Anda di halaman 1dari 5

FAJAR UTAMA 1010853016 DIPLOMASI

NEGOSIASI KONFLIK SENGKETA SIPADAN dan LIGITAN Pulau Sipadan - Ligitan merupakan objek sengketa internasional antara Indonesia dan Malaysia. Pulau Sipadan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut sekitar 24 km dari pantai Sabah, Malaysia dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau Sebatik, Indonesia. Sedangkan pulau Ligitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut sekitar 34 km dari pantai Sabah, Malaysia) dan 57,6 mil laut sekitar 93 km dari pantai pulau Sebatik, Indonesia. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana Sidapan dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya tanpa pengetahuan dari Indonesia.

FAJAR UTAMA 1010853016 DIPLOMASI

Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation sebagai pisau analisis tersebut. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut. Sikap Indonesia pada awalnya ingin membawa kasus ini kepada Dewan Tinggi ASEAN namun tidak menemui kesepakatan menyelesaikan sengketa antara kedua negara tersebut sehingga kasus ini di bawa ke jalur hukum Mahkamah Internasional. Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan pernyataan perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu. Effective Occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang

FAJAR UTAMA 1010853016 DIPLOMASI

diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik. Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum. Sebagai bentuk upaya diplomasi Indonesia penyelesaian sengketa Indonesia dengan malaysia dalam hal ini pulau sipadan dan ligitan, Indonesia menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-

Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa. MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10 LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau

FAJAR UTAMA 1010853016 DIPLOMASI

sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

FAJAR UTAMA 1010853016 DIPLOMASI

REFERENSI http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0, diakses pada 13 Maret 2012 http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf, diakses pada 13 Maret 2012 http://www.asiaquarterly.com/content/view/160/, diakses pada 13 Maret 2012 http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7700.pdf, diakses pada 13 Maret 2012 http://www.icj-cij.org/docket/files/102/10570.pdf, diakses pada 13 Maret 2012

Anda mungkin juga menyukai