Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada sebuah janji di dalam Al-Quran bahwa Allah s.w.t.

akan memelihara Islam saat menghadapi bahaya dan percobaan seperti diungkapkan dalam surat Al-Hijr ayat 9, yang artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan peringatan ini dan sesungguhnya Kamilah pemeliharanya.(Surat Al-Hijr: 9). Sesuai dengan janji tersebut maka Allah yang Maha Perkasa akan menjaga Firman-Nya dengan empat cara. Pertama, melalui daya ingat mereka yang telah menghafal keseluruhan Al-Quran sehingga keutuhan teks dan urutannya tetap terjaga. Pada setiap zaman terdapat ratusan ribu orang yang menghafalkan Al-Quran di luar kepala dimana jika ada yang menanyakan satu kata saja, mereka ini dapat menilawahkan kalimatnya. Melalui cara ini AlQuran dipelihara terhadap penyimpangan verbal sepanjang masa. Kedua, melalui ulamaulama akbar di setiap zaman yang memperoleh pemahaman Al-Quran, dimana mereka ini menafsirkan Al-Quran dengan bantuan Hadits, sehingga dengan cara tersebut Firman Tuhan terpelihara dari penyimpangan penafsiran dan arti. Ketiga, melalui para cendekiawan yang mengungkapkan ajaran Al-Quran berdasarkan logika dan dengan demikian memeliharanya terhadap serangan dari para filosofis yang berpandangan sempit. Keempat, melalui mereka yang mendapat karunia dari Allah SWT dimana mereka di setiap zaman menjaga Firman Allah SWT terhadap serangan-serangan dari mereka yang menyangkal mukjizat dan wawasan kerohanian. Jangan sampai umat Islam berpandangan bahwa turunnya wahyu dimulai dengan kedatangan Nabi Adam a.s. dan telah berakhir dengan selesainya penugasan Hadzrat Rasulullah SAW sehingga setelah beliau lalu dianggap wahyu Ilahi tidak ada lagi. Janganlah kita mempunyai keyakinan seperti bangsa Hindu yang berpendapat bahwa Firman Tuhan hanya terbatas kepada apa yang sudah disampaikan-Nya saja. Sejalan dengan aqidah Islam, yang namanya firman, pengetahuan dan kebijakan-Nya, sebagaimana juga Wujud-Nya, adalah bersifat tidak terbatas. Allah yang Maha Agung berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 110, yang artinya : Katakanlah: Sekiranya setiap lautan menjadi tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Tuhan-ku, niscayalah lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat Tuhan-ku habis, sekalipun Kami datangkan sebanyak itu lagi sebagai bantuan tambahan. (S.18 AlKahfi:110). Kami memahami telah berhentinya wahyu Ilahi turun ke bumi dalam pengertian bahwa karena yang telah diturunkan berupa Al-Quran sudah sangat lengkap guna memperbaiki kondisi umat manusia maka tidak akan ada lagi kaidah baru. Pada saat diturunkannya AlQuran tersebut, segala hal yang berkaitan dengan akhlak, aqidah dan perilaku manusia sudah rusak sama sekali dimana segala bentuk penyimpangan dan kejahatan telah mencapai puncaknya. Karena itulah ajaran yang dibawa Al-Quran bersifat sangat komprehensif. Dalam pengertian inilah dikatakan bahwa kaidah yang dikemukakan AlQuran bersifat sempurna dan terakhir atau final, sedangkan kaidah yang dibawa oleh Kitabkitab suci terdahulu itu tidak lengkap karena tingkat kejahatan manusia di masanya belum mencapai klimaks sebagaimana saat diturunkannya Al-Quran. Perbedaan di antara Al-Quran dengan Kitab-kitab yang diwahyukan lainnya adalah

meskipun Kitab-kitab itu dipelihara dengan segala cara, tetapi karena ajaran yang dibawanya tidak sempurna maka masih diperlukan diwahyukannya Al-Quran sebagai ajaran yang paling sempurna. Hanya saja tidak akan ada lagi Kitab lain yang akan diwahyukan setelah Al-Quran karena tidak ada sesuatu yang bisa melampaui apa yang namanya kesempurnaan. Bilamana diandaikan bahwa prinsip-prinsip hakiki dari Al-Quran bisa disesatkan seperti halnya Weda dan Injil dimana manusia menciptakan sekutu bagi Tuhannya serta ajaran Ketauhidan Ilahi diselewengkan dan disesatkan sehingga berjuta-juta umat Islam lalu mengikuti syirik dan menjadi penyembah makhluk, maka dalam keadaan seperti itu bisa jadi perlu diwahyukan syariat baru dan diutus seorang Rasul baru. Namun perandaian seperti ini jelas tidak masuk akal. Penyesatan ajaran Al-Quran tidak mungkin terjadi karena Allah yang Maha Agung telah berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 9, yang artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kam yang benar-benar memeliharanya. (S.15 Al-Hijr:9). Kebenaran ini telah dibuktikan sepanjang sejarah selama 1300 tahun terakhir. Sejauh ini tidak ada ajaran sesat atau penyembahan berhala bisa berhasil menyusup ke dalam AlQuran sebagaimana yang terjadi pada Kitab-kitab suci lainnya. Pikiran waras pun tidak bisa membayangkan bahwa hal seperti itu dapat terjadi. Berjuta-juta umat Islam telah menghafalkan Al-Quran di luar kepala dan terdapat ribuan buku tafsir yang akan menjaga arti dan pengertiannya. Ayat-ayatnya ditilawahkan dalam shalat lima waktu dalam sehari dan Kitab ini dibaca orang setiap hari. Kitab ini dicetak di semua negeri-negeri di dunia dalam jumlah jutaan buku dimana ajarannya karena diketahui oleh setiap orang sehingga kita pun menyadari secara pasti bahwa adanya perubahan atau penyimpangan dalam ayatayat Al-Quran merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mungkin terjadi. 1.2 Tujuan Al-Quran dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Quran yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai Al-Quran : Bahwa Al-Quran menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4) Bahwa Al-Quran diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitabkitab sebelumnya. QS(5:48) Bahwa Al-Quran menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64) Bahwa Al-Quran meluruskan sejarah. Dalam Al-Quran terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen. Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Alquran Al-Quran (dalam ejaan Bahasa Indonesia: Alquran, dalam bahasa Arab ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam mempercayai bahwa Al-Quran merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad

SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Quran berasal dari bahasa Arab yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Kata Al-Quran adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qaraa yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Quran sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu), jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti (amalkan) bacaannya.(75:17-18) Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Quran sebagai berikut: Al-Quran adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah. Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Quran sebagai berikut: Al-Quran adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat AlFatihah dan ditutup dengan surat An-Nas Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai ummat Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Quran seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Quran. a. Nama-nama lain Al-Quran Dalam Al-Quran sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Quran itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya: Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2) Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1) Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9) Al-Mauidhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57) Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37) Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39) Asy-Syifa (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82) Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33) At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192) Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77) Ar-Ruh (ruh): QS(42:52) Al-Bayan (penerang): QS(3:138) Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6) Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102) An-Nur (cahaya): QS(4:174) Al-Bashair (pedoman): QS(45:20) Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)

Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51) b. Struktur dan pembagian Al-Quran Surat, ayat dan ruku Al-Quran terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar dan Al-Asr. Total jumlah ayat dalam Al-Quran mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang diterapkan. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku yang membahas tema atau topik tertentu. Makkiyah dan Madaniyah Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah Juz dan manzil Dalam skema pembagian lain, Al-Quran juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Quran dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Quran menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu. Menurut ukuran surat Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Quran terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. As Sabuththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, AnNisaa, Al-Araaf, Al-Anaam, Al Maa-idah dan Yunus; 2. Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mumin dan sebagainya; 3. Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya; 4. Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya. c. Sejarah Al-Quran hingga berbentuk mushaf Penurunan Al-Quran Dipercayai oleh umat Islam bahwa penurunan Al-Quran terjadi secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Penulisan Al-Quran dan perkembangannya Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Quran sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

d. Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Quran Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Quran telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Quran itu sendiri. Terjemahan Terjemahan Al-Quran adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Quran yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Quran. Sebab Al-Quran menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dengan maksud lainnya. Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh: Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh: 1. Al-Quran dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002 2. Terjemah Al-Quran, oleh Prof. Mahmud Yunus 3. An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy 4. Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS 1. Quran Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta 2. Quran Suadawiah (bahasa Sunda) 3. Quran bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien 4. Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang 5. Al-Quran Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan 6. Al-Amin (bahasa Sunda) Terjemahan dalam bahasa Inggris 1. The Holy Quran: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali 2. The Meaning of the Holy Quran, oleh Marmaduke Pickthall Tafsir Upaya penafsiran Al-Quran telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad SAW, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Quran terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah. 2.2 Sejarah Pemeliharaan dan Pemurnian Al-Quran Masa pembukuan Al-Quran terdiri kepada tiga bahagian yaitu masa Nabi Muhammad SAW, masa Khalifah Abu Bakar dan masa Khalifah Utsman bin Affan. Kini, kebanyakan Al-Quran dikenali sebagai Al-Quran Rasm Utsmani berberkah nama Khalifah Utsman bin Affan yang telah membukukan dan menyusun Al-Quran ini sehingga lengkap. a. Memelihara Al Quran di masa Nabi Muhammad SAW Pada permulaan Islam, kebanyakan orang bangsa Arab Islam adalah bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang tahu menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas seperti kertas yang ada sekarang. Perkataan al waraq (daun) yang

digunakan dalam mengatakan kertas pada masa itu hanyalah pada daun kayu saja. Kata al qirthas digunakan oleh mereka hanya merujuk kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis seperti kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar tulang binatang dan sebagainya. Setelah mereka menakluki negeri Persia yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW barulah mereka mengetahui kertas. Orang Persia menamakan kertas itu sebagai kaqhid. Maka digunakan kata itu untuk kertas oleh bangsa Arab Islam semenjak itu. Sebelum Nabi Muhammad atau semasa zaman Nabi Muhammad kata kaqhid itu tidak ada digunakan di dalam bahasa Arab, maupun dalam hadits-hadits Nabi. Kemudian kata al qirthas digunakan pula oleh bangsa Arab Islam ini kepada apa yang dinamakan kaqhid dalam bahasa Persia itu. Kitab atau buku tentang apapun juga belum ada pada mereka. Kata-kata kitab di masa itu hanyalah bermaksud dalam bentuk seperti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya. Begitu juga dalam arti kata surat seperti pada surat An Naml ayat 28 di bawah, yang artinya : Pergilah dengan suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan. Begitu juga kutub (jama kitab) yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad kepada raja-raja di masanya untuk menyeru mereka kepada Islam. Walaupun kebanyakan bangsa Arab Islam pada masa itu masih buta huruf, namun mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata. Demikianlah keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan Islam itu. Maka dijalankan oleh Nabi Muhammad suatu cara yang amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al-Quran dan memeliharanya. Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu, Nabi Muhammad menyuruh menghafalnya dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa saja yang bisa disusun dalam sesuatu surat. Nabi Muhammad SAW menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi Muhammad mengadakan peraturan yaitu Al-Quran sajalah yang boleh dituliskan. Selain daripada Al-Quran, Hadishadis atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi Muhammad dilarang menuliskannya. Larangan ini bermaksud supaya Al-Quran itu terpelihara, jangan tercampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi Muhammad SAW. Nabi menganjurkan supaya Al-Quran itu dihafal, selalu dibaca dan diwajibkan membacanya dalam shalat. Maka dengan itu banyaklah orang yang hafal Al-Quran. Surah yang satu dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang hafal seluruh Al-Quran. Pada saat itu tidak ada satu ayat pun yang tidak dituliskan. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan disenangi oleh Nabi Muhammad SAW sehingga baginda Rasulullah bersabda : Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada (orang-orang yang mati syahid) Dalam Perang Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh orang-orang Islam, yang tidak mampu menebus dirinya dengan Uang, tetapi mempunyai pengetahuan dalam menulis dan membaca, masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim menulis dan membaca sebagai ganti tebusan. Di dalam Al-Quran pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Contohnya

seperti ayat di bawah, yang artinya: Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan. (Surah Al Qalam:1), dan juga ; Bacalah, dan Tuhanmu amat mulia. Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Surah Al Alaq: 3, 4 dan 5). Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca di kalangan orangorang muslim, dan semakin bertambah banyaklah di antara mereka yang pandai menulis dan membaca dan semakin banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan itu. Nabi Muhammad SAW sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Al-Quran untuk Baginda. Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah Ali bin Abi Talib, Usman bin Affan, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit dan Muawiyah. Yang terbanyak menuliskannya ialah Zaid bin Tsabit. Dengan demikian di zaman Nabi Muhammad SAW, terdapat 3 unsur yang sangat menolong memelihara Al-Quran yang telah diturunkan itu: 1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Quran; 2. Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi Muhammad; 3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing. Pada saat itu oleh Jibril diadakan ulangan bacaan sekali dalam setahun. Di dalam ulangan bacaan itu, Nabi Muhammad SAW disuruh mengulang memperdengarkan Al-Quran yang telah diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi Muhammad SAW sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Nabi Muhammad SAW membacakan atau memperdengarkan Al-Quran itu di hadapannya. Ini untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, Al-Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan suratsuratnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka telah mendengar Al-Quran itu dari mulut Nabi Muhammad SAW berkali-kali, dalam solat, dalam pidato-pidato Baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lainlain, sebagaimana Nabi Muhammad SAW sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al-Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad SAW telah mengadakan satu kaedah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al-Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu. b. Al Quran di masa Abu Bakar r.a Sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam mengangkat Abu Bakar r.a menjadi Khalifah. Pada awal masa pemerintahan beliau, beberapa perkara yang membawa kepada peperangan telah berlaku seperti peristiwa murtad di kalangan orang-orang yang tidak kuat imannya seperti di Yaman, dan terdapat banyak juga yang menolak membayar Zakat, juga ada pula orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Hal-hal ini dihadapi oleh Abu Bakar r.a dengan tegas sehingga beliau berkata terhadap orang-orang yang menolak membayar zakat itu, Demi Allah, Kalau mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak kambing sebagai Zakat (seperti apa) yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka. Di antara peperangan-peperangan yang hebat dan terkenal itu adalah peperangan

Yamamah, di mana kebanyakan Tentara Islam yang ikut dalam peperangan ini terdiri daripada para sahabat penghafal Al-Quran. Dalam peperangan tersebut 70 orang penghafal Al-Quran telah gugur syahid. Sebelum itu pula di zaman Nabi Muhammad SAW, hampir dengan jumlah yang sama juga telah gugur syahid para sahabat penghafal Al-Quran dalam satu peperangan di sumur Maunah dekat Kota Madinah. Oleh karena Umar bin Khattab r.a merasa bimbang jika gugur syahidnya para sahabat penghafal Al Quran yang masih hidup itu dalam peperangan-peperangan yang seterusnya, yang bisa membawa kesan buruk terhadap pemurnian Al-Quran, maka beliau pergi kepada Abu Bakar r.a untuk memperbincangkan masalah tersebut. Dalam buku-buku Tafsir dan Hadits, percakapan antara Abu Bakar r.a, Umar Al Khattab r.a dan Zaid bin Tsabit mengenai pengumpulan Al-Quran adalah diterangkan seperti berikut: Umar berkata kepada Abu Bakar: Dalam peperangan Yamamah, para sahabat yang hafal AlQuran telah banyak yang gugur. Aku bimbang akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya. Maka ayat-ayat Al-Quran itu perlu dikumpulkan. Abu Bakar menjawab: Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah? Umar menegaskan: Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik. Dan Umar Al Khattab r.a berulang kali memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan Al-Quran ini, sehingga Allah SWT membukakan hati Abu Bakar r.a untuk menerima pendapat Umar Al Khattab r.a itu. Kemudian Abu Bakar r.a memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya : Umar mengajak ku mengumpulkan Al-Quran. Lalu dimaklumkan oleh Abu Bakar r.a segala perbincangannya dengan Umar Al Khattab r.a kepada Zaid bin Tsabit. Kemudian Abu Bakar berkata: Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas yang ku percayai sepenuhnya. Dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Al-Quran itu. Zaid menjawab: Demi Allah! Ini adalah pekerjaan yang berat bagi ku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al-Quran yang engkau perintahkan itu. Dan selanjutnya dia bertanya kepada Abu Bakar r.a dan Umar r.a: Kenapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi? Abu Bakar r.a menjawab: Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik. Lalu Abu Bakar r.a memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu, sehingga menyadarkan Zaid akan kebaikan tersebut. Kemudian, Zaid mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu dari daun, pelepah kurma, batu tanah keras, tulang dan kulit unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Quran. Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran itu, Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti. Sekalipun beliau adalah hafal AlQuran seluruhnya, tetapi untuk kepentingan pengumpulan Al-Quran yang sangat penting bagi umat Islam itu, beliau masih memandang perlunya memadankan atau menyesuaikan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan demikian, ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan itu seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran, dan diikatkannya dengan baik dan benar, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Kemudian Al-Quran tersebut diserahkan kepada Abu Bakar r.a. Mushaf ini tetap berada di tangan Abu Bakar r.a sampai beliau (Abu Bakar) meninggal dunia. Kemudian mushaf ini dipindahkan ke rumah Umar Al Khattab dan tetap berada di sana selama

pemerintahan beliau sebagai khalifah Islam. Setelah Umar Al Khattab r.a meninggal dunia, mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, anak perempuan Umar dan isteri Rasulullah SAW sampai masa pengumpulan dan penyusunan Al-Quran di masa Khalifah Utsman bin Affan r.a. c. Membukukan Al-Quran di masa Utsman bin Affan r.a Di masa khalifah Utsman bin Affan r.a pemerintahan Islam telah sampai hingga ke Armenia dan Azerbaijan disebelah timur dan Tripoli disebelah barat. Maka dengan itu kelihatannya kaum muslim telah tersebar ke seluruh wilayah Islam seperti ke Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal, Al-Quran tetap menjadi imam (petunjuk) mereka, dan di antara mereka itu banyak yang hafal Al-Quran. Dan di antara mereka juga mempunyai naskah-naskah Al-Quran. Namun naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama dari segi susunan surah-surahnya. Di samping itu di antara mereka itu terdapat perbedaan tentang bacaan Al-Quran itu. Pada asalnya perbedaan bacaan ini ialah karena Rasulullah SAW sendiri pun memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab Islam yang berada di masanya untuk membaca dan melafazkan Al-Quran itu menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW supaya mudah bagi mereka untuk menghafal AlQuran itu. Tetapi setelah itu kelihatan tanda-tanda bahwa perbedaan tentang bacaan Al-Quran ini kalau dibiarkan terus-menerus, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum muslimin. Orang yang mula-mula memperhatikan hal ini ialah seorang sahabat yang bernama Hizaifah bin Yaman. Ketika beliau turut serta dalam pertempuran menaklukkan Armenia dan Azerbaijan, di dalam perjalanan beliau pernah mendengar pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-Quran, dan juga pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya yaitu Bacaan ku lebih baik dari bacaan mu. Keadaan ini membimbangkan Huzaifah. Maka apabila beliau telah kembali ke Madinah, beliau menemui khalifah Utsman bin Affan r.a dan beliau menceritakan apa yang dilihatnya mengenai pertikaian antara kaum muslimin tentang bacaan Al-Quran itu. Huzaifah berkata kepada Usman: Susulilah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al Kitab, sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani. Maka khalifah Utsman r.a meminta kepada Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al-Quran yang telah diikat itu, yang ditulis di masa khalifah Abu Bakar r.a, yang disimpan oleh Hafsah untuk disalin. Maka lembaran-lembaran tersebut diserahkan kepada khalifah Usman r.a oleh Hafsah. Seterusnya Khalifah Usman membentuk satu panitia yang terdiri daripada Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam. Panitia ini diberikan tugas untuk membukukan Al-Quran, yaitu menyalin dari lembaran-lembaran tersebut, seterusnya menjadi buku (diikatkan). Dalam menjalankan tugas ini, khalifah Usman menasihatkan supaya: 1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Quran 2. Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah ditulis menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Quran itu diturunkan menurut dialek mereka. Setelah tugas yang diamanahkan kepada panitia itu selesai maka mushaf Al-Quran yang dipinjamkan dari Hafsah itu dipulangkan semula kepada beliau. Al-Quran yang dibukukan itu dinamakan Al Mushhaf dan seterusnya oleh panitia itu dituliskan lagi 5 buah Al Mushhaf. Empat buah di antaranya dikirimkan ke Mekkah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di

tempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing mushaff itu. Dan satu buah lagi ditinggalkan di Madinah, untuk Usman sendiri dan itulah yang dinamai dengan Mushhaf Al Imam. Setelah itu khalifah Utsman memerintahkan semua lembaran-lembaran Al-Quran yang lain yang ditulis (selain daripada Al Mushhaf) dikumpulkan dan membakarnya. Maka dengan itu mushhaf yang ditulis di zaman khalifah Usman itulah, kaum muslimin diseluruh pelosok menyalin Al-Quran itu. Sehingga sekarang masih terdapat kelainan bacaan karena bacaanbacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW terus dipakai oleh kaum muslimin. Namun bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis dimasa khalifah Ustman. Dengan demikian, pembukuan Al-Quran di masa khalifah Utsman itu memberikan beberapa kebaikan seperti : 1. Menyatukan kaum muslimin pada satu bentuk mushhaf yang seragam ejaan tulisannya. 2. Menyatukan bacaan, walaupun masih terdapat kelainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mushhaf-mushhaf Usman. Manakala bacaan-bacaan yang tidak bersesuaian dengan mushhaf-mushhaf Usman tidak dibenarkan lagi. 3. Menyatukan tertib susunan surat-surat. Akhirnya sampailah kepada kita sekarang dengan tidak ada sembarang perubahan sedikit pun dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam hal itu, pada setiap masa dan zaman, Al-Quran ini dihafal oleh jutaan umat Islam dan ini adalah salah satu Inayat Tuhan untuk menjaga Al-Quran. Dengan itu terbuktilah firman Allah dalam surat AlHijr ayat: 9, yang artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya. (Surah Al Hijr: 9) BAB III KESIMPULAN 1. Al-Quran (dalam ejaan Bahasa Indonesia: Alquran, dalam bahasa Arab ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam mempercayai bahwa Al-Quran merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Quran berasal dari bahasa Arab yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Kata Al-Quran adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qaraa yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Quran sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya.(75:17-75:18) 2. Masa pembukuan Al-Quran terdiri kepada tiga bahagian yaitu dimasa zaman Nabi Muhammad, Khalifah Abu Bakar dan zaman Khalifah Uthman ibn Affan. Kini, kebanyakan AlQuran dikenali sebagai Al-Quran Rasm Utsmani berberkah nama Khalifah Utsman bin Affan yang telah membukukan dan menyusun Al-Quran ini sehingga lengkap. Memelihara Al-Quran di masa Nabi Muhammad; Al-Quran di masa Abu Bakar r.a;

Membukukan Al-Quran di masa Usman bin Affan r.a.

Anda mungkin juga menyukai