Anda di halaman 1dari 28

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

DARI KAMI
Pembaca yang budiman, Tidak letih-letihnya berbagai pihak berupaya melestarikan hutan. Pemerintah, swasta, anak sekolah sampai entah berapa banyak LSM yang berperan. Masalahnya menjadi tidak sederhana ketika alasan makan, pangan dan manusia terabaikan. Melestarikan hutan berarti pula melestarikan salah satu elemen komunitas hutan, Manusia. Kerusakan hutan hampir selalu disebabkan oleh manusia. Kebakaran, pembalakan liar dan semacamnya. Kemusnahan hutan berarti kemusnahan kesejahteran pula. Itulah, mengapa perlu didukung upaya melestarikan hutan sekaligus mensejahterakan manusia. Edisi kali ini banyak mengangkat masalah perlindungan hutan dan beberapa hasil penelitian. Liputan dan beberapa persepsi masyarakat yang merespon kegiatan menteri kehutanan di Kalimantan Selatan juga dihadirkan untuk kita lebih banyak mendengar dinamika yang berkembang. Akhirnya redaksi mengucapkan selamat membaca, dan menyongsong tahun 2012 dengan lebih siap. Redaksi

DAFTARISI
TOPIK UTAMA - Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Pola Kemitraan dengan sistem Bank Konvensional dan Bagi Hasil ...........3 -Membakar Hutan Bukan Kearifan Lokal ?............................9 - Problematika Penanganan Illegal Logging di Kalsel .......13 KHAZANAH -Belajar dari Pengelolaan Hutan Zambia .............................17 - Abstraksi Hasil Penelitian ..................................................20 Kehadiran Jenis Meranti Merah .........................................20 Prospek Pengembangan Kayu Manis ................................ 20 INFO - Pembangunan Kota Berbasis Kota Hijau .........................21 - Konflik Lahan dan Nilai Eksternalitas Hutan .................. 22 CLOSE UP 24 M r u b a h LIPUTAN e - Dari kunjungan Menteri Kehutanan di Kotabaru : Jembatan Tanjung Ayun sampai Hutan Tanaman Meranti Putih .................................................................... 25 LENSA BIWAN

Cover depan dan Belakang didesign oleh Tim Infokom Kehutanan Kalsel

Redaksi menerima artikel pembaca dari mana saja yang bermanfaat bagi kepentingan pembangunan kehutanan dan kelestarian sumberdaya hutan. Naskah yang masuk diketik dengan spasi ganda dan disertai identitas penulis. Redaksi berhak mengedit naskah yang masuk tanpa mengurangi bobot dan maksud tulisan.

Sikap dan pandangan penulis dalam majalah ini tidaklah mencerminkan kebijakan Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan maupun UPT Departemen Kehutanan di Kalimantan Selatan

PEMBINA : Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, . Selatan.TIM PENGARAH : Sekretaris, Para Kepala Bidang lingkup Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, Para Kepala UPT Departemen Kehutanan di Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. PEMIMPIN UMUM : L . Andi Widyarto. PEMIMPIN REDAKSI : L. Andi Widyarto. STAF REDAKSI : Munandar, Purnawan, Iriyanto, Alip Winarto, M. Hamroni, Budi Isa AL, Syarif Rachman REPORTER : Tim Infokom Kehutanan Kalsel, ALAMAT REDAKSI : Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan Jln. Ahmad Yani Timur No.14. Banjarbaru 70713. Telephone : (0511)-4777534, 4772234. Fax (0511)-4772234. url : http://www.rimbakalsel.org.

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

TOPIK UTAMA
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Pola Kemitraan dengan Sistem Bank Konvensional dan Bagi Hasil
Oleh Prof. H. Udiansyah, Ph.D

Pendahuluan

Pengantar Redaksi
Prof. Ir.H.Udiansyah,M.S.,Ph.D., Guru besar pada Fakultas Kehutanan UNLAM Banjarbaru, dikenal tidak hanya sebagai pakar biometrika tetapi juga dalam rural empowering development, penulis yang cukup produktif di berbagai media Nasional dan local. Karya ilmiah doctor lulusan University of Philipines Los Banos ini telah dipublikasikan pada berbagai Jurnal Ilmiah dalam dan Luar Negeri. Tulisan Beliau yang mengangkat Hutan Tanaman Rakyat kami persembahkan kepada pembaca, semoga menjadi bahan pencerahan untuk seluruh peminat, pelaku dan pengambil kebijakan bidang kehutanan.

Pembangunan kehutanan dipengaruhi oleh regim politik pemerintah. Pada masa orde baru sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, telah mendapat tekanan dan eksploitasi untuk menghasilkan devisa dalam rangka pembangunan nasional. Dampak dari kebijakan tersebut adalah hancurnya sumberdaya dan ketidak seimbangan lingkungan serta terjadi tingkat pengundulan hutan yang sangat besar. Ada dua keadaan yang disebabkan sistem pengelolaan hutan tersebut, (1) meningkatnya kerusakan hutan yang pernah mencapai angka 2,8 juta hektar pertahun, dan (2) konflik kepemilikan lahan hutan di antara Kementerian Kehutanan dan masyarakat lokal. Kementerian Kehutanan selalu meningkatkan usahanya untuk merehabilitasi hutan yang rusak sejak tahun 1980-an. Sekarang, Kementerian Kehutanan sangat menyadari bahwa agar lebih sukses merehabilitasi hutan adalah dengan melibatkan masyarakat. Rehabilitasi hutan sangat tidak mungkin menghindari masyarakat, masyarakat harus dilibatkan secara aktif.

Pemerintah menyadari kondisi tersebut. Oleh karena itu, sejak UU No. 41/1999 keberpihakan kepada masyarakat dalam mengelola hutan dimulai. Terakhir, pemerintah menggulirkan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P23/Menhut-II/2007, yang dimaksud Hutan Tanaman Rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk pembangunan Kementerian Kehutanan telah mengalokasikan hutan HTR sebesar 9,7 triliun hingga tahun 2014. Dana tersebut produksi tidak produktif untuk usaha hutan Tanaman Rakyat disediakan untuk pengembangan HTR bagi rakyat yang (HTR) seluas 5,4 juta ha. Hutan produksi tidak produktif diambilkan dari Dana Reboisasi Rekening Pembangunan seluas 5,4 juta ha tersebut tersebar di 8 propinsi yang ada Hutan (DRRPH) dan dikelola oleh Badan Pembiayaan di 102 kabupaten di daratan Sumatera dan Kalimantan, Pembangunan Hutan (BPPH). merupakan alokasi untuk tahap pertama. Untuk realisasi pelaksanaannya terlebih dahulu akan dilakukan klarifikasi Pola Pengembangan HTR kondisi riil di lapangan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P23/Menhut-II/2007, Alokasi lahan hutan di daratan Sumatera dan Kalimantan, telah mengatur bahwa ada tiga pola pengembangan HTR, dengan pertimbangan mengingat konsentrasi industri yaitu: Pola Mandiri, Pola Kemitraan, dan Pola Developer. perkayuan terletak di kedua daratan tersebut. Usaha hutan HTR Pola Mandiri adalah HTR yang dibangun oleh Kepala tanaman rakyat dimaksud diharapkan akan melibatkan Keluarga pemegang IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil 360.000 kepala keluarga dengan luasan 15 hektar per kepala Hutan Kayu) keluarga. Setiap tahun direncanakan realisasi rata-rata 1,4 -HTR. HTR Pola Kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh juta hektar. Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

TOPIK UTAMA
difasilitasi oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak. HTR Pola Developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHK-HTR diterbitkan. Berdasarkan definisi di atas dan judul makalah ini, maka lebih lanjut dibahas pengembangan HTR pola kemitraan dengan sistem bank konvensional dan bagi hasil. Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang kedua sistem tersebut terlebih dahulu disampaikan, kenapa harus dengan pola kemitraan? Sesungguhnya, kemitraan harus dibangun bukan saja pada HTR pola kemitraan, tetapi juga untuk HTR pola mandiri dan pola developer. Kata kemitraan berasal dari kata mitra yang berarti teman. Hubungan kemitraan harus dilandasi dengan ke-ikhlas-an bagi pihak yang bermitra untuk membangun kemitraan yang kuat. Kemitraan yang dilandasi dengan ke-ikhlas-an akan memperoleh keuntungan yang berkeadilan bagi kedua belah pihak. Namun, agar terjadi suatu keuntungan yang berkeadilan tersebut, diperlukan kekuatan yang berimbang diantara pihak yang bermitra. Selama kekuatan masing-masing pihak tersebut tidak berimbang, maka kemitraan hanya bersifat semu dan itu sangat rapuh. Pada giliran, hanya satu atau dua pihak saja yang diuntungkan, sementara pihak lainnya akan dirugikan. Salah satu pihak yang mempunyai posisi yang lemah dalam kemitraan HTR ini adalah rakyat. Oleh karena itu, rakyat mutlak harus diperkuat kelembagaan dan pengetahuan mereka. Pengembangan HTR pola kemitraan ini minimal ada dua pihak yang bermitra, yaitu pihak perusahaan dan rakyat. Bahkan, HTR pola mandiri-pun sangat penting bermitra dengan perusahaan. Tujuannya adalah untuk memasarkan hasil panen HTR tersebut. Perusahaan itulah yang mengolah hasil panen. Kegagalan pengembangan sektor kehutanan umumnya, karena belum jelasnya pemasaran produk kehutanan yang dikembangkan tersebut. Sistem Pembiayaan Pembiayaan pengembangan HTR disediakan oleh Departemen Kehutanan, dengan memberi pinjaman uang dengan bunga lunak kepada kelompok tani hutan atau koperasi tani hutan. Ini merupakan kemitraan dalam hal pembiayaan HTR. Permasalahan diduga akan muncul pada saat pengembalian pinjaman, terutama jika usaha ini tidak berhasil atau merugi. Oleh karena itu, skema pengembalian pinjaman perlu diatur dengan jelas agar rakyat yang terlibat dalam kegiatan ini memperoleh manfaat yang signifikan. Ada dua skema pengembalian pinjaman, yaitu sistem konvensional (bunga bank) dan sistem bagi hasil. Sistem konvensional pasti tidak menarik bagi pengembangan HTR, kecuali bunga bank pinjaman tersebut sangat rendah (di bawah lima persen). Inipun masih ada peluang ketidakberhasilan HTR, karena sangat memungkinkan diinvestasi-kan ke sektor lain. Sistem Konvensional. Untuk menghitung sistem konvensional ini adalah dengan mengetahui biaya pembangunan HTR, tingkat suku bunga, dan lamanya rotasi tebangan. Berdasarkan Biaya Pembangunan HTR PT. Hutan Rindang Banua (HRB) adalah Rp. 6.198.409,- (Jumlah ini lebih murah dibandingkan dengan Standard biaya Pembangunan HTR, Peraturan Menhut No. P. 48/2007, Rp. 6.471.600,-). Perhitungan selanjutnya menggunakan data dari PT HRB. Dengan tingkat suku bunga 20 % dan daur tujuh tahun, maka secara sederhana pada akhir tahun ketujuh modal awal tersebut akan menjadi Rp. 22.210.020,-. Jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan meningkatnya tingkat suku bunga. Berapa keuntungan yang didapat oleh rakyat, hal ini sangat tergantung dengan berapa jumlah volume kayu yang dihasilkan HTR tersebut. Secara finansial kegiatan HTR ini layak dilaksanakan apabila skenario sesuai dengan kenyataannya. Panen kayu harus 185 meter kubik, harga kayu Rp. 460.000,-/m3, tingkat suku bunga 20 %, dan lama daur 7 tahun. Dengan skenario tersebut pendapatan kotor petani adalah Rp Rp. 39.764.980 dalam satu rotasi atau Rp 5,68 juta per tahun. Pendapatan bersih petani pada nilai sekarang adalah Rp. 1.585.382,per hektar per tahun. IRR hampir mencapai 41,42%. Angkaangka tersebut sangat baik ditinjau dari aspek finansial. Variabel dalam skenario tersebut yang sangat berpengaruh adalah hasil panen kayu dan tingkat suku bunga. Harga kayu diduga akan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya kebutuhan barang yang berasal dari kayu. Namun, hasil panen kayu sangat tergantung dengan sistem silvikultur dan jenis dan kualitas bibit yang digunakan. Jika harga (Rp. 460.000,-) dan hasil panen hanya 80 meter kubik, dan tingkat suku bunga disesuaikan dengan program KUR (Kredit Usaha Rakyat), yaitu 16%. Maka, pendapatan petani bersih petani sekarang menurun menjadi Rp. 429.634,- per tahun. Namun, jika harga tetap Rp. 460.000,- per meter kubik dan tingkat suku bunga 16%, sementara hasil panen kurang dari

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

TOPIK UTAMA

55 meter kubik per hektar. Maka, petani tidak mendapat apa-apa secara finansial. Hasil panen 185 meter kubik per hektar adalah suatu data yang sangat optimis. Data empiris hasil penelitian menunjukkan hanya hasil tebangan di PT HRB kurang dari 100 meter kubik per hektar (Barkaturrahim, 2003). Jika, pengembangan HTR ini secara finansial dan ekonomi mempunyai prospek yang sangat baik dan perlu mendapat dukung semua pihak. Berdasarkan simulasi tersebut, maka jelas bahwa sensitivitas pengembangan HTR ini sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan insentif yang menarik dari pemerintah, diantaranya: jenis dan kualitas bibit serta tingkat subsidi suku bunga. Seandainya tingkat suku bunga bisa nol persen, maka pengawasan yang ketat agar penyaluran kredit tersebut tepat guna dan tepat sasaran dapat terjamin. Pola Bagi Hasil PT. HRB. Dalam kemitraan ini, PT HRB sebagai penyedia dana dan petani sebagai pengelola dana. Sebagaimana Tabel 1, total biaya dan pendapatan adalah Rp. 22.210.020,- dan Rp. 61.975.000,-. Dengan demikian total pendapatan sebesar Rp. 53.139.907,-. Dari pendapatan tersebut dibagi menjadi 40% untuk petani atau 21.255.963 dan 60% untuk perusahaan yaitu Rp. 31.883.944,-. Pendapatan tersebut tidak memperhitungkan tingkat suku bunga. Jika tingkat suku bunga diperhitungkan sebesar 20 % maka pendapatan petani menurun tajam menjadi Rp. 847.450,- atau hanya Rp. 70.621,- per bulan. Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar, maka pendapatan petani hanya menjadi Rp. 286.496 per hektar per tahun atau Rp. 23.874 per hektar per bulan. Pola Peraturan HTR. Berdasarkan Peraturan Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan No. P.01/2008, disebutkan bahwa Pengembalian pinjaman (pokok dan bunga) bagi debitur HTR dilakukan sekalugus setelah panen. Untuk HTI (HTR belum diatur) pembayaran bunga pinjaman dlakukan mualai tahun ke empat sejak pinjaman. Ketentuan ini diiasumsikan berlaku juga untuk HTR. Andai saja kondisi HTR yang ditanam menghasilkan sama dengan pola sebelumnya, maka petani akan memperoleh pendapatan bersih sekarang sebesar Rp. 1.894.038,- per hektar per tahun. Namun, pendapatan penyedia dana (Departemen Kehutanan) hanya Rp. 224.586,-. Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik maka pendapatan petani HTR turun tajam menjadi hanya Rp. 491.653,- sementara pendapatan penyedia dana tetap.

Karena, program HTR ini telah mengakomodir subsidi bunga, sehingga pendapatan penyedia dana sangat kecil hanya Rp. 224.586,-. Hal ini tidak akan menghasilkan sumber pembiayaan lain, kecuali hanya sumber dana dari Departemen Kehutanan (Dana Reboisasi Rekening Pembangunan Hutan). Oleh karena itu, perlu dicari skema yang kedua belah pihak saling menguntungkan. Sistem Bagi Hasil. Ide dasar pengembangan prinsip syariah pada perbankan didasari keinginan umat muslim untuk menjadi muslim yang kaffah. Dengan benar-benar menjalankan syariah Islam dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan muamalah. Dengan adanya doktrin dalam syariah Islam yang mengatakan bahwa bunga bank adalah haram karena termasuk riba. Sehingga diperlukan alternatif operasional perbankan yang berdasarkan syariah. Teknik-teknik finansial yang dikembangkan dalam perbankan syariah adalah teknik-teknik finansial yang tidak didasarkan bunga, tetapi didasarkan pada profit and loss sharing principle (PLS). Perbankan tanpa bunga sebagai lembaga intermediasi mulai diakui dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang aturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.Pengertian prinsip syariah berkaitan dengan pembiayaan bagi hasil adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Sumber Pendanaan dan pihak lain untuk pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Pembiayaan yang dilakukan Sumber Pendanaan syariah berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah. Secara makro, pembiayaan bertujuan untuk: Peningkatan ekonomi umat, artinya : masyarakat yang tidak dapat akses secara ekonomi, dengan adanya pembiayaan mereka dapat melakukan akses ekonomi. Dengan demikian dapat meningkatkan taraf ekonominya. Tersedianya dana bagi peningkatan usaha, artinya: untuk pengembangan usaha membutuhkan dana tambahan. Dana tambahan ini dapat diperoleh untuk melakukan aktivitas pembiayaan. Pihak yang surplus dana menyalurkan kepada pihak minus dana, sehingga dapat tergulirkan. Meningkatkan produktivitas, artinya : adanya pembiayaan memberikan peluang bagi masyarakat usaha mampu meningkatkan daya produksinya. Sebab upaya produksi tidak akan dapat jalan tanpa adanya dana.Membuka lapangan kerja baru, artinya: dengan

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

TOPIK UTAMA
dibukanya sektor-sektor usaha melalui penambahan dana pembiayaan, maka sektor usaha tersebut akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti mnma ea bh a t a u membuka lapangan kerja baru. Terjadi distribusi p n a aa , edptn artinya: masyarakat usaha produktif mampu melakukan aktivitas kerja, berarti mereka akan memperoleh pendapatan dari hasil usahanya. Penghasilan merupakan bagian dari pendapatan masyarakat. Jika ini terjadi maka akan terdistribusi pendapatan. Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syariah terdiri dari dua sistem, yaitu: Profit Sharing dan Revenue Sharing. Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan kelebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue. Sementara, Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Dalam revenue sharing, perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank. Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Pada umumnya dalam praktek, bank syariah mempergunakan Revenue Sharing, hal ini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh mudharib. Resiko yang terdapat pada mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi, diantaranya: Side streaming, nasabah menggunakan dana itu buka seperti dalam kontrak. Lalai dan kesalahan yang disengaja. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur. Pada dasarnya para fuqaha berpendapat bahwa dalam akad mudharabah tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagai jaminan. Hal ini karena mudharabah bukan bersifat hutang melainkan bersifat kerjasama dengan jaminan kepercayaan antara shahibul maal dan mudharib untuk berbagi hasil. Hukum ini sangat sesuai dengan pengembangan HTR yang tidak memerlukan agunan. Sebaliknya, dalam sistem konvensional agunan merupakan syarat yang mutlak. Selain agunan yang tidak dipersyaratkan, tujuan dari pembiayaan pengembangan HTR bukan hanya untuk merehabilitasi hutan dan mensuplai bahan baku industri, pembiayaan juga bertujuan: 1) peningkatan ekonomi rakyat, 2) tersedianya dana bagi peningkatan usaha rakyat, 3) meningkatkan produktivitas, 4) membuka lapangan kerja baru, dan 5) terjadi distribusi pendapatan. Dengan demikian, keuntungan bagi rakyat juga perlu mendapat perhatian serius. Ada beberapa skim di dalam prinsip syariah, antara lain: pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Dalam pengembangan HTR, penyedia dana (shahibul maal)

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

TOPIK UTAMA
adalah Departemen Kehutanan atau perusahaan pemegang IUPHHK. Pengelola dana (mudharib) adalah rakyat atau petani. Sistem bagi hasil mana yang diimplementasikan, tergantung dengan kesepakatan kedua belah pihak yang bermitra. Berikut disajikan pola Mudharabah dan Murabahah, yang dianalisis sesuai untuk diimplentasikan dalam pengembangan HTR. Pola Bagi Hasil Mudharabah. Dengan variabel yang sama dengan pola bagi hasil PT HRB, maka pola ini akan menghasilkan Rp 1,70 juta, dan Rp. 1,48 juta per tahun, untuk masing-masing ratio bagi hasil 80:20 dan 70:30, untuk petani dan pengelola. Bagi hasil laba dibayarkan pada akhir rotasi (7 tahun). Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar, maka pendapatan petani bersih sekarang menjadi Rp. 572.992 per hektar per tahun. Pola bagi Hasil Murabahah. Pola ini adalah petani mengangsur setiap bulan kepada Departemen Kehutanan, sebagaimana pola developer. Dengan jumlah dana yang diperlukan untuk membangun satu hektar HTR, sebesar Rp. 6.198,409,-. Margin penyedia dana sudah ditentukan yaitu 20% atau setara Rp. 5.361.612,-. Sehingga jumlah yang harus dikembalikan oleh petani adalah Rp. 11.562.021,-. Jumlah tersebut dibagi jumlah bulan dalam satu rotasi HTR yaitu 84 bulan. Dengan demikian, petani harus mengangsur sebesar Rp. 137.643,- per bulan. Implementasi sistem ini, petani akan memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 40.641.579,- per rotasi HTR atau Rp. 1.620.331 per tahun bersih sekarang. Jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar, maka pendapatan petani bersih sekarang menjadi hanya Rp. 217.946 per hektar per tahun. Perbandingan Pendapatan antar Sistem Kondisi yang diimplementasikan untuk masing-masing sistem sama. Kondisi tersebut adalah modal awal Rp. 6.198,409,-, hasil panen 185 meter kubik per hektar, tingkat suku bunga 20%, lama rotasi adalah 7 tahun, dan harga kayu Rp. 335.000,- per meter kubik. Pendapatan petani masing-masing sistem per bulan disajikan pada Tabel 2. Pendapatan ini merupakan pendapatan bersih sekarang atau Net Present Value (NPV). Tabel 2 tersebut menjelaskan bahwa Pola Bagi Hasil PT HRB, menunjukkan bahwa pendapatan petani paling kecil dibandingan pola lainnya, sementara pendapatan penyedia dana paling besar. Sebaliknya, Pola HTR merupakan pola yang menghasilkan pendapatan petani paling besar, namun pendapat penyedia dana paling kecil. Pola bagi hasil Mudharabah dan Murabahah menghasilkan pendapatan petani di atas dari Pola Konvensional dan Pola HRB, namun di bawah Pola HTR. Tetapi, ketika hasil panen tidak sesuai harapan, misalnya, hanya 80 meter kubik per hektar. Maka, pendapatan petani pola Mudharabah menjadi yang terbesar (Rp. 572.992,-), sementara pendapatan penyedia dana (Rp. 214.872) tidak terlalu jauh berbeda dengan pola HTR (Rp. 224.586,-), khususnya untuk ratio bagi hasil 70 : 30 untuk petani dan penyedia dana. Pendapatan petani tersebut secara finansial tidak terlalu menarik, apalagi HTR merupakan satu-satunya pekerjaan petani. Akan tetapi, walaupun pendapatan petani pola bagi hasil PT HRB kecil, namun sangat menarik minat petani sebagaimana disampaikan Manajemen PT HRB pada presentasi di Hotel Jelita, tanggal 28 Oktober 2008. Hal tersebut dapat dimengerti, karena perusahaan yang menyediakan modal dan mengerjakan semuanya, dan tibatiba pada akhir tahun ke tujuh petani mendapat bagian dari hasil panen. Bahkan menurut informasi dari staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kotabaru, areal penanaman tersebut bukan pada lahan masyarakat, tetapi pada areal hutan produksi yang bukan areal IUPHHK-HTI PT HRB. Nilai Ekonomi HTR Memang secara finansial pengembangan HTR ini tidak terlalu menarik. Apalagi kayu hasil panen tidak sesuai dengan harapan. Namun, sesungguhnya progam HTR ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat besar. Nilai tersebut adalah petani yang bekerja di lahan HTR mereka itu. Jika pendapatan itu dihitung maka ini suatu program yang sangat besar manfaatnya bagi masyarakat, dunia kehutanan, dan perekonomian Indonesia. Sesungguhnya, hampir semua pembiayaan untuk pengembangan HTR dapat merupakan pendapatan bagi petani, misalnya penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan. Dalam pemeliharaan, yang tidak mungkin menjadi pendapatan masyarakat adalah bahan kimia (herbisida). Bahkan, upah penebangan bisa menjadi pendapatan masyarakat. Jika pengeluaran pembangunan HTR dihitung sebagai pendapatan masyarakat, maka pendapatan rakyat akan menjadi tinggi. Bahkan jika, hasil panen hanya 80 meter kubik per hektar pendapatan petani masih Rp. 1.704.467 per tahun. Kiranya Pola Bagi Hasil Mudharabah dapat diterapkan pada HTR. Pola ini akan sangat membantu petani ketika hasil panen tidak sesuai

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

TOPIK UTAMA
kelompok atau koperasi terdiri dari satu keluarga saja. Jika kondisi seperti itu bukan tidak mungkin akan menghambat keberhasilan program HTR. Jangan sampai seperti kebun kelapa sawit. Hanya sekedar mengingatkan, banyak bidang kebun kelapa sawit sekarang ini yang dulu tujuan adalah untuk masyarakat sebagai plasma perkebunan besar, kini sudah berpindah tangan kepada orang yang berdomisili di kota atau sekitar pabrik. Akibatnya, masyarakat hanya jadi penonton. Mereka tergiur rupiah sehingga lahan yang berisi kebun sawit tersebut mereka jual. Jika, program HTR akan bernasib seperti ini juga, maka berarti kegagalan pengembangan HTR. Pengawasan dan aturan untuk melindungi petani dari praktik seperti kebun sawit di atas perlu diinisiasi. harapan, dan pola ini masih memberikan harapan pendapatan untuk petani. Selain hal tersebut, juga ada beberapa alasan: a) petani tidak punya agunan seperti pada sistem konvensional dan persyaratan yang diatur program HTR, b) kalaupun tidak memerlukan agunan petani kesulitan mengembalikan modal ketika hasil panen tidak sesuai harapan, dan c) sistem ini memberikan keuntungan yang baik bagi petani. Tantangan Pengembangan HTR Seyogyanya, pengembangan HTR ini merupakan program yang harus didukung oleh semua pihak. Baik pihak Departemen Kehutanan, Pengusaha, Rakyat, LSM, dan pihak Universitas. Tidak ada pihak yang dirugikan dengan program ini, bahkan semua pihak mendapat manfaat. Namun, perlu beberapa kondisi yang perlu disiapkan oleh pihak Kementerian Kehutanan, diantaranya: Peningkatan kesadaran masyarakat. Sebelum adanya kontrak pembangunan HTR antara masyarakat dengan pemerintah, kesadaran masyarakat akan pentingnya program ini perlu mendapat perhatian serius terlebih dahulu. Sebelum mereka mempunyai kesadaran hal tersebut, sebaiknya kontrak HTR tersebut jangan langsung disetujui. Penguatan kelembagaan. Setelah masyarakat menyadari akan program ini, maka penguatan kelembagaan mutlak diperlukan. Sekarang ini, sudah sangat lazim, bahwa suatu Kesimpulan Walaupun per definisi, pengembangan HTR bertujuan hanya untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Namun, sesungguhnya dibalik itu terkandung juga makna pemberdayaan masyarakat. Tanpa adanya peran aktif masyarakat dalam HTR ini maka hambatan mencapai sukses semakin berat. Aturan pengembalian pembiayaan HTR telah mengakomodir subsidi bagi debitur HTR, dan sistem ini mengakibatkan sumber pembiayaan memperoleh pendpatan yang negatif. Secara finansial pengembangan HTR tidak terlalu menjanjikan, namun keterlibatan rakyat di dalam pembangunan HTR tersebut sebagai pekerja sekaligus sebagai debitur HTR, menghasilkan manfaat yang sangat besar, tidak hanya bagi rakyat, tetapi juga pembangunan sektor kehutanan, dan perekonomian daerah dan negara.Sistem syariah dengan pola bagi hasil Mudharabah lebih menguntung kepada kedua belah pihak. Pembagian laba dibagi pada akhir daur dengan persentasi 80% untuk petani dan 20% untuk penyedia dana pada saat hasil panen sesuai harapan dan 70:30 pada saat hasil panen jauh dari harapam, suatu skema yang perlu dipertimbangkan.

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

TOPIK UTAMA MEMBAKAR BUKAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL ?


Oleh : Alip Winarto, S. Hut. M. Si. *)

Masih belum hilang dari ingatan kita, 26 Agustus 2011 beberapa waktu lalu kebakaran hebat melanda kawasan Taman Hutan Raya Sultan Adam di Desa Mandiangin. Kebakaran tersebut memusnahkan kawasan hutan kurang lebih 500 Ha yang terdiri dari tutupan lahan berupa alang-alang, semak belukar dan hutan tanaman. Hutan tanaman yang terbakar mencapai kurang lebih 45 Ha yang telah dibangun sejak tahun 2009 sampai 2011 baik dengan sumber dana APBD maupun non APBD. Sumber dana non APBD antara lain berasal dari kontribusi multi pihak yang memiliki kepedulian terhadap upaya pelestarian hutan seperti Bank Indonesia, JIFPRO, Swis Bell Hotel Borneo, LDII Kalsel dan sebagainya. Secara finansial kerugian diperkirakan mencapai tidak kurang dari 750 juta. Belum lagi kerugian non finansial yang antara lain berupa musnahnya keanekaragaman hayati yang mulai terbentuk lagi setelah adanya suksesi alam maupun setelah pembangunan hutan tanaman pada kawasan ini. Berbagai upaya sebenarnya juga telah dilakukan dalam mengantisipasi kebakaran. Antara lain dengan kegiatan penyebarluasan informasi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya betapa pentingnya melestarikan hutan. Penyebarluasan informasi ini dilakukan secara langsung bertatap muka masyarakat dan aparat lokal, melalui iklan layanan masyarakat di media masa, pembagian poster dan leaflet tentang upaya pengendalian kebakaran hutan, papan-papan peringatan tentang kebakaran hutan, pelibatan tokoh masyarakat sebagai petugas pengamanan di lapangan. Upaya mengurangi ketergantungan secara ekonomi terhadap hutan juga telah dilakukan melalui beberapa program pemerintah antara lain melalui Kebun Bibit Rakyat (KBR), dimana masyarakat melalui kelompok tani dibantu dana untuk mengelola sebuah persemaian sampai penanamannya. Mereka menentukan sendiri jenis tanaman yang akan diproduksi sesuai keperluan yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan sekaligus berfungsi sebagai tanaman konservasi. Sayangnya upaya ini berbagai upaya belum cukup maksimal untuk mengendalikan kebakaran hutan.

Pada saat terjadi kebakaran petugas kehutanan juga telah berusaha keras untuk memadamkan api. Petugas kehutanan bahu-membahu bersama masyarakat dan mahasiswa pecinta alam yang kebetulan berada di lokasi kebakaran. Sarana prasarana dan sumber daya yang dimiliki Manggala Agni juga telah dikerahkan secara maksimal. Tetapi dengan cuaca yang terik dan angin yang berhembus sangat kencang dengan arah yang berubah menyulitkan p r o s e s pemadaman. Titik api begitu c e p a t menyebar sampai ke lokasi-lokasi yang sulit untuk diakses, t i d a k sebanding d e n g a n kekuatan t e n a g a pemadam yang ada, sehingga akhirnya hasil suksesi alam dan rehabilitasi yang telah dilakukan dengan cepat terbakar dan berubah menjadi lahan yang sangat gersang. Kebakaran hebat yang berdampak pada teror asap baik di tingkat lokal maupun nasional ternyata juga melanda beberapa wilayah di negeri ini. Misalnya di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Riau, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatra Utara, Jambi dan sebagainya. Meskipun tidak sebesar tahun 2011 dampak dari

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

TOPIK UTAMA
kebakaran hutan tahun ini cukup dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat dan pihak terkait lainnya. Beberapa waktu terakhir Banjarbaru, Banjarmasin, Martapura dan kota-kota di sekitarnya sering diliputi oleh kabut asap. Hal ini dikhawatirkan dampaknya juga akan sampai ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan sebagainya. Tidak menutup kemungkinan apabila hal ini berlanjut maka seperti biasanya negara tetangga akan berteriak karena mendapat asap kiriman dari Indonesia. Masalah klasik ini muncul ketika musim kemarau tiba. Meskipun sebenarnya yang terbakar bukan hanya kawasan hutan, sampai saat ini menjadi fokus kambing hitam adalah institusi yang menangani kehutanan. Data-data terakhir menunjukkan bahwa hot spot yang terpantau dari satelit NOAA adalah berada di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan antara lain disebabkan oleh aktivitas membakar untuk keperluan perkebunan, perladangan maupun pertanian. Di beberapa wilayah di Kalimantan Selatan membakar juga digunakan untuk memudahkan aktifitas perburuan beberapa jenis satwa di kawasan hutan. Ada juga yang memanfaatkannya sebagai cara yang paling mudah dan mudah untuk menumbuhkan makanan ternak (ilalang) yang segar, seperti yang sampai saat ini dilakukan oleh sekelompok masyarakat di sekitar Waduk Riam Kanan. Kebakaran hutan dan lahan dapat juga disebabkan oleh faktor alam. Diantaranya adalah petir, gesekan ranting dan dahan yang menimbulkan percikan api dan merembet ke kawasan di sekitarnya, fenomena ElNino. Faktor alam yang lain adalah adanya tingginya kandungan batubara di bawah tanah yang berpotensi menimbulkan api dan membakar bahan-bahan yang mudah terbakar di atasnya. Namun demikian berdasarkan pengalaman penulis ketika menangani permasalahan kebakaran hutan faktor pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah aktifitas manusia yang sengaja membakar untuk kepentingan tertentu. Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan baik dari aspek finansial dan non finansial tidaklah sedikit, berupa kerusakan sumber daya hutan dengan segenap ekosistemnya. Dampak lain yang ditimbulkan adalah teror asap yang menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Jumlah penderita penyakit ISPA, asma, pneumonia, iritasi mata dan kulit di berbagai wilayah yang terkena dampak kebakaran hutan meningkat secara signifikan. Teror asap juga mampu melumpuhkan sebagian sendi-sendi perekonomian. Betapa tidak, transportasi udara, darat dan perairan menjadi terganggu. Beberapa bandara kadang-kadang harus ditutup untuk beberapa waktu atau beroperasi terbatas dengan alasan keselamatan. Jadwal penerbanganpun terpaksa dihentikan atau ditunda. Operator penerbanganpun kemudian mengklaim mengalami kerugian akibat teror asap ini. Bahkan beberapa kecelakaan transportasi air dan darat telah terjadi akibat terbatasnya jarak pandang. Bukan hanya itu saja, dunia pendidikan juga mengeluh dan dibuat pusing lantaran asap yang begitu pekat cukup menggangu aktivitas di sekolahsekolah, sehingga lagi-lagi dengan alasan kesehatan aktivitas belajar mengajar terpaksa dihentikan. Dampak kebakaran hutan dan lahan khususnya teror asap tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di sekitar hutan. Masyarakat yang tinggal jauh dari kawasan hutanpun tidak luput dari dampak. Beberapa waktu lalu Malaysia, Singapura dan negeri tetangga lainnya merasa terusik dengan teror asap dari Indonesia yang secara rutin diterima pada saat musim kemarau tiba. Yang lebih memprihatinkan adalah negara tetangga telah terlanjur memvonis pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasi rutininitas bencana ini. Pemerintah melalui berbagai kesempatan telah meminta maaf kepada para penguasa negeri tetangga atas kebakaran hutan dan lahan yang secara rutin terjadi. Sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Departemen Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 7501/Kpts-II/2002 tanggal 7 Agustus 2002 telah menetapkan pengendalian kebakaran hutan sebagai salah satu dari 5 kebijakan prioritas bidang kehutanan dalam program pembangunan nasional. Sebagai tindaklanjutnya Departemen Kehutanan telah membentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut) dengan nama Manggala Agni (GALAAG). Manggala Agni dengan bekerjasama dengan pihak-pihak lain terkait selama ini secara gigih telah telah berupaya memadamkan titik-titik api di lapangan. Manggala Agni juga menjadi model dan stimulator bagi semua stakeholder dalam pengembangan kelembagaan pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Saat ini di wilayah Kalimantan Selatan telah dibangun 3 Manggala Agni yaitu di Batulicin, Pelaihari dan yang sedang dalam proses pembangunan adalah di Mandiangin yang siaga mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan. Diperkirakan Manggala Agni yang dibangun di Mandiangin dapat mengantisipasi lebih dini terjadinya kebakaran di kawasan Tahura Sultan Adam dan diperkirakan dapat beroperasi mulai 1 Januari 2012. Presiden juga pernah menginstruksikan agar semua pembakar hutan ditindak tegas tanpa pandang bulu. Instruksi ini ditindaklanjuti oleh POLRI yang akan mengambil langkah tegas dan tidak akan pandang bulu terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan. Jika terbukti melakukan pembakaran hutan

10

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

TOPIK UTAMA
maka perusahaan tersebut akan ditindak dan diproses hukum. Mabes POLRI telah menyerukan kepada Kapolda yang daerahnya terkena asap pembakaran hutan dan lahan untuk melakukan langkah penyidikan dan penyelidikan terhadap pelaku pembakaran, apakah disengaja atau karena kelalaian. Jika terbukti terbukti membakar maka pelakunya akan dimintai tanggung jawab. Pada kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar tahun 2006 lalu bom-bom air telah dijatuhkan ke sejumlah kawasan hutan yangjuga terbakar. Pemerintah Indonesia yang dimotori oleh Bakornas PB (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana), BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan TNI AU (Tentara Nasional Angkatan Udara) juga telah menggunakan teknologi hujan buatan untuk memadamkan api. Pemerintah Indonesia juga mendatangkan pesawat khusus dari Rusia yang memiliki kapasitas membawa air dalam volume cukup besar (terbesar di dunia saat ini) sehingga diharapkan lebih efektif dalam memadamkan kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu semua diperlukan rupiah tidak sedikit. Sehingga sampai pada satu kesimpulan bahwa lebih baik mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan daripada harus memadamkannya. Upaya pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan sudah cukup banyak tetapi kebakaran hutan dan lahan tetap saja masih menjadi bencana rutin tahunan. Akibatnya teror asap tetap masih saja menyelimuti sebagian negeri ini bahkan sampai ke negeri tetangga khususnya Malaysia dan Singapura sebagai Negara tetangga terdekat. Bahu membahu antara pemerintah (aparat sipil dan militer), lembaga non pemerintah dan maupun masyarakat dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan belum memberikan hasil yang maksimal. Mengapa hal itu terjadi? Memadamkan kebakaran hutan dan lahan memang bukan tanpa hambatan. Luasnya kawasan yang terbakar dan lokasi hot spot yang sulit dijangkau, tidak seimbang dengan kekuatan personil, peralatan yang tersedia dan keterbatasan teknologi pemadaman. Apalagi membakar juga menjadi sudah menjadi tradisi dan budaya sejak lama dalam mempersiapkan lahan untuk kegiatan perladangan, pertanian, peternakan dan perkebunan atau sekedar membersihkan lahan. Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan dampak membakar juga masih sangat rendah juga menyebabkan aktivitas membakar dilakukan seperti tanpa beban. Yang penting dapat mempersiapkan lahan dengan cara instant, dan murah adalah sudah cukup. Konon membakar dianggap sebagai salah satu kearifan lokal. Adanya pola pikir yang berkembang dalam masyarakat bahwa bertanggung jawab sepenuhnya atas teror asap adalah instansi kehutanan juga kurang tepat. Permasalahan kebakaran hutan dan lahan selalu dilimpahkan kepada instansi kehutanan baik di pusat maupun di daerah untuk mengatasinya. Fakta di lapangan menunjukkan teror asap banyak dihasilkan dari kebakaran yang terjadi di kawasan non kehutanan seperti misalnya pada kawasan yang perkebunan, pertanian, perladangan dan tidak jarang pada kawasan yang berdampingan dengan pemukiman penduduk. Dengan demikian sudah semestinya instansiinstansi yang terkait harus pro aktif ikut mengatasi teror asap, tidak sekedar dibebankan kepada instansi kehutanan. Kementerian Kehutanan melalui alokasi DAK Bidang Kehutanan 2012 merespon kejadian kebakaran hutan yang terjadi secara rutin di beberapa wilayah di Indonesia seperti Kalimantan dan Sumatra. Antara lain dengan mengalokasikan dana untuk kegiatan pengadaan sarana prasarana pengamanan hutan yang diarahkan pada pengadaan alat-alat pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Tahun 2012 Tahura Sultan Adam mendapatkan alokasi dana dimaksud dan direncanakan akan dipergunakan untuk pembelian alat-alat pengendalian kebakaran seperti jet shooter, pompa apung, kepyok, host, penampung air, embung air dan sebagainya. Dengan pengadaan sarana prasarana ini diharapkan dapat mengantisipasi lebih dini apabila terjadi kebakaran di dalam kawasan Tahura Sultan Adam khususnya di Tahura Sultan Adam Mandiangin. Lantas apa yang perlu dilakukan dalam konteks lokal maupun nasional? Dalam mengatasi teror asap ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah sejak dini harus memberikan penyuluhan kepada masyarakat betapa pentingnya memelihara keberadaan hutan baik manfaat ekonominya maupun konservasi. Juga harus ditekankan bahwa daerah-daerah yang berdampingan dengan kawasan hutan pada musim kemarau sangat rawan kebakaran, sehingga pembakaran semestinya tidak diperbolehkan sama sekali walaupun diperuntukan bagi penyiapan lahan pertanian dan lainnya. Masyarakat dan pihak terkait lainnya juga perlu dibekali dengan teknologi penyiapan lahan tanpa bakar yang murah dan terjangkau. Kedua, upaya-upaya mengatasi teror asap tidak hanya bersifat reaksioner apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan. Tetapi seharusnya juga ditekankan pada upaya-upaya preventif seperti misalnya menyiapkan kantong-kantong air pada kawasan rawan kebakaran sebelum terjadinya kebakaran hutan dan lahan, pembentukan masyarakat peduli api sekaligus difasilitasi dengan sarana pendukung dan

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

11

TOPIK UTAMA
operasionalnya di wilayah-wilayah yang rawan kebakaran hutan. Disamping itu juga perlu adanya pola insentif dan disinsentif bagi wilayah-wilayah yang sering memiliki potensi kebakaran hutan dan lahan. Artinya, bagi wilayah yang mampu mengendalikan kebakaran hutan dan lahan diberikan insentif dan sebaliknya disinsentif bagi wilayah yang tidak mampu mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Ketiga, penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi pembakar hutan dan lahan. Dengan kata lain perlu diberikan contoh hukuman yang jelas bagi pelaku pembakaran baik bagi perorangan maupun perusahaan. Misalnya dengan memberikan sanksi denda yang tinggi, pencabutan ijin operasi, dan sebagainya yang diharapkan dengan demikian akan membuat efek jera pelaku pembakaran hutan dan lahan. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Perda No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan dan atau Hutan secara jelas menyebutkan sanksi bagi para pelaku pembakaran. Aparat penegak hukum harus pro aktif mencari dan memproses pelaku pembakaran yang berakibat pada kerusakan lingkungan secara luas. Keempat, pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan tentang tanggungjawab perusahaan terhadap konsesi yang dimiliknya jika terjadi kebakaran. Perusahaan harus bertanggung jawab dan diberi sanksi jika terjadi kebakaran hutan dan lahan dalam cakupan wilayah konsesinya. Perusahaan tidak hanya berhak mengambil keuntungan dari konsesi yang dikelolanya tetapi juga harus bertanggung jawab dan wajib menjaga agar konsesinya bebas dari aktivitas kebakaran hutan dan lahan. Jika ada, perusahaan harus menanggung dampak yang ditimbulkan, sehingga sudah perusahaan dimaksud seharusnya menyediakan dana on call untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di konsesinya. Kelima, pemerintah harus mengeluarkan larangan pembakaran lahan pada kawasan tertentu misalnya pada kawasan bergambut. Kebakaran hutan dan lahan pada kawasan bergambut sulit dipadamkan. Pengalaman menunjukkan bahwa meskipun pada lapisan permukaan sudah tidak titik api, tetapi pada kawasan bergambut lapisan di bawahnya masih terbakar. Dari kebakaran hutan dan lahan pada kawasan bergambut inilah teror asap yang cukup besar dihasilkan. Keenam, menjalin kerjasama dengan negeri tetangga dalam menanggulangi teror asap. Karena sesungguhnya teror asap yang muncul akibat kebakaran hutan dan lahan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia saja. Dalam kondisi normal hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia telah memproduksi oksigen yang secara bebas juga dinikmati oleh negara tetangga. Tidak semestinya negara tetangga tidak serta merta mengkambinghitamkan pemerintah Indonesia tetapi juga harus ikut memberikan solusi atas musibah kebakaran hutan dan lahan itu. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa teror asap juga berasal dari kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Maka sudah semestinya teror asap tidak hanya menjadi tanggung jawab instansi kehutanan saja. Institusi yang mengurusi bidang pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya. Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat Kabupaten/Kota juga memiliki andil yang cukup besar untuk menyampaikan pesan betapa pentingnya untuk tidak membakar. Begitu pula dengan keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota yang juga dapat berperan secara maksimal dalam penanggulangan bencana termasuk di dalamnya bencana kebakaran hutan. Benarkah membakar hutan dan lahan sebagai bagian dari sebuah kearifan lokal ? Membakar sebagai sebagai sebuah kearifan lokal perlu ditinjau lagi eksistensinya. Karena dengan membakar ternyata dapat berdampak pada kerusakan lingkungan dan kemudharatan luar biasa. Oleh karena itu berbagai upaya tersebut di atas tidak akan berhasil apabila tidak didukung oleh elemen lain yang terkait, seperti lembaga non pemerintah, perusahaan swasta atau institusi bisnis lainnya dan masyarakat. Dengan demikian upaya-upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan khususnya dalam menghentikan teror asap harus menjadi komitmen bersama dan merupakan kerjasama yang harmonis antara elemen-elemen tersebut. Semoga.*** *) Kepala Seksi Perlindungan Taman Hutan Raya Sultan Aa dm

12

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

TOPIK UTAMA
Problematik Penang oblematika enanganan Illeg logging Kalsel Problematika Penanganan Illegal logging di Kalsel
Oleh : Ir. Yuntriswono, MP *)

Ilegal logging, kejahatan terorganisir


Persoalan penebangan liar (illegal logging ) kini menjadi fenomena umum yang berlangsung di manaamana. Illegal

logging tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah menjadi seperti pekerjaan keseharian. Fenomena illegal logging bukan lagi merupakan masalah kehutanan saja, melainkan persoalan multipihak yang dalam penyelesaianya membutuhkan banyak pihak terkait.
Kawasan hutan Kalimantan Selatan seluas 1.779.982 ha (47,42 % dari luas wilayah Kalsel) merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan warisan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Sumberdaya alam itu, dalam beberapa dekade terakhir, telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi daerah yang memberi dampak pada peningkatan devisa dan penyerapan tenaga kerja, serta mendorong pengembangan wilayah serta pertumbuhan. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan, besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan, telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial. hutan atau bahkan jauh berada dari hutan yang tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Kedua, dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Ketiga dilakukan oleh orang-orang tertentu yang mengatasnamakan rakyat. Permasalahan mendasar yang dihadapi penegak hukum dalam memberantas illegal logging disebabkan illegal logging termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir, yaitu ada actor intelectualnya, ada pelaku materialnya. Pelaku material bisa buruh penebang kayu yang hanya diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing. Di antara mereka selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Praktek illegal logging sangat sulit diberantas, dan kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana bukan actor intelectual atau cukong, tetapi baru pada tingkat pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nakhoda kapal yang menjalankan kendaraannya. Pelaku sebenarnya sudah kabur duluan sebelum petugas penegak hukum dapat menangkapnya. Akibat dari kerusakan hutan akan menimbulkan dampak negatif, salah satunya bencana banjir dan kerusakan lingkungan itu sendiri. Kerusakan hutan umumnya akibat illegal logging (IL), sedangkan sebagian kecil sisanya karena untuk pemenuhan kebutuhan warga yang bermukim di sekitar hutan. Untuk mengantisipasi perilaku masyarakat yang merusak hutan pemerintah daerah perlu mengambil langkah yang tepat.

Illegal logging selain kebakaran hutan, adalah penyebab terbesar kerusakan hutan yang sangat parah. Lebih dari itu, penebangan haram ini telah melibatkan banyak pihak dan

Sepeda Motor juga digunakan untuk mengangkut kayu illegal

dilakukan secara terorganisir serta sistematis. Kejahatan ini bukan hanya terjadi di kawasan hutan produksi, melainkan juga sudah merambah ke kawasan lindung dan konservasi. Ada tiga jenis pembalakan illegal. Pertama, yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang, baik yang tinggal di sekitar

Definisi

Illegal logging atau dengan terjemahan sederhana pembalakan liar pada dasarnya merupakan istilah yang tidak pernah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan manapun. Biasanya istilah ini mengacu untuk serangkaian perbuatan pidana yang ada dalam Pasal 50 UU Kehutanan,

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

13

TOPIK UTAMA
mulai dari penebangan Illegal, penguasaan, transportasi, hingga penjualan terhadap kayu tersebut. Namun demikian, Pasal 50 tidak menyatakan kejahatan tersebut sebagai rangkaian kejahatan. Kejahatan penebangan illegal diatur tersendiri sebagaimana pengangkutan dan penjualan kayu illegal juga diatur terpisah dengan sanksi yang berbeda pula. Penebangan liar misalnya diatur dalam huruf e Pasal 50: menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; Huruf h Pasal 50: mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil terbuka/terang-terangan tanpa takut sedikitpun dengan petugas, sedangkan illegal logging dilakukan secara sembunyi-sembunyi, baik pada waktu siang hari ataupun pada malam hari.

Dalam istilah kehutanan, logging adalah suatu aktivitas atau kegiatan penebangan kayu di dalam kawasan hutan yang dilakukan oleh seseorang, kelompok ataupun atas nama perusahaan, berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang (kehutanan) sesuai dengan prosedur tata cara penebangan yang diatur dalam peraturan perundangan kehutanan. Dengan demikian, logging atau penebangan dapat dibenarkan sepanjang, mempunyai izin, mengikuti prosedur penebangan yang benar berdasarkan aspek kelestarian lingkungan, dan mengikuti prosedur pemanfaatan dan peredaran hasil hutan berdasarkan ketentuan yang berlaku. (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut/ 2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara; sebagai pengganti Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-II/ 2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan). Sebaliknya ada peristilahan illegal logging yang merupakan antitesa dari istilah logging. illegal berarti tidak didasari dengan peraturan perundangan atau dasar hukum positif yang telah ditentukan oleh pemerintah, dan berkonotasi liar serta mengandung konsekuensi melanggar hukum, karena mengambil atau memiliki sesuatu milik pihak lain, yang bukan haknya. Kepada pelanggar atau pelaku dapat dikenakan sanksi hukum berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab UndangPohon berdiameter besar seperti ini Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian sudah sangat sulit ditemui di dalam illegal logging adalah penebangan liar atau hutan penebangan tanpa izin yang termasuk kejahatan ekonomi dan lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta kerusakan hutan; huruf f Pasal 50: menerima, membeli atau menjual,r lingkungan/ekosistem hutan dan dapat dikenakan sanksi menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari pidana dengan ancaman kurungan paling lama 10-15 tahun kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan denda paling banyak Rp 5-10 miliar (UU No. 41 1999 Istilah illegal logging tampaknya cenderung kepada masalah tentang Kehutanan, Pasal 78). penebangan liar atau penebangan tanpa izin, sedangkan Masalah illegal logging akan semakin menjadi luas perambahan luput dari pengertiannya, manakala dihubungkan dengan kegiatan yang kategori illegal logging. Akibatnya, kegiatan perambahan disebut dengan perambahan hutan. Dalam permasalahan dilakukan secara kehutanan, kedua kegiatan tersebut (illegal logging dan perambahan hutan) disebut sebagai penjarahan hutan.

14

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

TOPIK UTAMA
Akar Masalah Pada dasarnya masalah illegal logging tidak terlepas dari masalah kajian publik, yang sebenarnya berintikan masalah kebijakan ( policy problem ), sehingga pemecahan masalahnya (problem solving) juga harus dimulai dengan kebijakan publik (public policy) itu sendiri. Perlu kita kaji akar permasalahan Illegal loggging tersebut secara saksama berdasarkan konsep kajian publik. Dari kajian ini kita bisa mengetahui dan memahami bahwa akar permasalahan illegal logging sebenarnya adalah masalah kebijakan dan pemecahan masalah. Untuk mengetahui masalah kebijakan internal dan apa masalah kebijakan eksternal, perlu kita identifikasi masalah kebijakan tersebut sebagai berikut: Menyangkut masalah kebijakan internal dimulai dengan kelembagaan. Banyak lembaga kehutanan yang menangani hutan, lebih-lebih dengan adanya era otonomi daerah mulai dari pemerintah pusat yaitu Kementerian Kehutanan dengan unit-unit pelaksana teknis (UPT)-nya di daerah, sampai tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kotamadya) dengan Masalah lain, kebijakan pemerintah selama ini dengan menetapkan kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menhut, ternyata tidak banyak mendukung prakondisi dalam pemantapan kawasan hutan. Sampai saat ini hampir 80% kawasan hutan belum selesai penetapan/pengukuhannya oleh Menteri Kehutanan, meskipun barangkali secara fisik sudah 100% kawasan hutan ditata bebas. Belum mantapnya status kawasan hutan ini, juga mengundang permasalahan sengketa, di mana dalam setiap penyelesaian masalah sengketa batas atau kawasan hutan di pengadilan, pihak kehutanan selalu terpojok apabila sudah menyangkut masalah bukti hukum status kawasan.Hal ini sudah barang tentu juga dapat merupakan andil timbulnya sengketa-sengketa kawasan baik karena penebangan liar (illegal logging), perambahan kawasan hutan maupun sengketa lahan lainnya (land tenure). Perlu dipikirkan agar masalah pengukuhan kawasan hutan ini ditingkatkan perundang undangannya menjadi undangundang pengukuhan hutan, atau setidak-tidaknya peraturan pemerintah yang dalam pelaksanaan pengukuhan/penetapan kawasan hutan ditetapkan oleh Presiden melalui Keppres, sehingga dengan demikian mengikat semua pihak dan terjaminnya kepastian hukum kawasan hutan daripada yang selama ini hanya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan (dengan Keputusan Menteri) saja. Menyangkut masalah kebijakan Eksternal seringkali timbul kesenjangan antara sumber bahan baku yang ada di hutan dengan kapasitas industri terpasang yang ada di industri perkayuan, sehingga akibatnya industri mengalami kekurangan bahan baku. Untuk itu tidak jarang terjadi industri perkayuan cenderung menampung kayu-kayu yang bermasalah; hal tersebut jelas mempunyai andil yang cukup kuat timbulnya penebangan liar atau illegal logging. Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumberdaya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai

POLHUT sedang Patroli Pengaman Hutan

unit pelaksana teknis daerah (UPTD)-nya. Tugas pokok dan fungsinya masing-masing kadang terjadi tumpang tindih kewenangan, serta dalam operasional tidak jelas tata hubungan kerjanya. Dengan kata lain, tidak ada platform atau satuan pandang yang sama satu sama lain mengenai sistem pengelolaan hutan yang lestari, meskipun untuk itu telah ada banyak panduan tentang bagaimana konsep sistem pengelolaan hutan lestari itu dari Kementerian Kehutanan.

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

15

TOPIK UTAMA
keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan. Buruknya pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam Inpres No.4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara Illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata rantai pemberantasan Illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang korup. Penerapan Undang Undang Lingkungan Hidup untuk Perlindungan Hutan Indonesia Undang-Undang Lingkungan Hidup diarahkan agar hutan dan semua Sumber Daya Alam yang ada di bumi Indonesia dapat perlindungan dengan segala aturan yang telah ada saat ini. Hukum yang berlaku untuk mengatasi segala permasalahanpermasalahan, harus dilihat dari tiga sisi, yakni sisi substansi hukum, aparatur hukum yang ada dalam setiap proses serta budaya hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Apakah hukum itu telah diterapkan dengan baik atau tidak ?. Artinya pada saat salah satu dari ketiga hal itu tidak terpenuhi maka hukum yang diharapkan tidak akan berjalan sesuai dengan harapan. Beberapa hutan lindung yang ada di Indonesia telah rusak dan menjadi permasalahan lingkungan. Pengerusakan hutan yang terjadi seringkali mengakibatkan efek sangat besar bagi kehidupan seharihari masyarakat di lingkungan hutan tersebut. Dari sekian banyak fakta mengenai pengrusakan hutan yang terjadi di Indonesia sering ditindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat umum. Masyarakat lebih mengharapkan fungsi hutan yang telah dirusak dikembalikan daripada sekedar pemidanaan dan denda yang dikenakan terhadap pelaku pengrusakan hutan. Masyarakat lebih membutuhkan air, tanah, hawa sejuk, udara segar, tanah tidak longsor, dan keindahan alam seperti sebelum pengerusakan lingkungan hutan. Artinya pemerintah harus dapat menghukum para perusak hutan agar mengembalikan hutan sebagaimana mestinya dan memberikan efek jera terhadapnya. Apabila sekedar pengembalian kerugian negara dalam materi, tidaklah memberikan efek jera karena para pengusaha tidak sulit untuk mengembalikan uang negara. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 sanksi pidana dengan penarikan izin usaha dan pidana penjara lebih dihindari para pengusaha atau pelaku pengerusakan lingkungan. Memang dalam perudang-undangan yang ada saat ini lebih mengedepankan denda yang besar daripada pengembalian fungsi hutan dan lingkungan. Hal ini yang menyebabkan para pelaku usaha dari awal mendapatkan izin langsung memaksimalkan produksi untuk mengumpulkan keuntungan. Apabila terjadi pengrusakan lingkungan yang tidak disengaja dapat diganti rugi dengan sejumlah dana denda. Penanganan Illegal logging Di Hutan Untuk mengatasi Illegal logging dan sekaligus juga perambahan hutan, kiranya pemerintah perlu melakukan restrukturisasi atas kelembagaan ini sebagaimana yang diamanatkan dalam program ketiga Kementerian Kehutanan yaitu: restrukturisasi kelembagaan sektor kehutanan. Perlu dibentuk unit-unit pengelolaan hutan untuk setiap unit kawasan hutan di bawah satuan kerja yang telah ada dengan fasilitas yang memadai. Mendudukkan fungsi Dinas Kehutanan di provinsi sebagai regulator di samping fungsinya sebagai koordinator lembaga/instansi kehutanan yang ada di provinsi/ kabupaten/kota. Selain itu, perlu mengembalikan fungsi Perhutani ke dalam fungsi BUMN murni yang diberi tugas mencari/mendapatkan keuntungan finansial bagi perusahaan untuk mendukung pelaksanaan program pembangunan kehutanan dalam arti luas. Simpulan Berdasarkan asas dan tujuan Undang-Undang Kehutanan dinyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan berdasarkan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Dasar yang kuat untuk pemerintah dalam memberikan izin pengelolaan hutan dan lingkungan hidup yang ada harus memenuhi dan sesuai dengan asas dan tujuan tersebut. Apabila tidak bisa dilakukan oleh pengusaha, maka izin selayaknya jangan diberikan kepada pengusaha tersebut. Namun dalam praktek pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPTI) seringkali diberikan hanya karena kemampuan pengusaha secara administratif dan pendanaan. Sedangkan asas manfaat dan kelestarian tidak dilihat dan disyaratkan secara tegas. Hal ini memicu sering terjadinya saat hak-hak atas pengusahaan hutan yang diberikan dilanggar dengan gampangnya oleh pengusaha. Selain tindakan preventif dalam pemberian izin, dalam pengawasan, pemerintah harus dengan tegas dan rutin agar tindakan represif dengan sesegera mungkin dapat dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran hukum yang lebih merugikan negara dan masyarakat.
*) Kepala Sub Bagian Program pada Dinas Kehutanan Prov. Kalsel

16

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

KHAZANAH BELAJAR DARI PENGELOLAAN HUTAN ZAMBIA


Oleh: Muhammad Abdul Qirom *) Zambia terletak di Afrika Selatan yang dikelilingi oleh beberapa negara yakni: Republik Demokratik Kongo, Botswana, Namibia, dan Angola (Njovu, 2004; Makumba, 2002). Negara ini memiliki penutupan hutan yang tinggi di Afrika Selatan denngan luas sekitar 64 juta Ha (Njovu, 2004; Siame, 1997 dalam Makumba, 2002). Tipe hutan dan vegetasi di Zambia terbagi kedalam tiga tipe utama yaitu hutan tertutup (didominasi oleh pohon terdiri dari vegetasi pegunungan, rawa, riparian, dan payau), hutan terbuka (tipe yang paling luas) yang berbentuk savana dengan luasan mencapai 71%, dengan pohon yang didominasi oleh jenis Miombo, dan ketiga tipe padang rumput (Njovu, 2004). Masalah yang dihadapi dunia kehutanan di Zambia tidak berbeda jauh dengan Indonesia yakni deforestasi dan PRAKTEK PENGELOLAAN HUTAN DI ZAMBIA degradasi hutan (Makumba, 2002). Laju deforestasi hutan Gambaran Hutan Zambia Zambia mencapai 21% dari luasan hutan alamnya pada Hutan di Zambia mempunyai arti penting bagi kehidupan periode tahun 1990 2000 (Earth trend, 2003). Hal ini masyarakat. Masyarakat sangat tergantung kepada hutan dikarenakan hutan di Zambia memiliki potensi kayu yang dengan mengambil manfaatnya berupa makanan, kayu bakar, berlimpah sehingga kegiatan eksploitasi terhadap kayu bahan bangunan, dan obat-obatan (Makumba, 2002). sangat tinggi dan ditunjang oleh biaya investasi terhadap Peruntukan lahan di Zambia adalah hutan sebesar 39%, kegiatan ini relatif rendah (Njovu, 2004). Masalah pertanian 25%, pemukiman 2%, lahan untuk bercocok tanam deforestasi menyangkut kegiatan illegal logging dan tidak (woodland) 22%, dan 12% peruntukan lain yang belum terkontrolnya produksi arang, tidak terkontrolnya kebakaran spesifik (Mukumba 2002; Njovu, 2004). Karakteristik permukaan (semak belukar), eksploitasi kayu yang berlebihan penggunaan lahan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel dan land clearing untuk pertanian dan pemukiman illegal 1. (Mukumba, 2002) . Deforestasi juga disebabkan oleh faktor Tabel 1. Penggunaan lahan di Zambia (Njovu 2004) sosio-ekonomi (kondisi masyarakat yang miskin dan tanpa Penggunaan lahan Luas areal (x1000) Prosentase pekerjaan) sehingga masyarkat mengeksploitasi Bongkahan Zeolit di Alam Gamber luas sumberdaya alam sebagai alternative sumber pendapatan 46394 61.7 Hutan dan woodland dan pekerjaan (Mukumba, 2002; Lapord et al. 2007). Cadangan hutan 7437 (9.9) Kondisi ini menyebabkan berkembangnya hutan tanaman di Taman Nasional 6535 (8.7) Zambia. Hutan tanaman di Zambia telah dimulai sejak tahun Other woodland 32603 (43.3) 1960 dalam skala pilot project. Luas hutan tanaman di Rawa dan padang rumput 7400 9.8 Zambia seluas 55.000 Ha dengan jenis utama yaitu jenis Pertanian dan areal konversi 20526 27.3 Pinus (79%) dan ekaliptus (20%) (Njovu, 2004). Praktek Air (sungai, danau, dan bendungan) 930 1.2 pengelolaan hutan yang menarik di Zambia yakni seluruh Hutan di Zambia dapat diklasifikasikan kedalam beberapa hutan yang ada dikuasai oleh negara secara langsung tipe. Menurut Stores (1995) hutan Zambia dibagi ke dalam maupun tidak langsung yakni melalui wakil yang ditunjuk 4 tipe utama yakni hutan tertutup, hutan terbuka, oleh presiden. Hutan tanaman di Zambia dikuasai oleh termitaria, dan padang rumput. Klasifikasi yang tidak jauh perusahaan pemerintah dengan nama ZAFFICO (Zambia berbeda dilakukan Njovu (2004) yang mengklasifikasikan Forestry and Forest Industries Corporation). Alasan utama hutan Zambia menjadi tiga tipe utama yakni hutan membangun hutan tanaman ini adalah meningkatkan tertutup, hutan terbuka, dan padang rumput. Dasar produktivitas dari hutan rakyat, meningkatkan supply kayu klasifikasi ini tidak jauh berbeda yakni berdasarkan tingkat untuk industri, menyediakan bahan baku untuk membuat penutupan hutan dan jenis pohonnya. Proporsi tipe kayu kostruksi, papan panel dan tipe produk dari pulp yang terbesar adalah tipe hutan terbuka dengan vegetasinya selama ini masih di impor, dan membuat lahan pekerjaan yakni Miombo, Kalahari, Mopane, dan Munga (ECZ, 2001 baru bagi masyarakat pengangguran (Njovu, 2004). dalam Mukumba, 2002). Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan gambaran Karakteristik jenis tanaman pada masing-masing tipe mengenai praktek pengelolaan hutan di Zambia dan berbeda-beda, pada tipe hutan yang tertutup tanaman menganalisis kelebihan dari praktek pengelolaannya untuk dapat mencapai tinggi 15 -21 meter dan selalu hijau dapat diterapkan di Indonesia. setiap tahunnya (Fanshawe, 1971 dalam Mukumba, 2002; Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

17

KHAZANAH
Njovu, 2004). Jenis tanaman tersebut antara lain: Brachystegia, Isorbelinia, Julbernardia, and Marquesia macroura. Pada tipe hutan terbuka didominasi oleh jenis Albizia antunesiana, Anisophyllea boehmii, Brachystegia stipulata, dan Dalbergia nitidula dengan tinggi hanya 1,3 3,6 meter (Fanshawe, 1971 dalam Mukumba, 2002). Kontribusi sektor kehutanan dan permasalahannya Sektor kehutanan menyumbang 3,7% dari Gross Domestic Bruto (GDP), jika dibandingkan dengan sektor lain termasuk lebih rendah (Lanord et al. 2007). Hal ini disebabkan ketidakmampuan pemerintah Zambia dalam melakukan inventarisasi hutannya sejak tahun 1964. Sektor ini berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan melalui beberapa produk yang dihasilkan antara lain hasil hutan bukan kayu, proses industri kayu, perdagangan kayu bakar dan arang (Lanord et al. 2007). Kondisi ini tidak ditunjang dengan pengelolaan yang baik. Pengelolaan hutan di Zambia hampir seluruhnya tidak dikelola dengan menggunakan perencanaan manajemen (Lanord et al. 2007; Mukumba, 2002. Njovu, 2004). Kegiatan perencanaan hutan tidak pernah dilakukan pembaharuan data sejak mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1964 sehingga manfaat guna hutan dan stock pertumbuhaanya tidak pernah diketahui. Hal ini diperparah dengan rendahnya kapasitas dari staff kehutanan (Lanord et al., 2007). Pemerintah Zambia dengan bantuan FAO mempunyai keinginan untuk merubah sistem manajemennya pada tahun 2005 (Lanord et al . 2007). Kesepakatan perubahan manajemen tersebut antara lain: 1. Meningkatakan kapasitas institusional dalam perencanaan pengelolaan hutan. 2. implementasi hasil pengurangan penggunaan lahan, monitoring sumber daya sebagai sumber informasi dalam mengelola dan meningktkan manejemen pengelolaan sumber daya. 3. Menggunakan metodologi pengukuran penggunaan lahan dengan criteria dan indikator untuk pengelolaan sumber daya yang lestari dan harus ditunjang dngan informasi nasional dan internasional mengenai pengelolaan sumber daya 4.Membangun database sumber daya nasional dan memaduserasikan dengan system informasi manajemen. Kepemilikan lahan Pemilik seluruh lahan dan sumberdaya alam di Zambia adalah presiden Zambia dan didelegasikan kepada seluruh pendukungnya. Konsekuensinya adalah seluruh pohon yang ada menjadi milik negara (Njovu, 2004; Lanord et al., 2007). Administrasi pengelolaannya didelegasikan kepada beberapa institusi sehingga administrasi tersebut dilakukuan oleh kepala adat ( the traditional chiefs) dan Departemen Kehutanan Zambia (Njovu, 2004; Department of forestry Zambia, 2002). Tujuan kepemilikan hutan ini oleh negara dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan konservasi sehingga membutuhkan lahan untuk dijadikan lahan konservasi, dan industri di Zambia pada umumnya kekurangan bahan mentah terutama kayu sehingga dengan dikuasainya hutan oleh negara diharapkan dapat dengan cepat untuk mencukupinya dari pembangunan hutan tanaman yang sesuai untuk industri. Klasifikasi kepemilikan hutan di Zambia seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi kepemilikan lahan di Zambia No Kategori Prosentase 1. Hutan negara (state land) 6 2. Reserve land 35 Trust land 50 3. 4. Taman Nasional (national park) 9 Sumber: Njovu, 2004 Berdasarkan klasifikasi di atas semua kepemilikan atas hutan oleh masyarakat sangat terbatas oleh peraturan yang dibuat presiden. Masyarakat hanya boleh masuk dan mengambil segala sesuatu dari hutan dengan ijin dan membayar biaya masuk hutan (Njovu, 2004). Hal ini akan berakibat rendahnya rasa memiliki dari hutan oleh masyarakat yang pada akhirnya merusak hutan itu sendiri. Menurut Lanord et al (2007), kualiatas dan kuantitas hutan di Zambia menurun tajam akibat dari kebakaran hutan, kelebihan penggembalaan, tingginya penawaran energy berbasis kayu, kurangnya pengetahuan terhadap jenis lokal sehingga tidak lestari, dan tingginya pembukaan lahan untuk bercocok tanam dengan menggunakan tebas dan bakar. Pengelolaan hutan di Zambia Luas lahan di Zambia mencapai lebih dari 50% dari luas daratan Zambia. Pengelolaan hutan di Zambia dilakukan/ didelegasikan ke Departemen Kehutanan Zambia. Departemen kehutanan Zambia telah mengelola hutan seluas lebih dari 7,2 juta ha. Praktek pengelolaan hutannya terbagi menjadi tiga yaitu: tradisional, tebang pilih, dan penebangan dengan ijin (Siame, 1997 dalam Mukumba, 2002). Pengelolaan secara tradisional adalah mendelegasikan pengelolaan hutan kepada komunitas lokal (masyarakat adat) untuk mengelola hutan secara bijak sehingga akan terbentuk hutan ada. Pengelolaan ini

18

_____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

KHAZANAH
didasarkan dari pengetahuan masyarakat lokal terhadap kelestarian sumberdaya alam. Pengelolaan hutan dengan menggunakan tebang pilih adalah pengelolaan hutan yang didasarkan pada kemampuan jenis-jenis untuk dapat tumbuh kembali sehingga kelestarian dapat terjaga. Penetapan batas penebangan sangat tergantung jenisnya, rata-rata limit diameter tebangnya 30 cm (Polanski, 1999). Penebangan dengan ijin adalah penebangan jenis tertentu harus mendapatkan ijin dari Departemen Kehutanan Zambia terutama untuk jenis-jenis lokal (Polanski, 1999) Masalah utama dalam pengelolaan hutan di Zambia adalah ketidakjelasan status kawasan hutan. Status kawasan hutan seluruhnya dikuasai oleh negara tetapi tidak didukung oleh keberadaan staff yang kapabilitasnya memadai untuk mengelola hutan Zambia secara keseluruhan (Makumba, 2002). BELAJAR DARI ZAMBIA Sertifikasi Hutan di Zambia Sertifikasi hutan di Zambia merupakan suatu keharusan dalam rangka pengelolaan hutannya. Hal ini terkait dengan produk yang akan diekspor ke luar negeri. Secara sosial ekonomi dan politik, negara ini telah masuk dalam kelompok ekonomi dunia antara lain kelompok ekonomi Afrika (African union), the Southern African Development Community (SADC) and the Common Market for East and Southern Africa (COMESA). Sertifikasi ini terutama yang terkait dengan hasil hutan bukan kayu (NWFP) yang merupakan produk utama hutan Zambia (Njovu, 2004). Kegunaan sertifikasi ini terutama untuk meningkatkan harga jual produk dan untuk dapat masuk dalam perdagangan ekonomi global yang mengharuskan sertifikasi menjadi syarat utama. Sertifikasi telah dilakukan oleh lembaga sertifikasi dunia yang pertama adalah sertifikasi dalam bidang organic yang dilakukan oleh NWBPs (North Western Bee Products Ltd.)madu kemudian diikuti oleh FSC (Forest Stewardship Council) (Njovu, 2004) Jenis sertifikasi dan produk yang telah disertifikasi di Zambia sangat banyak dan beragam. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi ekonomi di Zambia yang termasuk negara miskin. Praktek sertifikasi ini memberikan gambaran bahwa Zambia menyadari pentingnya sertifikasi terhadap produk hutannya agar dapat bersaing dalam ekonomi global. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia. Secara ekonomi, perekonomian Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan Zambia. Indonesia belum menyadari pentingnya sertifikasi terhadap produknya. Sedikit sekali produk yang telah disertifikasi. Hal ini akan berpengaruh terhadap daya saing dari produk hasil hutan Indonesia. Diversifikasi produk hasil hutan dan pengelolaannya Pada awal tahun 1960, hutan Zambia hanya sebagai penghasil kayu (Mukamba, 2002, Lapord et al. 2007; Njovu, 2004) tetapi potensi kayu saat ini di hutan alam terus berkurang. Saat ini, hasil hutan utama hutan di Zambia adalah Non-Wood Forest Product (NWFP) (Njovu, 2004). Hasil hutan bukan kayu tersebut antara lain: bambu, jenis ukiran, ulat, jamur, dan madu (Department of Forestry, 2004). Kenyataan ini menujukkan Zambia telah menyadari bahwa hutan bukan hanya menghasilkan kayu tetapi mempunyai manfaat lain yang lebih besar dari kayu. Berbeda dengan Pengelolaan hutan Indonesia yang masih berorientasi kayu (wood oriented) meskipun potensi hutan Indonesia sudah tidak layak sebagai penghasil kayu. Lebah madu lokal Afrika adalah Apis mellifera spp. yang mampu menghasilkan madu dan wax (lilin lebah) untuk keperluan industri. Untuk menjaga produksi madu tersebut tetap lestari maka hutan harus bagus. Hal ini karena secara ekologis lebah madu membutuhkan tempat untuk memproduksi lebahnya dan menghisap nectar dari bunga tanaman yang disukai. Jenis tanaman yang disukai jenis lebah madu ini adalah termitaria pada hutan yang tertutup (closed forest) (Mikels-Kokwe, 2006). PENUTUP Pengelolaan hutan sangat spesifik terkait dengan karakteristik tempat tumbuh dan kebijakan pengelolaan di suatu negara. Sertifikasi sebagai salah satu alat untuk menilai pengelolaan hutan yang lestari telah menjadi alat yang mutlak diperlukan di Zambia. Zambia sebagai negara miskin tetapi menyadari pentingnya sertifikasi terutama untuk meningkatkan daya saing produknya di pasaran internasional. Zambia telah melakukan diversifikasi hasil hutan yang dapat mengurangi tekanan terhadap hutan. Pengelolaan hutan di Zambia tidak hanya mengandalkan kayu sebagai hasil utama tetapi hasil lain yang lebih banyak manfaatnya dari kayu (madu, ulat, jamur) yang lebih ramah terhadap lingkungan dan menjamin kelestariannya. Dari praktek pengeloaan hutan di Zambia, pelajaran yang dapat kita petik adalah pengelolaan hutan Indonesia harus melihat hutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang memberikan banyak manfaat untuk kehidupan manusia sehingga hutan tidak hanya dipandang sebagai penghasil kayu semata. *)
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan

Banjarbaru-Kalimantan Selatan Referensi dari berbagai Sumber

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

19

KHAZANAH
Abstraksi Hasil Penelitin
KEHADIRAN JENIS MERANTI MERAH (Shorea johorensis Foxw) PADA HUTAN ALAM SEKUNDER DI HUTAN PENELITIAN KINTAP KALIMANTAN SELATAN (The Presence of Shorea johorensis Foxw on Secondary Natural Forest Community in Kintap Research Forest, South Kalimantan) Oleh /by : Sudin Panjaitan (Peneliti Madya bidang silvikultur pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kehadiran jenis meranti (Shorea johorensis Foxw) di Hutan Penelitian Kintap. Perlakuan yang diberikan terdiri dua (2) kondisi yaitu 1) Jenis Shorea johorensis yang kelimpahannya relatif sedikit (< 10 individu) yang terdapat dalam plot contoh, dan 2) Jenis Shorea johorensis yang kelimpahannya relatif banyak (> 10 individu) dalam plot contoh. Parameter yang diamati adalah 1) Besarnya intensitas cahaya, dan 2) Ketinggian tempat dari permukaan laut. Analisa data dilakukan dengan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Besar Intensitas cahaya yang mempengaruhi kehadiran Shorea johorensis Fowx berkisar antara 32,3 % - 36,1 %; 2) Besar intensitas cahaya yang menunjukkan kehadiran Shorea johorensis terbaik berkisar antara 32,3 % - 36,1 % ; 3) Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor tempat tumbuh yang berperan penting terhadap kehadiran S. johorensis; 4) Jenis S. johorensis ditemukan pada lokasi dengan ketinggian antara 63 - 84 meter diatas permukaan laut dimana pada ketinggian tersebut tidak berpengaruh terhadap kehadiran jenis Shorea johorensis, dan 5) Perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor tempat tumbuh lainnya yang diduga sangat mempengaruhi terhadap keberadaan S. johorensis, misalnya parameter kelerengan tempat tumbuh dan jenis tanah. Kata kunci : Intensitas, kehadiran, Meranti, Komunitas PROSPEK PENGEMBANGAN KAYU MANIS (Cinamomum burmannii) DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Sudin Panjaitan 1) Dewi Alimah 2)
1)

Peneliti Madya bidang Silvikultur pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan 2) Calon peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan
ABSTRAK

Pohon kayu manis merupakan tumbuhan asli Asia Selatan, Asia Tenggara, daratan Cina dan Indonesia. Di Indonesia, salah satu daerah yang mengembangkan tanaman kayu manis jenis C. burmannii adalah Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan ini merupakan penghasil kayu manis nomor dua setelah Sumatera. Potensi rempah-rempah di kawasan ini sangat besar, dan secara ekonomis mampu bersaing dengan produk kayu manis dari daerah mana pun. Di Kalimantan Selatan, penghasil kayu manis yang terkenal adalah di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Utara dan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Lokasi ini terletak di sepanjang punggung pegunungan Meratus. Selama ini teknik budidaya kayu manis dilakukan secara tradisional sebab kebun yang ada umumnya berupa kebun warisan dimana budidaya kayu manis hanya usaha sampingan, sehingga pengelolaannya tidak dilakukan secara intensif. Sementara itu, produksi kulit kayu manis berada ditangan petani kecil dengan kemampuan upaya peningkatan kualitas masih terbatas. Untuk memenuhi permintaan pasar ekspor, tidak cukup hanya dengan kemampuan mengekspor sebanyak mungkin, akan tetapi harus diimbangi dengan kualitas produk yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu petunjuk teknis pengembangan kayu manis sebagai salah satu upaya untuk memperoleh hasil tanaman yang produktif, berkualitas, dan dapat memenuhi kebutuhan pasar secara berkelanjutan. Kata kunci : Prospek, budidaya, kayu manis, Kalimantan

20 _____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

INFO
PEMBANGUNAN KOTA BERKONSEP KOTA HIJAU
Oleh : Ir. Yuntriswono, MP Kota hijau dikenal sebagai kota ekologis, atau dapat dikatakan kota yang sehat.Pertumbuhan kota yang cepat terjadi di Kalimantan Selatan. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi dan tumbuhnya kabupaten/kota yang baru karena otonomi daerah. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat, baik untuk hunian maupun untuk sarana dan prasarana penunjangnya. Pertumbuhan kota yang demikian tentu akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Persebaran lahan terbangun yang sangat luas mengakibatkan inefisiensi jaringan transportasi. Dampak yang ditimbulkan, meningkatnya polusi udara perkotaan,menimbulkan biaya tinggi dan pemborosan. Perkembangan kota yang overload tersebut akan menjadikan kota yang tidak layak huni. Berdasarkan keadaan itu, dalam melakukan perencanaan kota dibutuhkan pendekatan konsep yang berkelanjutan. Ada beberapa konsep pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah konsep kota hijau yang ramah lingkungan dan harmonis dengan alam di sekitarnya. Kota hijau mengutamakan keseimbangan antara perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Kota sehat juga merupakan suatu kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih. Kota sehat memungkinkan penduduknya mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat yang difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan perencanaan kota. Untuk dapat mewujudkannya, diperlukan usaha dari setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders). Konsep pembangunan kota hijau ini menekankan pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan kotakota baru. Konsep dibuat memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari pengembangan kota, selanjutnya memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal. Kota hijau dibangun dengan bercirikan : 1). Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 30% dari luas kota. RTH yang disediakan seluas 30 % dari luas kota itu bisa diwujudkan dalam proporsi 20 % berupa RTH Umum yang disediakan Pemerintah Kota dan 10 % berupa RTH Pribadi yang disediakan warga kota; 2). Infrastruktur Hijau. Kota yang dibangun menggunakan konsep kota hijau, haruslah menyediakan jalur pejalan kaki dan jalur kendaraan tidak bermotor. Lebih bagus lagi bila pada waktu tertentu dan lokasi tertentu dilaksanakan bebas kendaraan bermotor (semacam Car Free Day). 3). Transportasi Hijau. Pemerintah daerah setempat mendorong penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan berbahan bakar terbarukan, transportasi bukan kendaraan bermotor, berjalan kaki, bersepeda, delman, becak, dll. 4). Pengolahan sampah menggunakan konsep pengolahan sampah terpadu (Zero Waste). Sampah hasil berbagai kegiatan yang ada (Industri, Hotel, Rumah Makan, Rumah Tangga, dll.) diolah secara terpadu, tidak ada yang terbuang dengan menghasilkan yang lebih berguna seperti Biogas, kompos, dll. 5). Pembuangan air ke dalam tanah (Zero Run-off). Semua air buangan harus diresapkan kembali ke dalam tanah (Ekodrainase). Lebih baik lagi kalau ditiadakan pembuangan air kotor ke parit, mengingat air tersebut nantinya akan mencemari sungai, danau dan perairan yang ada. 6). Bangunan Hijau. Seluruh bangunan yang ada di perkotaan baik gedung maupun hunian dibangun dengan konsep bangunan hijau, yaitu mengalokasikan banyak tanaman (tanaman keras dan atau tanaman hias) di dalam dan di luar bangunan. 7). Partisipasi Masyarakat (Komunitas Hijau). Pembangunan Kota Hijau tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa adanya dukungan masyarakat, baik langsung maupun tak langsung. Dukungan langsung

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

21

IN FO
berupa kegiatan aksi langsung di lapangan, sedangkan Kelebihan dari konsep kota hijau adalah dapat memenuhi dukungan tak langsung bisa berupa amannya hasil kebutuhan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu pembangunan kota hijau. kawasan. Konsep Kota hijau dapat mengurangi bahkan Kota-kota di Kalimantan Selatan perlu secara cermat memecahkan masalah lingkungan, bencana alam, polusi mengatasi persoalan ledakan penduduk perkotaan akibat udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan urbanisasi yang tidak konseptual. Urbaninasi yang tidak permasalahan lingkungan lainnya. tertahankan, sangat silit kita berharap bahwa kota-kota tersebut dapat menjadi layak huni di masa mendatang. Salah satunya adalah dengan pengendalian jumlah penduduk dan redistribusinya, serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan konsep kota hijau krisis perkotaan dapat kita hindari, sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas perkotaan, apabila kita mampu menangani perkembangan kota-kota kecil dan menengah secara baik, antara lain dengan penyediaan ruang terbuka hijau, pengembangan jalur sepeda dan pedestrian, pengembangan kota kompak, dan pengendalian penjalaran kawasan pinggiran. Penerapan kota hijau pada masing-masing kawasan tidak dapat disamaratakan karena tiap-tiap daerah memerlukan kajian tersendiri. Setidaknya harus diketahui tentang karakteristik lokal, iklim makro, dan sebagainya. Daerah pegunungan RTH difungsikan untuk menahan longsor dan erosi. Daerah pantai untuk menghindari gelombang pasang. Daerah kota besar untuk menekan polusi udara, serta di perumahan, difungsikan meredam kebisingan. Jadi RTH di masing-masing kota memiliki fungsi ekologis yang berbeda. Perlu dihindari pembangunan kota hijau yang kebanyakan pelaksanaan penghijauannya tidak konseptual, sehingga menimbulkan citra penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa yang dapat mengambil manfaat positif dari penghijauan.

KONFLIK LAHAN DAN NILAI EXTERNALITAS HUTAN


OLEH : Munandar *

Kebijakan pemerintah melepaskan kawasan hutan untuk merespon kebutuhan lahan non kehutanan perlu dipertimbangkan dengan lebih matang. Setiap kebutuhan lahan, hampir selalu akan dipenuhi dari kawasan hutan. Sayangnya dalam perjalanan selanjutnya timbul konflik antara pengusaha (pemilik hak) dengan warga masyarakat di sekitarnya. Nilai Kawasan hutan sering dinilai rendah karena tidak diintegrasikan nilai externalitas di dalamnya. Pertimbangan nilai ekonomi nir externalitas agaknya lebih mengemuka. Konflik Agraria di Indonesia Konflik Agraria menjadi kepala berita paling panas akhirakhir ini. Kasus yang tidak hanya menguras tenaga dan pikiran tetapi sudah membawa korban jiwa. Mulai kasus Mesuji di Lampung, sampai Bima di Nusa Tenggara Barat mengindikasikan adanya keterkaitan pertanahan. Konflik terjadi antara warga masyarakat dengan perusahaan. Negara agraris seperti Indonesia, pemilikan tanah memang menjadi sesuatu yang khas. Pola pemilikannya, terutama bagi masyarakat pedesaan mempunyai makna yang penting bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Kita mengenal berbagai istilah tuan tanah, orang yang menguasai banyak lahan mempunyai kedudukan sosial dan nilai tawar yang tinggi di masyarakat. Buruh tani, orang yang hanya mengandalkan tenaga untuk menggarap lahan para pemilik tanah. Ketimpangan pemilika tanah, menampakkan kontrasnya kemakmuran sebagian kecil pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin. Potensi konflik yang tinggi karena kecemburuan sosial dan sekitnya alternative pekerjaan. Dapat disimpulkan, tanah selain merupakan aset ekonomi, dan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan menempati nilai tawar terendah dalam struktur masyarakat. Nilai tawar ini pula yang akhirnya menciptakan tinggi rendahnya status sosial dan akses terhadap pengambilan keputusan di tingkat desa. Konflik lahan juga tidak terlepas dari tumpang tindihnya Undang-undang yang berhubungan dengan lahan. Undangundang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria Pasal 2. menyebutkan ; (1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi,

22 _____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

INFO
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang diantaranya, huruf b, menentukan dan mengatur hubungan-huungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Undangundang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 4 ayat 2, pemerintah mengatur dan menetapkan hubungan antara orang dengan hutan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan menetapkan bahwa, Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia (pasal1). Kenyataan yang terjadi undangundang tersebut dirasa mempunyai muatan sektoral. Undang-undang no 5 tahun 1960 dirasa sudah sangat lama. Berbagai dinamika agraria tidak mendapat respon yang cukup. Undang 41 tahun 1999 seperti menguasai wilayah eksklusif di dalam Negara ini, hutan. Hal ini member kesan Undang-undang 5/tahun 60 tidak berlaku di dalam kawasan hutan. Sungguh membingungkan dalam sebuah negara hukum ada undang-undang yang tidak mencakup seluruh wilayah hukum. Sisi lain, syahwat ego sektoral diperparah oleh kebijakan ekonomi nasional yang mendewakan pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi seperti segala-galanya untuk mewujudkan kemakmuran. Investasi seperti harga mati. Kondisi ini menempatkan kelompok masyarakat yang mempunyai modal kuat atau akses yang lancar kepada kekuasaan sebagai pemegang kue terbesar atas lahan. Hutan, target pemenuhan kebutuhan lahan Nilai suatu kawasan kadang hanya dipandang sebagai sumberdaya penghasil kayu. Hutan sering dinilai rendah (undervalued). Opini yang berkembang, kawasan hutan dipandang akan lebih memberi manfaat ekonomi apabila diubah menjadi perkebunan atau pertanian. Kondisi ini menempatkan hutan pada posisi menjadi target pengalihan fungsi. Orang sering alpa memperhitungkan manfaat yang didapat dari hutan. Manfaat yang diperhitungkan lebih berfokus pada manfaat langsung (direct use ) (penyedia kayu, rekreasi, penghasil bahan makanan). Padahal, ada manfaat hutan secara tidak langsung (indirect use) berupa penyediaan dukungan bagi terpeliharanya kesuburan tanah, atau pemelihara keragaman hayati. Nilainya jika iukur dalam satuan moneter mencapai US$ 900 per hektar per tahun menurut The Economies and Ecosystems of Biodiversity 2008 (Sukhdev, 2010). Sempitnya pemahaman tentang Kawasan hutan yang menyeluruh baik secara ekonomis maupun ekologis tidak dapat meyakinkan pihak-pihak yang berwawasan ekonomi instan. Hal ini sedikit banyak mendorong upaya-upaya merubah status kawasan hutan untuk keperluan pertanian, perkebunan, pertambangan bahkan pemukiman. Penafsiran citra Landsat periode 1985-1997 menunjukan, pengurangan luasan hutan di Indonesia mencapai 22,46 juta ha atau sebesar 1,87 juta ha /tahun. Seiring bergolaknya reformasi tahun 1997-2000 kerusakan hutan meningkat tajam menjadi 2,8 juta ha/tahun(Dephut, 2006). Di dalam tubuh sector kehutanan sendiri, menyadari salah satu faktor penyebab degradasi hutan adalah permasalahan dalam manajemen pengelolaan dan ketidakjelasan institusi yang mengelola seluruh wilayah hutan yang ada. Perlu ada institusi yang dapat mengelola kawasan hutan dengan lebih baik sampai pada tingkat tapak. Institusi pengelola yang mampu menahan semakin meluasnya hutan negara yang secara de facto menjadi open access. Nilai kawasan hutan, berdasarkan nilai pasar dan nilai externalitas Nilai pasar dikenakan pada barang dan jasa yang sudah tersedia dipasar. Biasa diperjual belikan dan nilainya tergantung kepada mekanisme penawaran dan permintaan. Adanya pembukaan hutan, pinjam pakai, atau apapun yang merubah kawasan hutan ini juga berdampak terhadap aktivitas perekonomian lokal. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh langsung dan tidak langsung dari hutan. Inputinput produksi kegiatan dan aktivitas non kehutanan memberikan dampak pula. Dampak positif mungkin timbul penyerapan tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung dan berpengaruh terhadap pendapatan sebagian masyarakat yang terlibat dalam kegiatan (externalitas positif). Di sisi lain ada output-output yang hilang bersama lenyapnya kawasan hutan Perubahan ekosistem hutan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kondisi ekologi dan lingkungan di sekitarnya. Hutan yang ditebang dan di konversi secara langsung berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat. (externalitas negative). Kondisi saat ini pertimbangan memasukkan nilai externalitas belum dilakukan. Pengambil kebijakan agaknya menggunakan cara paling mudah. Sejumlah volume kayu dihutan yang ditebang dikenakan pungutan Provisi sumberdaya hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Pertanyaanya adalah apakah pungutan PSDH dan DR dapat disamakan dengan externalitas?
*) Anggota Tim Infokom

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

23

CLOSE UP
DARI TEMPAT KEGIATAN BERLANGSUNG (TKB) Berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat berkaitan kegiatan Puncak Penanaman di Sebelimbingan. Masyarakat menilai cukup penting. Beberapa orang yang ditemui Biwan memberikan testimoni seperti Savira,(24 tahun), kegiatan semacam ini harus sering dilakukan. Kesadaran masyarakat untuk ikut berperan akan lebih mempercepat target mengurangi global warning

Nang Kaya Model jua lah .. ulun?. ( Seperti model juga kah saya?)

Gadis yang satu ini berujar, tampaknya kita lebih suka yang seremonialnya aja. Tindak lanjut setelah tanaman itu kan perlu pemeliharaan agar tidak sia-sia. *)

24 _____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

LIPUTAN
Dari Kunjungan Kerja Menteri Kehutanan di Kotabaru : JEMBATAN TANJUNG AYUN SAMPAI HUTAN TANAMAN MERANTI PUTIH
oleh : Paidil, S.Hut *) Kotabaru, Biwan. Tanggal 7 Desember 2011, Menteri Kehutanan mengadakan kunjungan kerja ke kabupaten Kotabaru.Rangkaian acara yang dipusatkan di Hutan Tanaman Meranti desa Sebelimbingan Kecamatan Pulau Laut Utara ,dinilai memiliki makna yang sangat strategis. Kedatangan Menteri Kehutanan menjadi penting setidaknya diharapkan menjawab isu panas yang berkembang di masyarakat Kotabaru Kaliamantan Selatan. Pemerintah Kabupaten Kotabaru berencana membangun jembatan yang menghubungkan daratan Kalimantan dengan Pulau Laut melintasi selat laut. sederhana ketika kepentingan pembangunan sering berbenturan. SK Menhut 435, Provinsi Kalimantan Selatan, terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 59.503 ha, perubahan antar fungsi kawasan hutan seluas 99.594 ha, dan penunjukkan areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 39.747 ha yang ditetapkan melalui Kepmenhut No:SK.432/Menhut-II/2009. Kedatangan Menteri Kehutanan ujar bupati, diharapkan mampu memberikan solusi bagi kendala pembangunan jembatan yang dikenal dengan nama Tanjung Ayun Tarjun. Kendala yang dihadapi pada proses pembangunan jembatan tersebut adalah karena jembatan akan melalui kawasan hutan konservasi mangrove yang perizinannya menjadi kewenangan menteri kehutanan. Menanggapi dengan keinginan bupati dan warga masyarakat Kotabaru tentang pembangunan jembatan Tanjung Ayun Tarjun, menteri mengatakan bahwa apabila itu kehendak rakyat, Kemenhut mendukung. Dalam pembangunan jembatan tersebut menteri berpesan, sekiranya ada pengusaha daerah yang mampu apa salahnya jika diberikan kesempatan untuk membangun dan mengelolanya. Hutan Tanaman Meranti Putih Hutan Tanaman Meranti Putih dibangun oleh BUMN Kehutanan PT. Inhutani II tahun 1976. Luas semula 300 Ha ditanam dengan jarak 3 X 3 meter pada ketinggian antara 100 - 400 meter di atas permukaan lautd. Hutan Taaman Meranti di Desa Sebelimbingan, Pulau Laut Seiring bergulirnya era reformasi dan demokrastisasi hutan tanaman ini rusak dijarah oleh praktek illegal logging hingga tersisa 8,3 ha. Tegakan yang ada saat ini memiliki volume standing stock 3.101,13 m3.. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2008 telah ditanam bibit meranti sebanyak 1.169.236 batang atau setara dengan 3.722 Ha. PT. Inhutani II dan Pemerintah Kabupaten Kotabaru bertekad mengembangkan kawasan

Penandatangan Prasasti Meranti Putih oleh Menhut Zulkifli Hasan di Desa Sebelimbingan
Pada pidato selamat datangnya, bupati menyampaikan keinginan rakyat Kotabaru. Diantara keinginan itu selain Jematan Tanjung Ayun Tarjun, bupati juga ingin membuktikan bahwa Kotabaru tidak hanya mampu menebang tetapi mampu mengkonservasi jenis kayu meranti. Hutan Tanaman Meranti Putih yang dibangun oleh PT. Inhutani II akan dijadikan kawasan Hutan Wisata , Penelitian dan Pendidikan Meranti Putih . Dalam kesempatan itu Bupati mengusulkan agar kawasan itu diberi nama Hutan Tanaman Meranti Putih ZULKIFLI HASAN. Ditempat itu juga Menhut menandatangani Prasasti Meranti Putih untuk menandai diresmikannya Hutan Tanaman Meranti Putih sebagi kawasan Hutan Wisata , Penelitian dan Pendidikan. Pemerintah kabupaten Kotabaru dalam upaya membangun fisik, mengembangkan pertanian dan perkebunan memerlukan lahan yang memadai. Permasalah menjadi tidak

Hutan dan pepohonan menyediakan oksigen gratis untuk kita setiap hari. Sungguh layak bila kita berinfak untuk kelestarian hutan kita.
Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

25

LIPUTAN
Korea, Mr. Dong Byun. Bantuan Langsung juga diberikan kepada Kelompok Tani Pengembangan Perhutanan Masyarakat berbasis Konservasi , bantuan bibit kepada Kelompok Tani Pengelola Kebun Bibit Rakyat (KBR) dan Penyerahan Penghargaan kepada Pemenang Lomba Penghijauan Konservasi Alam kategori Pohon Sengon.

Dialog dengan masyarakat mpok Tani


Pada kunjungan kerja tersebut menteri berkesempatan mengadakan dialog dengan kelompok warga masyarakat yang tergabung dalam beberapa kelompok tani. Masyarakat menyambut baik program bantuan kebun bibit rakyat untuk kelompok tani di Kabupaten Kotabaru. Masyarakat berharap pada beberapa tahun ke depan menteri dapat berkunjung kembali untuk melihat perkembangan kebun bibit rakyat yang telah dibuat. Pada gilirian berikutnya seorang penanya menyatakan kebingungannya mengapa

hutan tanaman meranti ini sebagai kawasan Hutan Wisata, Penelitian dan Pendidikan. Inti Pidato Menteri Kehutnanan Pidato Menteri Kehutanan pada intinya mengajak seluruh komponen masyarakat bahwa pandangan lama yang menganggap alam diciptakan untuk manusia sebaiknya ditinggalkan. Anggapan alam diciptakan untuk manusia telah mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap hutan dan lingungan yang cenderung semena-mena. Akibat yang mulai dirasakan adalah kerusakan lingkungan, perubahan iklim dan pemanasan global yang mengancam kehidupan manusia. Diperkirakan beberapa tahun ke depan dunia akan kekurangan pangan karena perubahan iklim yang ekstrim menurut beberapa pendapat ahli, ujar menteri. Sependapat dengan pandangan ecocentris, yang menempatkan manusia dan alam pada posisi seimbang, menteri mengingatkan semua pihak agar tidak ada dominansi antara manusia, flora, fauna, tanah dan air dalam pengelolaan lingkungan hidup. Berkenaan dengan pengembangan Hutan Tanaman Meranti, menteri berjanji akan membantu pendanaan melalui berbagai kegiatan yang bersinergi dengan program kementerian kehutanan. Menanggapi dengan keinginan bupati dan warga masyarakat Kotabaru tentang pembangunan jembatan Tanjung Ayun Tarjun, menteri mengatakan bahwa apabila itu kehendak rakyat, Kemenhut mendukung. Dalam pembangunan jembatan tersebut menteri berpesan sekiranya ada pengusaha daerah yang mampu apa salahnya jika diberikan kesempatan untuk membangun dan mengelolanya. Penyerahan bantuan secara simbolis Menteri Kehutanan berkenan menyerahkan secara simbolis bantuan bibit kepada kedutaan besar Republik Federasi

kementerian kehutanan dengan pengenaan ketentuan SK.435 ke SK.453. Hal ini menyebabkan terkendalanya progress pembangunan di daerah. Menanggapi pertanyaan tersebut menteri menjelaskan bahwa keputusan yang ditetapkan selalu mendasarkan pada masukan daerah dan mempertimbangkan aspek-aspek lain untuk keperluan yang lebih luas (P)

26 _____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

LENSA BIWAN

MENUNGGU BAPAK MENTERI. Gadis kecil in rela berpanas dibawah matahari demi menyambut Menhut Zulkifli Hasan

Ratusan Pelajar dan warga Masyarakat desa Sebelimbingan bersiap menyambut Menhut

Sosok Hutan Tanaman M e r a n t i Putih di Desa Sebelimbingan

AKHIRNYA.... SELAMAT DATANG PAK MENTERI !

Menhut menyempatkan menanam pohon bersama-sama masyarakat

meranti

Menhut Zulkifli Hasan didampingi Gubernur Kalsel Rudy Ariffin menyerahkan secara simbolis bantuan bibit kepada kedutaan besar Republik Federasi Korea, Mr. Dong Byun.

Biwan No 15/Tahun VII/ 2011____________________________________________________________________

27

28 _____________________________________________________________________Biwan No 15/Tahun VII/ 2011

Anda mungkin juga menyukai