Anda di halaman 1dari 7

PERKEMBANGAN GEODINAMIKA INDONESIA

0 Comments Published by GEOLOGICAL ENGINEERING 2001 on Friday, August 18, 2006 at 11:42 AM.

PERKEMBANGAN GEODINAMIKA INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN GEODINAMIKA REGIONAL ET Paripurno Indonesia dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tatanan geologi yang unik dan rumit. Keunikan dan keruwetan kondisi geologi ini sudah banyak diuraikan oleh para peneliti terdahulu dengan berbagai pendekatan konsep tektonik klasik / fixis. Konsep tektonik fixis adalah konsep yang berpandangan bahwa terbentuknya geosinklin sampai pegunungan terjadi pada tempat yang tetap (Sudradjat, 1997). Hubungan antar lempeng dapat bersifat menjauh (divergent), mendekat (convergent), berpapasan (strike-slip) dan miring (oblique). Pergerakan lempeng merupakan respon atas proses pendinginan bumi akibat kegiatan magmatisme di daerah pemekaran. Pergerakan lempeng dikontrol oleh sebaran lateral, densitas dan ketebalan kerak sebagai hasil utama pendinginan. Konfigurasi tektonik saat ini merupakan representasi dari hasil pertemuan konvergen tiga lempeng sejak jaman Neogen. Pola dan perkembangan tektonik Indonesia lebih mudah dipahami dengan menerapkan pola pemikiran tektonik yang baru, yaitu berdasarkan pola pemikiran konsep tektonik mobilist, antar lain konsep pengapungan benua, konsep tektonik lempeng atau konsep tektonik global. Berpangkal dari teori ini, kepulauan Indonesia dianggap sebagai jalur produk tumbukan 3 lempeng litosfer, yaitu: (1) lempeng Indo-Australia, yang bergeser ke utara, (2) lempeng Pasifik yang bergeser ke barat dan (3) lempeng Asia Tenggara yang bergeser relatif ke Selatan. Berdasarkan pengukuran Very-long Baseline Interferometry, VLBI (Pratt, 2001) diketahui bahwa saat ini lempeng samudera Indo-Australia, yang bergeser ke barat-laut dengan kecepatan rata-rata 5,5 7 cm/tahun; lempeng samudera Pasifik yang bergeser ke barat-laut dengan kecepatan rata-rata lebih dari 7 cm/tahun dan lempeng benua Asia Tenggara yang bergeser ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 2,6 sampai 4,1 cm/tahun. Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung, punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung selama Kenozoikum Tengah Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989) Menurut Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai kemiringan sekitar 7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit longitudinal, serta menunjukkan pembentuk lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen klastik tersebut terutama berasal dari Sungai Gangga dan Brahmaputra di India, yang berjarak 3.000 km dari palung.

Busur akresi terbentuk selebar 75 150 km dari palung dengan ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh imbrikasi internal serta pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang merupakan hasil penggilasan simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan muka busur mengalami migrasi, relatif menuju ke arah kraton. Formasi bancuh di busur akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan yang berhubungan dengan subduksi, bukan oleh luncuran di lereng punggungan akresi. Cekungan muka busur berada di antara punggungan muka busur dan garis pantai sistem penunjaman Sunda dengan lebar 150 - 200 km. Bagian dasar cekungan Jawa dan Sumatera mempunyai kecepatan tipikal litosfer samudera, dengan kecepatan di sektor Sumatera lebih besar dari litosfer samudera. Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 130 km. Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok. Komposisi vulkanik muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter litosfer dengan magma yang dierupsikan. Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas tenggara lempeng Burma. Provinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat Sunda. Di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini konvergensi sepanjang propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman antara 5o 8o. Sedimen memiliki ketebalan antara 200 900 m. Imbrikasi di bawah punggungan muka busur mempunyai ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis. Kerangka tektonik utama antara Jawa dan Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda yang dianggap sebagai zona diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi Jawa dan Sumatera busur Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng Burma. Namun apabila dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan Jawa Barat. Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur menurun dari 6.000 5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di utara dan 1 km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke utara antara 7,0 5,7 cm/tahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini diasumsikan sangat berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera. Pada Propinsi Sumatera Utara - Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung menajam ke barat, dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara barat-laut. Palung mempunyai kedalaman berkisar antara 3.500 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini sangat miring dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6 4,1 cm/tahun. Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara selatan dengan kedalaman sekitar 3.000 m. Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan penunjaman berkisar antara 0,7 0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh pemekaran di laut Andaman, dengan lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari lempeng Eurasia. Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka busur menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan endapan di propinsi ini sekitar 8.000 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi terbentuknya sesar Sagaing di Burma.

Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda Sesar besar Sumatra dan Pulau Sumatra merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan lempeng samudera sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer (Hamilton, 1979). Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempenglempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori indentasi pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982). Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman. Bagian selatan Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) Sesar Sumatera menunjukkan sebuah pola geser kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman, (2) lokasi gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar, (3) cekungan busur muka terbentuk sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama, (4) punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk sederhana, (5) sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka dan cekungan busur muka relatif utuh, dan (6) sudut kemiringan tunjaman relatif seragam. Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) sesar Sumatera berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman, (2) busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera, (3) kedalaman cekungan busur muka 1 ~ 2 kilometer, (4) punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat beragam, (5) homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya, dan (6) sudut kemiringan penunjaman sangat tajam. Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik: (1) sepanjang 350 kilometer potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman, (2) busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatera, (3) topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2 ~ 0.6 kilometer, dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring , (4) busur luar terpecah-pecah, (5) homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan cekungan busur muka tercabik-cabik, dan (6) sudut kemiringan penunjaman beragam.

Proses penunjaman miring di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan adanya pembagian / penyebaran vektor tegasan tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus dengan arah zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini terutama berada di prisma akresi dan slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini tidak cukup diakomodasi oleh sesar Sumatera tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga disebut zona sesar Mentawai (Diament, 1992). Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara geometri akan mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi antara dua lempeng tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan terjadinya proses peregangan di antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut sebagai lempeng mikro Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen sejajar palung harus semakin besar ke arah barat-laut. Sebagai konsekuensi dari kenaikan slip-vector pada daerah busur-muka ini, maka secara teoritis akan menaikkan slip-rate di sepanjang sesar Sumatera ke arah barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan radiometrik dari unsur yang terofsetkan di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi (Natawidjaja, Sieh, 1994). Pengukuran slip-rate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang sebesar 11 milimeter / tahun (Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11 milimeter / tahun (Zen dkk, 1991) Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan India Australia dengan arah tumbukan 10N ~ 7S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang masing-masing segmen 60 ~ 200 kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75S ~ 5.9S), segmen Semangko (5.9S ~ 5.25S), segmen Kumering (5.3S ~ 4.35S), segmen Manna (4.35S ~ 3.8S), segmen Musi (3.65S ~ 3.25S), segmen Ketaun (3.35S ~ 2.75S), segmen Dikit (2.75S ~ 2.3S), segmen Siulak (2.25S ~ 1.7S), segmen Sulii (1.75S ~ 1.0S), segmen Sumani (1.0S ~ 0.5S), segmen Sianok (0.7S ~ 0.1N), segmen Barumun (0.3N ~ 1.2N), segmen Angkola (0.3N ~ 1.8N), segmen Toru (1.2N ~ 2.0N), segmen Renun (2.0N ~ 3.55N), segmen Tripa (3.2N ~ 4.4N), segmen Aceh (4.4N ~ 5.4N), segmen Seulimeum (5.0N ~ 5.9N) Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian barat, pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang relatif stabil; sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra Australia dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai busur kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil. Perbedaan sudut penunjaman antara propinsi Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batas busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di selat Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola kenampakan anomali gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan namun jika dilakukan pembangingan dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatra secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga. Tektonik Indonesia Barat dan Timur

Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng telah lama dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di Indonesia dilakukan oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975, 1978, 1980). Secara setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk menjelaskan gejala geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak (1986) menerapkannya untuk memahami keruwetan Sulawesi. Sartono (1990) mengemukakan bahwa tatanan tektonik Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur geosiklin ini merupakan zona akibat proses tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua yang bekerja pada waktu itu terdiri dari kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak samudra Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Tatanan tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi Indonesia Barat (Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara keberadaan benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia bagian timur.

ANALISA FRAKTAL MEKANIKA KEGEMPAAN SISTEM SESAR SUMATRA PhD Theses from JBPTITBPP / 2008-08-28 16:00:14 Oleh : SIGIT SUKMONO (NIM 32293001), S3 - Engineering Sciences Dibuat : 1997, dengan 16 file Keyword : gempa, fraktak mekanika, sistem sesar sumatra Perilaku pergeseran bidang sesar sangat tergantung dari perilaku koefisien gesek () bidang sesar tersebut. Gempa terjadi bila harga koefisien gesek dinamik bidang sesar (d) tersebut lebih kecil daripada koefisien gesek statiknya (g). Besar harga g akan mengontrol waktu perulangan gempa pada sesar tersebut (At), sedangkan besar nilai s - d akan mengontrol besar energi seismic yang dipancarkan pada saat gempa terjadi. Salah satu penyebab utama kesulitan pendugaan terjadinya gempa adalah karena sangat tidak teraturnya harga ini disepanjang bidang sesar. Karena koefisien gesek lebih merupakan sifat kontak ("contact property") daripada sifat massa ("bulk property"), maka besar harga akan sangat dipengaruhi oleh derajat ketidakteraturan geometri asperiti (pennukaan kontak) bidang sesar tersebut. Hal ini merupakan penjelasan kwalitatif dari hasil penelitian penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa perilaku kegempaan sistem sesar sangat dilcontrol oleh derajat ketidakteraturan geometri sesar tersebut (Scholz, 1990; Segall dan Pollard, 1980; King, 1983). Dalam penelitian ini hubungan antara derajat ketidakteraturan geometri sesar dan perilaku kegempaan sesar tersebut dirumuskan secara kwantitatif dan hasilnya digunakan untuk menganalisis mekanika dan pola kegempaan Sistem Sesar Sumatra (SSS). Geometri bidang sesar adalah fenomena fraktal sehingga derajat ketidakteraturannya dapat dlkwantifikasilcan dengan dimensi fraktal D. Nilai D yang besar

berasosiasi dengan geometri yang Ieblh tidak teratur dan sebaliknya. Geometri yang lebih tidak teratur akan mengakibatkan yang lebih besar dan waktu perulangan gempa (At) yang lebih lama.Ini berarti bahwa segmen sesar dengan nilai D yang kecil mempunyai nilai p. yang lebih kecil dan waktu perulangan gempa yang lebih singkat dibandingkan segmen dengan D yang lebih besar. Hubungan analitik antara nilai D dan mekanika kegempaan sistem sesar dapat dilihat dari dua aspek kesetimbangan energi : statik dan dinamik. Dan aspek kesetimbangan energi statik didapatkan hubungan bahwa energi regangan internal kritik per satuan isi (E) sesaat sebelum gempa, pada saat terjadi gempa akan terserap sebagai tingkat kerusakan material yang dikontrol oleh parameter densitas material dan dimensi fraktal geometri sesar sesuai persamaan : dimana p adalah densitas material dalam gr/cm3, dan a, B, n konstanta. Akibatnya, pada dua buah segmen sesar yang terbentuk dari mekanisme tektonik yang sama, kombinasi harga densitas dan dimensi fraktal tertentu akan mengakibatkan waktu perulangan gempa At tertentu pula. Dan aspek kesetimbangan energi dinamik didapatkan hubungan bahwa energi seismik (Es) yang diradiasikan pada saat terjadi gempa, terserap sebagai tingkat kerusakan material yang dikontrol oleh parameter densitas material dan dimensi fraktal geometri sesar. Akibatnya, pada dua buah segmen sesar yang terbentuk dari mekanisme tektonik yang sama dan mempunyai harga H yang sama, kombinasi harga densitas dan dimensi fraktal tertentu akan mengakibatkan terbentuknya waktu perulangan gempa tertentu pula. Untuk melihat hubungan antara nilai D dan mekanika kegempaan SSS, telah dibuat peta rinci segmentasi dan geometri segmen-segmen SSS pada skala 1:250.000. Hasilnya menunjukkan bahwa SSS terdiri atas 11 segmen dengan nilai D berkisar antara 1,00 -1,24, yaitu berturutturut dari ujung baratlaut ke ujung tenggara P. Sumatra : 1) Segmen Aceh, D = 1,07 0,02 2) Segmen Alas, D = 1,19 0,03 3) Segmen Toru, D = 1,07 0,03 4) Segmen Asik, D = 1,06 0,01 5) Segmen Singkarak, D = 1,00 0,03 6) Segmen Muaralaboh, D = 1,15 0,01 7) Segmen Kerinci, D = 1,01 0,02 8) Segmen Seblat, D = 1,01 0,02 9) Segmen Kepahiang, D = 1,02 0,03 10) Segmen Ranau, D = 1,21 0,03 11) Segmen Semangko, D = 1,24 0,03

Ke 11 segmen SSS tersebut terletak pada dua blok kerak seismogenik dengan sifat fisik yang

berbeda. Segmen dengan D = 1,00-1,15 terletak pada blok dengan densitas 2,75 gr/cm3 dan litologi utama granitik. Segmen dengan D = 1,19 -1,24 terletak pada blok dengan densitas 2,90 gr/cm3 dan litologi utama ofiolit. Terdapat pola teratur yang disebut sebagai pola fraktal kegempaan SSS, yang menghubungkan waktu dan lokasi terjadinya gempa besar dangkal disepanjang ke 11 segmen tersebut dengan dimensi fraktal setiap segmen. Berdasarkan pola fraktal tersebut dan sifat kerak seismogenik sepanjang SSS, maka ke 11 segmen sesar Sumatra dapat dikelompokkan menjadi 2 blok atau 3 sub blok segmen, yakni :

a. Blok I dengan litologi utama granitik, D = 1,00 - 1,15 (D = 1,05), p = 2,75 gr/cm3, K = 2,19 dan A t = 6 tahun. Blok ini terdiri atas 2 sub blok, yaitu :

i) Blok la dengan litologi utama granitik, D=1,00-1,02 (D = 1,01), p = 2,75 gr/cm3, K = 1,96 dan A t = 5 tahun. ii) Blok lb dengan litologi utama granitik, D=1,06-1,15 (D = 1,075), p = 2,75 gr/cm3, K= 2,41 dan A t= 7 tahun.

b. Blok II dengan litologi utama ofiolit, D = 1,19 - 1,24 (D = 1,213), p = 2,90gr/cm3, K = 2,19 dan A t = 11 tahun.

Perbandingan nilai D, p dan K blok-blok segmen tersebut menghasilkan pola perulangan gempa At sesuai persamaan empirik dan analitik yang telah dirumuskan diatas. Dari pola fraktal kegempaan SSS tersebut teramati juga adanya urutan kegempaan yang teratur, yakni satu urutan selalu dimulai dengan 4-5 gempa pada Blok I diikuti 1-2 gempa pada Blok II dan beda waktu antara gempa terakhir pada Blok I dengan gempa pertama pada Blok II relatif sangat singkat (harian-bulanan). Dengan simulasi metoda 2 blok peluncur tidak simetrik diketahui bahwa urutan kegempaan seperti itu terjadi akibat perbandingan gaya gesek maksimum / statik (Fs) kedua blok tersebut adalah Fs,/Fs2 = 1,05. Harga FsI/FS2 tersebut hampir sama dengan nilai perbandingan nilai D maksimum dua blok segmen SSS (D2/D1=1,07) bersangkutan dan mendukung kebenaran hubungan empirik D. Pola fraktal tersebut memungkinkan pendugaan jangka panjang (jangka waktu tahunan) kemungkinan terjadinya gempa besar disepanjang segmen Sesar Sumatra. Hal itu telah dibuktikan dengan pendugaan yang baik bagi terjadinya gempa Kerinci 7 Oktober 1995 dan gempa Toni 10 Oktober 1996, jauh sebelum gempa tersebut terjadi. Jadi, sumbangan utama metoda fraktal dalam analisis mekanika kegempaan sistem sesar adalah kemampuan metoda ini untuk menguantifikasikan derajat ketidakteraturan geometri bidang sesar yang sangat mengontrol harga dan mekanika kegempaan sesar tersebut. Akibat dari kemampuan itu, pola kegempaan yang mula-mula terlihat tidak teratur dan tidak dapat diduga, berubah menjadi sesuatu yang bersifat teratur dan memungkinkan. untuk diduga. Hasil penelitian ini berguna bagi pemahaman yang sempurna mengenai mekanika kegempaan SSS dan penerapan metoda fraktal untuk analisa kegempaan sistem sesar. Hasil penelitian juga berguna bagi usaha mitigasi bencana gempa disepanjang SSS dan dapat digunakan sebagai acuan bagi pengembangan wilayah disekitar SSS. Meskipun demikian, masih diperlukan studi lebih lanjut, baik di SSS maupun di sistem sesar lainnya, untuk menguji apakah perilaku fraktal kegempaan SSS tersebut konsisten dan berlaku secara umum di sistem-sistem sesar lainnya atau hanya berlaku secara lokal saja di SSS.

Anda mungkin juga menyukai