualan diambil 15-20% oleh pemilik modal atau tengkulak sisanya dibagi 3 bagian, 1 bagian diambil sang pemilik perahu dan 2 bagian diberikan kepada buruh nelayan. Yang 2 bagian untuk buruh nelayan ini dibagi lagi sesuai jumlah anggota nelayan yang ikut bekerja saat itu yang jumlahnya berkisar 25-30 2. Sistem kerja antara pemilik perahu, pemilik modal dan buruh nelayan adalah pemilik perahu hanya menyediakan perahu beserta alat tangkapnya, namun ada juga sebagian dari pemilik perahu yang ikut bekerja. Pemilik modal selain menyediakan modal juga mencarikan pasar, menentukan harga jual ikan sesuai harga yang di inginkan. Jika pelelang ikan tidak bisa membayar 115 dari hasil transaksi jual-beli tersebut, maka tugas pemilik modal yang membayarkan pada nelayan. Sedangkan spesifikasi kerja dari anngota atau buruh nelayan adalah hanya bekerja dilaut setelah sampai didarat hasil tangkapan ikan menjadi urusan pemilik modal. 3. Sistem pembagian hasil yang tidak adil bila dilihat dari perspektif Hukum Islam yakni tidak memenuhi rasa keadilan baik pemilik modal maupun pemilik perahu yang cenderung mengeksploitasi dan menguasai para nelayan buruh. Kecenderungan untuk menguasai ini menjadi semakin kuat karena ketidak berdayaan kaum buruh yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya taraf ekonomi dan pinjaman yang bersifat mengikat, tingkat pengetahuan hukum (hukum Islam dan hukum positif) yang rendah sehingga kehilangan power terutama dalam memperoleh pembagian hak-haknya sebagai buruh. B. Saran-Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai bahan renungan adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya penyuluhan hukum tentang sistem bagi hasil yang benar menurut hukum Islam sehingga masyarakat bisa mengetahui sistem ekonomi yang dibolehkan oleh Syariah (hukum Islam) dan bisa mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan para buruh atau pekerja mendapat upah yang layak dan semestinya. 2. Perlu adanya rasa keadilan dan penyadaran dari semua pihak terkait dengan hak-haknya dan perbaikan struktur pembagian hasil tangkap sacara adil dan merata. 116 3. Perlu adanya organisasi yang menunjang terhadap perkembangan dan perbaikan sosial masyarakat pantai khususnya pada masyarakat Kalibuntu Kraksaan Probolinggo. 4. Mengurangi ketergantungan terhadap tengkulak, sifat ketergantungan tersebut dapat di pangkas dengan jalan memperkecil jumlah pinjaman ikatan baik kepada pemilik modal maupun pemilik perahu.
117 DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim Dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama Ri Azwar Saifuddin, (2004)Metode Penelitian Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Arikunto Suharsimi, (2002)" Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka cipta.
Al-Rasid Harun, (2002)Naskah Uud 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah Oleh Mpr Jakarta :Universitas Indonesia Press.
Ahmad Mustaq, (2001)Businnes Ethcnis In Islam Di Terjemahkan Oleh Samson Rahman Etika Bisnis Dalam Islam Cet I;Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
Bablily Mahmud Muhammad,(1990)Etika Berbisnis Studi Konsep Perekonomian Menurut Al-Quran Dan As-Sunnah Solo:CV. Ramadhani.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1989) Kamus Besar Indonesia. Jakarta: PT.Balai Pustaka.
Darmansyah, (1986)Ilmu Sosial Dasar (Kumpulan Essei Surabaya:Usaha Nasional.
Ensiklopedia Indonesia (1983), Ichtiar Baru-Van Haevedan Elsevier Publishing Projects, Jakarta
Ensiklopedia Hukum Islam, (2001)Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Gedong Bagus Ok Yb Mangun Wijaya, dkk, (1994)Spiritual Baru, Agama Dan Aspirasi Rakyat,Yogyakarta.
Hadi Sutrisno, (1986)Metode Risech II Yogyakarta: Yayasan Penerbit Psikologi UGM.
I Doi A.Rahman, (2002)Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari'ah) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kusnadi, (2002)Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan Dan Perubahan Sumber Daya Perikanaan Yogyakarta: Lkis.
118 Kartono Kartini, (1992)Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis(Apakah Pendidikan Masih Diperlukan) Jakarta: CV. Mandar Maju.
Koentjaraningrat (2002)Metode-Metode Penelitian Masyarakat Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
-------------------, (1990)Beberapa Pokok Antropologi Sosial Jakarta:Dian Rakyat. -------------------, (1996)Pengantar Antropologi Jakarta:Rineka Cipta. Muhammad, (2001)Tekhnik Perhitungan Bagi Hasil Dan Bentuk Syariah Cet II;Yogyakarta:UII Press.
M. Syafii Antonio, (2001)Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek Jakarta:Gema Insani Press.
Mansyur M.Khalil, (1984)Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa Surabaya:Usaha Nasional Indonesia.
Michael Dove, Mubyarto, Loekman Soetrisno,(1984)Nelayan Dan Kemiskinan Jakarta:CV. Rajawali.
Moleong Lexy J. (2002)Metode Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Nasution Harun, (1985)Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek Jakarta: UI Pers. Pasaribu Chairun, (1994)Hukum Perjanjian Dalam IslamJakarta:Sinar Grafika. Pramono Djoko,2005 Budaya Bahar Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Rahman Afzalur,(1995)Doktrin Ekonomi Islam Jilid I Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. -------------------,(1995) doktrin Ekonomi Islam Jilid IV Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. Rasyid Sulaiman, (1999)Fiqih Islam Jakarta:At-Thariyah. Suyatno Bagong, (1996)Perangkap Kemiskinan:Problem Dan Strategi Pengentasannya Dalam PembangunanYogyakarta:Aditya Media.
------------------, (2003)Upaya Menyejahterakan Nelayan Jawa Timur, Meningkatkan Produktivitas Atau Deversifikasi Usaha? Harian Kompas.
Sabiq Sayyid, (1997)Tarjamah Fiqih Sunnah XIII Bandung :Pustaka.
Sadly hassan,(1980)Sosiologi Untuk Masyarakat IndonesiaJakarta:PT. Pembangunan.
119 Soekanto Soerjono, (1990)Sosiologi Suatu Pengantar Jakarta:Rajawali. Sucipto. S, (1987)Aspek Sosial Budaya Dalam Perkembangan Pedesaan Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudarsono, (1996)Pokok-Pokok Hukukm Islam Jakarta:Rineka Cipta. Syamsul Arifin, 1993 Kecenderungan Masyarakat Nelayan Dalam Memilih Pendidikan Dasar Bagi Anak Di Desa Kalibuntu Kraksaan Probolinggo Iain Sunan Ampel Surabaya: Skripsi
Tim Penyusun (2002)Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Fakultas Syari'ah :UIN Malang.
Tolhah Hasan Muhammad,(1987)Islam Dalam Perspektif Sosial Budaya Jakarta:Galasi Nusantara.
Tim LIPI, Ary Wahyono, IG.P. Antariksa, Masyhuri Imron, Ratna Indrawasih, Sudiyono(2002)"Pemberdayaan Masyarakat Nelayan" Yogyakarta:Lkis.