Posted on Februari 1, 2012 by drdjebrut Leukemia mieloid kronis (CML) merupakan penyakit mieloproliferatif yang ditandai oleh proliferasi sel mieloid yang berlebihan dengan kemampuan diferensiasi yang masih baik. Terdapat fase kronis dimana pasien tidak menunjukkan gejala klinis. Hal inilah yang sering menyebabkan pasien tidak terdiagnosis lebih awal. Biasanya diagnosis pada fase ini ditemukan kebetulan pada saat dilakukan hapusan darah tepi pada saat pemeriksaan darah karena alasan lain. Setelah beberapa lama fase kronis, hampir semua pasien masuk ke fase akut atau krisis blast (sel muda) dengan tingkat kematian yang lebih tinggi akibat leukemia akut atau berbagai komplikasinya. Lantas bagaimana cara mendiagnosa pasien dengan CML? Selain melihat gejala dan tanda klinisnya, kita dapat mendiagnosisnya menggunakan hapusan darah tepi. Hal ini tentunya lebih mudah terutama bagi klinisi yang berada di daerah atau sedang PTT tanpa akses pemeriksaan aspires sumsum tulang. Apa saja yang dapat dilihat dari hapusan darah perifer penderita CML?
Dari hapusan darah di atas, sekilas sudah bisa kita lihat tedapat peningkatan jumlah leukosit yang signifikan. Peningkatan ini pun disertai gambaran leukosit yang berbagai macam bentuknya seperti pasar malam, apa saja ada.
Di atas dapat kita lihat adanya basofil dan berbagai seri mieloid seperti netrofil segmen, netrofil stab, mielosit, metamielosit, dan promielosit.
Peningkatan jumlah eosinofil (sitoplasma berwarna merah) juga dapat ditemukan pada hapusan darah tepi pasien CML.
Sedangkan hapusan darah seperti di atas dapat kita temukan pada pasien CML yang telah mengalami kriss blast. Dapat kita lihat adanya sel muda dari seri mieloid yang berada pada darah tepi, juga disertai adanya seri mieloid yang lain seperti eosinofil, neutrofil, dan metamielosit. Dari beberapa gambar di atas dapat kita lihat bahwa hapusan darah tepi dari seorang penderita CML sangat khas dengan adanya semua seri mieloid dengan jumlah yang meningkat. Hal ini menggambarkan peningkatan proliferasi sel dan diferensiasi sel yang masih baik, dan berkurangnya apoptosis (kematian sel terprogram). Semoga bermanfaat
(Halstead, 2008) Dengue primer Dengue primer terjadi pada pasien tanpa riwayat terkena infeksi dengue sebelumnya. Pada pasien ini dapat dideteksi IgM muncul secara lambat dengan titer yang rendah. Dengue Sekunder Dengue sekunder terjadi pada pasien dengan riwayat paparan virus dengue sebelumnya. Kekebalan terhadap virus dengue yang sama atau homolog muncul seumur hidup. Setelah beberapa waktu bisa terjadi infeksi dengan virus dengue yang berbeda. Pada awalnya akan muncul antibodi IgG, sering pada masa demam, yang merupakan respon memori dari sel imun. Selain itu juga muncul respon antibodi IgM terhadap infeksi virus dengue yang baru. Untuk mudahnya bisa dilihat pada tabel di bawah :
Selain itu juga bisa digunakan rasio IgM/IgG. Rasio > 1,8 lebih mendukung infeksi dengue primer, sedangkan raso 1,8 lebih ke arah infeksi dengue sekunder. Semoga bermanfaat Sumber: Dengue, Tropical Medicine: Science and Practice
Jika PaCO2 dan pH berada pada arah yang berlawanan (contohnya PaCO2 meningkat dan pH turun) maka masalah utamanya adalah pada sistem respiratorik. Sedangkan jika arahnya sama, contohnya penurunan pH dan penurunan PaCO2, maka masalah utama bukan pada sistem respiratorik, tapi pada sistem metabolik. Pada kasus ini, penurunan PaCO2 menunjukkan usaha dari paru untuk mengembalikan pH ke rentang normal. Jika mekanisme kompensasi ini terjadi tapi nilai pH masih di luar rentang normal, maka ini menunjukkan adanya kompensasi sebagian. 3. Lihat HCO3 Jika pH dan HCO3 pada arah yang sama, menunjukkan masalah utama pada sistem metabolik, dan sebaliknya jika berlawanan maka masalah utama pada sistem respiratorik dengan kompensasi dari sistem metabolik. Hubungan dari ketiga bagian di atas, bisa dilihat pada tabel berikut:
Untuk memudahkan mengingat bagian 2 dan 3, bisa menggunakan akronim ROME pada tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat Sumber: Interpretation of the Arterial Blood Gas
2. Lihat CO2 Langkah kedua adalah lihat kadar pCO2. Kadar pCO2 normal adalah 35-35 mmHg. Di bawah 35 adalah alkalosis, di atas 45 asidosis. 3. Lihat HCO3 Langkah ketiga adalah lihat kadar HCO3. Kadar normal HCO3 adalah 22-26 mEq/L. Di bawah 22 adalah asidosis, dan di atas 26 alkalosis. 4. Bandingkan CO2 atau HCO3 dengan pH Langkah selanjutnya adalah bandingkan kadar pCO2 atau HCO3 dengan pH untuk menentukan jenis kelainan asam basanya. Contohnya, jika pH asidosis dan CO2 asidosis, maka kelainannya disebabkan oleh sistem pernapasan, sehingga disebut asidosis respiratorik. Contoh lain jika pH alkalosis dan HCO3 alkalosis, maka kelainan asam basanya disebabkan oleh sistem metabolik sehingga disebut metabolik alkalosis. 5. Apakah CO2 atau HCO3 berlawanan dengan pH Langkah kelima adalah melihat apakah kadar pCO2 atau HCO3 berlawanan arah dengan pH. Apabila ada yang berlawanan, maka terdapat kompensasi dari salah satu sistem pernapasan atau metabolik. Contohnya jika pH asidosis, CO2 asidosis dan HCO3 alkalosis, CO2 cocok dengan pH sehingga kelainan primernya asidosis respiratorik. Sedangkan HCO3 berlawanan dengan pH menunjukkan adanya kompensasi dari sistem metabolik. 6. Lihat pO2 dan saturasi O2 Langkah terakhir adalah lihat kadar PaO2 dan O2 sat. Jika di bawah normal maka menunjukkan terjadinya hipoksemia. Untuk memudahkan mengingat mana yang searah dengan pH dan mana yang berlawanan, maka kita bisa menggunakan akronim ROME. Respiratory Opposite : pCO2 di atas normal berarti pH semakin rendah (asidosis) dan sebaliknya. Metabolic Equal : HCO3 di atas normal berarti pH semakin tinggi (alkalosis) dan sebaliknya. Semoga bermanfaat Sumber: 6 Easy Steps to ABG Analysis
Semoga bermanfaat
Klasifikasi GGK (Fauci et al, 2009) Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk memastikan adanya kerusakan target organ adalah urin rutin untuk melihat albuminuria, elektrolit untuk melihat adanya hipokalsemia, dan darah rutin untuk anemianya. Membedakan proses akut vs kronis Darah lengkap : pada GGK biasanya terjadi anemia sedang normositik normokromik, sedangkan pada GGA tidak ada anemia. Urin lengkap : pada GGK terjadi albuminuria berat, sedangkan GGA albuminuria sedang dan ditemukan adanya silinder epitel tubulus. Analisa Gas Darah : pada GGK terjadi asidosis metabolik terkompensasi karena prosesnya telah lama, sedangkan pada GGA tidak mampu melakukan kompensasi. Elektrolit : pada GGK telah terjadi kerusakan target organ sehingga terjadi hipokalsemia, sedangkan pada GGA tidak terjadi hipokalsemia. Penyebab dibagi menjadi prerenal, renal, dan post renal. Renal : albuminuria > 2+, atau 1+ pada pasien DM dan hipertensi, untuk memastikan perlu pemeriksaan GDP/GD 2 jamPP, dan funduskopi. Post renal : hematuria sedang-berat yang disebabkan karena batu atau tumor, untuk itu perlu dilakukan USG abdomen. Kultur urin dilakukan apabila ada kecurigaan infeksi. Prerenal : sangat jarang, apabila pemeriksaan tidak mengarah penyebab renal maupun post renal kemungkinan disebabkan karena prerenal. Semoga bermanfaat Sumber: Harrisons Principle of Internal Medicine dan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Skema marker serologi hepatitis B (Fauci et al, 2008) HBs Ag Jika positif, pasien dianggap terinfeksi hepatitis B. Pengulangan tes setelah 6 bulan untuk menentukan infeksi telah sembuh atau kronik. HBsAg positif setelah 6 bulan tetap terdeteksi dalam darah selama lebih dari enam bulan berarti telah menjadi kronis. Anti HBs Jika positif, pasien dianggap memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (baik karena infeksi yang telah sembuh atau karena vaksinasi). Hepatitis B karier kronis dapat menunjukkan HBsAg dan Anti HBs positif. positif untuk HbsAg dan anti HBs pada saat yang bersamaan, tetapi hal ini sangat jarang terjadi (<1%). Jika negatif pasien belum memiliki kekebalan terhadap virus hepatitis B HBeAg HBeAg positif berhubungan dengan tingkat infeksi yang tinggi dan pada karier kronik dengan peningkatan resiko sirosis. Tes ini dapat digunakan untuk mengamati perkembangan hepatitis B kronik. HBV DNA HBV DNA positif menunjukkan infeksi aktif, bergantung pada viral load (jumlah virus). Tes ini dapat digunakan untuk mengetahui prognosis dan keberhasilan terapi. Anti HBc Jika positif, pasien telah terinfeksi oleh VHB. Infeksi telah sembuh (HBsAg negatif) atau masih berlangsung (HBsAg positif). Jika infeksi telah sembuh, pasien dianggap mempunyai kekebalan alami terhadap infeksi VHB. IgM anti HBc mungkin menjadi satu-satunya marker yang dapat terdeteksi selama masa window period ketika HbsAg dan anti-HBs masih negatif. Anti HBe Umumnya Anti HBe positif dengan HBeAg negatif menunjukkan tingkat replikasi virus yang rendah. Namun hal ini tidak berlaku pada virus hepatitis B mutan. Pemeriksaan tambahan Anti HCV dan Anti HAV untuk menyingkirkan adanya infeksi hepatitis C dan A. Semoga bermanfaat
Anemia aplastik adalah penyakit yang disebabkan sumsum tulang tidak mampu memproduksi sel darah baru yang cukup. Penyebabnya kebanyakan adalah idiopatik atau tidak diketahui, dan sisanya karena obat-obatan,
bahan kimia, infeksi terutama virus, kehamilan, dan thymoma. Gejala-gejala yang muncul terutama diakibatkan kurangnya produksi dari eritrosit, leukosit, dan trombosit (disebut juga pansitopenia): anemia: 3L (lemah, letih, lesu), pucat leukopenia (turunnya leukosit) : mudah terserang infeksi trombositopenia (turunnya trombosit) : mudah terjadi kelainan perdarahan. Seperti adanya lebam (bisa ptekiae, ekimosis, atau purpura), mimisan, atau perdarahan lain yang lebih serius. retikulositopenia (turunnya jumlah eritrosit muda) Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan adalah anemia normokrom normositik, leukopenia terutama neutrofil dan trombositopenia dibawah 150.000/l. Dari pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, ditemukan tanda-tanda kurangnya fungsi sumsum tulang dalam memproduksi sel darah, yaitu saat dilakukan aspirasi hanya sedikit matriks yang terambil dan dari mikroskop terlihat hiposeluler dan didominasi oleh sel lemak.
Gambaran aspirasi sumsum tulang pada anemia aplastik Pengobatan yang diperlukan oleh pasien bervariasi tergantung derajat penyakitnya, dari transfusi darah, pemberian antibiotik, obat imunosupresi, sampai transplantasi sumsum tulang. Semoga bermanfaat Sumber: Manual of Clinical Hematology
CPK akan meningkat dalam 4-8 jam, mencapai puncak dalam 18 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. Pemeriksaan CPK kurang spesifik pada jantung, karena juga meningkat pada penyakit otot rangka, trauma, dan infark serebri. Sedangkan CKMB, isoensim dari CPK, memiliki tingkat spesifisitas yang lebih tinggi dari CPK. CKMB akan meningkat dalam 3-6 jam setelah terjadi serangan jantung, mencapai puncak dalam 12-24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. Selain karena serangan jantung, CKMB juga meningkat pada miokarditis, gagal jantung, dan trauma pada otot jantung. Yang terpenting adalah mengetahui kapan kedua ensim ini akan meningkat, kapan puncaknya, dan kapan akan kembali normal, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memiliki nilai diagnostik dan tidak sia-sia dilakukan. Contohnya, akan percuma jika dilakukan pemeriksaan CKMB pada hari keempat setelah serangan. Nilai normal: CPK: 1. Wanita : 40150 U/L 2. Pria : 38174 U/L CPK-MB : <3% dari CPK Semoga bermanfaat Sumber: Manual of Laboratory and Diagnostic Tests, 2008