“Mari kita bahas permasalahan besar dalam sains, yakni tentang Tuhan”
kata seorang profesor filsafat yang atheis di muka kelas. Kemudian dia
meminta seorang mahasiswa baru maju ke depan kelas. “Kamu beragama,
bukan ?”
“Ya, pak.”
“Tentu saja.”
“Ya.”
“Coba yang satu ini. Misalkan ada seseorang sakit di sekitar sini dan
kamu bisa menyembuhkannya. Bersediakah kamu menolongnya ?”
[Tiada jawaban]
“Dia tidak, bukan? Saudara saya adalah seorang beragama yang meninggal
karena kanker meskipun dia sudah berdoa meminta Tuhan menyembuhkannya.
Bagaimana bisa dikatakan bahwa Tuhan baik? Dapatkah kamu menjawabnya?”
[Tiada jawaban]
“Kamu tidak bisa, bukan ?”
Sang profesor meneguk air dari gelas di mejanya untuk memberi kesempatan
pada sang mahasiswa menenangkan diri. “Mari kita lanjutkan, anak muda.
Apakah Tuhan itu baik?”
“Ng… Ya.”
“Tidak.”
“Ya, pak.”
“Ya.”
[Tiada jawaban]
[Tiada jawaban]
Sang profesor memandang tajam wajah sang mahasiswa. Dengan suara dalam
dia berkata,
“Tuhan yang menciptakan semua kejahatan, bukan?”
[Tiada jawaban]
Sang mahasiswa berusaha menggapai-gapai pegangan, matanya mencari-cari,
namun gagal.
[Tiada jawaban]
[Diam]
[Tiada jawaban]
[Tiada jawaban]
“Jawablah.”
“Belum, pak.”
“Tetapi kamu tetap mempercayai-Nya ?”
“…Ya…”
[Tiada jawaban]
“Silakan duduk.”
“Anda sudah menyatakan hal-hal yang sangat menarik, pak. Sekarang saya
mempunyai sebuah pertanyaan untuk anda. Adakah sesuatu yang disebut
panas ?”
[Diam]
Sebuah pin terjatuh berdenting di suatu tempat dalam kelas.
“Apakah ada sesuatu yang disebut gelap, profesor ?” tanya sang mahasiswa
lagi.
“Itu pertanyaan bodoh, nak. Apakah malam itu jika bukan gelap ? Apa
maksudmu ?”
“Ya…”
Anda bisa mendapatkan cahaya buram, cahaya normal, cahaya terang, cahaya
menyilaukan, tetapi jika anda tidak mendapatkan cahaya secara
berkesinambungan, anda tidak mendapatkan apa-apa, dan itu disebut gelap,
bukan ? Itulah pengertian yang kita gunakan untuk menggambarkan kata
tersebut. Pada kenyataannya, gelap tidak ada. Jika ada, seharusnya anda
bisa membuat gelap menjadi lebih gelap lagi.”
“Baik, profesor. Maksud saya adalah filosofi anda sudah cacat sejak awal
sehingga kesimpulan anda sudah pasti rancu”.
Sang mahasiswa mengangkat sebuah surat kabar dari meja rekannya. “Ini
adalah salah satu tabloid paling menjijikkan di negeri ini, profesor.
Adakah sesuatu yang disebut ketidaksenonohan ?”
Wajah sang profesor berubah merah. Dia sangat marah hingga sejenak
kehilangan kata-kata.
“Saya malah berpikir bahwa ketiadaan kode moral ketuhanan di dunia ini
kemungkinan adalah satu fenomena yang paling bisa diamati” sahut sang
mahasiswa. “Surat kabar membuat milyaran dollar melaporkannya setiap
minggu! Katakan, profesor, apakah anda mengajar mahasiswa bahwa mereka
berevolusi dari kera ?”
“Jika anda mengacu pada proses evolusi alamiah, anak muda, ya, tentu
saja demikian yang saya lakukan.”
“Jadi, anda tidak menerima kode moral ketuhanan melakukan apa yang layak
?”
“Ahh! SAINS !”
wajah sang mahasiswa berubah sinis. “Pak, anda telah menegaskan bahwa
sains adalah studi mengenai fenomena pengamatan. Sains juga adalah
premis yang cacat…”
“SAINS CACAT ?”
sang profesor bergetar. Kelas menjadi gempar.
Kelas serentak pecah oleh tawa. Sang mahasiswa menunjuk pada sang
profesor yang sudah remuk. “Adakah orang di sini yang pernah mendengar
otak pak profesor, merasakan otak pak profesor, menyentuh, atau membaui
otak pak profesor ?”