Anda di halaman 1dari 12

I CEKUNGAN SIBOLGA

I.1 Geometri Cekungan


Cekungan Sibolga terletak di bagian baratlaut Pulau Sumatera, cekungan ini merupakan bagian
dari cekungan busur depan (fore-arc basin) Sumatera, menurut klasifikasi Kingston (1983).
Secara geografis Cekungan Sibolga terletak di antara 94o- 98o Bujur Timur dan 2o – 6o Lintang
Utara (Gambar I.1). Cekungan ini memiliki kecenderungan arah sebaran baratlaut-tenggara,
wilayahnya sebagian besar mencakup wilayah lepas pantai dan sebagian kecil berada di daratan
(Pulau). Cekungan ini memiliki luas sekitar 26.000 km2. Cekungan ini terisi oleh endapan
sedimen Neogen dengan ketebalan 304,8 – 4572 m yang ditutupi oleh endapan sedimen
Paleogen dan sikuen volkanik dengan ketebalan tidak diketahui (Rose, 1983).

Batas Cekungan Sibolga diperlihatkan oleh pola kontur isopach pada cut-off 2.000 meter
(Gambar I.2). Pola rendahan anomali gaya berat turut membatasi cekungan ini (Gambar I.3).
Batas cekungan pada trench slope break dapat dilihat pada penampang seismik (Gambar I.4).
Pengendapan sedimen dari continental shelf semakin menipis ke arah trench slope break
dengan dominasi sedimen klastik halus (Beaudry dan Moore, 1996). Pada bagian selatan,
cekungan ini terpisah dari Cekungan Nias terutama oleh ketebalan sedimen yang semakin
menipis (kurang dari 2.000 meter). Hal ini dapat diperlihatkan pula oleh pola topografi yang
berupa tinggian.

Gambar I.1 Peta indeks Cekungan Sibolga.


Gambar I.2 Peta isopach dan distribusi sumur di Cekungan Sibolga (Interval kontur 500
meter).

Gambar I.3 Peta anomali gaya berat Cekungan Sibolga (Pusat Survei Geologi, 2000).
Gambar I.4 Penampang seismik Cekungan Sibolga (Beaudry dan Moore, 1985).

I.2 Tektonik
Cekungan Sibolga merupakan bagian dari jalur penunjaman Sunda dan Sesar Sumatera
dipotong oleh beberapa sesar besar seperti Sesar Batee dan Sesar Mentawai. Struktur geologi
yang berkembang pada cekungan ini banyak dipengaruhi oleh struktur-struktur besar tersebut.

Jalur subduksi Sumatera merupakan sistem subduksi Sunda yang memanjang dari Pulau
Sumba hingga ke bagian timur dari Burma pada bagian utaranya. Kecepatan pergerakan
lempeng ini bervariasi antara 7,8 cm/thn di daerah Sumbawa, hingga 6 cm/thn di sekitar Pulau
Andaman. Busur Sumatera memiliki bentuk morfologi klasik yang terdiri dari palung, prisma
akresi, outer arc ridge, fore-arc, dan jalur volkanik andesitik. Cekungan Sibolga merupakan
bagian dari cekungan busur depan yang dibatasi oleh outer arc ridge.

Gambar I.5 Tatanan tektonik Cekungan Sibolga (Rose, 1983).


I.3 Stratigrafi Regional
Batuan sedimen di Cekungan Sibolga terbagi atas dua unit utama yakni batuan Pra-Neogen dan
Neogen, yang di antaranya dipisahkan oleh ketidakselarasan bersudut. Sedimen Neogen
tersusun atas batuan sedimen klastik dan karbonat, yang terbagi lagi menjadi 4 sikuen
pengendapan yakni Pra-Neogen, Miosen Awal – Miosen Tengah, Miosen Akhir – Pliosen dan
Pleistosen – Resen. Pembagian sikuen pengendapan tersebut diidentifikasi berdasarkan
karakter seismik (Beaudry dan Moore, 1985).

Tiga siklus tektonik penting diidentifikasi pada Cekungan Sibolga, yakni orogenik Paleogen,
subsidence Neogen, peristiwa tektonik pada Tersier Akhir (Beaudry dan Moore, 1985).
Peristiwa-peristiwa tektonik tersebut diikuti oleh tiga siklus sedimentasi transgresi-regresi
utama yang berkaitan dengan perubahan muka laut.
Orogenik Paleogen mengakibatkan batuan-batuan Paleogen (Sikuen 1) serta batuan-batuan
metasedimen dan metamorfik yang lebih tua terlipat, terangkat dan tererosi di permukaan.
Peristiwa orogenik ini bersamaan dengan penurunan muka air laut (lowstand) global yang
terjadi pada Oligosen (Gambar I.6).

Gambar I.6 Penampang Seismik NE-SW cekungan Sibolga yang menunjukan batas
Prograding Pliosen (Rose, 1983).

Gambar I.7 Stratigrafi umum Cekungan Sibolga (Rose, 1983).


Subsidence Neogen dicirikan oleh penurunan cekungan dan sedimentasi yang hampir menerus.
Suatu sedimentasi basal di atas ketidakselarasan pada akhir Oligosen menandai dimulainya
pengendapan sikuen transgresi (Sikuen 2). Perselingan sikuen batugamping dan serpih
mendominasi endapan-endapan sikuen transgresi tersebut yang berakhir pada akhir Miosen
(Gambar I.8 dan I.9).

Gambar I.8 Penampang stratigrafi dari enam sumur pemboran Cekungan Sibolga bagian
utara (Rose, 1983).

Gambar I.9 Penampang stratigrafi dari tiga sumur pemboran Cekungan Sibolga bagian utara
(Rose, 1983).
Pada Miosen Akhir - Pliosen Awal mulai diendapkan suatu sikuen regresi, yang diawali oleh
sedimentasi endapan-endapan highstand (Sikuen 3) berupa lempung, lanau, dan pasir yang
berasal dari daratan Sumatera. Sedimen-sedimen darat tersebut terendapkan dalam sistem delta
pada paparan. Selama fase highstand atau stillstand tersebut, tekukan lereng paparan bergeser
ke arah darat karena akresi dan agradasi lateral yang terjadi. Fluktuasi perubahan muka air laut
yang cepat mengakibatkan terjadinya erosi yang intensif, sehingga sebagian batas Pleistosen -
Pliosen merupakan batas bidang erosi. Naiknya muka air laut ini diikuti oleh pengendapan
Sikuen 4 yang melampar ke seluruh cekungan (Gambar I.10).
Gambar I.10 Penampang stratigrafi dari empat sumur pemboran Cekungan Sibolga bagian
selatan (Rose, 1983).

II. CEKUNGAN BENGKULU

Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc
artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore – arc; arc = jalur volkanik).
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini
adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah.
Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak
ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.
Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen,
Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu
pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan
Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu
menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc
(belakang busur).

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat
dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada
Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben
di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna,
Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben
Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu
masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan
oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir
ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja
di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan
Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air
Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang
mengalami pengangkatan dan inversi.

Gambar II.1 Tektonik Cekungan Bengkulu.


(Sumber:http://en.wikibooks.org/wiki/File:Sumatra_map.jpg)
Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu—
yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan
sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit oleh dua sistem
sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) di
daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur
luar Sumatera (Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip)
yang sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-slip atau duplex) akan
bersifat trans-tension atau membuka wilayah yang diapitnya. Dengan cara itulah semua
cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka
oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-
cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu karbonat
Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam.
Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun
berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman
cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak
akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini
belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil
show.

Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang paling
banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh).
Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-
cekungan ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah ini
(total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target Paleogen dengan sistem
graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan
Sumatera Selatan.
Evolusi cekungan yang terjadi pada Daerah Bengkulu meliputi fase pre-rift, syn-rift,
transgresif, dan regresif (inversion). Berikut ini adalah penjelasan secara detail setiap fase dari
awal sampai akhir.
 Fase Pre-Rift
Fase Pre-Rift pada Cekungan Bengkulu terjadi pada Paleosen – Awal Eosen, dimana pada fase
ini muncul rekahan-rekahan yang kemudian memicu terjadinya pembukaan dan perenggangan
pada basement rock, yang merupakan batuan Pra-Tersier, terdiri dari kompleks batuan
Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan batuan karbonat.
(Paleogene Rift System?)
 Fase Syn-Rift (Horst & Graben Stage)
Fase Syn-Rift pada Cekungan Bengkulu terjadi pada Awal Eosen – Oligosen, dimana pada fase
ini terjadi pengendapan Formasi Lahat dari Paleosen – Tengah Oligosen. Formasi Lahat ini
merupakan Formasi tertua di Cekungan Bengkulu, yang terendapkan pada lingkungan Fluvial-
Lacustrine.
 Fase Transgressive
Fase Transgressive pada Cekungan Bengkulu terjadi pada Akhir Oligosen-Pliosen. Pada fase
ini terjadi pengendapan Formasi Talang akar, Hulusimpang, Seblat, Gumai, Air Benakat,
Muara Enim, Lemau, Simpang Aus, dan Eburna. Lingkungan pengendapan sedimen berupa
Darat, Transisi, Laut Dangkal, hingga laut dalam. Sda Pada Miosen Tengah Bukit Barisan
Terangkat dan menyebabkan Cekungan Bengkulu terpisah dengan Cekungan Sumatra Selatan
menjadi “Fore Arc Basin”. Hal ini ditandai oleh adanya perbedaan stratigrafi neogen antara
kedua cekungan tersebut. Cekungan Bengkulu menjadi semakin dalam akibat posisinya terapit
Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai, dan Cekungan Sumatra Selatan semakin mendangkal.
 Fase Regressive (Inversion)
Pada fase ini terjadi pengendapan Formasi Bintunan dengan lingkungan pengendapan berupa
darat – transisi dan terjadi pada Kala Pleistosen.

III CEKUNGAN PELABUHAN RATU

III.1 Geologi Daerah Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya


Daerah Pelabuhan Ratu dan sekitarnya tersusun dari batuan tua ke muda yakni Kelompok
Batuan Sedimen Tersier, Kelompok Batuan Gunungapi Kuarter, Endapan Sungai dan Pantai
Purba, Endapan Kipas, dan Endapan Sungai (Aluvium).
1. Kelompok Batuan Sedimen Tesier
Di daerah studi, kelompok batuan sedimen tersier ini tersingkap sebelah selatan sungai
Cimandiri. Sedangkan di sebelah utara, tersingkap sekitar 45% telah tertutup oleh Kelompok
Batuan Gunungapi Kuarter. Kelompok Batuan Sedimen Tersier ini oleh penulis terdahulu
(Sukamto, 1975 dan Effendi dkk 1998) disusun oleh Formasi Rajamandala, Formasi Jampang,
Formasi Lengkong, Formasi Cimandiri, Formasi Beser dan Formasi Bentang. Secara umum,
batuan penyusun formasi-formasi tersebut terdiri dari batuan sedimen laut yang bersusunan
batulempung, napal, serpih, batugamping, batupasir gampingan, breksi gampingan serta tufa
gampingan. Secara fisik, batuan kelompok ini bersifat keras, terkekarkan, terlipatkan dan
tersesarkan. Diperkirakan kelompok batuan ini telah mengalami tiga kali deformasi tektonik
yakni deformasi tektonik Neogen, Neotektonik Plistosen dan Resen.

2. Kelompok Batuan Gunungapi Kuarter


Kelompok batuan ini dapat dijumpai di sebelah utara aliran sungai Cimandiri dalam posisi
menutupi tidak selaras Kelompok Batuan Sedimen Tersier. Kelompok batuan gunungapi ini
terdiri dari breksi, lava, batupasir tufaan, lapili dan tuf. Kelompok batuan ini diperkirakan
merupakan batuan produk gunungapi tua G. Beser, G. Butak, G. Salak, serta gunungapi muda
Gede dan Pangrango yang berada di sebelah utara daerah studi. Secara fisik, kelompok batuan
ini secara setempat masih memperlihatkan arah aliran dari sumber erupsinya dan umumnya
bersifat menyatu, sukar untuk dipisahkan, namun secara setempat terlihat sebagai individu
seperti aliran lava, breksi dan batupasir tufaan. Jejak struktur geologi pada batuan ini terkadang
sukar ditemui, disebabkan oleh sifat fisik batuan beragam dan tidak merupakan satu kesatuan.
Jejak struktur geologi pada kelompok batuan ini dapat ditelusuri dari kelurusan bentangalam.
Penulis memperkirakan batuan dari kelompok ini telah mengalami deformasi neotektonik
Plistosen dan deformasi neotektonik Resen.

3. Endapan Sungai dan Pantai Purba


Endapan sungai dan pantai purba dapat dijumpai di sepanjang garis pantai Pelabuhanratu dan
aliran sungai Cimandiri. Endapan sungai purba (teras sungai) di daerah hulu sungai Cimandiri
dijumpai terdiri dari dua sampai tiga satuan teras. Endapan teras sungai purba di daerah
Kampung Babakan dijumpai sebanyak enam satuan dengan ketinggian bervariasi dari 0,5
hingga 10 meter dari permukaan sungai sekarang. Penelitian terhadap tubuh teras termuda di
daerah Kampung Babakan dapat dijumpai dari tua ke muda pada ketinggian 25.m. Batuan
penyusun teras sungai ini terdiri dari kerakal, kerikil, pasir dan lempung, yang memperlihatkan
struktur sedimen perlapisan bersusun (graded bedding) yang menghalus ke atas, perlapisan
sejajar (paralel laminasi), silang siur (cross laminasi). Berdasarkan urutan ideal pembentukan
endapan sungai, di lokasi ini penulis menjumpai tiga kali proses erosi, yang disebabkan oleh
mekanisme naik turunnya dasar cekungan sedimentasi teras Babakan ini. Proses naik turunnya
dasar cekungan ini diperkirakan sangat erat kaitannya dengan gerak tektonik sesar yang
mengontrol dasar cekungan. Endapan pantai purba dijumpai berada pada ketinggian bervariasi
dari yang terendah 2 meter, hingga yang tertinggi sampai 20 meter di atas permukaan laut.
Batuan penyusun endapan pantai purba ini terdiri dari pasir pantai, lempung, fragmen batuan
dan cangkang binatang laut serta tumbuhan, lempung hitam (dekat muara sungai). Secara
keseluruhan, endapan pantai purba ini bersifat lepas, namun di beberapa lokasi ditemukan juga
yang telah terpadukan. Berdasarkan kedudukan stratigrafi umurnya, batuan dari kelompok ini
telah mengalami deformasi neotektonik Resen paling sedikit tiga kali.

4. Endapan Sungai
Endapan sungai dapat dijumpai di sepanjang aliran sungai Cimandiri, Citarik, Cicatih dan
Cicareuh. Endapan sungai ini paling banyak dijumpai di sepanjang aliran sungai Cimandiri dan
Citarik, dikarenakan kedua sungai ini cukup besar dan mempunyai lembah cukup lebar.
Endapan sungai tersebut dijumpai berupa endapan yang bersifat lepas terdiri dari bongkah,
kerakal hingga kerikil, pasir serta lempung. Fragmen kasar terdiri dari batuan beku (andesit,
basalt dan dasit) dan batuan sedimen berupa batupasir, batulempung dari Kelompok Batuan
Sedimen Tersier. Sedangkan fragmen halus berasal dari rombakan batuan sedimen dan batuan
beku yang berada di daerah sekitarnya.

III.2 Tektonik

Secara tektonik, Cekungan Bogor merupakan Cekungan Busur-Belakang (Back-Arc Basin)


terhadap busur vulkanik Oligo-Miosen yang berada di selatannya. Aktivitas tektonik yang
terjadi di Jawa telah menyebabkan terbentuknya unsur – unsur tektonik berupa zona akresi,
cekungan, dan busur magmatik. Evolusi tektonik Jawa Barat menyebabkan posisi cekungan
yang telah terbentuk dapat berubah kedudukannya terhadap busur magmatik. Cekungan Bogor
pada kala Eosen-Oligosen merupakan cekung-an busur muka magmatik, namun pada kala
Oligo-Miosen posisi cekungan berubah menjadi cekungan busur-belakang. Kegiatan tektonik
Plio-Plistosen Cekungan Bogor ditempati oleh jalur magmatik hingga kini (Satyana &
Armandita, 2004).

Gambar III.1 Cekungan Bogor sebagai cekungan yang busur belakang Magmatik Oligosen-
Miosen.yang ditutupi oleh kuarter dan vulkanis (Satyana &Armandita 2004).
Daerah paparan (Northwest Java Basin) yang berada di utara Cekungan Bogor – Kendeng pada
awalnya (Eosen – Oligosen) juga merupakan daerah cekungan busur muka dalam bentuk terban
yang diisi oleh endapan Paleogen nonmarin vulkanosklatika dan endapan lakustrin Formasi
Jatibarang serta endapan fluviatil, kipas aluvial, fluvio deltaik, dan material lakustrin Formasi
Talang Akar (Sudarmono drr., 1997, op. cit. Ryacudu drr., 1999). Dalam perkembangannya,
pascatektonik Oligo-Miosen, daerah ini menjadi paparan hingga lingkungan laut dangkal
sebagai tempat diendapkannya sedimen Miosen Formasi Baturaja (karbonat), Formasi
Cibulakan, dan Formasi Parigi (karbonat) yang berpotensi sebagai reservoir.

III.3 Kondisi Stratigrafi

Menurut Effendi drr. (1998) (Gambar III.2) secara stratigrafis, batuan tertua di daerah
Sukabumi adalah Formasi Walat yang disusun oleh batupasir kuarsa berlapisan silang,
konglomerat kerakal kuarsa, batulempung karbonan, dan lapisan tipis-tipis batubara; ke atas
ukuran butir bertambah kasar; tersingkap di Gunung Walat dan sekitarnya. Umur satuan ini
diduga Oligosen Awal. Di atasnya secara selaras diendapkan Formasi Batuasih yang terutama
terdiri atas batulempung napalan hijau dengan konkresi pirit. Di beberapa tempat mengandung
banyak fosil foraminifera besar dan kecil yang diduga berumur Oligosen Akhir. Tebal satuan
ini mencapai 200 m, dan tersingkap baik di Kampung Batuasih. Selanjutnya, diendapkan
Formasi Rajamandala yang disusun oleh napal tufan, lempung napalan, batupasir, dan lensa-
lensa batugamping mengandung fosil Globigerina oligocaenica, Globigerina praebulloides,
Orbulina, Lepidocyclina, dan Spiroclypeus yang memberikan informasi kisaran umur Oligosen
Akhir – Miosen Awal.

Gambar III.2 Peta Geologi daerah Sukabumi (Efendi dkk).

Formasi ini menindih secara tak selaras Formasi Batuasih de-ngan tebal sekitar 1.100 m.
Anggota Batugamping Formasi Rajamandala yang terdiri atas batugamping terumbu koral
dengan sejumlah fosil Lithothamnium, Lepidocyclina sumatrensis, dan Lepidocyclina
(Eulepidina) ephippiodes, biasanya terdolomitkan. Di atasnya diendapkan Formasi Halang
yang terdiri atas Anggota Tuf berupa batupasir tuf dasitan, tuf andesit, dan Anggota Breksi
berupa breksi andesit/dasit tufan, batugamping, dan batulempung napalan; setempat lapisan
batugamping mengandung fosil Trillina howchini, Lepidocyclina brouweri, dan Globorotalia
mayeri, yang memberikan indikasi umur Miosen Awal. Anggota ini merupakan bagian pa-ling
bawah Formasi Jampang yang menindih secara selaras Formasi Rajamandala. Selanjutnya, ke
arah atas terdapat batuan Gunung Api Tua yang terdiri atas: (1) Batuan Gunung Api Pangrango,
endapan lebih tua, lahar, dan lava serta basal andesit, dan (2) Breksi Gunung Api, breksi
bersusunan andesit – basal, setempat aglomerat, lapuk.

DAFTAR PUSTAKA
Barber, A. J., M. J. Crow, J. S. Milsom, 2005, Sumatra: Geology, Resources and Tectonic
Evolution, The Geological Society London: London.
Beaudry, D., dan Moore, G.F., 1985, Seismic Stratigraphy and Cenozoic Evolution of West
Sumatra Fore-arc Basin, AAPG Bul. Vol. 69/5, Tulsa Oklahoma, hal.426-437.
Efendi, A.C., Kusnama, dan Hermanto B., 1998. Peta Geologi Lembar Bogor, Jawa, skala
1:100.000, edisi kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Gaffar, E. Z., Katsumi H., Yayat S., Suyanto, Nyanjang. 2014. Penampang Tahanan Jenis
Daerah Pelabuhan Ratu dan Sekitarnya, Jawa Barat, Berdasarkan Data Audio-Magnetotelurik
Untuk Mitigasi Bencana Geologi. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung.
LEMIGAS, 2006, Indonesia Basin Summaries (IBS), The Gateway (LEMIGAS): Jakarta.
Rose, R.,1983, Miocene Carbonate Rocks of Sibolga Basin, Northwest Sumatra, Indonesian
Pet. Assoc., 12th Annual Convention Proceedings, hal.107-125.
Satyana, A.H. dan Armandita C., 2004. Deepwater Plays of Java, Indonesia: Regional
Evaluation on Opportunities and Risks. Proceeding Deepwater And Frontier Exploration In
Asia & Australasia Symposium, Indonesian Petroleum Association, h.273-320.

Nama : Gregory Tampubolon


Nim : 12016039

Anda mungkin juga menyukai