Batas Cekungan Sibolga diperlihatkan oleh pola kontur isopach pada cut-off 2.000 meter
(Gambar I.2). Pola rendahan anomali gaya berat turut membatasi cekungan ini (Gambar I.3).
Batas cekungan pada trench slope break dapat dilihat pada penampang seismik (Gambar I.4).
Pengendapan sedimen dari continental shelf semakin menipis ke arah trench slope break
dengan dominasi sedimen klastik halus (Beaudry dan Moore, 1996). Pada bagian selatan,
cekungan ini terpisah dari Cekungan Nias terutama oleh ketebalan sedimen yang semakin
menipis (kurang dari 2.000 meter). Hal ini dapat diperlihatkan pula oleh pola topografi yang
berupa tinggian.
Gambar I.3 Peta anomali gaya berat Cekungan Sibolga (Pusat Survei Geologi, 2000).
Gambar I.4 Penampang seismik Cekungan Sibolga (Beaudry dan Moore, 1985).
I.2 Tektonik
Cekungan Sibolga merupakan bagian dari jalur penunjaman Sunda dan Sesar Sumatera
dipotong oleh beberapa sesar besar seperti Sesar Batee dan Sesar Mentawai. Struktur geologi
yang berkembang pada cekungan ini banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur besar tersebut.
Jalur subduksi Sumatera merupakan sistem subduksi Sunda yang memanjang dari Pulau
Sumba hingga ke bagian timur dari Burma pada bagian utaranya. Kecepatan pergerakan
lempeng ini bervariasi antara 7,8 cm/thn di daerah Sumbawa, hingga 6 cm/thn di sekitar Pulau
Andaman. Busur Sumatera memiliki bentuk morfologi klasik yang terdiri dari palung, prisma
akresi, outer arc ridge, fore-arc, dan jalur volkanik andesitik. Cekungan Sibolga merupakan
bagian dari cekungan busur depan yang dibatasi oleh outer arc ridge.
Tiga siklus tektonik penting diidentifikasi pada Cekungan Sibolga, yakni orogenik Paleogen,
subsidence Neogen, peristiwa tektonik pada Tersier Akhir (Beaudry dan Moore, 1985).
Peristiwa-peristiwa tektonik tersebut diikuti oleh tiga siklus sedimentasi transgresi-regresi
utama yang berkaitan dengan perubahan muka laut.
Orogenik Paleogen mengakibatkan batuan-batuan Paleogen (Sikuen 1) serta batuan-batuan
metasedimen dan metamorfik yang lebih tua terlipat, terangkat dan tererosi di permukaan.
Peristiwa orogenik ini bersamaan dengan penurunan muka air laut (lowstand) global yang
terjadi pada Oligosen (Gambar I.6).
Gambar I.6 Penampang Seismik NE-SW cekungan Sibolga yang menunjukan batas
Prograding Pliosen (Rose, 1983).
Gambar I.8 Penampang stratigrafi dari enam sumur pemboran Cekungan Sibolga bagian
utara (Rose, 1983).
Gambar I.9 Penampang stratigrafi dari tiga sumur pemboran Cekungan Sibolga bagian utara
(Rose, 1983).
Pada Miosen Akhir - Pliosen Awal mulai diendapkan suatu sikuen regresi, yang diawali oleh
sedimentasi endapan-endapan highstand (Sikuen 3) berupa lempung, lanau, dan pasir yang
berasal dari daratan Sumatera. Sedimen-sedimen darat tersebut terendapkan dalam sistem delta
pada paparan. Selama fase highstand atau stillstand tersebut, tekukan lereng paparan bergeser
ke arah darat karena akresi dan agradasi lateral yang terjadi. Fluktuasi perubahan muka air laut
yang cepat mengakibatkan terjadinya erosi yang intensif, sehingga sebagian batas Pleistosen -
Pliosen merupakan batas bidang erosi. Naiknya muka air laut ini diikuti oleh pengendapan
Sikuen 4 yang melampar ke seluruh cekungan (Gambar I.10).
Gambar I.10 Penampang stratigrafi dari empat sumur pemboran Cekungan Sibolga bagian
selatan (Rose, 1983).
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc
artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore – arc; arc = jalur volkanik).
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini
adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah.
Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak
ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.
Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen,
Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu
pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan
Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu
menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc
(belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat
dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada
Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben
di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna,
Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben
Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu
masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan
oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir
ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja
di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan
Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air
Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang
mengalami pengangkatan dan inversi.
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang paling
banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh).
Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-
cekungan ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah ini
(total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target Paleogen dengan sistem
graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan
Sumatera Selatan.
Evolusi cekungan yang terjadi pada Daerah Bengkulu meliputi fase pre-rift, syn-rift,
transgresif, dan regresif (inversion). Berikut ini adalah penjelasan secara detail setiap fase dari
awal sampai akhir.
Fase Pre-Rift
Fase Pre-Rift pada Cekungan Bengkulu terjadi pada Paleosen – Awal Eosen, dimana pada fase
ini muncul rekahan-rekahan yang kemudian memicu terjadinya pembukaan dan perenggangan
pada basement rock, yang merupakan batuan Pra-Tersier, terdiri dari kompleks batuan
Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat.
(Paleogene Rift System?)
Fase Syn-Rift (Horst & Graben Stage)
Fase Syn-Rift pada Cekungan Bengkulu terjadi pada Awal Eosen – Oligosen, dimana pada fase
ini terjadi pengendapan Formasi Lahat dari Paleosen – Tengah Oligosen. Formasi Lahat ini
merupakan Formasi tertua di Cekungan Bengkulu, yang terendapkan pada lingkungan Fluvial-
Lacustrine.
Fase Transgressive
Fase Transgressive pada Cekungan Bengkulu terjadi pada Akhir Oligosen-Pliosen. Pada fase
ini terjadi pengendapan Formasi Talang akar, Hulusimpang, Seblat, Gumai, Air Benakat,
Muara Enim, Lemau, Simpang Aus, dan Eburna. Lingkungan pengendapan sedimen berupa
Darat, Transisi, Laut Dangkal, hingga laut dalam. Sda Pada Miosen Tengah Bukit Barisan
Terangkat dan menyebabkan Cekungan Bengkulu terpisah dengan Cekungan Sumatra Selatan
menjadi “Fore Arc Basin”. Hal ini ditandai oleh adanya perbedaan stratigrafi neogen antara
kedua cekungan tersebut. Cekungan Bengkulu menjadi semakin dalam akibat posisinya terapit
Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai, dan Cekungan Sumatra Selatan semakin mendangkal.
Fase Regressive (Inversion)
Pada fase ini terjadi pengendapan Formasi Bintunan dengan lingkungan pengendapan berupa
darat – transisi dan terjadi pada Kala Pleistosen.
4. Endapan Sungai
Endapan sungai dapat dijumpai di sepanjang aliran sungai Cimandiri, Citarik, Cicatih dan
Cicareuh. Endapan sungai ini paling banyak dijumpai di sepanjang aliran sungai Cimandiri dan
Citarik, dikarenakan kedua sungai ini cukup besar dan mempunyai lembah cukup lebar.
Endapan sungai tersebut dijumpai berupa endapan yang bersifat lepas terdiri dari bongkah,
kerakal hingga kerikil, pasir serta lempung. Fragmen kasar terdiri dari batuan beku (andesit,
basalt dan dasit) dan batuan sedimen berupa batupasir, batulempung dari Kelompok Batuan
Sedimen Tersier. Sedangkan fragmen halus berasal dari rombakan batuan sedimen dan batuan
beku yang berada di daerah sekitarnya.
III.2 Tektonik
Gambar III.1 Cekungan Bogor sebagai cekungan yang busur belakang Magmatik Oligosen-
Miosen.yang ditutupi oleh kuarter dan vulkanis (Satyana &Armandita 2004).
Daerah paparan (Northwest Java Basin) yang berada di utara Cekungan Bogor – Kendeng pada
awalnya (Eosen – Oligosen) juga merupakan daerah cekungan busur muka dalam bentuk terban
yang diisi oleh endapan Paleogen nonmarin vulkanosklatika dan endapan lakustrin Formasi
Jatibarang serta endapan fluviatil, kipas aluvial, fluvio deltaik, dan material lakustrin Formasi
Talang Akar (Sudarmono drr., 1997, op. cit. Ryacudu drr., 1999). Dalam perkembangannya,
pascatektonik Oligo-Miosen, daerah ini menjadi paparan hingga lingkungan laut dangkal
sebagai tempat diendapkannya sedimen Miosen Formasi Baturaja (karbonat), Formasi
Cibulakan, dan Formasi Parigi (karbonat) yang berpotensi sebagai reservoir.
Menurut Effendi drr. (1998) (Gambar III.2) secara stratigrafis, batuan tertua di daerah
Sukabumi adalah Formasi Walat yang disusun oleh batupasir kuarsa berlapisan silang,
konglomerat kerakal kuarsa, batulempung karbonan, dan lapisan tipis-tipis batubara; ke atas
ukuran butir bertambah kasar; tersingkap di Gunung Walat dan sekitarnya. Umur satuan ini
diduga Oligosen Awal. Di atasnya secara selaras diendapkan Formasi Batuasih yang terutama
terdiri atas batulempung napalan hijau dengan konkresi pirit. Di beberapa tempat mengandung
banyak fosil foraminifera besar dan kecil yang diduga berumur Oligosen Akhir. Tebal satuan
ini mencapai 200 m, dan tersingkap baik di Kampung Batuasih. Selanjutnya, diendapkan
Formasi Rajamandala yang disusun oleh napal tufan, lempung napalan, batupasir, dan lensa-
lensa batugamping mengandung fosil Globigerina oligocaenica, Globigerina praebulloides,
Orbulina, Lepidocyclina, dan Spiroclypeus yang memberikan informasi kisaran umur Oligosen
Akhir – Miosen Awal.
Formasi ini menindih secara tak selaras Formasi Batuasih de-ngan tebal sekitar 1.100 m.
Anggota Batugamping Formasi Rajamandala yang terdiri atas batugamping terumbu koral
dengan sejumlah fosil Lithothamnium, Lepidocyclina sumatrensis, dan Lepidocyclina
(Eulepidina) ephippiodes, biasanya terdolomitkan. Di atasnya diendapkan Formasi Halang
yang terdiri atas Anggota Tuf berupa batupasir tuf dasitan, tuf andesit, dan Anggota Breksi
berupa breksi andesit/dasit tufan, batugamping, dan batulempung napalan; setempat lapisan
batugamping mengandung fosil Trillina howchini, Lepidocyclina brouweri, dan Globorotalia
mayeri, yang memberikan indikasi umur Miosen Awal. Anggota ini merupakan bagian pa-ling
bawah Formasi Jampang yang menindih secara selaras Formasi Rajamandala. Selanjutnya, ke
arah atas terdapat batuan Gunung Api Tua yang terdiri atas: (1) Batuan Gunung Api Pangrango,
endapan lebih tua, lahar, dan lava serta basal andesit, dan (2) Breksi Gunung Api, breksi
bersusunan andesit – basal, setempat aglomerat, lapuk.
DAFTAR PUSTAKA
Barber, A. J., M. J. Crow, J. S. Milsom, 2005, Sumatra: Geology, Resources and Tectonic
Evolution, The Geological Society London: London.
Beaudry, D., dan Moore, G.F., 1985, Seismic Stratigraphy and Cenozoic Evolution of West
Sumatra Fore-arc Basin, AAPG Bul. Vol. 69/5, Tulsa Oklahoma, hal.426-437.
Efendi, A.C., Kusnama, dan Hermanto B., 1998. Peta Geologi Lembar Bogor, Jawa, skala
1:100.000, edisi kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Gaffar, E. Z., Katsumi H., Yayat S., Suyanto, Nyanjang. 2014. Penampang Tahanan Jenis
Daerah Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya, Jawa Barat, Berdasarkan Data Audio-Magnetotelurik
Untuk Mitigasi Bencana Geologi. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung.
LEMIGAS, 2006, Indonesia Basin Summaries (IBS), The Gateway (LEMIGAS): Jakarta.
Rose, R.,1983, Miocene Carbonate Rocks of Sibolga Basin, Northwest Sumatra, Indonesian
Pet. Assoc., 12th Annual Convention Proceedings, hal.107-125.
Satyana, A.H. dan Armandita C., 2004. Deepwater Plays of Java, Indonesia: Regional
Evaluation on Opportunities and Risks. Proceeding Deepwater And Frontier Exploration In
Asia & Australasia Symposium, Indonesian Petroleum Association, h.273-320.