Anda di halaman 1dari 33

Tektonik Umum

Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Pada Daratan Sunda ini terdapat dua
sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan Lempeng Samudera Hindia di selatan.
Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia) bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan
Lempeng Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam
ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983).
Pulau jawa yang terlihat saat sekarang adalah akibat adanya pergerakan dua lempeng yang bergerak
saling mendekat dan mengalami tabrakan, dimana proses tersebut relatif bergerak menyerong (oblique)
antara lempeng samudra hindia pada bagian barat daya dan lempeng Benua Asia bagian tenggara
(eurasian), dimana lempeng samudra hindia akan menyusup ke lempeng asia tenggara. Pada zone
subduksi akan dihasilkan palung jawa (Java trench) dengan pergerakan relatif 7 cm/tahun. Pada zone
subduksi terdiri dari “Acctionary Complex ” yang materialnya secara garis besar dari lantai samudra
india pada busur muka Jawa.
Fase Tektonika
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah
timurlaut menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus,
dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst
(tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari
Timurlaut Sumatra –Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin)
berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir-
Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi
Karangsambung- Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia Tenggara telah
dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah
timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di
Sumur Rubah- 1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya
Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking (mera-patnya) fragmen mikrokontinen pada
bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus dan
terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus.
 
 
Gambar 1. Rekonstruksi tektonika Pulau Jawa akhir kapur-paleogen
Evolusi tektonik tersier pulau jawa memasuki periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan). Periode
ini terjadi Antara 54 jtl-45 jtl (Eosen), dimana di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng
ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India.
Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan
anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton
Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di
selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar
wilayah Asia Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-
cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal
sebagai endapan syn-rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang
sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement
mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa,
dan Kalimantan Tenggara).
 

 
Gambar 2. Rekonstruksi tektonika Pulau Jawa pada eosen

Pada jaman Eosen itu juga disertai oleh pengangkatan terhadap jalur subduksi,sehingga di beberapa
tempat tidak terjadi pengendapan. Pada saat ituterjadi pemisahan yang penting antara bagian utara
Jawa dengan cekungannya yang dalam dari bagian selatan yang dicirikan oleh lingkungan engendapan
darat, paparan dan dangkal. Proses pengangkatan tersebut berlangsung hingga menjelang Oligosen
akhir. Proses yang dampaknya cukup luas (ditandai oleh terbatasnya sebaran endapan marin Eosen-
Oligosen di Jawa dan wilayah paparan Sunda), dihubungkan puladengan berkurangnya kecepatan gerak
lempeng Hindia-Australia (hanya 3 cm/tahun). Gerak tektonik pada saat itu didominasi oleh sesar-sesar
bongkah, dengan cekungan-cekungan terbatas yang diisi oleh endapan aliran gayaberat (olistotrom dan
turbidit)
Oligosen Akhir-Miosen Awal, terjadi gerak rotasi yang pertama sebesar 20° ke arah yang berlawanan
dengan jarum jam dari lempeng Sunda (Davies, 1984). Menurut Davies, wilayah-wilayah yang terletak
di bagian tenggara lempeng atau sekitar Pulau Jawa dan Laut Jawa bagian timur, akan mengalami
pergeseran-pergeseran lateral yang cukup besar sebagai akibat gerak rotasi tersebut. Hal ini
dikerenakan letaknya yang jauh dari poros rotasi yang oleh Davies diperkirakan terletak di kepulauan
anambas. Akibat gerak rotasi tersebut, gejala tektonik yang terjadi wilayah pulau Jawa adalah:
a. Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang mengarah barat-timur berubah menjadi timur timurlaut-barat
baratdaya (ENE-WSW)
b. Sesar-sesar geser vertical (dip slip faults) yang membatasi cekungan cekunganmuka busur dan
bagian atas lereng (Upper slope basin), sifatnya berubah menjadi sesar-sesar geser mendatar.
Perubahan gerak daripada sesar tersebut akan memungkinkan terjadinya cekungancekungan “pull
apart” khususnya di Jawa Tengah utara dan Laut Jawa bagian timur, termasuk Jawa Timur dan Madura.
Menjelang akhir Miosen Awal, gerak rotasi yang pertama daripada lempeng Mikro Sunda mulai berhenti.
c. Miosen Tengah terjadi percepatan pada gerak lempeng Hindia-Australia dengan 5-6 cm/th dan
perubahan arah menjadi N200°E pada saat menghampiri lempeng Mikro Sunda. Pada Akhir Miosen
Tengah, terjadi rotasi yang kedua sebesar 20°-25°, yang dipicu oleh membukanya laut Andaman
(Davies, 1984)
Berdasarkan data kemagnitan purba, gerak lempeng Hindia-Australia dalam menghampiri lempeng
Sunda, mempunyai arah yang tetap sejak Miosen Tengah yaitu dengan arah N200°E. Dengan arah yang
demikian, maka sudut interasi antara lempeng Hindia dengan Pulau Jawa akan berkisar antara 70° (atau
hampir tegak lurus) Perubahan pola tektonik terjadi dijawa barat sebagai berikut :
a. Cekunagn muka busur eosen yang menampati cekungan pengendapan bogor, berubah statusnya
menjadi cekungan belakang busur, dengan pengendapan turbidit (a.l. Fm. Saguling)
b. Sebagai penyerta dari interksi lempeng konvergen, tegasan kompresip yang mengembang
menyebapkan terjadinya sesar-sesar naik yang arahnya sejajar dengan jalur subduksi dicekunagn
belakang busur. Menurut Sujono (1987), sesar- sesar tersebut mengontrol sebaran endapan kipas-kipas
laut dalam. Di jawa tengah pengendapan kipas-kipas turbidit juga berlangsung didalam cekungan
“belakang busur” yang mengalami gerak-gerak penurunan melalui sesar-sesar bongkah dan
menyebapkan terjadinya sub cekungan.

Produk subduksi
a. Outer arc (busur luar)
Pada subduksi antara lempeng samudra hindia dengan lempeng Eurasia di selatan pulau jawa tidak
terbentuk pulau-pulau lepas pantai namun hanya berupa punggungan dibawah permukaan laut, hal ini
dapat terjadi karena adanya pengaruh kecepatan lempeng yang akan mempengaruhi tektonik, pola
sedimentasinya serta struktur pada daerah atas zone subduksinya.
b. Fore arc basin (cekungan didepan zona subduksi)
Terbentuk sepanjang batas tumbukan lempeng yang letaknya dekat dengan zone penunjaman dan
letaknya antara busur luar non vulkanik (outer arc) dan busur vulkanik. Pada pulau jawa, fore arc basin
membentang luas pada lempeng benua dan terbentuk pada akhir paleogen berupa sedimen recent dan
terjadi karena proses pemekaran lantai samudra pada oligecen dan diikuti dengan uplift dan erosi secara
regional.
c. Vulcanic active arc (Busur vulkanik aktif)
Merupakan jajaran gunungapi yang terbentuk akibat adanya perpanjangan zone subduksi “sunda arc
system”. Akibat tumbukan dua lempeng tersebut akan mengakibatkan berkurangnya gerak lempeng
hindia-australia ke utara, sehingga akan mengakibatkan adanya adanya gerak berlawanan jarum jam
(gerak rotasi) dari lempeng dataran sunda sehingga akan terbentuk jalur sesar naik (thrust) dari
sebelah barat jawa dan bergerak relatif ke utara (Berbaris sampai Kendeng Thrust) dan diperpanjang
hingga bali (Bali Thrust) dan sampai Flores (Flores trhust). Pada miosen tengah lempeng mengalami
percepatan hingga akan terjadi pembentukan busur magma di sebelah selatan jawa dan pengaktifan
kembali sesar-sesar disertai dengan kegiatan volkanisme (berupa intrusi dan pembentukan gunung api).
c. Back arc basin (cekungan dibelakang zona subduksi)
Disebelah utara busur jawa dan pada laut jawa cekungan busur belakng ., pada lempeng benua
dihasilkan pada paparan sunda dan lempeng samudtra padasebelah utara bali dan flores> Cekungan
pada paparan sunda dibentuk pada palageogen akhir sebagai “rift basin” dan kemudian pada Neogen
akhir prosesnya dipengaruhi oleh tekanan pada sunda orogency dan selanjutnya terdeformasi menjadi
tight hingga lipatannya membentuk isoclinal. Yang termasuk pada Cekungan busur dalam (back arc
basin) ialah Cekungan Jawa barat (meliputi Cekungan sunda di sebelah barat, Cekungan belintang di
timur laut, dan Cekungan cirebon di bagian timur) dan Cekungan Jawa timur (meliputi Cekungan jawa
tengah bagian utara dan Cekungan madura.
Ulasan singkat tentang tektonik dan sedimentasi Pulau Jawa ini dimaksudkan untuk memberi bekal

latarbelakang geologi yang bersifat regional kepada para peserta ekskursi. Ulasan ini diharapkan

membantu para peserta dalam memahami gejala-gejala geologi yang ditemui selama ekskursi dan

kaitan atau implikasinya dengan geologi regional. Waktu ekskursi yang singkat dan meliputi daerah

yang terbatas tidak memungkinkan untuk melakukan pendalaman geologi secara intensif namun

berdasarkan lokasi-lokasi pengamatan yang telah diseleksi dan didukung dengan pemahaman akan

geologi regional diharapkan ekskursi ini dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.

KERANGKA TEKTONIK PULAU JAWA

Fisiografi dan konfigurasi tektonik Kepulauan Indonesia masa kini yang komplek merupakan hasil

interaksi sejak Neogen tiga lempeng litosfer utama: Lempeng Laut Filipina (Philippine Sea plate) yang

bergerak (10 cm/th) kearah NNW; Lempeng Indo-Australia (Indo-Australian plate) yang bergerak (8

cm/th) ke arah NNE, dan Lempeng Erasia (Eurasian plate) yang stasioner, bergerak jauh lebih lambat ke

arah SE (4 cm/th) (Gambar 1). Berdasarkan karakteristik geologi dan geofisika, Simandjuntak &

Barber (1996) membagi wilayah Kepulauan Indonesia menjadi 5 wilayah: (1) Wilayah tenggara

Lempeng Erasia yang membentuk wilayah cratonkontinental Daratan Sunda (Sundaland) yang meliputi

Sumatra, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat; (2) Wilayah lempeng samudera Laut Filipina di timurlaut;

(3) Wilayah craton benua Australia, ke utara meliputi Irian Jaya dan Paparan Arafura dan Sahul; (4)

Wilayah Lempeng Samudera Hindia; dan (5) Wilayah zona transisi yang menandai zona interaksi

lempeng masa kini dengan seismisitas yang aktif dan volkanisme mulai dari bagian barat Sumatra,

Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara dan Banda, Utara Irian melalui Sulawesi dan Maluku, ke arah utara ke

Kepulauan Filipina. Di zona ini subduksi lempeng tetap aktif serta dicirikan oleh lempeng-lempeng

mikrokontinen yang membentuk zona-zona tumbukan.

Interaksi lempeng-lempeng yang membentuk Kepulauan Indonesia menghasilkan berbagai tipe jalur

orogen (orogenic belts). Simandjuntak & Barber (1996) mengenali enam tipe jalur orogen (Gambar 2):

Gambar 1: Kerangka tektonik wilayah Kepulauan Indonesia (Simandjuntak & Barber, 1996).

Gambar 2: Tipe-tipe jalur orogen Neogen Indonesia (Simandjuntak & Barber, 1996).

1. Orogen Sunda (Sunda Orogeny) di Jawa dan Nusa Tenggara: melibatkan subduksi lempeng

samudera dengan arah tegaklurus, menghasilkan jalur orogen tipe Andean beserta palung,

komplek akresi, cekungan depan-busur (forearc basin), busur magmatik dimana gunungapi

tumbuh di tepi kontinen Sundaland.

2. Orogen Barisan (Barisan Orogeny) di Sumatra: dengan arah konvergen miring (oblique

convergence) sehingga menghasilkan sistem sesar mendatar Sumatra pada busur magmatiknya,


dan sepanjang sesar ini pula suatu segmen kerak kontinen bergerak ke arah utara di sepanjang

bagian barat Sundaland.

3. Orogen Talaud (Talaud Orogeny) di bagian utara Laut Maluku: konvergensi busur

magmatik oceanic Sangihe dan Halmahera dengan Lempeng Laut Maluku.

4. Orogen Sulawesi (Sulawesi Orogeny) di Sulawesi timur: tumbukan blok-blok mikrokontinen

dengan sistem subduksi di sepanjang tepi timur Sundaland.

5. Orogen Banda (Banda Orogeny) di Kepulauan Banda, di wilayah antara Pulau Sumba dan

Tanimbar: tumbukan antara tepi utara kontinen Australia dengan sistem subduksi di sepanjang

bagian selatan Busur Banda.

6. Orogen Melanesia (Melanesian Orogeny) di Pulau Papua: suatu tahapan lebih lanjut tumbukan tepi

utara kontinen Australia dengan busur magmatik pada Lempeng Laut Filipina yang dimulai pada

Miosen Awal.

Aktifitas orogen di sebagian besar jalur-jalur orogen ini dimulai pada kala Miosen Tengah dan proses

orogenik masih tetap berlangsung sampai sekarang.

Pembagian Kepulauan Indonesia menjadi 6 tipe jalur orogen di atas menunjukkan Pulau Jawa

merupakan pulau utama yang penting di Indonesia bagian barat disamping Pulau Sumatra dan

Kalimantan. Memahami perkembangan tektonik Pulau Jawa berarti mengetahui bagian utama dari

tektonik Indonesia bagian barat. Tataan tektonik Pulau Jawa menunjukkan ciri khas produk interaksi

konvergen  antara lempeng samudera dan lempeng benua.  Lempeng samuderanya adalah lempeng

Indo-Australia yang bergerak ke utara dan menunjam di bawah lempeng benuanya yakni lempeng

Eurasia yang relatif stabil dan disini  diwakili oleh paparan Sunda. Pertemuan lempeng ini menghasilkan

busur volkanik busur  (volcanic arc) dan jalur penunjaman (subduction zone), atau palung (trench),  dan

telah berlangsung sejak zaman akhir Kapur – Paleosen (100-52 juta tahun).

Pulau Jawa seperti yang tampak sekarang mencerminkan kondisi geologi masa kini dan geologi

Neogen (Gambar 3), meskipun demikian jejak kondisi geologi yang lebih tua masih dapat ditelusuri

berdasarkan singkapan-singkapan batuan Pra-Tersier dan Paleogen ditempat-tempat tertentu di Pulau

Jawa seperti di Ciletuh (Jawa Barat), Karangsambung, Bayat, dan Nanggulan (Jawa Tengah). Singkapan

batuan Pra-Tersier, seperti yang  ditunjukkan oleh singkapan batuan kompleks melange (batuan bancuh

atau campur aduk) Luk Ulo-Karangsambung dan kompleks batuan metamorf Bayat dan berlanjut ke

arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara Kalimantan, merupakan bagian dari lajur konvergensi

lempeng berumur Kapur Akhir-Paleosen (Asikin, 1974; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson et al.,

1998) (Gambar 4). Sementara itu terdapatnya jalur magmatik Oligo-Miosen (atau OAF= Old Andesite

Formation, Van Bemmlen, 1949) berarah T-B di sepanjang bagian selatan Pulau Jawa menunjukkan

adanya sistem subduksi lempeng Tersier yang lebih muda (Soeria-Atmadja et al., 1994) (Gambar

5).  Dari sini dapat disimpulkan bahwa selama Paleogen, yakni sejak Paleosen sampai Oligosen, terjadi

evolusi geologi yang cukup signifikan, terutama di wilayah Jawa Tengah-Jawa Timur, ditandai dengan
berubahnya arah lajur subduksi yang pada zaman Kapur Akhir-Paleosen berarah TL-BD menjadi T-B

pada zaman Tersier (Gambar 6).

STRUKTUR REGIONAL PULAU JAWA

Jalur penunjaman Kapur-Paleosen  yang ditunjukkan oleh singkapan batuan Komplek  Melange Luk Ulo-

Karangsambung (Asikin, 1974; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson et al., 1998) mempunyai

arah umum struktur TL-BD yang mengarah ke arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara

Kalimantan.  Pulunggono dan Martodjojo (1994) mengenali tiga arah struktur utama di Pulau Jawa: Arah

timurlaut-baratdaya atau Pola Meratus, arah utara-selatan atau Pola  Sunda, dan arah timur-barat atau

Pola Jawa (Gambar 7). Disamping tiga arah struktur utama ini, masih terdapat satu arah struktur

utama lagi, yakni arah baratlaut-tenggara yang disebut Pola Sumatra (Satyana, 2007). Pola Meratus 

dominan di kawasan lepas pantai utara, ditunjukkan oleh tinggian-tinggian Karimunjawa, Bawean,

Masalembo dan Pulau Laut (Guntoro, 1996).  Di Pulau Jawa arah ini terutama ditunjukkan oleh pola

struktur batuan Pra-Tersier di daerah Luk Ulo, Kebumen Jawa Tengah.  Pola Sunda yang berarah utara-

selatan umum terdapat di lepas pantai utara Jawa Barat dan di daratan di bagian barat wilayah Jawa

Barat. Arah ini tidak nampak di bagian timur pola Meratus. Pola Jawa yang berarah timur-barat

merupakan pola yang mendominasi daratan Pulau Jawa, baik struktur sesar maupun struktur

lipatannya. Di Jawa Barat pola ini diwakili oleh Sesar Baribis, serta sesar sungkup dan lipatan di dalam

Zona Bogor. Di Jawa Tengah sesar sungkup dan lipatan  di Zona Serayu Utara dan Serayu Selatan

mempunyai arah hampir barat-timur. Di Jawa Timur pola ini ditunjukkan oleh sesar-sesar sungkup dan

lipatan di Zona Kendeng. Struktur Arah Sumatra terutama terdapat di wilayah Jawa Barat dan di Jawa

Tengah bagian timur struktur ini sudah tidak nampak lagi. Struktur arah barat-timur atau Arah Jawa, di

cekungan Jawa Timur ternyata ada yang lebih tua dari Miosen Awal, dan disebut Arah Sakala

(Sribudiyani et al., 2003). Struktur Arah Sakala yang utama adalah zona sesar RMKS (Rembang-

Madura-Kangean-Sakala) dan merupakan struktur yang menginversi cekungan berisi Formasi Pra-

Ngimbang yang berumur Paleosen sampai Eosen Awal sebagai endapan tertua. Sebagian besar batuan

tertua di Jawa, yakni yang berumur Pra-Tersier sampai Paleogen dan dianggap sebagai batuandasar

Pulau Jawa, tersingkap di wilayah Jawa

Gambar 3: Kerangka tektonik Pulau Jawa (modifikasi dari Baumann, 1982; dan Simandjuntak dan

Barber 1996).

Gambar 4: Elemen-elemen tektonik di wilayah tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland) (Hamilton,

1979).

Gambar 5: Jalur magmatik Tersier Pulau Jawa (Soeria-Atmadja et al., 1994).

Gambar 6: Jalur subduksi Kapur sampai masa kini di Pulau Jawa (Katili 1975, dalam Sujanto et al.,

1977).
Gambar 7: Pola struktur Pulau Jawa (Martodjojo & Pulunggono, 1994) (RMKS = Rembang-Madura-

Kangean-Sakala).

bagian timur. Mereka tersingkap di Komplek Melange Luk Ulo-Karangsambung, Kebumen (Asikin, 1974;

Suparka, 1988); Nanggulan, Kulonprogo (Rahardjo et al., 1995); dan Pegunungan Jiwo, Bayat-Klaten

(Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Samodra dan Sutisna, 1997).  Sedangkan untuk batuan yang lebih

muda, yakni yang berumur Neogen, telah banyak penelitian dilakukan terhadapnya (Van Bemmelen,

1949; Marks, 1957; Sartono, 1964; Nahrowi et al, 1978; Pringgo-prawiro, 1983; De Genevraye dan

Samuel, 1972; Soeria-Atmadja et al., 1994). Pada umumnya penelitian geologi Tersier ini menyepakati

fenomena struktur atau tektonik  yang berarah umum timur-barat sebagai hasil interaksi lempeng

dengan zona tunjaman di selatan Jawa dan searah dengan arah memanjang Pulau Jawa.

Struktur Umum Jawa Bagian Timur

Jawa bagian timur (mulai dari daerah Karangsambung ke timur), berdasarkan pola struktur utamanya,

merupakan daerah yang unik karena wilayah ini merupakan tempat perpotongan dua struktur utama,

yakni antara  struktur arah Meratus yang berarah timurlut-baratdaya dan struktur arah Sakala yang

berarah timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar 8). Arah Meratus

lebih berkembang di daerah lepas pantai Cekungan Jawa Timur, sedangkan arah Sakala berkembang

sampai ke daratan Jawa bagian timur.

Struktur arah Meratus adalah struktur yang sejajar dengan arah jalur konvergensi Kapur

Karangsambung-Meratus. Pada awal Tersier, setelah jalur konvergensi Karangsambung-Meratus tidak

aktif, jejak-jejak struktur arah Meratus ini berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola

struktur tinggian dan dalaman seperti, dari barat ke timur, Tinggian Karimunjawa,  Dalaman Muria-Pati,

Tinggian Bawean, Graben Tuban, JS-1 Ridge, dan Central Deep (Gambar 9).Endapan yang mengisi

dalaman ini, ke arah timur semakin tebal, yang paling tua berupa endapan klastik terestrial yang dikenal

sebagai Formasi Ngimbang berumur Eosen. Distribusi endapan yang semakin tebal ke arah timur ini

menunjukkan pembentukan struktur tinggian dan dalaman ini kemungkinan tidak terjadi secara

bersamaan melainkan dimulai dari arah timur. Struktur arah Sakala yang berarah barat-timur saat ini

dikenal sebagai zona sesar mendatar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala). Pada mulanya struktur

ini merupakan struktur graben yang diisi oleh endapan paling tua dari Formasi Pra-Ngimbang yang

berumur Paleosen-Eosen Awal (Phillips et al., 1991; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar 9B). Graben ini

kemudian mulai terinversi pada Miosen menjadi zona sesar mendatar RMKS. Berdasarkan sedimen

pengisi cekungannya dapat disimpulkan sesar arah Meratus lebih muda dibandingkan dengan sesar arah

Sakala.

Selain arah Sakala, struktur arah barat-timur lainnya adalah struktur yang oleh Pulunggono dan
Martodjojo (1994) disebut sebagai arah Jawa. Struktur ini pada umumnya merupakan jalur lipatan dan

sesar naik akibat kompresi yang berasal dari subduksi Neogen Lempeng Indo-Australia. Jalur lipatan dan

sesar naik ini terutama berkembang di Zona Kendeng  yang membentuk batas sesar berupa

zona overthrust antara Zona Rembang dan Zona Kendeng (Gambar 10). Bidang overthrust yang

nampak memotong sampai ke lapisan yang masih berkedudukan horisontal menunjukkan

pensesarannya terjadi paling akhir dibandingkan dengan pembentukan struktur yang lain (Arah Meratus

dan Arah Sakala).

Gambar 9: Penampang seismik baratlaut-tenggara yang menunjukkan jejak-jejak struktur Arah

Meratus yang berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola struktur tinggian dan

dalaman (Prasetyadi, 2007; sumber: Pertamina-Beicip, 1985; Ditjen Migas).

Gambar 10: Penampang seismik utara-selatan yang menunjukkan zona overthrust sebagai batas

antara Zona Rembang dan Zona Kendeng (Prasetyadi, 2007; Sumber: Data seismik dari PND-Ditjen

Migas).

STRATIGRAFI REGIONAL JAWA BAGIAN TIMUR

Uraian stratigrafi daerah Jawa bagian timur ditekankan disini mengingat ekskursi yang akan dilakukan

meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pembagian zona fisiografi Jawa yang dibuat oleh Van Bemmelen (1949) (Gambar 11), pada dasarnya

juga mencerminkan aspek struktur dan stratigrafinya (tektonostratigrafi). Berdasarkan aspek struktur

dan stratigrafi, Smyth et al. (2005) membagi Jawa bagian timur menjadi empat zona tektonostratigrafi,

dari selatan ke utara: (1) Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountain Zone), (2) Busur Volkanik

masa kini (Present-day Volcanic Arc), (3) Zona Kendeng (Kendeng Zone), dan (4) Zona

Rembang (Rembang Zone) (Gambar 12). Pembagian ini menganggap Pegunungan Serayu

Selatan (South Serayu Mountain) (Van Bemmelen, 1949) sebagai bagian dari Zona Pegunungan Selatan,

sedangkan Zona Randublatung (Van Bemmelen, 1949) sebagai bagian dari Zona Rembang. Stratigrafi

Zona Pegunungan Selatan, Zona Kendeng, dan Zona Rembang, telah banyak dikaji oleh para peneliti

terdahulu (Sartono, 1964; De Genevraye dan Samuel, 1972; Baumann et al.,1972; Asikin, 1974;

Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Nahrowi et al, 1978; Sujanto dan Sumantri, 1977; Pringgoprawiro,

1983; Pertamina-Robertson Research, 1986; Phillips et al., 1991; Bransden dan Matthews, 1992;

Samodra et al., 1993; Rahardjo et al., 1995; Smyth et al., 2005) dan hasil penelitian terdahulu ini

dirangkum dalam Gambar 16. Rangkuman ini dibuat dengan maksud agar  diperoleh gambaran secara

lebih menyeluruh tentang stratigrafi wilayah Jawa bagian timur terutama meliputi tiga dari empat zona

di atas, yakni Zona Pegunungan Selatan, Zona Kendeng, dan Zona Rembang. Stratigrafi Busur Volkanik

masa kini tidak dibahas karena hampir seluruhnya terdiri dari endapan Kuarter.
4.1. Karakter Batuandasar (Basement)

Berdasarkan penanggalan UPb SHRIMP dari butiran-butiran mineral zircon yang dipisahkan dari batuan-

batuan sedimen, volkanik dan intrusif di Jawa Timur, Smyth et al. (2005) berhasil mendapatkan

informasi penting tentang karakter batuandasar Jawa Bagian Timur. Sampel-sampel zircon memberikan

suatu kisaran umur mulai dari Kenozoikum sampai Archean (Pra-Kambrium). Zircon berumur

Kenozoikum dijumpai dalam batuan-batuan sedimen, volkanik dan intrusif Jawa Timur yang

menunjukkan umur aktifitas volkanik dan pengendapan sedimennya. Sampel zircon yang menunjukkan

umur Kapur terbatas di bagian utara dan barat Jawa Timur yang kemungkinan mirip dengan

batuandasar di Karangsambung dan di daerah Rembang High  yang berdekatan dengan Tinggian

Meratus (Gambar 13). Beberapa sampel hanya mengandung umur Kenozoikum dan Kapur. Sampel

yang mengandung zircon Kapur umumnya tidak mengandung zircon Archean. Sumber-sumber untuk

zircon Kapur kemungkinan besar adalah batuan kontinental Sundaland. Sementara itu sejumlah sampel

Gambar 11: Zona-zona Fisiografi Jawa (Van Bemmelen, 1949).

Gambar 12: Zona tektonostratigrafi Jawa bagian timur (modifikasi dari Smyth et al., 2005).

berasal dari Pegunungan Selatan mengandung zircon berumur Kambrium sampai Archean (Pra-

Kambrium). Terdapatnya umur Archean menunjukkan batuan magmatiknya menerobos batuandasar

asal-Gondwana di bawah Jawa Timur. Kisaran-kisaran umur yang mencirikan zircon Pegunungan Selatan

sangat mirip dengan yang dijumpai di Perth Basin, Australia Barat. Kemiripan ini menunjukkan zircon

dalam sampel Pegunungan Selatan memiliki provenan (asal sumber) dari Australia Barat. Dengan

demikian dapat diinterpretasikan terdapatnya afinitas fragmen kontinen Gondwana yang berasal dari

Australia barat sebagai batuandasar Pegunungan Selatan Jawa Timur. Hal ini didukung juga oleh

fenomena terpisahnya sejumlah fragmen kontinen dari tepi benua Australia selama Mesozoikum

sebelum pemisahan India dengan Gondwana. Suatu fragmen kontinen Australia telah hadir di Jawa

Timur pada zaman Kapur, dan tumbukannya dengan tepi tenggara Sundalandkemungkinan besar terjadi

sebelum awal Kenozoikum karena kenyataannya batuan berumur Eosen Tengah menumpang di atasnya.

Gambar 13: Distribusi sampel penanggalan zircon (Smyth et al., 2005)

Gambar 14: (A) Anomali gayaberat, dan (B) Karakter batuandasar Jawa bagian timur (Smyth et al.,

2005).

Empat wilayah batuandasar dikenali oleh Smyth et al. (2005): Rembang High, Southern Mountain,

Kendeng Zone, dan Western Block  (Gambar 14).

 Rembang High: Terletak di bagian utara Jawa Timur dan merupakan daerah yang terangkat

selama Kenozoikum dan memiliki endapan sedimen yang tipis dibandingkan dengan daerah
cekungan di selatannya. Litologi batuandasarnya dari pemboran dilaporkan terdiri batuan

metamorf, batuan bek, mirip dengan yang terdapat di Jalur Pegunungan Meratus dan

diinterpretasikan sebagai kompleks akrasi Kapur.

 Southern Mountain: Bukti dari penanggalan zircon menunjukkan terdapatnya kerak kontinen di

bawah busur volkanik (OAF) Pegunungan Selatan dengan anomali gayaberat Bouguer positif yang

tinggi, dan terdapatnya zircon Pra-Kambrium.

 Kendeng Zone: Sifat batuandasar zona ini tidak dapat dipastikan karena tebalnya sekuen sedimen

yang menutupinya. Zona Kendeng dikenal karena anomali Bouger negatifnya yang menonjol dan

menunjukkan batuandasarnya sangat dalam, mengandung sedimen dengan tebal 8 km sampai 11

km (de Genevraye & Samuel, 1972, Untung & Sato, 1978). Batuandasarnya diperkirakan memiliki

sifat transisional antara tipe komplek akresi (Rembang High) dan kontinental (Southern Mountain).

 Western Block: Daerah ini dibatasi oleh Sesar Progo-Muria yang berarah TL-BD yang menandai

berakhirnya secara mendadak anomali gayaberat negatif Kendeng Depocenter dan Rembang High.

Batuandasar di sebelah barat sturktur ini, di Jawa Tengah, merupakan komplek akresi Melange

Luk-Ulo Karangsambung.

Meskipun Smyth et al. (2005) mengenali 4 zona batuandasar di atas, namun hasil analisis provenan

batupasir kuarsa Eosen dari daerah-daerah Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa

Timur menunjukkan bahwa batupasir Eosen Karangsambung memiliki karakter provenan yang sangat

berbeda dengan batupasir Eosen dari ketiga daerah lainnya sehingga diinterpretasikan tatanan tektonik

dan karakter batuandasar daerah Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa Timur memiliki kemiripan

sebagai basement kontinental (Prasetyadi, 2007) (Gambar 15).

Gambar 15: Hasil analisis provenan batupasir Eosen dari daerah Karangsambung, Nanggulan, Bayat,

dan Cekungan Jawa Timur (Prasetyadi, 2007).

Stratigrafi Zona Pegunungan Selatan

Zona ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang endapannya terdiri dari batuan-batuan siliklastik,

volkaniklastik, volkanik dan karbonat dengan kedudukan umum perlapisannya miring ke selatan. Zona

Pegunungan Selatan dialasi secara tidak selaras oleh batuandasar berumur Kapur seperti yang

tersingkap di daerah Karangsambung dan Bayat. Di Karangsambung singkapannya terdiri dari himpunan

batuan komplek akresi yang dikenal sebagai Komplek Melange Luk Ulo yang terdiri dari blok-blok filit,

sekis biru, eklogit, ultramafik, ofiolit, basalt, kalsilutit dan rijang tertanam dalam matrik serpih tergerus

(Asikin, 1974). Di daerah Bayat, singkapan batuandasar terdiri dari filit, sekis, dan marmer (Sumarso

dan Ismoyowati, 1975).

Batuan sedimen tertua yang diendapkan  di atas ketidak-selarasan menyudut terdiri dari konglomerat

berfragmen batuan dasar dan batupasir seperti yang terdapat dalam Formasi Nanggulan dan Formasi
Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah. Di atas konglomerat dan batupasir kuarsa terdapat

endapan bersekuen transgresif yang terdiri dari batubara, batupasir dan batulanau. Pada Formasi

Nanggulan, batupasir pada bagian atas mengandung material volkanik dan sisipan batulempung tufaan

(Smyth et al., 2005). Kehadiran lapisan batugamping numulit menandai dimulainya pengendapan di

lingkungan lautan. Di lingkungan pengendapan yang lebih dalam di daerah Karangsambung, secara

tidakselaras di atas batuandasar Komplek Melange Luk Ulo, diendapkan satuan olistostrom Formasi

Karangsambung dan Formasi Totogan. Kandungan material volkanik Zona Pegunungan Selatan ini  ke

arah bagian atas meningkat sedangkan proporsi material batuan dasar makin berkurang. Ketebalan

endapan bagian bawah zona ini diperkirakan mencapai 1000 m dengan singkapan terbatas dijumpai di

bagian barat, yakni di Karangsambung (diwakili oleh Formasi Karangsambung), Nanggulan (Formasi

Nanggulan), dan Bayat (Formasi Wungkal-Gamping). Sekuen batuan bagian bawah ini oleh Smyth et al.

(2005) disebut sebagai Synthem One Zona Pegunungan Selatan. Synthem adalah satuan

kronostratigrafi suatu satuan batuan sedimen yang dibatasi oleh ketidakselarasan dan menunjukkan

suatu siklus sedimentasi yang dipengaruhi oleh perubahan muka air laut relatif atau tektonik. Batas atas

sekuen bagian bawah Zona Pegunungan Selatan ini di daerah Nanggulan dan Bayat merupakan

ketidakselarasan Intra-Oligosen sementara di daerah Karangsambung pengendapan berlangsung

menerus (Asikin et al., 1992).

Gambar 16: Rangkuman stratigrafi regional Jawa bagian timur dari peneliti terdahulu (kiri), modifikasi

dari Smyth et al., 2005 (kanan).

Di atas bidang ketidakselarasan diendapkan suatu seri endapan yang terutama terdiri dari endapan

volkaniklastik dari Formasi Kaligesing di Kulonprogo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1986); Kebobutak di

Bayat ( Surono et al., 1992), dan Formasi Besole (Sartono, 1964) dan Formasi Mandalika (Samodra et

al., 1992) di Pacitan, berumur Oligo-Miosen dan meliputi seluruh daerah Zona Pegunungan Selatan.

Sekuen endapan volkaniklastik ini, yang oleh Smyth et al. (2005) disebut sebagai Synthem Two Zona

Pegunungan Selatan, merekam perkembangan dan berakhirnya Busur Volkanik Oligo-Miosen

Pegunungan Selatan. Aktifitas volkaniknya meliputi daerah yang luas, explosif dan diperkirakan

berjenis Plinian-type (Smyth et al., 2005). Komposisi endapannya berkisar mulai dari andesitik sampai

rhyolitik dan litologinya terdiri dari abu volkanik yang tebal, tuf, breksi batuapung, breksi andesitik,

kubah lava dan aliran lava dengan ketebalan berkisar mulai dari 250 m sampai lebih dari 2000 m. Akhir

atau batas atas dari sekuen volkaniklastik ini ditandai oleh peristiwa volkanik yang singkat yang

kemungkinan besar berupa suatu erupsi super (Erupsi Semilir) yang menghasilkan Formasi Semilir

(Smyth et al., 2005).

Setelah periode ketika volkanisme Oligo-Miosen jauh berkurang aktifitasnya, bahkan mati, kemudian

tererosi dan materialnya diendapkan kembali sebagai sekuen endapan berikutnya. Disamping itu sekuen

endapan berikutnya juga dicirikan oleh perkembangan paparan karbonat yang luas seperti yang

dijumpai di daerah Wonosari (Formasi Wonosari) dan Pacitan (Formasi Punung dan Formasi
Campurdarat). Endapannya mencapai ketebalan sekitar 500 m dan terumbu berkembang pada daerah-

daerah tinggian yang dibatasi sesar atau di daerah-daerah bekas gunungapi. Di bagian puncaknya

terdapat lapisan-lapisan debu volkanik mengandung zircon yang berdasarkan penanggalan U-Pb SHRIMP

menunjukkan umur antara 10 dan 12 jtl (Smyth et al., 2005). Umur ini diperkirakan berkaitan dengan

munculnya kembali aktivitas volkanik pada Miosen Akhir, di posisi dimana Busur Sunda masa kini

berada.

4.3. Stratigrafi Zona Kendeng

Zona yang terletak diantara Busur Volkanik masa kini dan Zona Rembang ini merupakan deposenter

utama endapan Eosen-Miosen dan mengandung sekuen yang tebal sedimen volkanogenik dan pelagik.

Zona ini sekarang merupakan lajur lipatan dan sesar anjakan berarah barat-timur.

Bagian bawah sekuen endapan zona ini tidak tersingkap namun sebagian kecil ada yang terbawa ke

permukaan oleh aktifitas poton atau gunung lumpur (mud volcano)seperti yang terdapat di daerah

Sangiran  (Itihara et al., 1985). Fragmen-fragmen batuan yang terbawa ke permukaan, berupa

batupasir gampingan dan konglomerat mengandung Nummulites, mirip dengan sebagian karakter

litologi sekuen bagian bawah Zona Pegunungan Selatan dan disebut Synthem One  Zona Kendeng

(Smyth et al., 2005). Di atas sekuen bagian bawah ini diendapkan sekuen tebal yang umumnya terdiri

dari batupasir volkaniklastik dan batulempung pelagik dari Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi

Kalibeng (De Genevraye dan Samuel, 1972). Formasi Pelang, berumur Miosen Awal, terdiri dari napal

kaya foram dengan sisipan batugamping mengandung foram besar, diendapkan dilingkungan neritik.

Ketebalannya mencapai 125 m dan bagian bawahnya tidak tersingkap. Formasi Pelang dibatasi oleh

kontak sesar dengan Formasi Kerek yang terdiri dari endapan turbidit batulempung dan napal

berselingan dengan batupasir gampingan dan tufan. Di beberapa tempat terdapat lapisan konglomerat

dengan fragmen batugamping dan material volkanik dan lapisan batugamping (Batugamping Kerek)

pada bagian atas formasi ini. Berdasarkan kandungan foram plankton umur Formasi Kerek menunjukkan

umur Miosen Akhir dan diendapkan di lingkungan laut dalam. Formasi Kalibeng yang diendapkan di atas

Formasi Kerek didominasi oleh napal globigerina dengan sedikit sisipan batugamping. Berdasarkan

kandungan foram plankton formasi ini menunjukkan umur Miosen-Pliosen dan juga diendapkan

dilingkungan laut dalam.  Batupasir  volkaniklastik sekuen ini diinterpretasikan terbentuk di bagian

selatan di  lereng utara komplek volkanik Oligo-Miosen Zona Pegunungan Selatan dan ke arah utara

merupakan tempat pengendapan sedimen yang berbutir lebih halus dari sedimen pelagiknya. Walaupun

diendapkan di bagian cekungan yang lebih dalam batulempungnya masih mengandung material

volkanogenik.

Di bagian baratdaya Zona Kendeng terdapat Lutut Bed dengan ciri yang sangat berbeda dengan

karakter umum endapan Zona Kendeng (Smyth et al., 2005). Walaupun berada di lingkungan yang

didominasi oleh endapan volkaniklastik, batuan Lutut Bed banyak mengandung kuarsa dan fragmen
batuandasar (rijang, sekis, dan basalt), fragmen batupasir kuarsa Eosen dan batubara. Terdapatnya

hasil rombakan batuandasar dan batuan Eosen ini menunjukkan adanya pengangkatan dan erosi pada

Miosen Awal.

Seri endapan laut dalam di Zona Kendeng diakhiri dengan pengendapan Batugamping Klitik Formasi

Sonde (Pringgoprawiro, 1983). Formasi Sonde terdiri dari batugamping lempungan dan napal dengan

sisipan batugamping wackstonemengandung Balanus (Koesoemo, 2003). Sekuen endapan bagian atas

Zona Kendeng didominasi oleh endapan volkaniklastik yang terdiri batupasir konglomeratan, batupasir

tufan, breksi volkanik dari Formasi Pucangan, Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro. Terdapatnya

moluska air tawar, fragmen hominoid pada Formasi Pucangan dan terdapatnya endapan lahar dan

fluvio-volkanik pada Formasi Notopuro menunjukkan lingkungan pengendapan terestrial dan berumur

Pleistosen. Sekuen endapan bagian atas Zona Kendeng ini menunjukkan munculnya kembali aktifitas

volkanik pada Plistosen yang merupakan cikal bakal Busur Volkanik masa kini di Jawa.

4.4. Stratigrafi Zona Rembang

Zona ini umumnya terdiri dari sekuen Eosen-Pliosen yang meliputi endapan tepian paparan seperti

sedimen klastik laut dangkal dan endapan karbonat yang luas. Batuandasar yang mengalasi Zona

Rembang didominasi oleh berbagai jenis batuan metamorf berumur Kapur seperti batusabak (Sumur

Purwadadi-1), filit (Sumur Kujung-1) dan batuan beku diorit (Sumur NCJ-1). Endapan tertua di zona ini,

yang disebut Formasi Pra-Ngimbang, yang dijumpai di bagian timur Zona Rembang berdasarkan data

sumur. Formasi ini terdiri dari batupasir, batulanau, dan serpih dengan sisipan batubara dan

berdasarkan kandungan  fosil nanno menunjukkan umur Paleocene sampai Eosen Awal (Phillips et al.,

1991). Walaupun tidak tegas namun diinterpretasikan batasnya tidak-selaras dengan Formasi Ngimbang

yang diendapkan di atasnya. Formasi Ngimbang yang berumur Eosen Tengah terdiri dari tiga anggota:

Anggota Klastik Ngimbang, Anggota Karbonat Ngimbang, dan Anggota Serpih Ngimbang (Phillips et al.,

1991). Anggota Klastik Ngimbang, yang menyusun bagian bawah Formasi Ngimbang, terdiri dari

batupasir dan konglomerat yang ke atas berangsur menjadi batupasir, serpih dan lapisan batubara.

Bagian bawah umumnya diendapkan di lingkungan terestrial sedangkan bagian atas diendapkan di

lingkungan laut dangkal. Anggota Karbonat Ngimbang diendapkan sebagai akibat terjadinya transgresi

dari arah selatan yang menggenangi Daratan Sunda ke arah barat dan utara. Puncak transgresi ini

ditandai dengan pengendapan Anggota Serpih Ngimbang, yang terdiri dari serpih gampingan, di

lingkungan neritik luar sampai bathyal. Batupasir Formasi Ngimbang banyak mengandung kuarsa dan

diperkirakan memiliki sumber kontinental lokal (Sribudiyani et al., 2003). Sekuen transgresif ini, yang

oleh Smyth et al. (2005) disebut Synthem One Zona Rembang,  diakhiri oleh ketidakselarasan Intra-

Oligosen dan ditumpangi oleh endapan karbonat Formasi Kujung. Bidang perlapisan di atas dan di

bawah bidang ketidakselarasan mempunyai orientasi yang tidak jauh berbeda sehingga ketidakselarasan

ini diinterpretasikan sebagai akibat penurunan muka air laut (Smyth et al., 2005).
Sekuen di atas endapan Formasi Pra-Ngimbang dan Formasi Ngimbang didominasi oleh endapan

karbonat Formasi Kujung dan Formasi Prupuh yang berumur Oliogosen. Dominasi endapan karbonat ini

menunjukkan berkurangnya input material klastik yang kemungkinan disebabkan baik oleh naiknya

muka air laut ataupun oleh berkurangnya kondisi relief di daerah sumbernya. Menurut Smyth et al.

(2005) endapan karbonat Oligo-Miosen ini, yang disebut sebagai Synthem TwoZona Rembang,  ada

yang mengandung lapisan material volkanik yang diinterpretasikan sebagai hasil endapan jatuhan dari

Busur Volkanik Pegunungan Selatan.  Pengendapan suatu seri batuan siliklastik dan karbonat di atas

Formasi Kujung menandai priode terjadinya perubahan pola sedimentasi secara besar-besaran. Hal ini

ditunjukkan oleh Endapan karbonat murni Formasi Kujung ke arah atas berubah menjadi endapan asal-

daratan Formasi Tuban dan Formasi Ngrayong yang berumur Miosen Tengah. Formasi Ngrayong

merupakan endapan terestrial sampai laut dangkal yang dicirikan oleh banyaknya kandungan kuarsa. Di

atas Formasi Ngrayong, endapannya dicirikan kembali oleh endapan karbonat berumur Miosen Akhir

sampai Pliosen dari Formasi-formasi Bulu, Wonocolo, Ledok dan Mundu. Fase regresi menandai bagian

atas Zona Rembang seperti ditunjukkan oleh endapan batupasir globigerina  Formasi Selorejo dan

batulempung Formasi Lidah  sebelum diendapkan Formasi Paciran sebagai satuan batugamping termuda

di zona ini (Pringgoprawiro, 1983).

5. SEJARAH TEKTONIK PULAU JAWA

5.1. Pemekaran Lantai Samudera Hindia

Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Pada Daratan Sunda ini terdapat dua

sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan Lempeng Samudera Hindia di selatan.

Lempeng Laut Cina Selatan bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan Lempeng

Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah

sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983). Untuk Pulau Jawa, yang terbesar

pengaruhnya adalah sistem gerak Lempeng Samudera Hindia. Oleh karena itu dalam mempelajari

evolusi tektonik Pulau Jawa perlu dipahami perkembangan pemekaran lantai Samudera Hindia dari

waktu ke waktu.

Sebelum ditemukannya fosil pusat pemekaran Wharton Ridge, pengetahuan tentang sejarah

perkembangan Samudera Hindia terbatas hanya pada terdapatnya tiga fase pemekaran lantai samudera

sejak pecahnya Benua Gondwana bagian timur (Liu dkk, 1983).

 Fase pemekaran pertama terjadi pada Kapur Awal (127 jtl) ketika India terpisah dari Antartika dan

Australia pada arah baratlaut-tenggara.

 Fase pemekaran kedua terjadi antara pembentukan anomali magnetik 34 dan 22 (atau antara 82

jtl sampai 54 jtl) yang ditandai oleh India terpisah dari Antartika dan menjauh ke utara dengan

cepat. Fase ini ditunjukkan oleh kelurusan anomali magnetik berarah barat-timur. Kemudian pada
anomali 22 (atau 54 jtl) kecepatan pergerakan India ke utara menurun secara mencolok karena

diperkirakan mulai terjadi kontak pertama antara Benua India dengan zona subduksi di selatan

Asia.

 Fase pemekaran ketiga, atau fase yang terakhir, terjadi mulai dari anomali 19 (atau 45 jtl) sampai

sekarang ditunjukkan oleh anomali 19 sampai anomali 0 (nol) dengan arah baratlaut-tenggara

yang memisahkan India dan Australia dari Antartika.

Sejarah perkembangan Samudera Hindia ini direvisi oleh Liu dkk (1983) berdasarkan hasil studi anomali

magnetik Wharton Ridge, suatu pusat pemekaran berarah baratdaya-timurlaut yang berhenti

aktivitasnya pada anomali 20 (45,6 jtl). Indikasi pertama keberadaan Wharton Ridge dilaporkan oleh

McDonald (1977, dalam Liu dkk., 1983). Dalam studinya tentang sedimentasi dan struktur kipas

bawahlaut Nicobar, yang menutupi lantai samudera di bagian baratlaut Cekungan Wharton, dikenali

serangkaian tinggian batuan dasar berarah baratdaya-timurlaut di bawah lapisan sedimen dan

menamakan tinggian ini sebagai Wharton Ridge. Dia juga berpendapat bahwa tinggian atau pematang

ini mewakili segmen pusat pemekaran yang belum menyusup di bawah Palung Sunda.

Berdasarkan identifikasi anomali magnetik di daerah sekitar Wharton Ridge serta hasil dari DSDP (Deep

Sea Drilling Project) di dekatnya, Liu dkk.(1983) mengemukakan urutan perkembangan Samudera

Hindia bagian timur sebagai berikut (Gambar 17) :

(1)  India terpisah dari Antartika-Australia dengan arah baratlaut-tenggara pada anomali magnetik M-11

(atau sekitar 127 jtl), yang menandai pecahnya benua purba Gondawana bagian timur.

(2)  Pada Kapur Tengah, antara pembentukan anomali M-0 dan anomali 34 (atau antara 110-82 jtl),

terjadi reorganisasi lempeng secara besar-besaran yang pertama. Pergerakan relatif antara India dan

Antartika berubah menjadi berarah utara-selatan dan Australia mulai memisahkan diri dari Antartika.

(3)  Pada Kapur Akhir, selama periode pembentukan anomali 34 sampai anomali 22 (atau antara 82-54

jt), India terus bergerak ke utara dengan cepat, sementara Australia bergerak menjauh dari Antartika

dengan sangat lambat. Pada saat itu terbentuk triple junction di tempat dimana sesar transform 86ºE

yang berarah utara-selatan menyatu dengan pusat pemekaran India-Antartika yang berarah barat-

timur. Pada saat itu India dan Australia berada di dua lempeng yang berbeda dipisahkan oleh pusat

pemekaran Wharton.

(4)  Antara pembentukan anomali 22 dan anomali 19 (atau antara 54jt – 45 jt), reorganisasi lempeng

yang kedua terjadi ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara

India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah

pembentukan anomali 19 (atau 45 jt). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan
matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona

subduksi di selatan Asia pada 54 jtl.

(5)  Setelah pembentukan anomali 19 (sekitar 45 jtl), aktifitas pusat pemekaran di selatan Australia  (SE

Indian Ridge), yang memisahkan India-Australia dan Antartika, berlangsung hingga sekarang. Pada saat

itu, dengan telah matinya pusat pemekaran Wharton, India dan Australia berada pada satu lempeng

tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Di bagian barat Benua India terus bergerak ke utara,

membentur dengan keras (hard collision) Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya, sementara di

bagian timur Lempeng Samudera Hindia terus menunjam di Palung Sunda.

 Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah  geodinamik aktif,

yang jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi  beberapa fase tektonik  dimulai dari

Kapur Akhir  hingga sekarang

 Periode Kapur Akhir – Paleosen

Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah

timurlaut menghasilkan  subduksi dibawah Sunda Microplatesepanjang suture Karangsambung-Meratus,

dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst

(tinggian) dan graben (rendahan).  Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut

Sumatra  – Jawa – Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc

basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah.  Mendekati Kapur

Akhir – Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi

Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah

dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah

timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar  teridentifikasi di

Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur

Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking (merapatnya) fragmen mikrokontinen pada  bagian

tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus dan terangkat-nya

zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus

Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)

Antara 54 jtl – 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan

berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di

sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl).

Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan

sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan
terjadinya tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang

ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra,

Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan  syn-rift.  Pelamparan

extension tectonics ini  berasosiasi dengan pergerakan sepanjang  sesar regional yang telah ada

sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basementmempengaruhi  arah

cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan

Tenggara)

Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF)

Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras dengan satuan batuan di

atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi

Totogan yang kontaknya dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidak

selaras. Di daerah Karangsambung selatan batas antara Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan

sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah utara Formasi Totogan ada yang

langsung kontak secara tidak selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah

Nanggulan kontak ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir

dengan satuan  breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen Tengah. Demikian pula di

daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Akhir. Tanda-tanda ketidak

selarasan ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah

Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan Bayat merupakan

ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan

terdeformasinya Formasi Karangsambung. Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak

jelas teramati karena endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan

Oligosen Formasi Kujung.

Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua Australia.   Ketika

Wharton Ridge masih aktif Benua Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat

pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-

sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton

Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng

Samudera Hindia di Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang

keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek kompresional di daerah

Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi Karangsambung serta terlipatnya

Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di Bayat.

Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih berlangsung sampai

Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme yang kemungkinan berkaitan erat dengan

munculnya zona gunungapi di bagian selatan Jawa (OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang


dikenal sebagai Zona Pegunungan Selatan. Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa

bagian utara dimana pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini

Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur Inversi )

Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia berkurang secara

mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara India dengan Benua Asia membentuk

Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju penunjaman Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga

berkurang secara drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi sehingga

berkembang fase kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar

endapan syn-rift Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS menjadi

zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami

pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengendapan karbonat besar-besaran seperti Formasi

Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur. Sedangkan di bagian utara dengan

aktifnya inversi berkembang endapan syn-inversi formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona

Kendeng.

Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan

rezim tektonik kompresi di daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur

belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-sesar

turun (horst dan graben) utara-selatan yang telah ada.

Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)

Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut  menghasilkan

mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang

mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement  dominan

berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman

Kendeng dan juga Dalaman Madura.   Bagian basement berarah Timur – Barat  merupakan bagian dari

fragmen benua yang mengalasi dan    sebelumnya tertransport dari selatan dan  bertubrukan dengan

Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke

arah utara telah mengubah sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam

perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode

ini, menghasilkan     pengendapan    sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat

(carbonate buildup) pada     tinggian yang membatasi.

SEJARAH SEDIMENTASI

Interaksi lempeng telah diyakini berpengaruh terhadap pembentukan maupun konfigurasi cekungan

yang dikontrol oleh sesar-sesar bongkah pada basement.Menurut Sujanto dan Sumantri (1977), pola
pengendapan di Pulau Jawa  selama Tersier memperlihatkan berbagai gejala seperti sesar

tumbuh (growth faulting),pembentukan paparan karbonat regional (regional platforming), pengendapan

seperti flysch pada palung, pertumbuhan terumbu pada volkan-volkan tua dan sedimentasi gelinciran-

pemerosotan-turbiditik (turbiditic-sliding-gliding sedimen-tation).

Sedimen Paleogen (Kapur Akhir – Tersier Awal)

Endapan Paleogen umumnya merupakan endapan syn-rift yakni sedimen yang terendapkan bersamaan

dengan proses peregangan yang mengakibatkan pembentukan horst dan graben.

Endapan Paleogen Jawa bagian utara

Formasi Jatibarang di Jawa Barat mewakili seri batuan volkanik yang diendapkan selama rifting pada

Eosen Tengah-Akhir dalam cekungan seperti graben-graben yang berorientasi utara-selatan berasosiasi

dengan regim regangan (extensional) dalam Busur magmatik yang terangkat. Dijumpai terutama di

Sub-cekungan Jatibarang, terdiri dari piroklastik, lava andesit bersisipan dengan tuffa. Perselingan

piroklastik, konglomerat, serpih dan batugamping tipis serta lapisan batupasir diendapkan pada

lingkungan paralik hingga laut. Batuandasar berupa monzonit dan diorite, yang mengalasi batuan

volkanik Jatibarang, berumur 65 – 58 Ma (Kapur Akhir – Paleosen) tetapi juga 213 Ma (Trias) untuk

argilit lanauan (Patmosukismo and Yahya, 1974). Basement berumur Trias umumnya dianggap sebagai

bagian ujung selatan Sundaland. Basemen berumur Kapur Akhir merupakan bagian dari busur magmatik

Kapur Akhir – Tersier Awal, dan volkanik Jatibarang kemungkinan merupakan bagian busur magmatik

berikutnya (busur volkanik Eo-Oligosen) yang berpindah ke selatan sebelum menempati pantai selatan

Jawa pada kala Oligo-Miosen.

Endapan Paleogen Jawa Bagian Selatan

Formasi Ciletuh dan Formasi Karangsambung di Komplek Luk Ulo mewakili sedimen yang diendapkan

pada cekungan muka busur (forearc basin) yang labil. Pengisian cekungan terdiri dari

batulempung (mudstone) yang terlipat kuat (tightly folded),dengan sisipan batupasir, batupasir-

konglomeratan dan batugamping. Sangat umum endapan-endapan turbidit maupun aliran masa (mass-

flow) dijumpai di daerah ini (Martodjojo,1998). Di Jawa Tengah batupasir kuarsa berumur  Eosen

Tengah – Eosen Akhir yang dikenal sebagai Formasi Nanggulan dijumpai tersebar di sebelah tenggara

maupun di bagian barat Komplek Luk Ulo. Di daerah Zona Pegunungan Selatan endapan Paleogen di

temukan di Nanggulan (Formasi Nanggulan) dan di Bayat (Formasi Gamping Wungkal).

Endapan Paleogen di Lepas pantai dan daratan Jawa Timur

Di  daratan maupun lepas pantai Jawa Timur, berdasarkan data pemboran sumur-sumur TD dan EJ-1,

sedimen kuarsa klastik paleogen di wakili oleh Formasi Ngimbang. Formasi Ngimbang ditemukan di
dalam kedua graben yang berarah   Timurlaut – Baratdaya  (sepanjang  arah  Meratus/pola

Meratus) dan graben Barat – Timur dikenal sebagai arah Sakala di Jawa Timur. Kehadiran   sedimen

Formasi Pre-Ngimbang yang lebih dalam   pada penampang seismik  memperlihatkan refleksi   kuat

yang secara tidakselaras berada dibawah Formasi Ngimbang, yang terdapat di sepanjang depresi

berarah Barat – Timur. Bukti ini menyatakan  hampir bisa dipastikan kehadiran tinggian purba yang

menghasilkan sumber asal darat  paling tidak selama Kapur – Eosen.  Fragmen kontinen mungkin

melampar dari Jawa Tengah di bagian barat hingga Kangean Timur di bagian timur.

Sedimen Neogen (Sedimen Oligo-Miosen)

Selama Oligo-Miosen (Oligosen Akhir-Miosen Awal), terjadi kegiatan perkembangan volkanisme “old

andesite” di Jawa bagian selatan yang menghasilkan batuan volkaniklastik serta perkembangan paparan

dan terumbu karbonat yang menghasilkan endapan karbonat.

Penyebaran Batuan Volkaniklastik

Produk kegiatan volkanisme ini tersebar sepanjang Jawa bagian selatan, dari Pacitan di Jawa Timur

hingga Pelabuhan Ratu-Bayah di Jawa Barat melalui Bayat, Parangtritis, Kulon Progo, Luk Ulo-Karang

Sambung,  Pangandaran dan Cikatomas (Soeria-Atmadja et al., 1994). Batuan ini juga melampar

sampai lepas pantai selatan Pula Jawa sebagaimana ditunjukkan oleh Sumur Alveolina-1 dan Borealis-1

(Shell, 1972-1973). Kharakteristik petrologi adalah Calc-alkaline (Hamilton,1979). Lava flows pada jalur

ini adalah island arc tholeiits (Soeria-Atmaja et al.,1994). Batuan di Pacitan terdiri dari basaltic pillow

lavas dengan dyke. Di Bayat banyak tersingkap dyke dan tubuh intrusi lain yang kebanyakan

berkomposisi basaltis. Di Parangtritis batuan terdiri dari aglomerat, breksi volkanik,  dan dyke ber-

komposisi andesitic dan basaltis. Di Kulon Progo dijumpai banyak tersingkap “Volcanic necks”, lava

dome, breksi lahar dan piroklastik serta sedimen volkanik berbutir halus lainnya. Di Luk Ulo-Karang

Sambung batuan terdiri dari sill, dyke dan plug berkomposisi andesitic hingga basaltic menerobos

penutup sedimen berumur Eosen Akhir hingga Miosen Awal. Di Pangandaran – Cikatomas (Jawa Barat

bagian tenggara), banyak tersingkap lava flow dan breksi lahar berkomposisi calc-alkaline. Di

Pelabuhanratu – Bayah batuan terdiri dari lava flow berkomposisi andesitic hingga basaltic, breksi

volkanik dan tufa.

Penyebaran Batuan Karbonat di bagian Jawa Utara.

Pada Oligo-Miosen batuan karbonat tersebar meliputi wilayah Ciputat – Jatibarang, Jawa Tengah Utara,

Cepu – Surabaya – Madura, yang jauh dari pengaruh Busur Volkanik Oligo-Miosen dan terutama

berkembang di tatanan tektonik backarc.

Batuan Karbonat Ciputat-Jatibarang area:


Berkembang di cekungan Jawa Barat Utara pada sub-cekungan Ciputat, Pasirpuih, Jatibarang dan diselai

tinggian Rengasdengklok, Pemanukan, dan Gantar-Kandanghaur.  Batugamping terdiri dari batugamping

foraminifera/alga paparan, dengan sembulan terumbu koral  yang dihasilkan oleh   proses trangresi

serta menempati puncak   paparan, tinggian dan berubah menjadi serpih kearah cekungan yang dalam. 

Satuan batuan ini disebut sebagai Formasi Cibulakan Tengah yang umurnya ekivalen dengan Formasi

Baturaja di Sumatera Selatan dan Lepas Pantai Laut Jawa Barat. Di bawahnya adalah batupasir

Cibulakan Bawah berumur Oligosen Akhir (ekivalen dengan Formasi Talangakar. Terdiri dari hasil

rombakan basemen pre-Tersier atau volkaniklastik Jatibarang yang berumur Eosen hingga Oligosen.

Ciputat-Jatibarang termasuk dalam tatanan  busur belakang selama Miosen Awal relative terhadap busur

volkanik Oligo-Miosen yang berkembang di Jawa bagian Selatan. Selama itu volkanisme Jampang  di

Pegunungan Selatan Jawa Barat mencapai kegiatan puncaknya. Namun tidak dijumpai material volkanik

dalam karbonat Cibulakan Tengah, yang berarti volkanisme yang terjadi bersamaan sedimentasi

karbonat tidak berpengaruh.

Batuan Karbonat Daerah Jawa Tengah Utara:

Batugamping Sigugur Miosen Awal di bagian tengah fisiografi Rangkaian Pegunungan Serayu Utara

mewakili karbonat Oligo-Miosen di daerah ini. Satuan batuan ini secara transgresif menutup batuan

berumur Eosen. Di Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan  batugamping Sigugur dijumpai sebagai

fragmen dalam Old Andesit Gabon. Pada Sumur NCJ A-1 (sebelah barat Semarang), dan NCJ B-

1(sebelah timur Pekalongan) ditemukan karbonat oligo-miosen bersisipan dengan serpih dan beberapa

perselingan batupasir dan batubara. Pada Sumur NCJ C-1 diselatan Pemalang hanya menemukan serpih.

Batugamping pada NCJ A-1 menumpang pada diorite porpiri dengan K-Ar berumur 14.65 Ma (Miosen

Tengah) yang dianggap sebagai tubuh intrusi atau tubuh plutonvolkanik Komplek Ungaran Tua. Di

sumur NCJ B-1 batugamping menumpang pada breksi volkanik yang dianggap sebagai produk volkanik

Old Andesite Gabon yang menerobos Jawa Tengah lebih ke utara. Batugamping yang diterobos Sumur

NCJ A-1 da NCJ B-1 dalam lingkungan paparan. Data biostratigrafi menyebutkan terbentuk dalam

lingkungan inner hingga middle sublitoral berair jernih, hangat dan dipengaruhi laut terbuka.

Batuan Karbonat Cepu-Surabaya-Madura

Penyebaran batuan karbonat  daratan Jawa terkonsentrasi sepanjang punggungan basemen yang

membentuk jalur sejajar berarah WSW – ENE di daerah Cepu, Surabaya dan Madura dikenal sebagai

Tinggian Cepu Barat, Tinggian Cepu Timur, Punggungan Kemandung dan punggungan BD

(Ardana,1993). Punggungan ini merupakan elemen Tersier Awal yang dihasilkan dari segmentasi

basemen selama peregangan (rifting) cekungan busur belakang Jawa Timur. Punggungan-punggungan

ini menerus kearah timur-laut kedalam laut Jawa Timur sekarang yang membentuk punggungan

basemen yang sama tetapi lebih luas seperti punggungan JS-1 dan Platform Madura Utara. Selama

Oligo-Miosen, daerah Cepu-Surabaya- Madura terletak dalam laut yang terbuka sebelah selatan tepi
paparan yang terletak di sepanjang pantai Jawa Timur dari Rembang hingga utara Pulau Madura.

Daerah paparan terletak sebelah utara tepi paparan  yang sekarang adalah Laut Jawa Timur.

Olehkarena itu Cepu Barat hingga punggungan BD merupakan daerah tinggian dalam laut yang terbuka.

Pengendapan Batugamping reef terjadi di daerah tinggian dan kebanyakan sebagai Pinacle reef. Pada

daerah rendahan yang menyelainya, terendapkan napal laut dalam, serpih dan chalks. Pada Sumur

Ngimbang-1 terletak di selatan Tinggian Cepu Timur menerobos fasies chalky setebal 200 kaki dan

Jatirogo-1 ditimur Tinggian Cepu Barat menerobos fasies chalky setebal 150 kaki. Kelompok karbonat ini

disebut sebagai gamping Kujung, Prupuh dan Tuban di daerah Cepu dan Surabaya atau sebagai

gamping Poleng dan Prupuh di Pulau Madura. Kelompok ini berumur dari Oligosen Akhir sampai Miosen

Awal. Formasi Kujung terdiri dari satuan Kujung III, II, dan I. Kujung bagian bawah (Basal Kujung III)

adalah  sekuen regresiv yang kaya akan sedimen klastika, Kujung II adalah sekuen trangresiv karbonat

laut dangkal dan serpih gampingan dengan sembulan karbonat yang secara setempat menempati

tinggian. Kujung I (Prupuh Member) merupakan batugamping bersih, energi tinggi, dan umumnya

berupa sembulan gamping pinnacle reef. Di zona Rembang, Reef berkembang di Tinggian Cepu Barat.

Batugamping terumbu (Reef) KedungTuban, Banyu Urip, Sukowati, Mudi, dan  Kembang Baru

berkembang di Tinggian Cepu Timur.

Penyebaran batuan karbonat di bagian Jawa Selatan

Pada Oligo-Miosen batuan karbonat tersebar dari Jampang- Bayah- Sukabumi- Banyumas – Gunung

Kidul, yang berada pada tatanan tektonik intra-arc. Tidak dijumpai perkembangan karbonat reef yang

bersamaan dengan volkanisme di wilayah Gunung Kidul-Banyumas-Jampang. Tidak ada   batugamping

foraminifera berkembang sebagai sisipan dalam batuan volkanik Jampang di Jawa Barat selama Miosen

Awal.

Jiwo Hills and Daerah sekitarnya di bagian selatan

Pada Oligo-Miosen di daerah ini diwakili oleh endapan produk volkanik berupa endapan turbidit karena

aliran gravitasi seperti Formasi Kebo-Butak, Semilir, Nglanggran (Oligosen Akhir – Awal Miosen Tengah)

di bagian barat dan dapat dikorelasikan dengan Formasi Besole di bagian timur dan ditutupi oleh

Formasi Sambipitu dan Oyo pada akhir Miosen Awal hingga awal Miosen Tengah. Formasi Kebo-Butak

disusun oleh serpih tufaan dasitis hingga andesitic, lanau berlapis tipis, batupasir, konglomerat dan

tuffit. Sill berkomposisi Andesit basaltis menerobos satuan tersebut. Lava basalt hingga andesit dijumpai

di bagian tengah, sedang breksi andesit ada di bagian atas. Berdasarkan kumpulan fosil umur Formasi

Kebo-Butak adalah Oligosen Akhir hingga Miosen paling awal dan diendapkan dalam lingkungan laut

terbuka (Sumarso dan Ismoyowati,1975). Selaras di atasnya adalah Formasi Semilir terdiri dari material

tuffaan berwarna putih berselingan dengan tuffit berwarna terang, tufa gelas lempungan dan breksi tuff-

pumice. Umur formasi ini antara N5-N9 (Miosen  Awal). Bersilang jari dengan Formasi Semilir adalah
Formasi Nglanggran yang tersusun oleh breksi volkanik, aglomerat, tuffa berlapis buruk, lava bantal

basaltis hingga andesitan serta breksi autoklastik dan hyaloklastik. Ekuivalen dengan Formasi Besole

yang terdiri dari  lava bantal basaltis-andesitis, tuffa dasitis dan intrusi local diorite.

Kulon Progo-Banyumas-Cilacap Area (South Central Java)

Old Andesite berumur Oligo-Miosen di daerah ini dikenal sebagai Volkanik Gabon atau Waturanda.

Terdiri dari breksi volkanik, lahar dan breksi tufa. Bersamaan dengan pembentukan struktur didaerah ini

telah terbentuk daerah tinggian dan dalaman. Kerangka fisiografi tektonik yang penting adalah Tinggian

Gabon, Dalaman Citanduy, Tinggian Besuki-Majenang, Dalaman Kroya, Tinggian Karang Bolong,

Dalaman Kebumen, Tinggian Kebumen dan Tinggian Kulon Progo (Suyanto dan Sumantri,1977).

Volkanisme selama Oligo-Miosen telah mengendapkan  endapan volcano-turbidit Formasi Waturanda di

darah dalaman.  Di bagian atas  volkanik Gabon dijumpai secara setempat fragmen batugamping yang

dikenal sebagai Batugamping Sigugur, yang tertranspor dari daerah luar Cilacap.

Sedimentasi karbonat yang pertama terjadi di bagian atas Miosen Awal dan terjadi pada daerah tinggian

seperti Tinggian Kulon Progo dan Tinggian Karang Bolong yang menghasilkan  Batugamping terumbu

Karang Bolong/Kalipucang, Jonggrangan dan Formasi Sentolo berumur Miosen Awal – Tengah.

Penyebaran Batuan Karbonat di depan Pegunungan Selatan Jawa Barat.

Reef selama Oligo-Miosen tumbuh pada punggungan-punggungan di depan Pegunungan Selatan

(Southern Moutains) meliputi wilayah Bayah-Sukabumi-Rajamandala. Paparan karbonat dan Reef

selama Paleogen di wilayah Bayah telah berkembang. Volkanisme di daerah ini terjadi paling awal pada

Eosen Awal dan berkurang ketika trangresi Oligo-Miosen  menghasilkan karbonat reef. Di daerah

Sukabumi – Rajamandala, reef-reef Formasi Rajamandala berkembang sebelum Volkanisme Jampang

terjadi pada Miosen Awal, ketika volkanisme meningkat Reef Rajamandala berhenti tumbuh. Sebagai

batuan dasar yang mengalasi tumbuhnya Reef Rajamandala ini adalah Formasi Batuasih yang berumur

Oligosen dan tertutup oleh suatu sekuen turbidit yang tebal berumur Miosen Awal yakni Formasi

Citarum.

1.1.        SEDIMEN MIOSEN TENGAH – MIOSEN AKHIR

Volkanisme di Jawa mulai tenang terjadi dari 18 – 12 Ma (Miosen Tengah) yang bersamaan dengan

tragresi maksimum yang menghasilkan perkembangan karbonat reef sepanjang Pegungan Selatan Jawa

seperti Wonosari/Punung di Gunung Kidul, Jonggrangan di Kulon Progo, Karangbolong / Kalipucang di

Banyumas dan BojongLopang di daerah Jampang. Sebagai dasar dari pertumbuhan reef-reef ini adalah

gunungapi bawah laut.

1.1.1.    Penyebaran sedimen  Miosen Tengah – Miosen Akhir di Jawa Bagian Selatan


Jiwo Hills dan daerah sekitarnya

Memasuki Miosen Tengah laut mencapai trangresi maximum dan perkembangan serta pengendapan

karbonat mengganti dominasi volkaniklastik. Peristiwa ini bersamaan dengan akhir kegiatan volkanisme

Paleogen di Jawa pada 18 Ma (Miosen Awal) yang dimulai lagi 12 Ma (Soeria Atmadja et al., 1994).

Penurunan volkanisme dan trangresi maksimum  selama Miosen Tengah telah memberikan lingkungan

yang baik  untuk perkembangan sedimentasi karbonat.  Sisipan karbonat mulai muncul pada endapan

turbidit Formasi Sambipitu berumur awal Miosen Tengah menerus hingga Formasi Oyo yang pertama

kali memperlihatkan sedimentasi bersamaan antara karbonat dan volkanisme yang diekpresikan oleh

batugamping tuffaan berlapis baik, napal tufaan, dan tufa andesitan. Dominasi sedimentasi karbonat

atas volkanisme diperlihatkan oleh karbonat Formasi Wonosari (Punung) berumur  Miosen Tengah –

Akhir setebal lebih dari 800m, terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu dengan

sisipan batupasir tufaan,  batugamping tufaan serta batugamping napalan dan batulanau. Paleogen

volkanik telah memberikan tempat  untuk tumbuhnya terumbu Wonosari pada laut dangkal. Formasi

Wonosari tersingkap luas di selatan Bayat dari Parangtritis hingga Pacitan (Surono et al., 1988). Formasi

Wonosari merupakan komplek terumbu terdiri dari empat fasies : 1. Tidal algal packstone , tersebar

dibagian selatan, 2. Reef crest-reef front of Coral boundstone facies, 3. Upper slope orbitoid-algal

packstone dan 4. Lower-slope packstone wackestone.

 Kulon Progo-Banyumas-Cilacap Area (South Central Java)

Pengendapan napal dan kalkarenit Formasi Sentolo, Panosogan dan Pananjung menandai genang laut

yang luas pada kala Miosen Tengah. Di daerah Banyumas, KarangBolong-Nusakambangan muncul dan

bertindak sebagai penghalang yang memotong hubungan antara daerah Banyumas dengan laut terbuka

di selatan. Pada akhir Miosen Tengah penghalang tersebut tertutup oleh laut menghasilkan

perkembangan batugamping Terumbu Formasi Kalipucang. Tektonisme dan volkanisme mulai lagi pada

Miosen Akhir yang menghasilkan  Horison Breksi II, Gunung Wetan sheets and flows, Formasi Kumbang.

Pengangkatan Tinggian Majenang menyebabkan perkembangan palung pada depresi Majenang-Wangon

dan terjadi pengendapan turbidit Formasi Halang. Di daerah Kebumen pengankatan menghasilkan

pengendapan sedimen berbutir kasar dari Horison Tufa Napal III, sedang di Kulonprogo pengendapan

napal Formasi Sentolo.

North Serayu Trough/Basin (Jawa Tengah bagian Utara)

Terletak di bagian utara Jawa Tengah dan kemudian terangkat menjadi North Serayu Range. Melampar

kearah timur menjadi Zona Randublatung dan Kendeng Ridge, kearah barat menyatu dengan Bogor

anticlinorium belt (van Bemmelen,1949). Batuan silisiklatik berumur Eosen dikenal sebagai Worawari

bed, merupakan sedimen tertua didaerah ini. Secara trangresiv tertutup oleh konglomerat  dan

batupasir quartzitic   dari Lutut beds dan batugamping terumbu Sigugur beds berumur Miosen Awal.
Endapan turbidit yang tebal lempung napalan, batupasir kuarsa dan batupasir tuffa dari Formasi Merawu

dan Penyatan berumur Miosen Awal – Tengah terdapat di bagian tengah dan timur serta Formasi Pemali

di North Serayu Basin bagian barat. Penelitian kembali kandunga fosil Formasi Pemali di llokasi tipenya

menunjukkan Pliosen Awal  dan terendapkan pada laut dalam. Formasi Merawu dan Penyatan dapat

dikorelasikan dengan endapan yang sama di Jawa Timur yaitu Formasi Kerek di Zona Kendeng  dan

Rembang Beds di zona Rembang. Di Cekungan Bogor, Formasi Merawu dapat dikorelasikan dengan

turbidit Formasi Citarum dan Jatiluhur (Saguling). Di atas Merawu adalah volvanic-clastic turbidites

Formasi Halang berumur Miosen Akhir.

Pengangkatan Bagian Selatan Jawa Tengah  pada Miosen Tengah- Miosen Akhir secara volumetric

diimbangi oleh peningkatan subsidence yang tiba-tiba pada dasar cekungan North Serayu Trough.

Penambahan relief pegunungan tidak hanya menyebabkan pergerakan gelinciran karena gravitasi

(gravitational sliding) dari selatan ke utara, tetapi juga menyebabkan bagian sayap utara meluncur ke

arah cekungan bagian terdalam.

Pada Mio-Pliosen, basal limestone Bodas Series diendapkan secara transgresiv dan secara tidak selaras

menumpang seri batuan Miosen yang lebih tua. Kemudian penurunan cekungan yang kuat dimulai,

secara volumetrik diimbangi pengangkatan yang kuat South Serayu Range di bagian selatan Jawa

Tengah pada Mio-Pliosen.  Pengisian sedimen selama Mio-Pliosen dalam cekungan North Serayu Zone

dimulai dengan endapan volkanik berselingan konglomerat, dan diakhiri dengan napal lempung yang

lunak, serta batupasir tufaan dari Formasi Kalibiuk. Seri Volkanik disebut sebagai breksi Kumbang di

cekungan bagian barat, seri Bodas di bagian tengah dan Breksi Banyak di bagian timur, yang secara

selaras ditutupi oleh batuan napal dan batupasir tufaan Formasi Cipluk yang berumur Pliosen Awal.

Breksi volkani seri   Bodas Bawah mengandung konglomerat polimiktik dengan bongkah berasal dari

daerah Luk Ulo di selatan yang terangkat. Breksi volkanik  merupakan   produk submarine volcanoes

pada Cekungan NorthSerayu yang mengalami penurunan.

Pada kala Pliosen, sedimentasi laut dalam masih terjadi  di North Serayu Trough/Basin. Analisis Facies di

Brebes-Tegal-Pemalang, Jawa Tengah bagian utara (Sunardi et al., 2001) menunjukkan kehadiran

endapan turbidit yang ekivalen dengan Formasi  Cisubuh berumur  Pliosen.

Setelah kegiatan volkanik Miosen Awal, batugamping terumbu terbentuk misal batugamping terumbu

pada puncal Formasi Tapak di bagian barat dan batugamping Kapung di bagian timur.    Urutan

pengendapan di  North Serayu Basin sangat menunjukkan pengangkatan dimulai pada Plio-Plestosen,

sebab endapan tersebut hanya terdapat pada sepanjang  tepian North Serayu Range. Endapan tersebut

terdiri dari   Damar Series, Ligung Series, dan Kaliglagah-Mengger-Gintung Series. Perioda

pengangkatan ini bersamaan dengan perioda inversi  Cekungan Bogor.

Volcaniclastic Turbidites of the Kendeng Zone


Sedimentasi laut dalam di Jawa Timur juga melibatkan sedimen volkanikklastik  Formasi Kerek yang

berumur Miosen dalam  Kendeng Trough/Basin.  Kendeng Basin  sekarang merupakan lipatan dan jalur

sesar naik (anjakan) yang berarah barat- timur (anticlinorium), melampar sekitar  250 km panjangnya

dan lebar 20 km, dari G.Ungaran di barat hingga S.Brantas di timur dan menunjam dibawah dataran

alluvial yang membatasi Selat Madura (de Genevraye and Samuel, 1972).  Bagian barat Kendeng Zone

dicirkan oleh kandungan material volkanik  yang tinggi dan struktur yang rumit. Di bagian tengah,

material piroklastik berkurang kearah  utara tetapi struktur  masih komplek. Di bagian timur material

volkanik berkurang dan arah struktur bergeser kearah utara.

Secara keseluruhan Formasi Kerek terdiri dari   sekuen kalkareus dan lempungan yang masiv dimana

material volkanikklastik sangat melimpah. Berbagai nama telah diberikan pada anggota Formasi ini

karena adanya perubahan fasies di ujung barat Zona Kendeng, De Genevraye dan Samuel (1972)

menggunakan nama yang sama dengan  North Serayu Zone. Di daerah ini Formasi  Kerek dibagi

menjadi dua anggota Anggota Merawu berumur Miosen Tengah di bagian bawah dan Anggota Penyatan

berumur Miosen Akhir dibagian atas.  Anggota  Merawu merupakan sekuen volkanik-klastik. Interval

bawah dari Merawu terdiri dari konglomerat dan microconglomerates dengan kerikil kuarsa,   andesitic

tuffs dan Lepidocyclina-bearing limestones. Lapisan rombakan volkanik berukuran kasar ini ditutupi oleh 

endapan seperti turbidit perselingan shalysandy –calcareous.  Anggota Penyatan adalah endapan klastik,

tufaan, banyak batupasir tuffa berbutir kasar berlapis tebal dengan sisipan lapisan lempung dan napal

berwarna kehitaman termasuk sekuen turbidit dan lapisan kalkareus jarang dijumpai.

Di Zona Kendeng bagian Tengah dan Timur, Formasi Kerek tersusun oleh seri   napal lempungan dan

lempung yang agak monoton dan napal berselingan dengan batupasir tufaan gampingan dan non

gampingan yang merupakan aspek sekuen turbidit. Zona Kendeng Tengah pembagian menjadi tiga

anggota dillakukan oleh  de Genevraye and Samuel (1972).  Anggota Banyuurip   adalah perselingan  

napal lempungan, napal   dan lempung  dengan batupasir tufaan gampingan dan non gampingan  

Anggota Sentul juga terdiri dari perselingan lapisan rombakan volkanik lempungan tetapi lapisan tufaan

lebih banyak dibagian atas dan dapat mencapai tebal 20 m.  Anggota Batugamping Kerek merupakan

anggota teratas dari Formasi Kerek terdiri perselingan batugamping tufaan dan lapisan tufaan maupun

lempungan.

Formasi Kerek diendapkan pada neritik luar hingga bathial ketika zona Kendeng mengalami penurunan

selama pertengahan Miosen Awal hingga Miosen Tengah dan   banyak material volkanik  diendapkan

pada cekungan tersebut.

Penurunan Zona Kendeng berkaitan dengan kompensasi isostatik karena pengangkatan jalur volkanik

sepanjang   axial ridge of Java. Banyak struktur sedimen yang berkaitan dengan subsiden teramati pada

beberapa level dalam Formasi Kerek seperti flow rolls, synsedimentary microfolds, dan micro growth

faulting.
Implikasi Minyak Bumi Jawa Tengah Utara (North Serayu – Zona Kendeng).

Van Bemmelen (1949) melaporkan banyak   oil seepages  dan satu lapangan minyak di   North Serayu

Zone. Seepages tersebut terdapat di daerah Karangkobar, Bawang dan Subah, Klantung dan

Sodjomerto, Kaliwaru, Bagian Barat G. Ungaran (beberapa seepages), dan sebelah timur G. Ungaran.

Pemboran eksplorasi telah dilakukan oleh perusahaan minyak Belanda sejak awal 1900 di dekat

seepages namun tidak berhasil. Namun demikian, pemboran di Klantung dan Sodjomerto berhasil dan

menemukan lapangan Cipluk. Selama 35 th produksi, rata-rata produksi pertahun menghasilkan

beberapa ratus ton minyak. Lapangan Cipluk sekarang ditinggalkan, terbentuk oleh antiklin terpatahkan

dari batupasir volkanikklastik Formasi Banyak yang berumur Miosen Akhir. Batuan induk diperkirakan

dari serpih yang mengalasi Formasi Merawu atau Serpih  Worawari beds berumur Eosen (ekivalen

dengan serpih Ngimbang di Cekungan Jawa Timur, pengisian trap menggunakan sesar sebagai jalur

migrasi yang bersifat conduits. Sisipan Napal Formasi Cipluk sebagai batuan penyekat baik lateral

maupun vertical. Salah satu singkapanFormasi Pemali diujung barat adalah di Madja, sebelah barat

G.Ciremai daerah Cirebon dilaporkan terdapat oil seeps  yang aktip dan sedikit terbiodegradasi (Lunt

and Burgon, 2003). Sumur pertama yang dibor untuk mencari minyak di Indonesia adalah di oil seep

Madja pada th.1872.

Pergerakan gelinciran karena gravitasi dari selatan ke utara di North Serayu Trough/Basin terjadi seagai

akibat pengangkatan South Serayu Range selama Miosen Tengah-Miosen Akhir dan menghasilkan

pembentukan struktur. Satuan batuan berumur Eosen hingga Miosen Akhir yakni Formasi Worawari,

Lutut dan Sigugur yang diendapkan pada lingkungan non-marine hingga laut dangkal serta satuan

batuan turbidit Formasi Merawu dan Penyatan Bawah terdeformasi sebagai toe thrust anticlines dan

fault-propagation folds.

Mekanisme ini sama dengan yang terjadi pada perangkap hidrokarbon yang telah terbukti menghasilkan

minyak di  Cekungan Lower Kutai-North Makasar Basin, dimana pengangkatan daerah Cekungan Kutai

bagian hulu selama Miosen Akhir hingga sekarang telah membentuk perangkap di daerah Lower Kutai-

North Makasar dengan beberapa sedimen terendapkan dalam kolam-kolam sinklinal yang terbentuk

diantara antiklin yang tersesar naik (thrusted anticlines). Semua elemen petroleum system dan

prosesnya di Jawa Tengah Utara dapat terbentuk dengan  system ini. Sumber hidrokarbon dapat

diberikan oleh serpih non-marine hingga laut dangkal dari Formasi  Worawari maupun lempung napalan

Formasi Merawu.  Reservoir berupa batupasir kuarsa dan batupasir tufaan dari Formasi Lutut dan

Merawu, ditambah batugamping terumbu Sigugur. Batuan penyekat adalah serpih intraformational

dalam Formasi Merawu maupun Penyatan. Maturasi batuan induk dapat dicapai karena cekungan

mengalami penurunan dan tertimbun oleh sedimen post Miosen Akhir. Minyak yang terbentuk dapat

masuk ke dalam perangkap  toe thrust anticlines yang terbentuk pada Formasi Lutut dan Merawu

atau batugamping terumbu Sigugur melalui sesar-sesar dalam toe thrust system. Banyaknya seepage di

permukaan menunjukkan kehadiran petroleum system yang bekerja di daerah tersebut.


Kerek volcaniclastic sediments yang diendapkan di zona  Kendeng belum dieksplor kandungan 

hidrokarbonnya. Singkapan  di Kendeng Barat menunjukkan sekuen volkanikklastik pasiran ini lebih baik

kualitasnya dan lebih kaya pasir kuarsa disbanding lapisan volkanikklastik Banyak diatasnya. Sedikit

minyak di Klantung-Cipluk Field ujung barat    Kendeng Zone dianggap berasal dari    Banyak

volcaniclastic beds.

Penemuan lapangan gas Wunut   (Huffco Brantas,1994), lapangan gas Carat serta lapangan minyak dan

gas Tanggulangin    (Lapindo Brantas, 2001), semua terletak 30 km  selatan Surabaya, memperlihatkan

produktivitas  endapan turbiditic volcaniklastik di Zona  Kendeng sebagai reservoir  gas dan minyak.

Reservoir adalah Formasi  Pucangan berumur Pleistosen. Basal Wunut sands diendapkan dalam sekuen

turbiditic mendangkal ke atas menjadi fasie delta  (Kusumastuti et al.,2000), sedang Carat dan

Tanggulangin sands diendapkan sebagai sedimen turbiditik (AgungDarmoyo, 2004).  Volcaniclastic

sands di lapangan  Wunut diklasifikasikan sebagai lithic arkose atau feldspathic litharenites.Matrix

batuan terutama terdiri dari  plagioclase feldspar dan fragmen batuan volkanik   dengan sejumlah

mineral sekunder ubahan butiran dan mineral berat.  Kandungan lempung bervariasi dan didominasi

oleh smektik. Rata-rata porositas masing-masin individu  sand berkisar 25 hingga 35%, dan rata-rata

permeabilitas antara 25 hingga 195 mD.

Pore systems  terutama adalah   intergranular dan telah ditingkatkan oleh pori sekunder hasil dari

pelarutan mineral (Kusumastuti et al., 2000). Batupasir volcaniclastik Kerek tidak sebagus batupasir

Pucangan  dalam kualitas  reservoir karena lebih dalam tertimbun dan terkompaksi. Willumsen dan

Schiller (1994) memperkirakan total porosity lebih besar 30% pada kedalaman dangkal,menurun hampir

20% pada kedalaman 7500 kaki, dengan permeabilitas rata-rata  100 mD pada kedalaman dangkal, dan

menurun hingga   20 mD pada kedalaman 5000 kaki. Porositas Sekunder dehasilkan oleh pelarutan

mineral meskipun dapat meningkat pada kedalaman yang besar.  Lapangan Kuti dan Metatu yang telah

lama ditinggalkan (ditemukan pada akhir 1890) terletak di zona Randublatung dekat Surabaya juga

menghasilkan minyak dari batupasir  volkaniclastik.  Kuti Field menghasilkan 0.75 MMBO dari

Pleistocene tuffaceous sandstone sedang Metatu menghasilkan  0.3 MMBO dari Pleistocene

volcaniclastics yang sama (Willumsen dan Schiller, 1994).

Kendeng Zone  dengan endapan   volkaniclastik yang melimpah dari semua umur bisa mengandung

banyak potensi dalam horizon tersebut. Lapisan penghasil minyak mungkin disediakan oleh napal yang

diendapkan bersamaan dengan batupasir volkaniclastik yang konfigurasinya menyebabkan migrasi

langsung hidrokarbon yang dihasilkan dari batuan induk ke dalam reservoir. Sumber gas biogenic,

berkaitan dengan sedimentasi cepat, dapat ditemukan di  horizon yang dangkal pada Kendeng Zone.

Subsiden dari Kendeng Zone dan penimbunan yang dalam lapisan batuan induk akan membawa batuan

induk ke dalam candela pembentukan hidrokarbon. Kehadiran sesar yang mengakomo-dasi penurunan

cekungan dapat bertindak sebagai jalur hidrokarbon yang vertical dari batuan induk yang dalam ke

reservoir yang dangkal. Penemuan minyak dengan jumlah yang signifikan di Lapangan Oyong, Selat
Madura (Santos Sampang, 2000) dan di Tanggulangin-3 well (Lapindo Brantas, 2004) memperlihatkan

bahwa  Eocene Ngimbang shales terendapkan di   Kendeng Trough telah memasuki oil window dan

minyak telah bermigrasi melalui sesar yang vertical mengisi reservoir Pliosen dan Plistosen. Banyak

batuan terdiri dari material berbutir halus dalam    Kendeng Zone  yang menurun dan akan menjadi

penyekat yang baik. Pemerangkapan dapat terjadi dalam stratigraphic traps untuk  turbidit, sub-thrust

structural traps di bawah   north-verging Kendeng thrusts, dan structural and stratigraphic traps

berkaitan dengan   subsidence ( toethrust systems) dan uplift  ( sub-thrust systems of the triangle zone)

di dalam Kendeng Zone. Pembentukan lapangan gas dan minyak di endapan   volkaniklastik  Kendeng

Zone menunjukkan bahwa kemungkinan minyak dalam zona ini tidak bisa di abaikan.

Indonesia, juga merupakan negara yang secara geologis memiliki posisi yang unik karena berada pada

pusat tumbukan Lempeng Tektonik Hindia Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian Utara

dan Lempeng Pasifik di bagian Timur laut. Hal ini mengakibatkan Indonesia mempunyai tatanan tektonik

yang komplek dari arah zona tumbukan yaitu Fore arc, Volcanic arc dan Back arc. Fore arc merupakan

daerah yang berbatasan langsung dengan zona tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat

patahan yang biasa terdapat di darat maupun di laut. Pada daerah ini material batuan penyusun utama

lingkungan ini juga sangat spesifik serta mengandung potensi sumberdaya alam dari bahan tambang

yang cukup besar. Volcanic arc merupakan jalur pegunungan aktif di Indonesia yang memiliki topografi

khas dengan sumberdaya alam yang khas juga. Back arc merupakan bagian paling belakang dari

rangkaian busur tektonik yang relatif paling stabil dengan topografi yang hampir seragam berfungsi

sebagai tempat sedimentasi. Semua daerah tersebut memiliki kekhasan dan keunikan yang jarang

ditemui di daerah lain, baik keanegaragaman hayatinya maupun keanekaragaman geologinya.

Indonesia merupakan negara yang secara geologis memiliki posisi yang unik karena berada pada pusat

tumbukan Lempeng Tektonik Hindia Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian Utara dan

Lempeng Pasifik di bagian Timur laut. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di

lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku

utara. Hal ini mengakibatkan Indonesia mempunyai tatanan tektonik yang komplek dari arah zona

tumbukan yaitu Fore arc, Volcanic arc dan Back arc. Fore arc merupakan daerah yang berbatasan

langsung dengan zona tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa

terdapat di darat maupun di laut. Pada daerah ini material batuan penyusun utama lingkungan ini juga

sangat spesifik serta mengandung potensi sumberdaya alam dari bahan tambang yang cukup besar.

Ada dua hal utama yang membedakan antara Bumi dengan planet-planet yang lain di dalam Sistem

Tata Surya, yaitu:

1) Bumi memiliki air dalam jumlah besar dan membentuk sub-sistem hidrosfer sedang planet-planet

yang lain tidak memiliki air. Dengan kata lain, hidrosfer hanya dijumpai di Bumi dan tidak dijumpai di

planet-planet yang lain.


2) Di Bumi terdapat fenomena tektonik lempeng sedang di planet-planet yang lain tidak ada. Fenomena

tektonik lempeng mengindikasikan bagian internal Bumi yang cair dan memiliki energi panas yang

tinggi.

Berlangsungnya siklus hidrologi, siklus batuan dan siklus tektonik di Bumi berkaitan erat dengan

keberadaan dua hal tersebut. Siklus hidrologi tidak dapat berlangsung bila di Bumi tidak ada hidrosfer,

sedang siklus batuan dan tektonik tidak dapat berlangsung bila tidak ada tektonik lempeng. Dengan

demikian, bila keberadaan hidrosfer dan tektonik lempeng hanya ada di Bumi, maka ketiga siklus

tersebut hanya berlangsung di Bumi dan tidak dapat berlangsung di planet-planet yang lain.

Tsunami adalah fenomena gelombang raksasa yang melanda ke daratan. Fenomena ini dapat terjadi

karena gempa bumi atau gangguan berskala besar di dasar laut, seperti longsoran bawah laut atau erusi

letusan gunungapi di bawah laut (Skinner dan Porter, 2000). Gelombang tsunami dapat merambat

sangat cepat (dapat mencapai kecepatan 950 km/jam), panjang gelombangnya sangat panjang (dapat

mencapat panjang 250 km). Di samudera, tinggi gelombang tsunami cukup rendah sehingga sulit

diamati, dan ketika mencapai perairan dangkal ketinggiannya dapat mencapai 30 m. Sifat kedatangan

gelombang tsunami sangat mendadak dan tidak adanya sistem peringatan dini merupakan penyebab

dari banyaknya korban jiwa yang jatuh ketika gelombang tsunami melanda ke daratan pesisir yang

banyak penduduknya. Contoh yang paling mutakhir peristiwa kencana tsunami ini adalah ketika tsunami

melanda pesisir barat dan utara Pulat Sumatera di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26

Desember 2004.

Tsunami yang terjadi karena gempa bumi atau longsoran di bawah laut kejadiannya berkaitan erat

dengan sistem interaksi lempeng kerak bumi yang membentuk sistem penunjaman dan palung laut

dalam. Sementara itu, tsunami yang terjadi karena erupsi letusan gunungapi kejadiannya berkaitan erat

dengan kehadiran gunungapi bawah laut, baik yang muncul di permukaan laut maupun yang tidak

muncul di permukaan laut. Dengan demikian, potensi suatu kawasan pesisir untuk dilanda tsunami

dapat diperhitungkan dari keberadaan sistem penunjaman lempeng yang membentuk palung laut

dalam, dan keberadaan gunungapi bawah laut. Meskipun demikian, kita tidak dapat melakukan prediksi

tentang kapan akan terjadinya tsunami karena kita tidak dapat melakukan prediksi tentang kapan

terjadinya gempa, longsoran bawah lautm atau letusan gunungapi bawah laut yang dapat mencetuskan

tsunami.

Dalam sejarah moderen, di Indonesia pernah terjadi tsunami karena erupsi letusan gunungapi, yaitu

ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada tahun 1883. Sementara itu, tsunami yang terjadi

karena londsoran bawah laut pernah terjadi pada tahun 1998 di sebelah utara Papua New Guinea

(Synolakis dan Okal, 2002; Monastersky, 1999).


Dari uraian tentang tsunami dan berbagai pencetusnya itu, maka kita dapat menentukan kawasan-

kawasan pesisir yang potensial untuk terlanda tsunami, yaitu dengan memperhitungkan posisi kawasan-

kawasan pesisir terhadap keberadaan sistem penunjaman dan palung laut dalam, serta kehadiran

gunungapi bawah laut, meskipun kita tidak dapat menentukan kapan tsunami akan terjadi. Bagi

Kepulauan Indonesia, posisi geografisnya yang diapit oleh dua samudera (Samudera Pasifik dan Hindia),

serta posisi tektonik yang terletak di kawasan interaksi tiga lempeng kerak bumi utama, dan kehadiran

gunungapi bawah laut membuatnya menjadi sangat potensial untuk terkena bencana tsunami.

Gambaran tentang kejadian tsunami di Indonesia dalam dua dekade terakir dapat dilihat pada Tabel 3

dan Gambar 1. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kawasan-kawasan pesisir Indonesia yang

sangat berpotensi terkena tsunami adalah:

1) Kawasan pesisir dari pulau-pulau yang menghadap ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

Potensi sumber kejadian tsunami yang utama di kawasan-kawasan itu adalah sistem penunjamanyang

ada di hadapan kawasan-kawasan pesisir itu.

2) Kawasan pesisir dari pulau-pulau di kawasan Laut Banda. Di kawasan ini, tsunami dapat berasal dari

kawasan Busur Banda maupun berasal dari Samudera Pasifik atau Samudera Hindia yang masuk ke

kawasan itu.

3) Kawasan pesisir pulau-pulau yang berhadapan dengan gunungapi bawah laut, seperti kawasan pesisir

di kedua sisi Selat Sunda yang mengelilingi Gunung Krakatau.

Koreksi untuk Tabel 3. Pada nomor urut ke-10,

tertulis “Pangandaran, Jawa Tengah”; yang benar adalah “Pangandaran, Jawa Barat”. Terima kasih

untuk Sdr. Yan Yan (Komentar 1) yang menunjukkan kekeliruan ini.

Energi-penggerak Dasar
Untuk “menghidupkan” ciptaannya, Tuhan memberikan kepada semua ciptaannya suatu “kondisi” yang

membuat semuanya dapat bergerak secara otomatis. Semua itu dimulai dari partikel-partikel

subatomik. Partikel-partikel subatomik menyusun apa yang kita kenal sebagai tiga komponen atom,

yaitu: proton, neutron dan elektron. Selanjutnya, atom-atom menyusun apa yang disebut sebagai

unsur. Kita mengenal 92 unsur alamiah (lihat Tabel Periodik).

Unsur-unsur alamiah kemudian membentuk mineral-mineral, dan mineral-mineral berkombinasi

membentuk berbagai jenis batuan.

Tuhan memberikan kekuatan kepada partikel-partikel subatomik, dan demikian pula kepada ketiga

komponen atom. Dengan kekuatan-kekuatan tersebut semuanya bergerak, alam semesta, termasuk

menggerakkan kehidupan di Bumi.

Proses alam berlangsung sesuai dengan ketetapan penciptanya. Partikel-partikel subatomik terus

berinteraksi tanpa bisa diganggu oleh manusia. Demikian pula dengan elektron yang selalu bergerak

mengelilingi inti atom. Reaksi fission (“fission”, the splitting of a nucleus into two “daughter” nuclei),

fusion(“fusion” of two “parent” nuclei into one daughter nucleus), penangkapan neutron (“neutron

capture”, used to create radioactive isotopes), dan peluruhan(various “decay modes”, in which nuclei

“spontaneously” eject one or more particles and lose energy to become nuclei of lighter atoms), semua

terus berlangsung di alam semesta, termasuk di Bumi yang kita diami ini. Kelanjutannya adalah semua

proses alam terus berlangsung, baik disukai maupun tidak oleh manusia, mengikuti ketentuan

penciptanya.

Pada tahapan yang lebih jauh, Bumi, dihidupkan dengan gerakan lempeng-lempeng kerak bumi,

volkanisme, tiupan angin, hujan, sinar matahari, fotosintesis, metabolisme sel. Disukai atau tidak

disukai oleh manusia, semua proses itu terus berjalan sesuai dengan ketetapan Tuhannya. Semua itu

tidak terlepas dari proses-proses dasar yang berlangsung pada tingkat atomik.

Akal untuk memahami Proses Alam

Manusia diberi pikiran dan akal oleh Tuhan untuk dapat memahami alam, termasuk proses-prosesnya.

Pemahaman manusia akan alam dan kemampauan memanfaatkannya dengan bijaksana menentukan

tingkat kesejahteraan manusia itu sendiri. Sebaliknya, kegagalan manusia dalam memahami alam akan

menyebabkan manusia mengalami hal yang sebaliknya. Manusia akan sengsara. Contoh yang sederhana

adalah api. Pembakaran api yang terkendali telah terbukti memberikan manfaat yang sangat banyak

bagi kehidupan manusia. Mulai dari memasak di dapur, sampai meluncurkan pesawat ke ruang angkasa.

Sebaliknya, pembakaran yang tidak dikendalikan juga telah terbukti menimbulka kerugian, seperti

kebakaran rumah atau bangunan, kebakaran atau pembakaran hutan.


Ketika proses-proses alam itu berlangsung dan mengenai manusia, manusia mengatakan itu sebagai

bencana, seakan-akan proses itu memang ditujukan untuk membuat manusia menderita, sengsara atau

mengalami kerugian. Tulisan ini memberikan gambaran tentang berbagai proses alam tersebut

berkaitan dengan berlangsungnya kehidupan di Bumi ini. Dan alam berproses sesuai dengan Takdir

Alloh yang sudah tercatat di Lahulmafuz.

Daftar Pustaka:

1. Budiyani, Sri., at al., 2003, The Collision of The East Java Microplate and Its Implication for

Hydrocarbon occurrences in the East Java Basin, Indonesian Petroleum Association,

Proceeding  Ann.Conv.29th.

2. Awang H.Satyana and Cipi Armandita, 2004, Deepwater Plays of Java Indonesia, Regional

Evaluation on Opportunities and Risks, Indonesian Petroleum Association , Proceeding Deepwater

and Frontier Exploration in Asia and Australasia Symposium.

3. Awang H.Satyana, 2005, Oligo-Mioscene Carbonates of Java, Indonesia. Tectonic-Volcanic Setting

and Petroleum Implication. Indonesia Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv. 30th.

4. Helen Smyth et al., 2005, East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes and Ancient Basement, Indonesia

Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv. 30th

http://aryadhani.blogspot.com/2012/07/tektonik-dan-sedimentasi-pulau-jawa.html

http://ayobelajargeologi.blogspot.com/2012/01/tektonika-global-pulau-jawa.html

Anda mungkin juga menyukai